“Bukan itu yang saya pikirkan. Memang masih banyak gadis yang jauh lebih cantik, lebih sempurna dan lebih utuh. Yang aku tak enak, betapa mudahnya dia membual. Ketika saya pinang, dia bilang belum saatnya. Namun belakangan, dia menikah dengan Raden Yudakara. Hanya sebentar saja sudah dicampakkan. Dan aku mau tolong dia agar jadi istri yang baik, namun pinanganku dia tolak untuk kedua kalinya dengan alasan tak mau punya suami lagi. Nah, sekarang, nyatanya dia masih ingin dipermainkan orang Carbon. Rupanya dia masih belum kapok dipermainkan begundal dari Carbon!” teriak Aditia berang.
“Sudah. Mari kita pulang saja!” Ki Dita tak sabar dan menarik tangan Aditia.
Aditia terpaksa beranjak namun dengan wajah memberengut marah.
“Anak muda, suatu waktu kita saling jajal kepandaian,” kata Ki Dita kepada Purbajaya.
Tinggallah tiga orang itu. Namun rupanya Ki Bagus Sura tak mau tinggal terlalu lama. Buktinya dia segera beranjak dari tempat itu.
“Lain kali kalau mau mengobrol berlama-lama, lebih baik di dalam rumah saja,” kata Ki Bagus Sura.
Purbajaya mau bicara, kalau-kalau Ki Bagus Sura salah sangka. Namun orang tua itu keburu pergi.
“Nyimas, saya heran akan sikapmu tadi…” gumam Purbajaya menyesalkan sikap gadis itu.
Nyimas Yuning tidak menjawab, melainkan dia pun segera berlalu dari tempat itu.
***
Purbajaya menerima khabar bahwa Ki Bagus Sura akan mengemban tugas muhibah ke wilayah Karatuan Talaga. Entah apa penyebabnya orang tua itu mengajaknya pergi. Namun tentu saja Purbajaya merasa gembira diajak serta. Pada dasarnya pemuda ini senang memiliki pengalaman. Pengalaman baik atau pun buruk baginya adalah pengetahuan yang bisa menambah wawasannya.
Karatuan Talaga sebetulnya tidak begitu jauh dari Sumedanglarang. Bila berkuda dengan santai, paling lama hanya menghabiskan waktu sekitar dua hari perjalanan atau mungkin tiga hari saja.
Namun begitu, sebetulnya Purbajaya belum tahu betul di mana persisnya letak ibu negri Talaga ini. Beberapa bulan silam memang pernah melakukan perjalanan bersama Raden Yudakara, namun hanya sampai ke lereng timur Gunung Cakrabuana lewat wilayah Rajagaluh dan terus ke Guranteng.
Sekarang dia diajak serta melakukan perjalanan ke tempat itu tentu saja hatinya berminat. Ki Bagus Sura mau mengajaknya, barangkali karena menganggap Purbajaya telah dianggap “orang sendiri”.
Namun yang membuat Purbajaya merasa ada ganjalan, Aditia dan teman-temannya akan ikut serta. Ketika ditanyakan kepada Ki Bagus Sura, dia mengatakan kalau perjalanan muhibah ini pun benar musti diikuti oleh rombongan Ki Dita.
“Banyak murid Ki Dita dipersiapkan untuk jadi calon perwira Sumedanglarang. Secara periodik para calon mendapatkan pelatihan mental dan fisik. Muhibah dalam mengunjungi negri-negri di luar Sumedanglarang adalah bagian dari kewajiban mereka dalam memenuhi persyarakatan untuk diangkat sebagai perwira,” kata Ki Bagus Sura.
Purbajaya mau mengerti akan penjelasan ini. Dia pun pernah mendengar khabar kalau sasana kewiraan yang dipimpin oleh Ki Dita ini telah banyak menghasilkan lulusan dan kini banyak menjadi perwira kerajaan.
Pemuda Aditia dan beberapa teman-temannya tentu diharapkan akan menjadi perwira handal kelak. Itulah sebabnya perlu menerima bekal pengalaman agar kelak bisa mengabdi kepada negara dengan baik.
Purbajaya mengerti ini. Namun karena hal ini pula, maka kegembiraannya dalam melakukan perjalanan ini menjadi sedikit terganggu. Peristiwa tadi malam tentu susah dilupakan, terutama oleh pemuda Aditia. Dalam perkelahian singkat, dia dan teman-temannya dipecundangi oleh Purbajaya. Namun juga yang amat menyakitkan hati Aditia, bukan hanya sekadar kalah bertarung, melainkan juga kalah dalam “rebutan cinta”. Betapa akan bencinya mereka kepada Purbajaya. Sekarang Purbajaya malah akan jadi teman seperjalanan. Maukah mereka?
Namun sungguh di luar dugaan, ketika mereka tahu bahwa Purbajaya ikut serta, mereka malah nampak gembira. Mengapa gembira? Itulah misteri sebab Purbajaya menerimanya dengan penuh curiga.
“Mungkin sudah mereka lupakan peristiwa malam itu,” tutur Ki Bagus Sura.
Dugaan Ki Bagus Sura ini tidak melegakan Purbajaya. Dia tetap merasa kalau mereka sebetulnya masih memendam rasa penasaran ke padanya. Namun demikian, Purbajaya tak mau mengemukakan hal ini. Ki Bagus Sura nampaknya tak memiliki perasaan curiga apa pun. Malah malam itu, yang jadi orang bersalah sepertinya Purbajaya sendiri. Malam itu jelas-jelas Ki Bagus Sura seperti menyesalkan kepada Purbajaya perihal tudingan Aditia. Mungkin Ki Bagus Sura menganggap laporan itu benar adanya.
Hati Purbajaya mengeluh. Untuk ke sekian kalinya dia bertemu lagi dengan pemuda yang mudah emosi dan mudah merasa iri. Mereka menyatroni dirinya malam itu karena iri saja. Iri karena ada gadis di negrinya yang dipersunting pemuda negri lain.
Aditia seperti memendam dendam kepada “wong grage” sebab mereka pikir semua pemuda Carbon tukang permainkan wanita. Ingat ini, Purbajaya jadi sedih. Hanya karena perbuatan Raden Yudakara maka semua pemuda Carbon kena getahnya.
Hari ini adalah hari pemberangkatan rombongan muhibah. Subuh itu Purbajaya baru turun dari surau ketika di pelataran taman dilihatnya Nyi Yuning Purnama berdiri menghadang. Gadis itu seperti sengaja mencegatnya.
“Ustad…” gadis itu menyapa pelan.
“Nyimas, saya pergi hari ini…” gumam Purbajaya masih ingat peristiwa malam itu.
“Ini sebungkus makanan, khusus buat bekalmu di perjalanan….” gadis itu menyodorkan sebuah bungkusan penganan.
“Yang lainnya, bagaimana?”
“Ayahanda serta Paman Ranu sudah disediakan para dayang lain,” jawab gadis itu.
“Aditia dan teman-temannya?”
Nyimas Yuning menunduk.
“Saya tak mau ada orang yang iri. Perasaan iri suka mendatangkan musibah,” kata Purbajaya.
Nyimas Yuning menghela napas. “Maafkan saya, Ustad…” kata gadis itu akhirnya.
“Engkau berurusan dengan mereka, Nyimas?”
“Benar. Tadinya ini hanya urusan saya, tapi jadi melibatkanmu juga, Ustad.”
“Sudah. Mari kita pulang saja!” Ki Dita tak sabar dan menarik tangan Aditia.
Aditia terpaksa beranjak namun dengan wajah memberengut marah.
“Anak muda, suatu waktu kita saling jajal kepandaian,” kata Ki Dita kepada Purbajaya.
Tinggallah tiga orang itu. Namun rupanya Ki Bagus Sura tak mau tinggal terlalu lama. Buktinya dia segera beranjak dari tempat itu.
“Lain kali kalau mau mengobrol berlama-lama, lebih baik di dalam rumah saja,” kata Ki Bagus Sura.
Purbajaya mau bicara, kalau-kalau Ki Bagus Sura salah sangka. Namun orang tua itu keburu pergi.
“Nyimas, saya heran akan sikapmu tadi…” gumam Purbajaya menyesalkan sikap gadis itu.
Nyimas Yuning tidak menjawab, melainkan dia pun segera berlalu dari tempat itu.
***
Purbajaya menerima khabar bahwa Ki Bagus Sura akan mengemban tugas muhibah ke wilayah Karatuan Talaga. Entah apa penyebabnya orang tua itu mengajaknya pergi. Namun tentu saja Purbajaya merasa gembira diajak serta. Pada dasarnya pemuda ini senang memiliki pengalaman. Pengalaman baik atau pun buruk baginya adalah pengetahuan yang bisa menambah wawasannya.
Karatuan Talaga sebetulnya tidak begitu jauh dari Sumedanglarang. Bila berkuda dengan santai, paling lama hanya menghabiskan waktu sekitar dua hari perjalanan atau mungkin tiga hari saja.
Namun begitu, sebetulnya Purbajaya belum tahu betul di mana persisnya letak ibu negri Talaga ini. Beberapa bulan silam memang pernah melakukan perjalanan bersama Raden Yudakara, namun hanya sampai ke lereng timur Gunung Cakrabuana lewat wilayah Rajagaluh dan terus ke Guranteng.
Sekarang dia diajak serta melakukan perjalanan ke tempat itu tentu saja hatinya berminat. Ki Bagus Sura mau mengajaknya, barangkali karena menganggap Purbajaya telah dianggap “orang sendiri”.
Namun yang membuat Purbajaya merasa ada ganjalan, Aditia dan teman-temannya akan ikut serta. Ketika ditanyakan kepada Ki Bagus Sura, dia mengatakan kalau perjalanan muhibah ini pun benar musti diikuti oleh rombongan Ki Dita.
“Banyak murid Ki Dita dipersiapkan untuk jadi calon perwira Sumedanglarang. Secara periodik para calon mendapatkan pelatihan mental dan fisik. Muhibah dalam mengunjungi negri-negri di luar Sumedanglarang adalah bagian dari kewajiban mereka dalam memenuhi persyarakatan untuk diangkat sebagai perwira,” kata Ki Bagus Sura.
Purbajaya mau mengerti akan penjelasan ini. Dia pun pernah mendengar khabar kalau sasana kewiraan yang dipimpin oleh Ki Dita ini telah banyak menghasilkan lulusan dan kini banyak menjadi perwira kerajaan.
Pemuda Aditia dan beberapa teman-temannya tentu diharapkan akan menjadi perwira handal kelak. Itulah sebabnya perlu menerima bekal pengalaman agar kelak bisa mengabdi kepada negara dengan baik.
Purbajaya mengerti ini. Namun karena hal ini pula, maka kegembiraannya dalam melakukan perjalanan ini menjadi sedikit terganggu. Peristiwa tadi malam tentu susah dilupakan, terutama oleh pemuda Aditia. Dalam perkelahian singkat, dia dan teman-temannya dipecundangi oleh Purbajaya. Namun juga yang amat menyakitkan hati Aditia, bukan hanya sekadar kalah bertarung, melainkan juga kalah dalam “rebutan cinta”. Betapa akan bencinya mereka kepada Purbajaya. Sekarang Purbajaya malah akan jadi teman seperjalanan. Maukah mereka?
Namun sungguh di luar dugaan, ketika mereka tahu bahwa Purbajaya ikut serta, mereka malah nampak gembira. Mengapa gembira? Itulah misteri sebab Purbajaya menerimanya dengan penuh curiga.
“Mungkin sudah mereka lupakan peristiwa malam itu,” tutur Ki Bagus Sura.
Dugaan Ki Bagus Sura ini tidak melegakan Purbajaya. Dia tetap merasa kalau mereka sebetulnya masih memendam rasa penasaran ke padanya. Namun demikian, Purbajaya tak mau mengemukakan hal ini. Ki Bagus Sura nampaknya tak memiliki perasaan curiga apa pun. Malah malam itu, yang jadi orang bersalah sepertinya Purbajaya sendiri. Malam itu jelas-jelas Ki Bagus Sura seperti menyesalkan kepada Purbajaya perihal tudingan Aditia. Mungkin Ki Bagus Sura menganggap laporan itu benar adanya.
Hati Purbajaya mengeluh. Untuk ke sekian kalinya dia bertemu lagi dengan pemuda yang mudah emosi dan mudah merasa iri. Mereka menyatroni dirinya malam itu karena iri saja. Iri karena ada gadis di negrinya yang dipersunting pemuda negri lain.
Aditia seperti memendam dendam kepada “wong grage” sebab mereka pikir semua pemuda Carbon tukang permainkan wanita. Ingat ini, Purbajaya jadi sedih. Hanya karena perbuatan Raden Yudakara maka semua pemuda Carbon kena getahnya.
Hari ini adalah hari pemberangkatan rombongan muhibah. Subuh itu Purbajaya baru turun dari surau ketika di pelataran taman dilihatnya Nyi Yuning Purnama berdiri menghadang. Gadis itu seperti sengaja mencegatnya.
“Ustad…” gadis itu menyapa pelan.
“Nyimas, saya pergi hari ini…” gumam Purbajaya masih ingat peristiwa malam itu.
“Ini sebungkus makanan, khusus buat bekalmu di perjalanan….” gadis itu menyodorkan sebuah bungkusan penganan.
“Yang lainnya, bagaimana?”
“Ayahanda serta Paman Ranu sudah disediakan para dayang lain,” jawab gadis itu.
“Aditia dan teman-temannya?”
Nyimas Yuning menunduk.
“Saya tak mau ada orang yang iri. Perasaan iri suka mendatangkan musibah,” kata Purbajaya.
Nyimas Yuning menghela napas. “Maafkan saya, Ustad…” kata gadis itu akhirnya.
“Engkau berurusan dengan mereka, Nyimas?”
“Benar. Tadinya ini hanya urusan saya, tapi jadi melibatkanmu juga, Ustad.”
“Soal apa, sih?” tanya Purbajaya kendati pun sudah tahu.
“Ya, karena saya menolak cinta dia…“
“Mengapa menolak”
“Mengapa kau pertanyakan itu, sepertinya ada kewajiban setiap pria musti dilayani?” Nyimas Yuning balik bertanya.
“Engkau gadis pemberani. Namun pada akhirnya, saya nilai kau pun gadis biasa juga,” kata Purbajaya sedikit menggores.
Nyimas Yuning tak tersinggung malah tersenyum tipis. “Saya memang gadis biasa. Tapi apa sebenarnya maksud perkataanmu, Ustad?” tanya gadis itu menatap tajam.
“Ya, engkau gadis biasa dan terkadang terkesan lugu dalam membuat putusan,” kata Purbajaya.
“Adakah yang keliru dalam putusan saya?”
“Bukan sesuatu hal yang keliru. Namun kau bertindak ganjil dan membuat orang lain bingung, Malam itu sebelum rombongan Aditia datang, kau menolak perjodohan. Tapi di hadapan semua orang, kau malah mengaku kalau saya ini calon suamimu. Coba, di hadapan semua orang. Bagaimana itu?” tanya Purbajaya penasaran.
“Kalau saya mengakau hal itu, mengapa?”
Mendapatkan pertanyaan balasan seperti ini, Purbajaya jadi gelagapan. Ya, apa yang harus dia jawab. Maukah dia menolak kenyataan ini? Maukah dia menyinggung perasaan gadis ini. Mungkin pada mulanya dia mau tolak kehendak ayahnya. Namun sesudah beberapa kali ditimbang, dia putuskan untuk menerima saja.
“Pengakuan saya malam itu adalah untuk menolongmu dan juga sekalian menolong saya. Saya dihina habis-habisan oleh Aditia. Jadi kalau saya tak katakan engkau calon suamiku, maka hinaannya akan semakin menjadi-jadi.”
Purbajaya melongo dan tak bisa berkata apa.
“Bagaimana, apa Ustad keberatan dengan ini?” Nyimas Yuning mendesak dan Purbajaya kembali gelagapan seperti mulut kemasukan air.
“Saya memang gadis biasa bahkan sudah tak bernilai, Ustad… Kau tentu tahu apa maksud perkataan Aditia malam itu,” keluh Nyimas Yuning parau.
“Bukan… Bukan itu. Saya tak berpikir seperti itu,” kata Purbajaya. Dia takut sekali kalau dirinya menyinggung perasaan gadis itu.
Nyimas Yuning berbalik dan Purbajaya akan mengejar. Namun dari beranda depan ada suara panggilan untuknya. Suara itu mengatakan kalau semua orang sudah siap untuk berangkat.
“Nyimas… Saya harus berangkat!”
Sejenak gadis itu menoleh. “Ya… berangkatlah!” ujarnya dan kembali berbalik.
Percakapan yang terakhir ini terlalu singkat sehingga Purbajaya tidak bisa meraba apa arti jawaban gadis itu. Sebuah pengharapan agar dia lekas kembali ataukah usiran agar Purbajaya memang “harus pergi”? Ah, ini membingungkan, pikirnya. Kini terdengar suara Ki Bagus Sura memanggil-manggil.
“Ya, saya segera datang!” jawab Purbajaya bergegas.
Benar saja, Ki Bagus Sura telah siap menantinya. “Yang lain sudah lama menunggu. Tapi, apakah kau telah minta diri sama Si Yuning?” tanya Ki Bagus Sura membuat Purbajaya tersipu.
Ki Bagus Sura nampak berpakaian amat ringkas. Pakaiannya jenis yang biasa digunakan oleh kaum santana (golongan pertengahan) yaitu baju kampret dan celana komprang namun terbuat dari kain halus buatan Nagri Campa. Ikat kepalannya berwarna sama dengan warna bajunya.
Keluar dari pekarangan puri, rombongan Ki Dita sudah menunggu sebanyak empat orang, yaitu Ki Dita dan tiga orang muridnya. Semuanya mengangguk seadanya kepada Ki Bagaus Sura namun tidak kepada Purbajaya. Dan hal ini hanya menandakan bahwa mereka masih memendam rasa penasaran kepadanya.
Dengan demikian, rombongan muhibah ini terdiri dari tujuh orang. Mereka naik kuda beriringan. Ki Bagus Sura, Paman Ranu dan Purbajaya berjalan sejajar dan di belakangnya Ki Dita, Aditia, dituturkan oleh dua orang teman Aditia yang belakangan diketahui sebagai Yaksa dan Wista. Seperti sudah diketahui di bagian depan, rombongan ini akan melakukan perjalanan muhibah ke Karatuan Talaga.
Talaga sebetulnya masih berada di bawah Sumedanglarang manakala kedua negri itu ada di bawah kekuasaan Pajajaran. Namun sesudah pengaruh Carbon masuk, tahapan kekuasaan ini sudah tak begitu kentara. Sang Susuhunan Jati yang oleh Wali Sanga dinibatkan sebagai panatagama (penata kehidupan beragama) dan Carbon ditunjuk sebagai puser bumi agama Islam, sudah tak menempatkan negri-negri yang ada seperti hirarki pemerintahan semula. Dengan demikian, Sumedanglarang pun kini tak menganggap Talaga sebagai bawahannya lagi, sebab keduanya sama-sama menganggap pusat kekuasaan hanya ada di Carbon saja.
Namun sudah barang tentu, kebijakan seperti ini tidak selamanya diakui. Walau pun jumlah orang yang berpikir beda tidak begitu banyak namun tetap mengganggu. Selama manausia diberi kemampuan untuk berpikir dan berkehendak, tidak selamanya jalan pikiran dan kehendak mereka sama. Ketika Sumedanglarang dan Talaga bergabung dengan Carbon saja, sudah terlihat ada kelompok yang tak setuju dan memilih minggir dari percaturan politik. Ada juga kelompok-kelompok tertentu yang malah menginginkan baik Sumedanglarang mau pun Talaga tetap mempertahankan kesetiaannya kepada Pajajaran.
Baik Kangjeng Pangeran Santri di Sumedanglarang mau pun Kangjeng Sunan Parung di Talaga, ingin mencoba menghalau kelompok-kelompok ini dan tetap berusaha menjalin persatuan dan kesatuan. Maka untuk itulah kedua negara secara berkala saling mengirimkan utusan persahabatan.
PERJALANAN menuju Karatuan Talaga dilakukan santai saja. Di samping merasa tak perlu melakukan dengan cepat karena tak diburu oleh waktu, mereka pun membutuhkan banyak pengalaman di jalan, terutama untuk keperluan pelatihan tiga orang murid Ki Dita.
“Tahun lalu calon ksatria dihadang perampok,” kata Ki Dita.
“Ouw! Yang namanya diserang musuh bukan latihan. Itu sungguhan!” Wista yang bertubuh ceking kurus berseru kaget.
Purbajaya ingat, pemuda ceking ini adalah pemuda yang lari duluan ketika Aditia dihajar Purbajaya. Dia heran, mengapa pemuda bernyali kecil seperti ini bisa “lulus testing” dan ikut rombongan ini.
“Dasar kau penakut, Wista!” cerca Aditia yang mencongklang di sampingnya.
“Pertarungan sesungguhnya adalah pelatihan paling baik dan paling sempurna,” kata Ki Dita membuat ngeri pemuda Wista.
“Kalau saja ayahmu bukan pejabat penting, tak nanti kau bisa ikut rombongan ini,” Yaksa menyela, membuat wajah Wista merah padam.
“Jangan bawa-bawa ayahandaku!” Wista memotong dengan wajah merah-padam.
“Tapi omonganku benar. Kau jangan memalukan ayahmu,” desak Yaksa. ”Susah-payah ayahmu berjuang agar kau diterima dalam pelatihan ini. Padahal kau tahu, hanya pemuda berkualitas saja yang bisa diterima dalam pelatihan ini,” kata Yaksa lagi.
Untuk ke sekian kalinya Purbajaya senyum dikulum. Di mana-mana selalu saja ada yang mengandalkan kekuasaan untuk kepentingan diri pribadi. Cita-cita untuk menempatkan anak menjadi ksatria negara memang merupakan dambaan semua orang tua. Para pemuda pun berhal begitu. Mereka merasa keberadaan dan kebanggaannya akan tercipta bila bisa masuk menjadi jajaran perwira di Sumedanglarang. Kalau ayahnya pejabat, maka sang pejabat akan berupaya memasukkan anaknya jadi perwira. Perwira adalah batu loncatan untuk menjadi pejabat penting di istana. Jadi sang ayah musti mempersiapkan anaknya juga agar kelak menjadi pejabat di sana.
“Dengan masuknya engkau, sebetulnya ada orang lain yang peluangnya tertutup padahal dia lulus testing,” kata Ki Dita ikut menyela. ”Tapi aku sebagai gurumu takkan putus asa. Asalkan engkau sanggup memperlihatkan kemampuan, semua orang tidak akan kecewa kepadamu,” sambungnya.
Pemuda Wista mengangguk-angguk mengiyakan walau pun ada rona merah di wajahnya karena banyak diperingatkan orang.
“Ini adalah perjalanan muhibah yang cukup berat. Namun dengan demikian akan merupakan ajang pelatihan yang baik bagi Gan Wista. Saya yakin, sepulangnya dari muhibah ini, Gan Wista pasti punya pengalaman berarti,” kata Paman Ranu memberikan semangat sambil melecut kudanya.
Rombongan bertujuh ini masing-masing mengendarai seekor kuda yang gagah dan tinggi besar. Mereka adalah kuda-kuda pilihan, khusus didatangkan dari Sumba melalui Pelabuhan Muhara Jati, Carbon. Tentu saja tidak semua orang mendapatkan fasilitas istimewa seperti ini, kecuali orang-orang tertentu yang dihargai pemerintah.
Kata Ki Dita dan Ki Bagus Sura, kuda-kuda ini terbaik di negerinya. Bila melakukan perjalanan cepat tanpa henti, maka kuda gagah ini bisa berlari selama dua hari penuh tanpa makan dan minum. Dan bila kuda-kuda ini dipacu, sebenarnya menuju Karatuan Talaga tidak akan menghabiskan waktu dua hari. Namun kata Ki Bagus Sura,kuda mahal perawatannya pun mahal. Kalau terjadi apa-apa pada kuda ini, negara akan banyak dirugikan. Justru karena kuda ini mahal, maka mereka menggunakannya dengan apik sekali. Mereka berpendapat, kuda mahal harus dijaga keutuhannya. Jangan sampai sakit apalagi cedera. Sebab kalau begitu, perawatan akan lebih mahal mengurus kuda ketimbang orang yang sakit.
Lagi pula semakin santai di perjalanan dan semakin lama menempuh perjalanan, maka akan semakin banyak menerima pengalaman berharga, terutama bagi calon ksatria. Dan benar saja, karena perjalanan dilakukan berlama-lama, maka banyak pengalaman dilalui, termasuk pengalaman “penting” yang selalu “ditunggu”. Di tengah jalan, di tengah hutan pohon pinus, mereka dihadang orang jahat.
Ketika itu rombongan baru saja memasuki kawasan hutan pinus di tepi Sungai Cimanuk. Di daerah ini kerap kali kaum pedagang antara dua negri selalu dihadang perampok. Perampok ini bisa saja penjahat biasa namun bisa juga karena alasan “politik”
Seperti yang pernah diketahui oleh Purbajaya kemelut berkepanjangan antara Carbon dan Pajajaran telah melahirkan berbagai perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Melemahnya kekuasaan Pajajaran di wilayah timur dan utara telah menyebabkan banyak negara kecil di wilayah itu memilih memindahkan kesetiaannya kepada Carbon. Namun tentu saja tak semua orang punya pendapat seperti itu. Ada juga kelompok yang tetap mempertahankan kesetiaannya kepada Pajajaran. Namun kelompok seperti ini kebanyakan terasing dari percaturan negri bersangkutan. Dan walau pun tidak terang-terangan dianggap musuh negara namun mereka terputus komunikasinya dari dunia ramai.
Di Karatuan Sumedanglarang pun ada yang ingin mempertahankan kesetiaannya kepada Pajajaran. Begitu pun di Karatuan Talaga. Mereka yang berbeda haluan, memilih mengasingkan diri. Namun yang sikapnya keras, memberontak, membuat kekacauan atau malah menjadi perampok. Mereka tinggal di gunung, di hutan lebat dan untuk mempertahankan hidupnya, kerjanya mencegat kaum pedagang di sepanjang jalan pedati antara Galuh (Ciamis) dan Pakuan (Bogor).
Sejak zamannya Kangjeng Prabu Sri Baduga Maharaja raja Pajajaran yang pertama (1482-1521 Masehi), telah dibangun semacam “high-way” Pajajaran yang menyambungkan wilayah Galuh dengan Pakuan. Jalan raya penghubung kehidupan politik dan ekonomi ini dari Galuh menuju Kawali, Rajagaluh, Talaga, Sumedang, terus ke utara ke wilayah Sagaraherang (Subang), ke barat menuju Cikao (wilayah Purwakarta), Tanjungpura (Karawang), agak membelok lagi ke selatan menuju Muaraberes (wilayah Bekasi), Cibarusa, Cileungsi, dan kembali munuju arah barat sampai kedayo (ibu kota) Pajajaran yaitu Pakuan. Dari Pakuan sebenarnya jalan ini terus bersambung ke wilayah Karatuan Tanjungbarat di tepian Sungai Cisadane dan akhirnya langsung menuju ke wilayah Banten.
Jalan raya ini sudah biasa dilalui pedati kaum saudagar atau perjalanan para petugas negara dalam berkomunikasi dengan negri-negri di sepanjang itu. Namun karena perobahan politik, jalan raya sepanjang ini kini tidak lagi digunakan secara sambung-menyambung sebab telah dibatasi oleh kepentingan berbeda antara Carbon dan Pajajaran.
Rombongan Ki Bagus Sura pantas diminati para penjahat sebab selain mereka menunggang kuda bagus, jenis pakaian yang mereka kenakan pun amat menandakan bahwa yang sedang berkuda beriringan ini adalah kaum bangsawan. Apalagi pada punggung kuda Paman Ranu baik di kiri mau pun di kanannya menggandul peti-peti kayu cendana berukir indah. Peti-peti ini oleh Purbajaya diketahui sebagai benda-benda cinderamata yang sedianya akan diserahkan kepada penguasa Karatuan Talaga.
“Ranu, jaga peti-peti itu… ” Ki Bagus Sura memperingatkan akan adanya bahaya.
“Ya, amankan barang-barang itu,” gumam Ki Dita.
Namun aneh sekali, mata Ki Dita berbinar-binar seperti bergembira. Mengapa dihadang perampok malah bergembira, pikir Purbajaya. Namun belakangan akhirnya sadar. Barangkali ini dianggapnya sebuah peristiwa baik bagi orang-orang yang tengah menjalani latihan. Bukankah pernah dikatakan bahwa pertempuran sesungguhnya merupakan pelatihan paling sempurna? Maklum akan isi hati Ki Dita, Purbajaya tidak ikut maju. Apalagi baik Ki Bagus Sura mau pun Paman Ranu, bahkan Ki Dita sendiri, enak-enak saja duduk di atas punggung kuda.
“Turunlah kalian semua. Dan kalau ingin selamat, serahkan peti-peti berukir itu!” teriak perampok.
“Juga uang-uang kalian. Uang apa saja, apakah itu uang logam dari Portegis, Cina, Campa, Parasi atau uang jenis apa pun!” teriak yang lain.
“Kuda kalian pun harus ditambat di sini. Hahaha…, itu kuda bagus, cocok untuk digunakan di pegunungan!”
“Jangan lupa pakaian mereka, Jaya!”
“Ya, betul, tanggalkan pula pakaian kalian. Itu buatan wilayah Hindustan. Di sini barang seperti itu susah!”
Semua anggota perampok saling mengeluarkan pendapat yang pokoknya meminta agar semua harta yang ada pada rombongan muhibah ini diserahkan pada mereka.
Bergetar hati Purbajaya. Jumlah perampok ada sekitar limabelas orang. Bukan takut pada mereka, tokh anggota muhibah tujuh orang dirasa cukup melayani mereka. Tapi masalahnya, yang “harus” melawan perampok sudah diputuskan hanya tiga orang saja, yaitu mereka yang sedang menjalani pelatihan. Ketika Purbajaya melirik, nampak tiga orang calon ksatria itu wajahnya tegang. Wista belum apa-apa malah sudah mengucurkan keringat deras di seluruh wajahnya yang ceking.
Ketika Ki Dita memerintahkan mereka, Aditia dan Yaksalah yang lebih dahulu meloncat. Sementara Wista masih terlihat duduk di atas punggung kuda dengan tubuh mendadak bongkok.
Purbajaya belum bisa menduga, mengapa murid-murid Ki Dita tidak meloloskan senjata masing-masing padahal pedang sudah siap di pinggang. Mungkin mereka tak berhati kejam dan tak mau melumpuhkan lawan hingga terluka apalagi membunuh. Namun bisa juga karena alasan lain. Dasar gerakan ilmu kewiraan mereka mengandalkan kehalusan. Bila sedang latihan pun, gerakan mereka diiringi petikan dawai kecapi dan alunan suara suling. Sementara golok dan pedang hanyalah lambang dari kekuatan kasar.
Lawan cepat menduga bahwa mereka akan mendapatkan perlawanan. Karena itu, mereka bersiap untuk mengepung.
Aditia dan Yaksa sudah bergerak ke depan. Sementara Wista masih tak beranjak dari punggung kuda, kecuali wajahnya yang pucat-pasi. Namun tingkah dua-duanya sebetulnya tak disetujui Purbajaya. Wista amat memalukan tapi Aditia dan Yaksa pun amat semberono. Mereka mendahului melakukan serangan amat tidak tepat. Dengan jumlah tenaga hanya terdiri dua orang saja lebih baik mengambil posisi bertahan ketimbang menyerang. Taktik bertahan tak selamanya punya arti tidak menyerang. Dalam bertahan paling tidak bisa mempelajari gaya serangan lawan. Menurut hemat Purbajaya kita baru bisa melakukan serangan total kalau sudah bisa mengukur seberapa jauh tingkat kepandaian lawan. Optimiskah Aditia dan Yaksa kalau kepandaian mereka sanggup mengungguli lawan?
Maka pertempuran pun terjadilah. Aditia dan Yaksa menghambur ke depan, disambut pula oleh serbuan yang sama dari pihak lawan dengan senjata terhunus. Aditia dan Yaksa dikepung rapat. Golok dan pedang menerjang kedua orang itu dari kiri, kanan dan depan. Kalau orang biasa menerima serangan seperti itu, barangkali hanya dalam sesaat tubuhnya sudah tercincang habis. Tidak demikian dengan Aditia dan Yaksa. Dan Purbajaya boleh memuji sebab kedua orang pemuda itu bisa menghindari berbagai serangan lawan dengan cukup baik.
Untuk beberapa lama, pertempuran ini enak ditonton. Para pengepung yang beringas, ditepis oleh gerakan amat halus dan indah dilihat. Bagi orang awam, tontonan ini lebih terlihat aneh. Masa sabetan golok dan pedang hanya dikelit dengan gerak “tari”.
Tapi Purbajaya bisa menikmatinya dengan baik. Betapa tarian itu memperlihatkan gerakan taktis dan amat pas. Serangan pengepung, ditepisnya dengan kelitan-kelitan yang tak memerlukan tenaga tapi pas dalam membuyarkannya. Amat indah. Namun sampai kapan ini akan berlangsung?
Nampaknya kedua orang pemuda itu terlalu asyik memperagakan taktik bertahan, padahal dalam gebrakan pertama, justru mereka yang menyerang. Ini amat tidak efektif. Baik Aditia mau pun Yaksa telah mengabaikan prinsip bertempur. Harus diingat, bertempur itu untuk mengalahkan. Jadi kendati yang dilakukan adalah taktik bertahan, namun tujuan utama tetap harus mengalahkan lawan. Apa pun yang dilakukan, tujuan akhir adalah kemenangan.
Purbajaya pernah diajari oleh Paman Jayaratu, bahwa setiap kali lawan menyerang, maka akan terkuak kekosongan pertahanan. Itulah peluang kita untuk balik menyerang. Purbajaya menilai, sebetulnya rombongan perampok ini hanya memiliki tenaga kasar saja dan kepandaiannya pun biasa-biasa, tak ada yang istimewa. Hanya tampang dan gerakan serangannya saja yang ganas sebab tujuannya mungkin untuk menakut-nakuti lawan. Setiap serangan, mereka lakukan dengan membabi-buta, kurang terarah dan terkesan semberono. Lawan yang begini amat mudah dipatahkan serangannya dengan cara memanfaatkan tenaganya. Namun sungguh aneh, peluang-peluang seperti ini tak dimanfaatkan oleh Aditia dan Yaksa. Disengajakah ini?
Purbajaya teringat, ketika dia diserang pemuda ini beberapa hari lalu, Aditia malah bernafsu ingin mengalahkan dirinya. Serangannya malah tidak memperlihatkan kehalusan gerak sebab waktu itu Aditia tengah geram dan penuh emosi. Gerakannya ganas dan terkesan ingin melukai bahkan membunuhnya. Namun kenapa kepada komplotan perampok ini baik Aditia mau pun Yaksa seperti punya perasaan “welas-asih”?
“Ya, karena saya menolak cinta dia…“
“Mengapa menolak”
“Mengapa kau pertanyakan itu, sepertinya ada kewajiban setiap pria musti dilayani?” Nyimas Yuning balik bertanya.
“Engkau gadis pemberani. Namun pada akhirnya, saya nilai kau pun gadis biasa juga,” kata Purbajaya sedikit menggores.
Nyimas Yuning tak tersinggung malah tersenyum tipis. “Saya memang gadis biasa. Tapi apa sebenarnya maksud perkataanmu, Ustad?” tanya gadis itu menatap tajam.
“Ya, engkau gadis biasa dan terkadang terkesan lugu dalam membuat putusan,” kata Purbajaya.
“Adakah yang keliru dalam putusan saya?”
“Bukan sesuatu hal yang keliru. Namun kau bertindak ganjil dan membuat orang lain bingung, Malam itu sebelum rombongan Aditia datang, kau menolak perjodohan. Tapi di hadapan semua orang, kau malah mengaku kalau saya ini calon suamimu. Coba, di hadapan semua orang. Bagaimana itu?” tanya Purbajaya penasaran.
“Kalau saya mengakau hal itu, mengapa?”
Mendapatkan pertanyaan balasan seperti ini, Purbajaya jadi gelagapan. Ya, apa yang harus dia jawab. Maukah dia menolak kenyataan ini? Maukah dia menyinggung perasaan gadis ini. Mungkin pada mulanya dia mau tolak kehendak ayahnya. Namun sesudah beberapa kali ditimbang, dia putuskan untuk menerima saja.
“Pengakuan saya malam itu adalah untuk menolongmu dan juga sekalian menolong saya. Saya dihina habis-habisan oleh Aditia. Jadi kalau saya tak katakan engkau calon suamiku, maka hinaannya akan semakin menjadi-jadi.”
Purbajaya melongo dan tak bisa berkata apa.
“Bagaimana, apa Ustad keberatan dengan ini?” Nyimas Yuning mendesak dan Purbajaya kembali gelagapan seperti mulut kemasukan air.
“Saya memang gadis biasa bahkan sudah tak bernilai, Ustad… Kau tentu tahu apa maksud perkataan Aditia malam itu,” keluh Nyimas Yuning parau.
“Bukan… Bukan itu. Saya tak berpikir seperti itu,” kata Purbajaya. Dia takut sekali kalau dirinya menyinggung perasaan gadis itu.
Nyimas Yuning berbalik dan Purbajaya akan mengejar. Namun dari beranda depan ada suara panggilan untuknya. Suara itu mengatakan kalau semua orang sudah siap untuk berangkat.
“Nyimas… Saya harus berangkat!”
Sejenak gadis itu menoleh. “Ya… berangkatlah!” ujarnya dan kembali berbalik.
Percakapan yang terakhir ini terlalu singkat sehingga Purbajaya tidak bisa meraba apa arti jawaban gadis itu. Sebuah pengharapan agar dia lekas kembali ataukah usiran agar Purbajaya memang “harus pergi”? Ah, ini membingungkan, pikirnya. Kini terdengar suara Ki Bagus Sura memanggil-manggil.
“Ya, saya segera datang!” jawab Purbajaya bergegas.
Benar saja, Ki Bagus Sura telah siap menantinya. “Yang lain sudah lama menunggu. Tapi, apakah kau telah minta diri sama Si Yuning?” tanya Ki Bagus Sura membuat Purbajaya tersipu.
Ki Bagus Sura nampak berpakaian amat ringkas. Pakaiannya jenis yang biasa digunakan oleh kaum santana (golongan pertengahan) yaitu baju kampret dan celana komprang namun terbuat dari kain halus buatan Nagri Campa. Ikat kepalannya berwarna sama dengan warna bajunya.
Keluar dari pekarangan puri, rombongan Ki Dita sudah menunggu sebanyak empat orang, yaitu Ki Dita dan tiga orang muridnya. Semuanya mengangguk seadanya kepada Ki Bagaus Sura namun tidak kepada Purbajaya. Dan hal ini hanya menandakan bahwa mereka masih memendam rasa penasaran kepadanya.
Dengan demikian, rombongan muhibah ini terdiri dari tujuh orang. Mereka naik kuda beriringan. Ki Bagus Sura, Paman Ranu dan Purbajaya berjalan sejajar dan di belakangnya Ki Dita, Aditia, dituturkan oleh dua orang teman Aditia yang belakangan diketahui sebagai Yaksa dan Wista. Seperti sudah diketahui di bagian depan, rombongan ini akan melakukan perjalanan muhibah ke Karatuan Talaga.
Talaga sebetulnya masih berada di bawah Sumedanglarang manakala kedua negri itu ada di bawah kekuasaan Pajajaran. Namun sesudah pengaruh Carbon masuk, tahapan kekuasaan ini sudah tak begitu kentara. Sang Susuhunan Jati yang oleh Wali Sanga dinibatkan sebagai panatagama (penata kehidupan beragama) dan Carbon ditunjuk sebagai puser bumi agama Islam, sudah tak menempatkan negri-negri yang ada seperti hirarki pemerintahan semula. Dengan demikian, Sumedanglarang pun kini tak menganggap Talaga sebagai bawahannya lagi, sebab keduanya sama-sama menganggap pusat kekuasaan hanya ada di Carbon saja.
Namun sudah barang tentu, kebijakan seperti ini tidak selamanya diakui. Walau pun jumlah orang yang berpikir beda tidak begitu banyak namun tetap mengganggu. Selama manausia diberi kemampuan untuk berpikir dan berkehendak, tidak selamanya jalan pikiran dan kehendak mereka sama. Ketika Sumedanglarang dan Talaga bergabung dengan Carbon saja, sudah terlihat ada kelompok yang tak setuju dan memilih minggir dari percaturan politik. Ada juga kelompok-kelompok tertentu yang malah menginginkan baik Sumedanglarang mau pun Talaga tetap mempertahankan kesetiaannya kepada Pajajaran.
Baik Kangjeng Pangeran Santri di Sumedanglarang mau pun Kangjeng Sunan Parung di Talaga, ingin mencoba menghalau kelompok-kelompok ini dan tetap berusaha menjalin persatuan dan kesatuan. Maka untuk itulah kedua negara secara berkala saling mengirimkan utusan persahabatan.
PERJALANAN menuju Karatuan Talaga dilakukan santai saja. Di samping merasa tak perlu melakukan dengan cepat karena tak diburu oleh waktu, mereka pun membutuhkan banyak pengalaman di jalan, terutama untuk keperluan pelatihan tiga orang murid Ki Dita.
“Tahun lalu calon ksatria dihadang perampok,” kata Ki Dita.
“Ouw! Yang namanya diserang musuh bukan latihan. Itu sungguhan!” Wista yang bertubuh ceking kurus berseru kaget.
Purbajaya ingat, pemuda ceking ini adalah pemuda yang lari duluan ketika Aditia dihajar Purbajaya. Dia heran, mengapa pemuda bernyali kecil seperti ini bisa “lulus testing” dan ikut rombongan ini.
“Dasar kau penakut, Wista!” cerca Aditia yang mencongklang di sampingnya.
“Pertarungan sesungguhnya adalah pelatihan paling baik dan paling sempurna,” kata Ki Dita membuat ngeri pemuda Wista.
“Kalau saja ayahmu bukan pejabat penting, tak nanti kau bisa ikut rombongan ini,” Yaksa menyela, membuat wajah Wista merah padam.
“Jangan bawa-bawa ayahandaku!” Wista memotong dengan wajah merah-padam.
“Tapi omonganku benar. Kau jangan memalukan ayahmu,” desak Yaksa. ”Susah-payah ayahmu berjuang agar kau diterima dalam pelatihan ini. Padahal kau tahu, hanya pemuda berkualitas saja yang bisa diterima dalam pelatihan ini,” kata Yaksa lagi.
Untuk ke sekian kalinya Purbajaya senyum dikulum. Di mana-mana selalu saja ada yang mengandalkan kekuasaan untuk kepentingan diri pribadi. Cita-cita untuk menempatkan anak menjadi ksatria negara memang merupakan dambaan semua orang tua. Para pemuda pun berhal begitu. Mereka merasa keberadaan dan kebanggaannya akan tercipta bila bisa masuk menjadi jajaran perwira di Sumedanglarang. Kalau ayahnya pejabat, maka sang pejabat akan berupaya memasukkan anaknya jadi perwira. Perwira adalah batu loncatan untuk menjadi pejabat penting di istana. Jadi sang ayah musti mempersiapkan anaknya juga agar kelak menjadi pejabat di sana.
“Dengan masuknya engkau, sebetulnya ada orang lain yang peluangnya tertutup padahal dia lulus testing,” kata Ki Dita ikut menyela. ”Tapi aku sebagai gurumu takkan putus asa. Asalkan engkau sanggup memperlihatkan kemampuan, semua orang tidak akan kecewa kepadamu,” sambungnya.
Pemuda Wista mengangguk-angguk mengiyakan walau pun ada rona merah di wajahnya karena banyak diperingatkan orang.
“Ini adalah perjalanan muhibah yang cukup berat. Namun dengan demikian akan merupakan ajang pelatihan yang baik bagi Gan Wista. Saya yakin, sepulangnya dari muhibah ini, Gan Wista pasti punya pengalaman berarti,” kata Paman Ranu memberikan semangat sambil melecut kudanya.
Rombongan bertujuh ini masing-masing mengendarai seekor kuda yang gagah dan tinggi besar. Mereka adalah kuda-kuda pilihan, khusus didatangkan dari Sumba melalui Pelabuhan Muhara Jati, Carbon. Tentu saja tidak semua orang mendapatkan fasilitas istimewa seperti ini, kecuali orang-orang tertentu yang dihargai pemerintah.
Kata Ki Dita dan Ki Bagus Sura, kuda-kuda ini terbaik di negerinya. Bila melakukan perjalanan cepat tanpa henti, maka kuda gagah ini bisa berlari selama dua hari penuh tanpa makan dan minum. Dan bila kuda-kuda ini dipacu, sebenarnya menuju Karatuan Talaga tidak akan menghabiskan waktu dua hari. Namun kata Ki Bagus Sura,kuda mahal perawatannya pun mahal. Kalau terjadi apa-apa pada kuda ini, negara akan banyak dirugikan. Justru karena kuda ini mahal, maka mereka menggunakannya dengan apik sekali. Mereka berpendapat, kuda mahal harus dijaga keutuhannya. Jangan sampai sakit apalagi cedera. Sebab kalau begitu, perawatan akan lebih mahal mengurus kuda ketimbang orang yang sakit.
Lagi pula semakin santai di perjalanan dan semakin lama menempuh perjalanan, maka akan semakin banyak menerima pengalaman berharga, terutama bagi calon ksatria. Dan benar saja, karena perjalanan dilakukan berlama-lama, maka banyak pengalaman dilalui, termasuk pengalaman “penting” yang selalu “ditunggu”. Di tengah jalan, di tengah hutan pohon pinus, mereka dihadang orang jahat.
Ketika itu rombongan baru saja memasuki kawasan hutan pinus di tepi Sungai Cimanuk. Di daerah ini kerap kali kaum pedagang antara dua negri selalu dihadang perampok. Perampok ini bisa saja penjahat biasa namun bisa juga karena alasan “politik”
Seperti yang pernah diketahui oleh Purbajaya kemelut berkepanjangan antara Carbon dan Pajajaran telah melahirkan berbagai perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Melemahnya kekuasaan Pajajaran di wilayah timur dan utara telah menyebabkan banyak negara kecil di wilayah itu memilih memindahkan kesetiaannya kepada Carbon. Namun tentu saja tak semua orang punya pendapat seperti itu. Ada juga kelompok yang tetap mempertahankan kesetiaannya kepada Pajajaran. Namun kelompok seperti ini kebanyakan terasing dari percaturan negri bersangkutan. Dan walau pun tidak terang-terangan dianggap musuh negara namun mereka terputus komunikasinya dari dunia ramai.
Di Karatuan Sumedanglarang pun ada yang ingin mempertahankan kesetiaannya kepada Pajajaran. Begitu pun di Karatuan Talaga. Mereka yang berbeda haluan, memilih mengasingkan diri. Namun yang sikapnya keras, memberontak, membuat kekacauan atau malah menjadi perampok. Mereka tinggal di gunung, di hutan lebat dan untuk mempertahankan hidupnya, kerjanya mencegat kaum pedagang di sepanjang jalan pedati antara Galuh (Ciamis) dan Pakuan (Bogor).
Sejak zamannya Kangjeng Prabu Sri Baduga Maharaja raja Pajajaran yang pertama (1482-1521 Masehi), telah dibangun semacam “high-way” Pajajaran yang menyambungkan wilayah Galuh dengan Pakuan. Jalan raya penghubung kehidupan politik dan ekonomi ini dari Galuh menuju Kawali, Rajagaluh, Talaga, Sumedang, terus ke utara ke wilayah Sagaraherang (Subang), ke barat menuju Cikao (wilayah Purwakarta), Tanjungpura (Karawang), agak membelok lagi ke selatan menuju Muaraberes (wilayah Bekasi), Cibarusa, Cileungsi, dan kembali munuju arah barat sampai kedayo (ibu kota) Pajajaran yaitu Pakuan. Dari Pakuan sebenarnya jalan ini terus bersambung ke wilayah Karatuan Tanjungbarat di tepian Sungai Cisadane dan akhirnya langsung menuju ke wilayah Banten.
Jalan raya ini sudah biasa dilalui pedati kaum saudagar atau perjalanan para petugas negara dalam berkomunikasi dengan negri-negri di sepanjang itu. Namun karena perobahan politik, jalan raya sepanjang ini kini tidak lagi digunakan secara sambung-menyambung sebab telah dibatasi oleh kepentingan berbeda antara Carbon dan Pajajaran.
Rombongan Ki Bagus Sura pantas diminati para penjahat sebab selain mereka menunggang kuda bagus, jenis pakaian yang mereka kenakan pun amat menandakan bahwa yang sedang berkuda beriringan ini adalah kaum bangsawan. Apalagi pada punggung kuda Paman Ranu baik di kiri mau pun di kanannya menggandul peti-peti kayu cendana berukir indah. Peti-peti ini oleh Purbajaya diketahui sebagai benda-benda cinderamata yang sedianya akan diserahkan kepada penguasa Karatuan Talaga.
“Ranu, jaga peti-peti itu… ” Ki Bagus Sura memperingatkan akan adanya bahaya.
“Ya, amankan barang-barang itu,” gumam Ki Dita.
Namun aneh sekali, mata Ki Dita berbinar-binar seperti bergembira. Mengapa dihadang perampok malah bergembira, pikir Purbajaya. Namun belakangan akhirnya sadar. Barangkali ini dianggapnya sebuah peristiwa baik bagi orang-orang yang tengah menjalani latihan. Bukankah pernah dikatakan bahwa pertempuran sesungguhnya merupakan pelatihan paling sempurna? Maklum akan isi hati Ki Dita, Purbajaya tidak ikut maju. Apalagi baik Ki Bagus Sura mau pun Paman Ranu, bahkan Ki Dita sendiri, enak-enak saja duduk di atas punggung kuda.
“Turunlah kalian semua. Dan kalau ingin selamat, serahkan peti-peti berukir itu!” teriak perampok.
“Juga uang-uang kalian. Uang apa saja, apakah itu uang logam dari Portegis, Cina, Campa, Parasi atau uang jenis apa pun!” teriak yang lain.
“Kuda kalian pun harus ditambat di sini. Hahaha…, itu kuda bagus, cocok untuk digunakan di pegunungan!”
“Jangan lupa pakaian mereka, Jaya!”
“Ya, betul, tanggalkan pula pakaian kalian. Itu buatan wilayah Hindustan. Di sini barang seperti itu susah!”
Semua anggota perampok saling mengeluarkan pendapat yang pokoknya meminta agar semua harta yang ada pada rombongan muhibah ini diserahkan pada mereka.
Bergetar hati Purbajaya. Jumlah perampok ada sekitar limabelas orang. Bukan takut pada mereka, tokh anggota muhibah tujuh orang dirasa cukup melayani mereka. Tapi masalahnya, yang “harus” melawan perampok sudah diputuskan hanya tiga orang saja, yaitu mereka yang sedang menjalani pelatihan. Ketika Purbajaya melirik, nampak tiga orang calon ksatria itu wajahnya tegang. Wista belum apa-apa malah sudah mengucurkan keringat deras di seluruh wajahnya yang ceking.
Ketika Ki Dita memerintahkan mereka, Aditia dan Yaksalah yang lebih dahulu meloncat. Sementara Wista masih terlihat duduk di atas punggung kuda dengan tubuh mendadak bongkok.
Purbajaya belum bisa menduga, mengapa murid-murid Ki Dita tidak meloloskan senjata masing-masing padahal pedang sudah siap di pinggang. Mungkin mereka tak berhati kejam dan tak mau melumpuhkan lawan hingga terluka apalagi membunuh. Namun bisa juga karena alasan lain. Dasar gerakan ilmu kewiraan mereka mengandalkan kehalusan. Bila sedang latihan pun, gerakan mereka diiringi petikan dawai kecapi dan alunan suara suling. Sementara golok dan pedang hanyalah lambang dari kekuatan kasar.
Lawan cepat menduga bahwa mereka akan mendapatkan perlawanan. Karena itu, mereka bersiap untuk mengepung.
Aditia dan Yaksa sudah bergerak ke depan. Sementara Wista masih tak beranjak dari punggung kuda, kecuali wajahnya yang pucat-pasi. Namun tingkah dua-duanya sebetulnya tak disetujui Purbajaya. Wista amat memalukan tapi Aditia dan Yaksa pun amat semberono. Mereka mendahului melakukan serangan amat tidak tepat. Dengan jumlah tenaga hanya terdiri dua orang saja lebih baik mengambil posisi bertahan ketimbang menyerang. Taktik bertahan tak selamanya punya arti tidak menyerang. Dalam bertahan paling tidak bisa mempelajari gaya serangan lawan. Menurut hemat Purbajaya kita baru bisa melakukan serangan total kalau sudah bisa mengukur seberapa jauh tingkat kepandaian lawan. Optimiskah Aditia dan Yaksa kalau kepandaian mereka sanggup mengungguli lawan?
Maka pertempuran pun terjadilah. Aditia dan Yaksa menghambur ke depan, disambut pula oleh serbuan yang sama dari pihak lawan dengan senjata terhunus. Aditia dan Yaksa dikepung rapat. Golok dan pedang menerjang kedua orang itu dari kiri, kanan dan depan. Kalau orang biasa menerima serangan seperti itu, barangkali hanya dalam sesaat tubuhnya sudah tercincang habis. Tidak demikian dengan Aditia dan Yaksa. Dan Purbajaya boleh memuji sebab kedua orang pemuda itu bisa menghindari berbagai serangan lawan dengan cukup baik.
Untuk beberapa lama, pertempuran ini enak ditonton. Para pengepung yang beringas, ditepis oleh gerakan amat halus dan indah dilihat. Bagi orang awam, tontonan ini lebih terlihat aneh. Masa sabetan golok dan pedang hanya dikelit dengan gerak “tari”.
Tapi Purbajaya bisa menikmatinya dengan baik. Betapa tarian itu memperlihatkan gerakan taktis dan amat pas. Serangan pengepung, ditepisnya dengan kelitan-kelitan yang tak memerlukan tenaga tapi pas dalam membuyarkannya. Amat indah. Namun sampai kapan ini akan berlangsung?
Nampaknya kedua orang pemuda itu terlalu asyik memperagakan taktik bertahan, padahal dalam gebrakan pertama, justru mereka yang menyerang. Ini amat tidak efektif. Baik Aditia mau pun Yaksa telah mengabaikan prinsip bertempur. Harus diingat, bertempur itu untuk mengalahkan. Jadi kendati yang dilakukan adalah taktik bertahan, namun tujuan utama tetap harus mengalahkan lawan. Apa pun yang dilakukan, tujuan akhir adalah kemenangan.
Purbajaya pernah diajari oleh Paman Jayaratu, bahwa setiap kali lawan menyerang, maka akan terkuak kekosongan pertahanan. Itulah peluang kita untuk balik menyerang. Purbajaya menilai, sebetulnya rombongan perampok ini hanya memiliki tenaga kasar saja dan kepandaiannya pun biasa-biasa, tak ada yang istimewa. Hanya tampang dan gerakan serangannya saja yang ganas sebab tujuannya mungkin untuk menakut-nakuti lawan. Setiap serangan, mereka lakukan dengan membabi-buta, kurang terarah dan terkesan semberono. Lawan yang begini amat mudah dipatahkan serangannya dengan cara memanfaatkan tenaganya. Namun sungguh aneh, peluang-peluang seperti ini tak dimanfaatkan oleh Aditia dan Yaksa. Disengajakah ini?
Purbajaya teringat, ketika dia diserang pemuda ini beberapa hari lalu, Aditia malah bernafsu ingin mengalahkan dirinya. Serangannya malah tidak memperlihatkan kehalusan gerak sebab waktu itu Aditia tengah geram dan penuh emosi. Gerakannya ganas dan terkesan ingin melukai bahkan membunuhnya. Namun kenapa kepada komplotan perampok ini baik Aditia mau pun Yaksa seperti punya perasaan “welas-asih”?
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment