“Harta yang kita bawa dan bernilai tinggi, berceceran begitu saja. Hanya membuktikan, mereka tak butuh harta,” kata Purbajaya sambil menunjuk ke arah belukar di mana peti-peti berserakan. Isinya porak-poranda begitu saja “Sepertinya mereka melecehkan apa yang sebenarnya kita anggap berharga,” sambung Purbajaya lagi.
“Gan Bagus, lihatlah, golek emas mereka cincang habis-habisan. Mereka memang mau menghina kita,” kata Paman Ranu memunguti benda berharga itu.
Ki Bagus Sura terhenyak. Hatinya mungkin marah melihat barang cinderamata yang sedianya akan dikirimkan sebagai lambang persahabatan antar negri, dicincang tak berguna seperti itu.
“Benar, mereka sengaja menghina kita, Sumedang dan Talaga…” gumam Ki Bagus Sura.
“Mengapa begitu?” tanya Purbajaya.
“Karena Sumedang dan Talaga bersaudara…“
“Ya, aku pun tahu,” potong Ki Dita. ”Kangjeng Sunan Parung penguasa Talaga mempersunting salah seorang putri dari Sumedanglarang, sementara permesuri Kangjeng Pangeran Santri pun beristrikan putri Kangjeng Sunan. Dengan demikian, Sumedang dan Talaga bersaudara dekat. Hanya saja, apa hubungannya dengan pasukan siluman sehingga mereka membenci dua negri ini?” tanya Ki Dita lebih berupa menyelidik ketimbang sekadar ingin tahu. Dan ini sedikit mengherankan hati Purbajaya.
“Aku hanya bisa menduga-duga saja.” gumam Ki Bagus Sura,”Tapi kukira ini erat kaitannya dengan perasaan sakit hati,” lanjutnya setengah berpikir.
“Sakit hati karena apa?” desak Ki Dita.
“Hhh…. Kita semua tahu. kehadiran agama kita tidak selalu mulus diterima semua pihak. Ternyata di Sindangkasih banyak pengikut Nyi Rambut Kasih bersimpati kepada ratunya. Mereka tak menganggap Sang Ratu mundur dari percaturan kehidupan bernegara secara sukarela namun pergi sambil memendam kesedihan dan kekecewaan. Mereka yang bersimpati, sepertinya merasa ikut sedih. Dari sekadar bersedih menjadi sakit hati dan marah lantas secara spontan membalas dendam. Kepada siapa mereka balas dendam? Tentu kepada siapa saja yang mereka anggap telah menyakiti ratunya. Salah satu di antaranya adalah Sumedanglarang dan Talaga yang mereka anggap tidak membela kepentingan Sindangkasih,” tutur Ki Bagus Sura mengeluarkan persangkaannya.
“Mundurnya Nyi Rambut Kasih dari keraton, dinilai para pengikutnya sebagai kekalahan dan keterdesakan oleh kehidupan zaman baru. Ini amat menyakitkan hati mereka. Makanya mereka marah dan mengganggu kita,” sambung Ki Bagus Sura lagi.
“Mereka melakukan pembunuhan juga?” tanya Purbajaya.
“Sejauh yang aku ketahui, mereka tak membunuh. Namun demikian, mereka meresahkan semua orang. Kaum saudagar terganggu dalam usahanya, begitu pun perjalanan kenegaraan,” ujar Ki Bagus Sura mengeluh.
“Mereka membunuh atau tidak kalau bisa kita ringkus atau mungkin harus dibunuh! Segala macam pengacau yang meresahkan masyarakat harus kita tumpas habis,” kata Aditia bersemangat.
“Betul. Bunuh mereka!” teriak Wista tak kalah semangatnya.
Namun baru saja ucapannya berhenti, dari semak belukar muncul seseorang. Ini sungguh mengejutkan semua orang. Sehingga secara reflek, Wista meloncat sembunyi di balik pohon besar.
“Tangkap penjahat!” teriak Aditia sambil cepat berdiri.
Selanjutnya, tanpa ragu dia menerjang orang asing itu. Yaksa yang tubuhnya dibebat karena luka-lukanya, segera memberikan bantuan dan ikut menyerang. Belakangan Wista pun keluar dari tempat sembunyi dan ikut menerjang lawan. Mungkin Wista sudah mulai hilang rasa takutnya, apalagi lawan yang diserang hanya satu orang saja.
Kejadian ini terlalu cepat sehingga yang lainnya hanya terpaku menyaksikan tiga orang murid Ki Dita mengeroyok seorang asing. Purbajaya khawatir sebab tiga orang muda semberono itu tidak mengukur dulu tingkat kepandaian lawan. Tahu-tahu ketiga orang itu menjerit kesakitan karena tubuh-tubuh mereka terlontar. Tubuh Yaksa dan Aditia terlontar dan menumbuk batang pohon. Tapi yang paling bahaya adalah nasib Wista. Terlihat dia hendak dipukul telak di bagian dadanya oleh si penyerang asing itu. Orang yang paling berdiri dekat kepada Wista hanyalah Purbajaya.
Dengan demikian, hanya Purbajaya seorang yang memiliki peluang dalam menyelamatkan pemuda itu. Purbajaya pun sadar akan hal ini. Maka begitu pukulan orang itu meluncur deras ke dada Wista, Purbajaya segera meloncat dengan cepat. Dan dengan tenaga sepenuhnya, tangan kanan Purbajaya menyampok serangan lawan.
“Plak! Plak!” Pukulan orang itu tertahan dan pergelangan tangan Purbajaya terasa ngilu dan sakit. Namun nyawa pemuda Wista menjadi selamat.
Wista gembira tapi Purbajaya meringis. Pukulan orang itu sungguh keji, dikerahkan dengan tenaga penuh dan kalau kena dengan telak orang yang dipukul pasti tewas. Purbajaya yang menahan pukulan itu dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya masih terasa bergetar dan urat-urat di tangan serasa menegang mau putus.
Namun Purbajaya pun melihat, betapa lelaki itu pun nampak meringis dan wajahnya menampakkan perasaan terkejut. Namun demikian, orang asing yang usianya kira-kira di atas limapuluh itu seperti tak merasakan benturannya tadi karena langsung melakukan serangan susulan. Kali ini yang diserangnya adalah Purbajaya.
Ternyata gerakan lelaki setengah tua ini cepat dan mantap. Kali ini Purbajaya tak berani membiarkan tangannya saling bentur dengan tangan lawan. Dia menyadari, tenaga dalam lelaki ini setingkat di atasnya. Kalau selalu memaksakan diri mengadu tenaga dalam, tentu Purbajaya yang akan repot. Oleh sebab itu, kini Purbajaya kerjanya hanya main kelit saja dan baru melepaskan serangan kalau ada peluang untuk itu.
Ki Dita merasa tidak sabar melihat pertempuran kecil yang terlihat bertele-tele ini. Oleh sebab itu, dia segera melibatkan diri ke dalam arena pertempuran. Dikeroyok dua oleh Ki Dita dan Purbajaya, lelaki asing itu tidak menjadikan dirinya gentar. Malah terlihat dia semakin meningkatkan kemampuannya. Dan nyatanya, lelaki setengah baya ini sungguh hebat. Kendati dikeroyok dua, tak memperlihatkan kepanikan, bahkan sanggup mengatur irama permainan dengan baik sehingga perkelahian jadi seimbang.
Hanya saja Purbajaya bisa menduga, permainan jadi seimbang lantaran antara dia dan Ki Dita tidak bekerja sama. Sekali pun main berdua tapi keduanya bekerja sendiri-sendiri tidak saling menutupi kelemahan teman. Bahkan ada kecenderungan, Ki Dita membiarkan serangan lawan yang mengarah dirinya dan lebih mementingkan serangan dirinya ke arah lawan. Akhirnya begitu pun yang dilakukan Purbajaya. Karena Ki Dita tidak berupaya menutupi kekosongan, maka dia hanya asyik melakukan serangan dan tepisan yang sekiranya menguntungkan dirinya saja. Akibat main sendiri-sendiri, beberapa kali lawan hampir sanggup menerobos masuk baik ke arah Purbajaya mau pun ke arah Ki Dita.
“Dasar anggota pasukan siluman, gerakanmu jahat dan kejam!” teriak Ki Dita gemas.
“Kalian orang Pajajaran kerjanya licik main keroyok!” lelaki itu balas memaki.
“Aku bukan orang Pajajaran!” teriak Ki Dita hendak mengemplang ubun-ubun orang itu namun bisa dihindarkan dengan enteng.
“Gan Bagus, lihatlah, golek emas mereka cincang habis-habisan. Mereka memang mau menghina kita,” kata Paman Ranu memunguti benda berharga itu.
Ki Bagus Sura terhenyak. Hatinya mungkin marah melihat barang cinderamata yang sedianya akan dikirimkan sebagai lambang persahabatan antar negri, dicincang tak berguna seperti itu.
“Benar, mereka sengaja menghina kita, Sumedang dan Talaga…” gumam Ki Bagus Sura.
“Mengapa begitu?” tanya Purbajaya.
“Karena Sumedang dan Talaga bersaudara…“
“Ya, aku pun tahu,” potong Ki Dita. ”Kangjeng Sunan Parung penguasa Talaga mempersunting salah seorang putri dari Sumedanglarang, sementara permesuri Kangjeng Pangeran Santri pun beristrikan putri Kangjeng Sunan. Dengan demikian, Sumedang dan Talaga bersaudara dekat. Hanya saja, apa hubungannya dengan pasukan siluman sehingga mereka membenci dua negri ini?” tanya Ki Dita lebih berupa menyelidik ketimbang sekadar ingin tahu. Dan ini sedikit mengherankan hati Purbajaya.
“Aku hanya bisa menduga-duga saja.” gumam Ki Bagus Sura,”Tapi kukira ini erat kaitannya dengan perasaan sakit hati,” lanjutnya setengah berpikir.
“Sakit hati karena apa?” desak Ki Dita.
“Hhh…. Kita semua tahu. kehadiran agama kita tidak selalu mulus diterima semua pihak. Ternyata di Sindangkasih banyak pengikut Nyi Rambut Kasih bersimpati kepada ratunya. Mereka tak menganggap Sang Ratu mundur dari percaturan kehidupan bernegara secara sukarela namun pergi sambil memendam kesedihan dan kekecewaan. Mereka yang bersimpati, sepertinya merasa ikut sedih. Dari sekadar bersedih menjadi sakit hati dan marah lantas secara spontan membalas dendam. Kepada siapa mereka balas dendam? Tentu kepada siapa saja yang mereka anggap telah menyakiti ratunya. Salah satu di antaranya adalah Sumedanglarang dan Talaga yang mereka anggap tidak membela kepentingan Sindangkasih,” tutur Ki Bagus Sura mengeluarkan persangkaannya.
“Mundurnya Nyi Rambut Kasih dari keraton, dinilai para pengikutnya sebagai kekalahan dan keterdesakan oleh kehidupan zaman baru. Ini amat menyakitkan hati mereka. Makanya mereka marah dan mengganggu kita,” sambung Ki Bagus Sura lagi.
“Mereka melakukan pembunuhan juga?” tanya Purbajaya.
“Sejauh yang aku ketahui, mereka tak membunuh. Namun demikian, mereka meresahkan semua orang. Kaum saudagar terganggu dalam usahanya, begitu pun perjalanan kenegaraan,” ujar Ki Bagus Sura mengeluh.
“Mereka membunuh atau tidak kalau bisa kita ringkus atau mungkin harus dibunuh! Segala macam pengacau yang meresahkan masyarakat harus kita tumpas habis,” kata Aditia bersemangat.
“Betul. Bunuh mereka!” teriak Wista tak kalah semangatnya.
Namun baru saja ucapannya berhenti, dari semak belukar muncul seseorang. Ini sungguh mengejutkan semua orang. Sehingga secara reflek, Wista meloncat sembunyi di balik pohon besar.
“Tangkap penjahat!” teriak Aditia sambil cepat berdiri.
Selanjutnya, tanpa ragu dia menerjang orang asing itu. Yaksa yang tubuhnya dibebat karena luka-lukanya, segera memberikan bantuan dan ikut menyerang. Belakangan Wista pun keluar dari tempat sembunyi dan ikut menerjang lawan. Mungkin Wista sudah mulai hilang rasa takutnya, apalagi lawan yang diserang hanya satu orang saja.
Kejadian ini terlalu cepat sehingga yang lainnya hanya terpaku menyaksikan tiga orang murid Ki Dita mengeroyok seorang asing. Purbajaya khawatir sebab tiga orang muda semberono itu tidak mengukur dulu tingkat kepandaian lawan. Tahu-tahu ketiga orang itu menjerit kesakitan karena tubuh-tubuh mereka terlontar. Tubuh Yaksa dan Aditia terlontar dan menumbuk batang pohon. Tapi yang paling bahaya adalah nasib Wista. Terlihat dia hendak dipukul telak di bagian dadanya oleh si penyerang asing itu. Orang yang paling berdiri dekat kepada Wista hanyalah Purbajaya.
Dengan demikian, hanya Purbajaya seorang yang memiliki peluang dalam menyelamatkan pemuda itu. Purbajaya pun sadar akan hal ini. Maka begitu pukulan orang itu meluncur deras ke dada Wista, Purbajaya segera meloncat dengan cepat. Dan dengan tenaga sepenuhnya, tangan kanan Purbajaya menyampok serangan lawan.
“Plak! Plak!” Pukulan orang itu tertahan dan pergelangan tangan Purbajaya terasa ngilu dan sakit. Namun nyawa pemuda Wista menjadi selamat.
Wista gembira tapi Purbajaya meringis. Pukulan orang itu sungguh keji, dikerahkan dengan tenaga penuh dan kalau kena dengan telak orang yang dipukul pasti tewas. Purbajaya yang menahan pukulan itu dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya masih terasa bergetar dan urat-urat di tangan serasa menegang mau putus.
Namun Purbajaya pun melihat, betapa lelaki itu pun nampak meringis dan wajahnya menampakkan perasaan terkejut. Namun demikian, orang asing yang usianya kira-kira di atas limapuluh itu seperti tak merasakan benturannya tadi karena langsung melakukan serangan susulan. Kali ini yang diserangnya adalah Purbajaya.
Ternyata gerakan lelaki setengah tua ini cepat dan mantap. Kali ini Purbajaya tak berani membiarkan tangannya saling bentur dengan tangan lawan. Dia menyadari, tenaga dalam lelaki ini setingkat di atasnya. Kalau selalu memaksakan diri mengadu tenaga dalam, tentu Purbajaya yang akan repot. Oleh sebab itu, kini Purbajaya kerjanya hanya main kelit saja dan baru melepaskan serangan kalau ada peluang untuk itu.
Ki Dita merasa tidak sabar melihat pertempuran kecil yang terlihat bertele-tele ini. Oleh sebab itu, dia segera melibatkan diri ke dalam arena pertempuran. Dikeroyok dua oleh Ki Dita dan Purbajaya, lelaki asing itu tidak menjadikan dirinya gentar. Malah terlihat dia semakin meningkatkan kemampuannya. Dan nyatanya, lelaki setengah baya ini sungguh hebat. Kendati dikeroyok dua, tak memperlihatkan kepanikan, bahkan sanggup mengatur irama permainan dengan baik sehingga perkelahian jadi seimbang.
Hanya saja Purbajaya bisa menduga, permainan jadi seimbang lantaran antara dia dan Ki Dita tidak bekerja sama. Sekali pun main berdua tapi keduanya bekerja sendiri-sendiri tidak saling menutupi kelemahan teman. Bahkan ada kecenderungan, Ki Dita membiarkan serangan lawan yang mengarah dirinya dan lebih mementingkan serangan dirinya ke arah lawan. Akhirnya begitu pun yang dilakukan Purbajaya. Karena Ki Dita tidak berupaya menutupi kekosongan, maka dia hanya asyik melakukan serangan dan tepisan yang sekiranya menguntungkan dirinya saja. Akibat main sendiri-sendiri, beberapa kali lawan hampir sanggup menerobos masuk baik ke arah Purbajaya mau pun ke arah Ki Dita.
“Dasar anggota pasukan siluman, gerakanmu jahat dan kejam!” teriak Ki Dita gemas.
“Kalian orang Pajajaran kerjanya licik main keroyok!” lelaki itu balas memaki.
“Aku bukan orang Pajajaran!” teriak Ki Dita hendak mengemplang ubun-ubun orang itu namun bisa dihindarkan dengan enteng.
“Aku pun bukan anggota pasukan siluman!” teriak lelaki itu balas hendak membabat betis Ki Dita dari bawah.
“Hentikan pertempuran!” teriak Ki Bagus Sura. Dan ketiga orang itu serentak berhenti.
“Siapa kau sebenarnya?” tanya Ki Dita penuh selidik.
“Kalian pun siapa? Aku mengira malah kalianlah anggota pasukan siluman sebab kalian berada di tempat tersembunyi seperti ini,” kata lelaki asing itu balik menduga.
“Sudahlah, hentikan pertikaian,” cegah Ki Bagus Sura, ”Aku tahu, di antara kita semua telah terjadi salah paham.” ujarnya lagi.
Maka ketegangan pun menurun. Perhatian kini dialihkan untuk menolong Aditia dan Yaksa yang terluka karena tubuhnya menumbuk batang pohon. Ternyata mereka luka cukup parah. Yaksa apalagi karena sebelumnya pun dia sudah terluka.
“Tak ada tulang patah, kecuali memar-memar,” kata Purbajaya sesudah memeriksa tubuh dua orang itu.
“Memang hanya luka memar. Tapi di tubuh pemuda satunya lagi ada luka sabetan senjata tajam aku tak tanggung jawab,” kata si lelaki asing ikut memeriksa.
“Dia terluka diganggu perampok kemarin,” jawab Ki Bagus Sura sama memeriksa yang luka.
“Tak diduga, kami terus-terusan diganggu orang jahat…” kata Ki Dita jengkel.
“Hati-hati kalau bicara, aku bukan orang jahat. Lagi pula, kalianlah yang duluan menyerangku,” bantah lelaki asing itu kembali berang.
“Maksud kami, selain diganggu perampok, kami pun diganggu pasukan siluman. Lantas kau datang, makanya kami cepat menduga kalau kau adalah salah seorang dari mereka…” Ki Bagus Sura memberikan penjelasan sehingga kemarahan orang pemberang itu hilang kembali.
“Hahaha…“
“Kenapa kau ketawa?” Ki Dita heran dan bercuriga lagi.
“Kalau kalian diganggu pasukan siluman, aku bisa duga, kalian tentu orang Sumedang atau orang Talaga,” kata orang itu masih tertawa.
“Kami memang datang dari Sumedang… ” jawab Ki Bagus Sura.
“Pantas…“
“Tapi tak sepantasnya orang-orang dari pasukan siluman mengganggu kami,” potong Ki Bagus Sura.
“Mungkin maksudnya mengganggu orang Talaga.”
“Tapi malah kami yang diganggu. Lihatlah, barang cinderamata terbaik dari negri kami untuk dipersembahkan kepada penguasa Talaga sudah berantakan begini. Mau dikemanakan muka kami di hadapan mereka?” tanya Ki Bagus Sura putus asa.
“Itulah tujuan anggota pasukan siluman, agar hubungan dua negri kalian terganggu,” kata orang asing itu.
“Kurang ajar!” teriak Aditia geram.
“Engkau sendiri ada di pihak mana?” tanya Ki Dita kembali matanya penuh selidik.
“Mengapa tanya begitu sepertinya orang harus memihak sesuatu?” si lelaki asing malah balik bertanya.
“Memang tidak harus begitu. Tapi engkau memandang kami penuh ejekan. Mengejek berarti tak menyukai. Dan tak menyukai sama dengan memusuhi. Di zaman kini, orang harus memilih keberpihakan,” kata Aditia lantang dan bertolak pinggang padahal jelas bokongnya lagi sakit.
“Tidak, tidak begitu. Puluhan tahun aku memihak Talaga. Dan ketika Talaga bergabung dengan Cirebon, aku pun ikut dengan Cirebon. Namun demikian, tidak berarti aku memihak Cirebon. Aku ikut menyerang Pajajaran bukan mau membela Cirebon tapi karena benci Pajajaran. Itu saja,” jawab lelaki asing itu.
“Anda menyebut-nyebut Cirebon, siapakah anda sebenarnya?” Purbajaya ikut bicara.
Sebelum menjawab, lelaki itu memandang tajam kepada Purbajaya. “Sedikit-sedikit aku hapal gerakanmu tadi. Kau mirip orang Cirebon,” lelaki itu malah bicara begitu.
“Saya memang orang Cirebon… Nama saya Purbajaya murid Paman Jayaratu,” jawab Purbajaya.
Demi mendengar ucapan Purbajaya ini, nampak lelaki asing itu sedikit terkejut. “Sebetulnya aku kenal orang tua itu walau tak akrab benar. Namaku Sudireja,” jawabnya.
Purbajaya coba mengingat-ingat kalau-kalau pernah dengar nama orang ini, namun dia tak pernah ingat. Pemuda ini pun lantas meneliti Ki Sudireja.
Lelaki setengah tua ini memiliki cambang bauk yang pendek dan jarang. Barangkali tadinya habis dicukur namun dikerjakan asal-asalan saja. Bulu-bulu di cambang bauknya sudah banyak memutih karena uban, namun rambut kepalanya yang digelung ke atas dan diikat selembar kain kasar warna hitam malah bebas dari uban. Rambut yang subur itu berwarna hitam legam. Yang khas dari Ki Sudireja, bulu uban malah tumbuh subur di lubang hidungnya.
Sepasang matanya cekung dan dalam, menandakan bahwa lelaki setengah tua ini sudah banyak merasakan pahit-getirnya kehidupan di dunia. Kata Ki Sudireja, dia pun kenal Paman Jayaratu walau pun sedikit. Bisa jadi begitu sebab Paman Jayaratu pada tahun 1530 pernah ikut serta menundukkan Talaga. Di pihak manakah Ki Sudireja ketika itu? Purbajaya hendak mencoba bertanya namun Ki Sudireja nampaknya akan segera pamitan.
“Tunggu. Beri kami khabar perihal keberadaan pasukan siluman,” kata Ki Bagus Sura.
“Aku pun tengah mencari keterangan perihal mereka. Mereka harus kubunuh bila berani mengusik ketenanganku!” katanya berang. Ki Sudireja meloncat dan menghilang di balik rimbunan pohon.
Maka tinggallah rombongan muhibah yang kebingungan. Mereka bingung untuk melanjutkan perjalanan. Bukan saja karena Aditia dan Yaksa menderita luka, namun karena membingungkan barang cindera mata yang tak bisa terselamatkan. Semuanya rusak dan tak mungkin dikirimkan kepada yang berhak. Untuk yang pertama kalinya Ki Bagus Sura dan Ki Dita berunding memecahkan persoalan.
“Mereka mencari jalan pemecahan, bagaimana tindakan selanjutnya. Apakah akan dilanjutkan menuju Talaga dengan risiko mendapat malu ataukah kembali pulang tapi juga menerima teguran keras dari Kangjeng Pangeran lantaran tak sanggup mengerjakan titah dengan baik?
“Tapi kukira kita semua harus melanjutkan ke Talaga,” kata Ki Bagus Sura dan wajahnya nampak terkejut. Dengan tergopoh-gopoh dia memburu peti-peti cendana berukir indah itu untuk meneliti sesuatu. Dan sesudah melakukan hal itu, mendadak wajahnya pucat-pasi.
“Ada apa?” tanya Ki Dita.
“Ada yang hilang…” gumam Ki Bagus Sura masih pucat pasi.
“Kukira lengkap. Tak ada peti yang hilang.”
“Ya, tapi isinya ada yang hilang,” kata lagi Ki Bagus Sura.
“Semua benda berharga jumlahnya ada enam, sesuai dengan jumlah peti enam buah. Jadi, benda apa yang hilang?” Ki Dita jengkel dengan penjelasan Ki Bagus Sura yang dianggapnya membingungkan ini.
“Ya, peti seluruhnya berjumlah enam buah dan masing-masing diisi sebuah benda cinderamata, kecuali satu peti ditambah oleh sebuah surat daun lontar yang disusun rapi dalam sebuah ikatan benang berwarna. Itu adalah surat penting dari Kangjeng Pangeran dari Sumedang buat Kangjeng Sunan di Talaga,” Ki Bagus Sura menerangkan.
“Tidak pernah kudengar sebelumnya. Kau merahasiakan satu hal kepada kami, Bagus,” kata Ki Dita tersinggung.
“Itu yang diinginkan Kangjeng Pangeran. Surat itu bersifat penting dan rahasia. Supaya bisa sampai ke tujuan, maka harus dirahasiakan pula. Makanya hanya aku yang tahu. Belakangan, ternyata pasukan siluman pun tahu…” kata Ki Bagus Sura bingung dan panik.
“Kalau begitu, pasukan siluman mencegat kita karena mau merebut surat itu, Ki Bagus,” kata Purbajaya.
“Kukira benar begitu,” gumam Ki Bagus Sura.
“Artinya musti ada yang beri tahu kalau rombongan ini sebetulnya tengah membawa surat penting untuk Talaga,” kata lagi Purbajaya.
“Ya, siapa yang memberi tahu?” Wista meneliti semua orang tapi matanya malah paling lama hinggap di mata Purbajaya.
“Ada anggota pasukan siluman di antara kita. Paling tidak, salah seorang pasti berlaku khianat,” kata Wista kembali meneliti wajah semua orang dan lagi-lagi hinggap paling lama di wajah Purbajaya sehingga amat menyebalkan perasaan Purbajaya sendiri.
“Kita harus mengejar pasukan siluman,” kata Ki Bagus Sura mengepalkan tinju.
“Apa? Kau katakan kita, Ki Bagus?” tanya Ki Dita.
“Aku tak mau ikut,” bantah Aditia.
“Kita harus mengejar mereka. Di perjalanan kita sehidup-semati. Lagi pula kita ini satu kesatuan dalam mengemban misi,” Purbajaya ikut menyela.
“Misi pelatihan bolehlah. Dan kau lihat, betapa tubuh kami tambal sulam begini, ini hanya menandakan bahwa kami sudah selesaikan tugas dengan baik. Tapi urusan tugas yang dirahasiakan, hanya yang tahu saja yang musti bertanggung jawab!” kata Aditia. Semua teman-temannya mengangguk setuju kepada ucapan Aditia.
Mendengar perkataan Aditia, Ki Bagus Sura mengangguk dengan wajah kecut. “Tak apa kalian tidak ikut sebab memang hanya aku yang tahu akan tugas rahasia ini,” Ki Bagus Sura memutuskan.
“Kita semua harus ikut,” kata Purbajaya berpendapat.
“Ayo ikutlah engkau agar lekas mati dibantai pasukan siluman,” kata Aditia sinis, ”Tapi aku sama sekali tak berminat. Mengapa semua orang harus bertanggung-jawab sementara jauh sebelumnya kami tak diberitahu akan adanya tugas amat penting ini? Kalau jauh hari kami diberi amanat barangkali akan sama-sama menjaganya sampai titik darah penghabisan,” kata lagi Aditia.
“Engkau mungkin benar,. Maka tinggallah di sini,” kata Ki Bagus Sura.
“Saya ikut…” kata Purbajaya menyela.
“Kita semua memang harus ikut. Apa pun jadinya, pada akhirnya kita semua harus bertanggung-jawab,” Ki Dita memutuskan.
Aditia bimbang. Dia menatap bergantian kepada dua orang sahabatnya. Tapi baik Yaksa mau pun Wista melangkah mendekati Ki Dita. Barangkali sebagai isyarat kalau mereka berdua terpaksa setuju pendapat gurunya.
“Baik. Paling tidak kita harus tahu, benda apa yang oleh kita musti dipertaruhkan dengan darah dan nyawa ini,” Aditia memberi “kelonggaran” kepada pendapatnya sendiri.
Namun ucapan Aditia ini seperti ada benarnya. Buktinya semua orang terpengaruh ucapannya dan sama-sama menatap tajam kepada Ki Bagus Sura. Rupanya semua orang sama merasa penasaran, surat penting apakah itu sehingga pasukan siluman pun tertarik untuk menjegalnya di tengah jalan.
Ki Bagus Sura mungkin sadar kalau tatapan mata semua orang menekannya. “Bagaimana mungkin sesuatu yang bernama rahasia musti diketahui banyak orang? Tapi percayalah, isinya adalah untuk kepentingan kita bersama: Sumedanglarang dan Karatuan Talaga. Namun bila surat daun lontar itu jatuh ke tangan orang yang tak berhak, akibatnya akan berbahaya. Itulah sebabnya kita musti berupaya merebut surat itu,” kata Ki Bagus Sura menghindari tekanan.
Purbajaya menundukkan wajah. Dia sadar kalau dia pun sebenarnya ikut mendesak agar Ki Bagus Sura membeberkan isi surat rahasia. Sungguh tak pantas memaksa orang yang karena misinya dipercayai atasan untuk memendam sebuah rahasia.
Aditia dan teman-temannya memberengut sebagai tanda tak puas. Namun Ki Dita sendiri tidak menampakkan wajah kecewa. Malah sebaliknya, wajah orang tua ini cerah. Sesuatu yang tak dimengerti oleh Purbajaya.
“Kita harus berpacu melawan waktu. Semakin cepat kita mengejar, akan semakin besar peluang kita untuk bisa menyusul mereka,” Ki Bagus Sura mengajak semua orang untuk berangkat.
Namun perjalanan kali ini mungkin semakin sulit, mengingat kuda mereka semuanya lenyap entah ke mana. Mungkin kabur mungkin juga dirampas pasukan siluman.
“Sebaiknya kita kuntit Ki Sudireja. Sebab bukankah orang itu pun tengah mengikuti jejak pasukan siluman?” kata Purbajaya berpendapat. Dan pendapatnya ini diiyakan oleh Ki Bagus Sura.
Semua pun akhirnya sepakat untuk mengikuti jejak Ki Sudireja. Hanya saja Wista dan Yaksa di sepanjang jalan mengomel panjang-pendek lantaran hilangnya kuda-kuda mereka. Dengan lenyapnya tunggangan itu, mereka akan berjalan kaki. Dan bagi mereka ini amat menyebalkannya.
Perjalanan kembali dilanjutkan. Mula-mula mereka harus berusaha menemukan kembali jalan pedati. Dan Purbajaya harus memuji kebolehan pasukan siluman. Mereka sanggup membawa tawanan dalam keadaan pingsan ke sebuah tempat yang jauh dari jalan dan sulit untuk dirambah. Mereka harus membawa tawanan menuruni ngarai dan menyebrangi sungai berbatu dengan airnya yang jernih dan deras. Berapa orangkah jumlah mereka sehingga sanggup mengangkut tujuh orang pingsan? Untuk apa pula mereka mengangkut tawanan sejauh ini? Barangkali tak ada maksud tertentu kecuali sengaja memperlihatkan bahwa mereka orang-orang hebat.
Sungguh misterius pasukan itu. Namanya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri. Pasukan Siluman? Sungguh menakutkan. Apakah Nyi Rambut Kasih pun sama menakutkan?
Mendengar nama pasukan yang menyertakan istilah siluman, bahwa masih ada dendam dan ketidak relaan “Nyi Rambut Kasih” akan kehadiran kekuatan baru di muka bumi ini. Namun, betulkah demikian? Bukankah Nyi Rambut Kasih telah mengundurkan diri dari percaturan dunia? Bukankah sudah dikatakan oleh semua orang bahwa Nyi Rambut Kasih secara baik-baik mundur dari kehidupan guna memberikan kesempatan kepada sebuah zaman yang baru?
Peristiwa ini sudah lama berlalu, sudah lebih dari enampuluh tahun lamanya. Kalau pun Nyi Rambut Kasih ada, barangkali hari ini usianya sudah sedemikian lanjut. Mungkinkah seorang nenek renta bisa memimpin sebuah pasukan yang demikian hebat? Mungkinkah seorang tua masih memendam dendam dan emosi sehingga bisa menggerakkan sebuah pasukan?
Pengalaman membuktikan, banyak ratu (pemimpin) dituding bersalah padahal belum tentu dia sendiri yang melakukannya. Ratu punya abdi dalem (aparat). Kalau perintah ratu bisa dijalankan dengan benar oleh abdi dalem, maka nama baik sang ratu akan terpelihara. Namun sebaliknya bila aparat tak bisa menjalankan amanat dengan benar, maka sang ratu pun akan terkena getahnya.
Bukan sesuatu hal yang mustahil ada abdi dalem yang bekerja sendiri dengan selera sendiri dan diabdikan buat kepentingan sendiri tapi akibat dari perbuatannya, ratulah yang musti bertanggung-jawab.
Penguasa Pajajaran bernama Sang Prabu Ratu Sakti yang tengah memerintah kini (1543-1551 Masehi) banyak dipersalahkan rakyatnya karena gaya kepemimpinannya keras dan menekan rakyat. Rakyat menderita karena khabarnya selalu ditekan oleh penarikan seba (pajak) yang berat. Namun selentingan juga mengatakan bahwa tindakan-tindakan keras ini dilakukan secara sendiri oleh para abdi dalemnya. Mereka inginkan, tugas yang diamanatkan oleh ratu bisa berjalan dengan baik dan hasilnya besar. Semakin besar kesuksesan pekerjaan seorang abdi dalem maka akan semakin besar pula kepercayaan dan penghargaan sang ratu kepadanya. Maka untuk mengejar “upah” seperti ini, abdi dalem bersikap menekan kepada yang di bawah.
Mungkin demikian halnya dengan Nyi Rambut Kasih. Barangkali benar sang ratu di Sindangkasih ini secara sukarela telah memberikan kesempatan bagi penguasa hidup untuk mengisi zaman baru. Namun tak demikian dengan aparatnya. Hilangnya sebuah negri bagi sang aparat berarti hilangnya sebuah kesempatan bagi keberadaannya. Tergantikannya sebuah suksesi kepemerintahan sepertinya tergantikannya pula kekuasaan aparat di bawahnya. Jadi agar kekuasaan tidak hilang, maka dicari akal untuk mempertahankannya atau merebutnya, atau menyabotnya kalau ternyata dia terhempas oleh perubahan kekuasaan itu.
Maka kendati sudah diumumkan bahwa seluruh penduduk Sindangkasih ikut agama baru belum tentu istilah “seluruh” itu berarti semua. Yang tak setuju dengan keadaan ini memilih memberontak. Dan agar mendapatkan dukungan masa maka mereka mengatasnamakan tokoh mereka sendiri yang populer di masa itu namun hidupnya “teraniaya”. Begitu kira-kira yang tengah dipikirkan dan yang jadi dugaan hati Purbajaya.
Namun benar atau tidak dugaannya ini, yang jelas, Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih memang ada dan terasa mengganggu ketenangan masyarakat. Keutuhan persahabatan antara Sumedanglarang dan Talaga pun terganggu oleh kehadiran pasukan misterius ini.
Purbajaya amat bergairah dalam mengikuti upaya pengejaran ini. Mungkin dia ingin ikut menyelesaikan masalah keberadaan kelompok ini, namun bisa juga hanya karena rasa penasaran semata-mata. Siapa orangnya yang tak tertarik kepada masalah yang bersifat misteri? Ya, Purbajaya ingin sekali menguaknya. Kalau urusan ini bisa dia ikut selesaikan dan dilaporkan kepada penguasa di Carbon, mungkin dia akan dapat acungan jempol. Atau setidaknya orang tahu bahwa kehadiran dirinya di Carbon tidak percuma.
Sesudah cukup lama keluar-masuk belantara, akhirnya rombongan pun bisa menemukan kembali jalan pedati. Rombongan tujuh orang dengan dua orang luka ini mulai menempuh perjalanan kembali dengan jalan kaki berhubung kuda mereka hilang. Namun Wista tetap rewel dan menyayangkan kalau kuda mereka yang bagus-bagus hilang tak tentu rimbanya.
“Sudahlah. Mengapa kau kerjanya mengeluh saja?” Yaksa mengomel.
“Bukannya aku mengeluh karena aku tak bisa naik kuda tapi itu kan kuda mahal. Kau sendiri tak mungkin mampu beli,” bantah Wista sambil berjalan tertatih-tatih padahal Purbajaya tahu pemuda ini tak menderita luka apa pun.
“Hentikan pertempuran!” teriak Ki Bagus Sura. Dan ketiga orang itu serentak berhenti.
“Siapa kau sebenarnya?” tanya Ki Dita penuh selidik.
“Kalian pun siapa? Aku mengira malah kalianlah anggota pasukan siluman sebab kalian berada di tempat tersembunyi seperti ini,” kata lelaki asing itu balik menduga.
“Sudahlah, hentikan pertikaian,” cegah Ki Bagus Sura, ”Aku tahu, di antara kita semua telah terjadi salah paham.” ujarnya lagi.
Maka ketegangan pun menurun. Perhatian kini dialihkan untuk menolong Aditia dan Yaksa yang terluka karena tubuhnya menumbuk batang pohon. Ternyata mereka luka cukup parah. Yaksa apalagi karena sebelumnya pun dia sudah terluka.
“Tak ada tulang patah, kecuali memar-memar,” kata Purbajaya sesudah memeriksa tubuh dua orang itu.
“Memang hanya luka memar. Tapi di tubuh pemuda satunya lagi ada luka sabetan senjata tajam aku tak tanggung jawab,” kata si lelaki asing ikut memeriksa.
“Dia terluka diganggu perampok kemarin,” jawab Ki Bagus Sura sama memeriksa yang luka.
“Tak diduga, kami terus-terusan diganggu orang jahat…” kata Ki Dita jengkel.
“Hati-hati kalau bicara, aku bukan orang jahat. Lagi pula, kalianlah yang duluan menyerangku,” bantah lelaki asing itu kembali berang.
“Maksud kami, selain diganggu perampok, kami pun diganggu pasukan siluman. Lantas kau datang, makanya kami cepat menduga kalau kau adalah salah seorang dari mereka…” Ki Bagus Sura memberikan penjelasan sehingga kemarahan orang pemberang itu hilang kembali.
“Hahaha…“
“Kenapa kau ketawa?” Ki Dita heran dan bercuriga lagi.
“Kalau kalian diganggu pasukan siluman, aku bisa duga, kalian tentu orang Sumedang atau orang Talaga,” kata orang itu masih tertawa.
“Kami memang datang dari Sumedang… ” jawab Ki Bagus Sura.
“Pantas…“
“Tapi tak sepantasnya orang-orang dari pasukan siluman mengganggu kami,” potong Ki Bagus Sura.
“Mungkin maksudnya mengganggu orang Talaga.”
“Tapi malah kami yang diganggu. Lihatlah, barang cinderamata terbaik dari negri kami untuk dipersembahkan kepada penguasa Talaga sudah berantakan begini. Mau dikemanakan muka kami di hadapan mereka?” tanya Ki Bagus Sura putus asa.
“Itulah tujuan anggota pasukan siluman, agar hubungan dua negri kalian terganggu,” kata orang asing itu.
“Kurang ajar!” teriak Aditia geram.
“Engkau sendiri ada di pihak mana?” tanya Ki Dita kembali matanya penuh selidik.
“Mengapa tanya begitu sepertinya orang harus memihak sesuatu?” si lelaki asing malah balik bertanya.
“Memang tidak harus begitu. Tapi engkau memandang kami penuh ejekan. Mengejek berarti tak menyukai. Dan tak menyukai sama dengan memusuhi. Di zaman kini, orang harus memilih keberpihakan,” kata Aditia lantang dan bertolak pinggang padahal jelas bokongnya lagi sakit.
“Tidak, tidak begitu. Puluhan tahun aku memihak Talaga. Dan ketika Talaga bergabung dengan Cirebon, aku pun ikut dengan Cirebon. Namun demikian, tidak berarti aku memihak Cirebon. Aku ikut menyerang Pajajaran bukan mau membela Cirebon tapi karena benci Pajajaran. Itu saja,” jawab lelaki asing itu.
“Anda menyebut-nyebut Cirebon, siapakah anda sebenarnya?” Purbajaya ikut bicara.
Sebelum menjawab, lelaki itu memandang tajam kepada Purbajaya. “Sedikit-sedikit aku hapal gerakanmu tadi. Kau mirip orang Cirebon,” lelaki itu malah bicara begitu.
“Saya memang orang Cirebon… Nama saya Purbajaya murid Paman Jayaratu,” jawab Purbajaya.
Demi mendengar ucapan Purbajaya ini, nampak lelaki asing itu sedikit terkejut. “Sebetulnya aku kenal orang tua itu walau tak akrab benar. Namaku Sudireja,” jawabnya.
Purbajaya coba mengingat-ingat kalau-kalau pernah dengar nama orang ini, namun dia tak pernah ingat. Pemuda ini pun lantas meneliti Ki Sudireja.
Lelaki setengah tua ini memiliki cambang bauk yang pendek dan jarang. Barangkali tadinya habis dicukur namun dikerjakan asal-asalan saja. Bulu-bulu di cambang bauknya sudah banyak memutih karena uban, namun rambut kepalanya yang digelung ke atas dan diikat selembar kain kasar warna hitam malah bebas dari uban. Rambut yang subur itu berwarna hitam legam. Yang khas dari Ki Sudireja, bulu uban malah tumbuh subur di lubang hidungnya.
Sepasang matanya cekung dan dalam, menandakan bahwa lelaki setengah tua ini sudah banyak merasakan pahit-getirnya kehidupan di dunia. Kata Ki Sudireja, dia pun kenal Paman Jayaratu walau pun sedikit. Bisa jadi begitu sebab Paman Jayaratu pada tahun 1530 pernah ikut serta menundukkan Talaga. Di pihak manakah Ki Sudireja ketika itu? Purbajaya hendak mencoba bertanya namun Ki Sudireja nampaknya akan segera pamitan.
“Tunggu. Beri kami khabar perihal keberadaan pasukan siluman,” kata Ki Bagus Sura.
“Aku pun tengah mencari keterangan perihal mereka. Mereka harus kubunuh bila berani mengusik ketenanganku!” katanya berang. Ki Sudireja meloncat dan menghilang di balik rimbunan pohon.
Maka tinggallah rombongan muhibah yang kebingungan. Mereka bingung untuk melanjutkan perjalanan. Bukan saja karena Aditia dan Yaksa menderita luka, namun karena membingungkan barang cindera mata yang tak bisa terselamatkan. Semuanya rusak dan tak mungkin dikirimkan kepada yang berhak. Untuk yang pertama kalinya Ki Bagus Sura dan Ki Dita berunding memecahkan persoalan.
“Mereka mencari jalan pemecahan, bagaimana tindakan selanjutnya. Apakah akan dilanjutkan menuju Talaga dengan risiko mendapat malu ataukah kembali pulang tapi juga menerima teguran keras dari Kangjeng Pangeran lantaran tak sanggup mengerjakan titah dengan baik?
“Tapi kukira kita semua harus melanjutkan ke Talaga,” kata Ki Bagus Sura dan wajahnya nampak terkejut. Dengan tergopoh-gopoh dia memburu peti-peti cendana berukir indah itu untuk meneliti sesuatu. Dan sesudah melakukan hal itu, mendadak wajahnya pucat-pasi.
“Ada apa?” tanya Ki Dita.
“Ada yang hilang…” gumam Ki Bagus Sura masih pucat pasi.
“Kukira lengkap. Tak ada peti yang hilang.”
“Ya, tapi isinya ada yang hilang,” kata lagi Ki Bagus Sura.
“Semua benda berharga jumlahnya ada enam, sesuai dengan jumlah peti enam buah. Jadi, benda apa yang hilang?” Ki Dita jengkel dengan penjelasan Ki Bagus Sura yang dianggapnya membingungkan ini.
“Ya, peti seluruhnya berjumlah enam buah dan masing-masing diisi sebuah benda cinderamata, kecuali satu peti ditambah oleh sebuah surat daun lontar yang disusun rapi dalam sebuah ikatan benang berwarna. Itu adalah surat penting dari Kangjeng Pangeran dari Sumedang buat Kangjeng Sunan di Talaga,” Ki Bagus Sura menerangkan.
“Tidak pernah kudengar sebelumnya. Kau merahasiakan satu hal kepada kami, Bagus,” kata Ki Dita tersinggung.
“Itu yang diinginkan Kangjeng Pangeran. Surat itu bersifat penting dan rahasia. Supaya bisa sampai ke tujuan, maka harus dirahasiakan pula. Makanya hanya aku yang tahu. Belakangan, ternyata pasukan siluman pun tahu…” kata Ki Bagus Sura bingung dan panik.
“Kalau begitu, pasukan siluman mencegat kita karena mau merebut surat itu, Ki Bagus,” kata Purbajaya.
“Kukira benar begitu,” gumam Ki Bagus Sura.
“Artinya musti ada yang beri tahu kalau rombongan ini sebetulnya tengah membawa surat penting untuk Talaga,” kata lagi Purbajaya.
“Ya, siapa yang memberi tahu?” Wista meneliti semua orang tapi matanya malah paling lama hinggap di mata Purbajaya.
“Ada anggota pasukan siluman di antara kita. Paling tidak, salah seorang pasti berlaku khianat,” kata Wista kembali meneliti wajah semua orang dan lagi-lagi hinggap paling lama di wajah Purbajaya sehingga amat menyebalkan perasaan Purbajaya sendiri.
“Kita harus mengejar pasukan siluman,” kata Ki Bagus Sura mengepalkan tinju.
“Apa? Kau katakan kita, Ki Bagus?” tanya Ki Dita.
“Aku tak mau ikut,” bantah Aditia.
“Kita harus mengejar mereka. Di perjalanan kita sehidup-semati. Lagi pula kita ini satu kesatuan dalam mengemban misi,” Purbajaya ikut menyela.
“Misi pelatihan bolehlah. Dan kau lihat, betapa tubuh kami tambal sulam begini, ini hanya menandakan bahwa kami sudah selesaikan tugas dengan baik. Tapi urusan tugas yang dirahasiakan, hanya yang tahu saja yang musti bertanggung jawab!” kata Aditia. Semua teman-temannya mengangguk setuju kepada ucapan Aditia.
Mendengar perkataan Aditia, Ki Bagus Sura mengangguk dengan wajah kecut. “Tak apa kalian tidak ikut sebab memang hanya aku yang tahu akan tugas rahasia ini,” Ki Bagus Sura memutuskan.
“Kita semua harus ikut,” kata Purbajaya berpendapat.
“Ayo ikutlah engkau agar lekas mati dibantai pasukan siluman,” kata Aditia sinis, ”Tapi aku sama sekali tak berminat. Mengapa semua orang harus bertanggung-jawab sementara jauh sebelumnya kami tak diberitahu akan adanya tugas amat penting ini? Kalau jauh hari kami diberi amanat barangkali akan sama-sama menjaganya sampai titik darah penghabisan,” kata lagi Aditia.
“Engkau mungkin benar,. Maka tinggallah di sini,” kata Ki Bagus Sura.
“Saya ikut…” kata Purbajaya menyela.
“Kita semua memang harus ikut. Apa pun jadinya, pada akhirnya kita semua harus bertanggung-jawab,” Ki Dita memutuskan.
Aditia bimbang. Dia menatap bergantian kepada dua orang sahabatnya. Tapi baik Yaksa mau pun Wista melangkah mendekati Ki Dita. Barangkali sebagai isyarat kalau mereka berdua terpaksa setuju pendapat gurunya.
“Baik. Paling tidak kita harus tahu, benda apa yang oleh kita musti dipertaruhkan dengan darah dan nyawa ini,” Aditia memberi “kelonggaran” kepada pendapatnya sendiri.
Namun ucapan Aditia ini seperti ada benarnya. Buktinya semua orang terpengaruh ucapannya dan sama-sama menatap tajam kepada Ki Bagus Sura. Rupanya semua orang sama merasa penasaran, surat penting apakah itu sehingga pasukan siluman pun tertarik untuk menjegalnya di tengah jalan.
Ki Bagus Sura mungkin sadar kalau tatapan mata semua orang menekannya. “Bagaimana mungkin sesuatu yang bernama rahasia musti diketahui banyak orang? Tapi percayalah, isinya adalah untuk kepentingan kita bersama: Sumedanglarang dan Karatuan Talaga. Namun bila surat daun lontar itu jatuh ke tangan orang yang tak berhak, akibatnya akan berbahaya. Itulah sebabnya kita musti berupaya merebut surat itu,” kata Ki Bagus Sura menghindari tekanan.
Purbajaya menundukkan wajah. Dia sadar kalau dia pun sebenarnya ikut mendesak agar Ki Bagus Sura membeberkan isi surat rahasia. Sungguh tak pantas memaksa orang yang karena misinya dipercayai atasan untuk memendam sebuah rahasia.
Aditia dan teman-temannya memberengut sebagai tanda tak puas. Namun Ki Dita sendiri tidak menampakkan wajah kecewa. Malah sebaliknya, wajah orang tua ini cerah. Sesuatu yang tak dimengerti oleh Purbajaya.
“Kita harus berpacu melawan waktu. Semakin cepat kita mengejar, akan semakin besar peluang kita untuk bisa menyusul mereka,” Ki Bagus Sura mengajak semua orang untuk berangkat.
Namun perjalanan kali ini mungkin semakin sulit, mengingat kuda mereka semuanya lenyap entah ke mana. Mungkin kabur mungkin juga dirampas pasukan siluman.
“Sebaiknya kita kuntit Ki Sudireja. Sebab bukankah orang itu pun tengah mengikuti jejak pasukan siluman?” kata Purbajaya berpendapat. Dan pendapatnya ini diiyakan oleh Ki Bagus Sura.
Semua pun akhirnya sepakat untuk mengikuti jejak Ki Sudireja. Hanya saja Wista dan Yaksa di sepanjang jalan mengomel panjang-pendek lantaran hilangnya kuda-kuda mereka. Dengan lenyapnya tunggangan itu, mereka akan berjalan kaki. Dan bagi mereka ini amat menyebalkannya.
Perjalanan kembali dilanjutkan. Mula-mula mereka harus berusaha menemukan kembali jalan pedati. Dan Purbajaya harus memuji kebolehan pasukan siluman. Mereka sanggup membawa tawanan dalam keadaan pingsan ke sebuah tempat yang jauh dari jalan dan sulit untuk dirambah. Mereka harus membawa tawanan menuruni ngarai dan menyebrangi sungai berbatu dengan airnya yang jernih dan deras. Berapa orangkah jumlah mereka sehingga sanggup mengangkut tujuh orang pingsan? Untuk apa pula mereka mengangkut tawanan sejauh ini? Barangkali tak ada maksud tertentu kecuali sengaja memperlihatkan bahwa mereka orang-orang hebat.
Sungguh misterius pasukan itu. Namanya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri. Pasukan Siluman? Sungguh menakutkan. Apakah Nyi Rambut Kasih pun sama menakutkan?
Mendengar nama pasukan yang menyertakan istilah siluman, bahwa masih ada dendam dan ketidak relaan “Nyi Rambut Kasih” akan kehadiran kekuatan baru di muka bumi ini. Namun, betulkah demikian? Bukankah Nyi Rambut Kasih telah mengundurkan diri dari percaturan dunia? Bukankah sudah dikatakan oleh semua orang bahwa Nyi Rambut Kasih secara baik-baik mundur dari kehidupan guna memberikan kesempatan kepada sebuah zaman yang baru?
Peristiwa ini sudah lama berlalu, sudah lebih dari enampuluh tahun lamanya. Kalau pun Nyi Rambut Kasih ada, barangkali hari ini usianya sudah sedemikian lanjut. Mungkinkah seorang nenek renta bisa memimpin sebuah pasukan yang demikian hebat? Mungkinkah seorang tua masih memendam dendam dan emosi sehingga bisa menggerakkan sebuah pasukan?
Pengalaman membuktikan, banyak ratu (pemimpin) dituding bersalah padahal belum tentu dia sendiri yang melakukannya. Ratu punya abdi dalem (aparat). Kalau perintah ratu bisa dijalankan dengan benar oleh abdi dalem, maka nama baik sang ratu akan terpelihara. Namun sebaliknya bila aparat tak bisa menjalankan amanat dengan benar, maka sang ratu pun akan terkena getahnya.
Bukan sesuatu hal yang mustahil ada abdi dalem yang bekerja sendiri dengan selera sendiri dan diabdikan buat kepentingan sendiri tapi akibat dari perbuatannya, ratulah yang musti bertanggung-jawab.
Penguasa Pajajaran bernama Sang Prabu Ratu Sakti yang tengah memerintah kini (1543-1551 Masehi) banyak dipersalahkan rakyatnya karena gaya kepemimpinannya keras dan menekan rakyat. Rakyat menderita karena khabarnya selalu ditekan oleh penarikan seba (pajak) yang berat. Namun selentingan juga mengatakan bahwa tindakan-tindakan keras ini dilakukan secara sendiri oleh para abdi dalemnya. Mereka inginkan, tugas yang diamanatkan oleh ratu bisa berjalan dengan baik dan hasilnya besar. Semakin besar kesuksesan pekerjaan seorang abdi dalem maka akan semakin besar pula kepercayaan dan penghargaan sang ratu kepadanya. Maka untuk mengejar “upah” seperti ini, abdi dalem bersikap menekan kepada yang di bawah.
Mungkin demikian halnya dengan Nyi Rambut Kasih. Barangkali benar sang ratu di Sindangkasih ini secara sukarela telah memberikan kesempatan bagi penguasa hidup untuk mengisi zaman baru. Namun tak demikian dengan aparatnya. Hilangnya sebuah negri bagi sang aparat berarti hilangnya sebuah kesempatan bagi keberadaannya. Tergantikannya sebuah suksesi kepemerintahan sepertinya tergantikannya pula kekuasaan aparat di bawahnya. Jadi agar kekuasaan tidak hilang, maka dicari akal untuk mempertahankannya atau merebutnya, atau menyabotnya kalau ternyata dia terhempas oleh perubahan kekuasaan itu.
Maka kendati sudah diumumkan bahwa seluruh penduduk Sindangkasih ikut agama baru belum tentu istilah “seluruh” itu berarti semua. Yang tak setuju dengan keadaan ini memilih memberontak. Dan agar mendapatkan dukungan masa maka mereka mengatasnamakan tokoh mereka sendiri yang populer di masa itu namun hidupnya “teraniaya”. Begitu kira-kira yang tengah dipikirkan dan yang jadi dugaan hati Purbajaya.
Namun benar atau tidak dugaannya ini, yang jelas, Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih memang ada dan terasa mengganggu ketenangan masyarakat. Keutuhan persahabatan antara Sumedanglarang dan Talaga pun terganggu oleh kehadiran pasukan misterius ini.
Purbajaya amat bergairah dalam mengikuti upaya pengejaran ini. Mungkin dia ingin ikut menyelesaikan masalah keberadaan kelompok ini, namun bisa juga hanya karena rasa penasaran semata-mata. Siapa orangnya yang tak tertarik kepada masalah yang bersifat misteri? Ya, Purbajaya ingin sekali menguaknya. Kalau urusan ini bisa dia ikut selesaikan dan dilaporkan kepada penguasa di Carbon, mungkin dia akan dapat acungan jempol. Atau setidaknya orang tahu bahwa kehadiran dirinya di Carbon tidak percuma.
Sesudah cukup lama keluar-masuk belantara, akhirnya rombongan pun bisa menemukan kembali jalan pedati. Rombongan tujuh orang dengan dua orang luka ini mulai menempuh perjalanan kembali dengan jalan kaki berhubung kuda mereka hilang. Namun Wista tetap rewel dan menyayangkan kalau kuda mereka yang bagus-bagus hilang tak tentu rimbanya.
“Sudahlah. Mengapa kau kerjanya mengeluh saja?” Yaksa mengomel.
“Bukannya aku mengeluh karena aku tak bisa naik kuda tapi itu kan kuda mahal. Kau sendiri tak mungkin mampu beli,” bantah Wista sambil berjalan tertatih-tatih padahal Purbajaya tahu pemuda ini tak menderita luka apa pun.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment