Barangkali dua orang murid ini ingat pesan guru bahwa perjalanan ini dianggap sebagai ajang pelatihan semata. Kalau pun musti bertarung betulan tapi jangan sampai membunuh betulan. Begitu barangkali. Sementara beberapa hari lalu kepada Purbajaya malah dianggapnya sebagai ajang “sungguhan” dan musti membabat habis dirinya. Sialan benar, pikir Purbajaya sambil terus menyaksikan jalannya pertempuran.
Terlihat ada tiga orang yang sekaligus mencecar Aditia dengan pedangnya. Dua orang datang dari samping dan seorang lagi berada di tengah. Ketiga serangan itu diarahkan ke bagian tubuh paling lemah. Serangan dari kiri sebuah tusukan pedang mengarah perut samping bagian kiri dan serangan pedang kedua datang dari kanan akan mengarah perut bagian kanan. Sementara penyerang dari depan mengayunkan senjatanya untuk memenggal kepala.
Dengan amat cepatnya Aditia mundurkan langkah sambil doyongkan tubuh ke belakang. Kedua tusukan pedang luput tak mengarah sasaran dan ayunan dari depan yang mengarah leher pun hanya lewat sejengkal saja dari sasaran. Namun ketiga orang itu terus mencecarnya dengan serangan-serangan susulan sehingga Aditia main mundur terus padahal dari belakangnya penyerang lain mulai berdatangan pula . Dari belakangnya, ada tiga tusukan trisula yang sekaligus ingin menerobos ke punggung pemuda itu.
“Wista, bantu aku!” teriak Aditia sesudah menjatuhkan diri ke atas tanah berdebu guna menghindari tusukan tiga buah trisula.
“Purbajaya, sialan kau malah diam saja!” giliran Wista yang teriak kepada Purbajaya.
“Lho, aku kan tidak ikut latihan?” jawab Purbajaya masih menclok di atas punggung kuda.
“Bangsat! Kau ini pengecut sekali!”
Wista mencoba menyabetkan ujung cameti kuda terbuat dari ekor ikan pari ke arah wajah Purbajaya. Sudah barang tentu Purbajaya tidak mau begitu saja wajahnya kena sabetan ujung cameti. Dengan miringkan wajah sedikit saja cameti berlalu tak mengarah sasaran. Wista penasaran serangannya gagal. Maka lagi-lagi dia menyerang dengan cameti, namun juga lagi-lagi dia gagal. Karena kesal, akhirnya Wista malah mengejar-ngejar ke mana kuda Purbajaya beranjak.
Melihat adegan ganjil ini, ada beberapa anggota perampok yang ketawa karena merasa lucu. Namun Ki Dita wajahnya merah padam. Mungkin marah dan malu oleh sikap Wista.
“Wista, berhenti kau!” teriak Ki Dita gemas.
Namun ujung cameti pemuda itu sudah terlanjur melayang lagi. Dan kali ini Purbajaya sudah tak sempat lagi menjauhkan kudanya. Maka satu-satunya jalan ialah menarik ujung cameti keras-keras. Tak ayal tubuh Wista terjengkang ke depan. Celakanya, tubuh ceking itu malah jatuh di tengah arena pertempuran. Maka akibatnya, Wista pun jadi sasaran penyerangan para perampok.
Baru saja Wista berdiri, sudah disambut hujan serangan. Pemuda ceking ini berteriak dan matanya membelalak saking terkejut dan ngerinya. Dia jumpalitan beberapa kali ke belakang dan jatuh berdebuk di atas tanah keras berbatu. Sambil menyeringai kesakitan, Wista mencoba duduk. Namun baru saja hendak bernapas, serangan lain datang mencecarnya. Untuk kedua kalinya, tubuh Wista jumpalitan lagi.
Boleh jadi Wista penakut. Namun gerakan saltonya sebetulnya boleh juga. Walau pun lintang-pukang dan terlihat tak tenang, nyatanya dia berhasil menggagalkan semua serangan lawan. Menurut penilaian Purbajaya, pemuda ini sebetulnya punya bakat juga. Hanya saja yang membuat gerakannya buruk karena katenangannya diganggu rasa takut.
Yang nampak mengkhawatirkan perasaan Purbajaya malah nasib pemuda Yaksa. Dia memang pemberani namun semberono, tak beda dengan Aditia. Mungkin juga karena didasarkan pada sikapnya yang agak pemberang. Beberapa hari lalu pemuda ini ikut mengeroyok Purbajaya di taman puri Ki Bagus Sura. Pemuda ini terlihat garang dan kalau bicara selalu mengejek. Hanya menandakan Yaksa ini orang tinggi hati. Menurut Purbajaya, orang boleh berani namun sikap hati-hati tetap harus dijaga. Di sepanjang jalan, Yaksa suka berkilah kalau kejahatan tak boleh dibiarkan.
“Engkau juga orang jahat karena suka menggoda wanita!” katanya pada Purbajaya.
Yaksa tetap menuduh kalau Purbajaya telah berlaku cabul, atau sekurang-kurangnya telah mencoba merayu wanita sebab malam-malam mengobrol berduaan di taman dan itu melanggar etika sopan-santun.
Ingat ini Purbajaya senyum sendiri. Lelaki ngobrol dengan wanita masuk ke dalam tindak kejahatan. Begitu dalam kamus Yaksa. Makanya tak heran malam itu Yaksa amat marah, sama marahnya dengan Aditia. Yaksa amat bernafsu untuk memukul dan mencederai Purbajaya.
Sekarang dalam menghadapi perampok, alasan untuk melenyapkan kejahatan dari muka bumi semakin jelas. Makanya Yaksa bertempur penuh semangat walau ya, dilakukan dengan semberono. Bila Aditia hati-hati saking tak mau menyerang adalah Yaksa yang kebalikannya. Dia terus-terusan menggempur lawan kendati tak memikirkan akan risikonya. Banyak pukulan telak menghunjam tubuh lawan namun tak urung dia pun terkena beberapa sabetan senjata tajam.
Kini suasana sudah amat membahayakan ketiga orang itu. Kepungan semakin rapat dan serangan semakin gencar. Bila keadaan dibiarkan berlarut-larut tentu akan berakibat buruk kepada nasib para pemuda itu.
Purbajaya ingin minta izin untuk bergabung dan terjun ke arena pertempuran. Namun pada saat yang sama, Ki Dita sudah turun tangan. Hanya dalam waktu yang singkat, belasan anggota perampok itu lintang-pukang dihajar Ki Dita. Para perampok bagaikan daun kering tertiup angin. Tubuh-tubuh mereka beterbangan ke sana ke mari, sisanya jadi bulan-bulanan ketiga orang muda itu.
Tak ada yang mati memang. Tapi tubuh para perampok bergeletakan. Beberapa di antaranya berguling-guling sambil mengerang kesakitan. Yang tersisa mungkin yang agak jauh dari arena saja. Dan manakala melihat banyak teman-temannya rontok, mereka pun segera mengambil langkah seribu, membiarkan yang luka begitu saja.
Aditia dan Ki Dita menghampiri Yaksa yang terluka di beberapa bagian tubuhnya. Sementara Wista bergegas menghampiri Purbajaya.
“Selamat. Kau hebat, Wista… ” Purbajaya ingin menyalami pemuda itu. Namun Wista mengelak. Dan “plak-plak!”, tangan Wista melayang dua kali menampar pipi kiri dan kanan Purbajaya.
“Huh, dasar pengecut!” teriak Wista berang.
Purbajaya menatap pemuda itu dengan senyum masam.
“Kau patut dicurigai. Barangkali engkau memikirkan kami mati di sini!” teriak Wista lagi marah sekali.
Yaksa banyak menerima luka berdarah. Namun demikian, Purbajaya mendapatkan kalau itu sebenarnya hanya luka biasa dan tak membahayakan nyawanya. Untuk mengeringkan luka itu, Purbajaya sengaja mengumpulkan daun-daun sirih yang kebetulan banyak terdapat di sekitar hutan. Sesudah itu dia menghampiri Yaksa.
“Mau apa kau ke sini?” Wista yang tengah merawat luka temannya berkata ketus.
Purbajaya segera menyodorkan lembaran daun sirih.
“Tidak perlu. Pergi sana!” kata Wista menepiskan sodoran tangan Purbajaya.
Terlihat ada tiga orang yang sekaligus mencecar Aditia dengan pedangnya. Dua orang datang dari samping dan seorang lagi berada di tengah. Ketiga serangan itu diarahkan ke bagian tubuh paling lemah. Serangan dari kiri sebuah tusukan pedang mengarah perut samping bagian kiri dan serangan pedang kedua datang dari kanan akan mengarah perut bagian kanan. Sementara penyerang dari depan mengayunkan senjatanya untuk memenggal kepala.
Dengan amat cepatnya Aditia mundurkan langkah sambil doyongkan tubuh ke belakang. Kedua tusukan pedang luput tak mengarah sasaran dan ayunan dari depan yang mengarah leher pun hanya lewat sejengkal saja dari sasaran. Namun ketiga orang itu terus mencecarnya dengan serangan-serangan susulan sehingga Aditia main mundur terus padahal dari belakangnya penyerang lain mulai berdatangan pula . Dari belakangnya, ada tiga tusukan trisula yang sekaligus ingin menerobos ke punggung pemuda itu.
“Wista, bantu aku!” teriak Aditia sesudah menjatuhkan diri ke atas tanah berdebu guna menghindari tusukan tiga buah trisula.
“Purbajaya, sialan kau malah diam saja!” giliran Wista yang teriak kepada Purbajaya.
“Lho, aku kan tidak ikut latihan?” jawab Purbajaya masih menclok di atas punggung kuda.
“Bangsat! Kau ini pengecut sekali!”
Wista mencoba menyabetkan ujung cameti kuda terbuat dari ekor ikan pari ke arah wajah Purbajaya. Sudah barang tentu Purbajaya tidak mau begitu saja wajahnya kena sabetan ujung cameti. Dengan miringkan wajah sedikit saja cameti berlalu tak mengarah sasaran. Wista penasaran serangannya gagal. Maka lagi-lagi dia menyerang dengan cameti, namun juga lagi-lagi dia gagal. Karena kesal, akhirnya Wista malah mengejar-ngejar ke mana kuda Purbajaya beranjak.
Melihat adegan ganjil ini, ada beberapa anggota perampok yang ketawa karena merasa lucu. Namun Ki Dita wajahnya merah padam. Mungkin marah dan malu oleh sikap Wista.
“Wista, berhenti kau!” teriak Ki Dita gemas.
Namun ujung cameti pemuda itu sudah terlanjur melayang lagi. Dan kali ini Purbajaya sudah tak sempat lagi menjauhkan kudanya. Maka satu-satunya jalan ialah menarik ujung cameti keras-keras. Tak ayal tubuh Wista terjengkang ke depan. Celakanya, tubuh ceking itu malah jatuh di tengah arena pertempuran. Maka akibatnya, Wista pun jadi sasaran penyerangan para perampok.
Baru saja Wista berdiri, sudah disambut hujan serangan. Pemuda ceking ini berteriak dan matanya membelalak saking terkejut dan ngerinya. Dia jumpalitan beberapa kali ke belakang dan jatuh berdebuk di atas tanah keras berbatu. Sambil menyeringai kesakitan, Wista mencoba duduk. Namun baru saja hendak bernapas, serangan lain datang mencecarnya. Untuk kedua kalinya, tubuh Wista jumpalitan lagi.
Boleh jadi Wista penakut. Namun gerakan saltonya sebetulnya boleh juga. Walau pun lintang-pukang dan terlihat tak tenang, nyatanya dia berhasil menggagalkan semua serangan lawan. Menurut penilaian Purbajaya, pemuda ini sebetulnya punya bakat juga. Hanya saja yang membuat gerakannya buruk karena katenangannya diganggu rasa takut.
Yang nampak mengkhawatirkan perasaan Purbajaya malah nasib pemuda Yaksa. Dia memang pemberani namun semberono, tak beda dengan Aditia. Mungkin juga karena didasarkan pada sikapnya yang agak pemberang. Beberapa hari lalu pemuda ini ikut mengeroyok Purbajaya di taman puri Ki Bagus Sura. Pemuda ini terlihat garang dan kalau bicara selalu mengejek. Hanya menandakan Yaksa ini orang tinggi hati. Menurut Purbajaya, orang boleh berani namun sikap hati-hati tetap harus dijaga. Di sepanjang jalan, Yaksa suka berkilah kalau kejahatan tak boleh dibiarkan.
“Engkau juga orang jahat karena suka menggoda wanita!” katanya pada Purbajaya.
Yaksa tetap menuduh kalau Purbajaya telah berlaku cabul, atau sekurang-kurangnya telah mencoba merayu wanita sebab malam-malam mengobrol berduaan di taman dan itu melanggar etika sopan-santun.
Ingat ini Purbajaya senyum sendiri. Lelaki ngobrol dengan wanita masuk ke dalam tindak kejahatan. Begitu dalam kamus Yaksa. Makanya tak heran malam itu Yaksa amat marah, sama marahnya dengan Aditia. Yaksa amat bernafsu untuk memukul dan mencederai Purbajaya.
Sekarang dalam menghadapi perampok, alasan untuk melenyapkan kejahatan dari muka bumi semakin jelas. Makanya Yaksa bertempur penuh semangat walau ya, dilakukan dengan semberono. Bila Aditia hati-hati saking tak mau menyerang adalah Yaksa yang kebalikannya. Dia terus-terusan menggempur lawan kendati tak memikirkan akan risikonya. Banyak pukulan telak menghunjam tubuh lawan namun tak urung dia pun terkena beberapa sabetan senjata tajam.
Kini suasana sudah amat membahayakan ketiga orang itu. Kepungan semakin rapat dan serangan semakin gencar. Bila keadaan dibiarkan berlarut-larut tentu akan berakibat buruk kepada nasib para pemuda itu.
Purbajaya ingin minta izin untuk bergabung dan terjun ke arena pertempuran. Namun pada saat yang sama, Ki Dita sudah turun tangan. Hanya dalam waktu yang singkat, belasan anggota perampok itu lintang-pukang dihajar Ki Dita. Para perampok bagaikan daun kering tertiup angin. Tubuh-tubuh mereka beterbangan ke sana ke mari, sisanya jadi bulan-bulanan ketiga orang muda itu.
Tak ada yang mati memang. Tapi tubuh para perampok bergeletakan. Beberapa di antaranya berguling-guling sambil mengerang kesakitan. Yang tersisa mungkin yang agak jauh dari arena saja. Dan manakala melihat banyak teman-temannya rontok, mereka pun segera mengambil langkah seribu, membiarkan yang luka begitu saja.
Aditia dan Ki Dita menghampiri Yaksa yang terluka di beberapa bagian tubuhnya. Sementara Wista bergegas menghampiri Purbajaya.
“Selamat. Kau hebat, Wista… ” Purbajaya ingin menyalami pemuda itu. Namun Wista mengelak. Dan “plak-plak!”, tangan Wista melayang dua kali menampar pipi kiri dan kanan Purbajaya.
“Huh, dasar pengecut!” teriak Wista berang.
Purbajaya menatap pemuda itu dengan senyum masam.
“Kau patut dicurigai. Barangkali engkau memikirkan kami mati di sini!” teriak Wista lagi marah sekali.
Yaksa banyak menerima luka berdarah. Namun demikian, Purbajaya mendapatkan kalau itu sebenarnya hanya luka biasa dan tak membahayakan nyawanya. Untuk mengeringkan luka itu, Purbajaya sengaja mengumpulkan daun-daun sirih yang kebetulan banyak terdapat di sekitar hutan. Sesudah itu dia menghampiri Yaksa.
“Mau apa kau ke sini?” Wista yang tengah merawat luka temannya berkata ketus.
Purbajaya segera menyodorkan lembaran daun sirih.
“Tidak perlu. Pergi sana!” kata Wista menepiskan sodoran tangan Purbajaya.
Purbajaya tak banyak bicara, berjingkat menghampiri Paman Ranu.
“Paman, tolong tumbuk yang halus lembar daun sirih ini. Lantas borehkan pada luka Yaksa,” kata Purbajaya menyodorkan daun sirih.
Dengan sigapnya, Paman Ranu mengerjakan apa yang diminta Purbajaya. Sesudah itu memborehkan ramuan itu ke setiap bagian tubuh Yaksa yang luka. Melihat Yaksa mau menerima pertolongan yang bukan dari Purbajaya, pemuda ini hanya senyum masam. Aneh sekali, pikirnya. Hanya karena satu masalah saja orang bisa punya kebencian sebesar itu. Hanya satu masalah? Hanya sebesar itu? Benarkah?
Purbajaya ingat ucapan Nyimas Yuning Purnama. Betapa Aditia sakit hati karena beberapa kali cintanya ditolak, sementara gadis itu “mandah” saja dipermainkan lelaki lain.
“Tapi Aditia merasa bermasalah dengan kita bukan melulu urusan Si Yuning saja,” kata Ki Bagus Sura di saat-saat istirahat di tengah perjalanan.”Sebetulnya itu juga bawaan dari masalah ayahnya juga,” lanjut orang tua itu.
Aditia itu anak pejabat penting di Sumedanglarang bernama Ki Sanjadirja. Sesama pejabat ada yang bersaing ingin duduk paling dekat dengan Kangjeng Pangeran Santri. Untuk itu, mereka berupaya untuk menjadi orang terpercaya.
“Tahun-tahun sebelumnya, Ki Sanjadirja banyak diutus untuk melakukan kunjungan muhibah ke beberapa negara. Entah mengapa, belakangan tugas ini diserahkan Kangjeng Pangeran padaku,” tutur Ki Bagus Sura.
Tugas dipindahkan seperti ini tentu amat merisaukan Ki Sanjadirja. Dia punya kesan seolah-olah kemampuan dirinya tak terpakai. Tapi belakangan, mereka pun malah menuduh Ki Bagus Sura yang punya gara-gara. Katanya Ki Bagus Sura melakukan tindakan tak terpuji.
“Aku dituding cari muka dan katanya telah menjelek-jelekkan mereka. Padahal selahannya bukan itu. Ketika berkunjung ke wilayah Tanjungpura, pernah terjadi salah paham sehingga pejabat di sana merasa tersinggung oleh perilaku Ki Sanja. Akibatnya, tugas selanjutnya aku yang jalankan. Maka ditambah lagi oleh penolakan cinta anaknya kepada Si Yuning, maka semakin runyam hubungan kami,” tutur Ki Bagus Sura lagi.
“Pantas kalau begitu….” gumam Purbajaya. ”Tapi, adakah cara pemecahannya agar pertikaian tidak berlarut-larut?” tanya Purbajaya.
“Ini bukan sekadar piring yang pecah, namun karena kami telah bersebrangan paham. Sanjadirja itu orangnya penuh ambisi. Dia menginginkan jadi orang kuat dan hanya dia yang dipercaya pihak penguasa. Dengan seperti itu sulit akur, kecuali kita mau berada di bawah pengaruhnya dan jangan mencoba menentang kehendaknya atau bahkan menjadi pesaingnya,” kata Ki Bagus Sura.
“Mengapa Ki Bagus malah jadi pesaingnya?” tanya Purbajaya.
“Aku tak bermaksud begitu. Tujuanku hanya mengabdi. Itu saja. Kalau belakangan Kangjeng Pangeran lebih mempercayaiku, itu bukan sebuah dosa,” jawab Ki Bagus Sura.
“Hubungan Ki Bagus dengan Ki Dita bagaimana?”
“Ki Dita itu menurutku orang baik. Kelihatannya dia ingin netral. Tapi urusan kewiraan Ki Sanja yang pegang. Jadi otomatis dia ada di bawah kendali Ki Sanja. Maka tak ada anjing yang tak setia tuannya,” kata Ki Bagus Sura lagi.
Purbajaya pun bisa melihat, betapa di dalam perjalanan ini, hubungan antara Ki Bagus Sura dan Ki Dita seperti terhalang pagar tembok. Ki Dita lebih banyak bercakap-cakap dengan ketiga orang muridnya dan sebaliknya Ki Bagus Sura banyak mengobrol dengan Purbajaya atau Paman Ranu. Namun demikian, Purbajaya bisa merasakan, hanya Aditia dan dua orang temannya saja yang benar-benar memperlihatkan sikap permusuhan. Ki Dita tidak memperlihatkan sorot kebencian kecuali bersikap acuh tak acuh saja.
“Tidak bersahabat tapi kok mau melakukan perjalanan bersama?” tanya Purbajaya heran.
“Kami sama-sama mengemban tugas. Sungguh tak baik di hadapan Pangeran memperlihatkan kurangnya persatuan,” jawab Ki Bagus Sura menghela napas.
Sesudah dirasa cukup beristirahat dan sesudah dilihatnya pemuda Yaksa bisa melanjutkan perjalanan, maka mereka pun menaiki kuda masing-masing untuk meneruskan perjalanan.
Ini adalah hari kedua, hari yang bila perjalanan lancar maka seharusnya sudah tiba di tempat tujuan. Namun berhubung perjalanan dilakukan dengan santai, ditambah oleh gangguan keamanan di tengah jalan, diperkirakan perjalanan baru menempuh sepertiganya saja. Kata Ki Bagus Sura, perjalanan dua pertiganya lagi mungkin bisa diselesaikan dalam waktu dua hari perjalanan. Apalagi perjalanan jadi bertambah lamban sebab Yaksa yang masih luka tak bisa dibawa cepat. Tadi malam tubuh Yaksa bahkan menggigil karena demam. Sementara usaha Purbajaya dalam memberikan bantuan pengobatan selalu ditolaknya.
“Kalau kau tidak acuh tak acuh, barangkali Yaksa tak bakalan terluka parah,” Wista masih memendam rasa sesal yang mendalam kepada “ketololan” Purbajaya yang tak mau membantu.
“Sudah, jangan merengek seperti itu. Ini hanya akan membuat orang sombong ini jadi semakin tinggi hati,” kata Yaksa mendelik kepada Purbajaya.
“Siapa yang bilang kalau kita butuh bantuan dia?” giliran Aditia yang mendelik dengan sorot mata panas.
“Diamlah kalian. Merasa tak bisa menari jangan lantai yang disalahkan,” Ki Dita menengahi. ”Mungkin benar Yaksa terluka karena tak ada bantuan dari pihak lain. Tapi kesalahan paling mendasar adalah karena kelemahan dan ketololan kalian juga. Camkan ini, Karatuan Sumedanglarang tidak membutuhkan ksatria lemah dan dungu dan yang kerjanya hanya merengek atau menyalahkan orang. Aneh sekali, pemuda Purbajaya ini aku tak tahu entah siapa yang mengajarnya. Namun yang jelas, dia berjiwa halus dan tak banyak bicara. Sementara kalian ini lahir dari keluarga terhormat malah kerjanya uring-uringan saja. Kalian harus tahu, ilmu yang kumiliki ini mengandalkan gerakan halus. Dan gerakan halus hanya bisa dilakukan oleh orang berperangai halus juga,” kata Ki Dita dengan nada penuh sesal.
Baik Aditia mau pun Wista nampak melongo demi mendengar Ki Dita menyumpahi mereka. Bahkan Yaksa pun yang tengah luka terlihat terkejut dengan kenyataan ini.
Purbajaya bisa merasakan kekecewaan ketiga orang pemuda ini. Menurut pikiran mereka, seharusnya Ki Dita membela mereka dan bukannya malah menyumpahi sambil balik memuji “lawan”. Purbajaya ada sedikit senang dipuji Ki Dita. Namun rasa khawatirnya pun jadi tak kepalang. Bukankah dengan kejadian ini akan semakin menyulut kebencian ketiga orang muda itu terhadapnya? Purbajaya jadi merasa tak enak dibuatnya.
Sesudah percakapan ini, semuanya jadi berdiam diri. Ketiga orang itu membisu seribu bahasa. Demikian sampai perjalanan memakan waktu hampir setengah hari. Hanya desah kuda mereka yang terdengar. Atau hanya kicauan burung walik di dahan-dahan kareumbi yang terdengar berceloteh. Kini sudah memasuki kawasan hutan pinus lagi dan jalanan menaik. Perasaan Purbajaya jadi tak enak sebab perjalanan ini mengingatkannya kepada ucapan Ki Bagus Sura.
Kata orang tua itu, penghadangan oleh kaum perampok sebetulnya sudah diaggap biasa dan kebanyakan bisa ditepis karena kepandaian mereka tak seberapa. Namun yang paling mencemaskan adalah penghadangan yang dilakukan oleh orang-orang yang bermasalah dengan negara karena urusan politik.
“Mereka rata-rata punya kepandaian hebat sebab dulunya pun di negri ini termasuk orang penting juga,” kata Ki Bagus Sura.
Yang paling dicemaskan oleh Ki Bagus Sura adalah dikenalnya sebuah organisasi gelap yang ramai disebut-sebut sebagai Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih. Mereka selalu mengacaukan keamanan di sepanjang antara Sumedang dan Talaga. Mereka adalah kelompok yang sakit hati baik kepada Sumedanglarang mau pun kepada Talaga.
“Mereka sakit hati karena Karatuan Sindangkasih dibiarkan takluk kepada Carbon. Padahal keinginan mereka, baik Talaga mau pun Sumedanglarang harus bisa melindunginya sebagai negri bawahannya,” kata Ki Bagus Sura.
“Begitu kuatkah pasukan itu?” tanya Purbajaya jadi merasa khawatir.
“Benar. Disebut pasukan siluman sebab tindak-tanduknya penuh misteri. Mereka menyerang secara gelap dan melarikan diri secara gelap pula. Dalam melakukan serangan, jarang menampakkan diri. Makanya setiap yang akan melakukan perjalanan di sepanjang Sumedang-Talaga, musti berhati-hati.”
“Hebat sekali mereka…” bisik Purbajaya terkesan.
“Khabarnya mereka dibantu oleh orang-orang pandai dari Pajajaran,” jawab Ki Bagus Sura.
Jalanan semakin sempit dan menaik. Di kiri-kanannya kalau tak hutan belukar tentu jurang menganga. Sementara jalan yang dilewati terdiri dari debu tebal dan sepertinya akan menjadi lumpur tebal pula bila terjadi musim hujan.
Kini semua anggota rombongan semakin membisu. Tak banyak bicara bukan karena urusan cekcok tadi, melainkan karena rasa tegang. Tak ada wajah ceria lagi, baik di wajah Ki Dita mau pun wajah Ki Bagus Sura. Hanya Paman Ranu yang biasa. Mungkin begitu pembawaan orang tua setengah baya ini.
Agar tak terpengaruh oleh kekhawatiran semua orang, Purbajaya malah sedikit memajukan langkah kudanya. Yang jalan di muka sekarang adalah Ki Dita dan Wista. Dengan demikian, kini Purbajaya berjalan sejajar dengan Wista.
Namun ketika didekati Purbajaya, Wista hanya memalingkan wajah bahkan mencoba menarik kendali kuda agar maju agak ke depan. Hanya saja tindakan itu segera diurungkannya manakala di depannya ada hal-hal yang mencurigakan.
Matahari tak pernah tiba ke tanah di wilayah ini sebab dedaunan hutan ini begitu lebatnya. Yang ada waktu itu hanya kabut tebal melayang-layang di antara dedaunan. Purbajaya merasakan, betapa dinginnya hawa di sekitarnya. Mungkin lembah yang mereka lewati begitu dalam dan tiupan angin begitu kencang di bagian dasar lembah. Kesunyian amat mencekam. Tak ada suara burung atau pun binatang hutan di sekitarnya. Demikian miskin penghunikah hutan berkabut ini?
Purbajaya menarik tali kekang kudanya sehingga binatang itu tertahan langkahnya. Rupanya yang menahan kaki kuda bukan Purbajaya seorang. Ki Dita dan Ki Bagus Sura pun sama menghentikanlangkah kudanya masing-masing. Yang lainnya serentak berhenti karena ikut yang lain. Purbajaya menduga, baik Ki Bagus Sura mau pun Ki Dita sudah mencurigai keadaan sekelilingnya yang dirasa ganjil.
Purbajaya sejak tadi memang curiga. Mustahil di tengah hutan lebat seperti ini tidak terdengar suara binatang apa pun. Kalau sekelompok burung menjauh, binatang melata sirna dan serangga tak ada, hanya menandakan bahwa ketentraman mereka diganggu sesuatu. Apakah itu? Purbajaya saling pandang dengan Ki Bagus Sura. Sementara Ki Dita sudah lebih dahulu mengeluarkan pedangnya.
Bila Ki Dita saja sudah mempersiapkan diri, hanya menandakan bahwa bahaya besar tengah menghadang. Dan kalau dalam menghadapi perampok saja Ki Dita nampak tenang, maka mudah diduga kalau bahaya kali ini jauh lebih bahaya ketimbang perampok. Berdebar dada Purbajaya. Dia teringat penjelasan Ki Bagus Sura mengenai gangguan-gangguan apa saja yang terdapat di tengah perjalanan ini.
Kini semua orang sudah menghentikan langkah kudanya masing-masing. Semuanya duduk terpaku tak ada yang berani buka suara. Bahkan kuda-kuda pun sama tak bergerak, kecuali ekornya yang dikibas-kibaskan. Ketegangan dan rasa cemas terlihat jelas diwajah Ki Bagus Sura. Bahkan di kedinginan udara hutan berkabut ini, jidat Ki Bagus Sura nampak mengucurkan keringat.
“Benar… Merekalah yang datang!” desis Ki Bagus Sura parau.
Sepasang mata Ki Bagus Sura menatap tajam ke arah pepohonan. Purbajaya jadi penasaran, apa yang dilihat orang tua itu. Yang dilihat di pepohonan sebenarnya hanyalah kabut tebal. Namun di sela-sela kabut warna putih, terlihat pula ada kabut warna hijau, melayang tipis di sekitarnya. Kabut apakah ini? Kabut hijau ini pada mulanya hanya melayang tipis saja. Tapi makin lama makin tebal sehingga seluruh kabut berwarna hijau.
“Tutuplah hidung dan mulut!” teriak Ki Bagus Sura.
Warna hijau semakin tebal dan menutupi seluruh pandangan. Purbajaya mencoba menahan napas. Namun sampai kapan kuat bertahan, dia tak yakin sebab kabut hijau semakin tebal saja.
Hanya selintas Purbajaya melihat teman-temannya secara beruntun melorot jatuh dari atas kudanya masing-masing. Sesudah itu, pandangan matanya pun jadi gelap dan kepalanya pusing sesudah menghisap bau wewangian yang aneh tapi yang membuat dirinya mabuk.
Ketika sadar, Purbajaya mendapatkan dirinya sudah terikat di batang pohon. Masih terletak di tengah hutan lebat namun bukan di tepi jalan pedati. Melihat sekelilingnya hutan amat lebat, hanya menandakan bahwa mereka selagi pingsan diseret dari jalan pedati, entah ke daerah mana. Siapa yang menyeret mereka?
Purbajaya menoleh ke sana ke mari. Dia bersyukur. Kendati mereka sama-sama dalam keadaan terikat, namun semua anggota rombongan dalam keadaan utuh tak kurang suatu apa. Di hadapannya terlihat Ki Bagus Sura dan Ki Dita terikat di pohon berlainan.
Sementara dia sendiri berdampingan dengan Wista dan Aditia yang juga sama-sama terikat di batang pohon berbeda. Akan halnya Yaksa, pemuda itu tubuhnya tergeletak begitu saja beralaskan semak-belukar. Purbajaya semula terkejut. Dia menduga Yaksa telah jadi mayat.
Namun sesudah dilihatnya pernapasan Yaksa turun-naik dan bahkan terdengar suara dengkur, hanya menandakan pemuda ini tengah tidur pulas. Yaksa tidak diikat karena si penyerang nampaknya melihat Yaksa orang lemah karena luka-lukanya.
Suasana masih sunyi. Purbajaya tetap berdiam diri. Dia menunggu beberapa lama kalau-kalau si penyerang ada di sekitar itu. Namun ditunggu berlama-lama, tak ada gerakan mencurigakan. Dengan demikian, Purbajaya akhirnya punya kesimpulan kalau mereka sebenarnya telah ditinggalkan begitu saja oleh si penyerang. Siapakah lawan-lawan mereka yang begitu tangguh ini? Perampokkah mereka? Purbajaya musti menarik sangkaannya ini.
Kalau perampok musti menjarah harta. Namun peti-peti berukir berserakan begitu saja. Demikian pun pundi-pundi miliknya yang diisi uang logam Negri Cina, masih terasa utuh karena di pinggang beratnya tak berkurang. Kepala Purbajaya masih terasa pening. Pandangan matanya pun masih berkunang-kunang. Dia ingat, sebelum tiba di tempat ini ada terpaan kabut aneh berwarna hijau dan baunya aneh memabukkan. Sesudah menghirup kabut hijau, semuanya jatuh pingsan.
Sekarang secara tiba-tiba sudah berada di sini dengan tubuh terikat di pohon. Purbajaya menduga, mereka bukan komplotan perampok. Barang berharga berserakan begitu saja, hanya menandakan bahwa mereka sebenarnya tak butuh harta dan bukan berniat menjarah harta. Lantas, apa yang mereka inginkan?
Sementara hati Purbajaya bertanya-tanya seperti itu, nampak Ki Bagus Sura dan Ki Dita sudah tersadar dari pingsannya. Seperti Purbajaya, mereka pun pada mulanya meneliti sekelilingnya dan memeriksa tubuhnya masing-masing yang terikat di batang pohon.
“Perbuatan merekakah ini?” tanya Ki Dita menatap Ki Bagus Sura.
“Barangkali benar mereka…” suara Ki Bagus Sura hampir berupa bisikan.
“Siapakah yang dimaksud, Ki Bagus?” tanya Purbajaya penasaran.
Ki Bagus Sura dan Ki Dita saling pandang. Rupanya mereka baru tahu kalau Purbajaya pun sudah siuman dari pingsannya.
“Yang memiliki serangan uap hijau hanya satu, yaitu anggota Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih…” kata Ki Bagus Sura dengan suara penuh rasa khawatir.
“Nyi Rambut Kasih?” Purbajaya bergumam.
“Engkau tak akan mengenal tokoh ini sebab Nyi Rambut Kasih hidup sekitar enampuluh tahun yang lalu,” kata Ki Bagus Sura.
Sambil menunggu yang lainnya siuman, berceritalah Ki Bagus Sura. Di wilayah dekat Karatuan Talaga terdapat sebuah karajaan kecil bernama Sindangkasih (Majalengka kini adalah perkembangan dari Kerajaan Sindangkasih), diperintah oleh seorang ratu cantik bernama Nyi Rambut Kasih. Dia amat setia kepada agama karuhun (nenek-moyangnya). Kendati negri-negri kecil lainnya seperti Maja dan Rajagaluh bahkan Talaga sendiri sudah memeluk agama baru, namun Nyi Rambut Kasih tetap fanatik dengan agama lamanya.
Namun demikian, kendati dia tak mau berpindah agama, Ratu sendiri membebaskan rakyatnya untuk memilih apa yang diminatinya. Banyak rakyatnya yang berpindah agama namun ada pula yang mengikuti keteguhan Ratu. Sementara itu, dalam peralihan kehidupan zaman di negrinya, Nyi Rambut Kasih memilih meninggalkan keraton, entah ke mana dia pergi mengasingkan diri. Sampai dengan tahun 1490 Masehi, Cirebon telah beranggapan bahwa seluruh penduduk Sindangkasih telah memeluk agama baru, terkecuali ratunya sendiri yang menghilang entah ke mana.
“Banyak dugaan berbeda. Namun penduduk menganggap Sang Ratu telah ngahiyang (menghilang secara gaib) sebab kalau mati harus ada kuburnya dan kalau hidup harus tahu di mana dia berada. Maka karena itu, orang menyebutnya sebagai ngahiyang. Hidup di dunia tidak namun mati pun tidak,” kata Ki Bagus Sura menjelaskan.
“Tapi apa hubungannya dengan Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih?” tanya Purbajaya semakin penasaran.
“Aku sudah katakan dulu, komplotan ini disebut siluman karena tindak-tanduknya misterius. Kalau datang dan pergi tak diketahui kapan dan di mana. Tahu-tahu lawan terkalahkan. Ya, seperti kita ini.”
“Tidak perlu dibuat aneh. Mereka melumpuhkan kita dengan siasat licik,” Aditia bicara dan ternyata dia sudah siuman. ”Mereka meracuni kita, kan?” lanjutnya.
Wista dan Yaksa pun sudah bangun. Dan karena Yaksa tidak diikat, maka walau pun dengan susah payah karena menahan sakit bila keluar tenaga, Yaksa segera membukakan semua ikatan, kecuali tali yang mengikat tubuh Purbajaya.
Paman Ranu menggeleng-gelengkan kepala, heran dan kecewa dengan sikap Yaksa ini. Lantas dia sendirilah yang bantu melepaskan tali di tubuh Purbajaya. Sementara Purbajaya tidak banyak perasaan mengenai hal ini. Dia malah terus tanya perihal keberadaan pasukan siluman.
“Ya, belakangan aku tahu, mereka kalahkan kita dengan uap beracun. Hanya yang aku penasaran, mereka tak memberikan kita peluang untuk saling berhadapan,” kata Ki Bagus Sura.
“Padahal kalau bisa saling berhadapan, kita bisa tahu apa sebetulnya yang mereka inginkan,” sambung lagi Ki Bagus Sura.
“Mereka orang jahat. Apalagi yang mereka inginkan selain harta yang kita bawa?” Wista mulai buka suara.
Dengan sigapnya, Paman Ranu mengerjakan apa yang diminta Purbajaya. Sesudah itu memborehkan ramuan itu ke setiap bagian tubuh Yaksa yang luka. Melihat Yaksa mau menerima pertolongan yang bukan dari Purbajaya, pemuda ini hanya senyum masam. Aneh sekali, pikirnya. Hanya karena satu masalah saja orang bisa punya kebencian sebesar itu. Hanya satu masalah? Hanya sebesar itu? Benarkah?
Purbajaya ingat ucapan Nyimas Yuning Purnama. Betapa Aditia sakit hati karena beberapa kali cintanya ditolak, sementara gadis itu “mandah” saja dipermainkan lelaki lain.
“Tapi Aditia merasa bermasalah dengan kita bukan melulu urusan Si Yuning saja,” kata Ki Bagus Sura di saat-saat istirahat di tengah perjalanan.”Sebetulnya itu juga bawaan dari masalah ayahnya juga,” lanjut orang tua itu.
Aditia itu anak pejabat penting di Sumedanglarang bernama Ki Sanjadirja. Sesama pejabat ada yang bersaing ingin duduk paling dekat dengan Kangjeng Pangeran Santri. Untuk itu, mereka berupaya untuk menjadi orang terpercaya.
“Tahun-tahun sebelumnya, Ki Sanjadirja banyak diutus untuk melakukan kunjungan muhibah ke beberapa negara. Entah mengapa, belakangan tugas ini diserahkan Kangjeng Pangeran padaku,” tutur Ki Bagus Sura.
Tugas dipindahkan seperti ini tentu amat merisaukan Ki Sanjadirja. Dia punya kesan seolah-olah kemampuan dirinya tak terpakai. Tapi belakangan, mereka pun malah menuduh Ki Bagus Sura yang punya gara-gara. Katanya Ki Bagus Sura melakukan tindakan tak terpuji.
“Aku dituding cari muka dan katanya telah menjelek-jelekkan mereka. Padahal selahannya bukan itu. Ketika berkunjung ke wilayah Tanjungpura, pernah terjadi salah paham sehingga pejabat di sana merasa tersinggung oleh perilaku Ki Sanja. Akibatnya, tugas selanjutnya aku yang jalankan. Maka ditambah lagi oleh penolakan cinta anaknya kepada Si Yuning, maka semakin runyam hubungan kami,” tutur Ki Bagus Sura lagi.
“Pantas kalau begitu….” gumam Purbajaya. ”Tapi, adakah cara pemecahannya agar pertikaian tidak berlarut-larut?” tanya Purbajaya.
“Ini bukan sekadar piring yang pecah, namun karena kami telah bersebrangan paham. Sanjadirja itu orangnya penuh ambisi. Dia menginginkan jadi orang kuat dan hanya dia yang dipercaya pihak penguasa. Dengan seperti itu sulit akur, kecuali kita mau berada di bawah pengaruhnya dan jangan mencoba menentang kehendaknya atau bahkan menjadi pesaingnya,” kata Ki Bagus Sura.
“Mengapa Ki Bagus malah jadi pesaingnya?” tanya Purbajaya.
“Aku tak bermaksud begitu. Tujuanku hanya mengabdi. Itu saja. Kalau belakangan Kangjeng Pangeran lebih mempercayaiku, itu bukan sebuah dosa,” jawab Ki Bagus Sura.
“Hubungan Ki Bagus dengan Ki Dita bagaimana?”
“Ki Dita itu menurutku orang baik. Kelihatannya dia ingin netral. Tapi urusan kewiraan Ki Sanja yang pegang. Jadi otomatis dia ada di bawah kendali Ki Sanja. Maka tak ada anjing yang tak setia tuannya,” kata Ki Bagus Sura lagi.
Purbajaya pun bisa melihat, betapa di dalam perjalanan ini, hubungan antara Ki Bagus Sura dan Ki Dita seperti terhalang pagar tembok. Ki Dita lebih banyak bercakap-cakap dengan ketiga orang muridnya dan sebaliknya Ki Bagus Sura banyak mengobrol dengan Purbajaya atau Paman Ranu. Namun demikian, Purbajaya bisa merasakan, hanya Aditia dan dua orang temannya saja yang benar-benar memperlihatkan sikap permusuhan. Ki Dita tidak memperlihatkan sorot kebencian kecuali bersikap acuh tak acuh saja.
“Tidak bersahabat tapi kok mau melakukan perjalanan bersama?” tanya Purbajaya heran.
“Kami sama-sama mengemban tugas. Sungguh tak baik di hadapan Pangeran memperlihatkan kurangnya persatuan,” jawab Ki Bagus Sura menghela napas.
Sesudah dirasa cukup beristirahat dan sesudah dilihatnya pemuda Yaksa bisa melanjutkan perjalanan, maka mereka pun menaiki kuda masing-masing untuk meneruskan perjalanan.
Ini adalah hari kedua, hari yang bila perjalanan lancar maka seharusnya sudah tiba di tempat tujuan. Namun berhubung perjalanan dilakukan dengan santai, ditambah oleh gangguan keamanan di tengah jalan, diperkirakan perjalanan baru menempuh sepertiganya saja. Kata Ki Bagus Sura, perjalanan dua pertiganya lagi mungkin bisa diselesaikan dalam waktu dua hari perjalanan. Apalagi perjalanan jadi bertambah lamban sebab Yaksa yang masih luka tak bisa dibawa cepat. Tadi malam tubuh Yaksa bahkan menggigil karena demam. Sementara usaha Purbajaya dalam memberikan bantuan pengobatan selalu ditolaknya.
“Kalau kau tidak acuh tak acuh, barangkali Yaksa tak bakalan terluka parah,” Wista masih memendam rasa sesal yang mendalam kepada “ketololan” Purbajaya yang tak mau membantu.
“Sudah, jangan merengek seperti itu. Ini hanya akan membuat orang sombong ini jadi semakin tinggi hati,” kata Yaksa mendelik kepada Purbajaya.
“Siapa yang bilang kalau kita butuh bantuan dia?” giliran Aditia yang mendelik dengan sorot mata panas.
“Diamlah kalian. Merasa tak bisa menari jangan lantai yang disalahkan,” Ki Dita menengahi. ”Mungkin benar Yaksa terluka karena tak ada bantuan dari pihak lain. Tapi kesalahan paling mendasar adalah karena kelemahan dan ketololan kalian juga. Camkan ini, Karatuan Sumedanglarang tidak membutuhkan ksatria lemah dan dungu dan yang kerjanya hanya merengek atau menyalahkan orang. Aneh sekali, pemuda Purbajaya ini aku tak tahu entah siapa yang mengajarnya. Namun yang jelas, dia berjiwa halus dan tak banyak bicara. Sementara kalian ini lahir dari keluarga terhormat malah kerjanya uring-uringan saja. Kalian harus tahu, ilmu yang kumiliki ini mengandalkan gerakan halus. Dan gerakan halus hanya bisa dilakukan oleh orang berperangai halus juga,” kata Ki Dita dengan nada penuh sesal.
Baik Aditia mau pun Wista nampak melongo demi mendengar Ki Dita menyumpahi mereka. Bahkan Yaksa pun yang tengah luka terlihat terkejut dengan kenyataan ini.
Purbajaya bisa merasakan kekecewaan ketiga orang pemuda ini. Menurut pikiran mereka, seharusnya Ki Dita membela mereka dan bukannya malah menyumpahi sambil balik memuji “lawan”. Purbajaya ada sedikit senang dipuji Ki Dita. Namun rasa khawatirnya pun jadi tak kepalang. Bukankah dengan kejadian ini akan semakin menyulut kebencian ketiga orang muda itu terhadapnya? Purbajaya jadi merasa tak enak dibuatnya.
Sesudah percakapan ini, semuanya jadi berdiam diri. Ketiga orang itu membisu seribu bahasa. Demikian sampai perjalanan memakan waktu hampir setengah hari. Hanya desah kuda mereka yang terdengar. Atau hanya kicauan burung walik di dahan-dahan kareumbi yang terdengar berceloteh. Kini sudah memasuki kawasan hutan pinus lagi dan jalanan menaik. Perasaan Purbajaya jadi tak enak sebab perjalanan ini mengingatkannya kepada ucapan Ki Bagus Sura.
Kata orang tua itu, penghadangan oleh kaum perampok sebetulnya sudah diaggap biasa dan kebanyakan bisa ditepis karena kepandaian mereka tak seberapa. Namun yang paling mencemaskan adalah penghadangan yang dilakukan oleh orang-orang yang bermasalah dengan negara karena urusan politik.
“Mereka rata-rata punya kepandaian hebat sebab dulunya pun di negri ini termasuk orang penting juga,” kata Ki Bagus Sura.
Yang paling dicemaskan oleh Ki Bagus Sura adalah dikenalnya sebuah organisasi gelap yang ramai disebut-sebut sebagai Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih. Mereka selalu mengacaukan keamanan di sepanjang antara Sumedang dan Talaga. Mereka adalah kelompok yang sakit hati baik kepada Sumedanglarang mau pun kepada Talaga.
“Mereka sakit hati karena Karatuan Sindangkasih dibiarkan takluk kepada Carbon. Padahal keinginan mereka, baik Talaga mau pun Sumedanglarang harus bisa melindunginya sebagai negri bawahannya,” kata Ki Bagus Sura.
“Begitu kuatkah pasukan itu?” tanya Purbajaya jadi merasa khawatir.
“Benar. Disebut pasukan siluman sebab tindak-tanduknya penuh misteri. Mereka menyerang secara gelap dan melarikan diri secara gelap pula. Dalam melakukan serangan, jarang menampakkan diri. Makanya setiap yang akan melakukan perjalanan di sepanjang Sumedang-Talaga, musti berhati-hati.”
“Hebat sekali mereka…” bisik Purbajaya terkesan.
“Khabarnya mereka dibantu oleh orang-orang pandai dari Pajajaran,” jawab Ki Bagus Sura.
Jalanan semakin sempit dan menaik. Di kiri-kanannya kalau tak hutan belukar tentu jurang menganga. Sementara jalan yang dilewati terdiri dari debu tebal dan sepertinya akan menjadi lumpur tebal pula bila terjadi musim hujan.
Kini semua anggota rombongan semakin membisu. Tak banyak bicara bukan karena urusan cekcok tadi, melainkan karena rasa tegang. Tak ada wajah ceria lagi, baik di wajah Ki Dita mau pun wajah Ki Bagus Sura. Hanya Paman Ranu yang biasa. Mungkin begitu pembawaan orang tua setengah baya ini.
Agar tak terpengaruh oleh kekhawatiran semua orang, Purbajaya malah sedikit memajukan langkah kudanya. Yang jalan di muka sekarang adalah Ki Dita dan Wista. Dengan demikian, kini Purbajaya berjalan sejajar dengan Wista.
Namun ketika didekati Purbajaya, Wista hanya memalingkan wajah bahkan mencoba menarik kendali kuda agar maju agak ke depan. Hanya saja tindakan itu segera diurungkannya manakala di depannya ada hal-hal yang mencurigakan.
Matahari tak pernah tiba ke tanah di wilayah ini sebab dedaunan hutan ini begitu lebatnya. Yang ada waktu itu hanya kabut tebal melayang-layang di antara dedaunan. Purbajaya merasakan, betapa dinginnya hawa di sekitarnya. Mungkin lembah yang mereka lewati begitu dalam dan tiupan angin begitu kencang di bagian dasar lembah. Kesunyian amat mencekam. Tak ada suara burung atau pun binatang hutan di sekitarnya. Demikian miskin penghunikah hutan berkabut ini?
Purbajaya menarik tali kekang kudanya sehingga binatang itu tertahan langkahnya. Rupanya yang menahan kaki kuda bukan Purbajaya seorang. Ki Dita dan Ki Bagus Sura pun sama menghentikanlangkah kudanya masing-masing. Yang lainnya serentak berhenti karena ikut yang lain. Purbajaya menduga, baik Ki Bagus Sura mau pun Ki Dita sudah mencurigai keadaan sekelilingnya yang dirasa ganjil.
Purbajaya sejak tadi memang curiga. Mustahil di tengah hutan lebat seperti ini tidak terdengar suara binatang apa pun. Kalau sekelompok burung menjauh, binatang melata sirna dan serangga tak ada, hanya menandakan bahwa ketentraman mereka diganggu sesuatu. Apakah itu? Purbajaya saling pandang dengan Ki Bagus Sura. Sementara Ki Dita sudah lebih dahulu mengeluarkan pedangnya.
Bila Ki Dita saja sudah mempersiapkan diri, hanya menandakan bahwa bahaya besar tengah menghadang. Dan kalau dalam menghadapi perampok saja Ki Dita nampak tenang, maka mudah diduga kalau bahaya kali ini jauh lebih bahaya ketimbang perampok. Berdebar dada Purbajaya. Dia teringat penjelasan Ki Bagus Sura mengenai gangguan-gangguan apa saja yang terdapat di tengah perjalanan ini.
Kini semua orang sudah menghentikan langkah kudanya masing-masing. Semuanya duduk terpaku tak ada yang berani buka suara. Bahkan kuda-kuda pun sama tak bergerak, kecuali ekornya yang dikibas-kibaskan. Ketegangan dan rasa cemas terlihat jelas diwajah Ki Bagus Sura. Bahkan di kedinginan udara hutan berkabut ini, jidat Ki Bagus Sura nampak mengucurkan keringat.
“Benar… Merekalah yang datang!” desis Ki Bagus Sura parau.
Sepasang mata Ki Bagus Sura menatap tajam ke arah pepohonan. Purbajaya jadi penasaran, apa yang dilihat orang tua itu. Yang dilihat di pepohonan sebenarnya hanyalah kabut tebal. Namun di sela-sela kabut warna putih, terlihat pula ada kabut warna hijau, melayang tipis di sekitarnya. Kabut apakah ini? Kabut hijau ini pada mulanya hanya melayang tipis saja. Tapi makin lama makin tebal sehingga seluruh kabut berwarna hijau.
“Tutuplah hidung dan mulut!” teriak Ki Bagus Sura.
Warna hijau semakin tebal dan menutupi seluruh pandangan. Purbajaya mencoba menahan napas. Namun sampai kapan kuat bertahan, dia tak yakin sebab kabut hijau semakin tebal saja.
Hanya selintas Purbajaya melihat teman-temannya secara beruntun melorot jatuh dari atas kudanya masing-masing. Sesudah itu, pandangan matanya pun jadi gelap dan kepalanya pusing sesudah menghisap bau wewangian yang aneh tapi yang membuat dirinya mabuk.
Ketika sadar, Purbajaya mendapatkan dirinya sudah terikat di batang pohon. Masih terletak di tengah hutan lebat namun bukan di tepi jalan pedati. Melihat sekelilingnya hutan amat lebat, hanya menandakan bahwa mereka selagi pingsan diseret dari jalan pedati, entah ke daerah mana. Siapa yang menyeret mereka?
Purbajaya menoleh ke sana ke mari. Dia bersyukur. Kendati mereka sama-sama dalam keadaan terikat, namun semua anggota rombongan dalam keadaan utuh tak kurang suatu apa. Di hadapannya terlihat Ki Bagus Sura dan Ki Dita terikat di pohon berlainan.
Sementara dia sendiri berdampingan dengan Wista dan Aditia yang juga sama-sama terikat di batang pohon berbeda. Akan halnya Yaksa, pemuda itu tubuhnya tergeletak begitu saja beralaskan semak-belukar. Purbajaya semula terkejut. Dia menduga Yaksa telah jadi mayat.
Namun sesudah dilihatnya pernapasan Yaksa turun-naik dan bahkan terdengar suara dengkur, hanya menandakan pemuda ini tengah tidur pulas. Yaksa tidak diikat karena si penyerang nampaknya melihat Yaksa orang lemah karena luka-lukanya.
Suasana masih sunyi. Purbajaya tetap berdiam diri. Dia menunggu beberapa lama kalau-kalau si penyerang ada di sekitar itu. Namun ditunggu berlama-lama, tak ada gerakan mencurigakan. Dengan demikian, Purbajaya akhirnya punya kesimpulan kalau mereka sebenarnya telah ditinggalkan begitu saja oleh si penyerang. Siapakah lawan-lawan mereka yang begitu tangguh ini? Perampokkah mereka? Purbajaya musti menarik sangkaannya ini.
Kalau perampok musti menjarah harta. Namun peti-peti berukir berserakan begitu saja. Demikian pun pundi-pundi miliknya yang diisi uang logam Negri Cina, masih terasa utuh karena di pinggang beratnya tak berkurang. Kepala Purbajaya masih terasa pening. Pandangan matanya pun masih berkunang-kunang. Dia ingat, sebelum tiba di tempat ini ada terpaan kabut aneh berwarna hijau dan baunya aneh memabukkan. Sesudah menghirup kabut hijau, semuanya jatuh pingsan.
Sekarang secara tiba-tiba sudah berada di sini dengan tubuh terikat di pohon. Purbajaya menduga, mereka bukan komplotan perampok. Barang berharga berserakan begitu saja, hanya menandakan bahwa mereka sebenarnya tak butuh harta dan bukan berniat menjarah harta. Lantas, apa yang mereka inginkan?
Sementara hati Purbajaya bertanya-tanya seperti itu, nampak Ki Bagus Sura dan Ki Dita sudah tersadar dari pingsannya. Seperti Purbajaya, mereka pun pada mulanya meneliti sekelilingnya dan memeriksa tubuhnya masing-masing yang terikat di batang pohon.
“Perbuatan merekakah ini?” tanya Ki Dita menatap Ki Bagus Sura.
“Barangkali benar mereka…” suara Ki Bagus Sura hampir berupa bisikan.
“Siapakah yang dimaksud, Ki Bagus?” tanya Purbajaya penasaran.
Ki Bagus Sura dan Ki Dita saling pandang. Rupanya mereka baru tahu kalau Purbajaya pun sudah siuman dari pingsannya.
“Yang memiliki serangan uap hijau hanya satu, yaitu anggota Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih…” kata Ki Bagus Sura dengan suara penuh rasa khawatir.
“Nyi Rambut Kasih?” Purbajaya bergumam.
“Engkau tak akan mengenal tokoh ini sebab Nyi Rambut Kasih hidup sekitar enampuluh tahun yang lalu,” kata Ki Bagus Sura.
Sambil menunggu yang lainnya siuman, berceritalah Ki Bagus Sura. Di wilayah dekat Karatuan Talaga terdapat sebuah karajaan kecil bernama Sindangkasih (Majalengka kini adalah perkembangan dari Kerajaan Sindangkasih), diperintah oleh seorang ratu cantik bernama Nyi Rambut Kasih. Dia amat setia kepada agama karuhun (nenek-moyangnya). Kendati negri-negri kecil lainnya seperti Maja dan Rajagaluh bahkan Talaga sendiri sudah memeluk agama baru, namun Nyi Rambut Kasih tetap fanatik dengan agama lamanya.
Namun demikian, kendati dia tak mau berpindah agama, Ratu sendiri membebaskan rakyatnya untuk memilih apa yang diminatinya. Banyak rakyatnya yang berpindah agama namun ada pula yang mengikuti keteguhan Ratu. Sementara itu, dalam peralihan kehidupan zaman di negrinya, Nyi Rambut Kasih memilih meninggalkan keraton, entah ke mana dia pergi mengasingkan diri. Sampai dengan tahun 1490 Masehi, Cirebon telah beranggapan bahwa seluruh penduduk Sindangkasih telah memeluk agama baru, terkecuali ratunya sendiri yang menghilang entah ke mana.
“Banyak dugaan berbeda. Namun penduduk menganggap Sang Ratu telah ngahiyang (menghilang secara gaib) sebab kalau mati harus ada kuburnya dan kalau hidup harus tahu di mana dia berada. Maka karena itu, orang menyebutnya sebagai ngahiyang. Hidup di dunia tidak namun mati pun tidak,” kata Ki Bagus Sura menjelaskan.
“Tapi apa hubungannya dengan Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih?” tanya Purbajaya semakin penasaran.
“Aku sudah katakan dulu, komplotan ini disebut siluman karena tindak-tanduknya misterius. Kalau datang dan pergi tak diketahui kapan dan di mana. Tahu-tahu lawan terkalahkan. Ya, seperti kita ini.”
“Tidak perlu dibuat aneh. Mereka melumpuhkan kita dengan siasat licik,” Aditia bicara dan ternyata dia sudah siuman. ”Mereka meracuni kita, kan?” lanjutnya.
Wista dan Yaksa pun sudah bangun. Dan karena Yaksa tidak diikat, maka walau pun dengan susah payah karena menahan sakit bila keluar tenaga, Yaksa segera membukakan semua ikatan, kecuali tali yang mengikat tubuh Purbajaya.
Paman Ranu menggeleng-gelengkan kepala, heran dan kecewa dengan sikap Yaksa ini. Lantas dia sendirilah yang bantu melepaskan tali di tubuh Purbajaya. Sementara Purbajaya tidak banyak perasaan mengenai hal ini. Dia malah terus tanya perihal keberadaan pasukan siluman.
“Ya, belakangan aku tahu, mereka kalahkan kita dengan uap beracun. Hanya yang aku penasaran, mereka tak memberikan kita peluang untuk saling berhadapan,” kata Ki Bagus Sura.
“Padahal kalau bisa saling berhadapan, kita bisa tahu apa sebetulnya yang mereka inginkan,” sambung lagi Ki Bagus Sura.
“Mereka orang jahat. Apalagi yang mereka inginkan selain harta yang kita bawa?” Wista mulai buka suara.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment