“Guru, jangan marah begitu. Kami akan taati apa kehendakmu. Sekarang pun kami berempat siap berangkat,” Wista memotong ketika dilihatnya Ki Dita demikian jengkel terhadap Aditia.
“Purba… Cepatlah berangkat,” kata Ki Bagus Sura dan suaranya semakin lemah saja.
“Tapi saya harus merawat luka kalian dulu,” pinta Purbajaya.
“Sudah tak ada waktu lagi. Biarlah kami bisa merawat sendiri. Yang penting, surat harus bisa diselamatkan…” desak Ki Bagus Sura. Batuk-batuk sebentar dan keluar darah segar walau sedikit.
“Bagaimana bila surat tak terselamatkan?” Purbajaya mengajukan pertanyaan yang sebetulnya dia pun tak suka.
“Hanya satu akibatnya, tugasmu bakal semakin berat…” desah Ki Bagus Sura payah. Lalu dia melambaikan tangannya agar Purbajaya mendekatkan kapalanya.
“Kalau surat tak terselamatkan, kau sendirian harus selidiki keberadaan Raden Yudakara. Tugasmu ini bukan untuk kepentinganku semata… Bukan pula untuk Sumedang dan Talaga, melainkan juga kepentingan Carbon dan ketentraman di wilayah Jawa Kulon ini secara keseluruhan…” kata-kata Ki Bagus Sura semakin pelan juga.
Namun kalimat-kalimat terakhir ini sungguh amat memukau hati Purbajaya. Siapakah Raden Yudakara sehingga begitu dicurigai dan begitu dirisaukan sebesar ini oleh orang Sumedanglarang?
“Mari semua kita berangkat!” ajak Yaksa tak sabar melihat Ki Bagus Sura dan Purbajaya saling bisik seperti layaknya dua kekasih hendak berpisah.
“Dan ingat… Rawatlah anakku Si Yuning. Tentramlah sudah hatiku bila anak itu bisa tinggal bersamamu…” bisik lagi Ki Bagus Sura. Kini sepasang matanya terpejam. Hanya air matanya saja yang terus meleleh di pipinya yang terkena debu jalanan.
“Berangkatlah Purba…” kata Ki Dita.
Purbajaya menatap sejenak kepada orang tua ini. Dia tak bisa pastikan perangai dan isi hati Ki Dita. Kadang-kadang keras kadang-kaang lemah. Tadi dia curiga mengapa orang tua ini tidak diserang habis-habisan oleh pasukan siluman. Tapi melihat pembelaannya kepada Ki Bagus Sura dalam urusan penyelamatan surat penting, rasa curiga terhapus pula. Apalagi ketika Ki Dita memuji dia, semakin luluh pula kesan buruk pada orang tua ini.
“Saya tak bisa merawat lukamu, Ki Dita…” kata Purbajaya pelan.
“Aku bisa merawat lukaku…” jawab Ki Dita pendek.
Maka pergilah Purbajaya mengemban tugas, ditemani Aditia, Yaksa dan Wista. Ada seorang lagi yang ikut menyertai mereka yaitu ki Sudireja. Aditia dan Yaksa berjalan di depan sepertinya sengaja menghindar dari Purbajaya. Sementara Wista melangkah sendirian saja. Dia mungkin bimbang. Untuk berjalan bersama dua orang temannya, mereka seperti tengah tak menyenanginya. Tapi bila bergabung kepada Purbajaya, malah dia jadi tak enak kepada kedua orang temannya.
Sementara itu Purbajaya berjalan paling belakang, berdua dengan Ki Sudireja. “Anda pernah ke Carbon…?” tanya Purbajaya sekadar memecah kesunyian belaka.
“Untuk melawan Pajajaran, aku bisa pergi dan gabung ke mana saja,” jawab Ki Sudireja pendek.
“Jangan gabung ke mana saja. Bagaimana kalau ternyata diketahui gabung dengan kelompok yang ingin mementingkan kepentingan pribadi saja?” tanya Purbajaya jadi mulai berdebat.
“Sepanjang memiliki persamaan tujuan, kadang-kadang dengan yang tak sehaluan pun bisa bersatu. Nanti kalau tujuan yang sama sudah tercapai, otomatis memisahkan diri,” jawab Ki Sudireja enteng saja.
Tak demikian dengan hati Purbajaya. Dia malah jadi melantur ke sana ke mari. Dan secara tak sengaja hatinya jadi curiga kepada Ki Sudireja ini. Jangan-jangan orang seperti Ki Sudireja bakal masuk kelompok yang sekiranya bisa mengacaukan keadaan. Dia mungkin bisa bergabung dengan Carbon dalam upaya melawan Pajajaran. Tapi siapa kelak yang akan dia ikuti? Bukankah di Carbon sendiri banyak kelompok yang berbeda paham dalam melihat keberadaan Pajajaran ini?
Hati Purbajaya tersenyum kecut. Urusan mengenai Pajajaran telah menjadikannya kemelut tersendiri. Sementara para pemegang keputusan di Carbon sendiri berpendapat bahwa Carbon sudah tak berniat melawan Pajajaran dengan kekuatan militer. Namun demikian, di antara mereka masih ada yang berambisi untuk mempertaruhkan kekuatan militer guna menghancurkan Pajajaran.
“Pajajaran itu negara besar dan akan lebih besar lagi kalau dilandasi oleh tatanan agama baru,” kata Pangeran Suwarga manggala (panglima perang) Negri Carbon tempo hari.
Ucapan ini sangat mengisyaratkan bahwa Carbon tidak punya keinginan kalau Pajajaran harus hancur. Tapi tak begitu pendapat sekelompok orang. Bahkan Purbajaya sendiri pun kini tengah “mengemban tugas” dari Pangeran Arya Damar yang amat menginginkan agar Pajajaran segera lenyap.
Baik Pangeran Suwarga mau pun Pangeran Arya Damar sepertinya tengah bersaing untuk memberikan hal yang terbaik bagi negrinya namun dengan sudut pandang yang berbeda. Pangeran Suwarga berpendapat, Carbon akan semakin besar bila memperlakukan lawan dengan arif, sementara Panageran Arya Damar berpendapat kebesaran Negri Carbon akan mencuat bila semua negri yang ada di Jawa Kulon berada di bawah pengaruhnya. Pangeran Arya Damar punya garis keras. Musuh yang membangkang harus dihancurkan sebab hanya akan mengganggu kelancaran usaha dalam mempertahankan kebesaran Carbon.
Tapi bersama Ki Sudireja, Purbajaya jelas tak mau berdebat soal ini sebab dirasa tak akan bersinggungan. Yang dia lakukan hanyalah bertanya itu-ini perihal keberadaan orang tua itu selama ini. Mengapa dia mengejar terus pasukan siluman?
“Sudah aku katakan kalau aku tengah memperebutkan seorang anak dengan kelompok itu,” jawab Ki Sudireja pendek.
“Oh, ya. Saya dengar engkau membicarakan seorang anak. Anak siapakah gerangan?” tanya Purrbajaya penuh perhatian.
“Anak itu kelak akan kudidik guna melawan Pajajaran,” jawab pula Ki Sudireja. Nampak ada hawa kebencian di wajahnya yang gelap.
“Oh, ya…“
“Kasihan Si Pragola, bagaimana pula nasib anak itu kini?” keluhnya.
“Kalau dengar percakapan, anggota pasukan siluman sepertinya tak akan mengganggu anak itu,” Purbajaya berpendapat.
“Benar, anak itu tidak akan dianiaya. Tapi ada yang lebih kukhawatirkan selain itu. Anak itu khawatir dicekoki oleh kepentingan yang bertolak belakang dengan kepentinganku,” potong Ki Sudireja sedikit jengkel. ”Pasukan siluman pro Pajajaran. Aku takut anak itu dicekoki untuk menjadi orang Pajajaran. Lebih baik anak itu mati ketimbang menjadi orang Pajajaran,” sambung lagi Ki Sudireja.
Purbajaya melihat, betapa Ki Sudireja penuh kebencian terhadap Pajajaran. “Yakinkah anda kalau pasukan siluman begitu bersimpati kepada Pajajaran?” tanya Purbajaya mengerutkan dahi.
“Purba… Cepatlah berangkat,” kata Ki Bagus Sura dan suaranya semakin lemah saja.
“Tapi saya harus merawat luka kalian dulu,” pinta Purbajaya.
“Sudah tak ada waktu lagi. Biarlah kami bisa merawat sendiri. Yang penting, surat harus bisa diselamatkan…” desak Ki Bagus Sura. Batuk-batuk sebentar dan keluar darah segar walau sedikit.
“Bagaimana bila surat tak terselamatkan?” Purbajaya mengajukan pertanyaan yang sebetulnya dia pun tak suka.
“Hanya satu akibatnya, tugasmu bakal semakin berat…” desah Ki Bagus Sura payah. Lalu dia melambaikan tangannya agar Purbajaya mendekatkan kapalanya.
“Kalau surat tak terselamatkan, kau sendirian harus selidiki keberadaan Raden Yudakara. Tugasmu ini bukan untuk kepentinganku semata… Bukan pula untuk Sumedang dan Talaga, melainkan juga kepentingan Carbon dan ketentraman di wilayah Jawa Kulon ini secara keseluruhan…” kata-kata Ki Bagus Sura semakin pelan juga.
Namun kalimat-kalimat terakhir ini sungguh amat memukau hati Purbajaya. Siapakah Raden Yudakara sehingga begitu dicurigai dan begitu dirisaukan sebesar ini oleh orang Sumedanglarang?
“Mari semua kita berangkat!” ajak Yaksa tak sabar melihat Ki Bagus Sura dan Purbajaya saling bisik seperti layaknya dua kekasih hendak berpisah.
“Dan ingat… Rawatlah anakku Si Yuning. Tentramlah sudah hatiku bila anak itu bisa tinggal bersamamu…” bisik lagi Ki Bagus Sura. Kini sepasang matanya terpejam. Hanya air matanya saja yang terus meleleh di pipinya yang terkena debu jalanan.
“Berangkatlah Purba…” kata Ki Dita.
Purbajaya menatap sejenak kepada orang tua ini. Dia tak bisa pastikan perangai dan isi hati Ki Dita. Kadang-kadang keras kadang-kaang lemah. Tadi dia curiga mengapa orang tua ini tidak diserang habis-habisan oleh pasukan siluman. Tapi melihat pembelaannya kepada Ki Bagus Sura dalam urusan penyelamatan surat penting, rasa curiga terhapus pula. Apalagi ketika Ki Dita memuji dia, semakin luluh pula kesan buruk pada orang tua ini.
“Saya tak bisa merawat lukamu, Ki Dita…” kata Purbajaya pelan.
“Aku bisa merawat lukaku…” jawab Ki Dita pendek.
Maka pergilah Purbajaya mengemban tugas, ditemani Aditia, Yaksa dan Wista. Ada seorang lagi yang ikut menyertai mereka yaitu ki Sudireja. Aditia dan Yaksa berjalan di depan sepertinya sengaja menghindar dari Purbajaya. Sementara Wista melangkah sendirian saja. Dia mungkin bimbang. Untuk berjalan bersama dua orang temannya, mereka seperti tengah tak menyenanginya. Tapi bila bergabung kepada Purbajaya, malah dia jadi tak enak kepada kedua orang temannya.
Sementara itu Purbajaya berjalan paling belakang, berdua dengan Ki Sudireja. “Anda pernah ke Carbon…?” tanya Purbajaya sekadar memecah kesunyian belaka.
“Untuk melawan Pajajaran, aku bisa pergi dan gabung ke mana saja,” jawab Ki Sudireja pendek.
“Jangan gabung ke mana saja. Bagaimana kalau ternyata diketahui gabung dengan kelompok yang ingin mementingkan kepentingan pribadi saja?” tanya Purbajaya jadi mulai berdebat.
“Sepanjang memiliki persamaan tujuan, kadang-kadang dengan yang tak sehaluan pun bisa bersatu. Nanti kalau tujuan yang sama sudah tercapai, otomatis memisahkan diri,” jawab Ki Sudireja enteng saja.
Tak demikian dengan hati Purbajaya. Dia malah jadi melantur ke sana ke mari. Dan secara tak sengaja hatinya jadi curiga kepada Ki Sudireja ini. Jangan-jangan orang seperti Ki Sudireja bakal masuk kelompok yang sekiranya bisa mengacaukan keadaan. Dia mungkin bisa bergabung dengan Carbon dalam upaya melawan Pajajaran. Tapi siapa kelak yang akan dia ikuti? Bukankah di Carbon sendiri banyak kelompok yang berbeda paham dalam melihat keberadaan Pajajaran ini?
Hati Purbajaya tersenyum kecut. Urusan mengenai Pajajaran telah menjadikannya kemelut tersendiri. Sementara para pemegang keputusan di Carbon sendiri berpendapat bahwa Carbon sudah tak berniat melawan Pajajaran dengan kekuatan militer. Namun demikian, di antara mereka masih ada yang berambisi untuk mempertaruhkan kekuatan militer guna menghancurkan Pajajaran.
“Pajajaran itu negara besar dan akan lebih besar lagi kalau dilandasi oleh tatanan agama baru,” kata Pangeran Suwarga manggala (panglima perang) Negri Carbon tempo hari.
Ucapan ini sangat mengisyaratkan bahwa Carbon tidak punya keinginan kalau Pajajaran harus hancur. Tapi tak begitu pendapat sekelompok orang. Bahkan Purbajaya sendiri pun kini tengah “mengemban tugas” dari Pangeran Arya Damar yang amat menginginkan agar Pajajaran segera lenyap.
Baik Pangeran Suwarga mau pun Pangeran Arya Damar sepertinya tengah bersaing untuk memberikan hal yang terbaik bagi negrinya namun dengan sudut pandang yang berbeda. Pangeran Suwarga berpendapat, Carbon akan semakin besar bila memperlakukan lawan dengan arif, sementara Panageran Arya Damar berpendapat kebesaran Negri Carbon akan mencuat bila semua negri yang ada di Jawa Kulon berada di bawah pengaruhnya. Pangeran Arya Damar punya garis keras. Musuh yang membangkang harus dihancurkan sebab hanya akan mengganggu kelancaran usaha dalam mempertahankan kebesaran Carbon.
Tapi bersama Ki Sudireja, Purbajaya jelas tak mau berdebat soal ini sebab dirasa tak akan bersinggungan. Yang dia lakukan hanyalah bertanya itu-ini perihal keberadaan orang tua itu selama ini. Mengapa dia mengejar terus pasukan siluman?
“Sudah aku katakan kalau aku tengah memperebutkan seorang anak dengan kelompok itu,” jawab Ki Sudireja pendek.
“Oh, ya. Saya dengar engkau membicarakan seorang anak. Anak siapakah gerangan?” tanya Purrbajaya penuh perhatian.
“Anak itu kelak akan kudidik guna melawan Pajajaran,” jawab pula Ki Sudireja. Nampak ada hawa kebencian di wajahnya yang gelap.
“Oh, ya…“
“Kasihan Si Pragola, bagaimana pula nasib anak itu kini?” keluhnya.
“Kalau dengar percakapan, anggota pasukan siluman sepertinya tak akan mengganggu anak itu,” Purbajaya berpendapat.
“Benar, anak itu tidak akan dianiaya. Tapi ada yang lebih kukhawatirkan selain itu. Anak itu khawatir dicekoki oleh kepentingan yang bertolak belakang dengan kepentinganku,” potong Ki Sudireja sedikit jengkel. ”Pasukan siluman pro Pajajaran. Aku takut anak itu dicekoki untuk menjadi orang Pajajaran. Lebih baik anak itu mati ketimbang menjadi orang Pajajaran,” sambung lagi Ki Sudireja.
Purbajaya melihat, betapa Ki Sudireja penuh kebencian terhadap Pajajaran. “Yakinkah anda kalau pasukan siluman begitu bersimpati kepada Pajajaran?” tanya Purbajaya mengerutkan dahi.
“Mereka adalah kelompok yang bersimpati kepada Nyi Rambut Kasih yang mencoba bertahan dengan agama lama. Padahal siapa pun tahu, pusat kehidupan agama lama ada di Pajajaran. Kekuatan mana yang membantu keberadaan pasukan siluman kalau bukan dari Pajajaran?” kata Ki Sudireja yakin sekali.
“Pasukan siluman dibantu Pajajaran?” tanya Purbajaya lebih menyerupai sebuah pertanyaan untuk dirinya sendiri.
“Aku hanya katakan, ada kemungkinan pasukan siluman pun bersimpati kepada Pajajaran. Tapi bukan tak mungkin mereka pun sebetulnya dikendalikan oleh orang Pajajaran. Mereka ingin mempertahankan keberadaannya. Dengan demikian, mereka pun pasti ingin berbuat kekacauan di wilayah-wilayah negri agama baru,” tutur lagi Ki Sudireja.
“Saya jadi ingin tahu bagaimana watak orang Pajajaran itu…” gumam Purbajaya menatap ke kejauhan.
“Masyarakat Pajajaran pada umumnya punya disiplin mati yang terlahir dari pedoman agamanya,” kata Ki Sudireja.
“Apa contohnya?”
“Mereka mempertahankan kejujuran kendati tahu kejujuran akan merugikan dirinya sendiri. Contohnya, selama mereka tak pernah mengganggu orang lain, mereka yakin orang lain pun tak akan mengganggu mereka. Selama mereka tidak menyakiti hati orang lain, maka orang lain pun tak akan menyakitinya. Mereka hidup bersahaja dan menerima apa adanya. Itulah sebabnya mereka tidak punya rasa iri dan dengki.”
“Itu adalah sikap terpuji. Tapi apa hubungannya dengan pasukan siluman?” tanya Purbajaya bingung.
“Bukankah yang aku katakan tadi adalah sikap masyarakatnya? Sementara tidak begitu dengan orang-orang yang punya keserakahan dalam berpengetahuan. Semakin banyak memiliki pengetahuan, maka semakin banyak pula memiliki kehendak. Agar kehendak terlaksana, maka segala macam jerih-payah mereka lakukan. Maka bila tak berhasil dengan tindakan wajar, mereka gunakan tipu-muslihat. Perilaku jujur dan lugu yang jadi ciri khas orang Pajajaran, mereka gunakan sebagai tempat sembunyi. Jadi, kalau pasukan siluman demikian licik tindakannya dan selalu main sembunyi, siapa bakal menyangka kalau kekuatan mereka didukung Pajajaran?” tanya Ki Sudireja.
“Kalau begitu, jelas mereka dikendalikan oleh orang Pajajaran,” potong Purbajaya.
“Maksudmu, tentu oleh orang yang telah memiliki akal-akalan (politik),” Ki Sudireja balik memotong, ”Aku masih tetap punya keyakinan akan prinsip hidup masyarakat Pajajaran yang asli yang amat menjauhi kejahatan. Melakukan sesuatu sambil main sembunyi untuk merugikan orang lain adalah kejahatan. Dan mereka amat menjauhi sikap itu. Kalau berperang melawan musuh, maka mereka lakukan di tempat terang dan terbuka,” sambung lagi Ki Sudireja.
Purbajaya tersenyum mendengar pendapat orang tua ini. Selintas memang kedengarannya cukup ganjil. Di lain pihak Ki Sudireja benci Pajajaran dan kalau ada yang mau hancurkan Pajajaran dia siap bantu, siapa pun adanya. Namun juga di lain pihak dia memuji-muji sikap hidup orang Pajajaran itu sendiri.
Kalau demikian halnya, maka Ki Sudireja ini sebenarnya orang yang pandai memilah-milah, tidak menggambar hitam di atas yang putih atau pun sebaliknya. Yang dia benci hanyalah para pejabatnya yang dikatagorikan Ki Sudireja sebagai kelompok yang sudah mengerti akal-akalan (politik), sementara masyarakatnya sendiri yang lugu dan bersahaja tetap dipujinya sebagai manusia yang memiliki perasaan kemanusiaan.
Namun demikian, apakah sudah pas pula penilaian Ki Sudireja ini? Mengapa kalangan bangsawan dan pejabat pun tidak dia pilah-pilah? Atau apakah memang benar semua pejabat di Pajajaran perangainya sudah sedemikian buruk karena mereka telah terbiasa dengan kehidupan akal-akalan? Purbajaya jadi teringat negrinya sendiri. Di Carbon banyak pejabat dan banyak yang sudah berkecimpung dalam kehidupan politik namun ternyata nilai keberadaannya masih bisa dipilah-pilah. Menurut penilaian Purbajaya, tak semua yang mengenal kehidupan politik jadi tidak memiliki nilai kemanusiaan, tapi juga memang banyak yang kenal kehidupan politik lantas perangainya menjadi buruk.
Dan karena hal ini seharusnya manusia tidak menilai buruk atau baik hanya karena orang bergelut dalam kehidupan politik. Nilai manusia akan didapat bila bagaimana sebenarnya mereka bisa mengendalikan perangkat kehidupan untuk diabdikan kepada hal-hal yang berguna buat kepentingan umat manusia. Begitu yang terpikir oleh Purbajaya ketika itu. Sadar atau tidak, dirinya kini sudah terlibat ke dalam urusan yang bernama politik. Namun agar dia tidak terseret oleh kepentingan-kepentingan yang merusak, maka dia perlu hati-hati dalam memilih, kekuatan mana yang musti dia dukung, kelompok mana yang harus dia ikuti.
Sementara Purbajaya sendiri hati kecilnya kurang setuju dengan pendapat Ki Sudireja ini. Dia akan “ikut pada siapa saja” yang sekiranya akan menempur Pajajaran, bukan dilandasi oleh kepentingan politik pula, melainkan hanya melulu berkutat dengan kepentingan dirinya sendiri. Katanya, dia adalah orang yang merasa sakit hati oleh kebijakan penguasa Pajajaran, makanya dia inginkan Pajajaran hancur.
Ki Sudireja bukan orang berpolitik dan tak kenal politik. Namun malah orang seperti inilah yang sebenarnya bisa membahayakan kedamaian. Karena buta politik, karena rasa sakit hati pribadi dan kecewa kepada penguasa, maka kebenciannya bisa tumpah kepada siapa saja, termasuk kepada orang yang sebenarnya tidak berdosa. Ini amat berbahaya. Ki Sudireja sakit hati kepada Pajajaran karena ketika Talaga, negrinya tempat dia mengabdi, ditaklukkan Carbon, namun Pajajaran sama sekali tak membelanya.
“Daripada berusaha melindungi, malah memerangi,” kata Ki Sudireja dengan nada suara mengandung dendam kesumat.
Orang tua ini memberikan contoh, beberapa tahun silam sebuah wilayah kacutakan (wilayah setingkat kecamatan kini), diperangi pasukan dari Pakuan karena wilayah ini dicurigai telah memindahkan kesetiaannya dari Pajajaran ke Carbon. Yang dimaksud di sini adalah Kacutakan Caringin yang terletak di wilayah utara, berbatasan dengan kekuasaan Carbon.
“Anak kecil berusia tujuh tahun yang aku ingin rebut dari kungkungan anggota pasukan siluman bernama Pragola adalah anak Cutak Caringin. Dalam peristiwa itu, Cutak Caringin telah kehilangan anak pertamanya, juga seorang anak lelaki. Dan karena banyak memikirkan peristiwa ini, akhirnya Cutak Caringin mati karena sakit keras. Belakangan istrinya pun ikut mati. Maka Si Pragola, anaknya aku urus. Akan aku didik anak itu agar kelak sesudah dewasa menjadi orang yang bisa melawan Pajajaran,” kata Ki Sudireja gemas. Sepertinya di dalam benaknya tergambar lagi peristiwa di wilayah Caringin itu.
Purbajaya melangkahkan kaki dengan penuh perenungan di benaknya.
“Begitulah kebencianku kepada Pajajaran,” gumam Ki Sudireja lagi. ”Sabda ratu tak digugu (ditiru) sebab perilaku ratu (penguasa) sudah tidak lagi mencerminkan keinginan rakyat.”
Percakapan Purbajaya dan Ki Sudireja terhenti karena di depan, Aditia, Yaksa dan Wista mendadak menghentikan langkahnya.
“Ada apa?” Purbajaya bertanya heran.
“Lihat itu, terdapat puluhan jejak telapak kaki!” Yaksa menunjuk ke arah tanah berdebu.
Purbajaya meneliti keadaan tanah di sekitar itu. Benar banyak didapat bekas telapak kaki. Telapak kaki amat mengesankan sebagai bekas serombongan pasukan lewat ke tempat itu. Belasan atau puluhan tapak kaki itu pada mulanya manyusuri jalan pedati, kemudian ketika jalan pedati terpotong sungai lebar berair dangkal, telapak kaki belok memasuki kawasan hutan.
“Mereka memasuki hutan. Mari kita ikuti terus ke hutan,” kata Aditia sambil segera melangkah hendak memasuki hutan belantara yang gelap.
“Nanti dulu!” Purbajaya menahannya.
“Mengapa? Kau takut?” Aditia mengejek dengan dengusan.
“Bukan itu. Tapi kita jangan terlalu cepat mengambil keputusan. Belum tentu rombongan belok ke hutan,” kata Purbajaya.
“Ah, dasar dungu. Sudah jelas belok ke hutan. Lantas ini tapak kaki apa? Kaki gajah, gitu?” tanya Aditia masih dengan nada ejekan.
“Bisa saja mereka sebetulnya lurus menyusuri jalan pedati. Tapi karena terpotong sungai lebar maka tapak kaki tak terlihat lagi,” Purbajaya tetap bertahan dengan pendapatnya.
“Mereka sudah menduga kalau kita menguntit terus. Jadi mereka pilih jalan yang sulit diikuti,” bantah lagi Aditia dengan suara ngotot.
“Ya. Dan karena punya keyakinan begitu, maka kita dikecoh mereka dan dibawa ke jalan yang salah. Sementara mereka sendiri berjalan lurus menyusuri jalan pedati,” Purbajaya pun masih ngotot.
“Yaksa, Wista, dari sekumpulan orang yang ada di sini, hanya kita bertiga yang asli orang Sumedanglarang. Hanya kita bertiga yang sadar akan arti pembelaan terhadap negri kita. Purbajaya jelas orang Carbon, sementara yang satunya kita bahkan tak tahu asal-usulnya. Oleh sebab itu, kalian harus ikut pendapatku. Jangan takut, mari kita susuri lebatnya hutan ini. Kita harus rebut surat daun lontar yang isinya pasti amat penting itu,” kata Aditia mengajak kedua temannya untuk memilih jalan yang dianggapnya benar.
“Purba, aku setuju pendapatmu,” Ki Sudireja menyela namun bukan menyanggah perkataan Aditia. ”Dan karena begitu, aku akan susul mereka lewat jalan pedati. Sementara itu, kau ikuti saja dulu pendapat anak-anak dungu ini.”
Ki Sudireja tak menanti jawaban Purbajaya tapi akan segera langsung meloncat dan hendak segera pergi berlari menyusuri jalan pedati.
“Purba, jangan kau memilih apa yang kami pilih hanya karena diperintah orang asing itu. Kalau pun ikut aku kau harus percaya perhitunganku,” kata Aditia.
“Tapi yang penting, engkau ikut kami,” Wista menyela dengan penuh harap.
“Ah, kau jangan merengek-rengek minta bantuan orang!” hardik Aditia.
Ki Sudireja mendengus. ”Purba, siapakah anak pongah yang selain angkuh tapi juga tak sopan terhadap gurunya ini?” tanya orang tua itu mendelik.
“Mereka adalah putra-putra pejabat dari Sumedanglarang,” jawab Purbajaya.
“Jangan coba menilai diriku,” potong Aditia tak senang. ”Diajari atau pun tidak oleh Ki Guru Dita, tak mengubah kedudukanku sebagai anak seorang pejabat. Sementara Ki Dita sendiri hanyalah pegawai ayahku, kebetulan saja bekerja sebagai guru kewiraan. Jadi, siapa pun dia bagiku, tetap sama saja hanya sebagai bawahan ayahku,” sambung Aditia dengan angkuhnya.
Untuk ke sekian kalinya Ki Sudireja mendengus penuh ejekan. Sesudah itu, baru dia meloncat pergi. Sepeninggal Ki Sudireja, Aditia pun segera mengatur rencana dan benar-benar menempatkan dirinya sebagai pemimpin perjalanan.
“Engkau berjalan paling belakang, Purba, untuk mencegah hal-hal tak diinginkan di belakang kita. Sementara tugas mencari jejak harus dikerjakan oleh orang yang teliti,” kata Aditia.
“Biar aku yang jalan di muka!” seru Wista.
“Tidak, kau bodoh dan semberono. Biar aku saja,” potong Yaksa.
“Tidak,” giliran Aditia yang memotong omongan. ”Yang jalan di muka meneliti jejak hanyalah aku,” katanya pasti. Semua mentaatina, tidak juga Purbajaya.
Maka berjalanlah empat orang muda itu secara beriringan. Aditia tak bisa jalan cepat sebab kerjanya meneliti keadaan tanah di depannya. Dan nyatanya mencari jejak sungguh sulit, apalagi di dalam hutan lebat yang gelap dan terkadang tanah yang diinjak terasa keras karena bercampur cadas.
“Coba lihat, betul, kan?” Aditia menunjuk pada satu jejak kaki. Aditia senang karena masih tetap berhasil menyusuri jejak yang dia maksud.
Purbajaya pun memang melihat jejak telapak kaki. Tapi setelah diteliti dengan seksama, jejak itu penuh keganjilan.
“Berhenti dulu,” serunya.
Semua orang terpaksa merandek.
“Ada apa?” Aditia mengerutkan dahi, kemudian menyeka keringatnya yang bersimbah deras di seluruh wajahnya.
“Aku sangsi kalau mereka betul lewat sini…” kata Purbajaya kemudian.
“Dasar dungu. Apa tak kau lihat jejak-jejak ini terus memanjang?” kembali Aditia berang dengan pendapat Purbajaya ini.
“Betul ini telapak kaki tapi keadaannya sungguh ganjil,” jawab lagi Purbajaya.
“Ganjil apanya,” tanya Aditia.
“Tanah di sekitar sini tidak begitu lembek tapi mengapa jejak telapak kaki demikian dalam?” tanya Purbajaya sambil meneliti jejak-jejak itu.
“Kan mereka adalah anggota pasukan siluman yang punya kepandaian tinggi. Jadi sudah barang tentu dalam berjalan mereka kerahkan tenaga dalam,” kata Aditia berkilah.
“Untuk apa mengobral tenaga seperti itu?” tanya Purbajaya.
Semua diam, tidak terkecuali Aditia.
“Untuk memperlihatkan kepada kita bahwa mereka benar-benar lewat sini? Aneh, tahu dikuntit orang malah sengaja memperlihat jejak sejelas ini?” kata lagi Purbajaya.
Lagi-lagi semua diam, tidak pula Aditia.
Maka Purbajaya lanjutkan perkiraannya.
“Betul juga, jangan-jangan kita dikibuli oleh mereka,” Wista nyeletuk. Namun hal ini amat tak disenangi Aditia.
“Jadi, tapak apakah ini kalau bukan tapak manusia,” tanya Aditia mengejek.
“Kita bukan sedang berbantahan apakah ini tapak manusia atau kera. Hanya aku katakan kalau mereka sebenarnya tengah mengecoh kita. Mungkin mereka pernah sampai tempat ini. Namun ini bukan tujuan mereka untuk lewat sini,” kata Purbajaya.
“Aku tak paham jalan pikiranmu,” bantah Aditia.
“Begini,” potong lagi Purbajaya. ”Mereka berjalan dulu sampai sini, lantas mereka kembali lagi menuju jalan pedati.”
“Tidak kulihat telapak kaki mereka pulang kembali ke arah berlawanan…” bantah Aditia bingung.
“Memang tidak terlihat sebab mereka menapakkan kakinya kepada bekas jejak mereka sendiri. Wista, coba kau peragakan,” kata Purbajaya menyuruh Wista.
“Musti bagaimana?” Wista bingung.
“Coba jejakkan sepasang kakimu, musti pas di telapak yang ini,” Purbajaya memandu Wista untuk menjejakkan kaki di bekas telapak kaki yang sudah ada.
“Ya, sudah. Lantas, bagaimana?” tanya Wista.
“Sekarang kau berjalan mundur sambil kakimu tetap ikut nebeng ke jejak telapak lama,” kata Purbajaya.
Wista mengikuti perintah ini. Dengan hati-hati dia berjalan mundur dan telapak kakinya menginjak pas kepada jejak lama.
“Nah, mereka kembali ke jalan pedati dengan cara seperti itu. Lihatlah, jejak semakin dalam sebab jejak itu diinjak dua kali,” kata Purbajaya pasti.
Yaksa dan Wista bimbang. Mereka menatap Aditia dan tak berani salah bicara.
“Mungkin begitu tapi belum tentu begitu…” kata Aditia dengan nada suara yang tak pasti. ”Tapi mari kita ikuti saja sampai ke mana telapak kaki ini melangkah. Siapa tahu, pendapatkulah yang benar,” kata Aditia akhirnya.
“Lanjutkanlah dulu penelusuranmu,” kata Purbajaya pada Aditia.
Maka mereka pun melangkah kembali. Tapi semakin dalam masuk hutan, semakin gelap juga keadaan. Matahari sudah tak tembus ke tanah saking lebatnya dedaunan. Dan yang lebih parah, kenyataan membuktikan, telapak itu bohong sebab terputus begitu saja.
“Mengapa kau merandek, Aditia?” tanya Yaksa heran.
“Jejak itu hilang…” Aditia kecewa.
Yaksa dan Wista nampak lebih kecewa lagi. Mereka berdua mengeluh sambil menyeka keringat deras di wajahnya. Jejak itu ketika tiba di hutan yang agak terbuka seperti menghilang begitu saja. Sepertinya para pemilik jejak kaki itu langsung terbang ke langit.
“Mustahil hilang begitu saja…” gumam Aditia.
“Tentu tidak mustahil kalau pendapatku diterima,” jawab Purbajaya.
“Ya, kalau begitu pendapat Si Purbalah yang benar,” kata Wista.
“Sialan, kita ditipu mereka…” omel Yaksa sambil memeriksa lukanya yang masih.
“Kita kena tipu karena kebodohan Aditia. Coba kalau tadi menurut apa kata Si Purba, takkan begini jadinya,” Wista jadi menimpakan kesalahan ini kepada Aditia.
“Kalau Si Purba pandai, mengapa dia ikut kita juga? Mustinya dia tetap bertahan dengan pendapatnya kalau benar-benar merasa yakin,” Aditia tak mau disalahkan.
UPAYA kembali mencari jalan pedati dilakukan dengan saling salah-menyalahkan. Di sepanjang jalan Wista kerjanya mengomel sebab akibat dari kekeliruan ini tenaga jadi terkuras dengan percuma.
“Pasukan siluman dibantu Pajajaran?” tanya Purbajaya lebih menyerupai sebuah pertanyaan untuk dirinya sendiri.
“Aku hanya katakan, ada kemungkinan pasukan siluman pun bersimpati kepada Pajajaran. Tapi bukan tak mungkin mereka pun sebetulnya dikendalikan oleh orang Pajajaran. Mereka ingin mempertahankan keberadaannya. Dengan demikian, mereka pun pasti ingin berbuat kekacauan di wilayah-wilayah negri agama baru,” tutur lagi Ki Sudireja.
“Saya jadi ingin tahu bagaimana watak orang Pajajaran itu…” gumam Purbajaya menatap ke kejauhan.
“Masyarakat Pajajaran pada umumnya punya disiplin mati yang terlahir dari pedoman agamanya,” kata Ki Sudireja.
“Apa contohnya?”
“Mereka mempertahankan kejujuran kendati tahu kejujuran akan merugikan dirinya sendiri. Contohnya, selama mereka tak pernah mengganggu orang lain, mereka yakin orang lain pun tak akan mengganggu mereka. Selama mereka tidak menyakiti hati orang lain, maka orang lain pun tak akan menyakitinya. Mereka hidup bersahaja dan menerima apa adanya. Itulah sebabnya mereka tidak punya rasa iri dan dengki.”
“Itu adalah sikap terpuji. Tapi apa hubungannya dengan pasukan siluman?” tanya Purbajaya bingung.
“Bukankah yang aku katakan tadi adalah sikap masyarakatnya? Sementara tidak begitu dengan orang-orang yang punya keserakahan dalam berpengetahuan. Semakin banyak memiliki pengetahuan, maka semakin banyak pula memiliki kehendak. Agar kehendak terlaksana, maka segala macam jerih-payah mereka lakukan. Maka bila tak berhasil dengan tindakan wajar, mereka gunakan tipu-muslihat. Perilaku jujur dan lugu yang jadi ciri khas orang Pajajaran, mereka gunakan sebagai tempat sembunyi. Jadi, kalau pasukan siluman demikian licik tindakannya dan selalu main sembunyi, siapa bakal menyangka kalau kekuatan mereka didukung Pajajaran?” tanya Ki Sudireja.
“Kalau begitu, jelas mereka dikendalikan oleh orang Pajajaran,” potong Purbajaya.
“Maksudmu, tentu oleh orang yang telah memiliki akal-akalan (politik),” Ki Sudireja balik memotong, ”Aku masih tetap punya keyakinan akan prinsip hidup masyarakat Pajajaran yang asli yang amat menjauhi kejahatan. Melakukan sesuatu sambil main sembunyi untuk merugikan orang lain adalah kejahatan. Dan mereka amat menjauhi sikap itu. Kalau berperang melawan musuh, maka mereka lakukan di tempat terang dan terbuka,” sambung lagi Ki Sudireja.
Purbajaya tersenyum mendengar pendapat orang tua ini. Selintas memang kedengarannya cukup ganjil. Di lain pihak Ki Sudireja benci Pajajaran dan kalau ada yang mau hancurkan Pajajaran dia siap bantu, siapa pun adanya. Namun juga di lain pihak dia memuji-muji sikap hidup orang Pajajaran itu sendiri.
Kalau demikian halnya, maka Ki Sudireja ini sebenarnya orang yang pandai memilah-milah, tidak menggambar hitam di atas yang putih atau pun sebaliknya. Yang dia benci hanyalah para pejabatnya yang dikatagorikan Ki Sudireja sebagai kelompok yang sudah mengerti akal-akalan (politik), sementara masyarakatnya sendiri yang lugu dan bersahaja tetap dipujinya sebagai manusia yang memiliki perasaan kemanusiaan.
Namun demikian, apakah sudah pas pula penilaian Ki Sudireja ini? Mengapa kalangan bangsawan dan pejabat pun tidak dia pilah-pilah? Atau apakah memang benar semua pejabat di Pajajaran perangainya sudah sedemikian buruk karena mereka telah terbiasa dengan kehidupan akal-akalan? Purbajaya jadi teringat negrinya sendiri. Di Carbon banyak pejabat dan banyak yang sudah berkecimpung dalam kehidupan politik namun ternyata nilai keberadaannya masih bisa dipilah-pilah. Menurut penilaian Purbajaya, tak semua yang mengenal kehidupan politik jadi tidak memiliki nilai kemanusiaan, tapi juga memang banyak yang kenal kehidupan politik lantas perangainya menjadi buruk.
Dan karena hal ini seharusnya manusia tidak menilai buruk atau baik hanya karena orang bergelut dalam kehidupan politik. Nilai manusia akan didapat bila bagaimana sebenarnya mereka bisa mengendalikan perangkat kehidupan untuk diabdikan kepada hal-hal yang berguna buat kepentingan umat manusia. Begitu yang terpikir oleh Purbajaya ketika itu. Sadar atau tidak, dirinya kini sudah terlibat ke dalam urusan yang bernama politik. Namun agar dia tidak terseret oleh kepentingan-kepentingan yang merusak, maka dia perlu hati-hati dalam memilih, kekuatan mana yang musti dia dukung, kelompok mana yang harus dia ikuti.
Sementara Purbajaya sendiri hati kecilnya kurang setuju dengan pendapat Ki Sudireja ini. Dia akan “ikut pada siapa saja” yang sekiranya akan menempur Pajajaran, bukan dilandasi oleh kepentingan politik pula, melainkan hanya melulu berkutat dengan kepentingan dirinya sendiri. Katanya, dia adalah orang yang merasa sakit hati oleh kebijakan penguasa Pajajaran, makanya dia inginkan Pajajaran hancur.
Ki Sudireja bukan orang berpolitik dan tak kenal politik. Namun malah orang seperti inilah yang sebenarnya bisa membahayakan kedamaian. Karena buta politik, karena rasa sakit hati pribadi dan kecewa kepada penguasa, maka kebenciannya bisa tumpah kepada siapa saja, termasuk kepada orang yang sebenarnya tidak berdosa. Ini amat berbahaya. Ki Sudireja sakit hati kepada Pajajaran karena ketika Talaga, negrinya tempat dia mengabdi, ditaklukkan Carbon, namun Pajajaran sama sekali tak membelanya.
“Daripada berusaha melindungi, malah memerangi,” kata Ki Sudireja dengan nada suara mengandung dendam kesumat.
Orang tua ini memberikan contoh, beberapa tahun silam sebuah wilayah kacutakan (wilayah setingkat kecamatan kini), diperangi pasukan dari Pakuan karena wilayah ini dicurigai telah memindahkan kesetiaannya dari Pajajaran ke Carbon. Yang dimaksud di sini adalah Kacutakan Caringin yang terletak di wilayah utara, berbatasan dengan kekuasaan Carbon.
“Anak kecil berusia tujuh tahun yang aku ingin rebut dari kungkungan anggota pasukan siluman bernama Pragola adalah anak Cutak Caringin. Dalam peristiwa itu, Cutak Caringin telah kehilangan anak pertamanya, juga seorang anak lelaki. Dan karena banyak memikirkan peristiwa ini, akhirnya Cutak Caringin mati karena sakit keras. Belakangan istrinya pun ikut mati. Maka Si Pragola, anaknya aku urus. Akan aku didik anak itu agar kelak sesudah dewasa menjadi orang yang bisa melawan Pajajaran,” kata Ki Sudireja gemas. Sepertinya di dalam benaknya tergambar lagi peristiwa di wilayah Caringin itu.
Purbajaya melangkahkan kaki dengan penuh perenungan di benaknya.
“Begitulah kebencianku kepada Pajajaran,” gumam Ki Sudireja lagi. ”Sabda ratu tak digugu (ditiru) sebab perilaku ratu (penguasa) sudah tidak lagi mencerminkan keinginan rakyat.”
Percakapan Purbajaya dan Ki Sudireja terhenti karena di depan, Aditia, Yaksa dan Wista mendadak menghentikan langkahnya.
“Ada apa?” Purbajaya bertanya heran.
“Lihat itu, terdapat puluhan jejak telapak kaki!” Yaksa menunjuk ke arah tanah berdebu.
Purbajaya meneliti keadaan tanah di sekitar itu. Benar banyak didapat bekas telapak kaki. Telapak kaki amat mengesankan sebagai bekas serombongan pasukan lewat ke tempat itu. Belasan atau puluhan tapak kaki itu pada mulanya manyusuri jalan pedati, kemudian ketika jalan pedati terpotong sungai lebar berair dangkal, telapak kaki belok memasuki kawasan hutan.
“Mereka memasuki hutan. Mari kita ikuti terus ke hutan,” kata Aditia sambil segera melangkah hendak memasuki hutan belantara yang gelap.
“Nanti dulu!” Purbajaya menahannya.
“Mengapa? Kau takut?” Aditia mengejek dengan dengusan.
“Bukan itu. Tapi kita jangan terlalu cepat mengambil keputusan. Belum tentu rombongan belok ke hutan,” kata Purbajaya.
“Ah, dasar dungu. Sudah jelas belok ke hutan. Lantas ini tapak kaki apa? Kaki gajah, gitu?” tanya Aditia masih dengan nada ejekan.
“Bisa saja mereka sebetulnya lurus menyusuri jalan pedati. Tapi karena terpotong sungai lebar maka tapak kaki tak terlihat lagi,” Purbajaya tetap bertahan dengan pendapatnya.
“Mereka sudah menduga kalau kita menguntit terus. Jadi mereka pilih jalan yang sulit diikuti,” bantah lagi Aditia dengan suara ngotot.
“Ya. Dan karena punya keyakinan begitu, maka kita dikecoh mereka dan dibawa ke jalan yang salah. Sementara mereka sendiri berjalan lurus menyusuri jalan pedati,” Purbajaya pun masih ngotot.
“Yaksa, Wista, dari sekumpulan orang yang ada di sini, hanya kita bertiga yang asli orang Sumedanglarang. Hanya kita bertiga yang sadar akan arti pembelaan terhadap negri kita. Purbajaya jelas orang Carbon, sementara yang satunya kita bahkan tak tahu asal-usulnya. Oleh sebab itu, kalian harus ikut pendapatku. Jangan takut, mari kita susuri lebatnya hutan ini. Kita harus rebut surat daun lontar yang isinya pasti amat penting itu,” kata Aditia mengajak kedua temannya untuk memilih jalan yang dianggapnya benar.
“Purba, aku setuju pendapatmu,” Ki Sudireja menyela namun bukan menyanggah perkataan Aditia. ”Dan karena begitu, aku akan susul mereka lewat jalan pedati. Sementara itu, kau ikuti saja dulu pendapat anak-anak dungu ini.”
Ki Sudireja tak menanti jawaban Purbajaya tapi akan segera langsung meloncat dan hendak segera pergi berlari menyusuri jalan pedati.
“Purba, jangan kau memilih apa yang kami pilih hanya karena diperintah orang asing itu. Kalau pun ikut aku kau harus percaya perhitunganku,” kata Aditia.
“Tapi yang penting, engkau ikut kami,” Wista menyela dengan penuh harap.
“Ah, kau jangan merengek-rengek minta bantuan orang!” hardik Aditia.
Ki Sudireja mendengus. ”Purba, siapakah anak pongah yang selain angkuh tapi juga tak sopan terhadap gurunya ini?” tanya orang tua itu mendelik.
“Mereka adalah putra-putra pejabat dari Sumedanglarang,” jawab Purbajaya.
“Jangan coba menilai diriku,” potong Aditia tak senang. ”Diajari atau pun tidak oleh Ki Guru Dita, tak mengubah kedudukanku sebagai anak seorang pejabat. Sementara Ki Dita sendiri hanyalah pegawai ayahku, kebetulan saja bekerja sebagai guru kewiraan. Jadi, siapa pun dia bagiku, tetap sama saja hanya sebagai bawahan ayahku,” sambung Aditia dengan angkuhnya.
Untuk ke sekian kalinya Ki Sudireja mendengus penuh ejekan. Sesudah itu, baru dia meloncat pergi. Sepeninggal Ki Sudireja, Aditia pun segera mengatur rencana dan benar-benar menempatkan dirinya sebagai pemimpin perjalanan.
“Engkau berjalan paling belakang, Purba, untuk mencegah hal-hal tak diinginkan di belakang kita. Sementara tugas mencari jejak harus dikerjakan oleh orang yang teliti,” kata Aditia.
“Biar aku yang jalan di muka!” seru Wista.
“Tidak, kau bodoh dan semberono. Biar aku saja,” potong Yaksa.
“Tidak,” giliran Aditia yang memotong omongan. ”Yang jalan di muka meneliti jejak hanyalah aku,” katanya pasti. Semua mentaatina, tidak juga Purbajaya.
Maka berjalanlah empat orang muda itu secara beriringan. Aditia tak bisa jalan cepat sebab kerjanya meneliti keadaan tanah di depannya. Dan nyatanya mencari jejak sungguh sulit, apalagi di dalam hutan lebat yang gelap dan terkadang tanah yang diinjak terasa keras karena bercampur cadas.
“Coba lihat, betul, kan?” Aditia menunjuk pada satu jejak kaki. Aditia senang karena masih tetap berhasil menyusuri jejak yang dia maksud.
Purbajaya pun memang melihat jejak telapak kaki. Tapi setelah diteliti dengan seksama, jejak itu penuh keganjilan.
“Berhenti dulu,” serunya.
Semua orang terpaksa merandek.
“Ada apa?” Aditia mengerutkan dahi, kemudian menyeka keringatnya yang bersimbah deras di seluruh wajahnya.
“Aku sangsi kalau mereka betul lewat sini…” kata Purbajaya kemudian.
“Dasar dungu. Apa tak kau lihat jejak-jejak ini terus memanjang?” kembali Aditia berang dengan pendapat Purbajaya ini.
“Betul ini telapak kaki tapi keadaannya sungguh ganjil,” jawab lagi Purbajaya.
“Ganjil apanya,” tanya Aditia.
“Tanah di sekitar sini tidak begitu lembek tapi mengapa jejak telapak kaki demikian dalam?” tanya Purbajaya sambil meneliti jejak-jejak itu.
“Kan mereka adalah anggota pasukan siluman yang punya kepandaian tinggi. Jadi sudah barang tentu dalam berjalan mereka kerahkan tenaga dalam,” kata Aditia berkilah.
“Untuk apa mengobral tenaga seperti itu?” tanya Purbajaya.
Semua diam, tidak terkecuali Aditia.
“Untuk memperlihatkan kepada kita bahwa mereka benar-benar lewat sini? Aneh, tahu dikuntit orang malah sengaja memperlihat jejak sejelas ini?” kata lagi Purbajaya.
Lagi-lagi semua diam, tidak pula Aditia.
Maka Purbajaya lanjutkan perkiraannya.
“Betul juga, jangan-jangan kita dikibuli oleh mereka,” Wista nyeletuk. Namun hal ini amat tak disenangi Aditia.
“Jadi, tapak apakah ini kalau bukan tapak manusia,” tanya Aditia mengejek.
“Kita bukan sedang berbantahan apakah ini tapak manusia atau kera. Hanya aku katakan kalau mereka sebenarnya tengah mengecoh kita. Mungkin mereka pernah sampai tempat ini. Namun ini bukan tujuan mereka untuk lewat sini,” kata Purbajaya.
“Aku tak paham jalan pikiranmu,” bantah Aditia.
“Begini,” potong lagi Purbajaya. ”Mereka berjalan dulu sampai sini, lantas mereka kembali lagi menuju jalan pedati.”
“Tidak kulihat telapak kaki mereka pulang kembali ke arah berlawanan…” bantah Aditia bingung.
“Memang tidak terlihat sebab mereka menapakkan kakinya kepada bekas jejak mereka sendiri. Wista, coba kau peragakan,” kata Purbajaya menyuruh Wista.
“Musti bagaimana?” Wista bingung.
“Coba jejakkan sepasang kakimu, musti pas di telapak yang ini,” Purbajaya memandu Wista untuk menjejakkan kaki di bekas telapak kaki yang sudah ada.
“Ya, sudah. Lantas, bagaimana?” tanya Wista.
“Sekarang kau berjalan mundur sambil kakimu tetap ikut nebeng ke jejak telapak lama,” kata Purbajaya.
Wista mengikuti perintah ini. Dengan hati-hati dia berjalan mundur dan telapak kakinya menginjak pas kepada jejak lama.
“Nah, mereka kembali ke jalan pedati dengan cara seperti itu. Lihatlah, jejak semakin dalam sebab jejak itu diinjak dua kali,” kata Purbajaya pasti.
Yaksa dan Wista bimbang. Mereka menatap Aditia dan tak berani salah bicara.
“Mungkin begitu tapi belum tentu begitu…” kata Aditia dengan nada suara yang tak pasti. ”Tapi mari kita ikuti saja sampai ke mana telapak kaki ini melangkah. Siapa tahu, pendapatkulah yang benar,” kata Aditia akhirnya.
“Lanjutkanlah dulu penelusuranmu,” kata Purbajaya pada Aditia.
Maka mereka pun melangkah kembali. Tapi semakin dalam masuk hutan, semakin gelap juga keadaan. Matahari sudah tak tembus ke tanah saking lebatnya dedaunan. Dan yang lebih parah, kenyataan membuktikan, telapak itu bohong sebab terputus begitu saja.
“Mengapa kau merandek, Aditia?” tanya Yaksa heran.
“Jejak itu hilang…” Aditia kecewa.
Yaksa dan Wista nampak lebih kecewa lagi. Mereka berdua mengeluh sambil menyeka keringat deras di wajahnya. Jejak itu ketika tiba di hutan yang agak terbuka seperti menghilang begitu saja. Sepertinya para pemilik jejak kaki itu langsung terbang ke langit.
“Mustahil hilang begitu saja…” gumam Aditia.
“Tentu tidak mustahil kalau pendapatku diterima,” jawab Purbajaya.
“Ya, kalau begitu pendapat Si Purbalah yang benar,” kata Wista.
“Sialan, kita ditipu mereka…” omel Yaksa sambil memeriksa lukanya yang masih.
“Kita kena tipu karena kebodohan Aditia. Coba kalau tadi menurut apa kata Si Purba, takkan begini jadinya,” Wista jadi menimpakan kesalahan ini kepada Aditia.
“Kalau Si Purba pandai, mengapa dia ikut kita juga? Mustinya dia tetap bertahan dengan pendapatnya kalau benar-benar merasa yakin,” Aditia tak mau disalahkan.
UPAYA kembali mencari jalan pedati dilakukan dengan saling salah-menyalahkan. Di sepanjang jalan Wista kerjanya mengomel sebab akibat dari kekeliruan ini tenaga jadi terkuras dengan percuma.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment