Betapa karena ingin melihat gadis itu terobati lukanya, maka oleh ayahandanya dia diserahkan kepada Purbajaya. Bila Nyimas Yuning akhirnya jadi dipersunting, Purbajaya bukannya bahagia, tapi malah menjadi sedih, sedih karena nasib gadis itu yang buruk.
Purbajaya tak habis mengerti, mengapa Ki Bagus Sura tidak pernah mencoba menguak perasaan putrinya. Mungkin hati kecil gadis itu tidak suka dianggap benda mati yang bisa digeser ke sana ke mari. Cinta sebenarnya tidak untuk dipaksakan. Tidak pula bagi seorang janda.
Purbajaya kembali menatap wajah gadis itu. Dia anggun, dia cantik. Kasihan kalau keanggunan dan kecantikannya hanya digilir ke sana ke mari tanpa perasaan cinta ikut serta. Namun Purbajaya tahu, tentu gadis itu tak kuasa menentang kehendak ayahnya. Ya, kalau ibu gadis itu telah tiada, kepada siapa lagi dia akan menurut dan mengabdi kalau tidak kepada ayahandanya? Purbajaya tahu kalau banyak anak gadis kehilangan cinta kasih remaja hanya karena ingin berbakti kepada orangtuanya.
Malam ini gadis itu tidak terlalu banyak bicara. Kecuali suara lantunannya yang merdu di malam yang sepi ini. Purbajaya menduga, gadis ini tak banyak bicara mungkin sudah tahu kehendak ayahandanya dan dia tak suka keputusan itu. Kalau benar begitu, Purbajaya jadi tak enak hati. Kalau benar begitu, Purbajaya harus segera duluan bicara dan mengemukakan isi hatinya. Dia harus katakan yang sebenarnya agar tak jadi siksaan bagi gadis itu.
Ya, harus malam ini, sebab sebentar hari Purbajaya diajak Ki Bagus Sura untuk melakukan perjalanan muhibah ke Karatuan Talaga. Sebelum dia pergi, isi hatinya yang sebenarnya harus diketahui dulu oleh Nyimas Yuning Purnama.
Suara merdu Nyimas Yuning Purnama berhenti. Mengajinya selesai. Sesudah menghirup udara sejenak, gadis itu menatap Purbajaya. Kebetulan pemuda itu pun tengah menatapnya sehingga tak pelak dua pasang mata beradu pandang.
“Nyimas…“
“Ustad…“
Keduanya bertatap lama kembali. Namun Nyimas Yuning kalah lebih dahulu. Gadis itu menunduk dengan rona merah di wajahnya. Belakangan Purbajaya pun ikut menunduk dan sepasang pipinya terasa panas. Lama mereka saling berdiam diri. Dan hal ini tak membuat hati Purbajaya semakin tenang.
“Nyimas…. Sepertinya ada yang ingin kau katakan padaku,” kata Purbajaya pada akhirnya.
“Malah saya yang menduga, Ustadlah yang sepertinya punya sesuatu yang akan disampaikan kepada saya,” Nyimas Yuning balik bertanya.
Kembali Purbajaya menunduk. Untuk beberapa lama lidahnya kelu kembali.
“Mengapa, Ustad?”
“Ada memang yang akan saya katakan. Tapi saya khawatir, engkau tak akan senang mendengarnya,” kata Purbajaya sejujurnya.
Pemuda ini memang jadi berpikir lain. Bagaimana seandainya gadis itu sebenarnya mau dipersunting olehnya? Bukankah bila dia bicara tak mengakui mencintai gadis itu maka akan terjadi musibah derita yang kedua bagi gadis itu? Ah, Purbajaya jadi serba salah.
“Nyimas… silakan engkau saja yang bicara duluan,” akhirnya Purbajaya memutuskan.
Kini giliran Nyimas Yuning Purnama yang terlongong-longong diam. Sepertinya gadis itu memendam perasaan bingung untuk menyampaikan sesuatu.
“Mengapa, Nyimas…?”
“Kalaua saya sampaikan, takut menyinggung perasaanmu, Ustad…” jawab gadis itu berani menatap Purbajaya.
Purbajaya kembali balik menatap.
“Tentu ini menyakitkan sebab tak biasanya seorang gadis mengemukakan kehendak,” tuturnya lagi.
“Katakanlah apa adanya, Nyimas,” potong Purbajaya tak sabar sebab ucapan gadis ini semakin membuatnya penasaran.
Namun ditantang seperti ini, malah gadis itu kembali menundukkan kepalanya. Dan hal ini semakin menambah rasa penasaran Purbajaya.
“Jangan ragu, ucapkanlah, Nyimas,” Purbajaya mendesak.
Dia sudah menduga kalau pada akhirnya gadis itu akan tunduk kepada keinginan ayahandanya, yaitu mandah untuk dijodohkan dengannya. Barangkali juga tidak sekadar mentaati keinginan orangtua semata, melainkan juga karena hasratnya. Sekali lagi Purbajaya berkeyakinan bahwa sudah umum gadis di sini mengharap dipersunting oleh pemuda asal Carbon.
Sesudah agak lama membisu, akhirnya Nyimas Yuning berkata juga. Rentetan kalimatnya tenang tak tergesa-gesa dan ada kesan diucapkan dengan penuh kehati-hatian.
“Saya sudah diberitahu perihal maksud ayahanda…“
“Oh, ya? Tentang apa?” Purbajaya pura-pura terkejut.
“Tentang rencana pertalian jodoh kita,” Nyimas Yuning Purnama berkata dengan nada agak bergetar.
“Hm… Lalu, bagaimana?”
“Bolehkah saya mengemukakan keinginan?”
“Engkau adalah orang merdeka, tentu boleh saja mengemukakan apa pun yang ada di hatimu, Nyimas,” kata Purbajaya mulai mencoba memecahkan teka-teki.
Lalu Nyimas Yuning Purnama terdiam lagi sejenak. Dihirupnya lagi udara dalam-dalam seolah-olah ingin mengumpulkan tenaga agar kata-kata yang akan diluncurkannya kelak tidak mandeg lagi di tengah jalan. Lama sekali.
“Ucapkanlah, Nyimas…” Purbajaya kian tak sabar.
“Kalau boleh saya punya keinginan, saya ingin menolak pertalian jodoh ini…” Nyimas Yuning Purnama berkata sambil tetap menunduk. Sepertinya betul dia takut ucapannya menyinggung perasaan orang yang mendengarnya.
Purbajaya terhenyak untuk seketika. Duduknya tegak namun diam mematung.
“Tersinggungkah Ustad oleh ucapan saya ini?” tanya gadis itu kemudian. Tampak sekali ada mimik penuh khawatir di wajahnya.
Namun Purbajaya malah senyum dikulum. Dia mengangguk-angguk. Dan senyumnya tetap tak hilang.
“Mengapa musti tersinggung?” Purbajaya masih juga tersenyum.
Purbajaya tak habis mengerti, mengapa Ki Bagus Sura tidak pernah mencoba menguak perasaan putrinya. Mungkin hati kecil gadis itu tidak suka dianggap benda mati yang bisa digeser ke sana ke mari. Cinta sebenarnya tidak untuk dipaksakan. Tidak pula bagi seorang janda.
Purbajaya kembali menatap wajah gadis itu. Dia anggun, dia cantik. Kasihan kalau keanggunan dan kecantikannya hanya digilir ke sana ke mari tanpa perasaan cinta ikut serta. Namun Purbajaya tahu, tentu gadis itu tak kuasa menentang kehendak ayahnya. Ya, kalau ibu gadis itu telah tiada, kepada siapa lagi dia akan menurut dan mengabdi kalau tidak kepada ayahandanya? Purbajaya tahu kalau banyak anak gadis kehilangan cinta kasih remaja hanya karena ingin berbakti kepada orangtuanya.
Malam ini gadis itu tidak terlalu banyak bicara. Kecuali suara lantunannya yang merdu di malam yang sepi ini. Purbajaya menduga, gadis ini tak banyak bicara mungkin sudah tahu kehendak ayahandanya dan dia tak suka keputusan itu. Kalau benar begitu, Purbajaya jadi tak enak hati. Kalau benar begitu, Purbajaya harus segera duluan bicara dan mengemukakan isi hatinya. Dia harus katakan yang sebenarnya agar tak jadi siksaan bagi gadis itu.
Ya, harus malam ini, sebab sebentar hari Purbajaya diajak Ki Bagus Sura untuk melakukan perjalanan muhibah ke Karatuan Talaga. Sebelum dia pergi, isi hatinya yang sebenarnya harus diketahui dulu oleh Nyimas Yuning Purnama.
Suara merdu Nyimas Yuning Purnama berhenti. Mengajinya selesai. Sesudah menghirup udara sejenak, gadis itu menatap Purbajaya. Kebetulan pemuda itu pun tengah menatapnya sehingga tak pelak dua pasang mata beradu pandang.
“Nyimas…“
“Ustad…“
Keduanya bertatap lama kembali. Namun Nyimas Yuning kalah lebih dahulu. Gadis itu menunduk dengan rona merah di wajahnya. Belakangan Purbajaya pun ikut menunduk dan sepasang pipinya terasa panas. Lama mereka saling berdiam diri. Dan hal ini tak membuat hati Purbajaya semakin tenang.
“Nyimas…. Sepertinya ada yang ingin kau katakan padaku,” kata Purbajaya pada akhirnya.
“Malah saya yang menduga, Ustadlah yang sepertinya punya sesuatu yang akan disampaikan kepada saya,” Nyimas Yuning balik bertanya.
Kembali Purbajaya menunduk. Untuk beberapa lama lidahnya kelu kembali.
“Mengapa, Ustad?”
“Ada memang yang akan saya katakan. Tapi saya khawatir, engkau tak akan senang mendengarnya,” kata Purbajaya sejujurnya.
Pemuda ini memang jadi berpikir lain. Bagaimana seandainya gadis itu sebenarnya mau dipersunting olehnya? Bukankah bila dia bicara tak mengakui mencintai gadis itu maka akan terjadi musibah derita yang kedua bagi gadis itu? Ah, Purbajaya jadi serba salah.
“Nyimas… silakan engkau saja yang bicara duluan,” akhirnya Purbajaya memutuskan.
Kini giliran Nyimas Yuning Purnama yang terlongong-longong diam. Sepertinya gadis itu memendam perasaan bingung untuk menyampaikan sesuatu.
“Mengapa, Nyimas…?”
“Kalaua saya sampaikan, takut menyinggung perasaanmu, Ustad…” jawab gadis itu berani menatap Purbajaya.
Purbajaya kembali balik menatap.
“Tentu ini menyakitkan sebab tak biasanya seorang gadis mengemukakan kehendak,” tuturnya lagi.
“Katakanlah apa adanya, Nyimas,” potong Purbajaya tak sabar sebab ucapan gadis ini semakin membuatnya penasaran.
Namun ditantang seperti ini, malah gadis itu kembali menundukkan kepalanya. Dan hal ini semakin menambah rasa penasaran Purbajaya.
“Jangan ragu, ucapkanlah, Nyimas,” Purbajaya mendesak.
Dia sudah menduga kalau pada akhirnya gadis itu akan tunduk kepada keinginan ayahandanya, yaitu mandah untuk dijodohkan dengannya. Barangkali juga tidak sekadar mentaati keinginan orangtua semata, melainkan juga karena hasratnya. Sekali lagi Purbajaya berkeyakinan bahwa sudah umum gadis di sini mengharap dipersunting oleh pemuda asal Carbon.
Sesudah agak lama membisu, akhirnya Nyimas Yuning berkata juga. Rentetan kalimatnya tenang tak tergesa-gesa dan ada kesan diucapkan dengan penuh kehati-hatian.
“Saya sudah diberitahu perihal maksud ayahanda…“
“Oh, ya? Tentang apa?” Purbajaya pura-pura terkejut.
“Tentang rencana pertalian jodoh kita,” Nyimas Yuning Purnama berkata dengan nada agak bergetar.
“Hm… Lalu, bagaimana?”
“Bolehkah saya mengemukakan keinginan?”
“Engkau adalah orang merdeka, tentu boleh saja mengemukakan apa pun yang ada di hatimu, Nyimas,” kata Purbajaya mulai mencoba memecahkan teka-teki.
Lalu Nyimas Yuning Purnama terdiam lagi sejenak. Dihirupnya lagi udara dalam-dalam seolah-olah ingin mengumpulkan tenaga agar kata-kata yang akan diluncurkannya kelak tidak mandeg lagi di tengah jalan. Lama sekali.
“Ucapkanlah, Nyimas…” Purbajaya kian tak sabar.
“Kalau boleh saya punya keinginan, saya ingin menolak pertalian jodoh ini…” Nyimas Yuning Purnama berkata sambil tetap menunduk. Sepertinya betul dia takut ucapannya menyinggung perasaan orang yang mendengarnya.
Purbajaya terhenyak untuk seketika. Duduknya tegak namun diam mematung.
“Tersinggungkah Ustad oleh ucapan saya ini?” tanya gadis itu kemudian. Tampak sekali ada mimik penuh khawatir di wajahnya.
Namun Purbajaya malah senyum dikulum. Dia mengangguk-angguk. Dan senyumnya tetap tak hilang.
“Mengapa musti tersinggung?” Purbajaya masih juga tersenyum.
Ditatapnya wajah gadis itu lama-lama. Tadinya dia pun ingin mengatakan kalau dirinya sebenarnya kurang setuju dengan keinginan Ki Bagus Sura, Namun maksud ini dia urungkan. Dia tetap khawatir kalau gadis itu malah yang tersinggung.
“Sungguh, saya tak tersinggung oleh ucapanmu, Nyimas…” ungkap lagi Purbajaya.
“Kalau begitu, tentu Ustad tak mencintai saya…” potong gadis itu.
Purbajaya menghentikan senyumnya. Inilah memang salah satu keanehan seorang wanita. Mengapa ada pertanyaan seperti itu yang meluncur keluar dari benaknya, padahal menurut hemat Purbajaya tak perlu dikemukakan.
“Saya tak bisa jawab pertanyaan itu. Yang penting saya sekarang tahu bahwa Nyimas menolak urusan perjodohan,” jawab Purbajaya memotong harapan gadis itu.
“Saya pasti menyinggungmu…“
“Tidak. Bahkan saya bahagia. Engkau punya keberanian dalam mengemukakan kehendak. Saya berkehendak, siapa pun berhak mengemukakan apa yang ada di lubuk hatinya, termasuk dalam urusan cinta-kasih. Sudah terbiasa memang, orang muda berkorban dalam cinta hanya karena berbakti kepada orangtua. Padahal, jangan campur-adukkan cinta kasih dengan bakti kepada orangtua. Cinta-kasih adalah urusan pribadi. Yang akan melakukannya pun pribadi masing-masing dan bukan perintah dari pihak lain. Kalau kau tak suka, maka tak perlu memaksakan diri. Cinta-kasih adalah kebahagiaan dan bukan pengorbanan. Makanya tak baik perasaan cinta dilalui dengan duka,” ujar Purbajaya lirih dan panjang lebar.
Nyimas Yuning menatap lama, sudah itu tersenyum cerah, sepertinya dia mendapatkan dorongan moral dalam mengukuhkan pendapatnya.
“Tapi saya ini tetap saja seoraang wanita. Kepada ayahanda, saya tak bisa bicara seperti ini,” keluh gadis ini.
Dan Purbajaya mengerti maksudnya. “Biar saya yang membantumu bicara,” Purbajaya memotong.
“Bagaimana caranya?”
“Tentu akan saya katakan bahwa sebenarnya saya tak mencintaimu. Jadi perjodohan ini harus dihapuskan. Begitu kan beres?”
Nyimas Yuning merenung sejenak sepertinya tengah mempertimbangkan usul ini. “Engkau yang merugi sebab ayahanda pasti menyalahkanmu,” gumam gadis itu kemudian.
“Yang penting, ayahandamu semakin menyayangimu, Nyimas. Betapa menyakitkan seorang gadis secantikmu ditolak pria. Dan ayahandamu pasti semakin iba padamu sebab disangkanya kau terus-terusan dirundung malang,” kata Purbajaya tak sadar. Belakangan dia baru tahu kalau ucapannya ini membuat wajah gadis itu murung. “Tapi maafkan ucapan saya ini, Nyimas,” sambung Purbajaya.
“Tak apa, Ustad. Namun sebetulnya saya malu kalau ada orang mengatakan saya gadis malang,” jawab gadis itu..”Jodoh adalah urusan Tuhan. Apa pun yang dikehendaki Tuhan, pasti itu yang terbaik buat umatNya. Jadi saya tak berani berkata kalau keputusan Tuhan dianggap sebuah kemalangan,” sambungnya.
Terasa ditampar pipi Purbajaya oleh pendapat gadis itu. Ya, dia bodoh. Mengapa seorang guru agama malah tak becus bicara benar dan melantur ke mana saja.
“Maafkan sekali lagi, saya menyakiti hatimu, Nyimas.”
“Tidak. Malah saya yang harus kau maafkan. Saya menyakitimu karena berani menolak perjodohan,” bantah gadis itu.
Purbajaya menggelengkan kepalanya.
“Betulkah engkau tak sakit hati?” Nyimas Yuning masih penasaran.
“Tidak.”
Dan sepasang mata gadis itu nampak berkaca-kaca. Purbajaya tak tahu, mengapa gadis itu malah menurunkan air matanya. Hingga gadis itu pergi dan menghilang dari pandangan matanya, Purbajaya tetap belum mengerti makna air mata itu.
MASIH tersisa satu hari lagi untuk meninggalkan Sumedanglarang. Ini punya arti, Purbajaya masih diberi kesempatan bertemu Nyimas Yuning Purnama satu malam lagi. Seperti malam-malam sebelumnya, gadis itu duduk bersimpuh dengan anggunnya di atas bale-bale dan saling berhadapan dengan Purbajaya.
“Ke mana lagi santri lainnya, Nyimas? Apakah mereka lagi-lagi berlatih kewiraan di padepokan Ki Dita?” tanya Purbajaya heran.
“Yang saya tahu, tak ada latihan kewiraan di sana. Barangkali mereka masih di perjalanan,” jawab gadis itu membenahi kerudung sutra putihnya.
“Kita tunggu saja mereka sebelum pelajaran dimulai,” Purbajaya berpendapat.
Sudah beberapa kali dia hanya mengajar Nyimas Yuning saja. Ini artinya, untuk beberapa kali ini dia hanya berduaan saja dengan gadis itu. Sambil menunggu yang lain tiba, akhirnya dua orang muda-mudi ini mengobrol. Purbajayalah yang banyak berbicara.
Ditunggu beberapa lama, para santri lain memang datang. Tapi Purbajaya mengerutkan dahi sebab di belakang mereka ada beberapa orang pemuda ikut serta dan perangainya mencurigakan.
“Kalian kami tunggu lama sekali, ke mana sajakah?” tanya Purbajaya kepada para santri.
Namun yang menjawab malah pemuda asing di belakang para santri itu. “Mengapa musti menunggu anak-anak lain, kan lebih asyik berduaan saja?” kata salah seorang dari kelompok pemuda itu. Wajahnya tampan tapi mimiknya angkuh.
Purbajaya meneliti semua pemuda asing itu.Usianya barangkali sebaya dengannya, atau lebih muda satu dua tahun. Yang khas, wajah mereka cukup tampan dan berpakaian santana (golongan menengah), menandakan bahwa mereka anak-anak orang berada. Karena bisa masuk ke puri seenaknya, barangkali mereka anak-anak bangsawan di sini.
Purbajaya berhadapan dengan pemuda yang barusan bicara. Kulit wajah pemuda itu putih bersih. Rambutnya bergelombang hitam dan diikat kain halus warna nila. Matanya tajam serta sepasang alisnya tebal bagaikan sepasang golok melengkung. Hanya yang Purbajaya tak suka, hidung pemuda ini melengkung, mengingatkan dirinya kepada Raden Yudakara. Raden Yudakara pun bertampang begitu dan perilakunya sombong namun penuh misteri.
“Saya tak mengerti perkataanmu, sobat…” kata Purbajaya pelan.
“Aku hanya ingin tanya, apa sih kerjamu di sini?” tanya pemuda itu sambil bertolak pinggang.
“Tanyalah pada anak-anak santri ini kalau kehadiran saya di sini adalah mengajar mereka mengaji,” jawab lagi Purbajaya.
“Mengajar mengaji? Mengaji apa ngobrol-ngobrol berduaan di malam-malam begini sambil sesekali berbisik-bisik sambil mengobral senyum?” Pemuda itu tertawa diikuti oleh tawa teman-temannya.
“Kalian ini bukan pasangan sah. Guru dan murid lagi. Mengapa kerjanya berduaan saja?” tanya yang lainnya. Nampak sekali semua pemuda ini hendak menekan Purbajaya.
“Kami tak melakukan hal apa pun, apalagi yang dilarang agama,” tutur Purbajaya lagi.
Namun terdengar lagi kekeh mengejek dari para pemuda itu. “Dengarlah hai kawan, betapa pintarnya si hidung belang ini berkilah. Santri lain disuruh pergi berlatih kewiraan sementara dia berupaya menggoda janda muda yang cantik! Hai teman, mari hajar si bedebah ini!” kata si pemuda tampan sambil bergerak maju. Teman-temannya ada sekitar lima orang serentak ikut maju.
Purbajaya tidak punya kesempatan untuk menghindar. Maka tak ayal bentrokan pun terjadi. Dia seorang diri dikeroyok lima orang pemuda. Purbajaya meloncat ke depan agak ke arah tempat yang lapang agar tidak menyulitkan gerakannya. Sementara Nyimas Yuning berseru agar pertikaian tidak berlangsung. Beberapa anak santri malah menyingkir agak jauh kendati mereka seolah membiarkan pertempuran berlangsung. Tapi santri putri kebanyakan sudah menyingkir mencari selamat.
Kelompok pemuda ini membentuk lingkaran dalam upaya mengepung Purbajaya. Mereka terus bergerak sambil memutar. Yang aneh, pasangan kuda-kudanya begitu indah dan gerakannya mirip orang menari.
Purbajaya mengenal beberapa ilmu kewiraan. Ada yang diperlihatkan dengan gaya keras, ada pula yang dikemas dalam gaya lembut. Purbajaya bahkan mengenal, ilmu kewiraan yang dikembangkan oleh Ki Dita mengutamakan kelembutan gerak. Khabarnya dalam melatih ilmu ini, jurus-jurus Ki Dita diiringi dawai kecapi dan tiupan suling.
Bagi orang awam, gerakan indah yang diiringi dentingan dawai kecapi dan bunyi suling hanyalah gerak tarian biasa. Padahal di balik kelembutan itu ada tenaga dahsyat yang bisa membahayakan jiwa lawan. Namun demikian, tenaga dahsyat yang dikemas kelembutan ini harus dimainkan oleh orang yang memiliki kelembutan hati pula dan jauh dari sifat emosi. Purbajaya sangsi, apakah kelima orang itu sanggup memainkan jurus ini dengan baik?
Purbajaya sedikit terkejut melihat gerakan mereka. Jangan-jangan kelompok pemuda ini murid-murid Ki Dita. Kalau benar, dia perlu hati-hati. Bukan takut menghadapi mereka, namun yang Purbajaya khawatirkan, antara Ki Bagus Sura dengan Ki Dita bahkan dengan majikan Ki Dita yaitu Ki Sanja, tidak memiliki kesesuaian paham. Purbajaya tak mau, urusan malam ini jadi kian menyulut pertikaian mereka. Purbajaya tak bisa berpikir lama sebab serangan-serangan datang beruntun.
Serangan itu memang dilakukan dengan menampilkan tarian lembut. Namun ketika ada sodokan kepalan tangan mengarah ulu hati, Purbajaya merasakan adanya terjangan angin pukulan. Sodokan dilakukan oleh pemuda tampan itu. Mulanya diawali oleh gerakan meliuk telapak tangan kiri dari atas ke bawah. Purbajaya terpesona oleh gerak liukan itu hingga hampir lupa oleh serangan sodokan yang datang dari bawah yang dilakukan tangan kanan, meluncur dari balik liukan tangan kiri.
Purbajaya terkejut namun tak merasa khawatir sebab desiran angin pukulan yang dilontarkan tidak terasa deras. Hanya menandakan bahwa si pelaku tidak menyertakan tenaga dalam yang kuat.
Sebenarnya Purbajaya dengan mudah bisa menepis serangan ini kalau saja dalam waktu bersamaan tidak datang serangan lain. Serangan ini datang dari samping kirinya, berupa tendangan lurus mengarah pinggang. Sementara itu dari samping kanan datang pula sodokan kepalan lain.
Purbajaya tidak menjadi panik oleh situasi ini. Ki Jayaratu yang menjadi gurunya di Carbon pernah mengatakan, bahwa tubuh manusia dilengkapi pertahanan amat sempurna. Sepasang tangan dan kaki adalah senjata dan sekaligus alat pertahanan amat ampuh. Karena memiliki unsur pertahanan yang kuat itulah maka Ki Jayaratu selalu menekankan agar tak takut dengan berbagai pengeroyokan. Asalkan kita sanggup memanfaatkan sepasang tangan dan kaki dengan tepat, anggota tubuh itu bisa digunakan sebagai alat pertahanan dan juga sekaligus sebagai alat untuk menyerang.
Dalam latihan ilmu bela diri di Carbon, Purbajaya kerap kali dilatih untuk menghadapi pengeroyokan belasan orang bahkan puluhan orang. Oleh karena itulah, dalam menghadapi pengeroyokan enam orang ini, Purbajaya tidak merasa panik.
Ada tiga serangan yang datang secara bersamaan, yaitu dari depan berupa sodokan pukulan mengarah ulu hati, pukulan dari samping kanan dan tendangan dari samping kirinya. Bila serangan ini ditepis satu persatu, Purbajaya tidak akan sempat menepisnya. Maka satu-satunya cara untuk menepisnya adalah sama-sekali memanfaatkan ketiga serangan lawan untuk berbalik menyerang tuannya sendiri.
Ketika sodokan dari depan meluncur deras, Purbajaya menarik langkahnya ke belakang. Kepalan tangan musuh yang telanjur menyodok dia tangkap erat dan dia gunakan untuk menangkis pukulan tangan lain yang datang dari samping kanannya. Si pemukul dari arah depan tampak menyeringai kesakitan karena pergelangan tangannya kena pukul temannya sendiri. Sementara itu dari arah kiri meluncur pula tendangan. Datangnya cukup keras dan cepat. Namun tendangan itu menyapu dua tangan temannya sendiri secara keras pula. Maka berbareng dengan itu terdengar jeritan keras. Jeritan datang dari dua mulut hampir berbarengan. Mengapa tak begitu sebab yang kena sabetan tendangan kaki adalah dua orang sekaligus.
Si pelaku tendangan terlihat kaget. Mungkin tak menyangka kalau serangan derasnya malah menyapu temannya sendiri. Dan sebelum hilang kagetnya, dia pun terdengar menjerit pula karena pahanya dipukul keras oleh Purbajaya. Pukulan itu sebenarnya hanya mengandalkan tenaga kasar saja. Kalau menggunakan tenaga dalam barangkali akibatnya bukan hanya sekadar sakit, melainkan paha beserta tulangnya akan hancur.
Dalam satu gebrakan, tiga orang sudah dilumpuhkan. Kini tinggal tiga orang lagi. Purbajaya menunggu datangnya serangan baru. Namun ditunggu beberapa saat tak ada serangan. Ternyata tiga orang sisanya sudah menghilang di kegelapan. Sementara yang tiga orang lagi, sambil meringis menahan sakit akhirnya mengundurkan diri dari tempat itu, percis anjing kena gebuk.
Anak-anak santri pun pada menghilang. Kini tinggallah kembali Purbajaya dan Nyimas Yuning.
“Siapakah mereka, Nyimas… ?”
“Mereka adalah murid-murid Ki Dita. Yang terlihat begitu marah padamu adalah Aditia, putra tunggal Ki Sanja.” Nyimas Yuning Purnama menerangkan dengan nada sedih. Bahkan ada tersirat perasaan khawatir.
“Hanya itu, Nyimas?”
“Di kalangan sesama anak bangsawan, Aditia disegani para pemuda lainnya.”
“Apakah seharusnya saya pun segan padanya, Nyimas?” tanya Purbajaya.
Hanya dijawab elahan napas oleh Nyimas Yuning.
Purbajaya masih belum mengerti, apa yang dirisaukan gadis ini. “Barangkali kita akan mendapatkan petaka…” gumam Purbajaya menduga jalan pikiran gadis ini.
Dan belum juga kalimatnya berakhir, ke tempat itu datang sekelompok orang. Mereka adalah pemuda yang tadi termasuk Aditia, namun sambil diikuti seorang tua di belakangnya. Nyimas Yuning berbisik kalau orang tua itu adalah Ki Dita. Begitu berhadapan dengan Purbajaya, pemuda-pemuda itu langsung saja mencak-mencak memarahi. Semua telunjuk mereka diarahkan kepada hidung Purbajaya.
“Ki Guru, inilah dia Si Anak Bengal itu. Lihatlah, Si Tebal Muka ini kendati sudah kami usir namun tetap saja merayu Nyimas Yuning. Diberi peringatan malah marah-marah dan memukuli kami. Dia pasti pemuda jahat dan menyelundup ke sini pura-pura jadi guru mengaji!” kata salah seorang dari para pemuda itu menunjuk-nunjuk hidung Purbajaya. Pemuda itu bertubuh ceking seperti kurang makan.
Ki Dita yang bertubuh gemuk dengan wajah bulat dan berkumis tebal itu tidak menyambut pengaduan ini begitu saja. Dia hanya meneliti Purbajaya dengan tatapan tajam.
Purbajaya tidak balas menatap. Bukannya takut kepada Ki Dita. Tapi dia pikir alangkah tak sopan balik menatap pada orang tua dan apalagi Ki Dita seorang guru yang disegani di sini.
Namun sebelum kejadian selanjutnya berlangsung, tiba-tiba datang pula Ki Bagus Sura. Dia nampak tergopoh-gopoh mendatangi ke tempat di mana banyak orang berkumpul.
“Ki Guru Dita, ada apakah ini?” tanyanya mengerutkan alis.
Ki Bagus Sura bertanya dengan nada halus namun kerutan alisnya menandakan bahwa orang tua ini tidak senang ada orang bergerombol memasuki wilayah purinya.
Ki Dita belum menjawab, kecuali memandangi para muridnya satu persatu. Terakhir dipandanginya Aditia seolah-olah Ki Dita minta agar anak muda itu yang mewakilinya bicara. Dan benar saja, sebab Aditia maju dan langsung menyampaikan apa yang terjadi. Tentu saja dengan versi miliknya.
“Ki Bagus, apakah engkau tidak tahu kalau pemuda culas ini saban malam kerjanya merayu putrimu?” tanya Aditia ketus. Kemudian diarahkannya matanya yang tajam dan penuh kebencian itu kepada Purbajaya.
“Maksudmu, Purbajaya tidak sopan kepada putriku?” tanya Ki Bagus Sura.
“Betul begitu!”
“Tidak benar, Ki Bagus,” Purbajaya menyela.
Ki Dita menatap bergantian ke arah Aditia dan Purbajaya, sepertinya dia ingin tahu perkataan siapa yang benar. Demikian pun Ki Bagus Sura menatap mereka bergantian.
“Tapi Purbajaya guru mengaji putriku,” cetus Ki Bagus Sura kemudian.
“Nah, apalagi begitu. Uh, sangat menjijikkan!” Aditia mencibir.
“Dia calon suami anakku.”
“Apa?” Aditia terbelalak, seperti amat kaget dengan apa yang didengarnya.
“Benar, pemuda ini calon suami Si Yuning,” Ki Bagus Sura menegaskan kembali.
“Bohong. Nyimas Yuning sudah bilang padaku kalau tak mau lagi punya suami. Betul kan, Nyimas?” Aditia menoleh kepada Nyimas Yuning.
Yang ditatap hanya menunduk.
“Betul, kan?” Aditia mendesak.
“Betul. Kakang Purba calon suami saya…” kata Nyimas Yuning akhirnya.
Purbajaya dan Aditia sama-sama melongo akan jawaban ini.
“Nyimas, betulkah itu?” tanya Aditia.
Purbajaya pun sebetulnya hampir mengatakan ucapan yang sama namun keburu dibatalkan.
“Kau… Kau bohong padaku, Nyimas…” wajah Aditia nampak merah-padam. Sepasang tangannya bahkan terkepal.
“Aditia, mari pulang!” ajak Ki Dita sama berwajah tak senang. Namun pemuda itu masih mengepalkan tinjunya dengan berang sekali.
“Kau memalukan. Sepertinya gadis di dunia hanya dia seorang!” kata lagi Ki Dita.
“Sungguh, saya tak tersinggung oleh ucapanmu, Nyimas…” ungkap lagi Purbajaya.
“Kalau begitu, tentu Ustad tak mencintai saya…” potong gadis itu.
Purbajaya menghentikan senyumnya. Inilah memang salah satu keanehan seorang wanita. Mengapa ada pertanyaan seperti itu yang meluncur keluar dari benaknya, padahal menurut hemat Purbajaya tak perlu dikemukakan.
“Saya tak bisa jawab pertanyaan itu. Yang penting saya sekarang tahu bahwa Nyimas menolak urusan perjodohan,” jawab Purbajaya memotong harapan gadis itu.
“Saya pasti menyinggungmu…“
“Tidak. Bahkan saya bahagia. Engkau punya keberanian dalam mengemukakan kehendak. Saya berkehendak, siapa pun berhak mengemukakan apa yang ada di lubuk hatinya, termasuk dalam urusan cinta-kasih. Sudah terbiasa memang, orang muda berkorban dalam cinta hanya karena berbakti kepada orangtua. Padahal, jangan campur-adukkan cinta kasih dengan bakti kepada orangtua. Cinta-kasih adalah urusan pribadi. Yang akan melakukannya pun pribadi masing-masing dan bukan perintah dari pihak lain. Kalau kau tak suka, maka tak perlu memaksakan diri. Cinta-kasih adalah kebahagiaan dan bukan pengorbanan. Makanya tak baik perasaan cinta dilalui dengan duka,” ujar Purbajaya lirih dan panjang lebar.
Nyimas Yuning menatap lama, sudah itu tersenyum cerah, sepertinya dia mendapatkan dorongan moral dalam mengukuhkan pendapatnya.
“Tapi saya ini tetap saja seoraang wanita. Kepada ayahanda, saya tak bisa bicara seperti ini,” keluh gadis ini.
Dan Purbajaya mengerti maksudnya. “Biar saya yang membantumu bicara,” Purbajaya memotong.
“Bagaimana caranya?”
“Tentu akan saya katakan bahwa sebenarnya saya tak mencintaimu. Jadi perjodohan ini harus dihapuskan. Begitu kan beres?”
Nyimas Yuning merenung sejenak sepertinya tengah mempertimbangkan usul ini. “Engkau yang merugi sebab ayahanda pasti menyalahkanmu,” gumam gadis itu kemudian.
“Yang penting, ayahandamu semakin menyayangimu, Nyimas. Betapa menyakitkan seorang gadis secantikmu ditolak pria. Dan ayahandamu pasti semakin iba padamu sebab disangkanya kau terus-terusan dirundung malang,” kata Purbajaya tak sadar. Belakangan dia baru tahu kalau ucapannya ini membuat wajah gadis itu murung. “Tapi maafkan ucapan saya ini, Nyimas,” sambung Purbajaya.
“Tak apa, Ustad. Namun sebetulnya saya malu kalau ada orang mengatakan saya gadis malang,” jawab gadis itu..”Jodoh adalah urusan Tuhan. Apa pun yang dikehendaki Tuhan, pasti itu yang terbaik buat umatNya. Jadi saya tak berani berkata kalau keputusan Tuhan dianggap sebuah kemalangan,” sambungnya.
Terasa ditampar pipi Purbajaya oleh pendapat gadis itu. Ya, dia bodoh. Mengapa seorang guru agama malah tak becus bicara benar dan melantur ke mana saja.
“Maafkan sekali lagi, saya menyakiti hatimu, Nyimas.”
“Tidak. Malah saya yang harus kau maafkan. Saya menyakitimu karena berani menolak perjodohan,” bantah gadis itu.
Purbajaya menggelengkan kepalanya.
“Betulkah engkau tak sakit hati?” Nyimas Yuning masih penasaran.
“Tidak.”
Dan sepasang mata gadis itu nampak berkaca-kaca. Purbajaya tak tahu, mengapa gadis itu malah menurunkan air matanya. Hingga gadis itu pergi dan menghilang dari pandangan matanya, Purbajaya tetap belum mengerti makna air mata itu.
MASIH tersisa satu hari lagi untuk meninggalkan Sumedanglarang. Ini punya arti, Purbajaya masih diberi kesempatan bertemu Nyimas Yuning Purnama satu malam lagi. Seperti malam-malam sebelumnya, gadis itu duduk bersimpuh dengan anggunnya di atas bale-bale dan saling berhadapan dengan Purbajaya.
“Ke mana lagi santri lainnya, Nyimas? Apakah mereka lagi-lagi berlatih kewiraan di padepokan Ki Dita?” tanya Purbajaya heran.
“Yang saya tahu, tak ada latihan kewiraan di sana. Barangkali mereka masih di perjalanan,” jawab gadis itu membenahi kerudung sutra putihnya.
“Kita tunggu saja mereka sebelum pelajaran dimulai,” Purbajaya berpendapat.
Sudah beberapa kali dia hanya mengajar Nyimas Yuning saja. Ini artinya, untuk beberapa kali ini dia hanya berduaan saja dengan gadis itu. Sambil menunggu yang lain tiba, akhirnya dua orang muda-mudi ini mengobrol. Purbajayalah yang banyak berbicara.
Ditunggu beberapa lama, para santri lain memang datang. Tapi Purbajaya mengerutkan dahi sebab di belakang mereka ada beberapa orang pemuda ikut serta dan perangainya mencurigakan.
“Kalian kami tunggu lama sekali, ke mana sajakah?” tanya Purbajaya kepada para santri.
Namun yang menjawab malah pemuda asing di belakang para santri itu. “Mengapa musti menunggu anak-anak lain, kan lebih asyik berduaan saja?” kata salah seorang dari kelompok pemuda itu. Wajahnya tampan tapi mimiknya angkuh.
Purbajaya meneliti semua pemuda asing itu.Usianya barangkali sebaya dengannya, atau lebih muda satu dua tahun. Yang khas, wajah mereka cukup tampan dan berpakaian santana (golongan menengah), menandakan bahwa mereka anak-anak orang berada. Karena bisa masuk ke puri seenaknya, barangkali mereka anak-anak bangsawan di sini.
Purbajaya berhadapan dengan pemuda yang barusan bicara. Kulit wajah pemuda itu putih bersih. Rambutnya bergelombang hitam dan diikat kain halus warna nila. Matanya tajam serta sepasang alisnya tebal bagaikan sepasang golok melengkung. Hanya yang Purbajaya tak suka, hidung pemuda ini melengkung, mengingatkan dirinya kepada Raden Yudakara. Raden Yudakara pun bertampang begitu dan perilakunya sombong namun penuh misteri.
“Saya tak mengerti perkataanmu, sobat…” kata Purbajaya pelan.
“Aku hanya ingin tanya, apa sih kerjamu di sini?” tanya pemuda itu sambil bertolak pinggang.
“Tanyalah pada anak-anak santri ini kalau kehadiran saya di sini adalah mengajar mereka mengaji,” jawab lagi Purbajaya.
“Mengajar mengaji? Mengaji apa ngobrol-ngobrol berduaan di malam-malam begini sambil sesekali berbisik-bisik sambil mengobral senyum?” Pemuda itu tertawa diikuti oleh tawa teman-temannya.
“Kalian ini bukan pasangan sah. Guru dan murid lagi. Mengapa kerjanya berduaan saja?” tanya yang lainnya. Nampak sekali semua pemuda ini hendak menekan Purbajaya.
“Kami tak melakukan hal apa pun, apalagi yang dilarang agama,” tutur Purbajaya lagi.
Namun terdengar lagi kekeh mengejek dari para pemuda itu. “Dengarlah hai kawan, betapa pintarnya si hidung belang ini berkilah. Santri lain disuruh pergi berlatih kewiraan sementara dia berupaya menggoda janda muda yang cantik! Hai teman, mari hajar si bedebah ini!” kata si pemuda tampan sambil bergerak maju. Teman-temannya ada sekitar lima orang serentak ikut maju.
Purbajaya tidak punya kesempatan untuk menghindar. Maka tak ayal bentrokan pun terjadi. Dia seorang diri dikeroyok lima orang pemuda. Purbajaya meloncat ke depan agak ke arah tempat yang lapang agar tidak menyulitkan gerakannya. Sementara Nyimas Yuning berseru agar pertikaian tidak berlangsung. Beberapa anak santri malah menyingkir agak jauh kendati mereka seolah membiarkan pertempuran berlangsung. Tapi santri putri kebanyakan sudah menyingkir mencari selamat.
Kelompok pemuda ini membentuk lingkaran dalam upaya mengepung Purbajaya. Mereka terus bergerak sambil memutar. Yang aneh, pasangan kuda-kudanya begitu indah dan gerakannya mirip orang menari.
Purbajaya mengenal beberapa ilmu kewiraan. Ada yang diperlihatkan dengan gaya keras, ada pula yang dikemas dalam gaya lembut. Purbajaya bahkan mengenal, ilmu kewiraan yang dikembangkan oleh Ki Dita mengutamakan kelembutan gerak. Khabarnya dalam melatih ilmu ini, jurus-jurus Ki Dita diiringi dawai kecapi dan tiupan suling.
Bagi orang awam, gerakan indah yang diiringi dentingan dawai kecapi dan bunyi suling hanyalah gerak tarian biasa. Padahal di balik kelembutan itu ada tenaga dahsyat yang bisa membahayakan jiwa lawan. Namun demikian, tenaga dahsyat yang dikemas kelembutan ini harus dimainkan oleh orang yang memiliki kelembutan hati pula dan jauh dari sifat emosi. Purbajaya sangsi, apakah kelima orang itu sanggup memainkan jurus ini dengan baik?
Purbajaya sedikit terkejut melihat gerakan mereka. Jangan-jangan kelompok pemuda ini murid-murid Ki Dita. Kalau benar, dia perlu hati-hati. Bukan takut menghadapi mereka, namun yang Purbajaya khawatirkan, antara Ki Bagus Sura dengan Ki Dita bahkan dengan majikan Ki Dita yaitu Ki Sanja, tidak memiliki kesesuaian paham. Purbajaya tak mau, urusan malam ini jadi kian menyulut pertikaian mereka. Purbajaya tak bisa berpikir lama sebab serangan-serangan datang beruntun.
Serangan itu memang dilakukan dengan menampilkan tarian lembut. Namun ketika ada sodokan kepalan tangan mengarah ulu hati, Purbajaya merasakan adanya terjangan angin pukulan. Sodokan dilakukan oleh pemuda tampan itu. Mulanya diawali oleh gerakan meliuk telapak tangan kiri dari atas ke bawah. Purbajaya terpesona oleh gerak liukan itu hingga hampir lupa oleh serangan sodokan yang datang dari bawah yang dilakukan tangan kanan, meluncur dari balik liukan tangan kiri.
Purbajaya terkejut namun tak merasa khawatir sebab desiran angin pukulan yang dilontarkan tidak terasa deras. Hanya menandakan bahwa si pelaku tidak menyertakan tenaga dalam yang kuat.
Sebenarnya Purbajaya dengan mudah bisa menepis serangan ini kalau saja dalam waktu bersamaan tidak datang serangan lain. Serangan ini datang dari samping kirinya, berupa tendangan lurus mengarah pinggang. Sementara itu dari samping kanan datang pula sodokan kepalan lain.
Purbajaya tidak menjadi panik oleh situasi ini. Ki Jayaratu yang menjadi gurunya di Carbon pernah mengatakan, bahwa tubuh manusia dilengkapi pertahanan amat sempurna. Sepasang tangan dan kaki adalah senjata dan sekaligus alat pertahanan amat ampuh. Karena memiliki unsur pertahanan yang kuat itulah maka Ki Jayaratu selalu menekankan agar tak takut dengan berbagai pengeroyokan. Asalkan kita sanggup memanfaatkan sepasang tangan dan kaki dengan tepat, anggota tubuh itu bisa digunakan sebagai alat pertahanan dan juga sekaligus sebagai alat untuk menyerang.
Dalam latihan ilmu bela diri di Carbon, Purbajaya kerap kali dilatih untuk menghadapi pengeroyokan belasan orang bahkan puluhan orang. Oleh karena itulah, dalam menghadapi pengeroyokan enam orang ini, Purbajaya tidak merasa panik.
Ada tiga serangan yang datang secara bersamaan, yaitu dari depan berupa sodokan pukulan mengarah ulu hati, pukulan dari samping kanan dan tendangan dari samping kirinya. Bila serangan ini ditepis satu persatu, Purbajaya tidak akan sempat menepisnya. Maka satu-satunya cara untuk menepisnya adalah sama-sekali memanfaatkan ketiga serangan lawan untuk berbalik menyerang tuannya sendiri.
Ketika sodokan dari depan meluncur deras, Purbajaya menarik langkahnya ke belakang. Kepalan tangan musuh yang telanjur menyodok dia tangkap erat dan dia gunakan untuk menangkis pukulan tangan lain yang datang dari samping kanannya. Si pemukul dari arah depan tampak menyeringai kesakitan karena pergelangan tangannya kena pukul temannya sendiri. Sementara itu dari arah kiri meluncur pula tendangan. Datangnya cukup keras dan cepat. Namun tendangan itu menyapu dua tangan temannya sendiri secara keras pula. Maka berbareng dengan itu terdengar jeritan keras. Jeritan datang dari dua mulut hampir berbarengan. Mengapa tak begitu sebab yang kena sabetan tendangan kaki adalah dua orang sekaligus.
Si pelaku tendangan terlihat kaget. Mungkin tak menyangka kalau serangan derasnya malah menyapu temannya sendiri. Dan sebelum hilang kagetnya, dia pun terdengar menjerit pula karena pahanya dipukul keras oleh Purbajaya. Pukulan itu sebenarnya hanya mengandalkan tenaga kasar saja. Kalau menggunakan tenaga dalam barangkali akibatnya bukan hanya sekadar sakit, melainkan paha beserta tulangnya akan hancur.
Dalam satu gebrakan, tiga orang sudah dilumpuhkan. Kini tinggal tiga orang lagi. Purbajaya menunggu datangnya serangan baru. Namun ditunggu beberapa saat tak ada serangan. Ternyata tiga orang sisanya sudah menghilang di kegelapan. Sementara yang tiga orang lagi, sambil meringis menahan sakit akhirnya mengundurkan diri dari tempat itu, percis anjing kena gebuk.
Anak-anak santri pun pada menghilang. Kini tinggallah kembali Purbajaya dan Nyimas Yuning.
“Siapakah mereka, Nyimas… ?”
“Mereka adalah murid-murid Ki Dita. Yang terlihat begitu marah padamu adalah Aditia, putra tunggal Ki Sanja.” Nyimas Yuning Purnama menerangkan dengan nada sedih. Bahkan ada tersirat perasaan khawatir.
“Hanya itu, Nyimas?”
“Di kalangan sesama anak bangsawan, Aditia disegani para pemuda lainnya.”
“Apakah seharusnya saya pun segan padanya, Nyimas?” tanya Purbajaya.
Hanya dijawab elahan napas oleh Nyimas Yuning.
Purbajaya masih belum mengerti, apa yang dirisaukan gadis ini. “Barangkali kita akan mendapatkan petaka…” gumam Purbajaya menduga jalan pikiran gadis ini.
Dan belum juga kalimatnya berakhir, ke tempat itu datang sekelompok orang. Mereka adalah pemuda yang tadi termasuk Aditia, namun sambil diikuti seorang tua di belakangnya. Nyimas Yuning berbisik kalau orang tua itu adalah Ki Dita. Begitu berhadapan dengan Purbajaya, pemuda-pemuda itu langsung saja mencak-mencak memarahi. Semua telunjuk mereka diarahkan kepada hidung Purbajaya.
“Ki Guru, inilah dia Si Anak Bengal itu. Lihatlah, Si Tebal Muka ini kendati sudah kami usir namun tetap saja merayu Nyimas Yuning. Diberi peringatan malah marah-marah dan memukuli kami. Dia pasti pemuda jahat dan menyelundup ke sini pura-pura jadi guru mengaji!” kata salah seorang dari para pemuda itu menunjuk-nunjuk hidung Purbajaya. Pemuda itu bertubuh ceking seperti kurang makan.
Ki Dita yang bertubuh gemuk dengan wajah bulat dan berkumis tebal itu tidak menyambut pengaduan ini begitu saja. Dia hanya meneliti Purbajaya dengan tatapan tajam.
Purbajaya tidak balas menatap. Bukannya takut kepada Ki Dita. Tapi dia pikir alangkah tak sopan balik menatap pada orang tua dan apalagi Ki Dita seorang guru yang disegani di sini.
Namun sebelum kejadian selanjutnya berlangsung, tiba-tiba datang pula Ki Bagus Sura. Dia nampak tergopoh-gopoh mendatangi ke tempat di mana banyak orang berkumpul.
“Ki Guru Dita, ada apakah ini?” tanyanya mengerutkan alis.
Ki Bagus Sura bertanya dengan nada halus namun kerutan alisnya menandakan bahwa orang tua ini tidak senang ada orang bergerombol memasuki wilayah purinya.
Ki Dita belum menjawab, kecuali memandangi para muridnya satu persatu. Terakhir dipandanginya Aditia seolah-olah Ki Dita minta agar anak muda itu yang mewakilinya bicara. Dan benar saja, sebab Aditia maju dan langsung menyampaikan apa yang terjadi. Tentu saja dengan versi miliknya.
“Ki Bagus, apakah engkau tidak tahu kalau pemuda culas ini saban malam kerjanya merayu putrimu?” tanya Aditia ketus. Kemudian diarahkannya matanya yang tajam dan penuh kebencian itu kepada Purbajaya.
“Maksudmu, Purbajaya tidak sopan kepada putriku?” tanya Ki Bagus Sura.
“Betul begitu!”
“Tidak benar, Ki Bagus,” Purbajaya menyela.
Ki Dita menatap bergantian ke arah Aditia dan Purbajaya, sepertinya dia ingin tahu perkataan siapa yang benar. Demikian pun Ki Bagus Sura menatap mereka bergantian.
“Tapi Purbajaya guru mengaji putriku,” cetus Ki Bagus Sura kemudian.
“Nah, apalagi begitu. Uh, sangat menjijikkan!” Aditia mencibir.
“Dia calon suami anakku.”
“Apa?” Aditia terbelalak, seperti amat kaget dengan apa yang didengarnya.
“Benar, pemuda ini calon suami Si Yuning,” Ki Bagus Sura menegaskan kembali.
“Bohong. Nyimas Yuning sudah bilang padaku kalau tak mau lagi punya suami. Betul kan, Nyimas?” Aditia menoleh kepada Nyimas Yuning.
Yang ditatap hanya menunduk.
“Betul, kan?” Aditia mendesak.
“Betul. Kakang Purba calon suami saya…” kata Nyimas Yuning akhirnya.
Purbajaya dan Aditia sama-sama melongo akan jawaban ini.
“Nyimas, betulkah itu?” tanya Aditia.
Purbajaya pun sebetulnya hampir mengatakan ucapan yang sama namun keburu dibatalkan.
“Kau… Kau bohong padaku, Nyimas…” wajah Aditia nampak merah-padam. Sepasang tangannya bahkan terkepal.
“Aditia, mari pulang!” ajak Ki Dita sama berwajah tak senang. Namun pemuda itu masih mengepalkan tinjunya dengan berang sekali.
“Kau memalukan. Sepertinya gadis di dunia hanya dia seorang!” kata lagi Ki Dita.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment