Purbajaya yang berbulan-bulan tinggal di wilayah itu, punya penilaian lain kepada pemuda bangsawan tampan bernama Yudakara. Di wilayah Sumedanglarang mungkin banyak orang yang menaruh hormat kepada Raden Yudakara, namun juga tak kurang yang merasa kecewa terhadap penampilannya. Paling tidak, kekecewaan ini dirasakan oleh keluarga Ki Bagus Sura.
Pengetahuan yang didapat Purbajaya, Ki Bagus Sura adalah mantan mertua Raden Yudakara. Dua tahun lalu Raden Yudakara mempersunting Nyimas Yuning Purnama, putri tunggal Ki Bagus Sura. Namun belakangan, tanpa dimulai oleh permasalahan, Raden Yudakara menceraikan gadis itu untuk kemudian menikah lagi dengan Nyimas Waningyun putri Pangeran Arya Damar.
Menurut berita yang sampai ke telinga Purbajaya, keluarga Ki Bagus Sura amat terhina dengan peristiwa ini. Dengan rasa bahagia dan penuh harap, Ki Bagus Sura dulu menyerahkan putri satu-satunya karena Raden Yudakara begitu memperhatikannya dan serta-merta menyatakan cintanya. Siapa tak bahagia putrinya semata wayang dicintai bangsawan Carbon. Raden Yudakara adalah seorang lelaki gagah, tampan dan punya posisi tidak sembarangan di Carbon. Harga diri dan nama baik keluarga itu tentu akan mencuat.
Selama dua tahun dipersunting Raden Yudakara, boleh dikata tak ada permasalahan rumah tangga, kecuali Nyimas Yuning sering ditinggal pergi. Namun semua keluarga memakluminya. Kendati tidak diketahui apa peranan Raden Yudakara di Carbon, namun semua yakin, pemuda bangsawan itu suka menerima tugas penting dari Carbon. Keluarga Ki Bagus Sura memaklumi kalau Raden Yudakara sering menghilang, itu karena tugas penting yang tak boleh diketahui umum. Itu tak mengapa. Hanya yang jadi rasa tak suka keluarga Bagus Sura, sikap Raden Yudakara demikian aneh. Bukankah suatu hal yang aneh kalau menceraikan istrinya begitu saja tanpa sebab?
“Seburuk apa pun nasib perempuan, masih lebih berharga dimadu ketimbang dicerai. Aku sudah akan berlapang dada, kalau saja anakku dimadu. Si Yuning tak punya dosa, tak punya kesalahan namun secara tiba-tiba diceraikan begitu saja, hanya karena Raden Yudakara akan menikahi putri keluarga Pangeran Arya Damar,” kata Ki Bagus Sura dengan perasaan sedih.
Malam itu bulan benderang. Purbajaya dimintai tolong mengajar mengaji anak-anak remaja di lingkungan benteng. Sudah hampir sebulan ini Purbajaya tinggal di puri Ki Bagus Sura. Pemuda ini mulanya tak ada niat untuk tinggal di keluarga ini. Maklumlah, di sana ada janda muda yang kecantikannya demikian dikenal di seputar istana. Para pemuda di sekitar benteng istana, baik anak bangsawan mau pun hanya pemuda prajurit dan jagabaya begitu mendambakan cintanya Nyimas Yuning Purnama. Purbajaya tadinya tak mau dekat-dekat dengan wanita sebab masih trauma dengan peristiwa yang menyangkut Nyimas Waningyun.
Namun Ki Bagus Sura dengan penuh harap menginginkan Purbajaya tinggal di puri untuk memberi latihan mengaji kepada anak-anak puri, termasuk juga melatih mengaji kepada Nyimas Yuning Purnama.
Dimintai bantuan seperti ini, Purbajaya bimbang. Kalau menerima, dia takut dekat-dekat wanita. Tapi kalau menolak itu adalah dosa. Ya, berdosalah orang yang menolak berbuat kebajikan, apalagi yang menyangkut urusan agama secara langsung. Bukankah dari Carbon pun dia diperintah untuk ikut menyebarkan agama baru?
Di wilayah Sumedanglarang, sebetulnya sudah banyak orang yang bisa mengaji. Namun nama “orang Carbon” sepertinya sudah jaminan mutu. Ini tentu merepotkan Purbajaya yang dikenal sebagai orang Carbon. Dia memang bisa mengaji tapi belum pandai benar. Kepandaiannya hanya untuk dilafalkannya sendiri dan bukan untuk diajarkan kepada orang lain sebab takut salah. Namun karena orang telanjur menganggap dirinya sebagai orang Carbon yang serba bisa dalam hal agama, maka Purbajaya pun tak berani menolak. Menolak artinya merendahkan martabat Carbon sendiri dan Purbajaya tak mau itu.
Itulah sebabnya, dia terima permintaan ini sambil dirinya sendiri pun cepat mempelajari apa-apa yang kelak dibutuhkan dalam mengajar. Dia tak mau kelihatan oleh muridnya kalau dia sebagai “guru dari Carbon” malah kelihatan bodoh tak tahu apa-apa.
Namun demikian, jadi guru mengaji di keluarga ini bisa pula jadi keperluan khusus baginya. Semenjak mendengar bahwa Raden Yudakara pernah jadi menantu keluarga ini, dia jadi tertarik ingin menyelidiki lebih jauh perihal keberadaan pemuda bangsawan itu.
Perilaku Raden Yudakara perlu disimak. Meneurut hemat Purbajaya, Raden Yudakara seperti memiliki kepribadian ganda. Sekali waktu terlihat baik, namun sekali waktu malah menampakkan kebalikannya. Ini misteri dan perlu diselidiki.
Menurut pengetahuan yang didapat, Raden Yudakara mengemban tugas penting bagi Carbon, yaitu memata-matai kegiatan Pajajaran. Namun pihak Pajajaran pun sebenarnya tengah “menggunakan” pemuda bangsawan ini sebagai mata-mata yang ditempatkan di Carbon. Carbon beranggapan bahwa Raden Yudakara tetap bekerja untuk Carbon, sementara orang Pajajaran pun menduga pemuda ini bekerja untuk mereka. Mana yang benar dan mana yang paling merasakan kebenaran pekerjaan Raden Yudakara yang sebenarnya, Purbajaya tak tahu. Namun yang jelas, peranan Raden Yudakara sebenarnya bisa membahayakan semua pihak.
Beberapa lama dia melakukan perjalanan bersama pemuda itu, Purbajaya mendapatkan bahwa Raden Yudakara adalah tetap orang misterius. Purbajaya masih ingat ketika melakukan perjalanan ke puncak Cakrabuana. Raden Yudakara tahu sekali bahwa di puncak gunung itu secara tak sengaja akan terjadi pertemuan antara pasukan Carbon dan pasukan Pajajaran. Namun demikian, Raden Yudakara sepertinya tak berniat untuk mencegah pertempuran. Malah ada kesan dia membiarkan pertempuran berlangsung.
Pertempuran di puncak Cakrabuana memang jadi berlangsung. Pasukan Carbon dan Pajajaran saling bantai. Dan Purbajaya sungguh tak mengerti, mengapa Raden Yudakara ketika itu tetap sembunyi serta secuil pun tidak berniat melibatkan diri dalam urusan itu? Perilaku Raden Yudakara amat membingungkan.
Hal yang tak disenangi lainnya, menurut penilaian Purbajaya, Raden Yudakara adalah seorang pemuda yang romantis. Dia selalu menyenangi wanita cantik. kalau pun tak disebutnya sebagai hidung belang. Di sepanjang perjalanan antara Carbon dan wilayah Talaga, kerjanya hanya menggoda kaum perempuan saja. Raden Yudakara pun terkesan tidak menghormati sesama kaum lelaki dalam upaya mendapatkan cinta. Buktinya, kendati Raden Yudakara tahu bahwa Purbajaya menaruh hati kepada Nyimas Waningyun, dan mohon pertolongan untuk mengurusnya, namun belakangan diketahui kalau “sang comblang” itu sendiri yang makan mangsanya.
Barangkali Raden Yudakara ini orang yang kaya akan siasat licik dan pandai merekayasa keadaan sehingga semua permasalahan pada akhirnya menjadi keuntungan bagi dirinya. Kalau tak begitu, tak nanti sanggup mempersunting Nyimas Waningyun. Perlu taktik yang hebat dalam upaya mengenyahkan Raden Ranggasena, tunangan Nyimas Waningyun. Siasat apa yang dijalankannya sehingga sanggup menundukkan perangai Pangeran Arya Damar yang keras dan telah berhasil menempatkan bangsawan itu sebagai mertuanya, Purbajaya tak bisa menduganya. Ya, Raden Yudakara sungguh miterius. Dan Purbajaya harus menyelidikinya. Mungkin penyelidikan bisa dimulai dari rumah bangsawan ini.
“Raden Yudakara punya masalah lebih besar ketimbang urusan pernikahan…” gumam Purbajaya di saat santai mengobrol dengan Ki Bagus Sura. Pendapat Purbajaya ini hanya dijawab dengan dengus ejekan dari Ki Bagus Sura.
Purbajaya menatap lama ke arah wajah orang tua yang kepalanya diikat kain ikat kepala jenis lohen ini.
“Maafkan bila saya menyinggung perasaanmu,” sambung Purbajaya.
Pengetahuan yang didapat Purbajaya, Ki Bagus Sura adalah mantan mertua Raden Yudakara. Dua tahun lalu Raden Yudakara mempersunting Nyimas Yuning Purnama, putri tunggal Ki Bagus Sura. Namun belakangan, tanpa dimulai oleh permasalahan, Raden Yudakara menceraikan gadis itu untuk kemudian menikah lagi dengan Nyimas Waningyun putri Pangeran Arya Damar.
Menurut berita yang sampai ke telinga Purbajaya, keluarga Ki Bagus Sura amat terhina dengan peristiwa ini. Dengan rasa bahagia dan penuh harap, Ki Bagus Sura dulu menyerahkan putri satu-satunya karena Raden Yudakara begitu memperhatikannya dan serta-merta menyatakan cintanya. Siapa tak bahagia putrinya semata wayang dicintai bangsawan Carbon. Raden Yudakara adalah seorang lelaki gagah, tampan dan punya posisi tidak sembarangan di Carbon. Harga diri dan nama baik keluarga itu tentu akan mencuat.
Selama dua tahun dipersunting Raden Yudakara, boleh dikata tak ada permasalahan rumah tangga, kecuali Nyimas Yuning sering ditinggal pergi. Namun semua keluarga memakluminya. Kendati tidak diketahui apa peranan Raden Yudakara di Carbon, namun semua yakin, pemuda bangsawan itu suka menerima tugas penting dari Carbon. Keluarga Ki Bagus Sura memaklumi kalau Raden Yudakara sering menghilang, itu karena tugas penting yang tak boleh diketahui umum. Itu tak mengapa. Hanya yang jadi rasa tak suka keluarga Bagus Sura, sikap Raden Yudakara demikian aneh. Bukankah suatu hal yang aneh kalau menceraikan istrinya begitu saja tanpa sebab?
“Seburuk apa pun nasib perempuan, masih lebih berharga dimadu ketimbang dicerai. Aku sudah akan berlapang dada, kalau saja anakku dimadu. Si Yuning tak punya dosa, tak punya kesalahan namun secara tiba-tiba diceraikan begitu saja, hanya karena Raden Yudakara akan menikahi putri keluarga Pangeran Arya Damar,” kata Ki Bagus Sura dengan perasaan sedih.
Malam itu bulan benderang. Purbajaya dimintai tolong mengajar mengaji anak-anak remaja di lingkungan benteng. Sudah hampir sebulan ini Purbajaya tinggal di puri Ki Bagus Sura. Pemuda ini mulanya tak ada niat untuk tinggal di keluarga ini. Maklumlah, di sana ada janda muda yang kecantikannya demikian dikenal di seputar istana. Para pemuda di sekitar benteng istana, baik anak bangsawan mau pun hanya pemuda prajurit dan jagabaya begitu mendambakan cintanya Nyimas Yuning Purnama. Purbajaya tadinya tak mau dekat-dekat dengan wanita sebab masih trauma dengan peristiwa yang menyangkut Nyimas Waningyun.
Namun Ki Bagus Sura dengan penuh harap menginginkan Purbajaya tinggal di puri untuk memberi latihan mengaji kepada anak-anak puri, termasuk juga melatih mengaji kepada Nyimas Yuning Purnama.
Dimintai bantuan seperti ini, Purbajaya bimbang. Kalau menerima, dia takut dekat-dekat wanita. Tapi kalau menolak itu adalah dosa. Ya, berdosalah orang yang menolak berbuat kebajikan, apalagi yang menyangkut urusan agama secara langsung. Bukankah dari Carbon pun dia diperintah untuk ikut menyebarkan agama baru?
Di wilayah Sumedanglarang, sebetulnya sudah banyak orang yang bisa mengaji. Namun nama “orang Carbon” sepertinya sudah jaminan mutu. Ini tentu merepotkan Purbajaya yang dikenal sebagai orang Carbon. Dia memang bisa mengaji tapi belum pandai benar. Kepandaiannya hanya untuk dilafalkannya sendiri dan bukan untuk diajarkan kepada orang lain sebab takut salah. Namun karena orang telanjur menganggap dirinya sebagai orang Carbon yang serba bisa dalam hal agama, maka Purbajaya pun tak berani menolak. Menolak artinya merendahkan martabat Carbon sendiri dan Purbajaya tak mau itu.
Itulah sebabnya, dia terima permintaan ini sambil dirinya sendiri pun cepat mempelajari apa-apa yang kelak dibutuhkan dalam mengajar. Dia tak mau kelihatan oleh muridnya kalau dia sebagai “guru dari Carbon” malah kelihatan bodoh tak tahu apa-apa.
Namun demikian, jadi guru mengaji di keluarga ini bisa pula jadi keperluan khusus baginya. Semenjak mendengar bahwa Raden Yudakara pernah jadi menantu keluarga ini, dia jadi tertarik ingin menyelidiki lebih jauh perihal keberadaan pemuda bangsawan itu.
Perilaku Raden Yudakara perlu disimak. Meneurut hemat Purbajaya, Raden Yudakara seperti memiliki kepribadian ganda. Sekali waktu terlihat baik, namun sekali waktu malah menampakkan kebalikannya. Ini misteri dan perlu diselidiki.
Menurut pengetahuan yang didapat, Raden Yudakara mengemban tugas penting bagi Carbon, yaitu memata-matai kegiatan Pajajaran. Namun pihak Pajajaran pun sebenarnya tengah “menggunakan” pemuda bangsawan ini sebagai mata-mata yang ditempatkan di Carbon. Carbon beranggapan bahwa Raden Yudakara tetap bekerja untuk Carbon, sementara orang Pajajaran pun menduga pemuda ini bekerja untuk mereka. Mana yang benar dan mana yang paling merasakan kebenaran pekerjaan Raden Yudakara yang sebenarnya, Purbajaya tak tahu. Namun yang jelas, peranan Raden Yudakara sebenarnya bisa membahayakan semua pihak.
Beberapa lama dia melakukan perjalanan bersama pemuda itu, Purbajaya mendapatkan bahwa Raden Yudakara adalah tetap orang misterius. Purbajaya masih ingat ketika melakukan perjalanan ke puncak Cakrabuana. Raden Yudakara tahu sekali bahwa di puncak gunung itu secara tak sengaja akan terjadi pertemuan antara pasukan Carbon dan pasukan Pajajaran. Namun demikian, Raden Yudakara sepertinya tak berniat untuk mencegah pertempuran. Malah ada kesan dia membiarkan pertempuran berlangsung.
Pertempuran di puncak Cakrabuana memang jadi berlangsung. Pasukan Carbon dan Pajajaran saling bantai. Dan Purbajaya sungguh tak mengerti, mengapa Raden Yudakara ketika itu tetap sembunyi serta secuil pun tidak berniat melibatkan diri dalam urusan itu? Perilaku Raden Yudakara amat membingungkan.
Hal yang tak disenangi lainnya, menurut penilaian Purbajaya, Raden Yudakara adalah seorang pemuda yang romantis. Dia selalu menyenangi wanita cantik. kalau pun tak disebutnya sebagai hidung belang. Di sepanjang perjalanan antara Carbon dan wilayah Talaga, kerjanya hanya menggoda kaum perempuan saja. Raden Yudakara pun terkesan tidak menghormati sesama kaum lelaki dalam upaya mendapatkan cinta. Buktinya, kendati Raden Yudakara tahu bahwa Purbajaya menaruh hati kepada Nyimas Waningyun, dan mohon pertolongan untuk mengurusnya, namun belakangan diketahui kalau “sang comblang” itu sendiri yang makan mangsanya.
Barangkali Raden Yudakara ini orang yang kaya akan siasat licik dan pandai merekayasa keadaan sehingga semua permasalahan pada akhirnya menjadi keuntungan bagi dirinya. Kalau tak begitu, tak nanti sanggup mempersunting Nyimas Waningyun. Perlu taktik yang hebat dalam upaya mengenyahkan Raden Ranggasena, tunangan Nyimas Waningyun. Siasat apa yang dijalankannya sehingga sanggup menundukkan perangai Pangeran Arya Damar yang keras dan telah berhasil menempatkan bangsawan itu sebagai mertuanya, Purbajaya tak bisa menduganya. Ya, Raden Yudakara sungguh miterius. Dan Purbajaya harus menyelidikinya. Mungkin penyelidikan bisa dimulai dari rumah bangsawan ini.
“Raden Yudakara punya masalah lebih besar ketimbang urusan pernikahan…” gumam Purbajaya di saat santai mengobrol dengan Ki Bagus Sura. Pendapat Purbajaya ini hanya dijawab dengan dengus ejekan dari Ki Bagus Sura.
Purbajaya menatap lama ke arah wajah orang tua yang kepalanya diikat kain ikat kepala jenis lohen ini.
“Maafkan bila saya menyinggung perasaanmu,” sambung Purbajaya.
“Sebagai sesama orang Carbon, kau tentu akan memihak bekas menantuku itu, Purba…,” Ki Bagaus Sura berdesah kesal.
Purbajaya tadinya akan menyampaikan kalau dirinya pun tidak suka kepada Raden Yudakara. Namun maksud itu diurungkannya. Tak baik dengan orang baru malah menjelek-jelekkan orang lain. Namun Purbajaya pun tak mau mengaku kalau dirinya kini sedang jadi anak-buah pemuda misterius itu. Kalau dia katakan, Ki Bagus Sura malah akan memandang lain pula kepadanya.
“Sesama orang Carbon…” gumam Purbajaya.”Tak ada hubungannya dengan ini. Yang baik akan tetap baik sementara yang lain akan terlihat jelek,” kata Purbajaya seperti bicara kepada dirinya sendiri.
“Syukur kau berpandangan begitu. Sebab aku sendiri telah keliru menafsirkannya.” Ki Bagaus Sura membalas dengan elahan napas. ”Semua orang Sumedanglarang amat hormat kepada Kangjeng Susuhunan Jati. Tak nyana tidak semua orang punya perangai sama,” kata Ki Bagaus Sura lagi.
Dia duduk bersilsa di paseban sambil memijit-mijit betisnya sendiri. Hari ini Ki Bagus Sura baru saja berlatih kewiraan. Purbajaya memuji kepada orang tua ini yang amat rajin melatih tubuhnya. Katanya, di zaman kini, orang hanya bisa mempertahankan keberadaan dirinya melalui kepandaian. Kalau tak memiliki apa-apa, segalanya akan kalah dari yang lainnya.
“Engkau orang baik, Purba…” kata Ki Bagus Sura memuji dengan jujur.
“Jangan terburu-buru menilai orang, nanti keliru lagi…” Purbajaya tersenyum mendengar pujian ini. Secuil pun dia tak bangga dengan pujian sebab meneurutnya, hal ini hanya akan mengurangi kewaspadaan saja.
“Tutur bahasamu sopan memikat,” lanjut Ki Bagus Sura lagi.
Purbajaya hampir saja mengatakan kalau Raden Yudakara pun tutur bahasanya sopan dan memikat. Siapa pun yang bicara dengannya pasti mudah percaya. Maksud ucapannya diurungkan. Dia tetap tak mau orang Sumedanglarang tahu kalau dirinya punya hubungan dengan Raden Yudakara.
“Tutur bahasa belum menjamin nilai kemanusiaan. Banyak yang harus dilihat secara keseluruhan.” lagi-lagi Purbajaya tersenyum.
Percakapan terhenti manakala dari halaman muncul seseorang. Purbajaya menatap ke arah halaman dan kebetulan orang yang baru datang pun sama menatapnya. Maka dua mata beradu pandang. Namun mata Purbajaya kalah duluan. Purbajaya menunduk. Dia kalah sebab lawannya adalah sorot mata seorang gadis. Sorot mata gadis itu tak begitu tajam bahkan ada kesan kuyu tak bersemangat. Namun entah mengapa, Purbajaya tak sanggup melawan tatapan itu. Itu adalah tatap mata Nyimas Yuning Purnama, putri tunggal Ki Bagus Sura dan yang kini telah tidak memiliki ibu lagi karena meninggal.
Mungkin begitu, mengapa orangtuanya menamakannya Purnama. Mata Nyimas Yuning matanya redup seperti purnama menjelang pagi. Atau keredupan itu, apakah karena didera oleh nasib malang perbuatan Raden Yudakara? Sungguh kejam pemuda bangsawan itu. Dia menyepelekan kehalusan perasaan wanita.
“Silahkan Nyimas duduk. Sudah lama saya menanti kalian. Eyah, mana para santri lainnya?”
Purbajaya memepersilakan gadis anggun itu duduk di bale-bale paseban. Sungguh jahat Raden Yudakara. Mengapa gadis secantik ini dibuang begitu saja sehingga nasib Nyimas Yuning terpuruk menjadi janda? Lagi-lagi hati Purbajaya memarahi Raden Yudakara.
“Saya ke sini untuk memberitahu, santri lain tak bisa hadir,” jawab Nyimas Yuning dengan suara halus dan merdu. Dia duduk berhadapan namun agak merentang jarak.
“Karena apa?” Purbajaya mengernyitkan dahi.
“Ada kegiatan lain dipakalangan (arena) Ki Dita,” jawab gadis itu.
“Maafkan, aku tak beritahu sebelumnya,” potong Ki Bagus Sura. ”Ki Dita memang suka memotong pekerjaan orang. Sudah jelas hari ini anak-anak belajar mengaji, malah diajaknya latihan kewiraan,” ungkap Ki Bagus Sura dengan nada tersinggung.
“Sudahlah, ayahanda. Kan, saya tetap datang dan saya mau belajar mengaji…” tutur Nyimas Yuning seolah mencegah ayahnya terus-terusan mengomeli Ki Dita.
Purbajaya tersenyum pahit. Di mana-mana persaingan selalu ada. Tidak pula di kalangan penghuni istana Sumedanglarang. Dalam beberapa bulan saja, Purbajaya pun sebetulnya telah mengenal situasi. Di kalangan pejabat Sumedanglarang memang ada sementara orang yang bersaing ingin paling dekat dan paling dipercaya penguasa. Ki Dita ini anak buahnya Ki Sanja, pejabat yang jadi pesaing utama Ki Bagus Sura. Mereka tidak bermusuhan secara berterang, namun satu sama lain tidak saling menyukai. Di puri Bagus Sura, kegiatan utama adalah mengajar remaja mengaji, sementara di puri Ki Sanja belajar kewiraan. Dua puri ini saling berebut pengaruh dalam memberikan pengajaran. Kadang-kadang waktunya suka bersamaan, seperti hari ini misalnya.
“Malam ini bulan lagi purnama. Barangkali waktu yang tepat untuk bermain-main dipakalangan, ayahanda,” tutur Nyimas Yuning sepertinya membela Ki Dita.
“Ya, mungkin kau benar…” gumam Ki Bagus Sura. ”Sekarang, bagaimana kau mengaji sendirian? Purba, apakah engkau mau mengajari anakku sendirian saja?”
Purbajaya tak bisa menjawab serentak, kecuali menatap Nyimas Yuning. “Saya hanya melihat kesediaan Nyimas saja,” jawab Purbajaya pendek. ”Atau sebetulnya Nyimas pun ingin ikut latihan kewiraan? Saya tahu, di zaman kini, banyak wanita menyukai ilmu kewiraan juga,” kata Purbajaya lagi masih menatap gadis itu.
Nampak Nyimas Yuning menggelengkan kepala sambil tersipu. “Saya tak menyukai kekerasan…” kilahnya menunduk.
Dan ketika menunduk itu, ujung rambut di pelipisnya bergoyang pelan. Indah sekali. Purbajaya terpana. Dan untuk yang ke sekian kalinya Purbajaya menatap lagi. Kini tatapnya sempurna menyapu ke seluruh wajah gadis itu yang bundar dan halus. Dan Purbajaya sadar. Hampir saja dia menampar pipinya sendiri. Dia malu. Malu pada siapa pun. Kata Paman Jayaratu, pandangan mata yang pertama mungkin murni tapi pandangan kedua adalah setan yang menggoda. Jadi kalau dia pandang keelokan wanita terus-menerus, bukan lagi sekadar mensyukuri keagungan Tuhan, melainkan sudah gangguan setan agar berahinya melonjak naik. Purbajaya merasakan kalau sepasang pipinya terasa panas saking malunya sebab nyatanya perbuatan dirinya diketahui pasti oleh Ki Bagus Sura.
“Bagaimana, Nyimas? Maukah engkau mengaji sendirian saja? Maksudku, hanya berdua dengan Purbajaya?” tanya Ki Bagus Sura seperti mengandung arti tersendiri.
“Saya ingin mendalami pelajaran agama…” jawab Nyimas Yuning lirih dan menunduk.
“Nah, layanilah anakku mengaji seorang diri. Jangan khawatir, semakin baik engkau memperhatikan anakku, maka akan semakin baik pula penghargaanku padamu,” Ki Bagus Sura melirik ke arah Nyimas Yuning Purnama dan hal ini amat mengejutkan Purbajaya. Tidakkah orang tua ini punya maksud “macam-macam” dalam siratan kalimat-kalimat yang diucapkannya?
Sebelum sempat berpikir jauh, Ki Bagaus Sura sendiri sudah berjingkat meninggalkan Purbajaya yang ditemani gadis ayu pemurung itu. Ini adalah pengalaman pertama dia dan Nyimas Yuning Purnama berdua berhadapan, disaksikan bulan benderang.
NAMUN belakangan, duduk berduaan di paseban atau di beranda depan bersama Nyimas Yuning Purnama kerap terjadi. Menurut pikir pemuda itu, bisa saja itu bukan sebuah rekayasa agar mereka kerap bertemu. Sebab melihat kenyataannya memang demikian. Nyimas Yuning Purnama begitu bersemangatnya dalam mempelajari agama. Setiap mengaji, gadis itu sepertinya ingat waktu. Kalau Purbajaya tak memperingatkannya, bisa-bisa gadis itu kuat bertahan hingga subuh hari. Namun paling tidak, gadis itu selalu pulang paling akhir. Sementara anak santri lainnya sudah lama bubar, gadis itu malah masih berkutat dengan semangat belajarnya.
Tak ada yang melarang Nyimas Yuning Purnama belajar mengaji berlarut-larut. Apalagi belajar dilakukan di lingkungan puri. Ki Bagaus Sura pun bahkan terlihat bangga putrinya sungguh-sungguh mendalami agama. Sampai pada suatu saat Purbajaya mendapatkan kenyataan yang mengejutkan.
“Aku bersyukur kau mau membimbing anakku. Namun akan lebih bersyukur lagi kalau pada suatu waktu, engkau pun mau menerima anakku satu-satunya sebagai istrimu,” kata Ki Bagus Sura.
Tentu saja ini amat mengejutkan Purbajaya. Dia tatap mata orang tua itu dalam-dalam. Dan Purbajaya mendapatkan keyakinan bahwa ucapan Ki Bagus Sura keluar dari lubuk hatinya paling dalam.
Untuk beberapa lama, Purbajaya tak bisa berkata apa. Terlalu cepat baginya untuk memutuskan sesuatu dan apalagi bernama cinta. Nyimas Yuning Purnama cantik. Sama cantiknya dengan Nyimas Waningyun. Bedanya, Nyimas Waningyun bermata binar bagaikan bintang pagi dan sebaliknya Nyimas Yuning Purnama bermata redup namun menyejukkan hati. Nyimas Waningyun panas dan agresip menantang gejolak berahi hati muda, sementara Nyimas Yuning Purnama sendu namun membuat hati berdebar. Ya, Nyimas Yuning cantik secantik purnama dan memaksa siapa pun untuk berkasihan kepadanya. Purbajaya pun berkasihan dan bersimpati. Namun untuk perasaan cinta, dia masih ragu kendati peluang terbuka dengan lebarnya.
Purbajaya mengerti keadaan ini. Sudah dia ketahui sejak hari kedatangannya, bahwa sementara orang Sumedanglarang begitu bangga kepada orang Carbon yang dianggapnya banyak memiliki ilmu agama dan bisa membimbing orang menjadi baik. Semua orang bahkan percaya kalau Nagri Carbon itu dikukuhkan oleh Sang Wali Sembilan sebagai Puser Bumi Agama Islam dan seluruh penghuninya orang-orang salih semua dalam menjunjung kiprah agama. Itulah sebabnya kalau hampir semua orangtua bercita-cita memiliki mantu lelaki Carbon.
Namun yang Purbajaya tak habis mengerti, Ki Bagus Sura malah dikecewakan oleh bangsawan yang datang dari Carbon. Dan lebih tak dimengertinya lagi, mengapa Ki Bagus Sura sepertinya “tak jera” menghadapi kekecewaan ini. Buktinya, kini hadir “pemuda Carbon” lain dan langsung percaya saja. Di lain pihak, Purbajaya memiliki rasa bangga tersendiri. Namun di pihak lain dia pun merasa prihatin. Prihatin oleh sikap Ki Bagus Sura.
Dia adalah orang tua yang mudah tergoda oleh pengharapan. Harapan lamanya yang musnah, begitu saja tergantikan oleh harapan yang baru. Mungkin dia menginginkan nasib putrinya terangkat. Namun demikian tetap saja dia telah mengorbankan kepentingan putrinya sendiri. Dulu barangkali Nyimas Yuning tak mencintai Raden Yudakara. Tapi hanya karena ketaatan dan pengabdian kepada orangtua semata maka dia terima keinginan Ki Bagus Sura. Sekarang, gadis itu malah sudah akan “dioper” kepada Purbajaya tanpa Nyimas Yuning dimintai pendapatnya. Ini yang membuatnya prihatin.
“Aku sadar, putriku sudah tak berharga lagi. Ibarat sekuntum bunga, dia sudah dipetik orang. Mungkin disimpan di sebuah jamban, namun bisa saja tergeletak begitu saja di rumpun kering. Keinginanku ini lebih didasarkan pada sebuah permohonan ketimbang sebuah cita-cita. Si Yuning ini hidupnya sedang goncang. Dia butuh orang untuk membimbingnya,” tutur Ki Bagus Sura panjang-lebar.
“Sekarang pun saya tengah berusaha untuk membimbingnya…” kata Purbajaya pelan dan tak berani menatap orang tua itu.
“Yang aku maksud, dia butuh pelindung dan penjaganya. Dia butuh ketentraman hidup. Hidup seorang wanita baru terasa tentram kalau ada yang mengayominya. Dia butuh seorang lelaki. Bukan hanya berupa seorang ayah, namun jauh lebih berarti dari itu…”
“Tapi mengapa musti saya?”
“Engkau terlihat memenuhi harapanku, anak muda. Kendati usiamu masih sangat muda tapi kau berpikiran dewasa. Kendati kau bukan seorang bangsawan tapi wawasan berpikirmu sungguh luas. Engkau juga amat sederhana dan tak sombong akan kemampuan diri,” Ki Bagus Sura habis-habisan memuji Purbajaya yang menjadi kikuk karenanya.
“Maafkan aku terlalu berani mengemukakan hal ini, padahal sudah aku katakan tadi bahwa putriku tak berharga…” akhirnya Ki Bagus Sura “tahu diri”.
“Bukan itu maksud saya…” Purbajaya jadi serba-salah. Dia takut kalau Ki Bagus Sura jadi keliru menafsirkan dan malah tersinggung dengan sikapnya ini.
Dan Purbajaya semakin khawatir ketika orang tua itu nampak menunduk lesu sepertinya harapannya didepak sudah.
“Berita ini terlalu tergesa-gesa datangnya,” kata Purbajaya termangu.
Ki Bagus Sura kini baru mau menatap Purbajaya. Sepertinya dia kembali memperoleh harapannya lagi.
“Kuakui memang tergesa-agesa. Aku sadar kalau urusan seperti ini tidak seyogyanya dilakukan secara begini. Engkau perlu waktu untuk mempelajarinya terlebih dahulu,” kata Ki Bagus Sura.
“Begitu kira-kira yang saya maksud…“
“Ya, pikirkanlah hal ini, Purba. Namun engkau harus tahu bahwa ini adalah harapanku yang amat sangat ke padamu,” ungkap orang tua itu sepenuh hati.
Purbajaya mengangguk dan mencoba akan berusaha memikirkan “tawaran” ini. Malam hari Purbajaya jadi susah tidur. Obrolan di senja hari bersama Ki Bagus Sura ini ternyata amat mengganjal hati dan perasaannya.
Tidak diragukan, sebenarnya Purbajaya pun senang melihat kecantikan Nyimas Yuning Purnama. Hampir semua pemuda di Sumedanglarang khabarnya sama mendambakan kasih gadis itu. Hanya menandakan bahwa Nyimas Yuning memang gadis yang punya nilai lebih dibandingkan dengan gadis-gadis istana lainnya. Kalau tak begitu tak nanti semua pemuda bangsawan saling berebut ingin memilikinya. Purbajaya sebagai pemuda normal, tentu sama dengan yang lainnya, yaitu melihat Nyimas Yuning Purnama sebagai gadis istimewa.
Gadis itu penampilan karakternya sungguh bersahaja dan tak mengada-ada. Tutur katanya sopan, tidak pula terhadap dayang pengasuhnya. Wajahnya jauh dari sederhana walau pun pupur yang dikenakan di wajahnya amat sederhana. Justru kesederhanaan pupurnya ini semakin memperlihatkan kecantikannya yang asli. Sudah Purbajaya katakan bahwa orangtuanya memberikan nama “Purnama” karena wajah gadis itu bak purnama di subuh hari. Redup namun cemerlang tanpa gangguan awan.
Ya, sebagai pemuda normal, Purbajaya tentu tertarik kepada gadis ini. Namun di hati pemuda ini banyak tabir menghalangi. Salah satu di antaranya adalah trauma terhadap apa yang bernama cinta-kasih.
Tak bisa disembunyikan lagi kalau peristiwa yang menyangkut nama gadis Nyimas Waningyun telah dan selalu membekas hingga kini. Purbajaya bukan merasa iri gadis itu digaet Raden Yudakara. Bila benar mereka bergandengan tangan berdasarkan cinta-kasih, Purbajaya akan merelakannya. Namun yang segalanya jadi membekas sedih di hati Purbajaya, betapa susah sebenarnya menimba cinta-kasih itu. Purbajaya tak boleh gegabah, tak boleh asal-asalan. Tak boleh memiliki aji-mumpung. Mumpung diberi kepercayaan, maka bagaikan kucing melihat tikus, tidak dipikir dua kali langsung diterkamnya dengan rakus. Purbajaya tak suka itu.
Cinta tak boleh dilakukan hanya karena terkuaknya peluang. Betapa Nyimas Waningyun gadis bangsawan Carbon rela menyerahkan jiwa raganya. Namun belakangan ternyata gadis itu bukan jodohnya. Sekarang peluang terkuak lagi. Namun Purbajaya tak boleh semberono menerimanya. Cinta-kasih itu bukan permainan benda mati. Ada hati dan perasaan yang ikut berperan dan itu yang menentukan segalanya.
Purbajaya memang amat menyukai kecantikan anak bangsawan Bagus Sura ini. Namun cintakah dia kepada Nyi Yuning Purnama? Dan lagi hal lain yang sama-sama tak boleh diabaikan, cinta jugakah Nyimas Yuning kepadanya? Antara Nyimas Waningyun dan dirinya mungkin terjadi cinta sehingga keduanya sepakat akan berbuat hal-hal yang dianggap akan merunyamkan keadaan. Namun dengan Nyimas Yuning belum tentu ada tali benang merah yang mengikat kendati sikap orangtuanya begitu menyetujuinya.
Memang akhir-akhir ini gadis itu semakin dekat kepadanya. Tapi hal ini punya alasan lain, yaitu gadis itu ingin mempelajari agama lebih dalam. Atau, benar-benarkah belajar mengaji hanya digunakannya sebagai batu loncatan agar gadis itu selalu berdekatan dengan dirinya? Pemuda itu menampar pipinya sendiri. Gila, lamunan itu terlalu jauh!
MALAM ini bulan kembali benderang. Anak-anak santri yang lain kembali “tergoda” untuk memilih latihan kewiraan bersama Ki Dita. Ini hanya punya arti bahwa untuk ke sekian kalinya di paseban hanya tinggal Purbajaya berdua dengan Nyimas Yuning Purnama.
Untuk ke sekian kalinya duduk saling berhadapan, hanya terbatasi oleh bantal berlapis kain satin biru buatan Negri Campa sebagai alat penopang Kitab Suci. Tentu tak begitu jauh. Jadi Purbajaya bisa leluasa menatap wajah anggun gadis itu.
Nyimas Yuning memang tengah tak sadar kalau wajahnya ditatap terus Purbajaya sebab dia tengah tekun membaca lafadz Kitab Suci. Suaranya pelan namun merdu mengalun. Sepertinya gadis itu tengah bernyanyi melantunkan lagu indah.
Bibir itu bergerak-gerak mungil bagaikan menantang. Hidungnya yang kecil mancung kembang-kempis karena desahan. Amboi, hidung itu bersemu merah dan sesekali disekanya dengan setangan sutra yang sejak tadi dipegangnya di tangan berjari-jari lentik. Purbajaya menahan napas.
Kalau peristiwa ini terjadi beberapa bulan silam dan bukan di saat mengaji seperti ini, tentu gadis itu sudah digodanya. Betapa tidak. Purbajaya pada dasarnya adalah seorang periang. Dia teringat masa-masa indah bersama Nyimas Waningyun. Pertama berkenalan dengan gadis itu dilaluinya dengan cara-cara yang lucu dan konyol. Ketika gadis itu tengah bersampan di kolam Taman Petratean Istana Pakungwati, secara diam-diam Purbajaya melubangi lunas perahu. Akibatnya, semua penumpang berteriak-teriak karena perahu akan tenggelam. Penumpang berloncatan panik namun tak bisa berenang. Purbajaya segera tampil sebagai “pahlawan” dan menyelamatkan Nyimas Waningyun. Itulah saat pertemuan dengan gadis manis dan periang itu.
Belum berlalu setahun. Namun waktu sesingkat itu telah mengubah segalanya. Nyimas Waningyun sudah dipersunting Raden Yudakara dan Purbajaya telah menjadi guru mengaji. Karena sudah jadi guru maka perilakunya menjadi lain, menjadi “dipaksa” untuk dewasa. Jadi mana mungkin seorang guru kerjanya menggoda murid wanitanya. Itu aib namanya. Makanya Purbajaya lebih terkesan sebagai seorang yang pendiam dan tutur katanya suka serius melulu. Senyum tentu masih membekas namun jauh dari keceriaan seorang belia.
Purbajaya ingin mengaku, semua perubahan ini tentu karena figurnya seorang guru dan bukan karena sisa-sisa cinta yang terpuruk. Kendati dia menyukai Nyimas Yunig Purnama, namun secuil pun dia tidak berniat untuk menggoda gadis itu dengan celoteh-celoteh lucu dan bengal seperti hari-hari lalu. Dia memang tengah menatap paras gadis cantik itu tapi bukan tatapan penuh berahi. Tatapan ini lebih berkesan sebagai pelampiasan rasa kasihan dan iba hati. Gadis itu bernasib malang.
Kecantikan parasnya tidak membawanya sebuah berkah, kecuali jadi permainan keserakahan seorang laki-laki semacam Raden Yudakara. Sekarang oleh ayahandanya, sepertinya gadis itu mau “diserahkan” kembali kepada lelaki lainnya. Mungkin Purbajaya tak sekejam Raden Yudakara. Mungkin saja Purbajaya sanggup memberikan penghargaan kepada gadis itu dengan rasa cinta yang tulus. Namun demikian, dia tetap merasa iba. Kalau pun ada cinta, cinta karena berdasarkan iba semata.
Purbajaya tadinya akan menyampaikan kalau dirinya pun tidak suka kepada Raden Yudakara. Namun maksud itu diurungkannya. Tak baik dengan orang baru malah menjelek-jelekkan orang lain. Namun Purbajaya pun tak mau mengaku kalau dirinya kini sedang jadi anak-buah pemuda misterius itu. Kalau dia katakan, Ki Bagus Sura malah akan memandang lain pula kepadanya.
“Sesama orang Carbon…” gumam Purbajaya.”Tak ada hubungannya dengan ini. Yang baik akan tetap baik sementara yang lain akan terlihat jelek,” kata Purbajaya seperti bicara kepada dirinya sendiri.
“Syukur kau berpandangan begitu. Sebab aku sendiri telah keliru menafsirkannya.” Ki Bagaus Sura membalas dengan elahan napas. ”Semua orang Sumedanglarang amat hormat kepada Kangjeng Susuhunan Jati. Tak nyana tidak semua orang punya perangai sama,” kata Ki Bagaus Sura lagi.
Dia duduk bersilsa di paseban sambil memijit-mijit betisnya sendiri. Hari ini Ki Bagus Sura baru saja berlatih kewiraan. Purbajaya memuji kepada orang tua ini yang amat rajin melatih tubuhnya. Katanya, di zaman kini, orang hanya bisa mempertahankan keberadaan dirinya melalui kepandaian. Kalau tak memiliki apa-apa, segalanya akan kalah dari yang lainnya.
“Engkau orang baik, Purba…” kata Ki Bagus Sura memuji dengan jujur.
“Jangan terburu-buru menilai orang, nanti keliru lagi…” Purbajaya tersenyum mendengar pujian ini. Secuil pun dia tak bangga dengan pujian sebab meneurutnya, hal ini hanya akan mengurangi kewaspadaan saja.
“Tutur bahasamu sopan memikat,” lanjut Ki Bagus Sura lagi.
Purbajaya hampir saja mengatakan kalau Raden Yudakara pun tutur bahasanya sopan dan memikat. Siapa pun yang bicara dengannya pasti mudah percaya. Maksud ucapannya diurungkan. Dia tetap tak mau orang Sumedanglarang tahu kalau dirinya punya hubungan dengan Raden Yudakara.
“Tutur bahasa belum menjamin nilai kemanusiaan. Banyak yang harus dilihat secara keseluruhan.” lagi-lagi Purbajaya tersenyum.
Percakapan terhenti manakala dari halaman muncul seseorang. Purbajaya menatap ke arah halaman dan kebetulan orang yang baru datang pun sama menatapnya. Maka dua mata beradu pandang. Namun mata Purbajaya kalah duluan. Purbajaya menunduk. Dia kalah sebab lawannya adalah sorot mata seorang gadis. Sorot mata gadis itu tak begitu tajam bahkan ada kesan kuyu tak bersemangat. Namun entah mengapa, Purbajaya tak sanggup melawan tatapan itu. Itu adalah tatap mata Nyimas Yuning Purnama, putri tunggal Ki Bagus Sura dan yang kini telah tidak memiliki ibu lagi karena meninggal.
Mungkin begitu, mengapa orangtuanya menamakannya Purnama. Mata Nyimas Yuning matanya redup seperti purnama menjelang pagi. Atau keredupan itu, apakah karena didera oleh nasib malang perbuatan Raden Yudakara? Sungguh kejam pemuda bangsawan itu. Dia menyepelekan kehalusan perasaan wanita.
“Silahkan Nyimas duduk. Sudah lama saya menanti kalian. Eyah, mana para santri lainnya?”
Purbajaya memepersilakan gadis anggun itu duduk di bale-bale paseban. Sungguh jahat Raden Yudakara. Mengapa gadis secantik ini dibuang begitu saja sehingga nasib Nyimas Yuning terpuruk menjadi janda? Lagi-lagi hati Purbajaya memarahi Raden Yudakara.
“Saya ke sini untuk memberitahu, santri lain tak bisa hadir,” jawab Nyimas Yuning dengan suara halus dan merdu. Dia duduk berhadapan namun agak merentang jarak.
“Karena apa?” Purbajaya mengernyitkan dahi.
“Ada kegiatan lain dipakalangan (arena) Ki Dita,” jawab gadis itu.
“Maafkan, aku tak beritahu sebelumnya,” potong Ki Bagus Sura. ”Ki Dita memang suka memotong pekerjaan orang. Sudah jelas hari ini anak-anak belajar mengaji, malah diajaknya latihan kewiraan,” ungkap Ki Bagus Sura dengan nada tersinggung.
“Sudahlah, ayahanda. Kan, saya tetap datang dan saya mau belajar mengaji…” tutur Nyimas Yuning seolah mencegah ayahnya terus-terusan mengomeli Ki Dita.
Purbajaya tersenyum pahit. Di mana-mana persaingan selalu ada. Tidak pula di kalangan penghuni istana Sumedanglarang. Dalam beberapa bulan saja, Purbajaya pun sebetulnya telah mengenal situasi. Di kalangan pejabat Sumedanglarang memang ada sementara orang yang bersaing ingin paling dekat dan paling dipercaya penguasa. Ki Dita ini anak buahnya Ki Sanja, pejabat yang jadi pesaing utama Ki Bagus Sura. Mereka tidak bermusuhan secara berterang, namun satu sama lain tidak saling menyukai. Di puri Bagus Sura, kegiatan utama adalah mengajar remaja mengaji, sementara di puri Ki Sanja belajar kewiraan. Dua puri ini saling berebut pengaruh dalam memberikan pengajaran. Kadang-kadang waktunya suka bersamaan, seperti hari ini misalnya.
“Malam ini bulan lagi purnama. Barangkali waktu yang tepat untuk bermain-main dipakalangan, ayahanda,” tutur Nyimas Yuning sepertinya membela Ki Dita.
“Ya, mungkin kau benar…” gumam Ki Bagus Sura. ”Sekarang, bagaimana kau mengaji sendirian? Purba, apakah engkau mau mengajari anakku sendirian saja?”
Purbajaya tak bisa menjawab serentak, kecuali menatap Nyimas Yuning. “Saya hanya melihat kesediaan Nyimas saja,” jawab Purbajaya pendek. ”Atau sebetulnya Nyimas pun ingin ikut latihan kewiraan? Saya tahu, di zaman kini, banyak wanita menyukai ilmu kewiraan juga,” kata Purbajaya lagi masih menatap gadis itu.
Nampak Nyimas Yuning menggelengkan kepala sambil tersipu. “Saya tak menyukai kekerasan…” kilahnya menunduk.
Dan ketika menunduk itu, ujung rambut di pelipisnya bergoyang pelan. Indah sekali. Purbajaya terpana. Dan untuk yang ke sekian kalinya Purbajaya menatap lagi. Kini tatapnya sempurna menyapu ke seluruh wajah gadis itu yang bundar dan halus. Dan Purbajaya sadar. Hampir saja dia menampar pipinya sendiri. Dia malu. Malu pada siapa pun. Kata Paman Jayaratu, pandangan mata yang pertama mungkin murni tapi pandangan kedua adalah setan yang menggoda. Jadi kalau dia pandang keelokan wanita terus-menerus, bukan lagi sekadar mensyukuri keagungan Tuhan, melainkan sudah gangguan setan agar berahinya melonjak naik. Purbajaya merasakan kalau sepasang pipinya terasa panas saking malunya sebab nyatanya perbuatan dirinya diketahui pasti oleh Ki Bagus Sura.
“Bagaimana, Nyimas? Maukah engkau mengaji sendirian saja? Maksudku, hanya berdua dengan Purbajaya?” tanya Ki Bagus Sura seperti mengandung arti tersendiri.
“Saya ingin mendalami pelajaran agama…” jawab Nyimas Yuning lirih dan menunduk.
“Nah, layanilah anakku mengaji seorang diri. Jangan khawatir, semakin baik engkau memperhatikan anakku, maka akan semakin baik pula penghargaanku padamu,” Ki Bagus Sura melirik ke arah Nyimas Yuning Purnama dan hal ini amat mengejutkan Purbajaya. Tidakkah orang tua ini punya maksud “macam-macam” dalam siratan kalimat-kalimat yang diucapkannya?
Sebelum sempat berpikir jauh, Ki Bagaus Sura sendiri sudah berjingkat meninggalkan Purbajaya yang ditemani gadis ayu pemurung itu. Ini adalah pengalaman pertama dia dan Nyimas Yuning Purnama berdua berhadapan, disaksikan bulan benderang.
NAMUN belakangan, duduk berduaan di paseban atau di beranda depan bersama Nyimas Yuning Purnama kerap terjadi. Menurut pikir pemuda itu, bisa saja itu bukan sebuah rekayasa agar mereka kerap bertemu. Sebab melihat kenyataannya memang demikian. Nyimas Yuning Purnama begitu bersemangatnya dalam mempelajari agama. Setiap mengaji, gadis itu sepertinya ingat waktu. Kalau Purbajaya tak memperingatkannya, bisa-bisa gadis itu kuat bertahan hingga subuh hari. Namun paling tidak, gadis itu selalu pulang paling akhir. Sementara anak santri lainnya sudah lama bubar, gadis itu malah masih berkutat dengan semangat belajarnya.
Tak ada yang melarang Nyimas Yuning Purnama belajar mengaji berlarut-larut. Apalagi belajar dilakukan di lingkungan puri. Ki Bagaus Sura pun bahkan terlihat bangga putrinya sungguh-sungguh mendalami agama. Sampai pada suatu saat Purbajaya mendapatkan kenyataan yang mengejutkan.
“Aku bersyukur kau mau membimbing anakku. Namun akan lebih bersyukur lagi kalau pada suatu waktu, engkau pun mau menerima anakku satu-satunya sebagai istrimu,” kata Ki Bagus Sura.
Tentu saja ini amat mengejutkan Purbajaya. Dia tatap mata orang tua itu dalam-dalam. Dan Purbajaya mendapatkan keyakinan bahwa ucapan Ki Bagus Sura keluar dari lubuk hatinya paling dalam.
Untuk beberapa lama, Purbajaya tak bisa berkata apa. Terlalu cepat baginya untuk memutuskan sesuatu dan apalagi bernama cinta. Nyimas Yuning Purnama cantik. Sama cantiknya dengan Nyimas Waningyun. Bedanya, Nyimas Waningyun bermata binar bagaikan bintang pagi dan sebaliknya Nyimas Yuning Purnama bermata redup namun menyejukkan hati. Nyimas Waningyun panas dan agresip menantang gejolak berahi hati muda, sementara Nyimas Yuning Purnama sendu namun membuat hati berdebar. Ya, Nyimas Yuning cantik secantik purnama dan memaksa siapa pun untuk berkasihan kepadanya. Purbajaya pun berkasihan dan bersimpati. Namun untuk perasaan cinta, dia masih ragu kendati peluang terbuka dengan lebarnya.
Purbajaya mengerti keadaan ini. Sudah dia ketahui sejak hari kedatangannya, bahwa sementara orang Sumedanglarang begitu bangga kepada orang Carbon yang dianggapnya banyak memiliki ilmu agama dan bisa membimbing orang menjadi baik. Semua orang bahkan percaya kalau Nagri Carbon itu dikukuhkan oleh Sang Wali Sembilan sebagai Puser Bumi Agama Islam dan seluruh penghuninya orang-orang salih semua dalam menjunjung kiprah agama. Itulah sebabnya kalau hampir semua orangtua bercita-cita memiliki mantu lelaki Carbon.
Namun yang Purbajaya tak habis mengerti, Ki Bagus Sura malah dikecewakan oleh bangsawan yang datang dari Carbon. Dan lebih tak dimengertinya lagi, mengapa Ki Bagus Sura sepertinya “tak jera” menghadapi kekecewaan ini. Buktinya, kini hadir “pemuda Carbon” lain dan langsung percaya saja. Di lain pihak, Purbajaya memiliki rasa bangga tersendiri. Namun di pihak lain dia pun merasa prihatin. Prihatin oleh sikap Ki Bagus Sura.
Dia adalah orang tua yang mudah tergoda oleh pengharapan. Harapan lamanya yang musnah, begitu saja tergantikan oleh harapan yang baru. Mungkin dia menginginkan nasib putrinya terangkat. Namun demikian tetap saja dia telah mengorbankan kepentingan putrinya sendiri. Dulu barangkali Nyimas Yuning tak mencintai Raden Yudakara. Tapi hanya karena ketaatan dan pengabdian kepada orangtua semata maka dia terima keinginan Ki Bagus Sura. Sekarang, gadis itu malah sudah akan “dioper” kepada Purbajaya tanpa Nyimas Yuning dimintai pendapatnya. Ini yang membuatnya prihatin.
“Aku sadar, putriku sudah tak berharga lagi. Ibarat sekuntum bunga, dia sudah dipetik orang. Mungkin disimpan di sebuah jamban, namun bisa saja tergeletak begitu saja di rumpun kering. Keinginanku ini lebih didasarkan pada sebuah permohonan ketimbang sebuah cita-cita. Si Yuning ini hidupnya sedang goncang. Dia butuh orang untuk membimbingnya,” tutur Ki Bagus Sura panjang-lebar.
“Sekarang pun saya tengah berusaha untuk membimbingnya…” kata Purbajaya pelan dan tak berani menatap orang tua itu.
“Yang aku maksud, dia butuh pelindung dan penjaganya. Dia butuh ketentraman hidup. Hidup seorang wanita baru terasa tentram kalau ada yang mengayominya. Dia butuh seorang lelaki. Bukan hanya berupa seorang ayah, namun jauh lebih berarti dari itu…”
“Tapi mengapa musti saya?”
“Engkau terlihat memenuhi harapanku, anak muda. Kendati usiamu masih sangat muda tapi kau berpikiran dewasa. Kendati kau bukan seorang bangsawan tapi wawasan berpikirmu sungguh luas. Engkau juga amat sederhana dan tak sombong akan kemampuan diri,” Ki Bagus Sura habis-habisan memuji Purbajaya yang menjadi kikuk karenanya.
“Maafkan aku terlalu berani mengemukakan hal ini, padahal sudah aku katakan tadi bahwa putriku tak berharga…” akhirnya Ki Bagus Sura “tahu diri”.
“Bukan itu maksud saya…” Purbajaya jadi serba-salah. Dia takut kalau Ki Bagus Sura jadi keliru menafsirkan dan malah tersinggung dengan sikapnya ini.
Dan Purbajaya semakin khawatir ketika orang tua itu nampak menunduk lesu sepertinya harapannya didepak sudah.
“Berita ini terlalu tergesa-gesa datangnya,” kata Purbajaya termangu.
Ki Bagus Sura kini baru mau menatap Purbajaya. Sepertinya dia kembali memperoleh harapannya lagi.
“Kuakui memang tergesa-agesa. Aku sadar kalau urusan seperti ini tidak seyogyanya dilakukan secara begini. Engkau perlu waktu untuk mempelajarinya terlebih dahulu,” kata Ki Bagus Sura.
“Begitu kira-kira yang saya maksud…“
“Ya, pikirkanlah hal ini, Purba. Namun engkau harus tahu bahwa ini adalah harapanku yang amat sangat ke padamu,” ungkap orang tua itu sepenuh hati.
Purbajaya mengangguk dan mencoba akan berusaha memikirkan “tawaran” ini. Malam hari Purbajaya jadi susah tidur. Obrolan di senja hari bersama Ki Bagus Sura ini ternyata amat mengganjal hati dan perasaannya.
Tidak diragukan, sebenarnya Purbajaya pun senang melihat kecantikan Nyimas Yuning Purnama. Hampir semua pemuda di Sumedanglarang khabarnya sama mendambakan kasih gadis itu. Hanya menandakan bahwa Nyimas Yuning memang gadis yang punya nilai lebih dibandingkan dengan gadis-gadis istana lainnya. Kalau tak begitu tak nanti semua pemuda bangsawan saling berebut ingin memilikinya. Purbajaya sebagai pemuda normal, tentu sama dengan yang lainnya, yaitu melihat Nyimas Yuning Purnama sebagai gadis istimewa.
Gadis itu penampilan karakternya sungguh bersahaja dan tak mengada-ada. Tutur katanya sopan, tidak pula terhadap dayang pengasuhnya. Wajahnya jauh dari sederhana walau pun pupur yang dikenakan di wajahnya amat sederhana. Justru kesederhanaan pupurnya ini semakin memperlihatkan kecantikannya yang asli. Sudah Purbajaya katakan bahwa orangtuanya memberikan nama “Purnama” karena wajah gadis itu bak purnama di subuh hari. Redup namun cemerlang tanpa gangguan awan.
Ya, sebagai pemuda normal, Purbajaya tentu tertarik kepada gadis ini. Namun di hati pemuda ini banyak tabir menghalangi. Salah satu di antaranya adalah trauma terhadap apa yang bernama cinta-kasih.
Tak bisa disembunyikan lagi kalau peristiwa yang menyangkut nama gadis Nyimas Waningyun telah dan selalu membekas hingga kini. Purbajaya bukan merasa iri gadis itu digaet Raden Yudakara. Bila benar mereka bergandengan tangan berdasarkan cinta-kasih, Purbajaya akan merelakannya. Namun yang segalanya jadi membekas sedih di hati Purbajaya, betapa susah sebenarnya menimba cinta-kasih itu. Purbajaya tak boleh gegabah, tak boleh asal-asalan. Tak boleh memiliki aji-mumpung. Mumpung diberi kepercayaan, maka bagaikan kucing melihat tikus, tidak dipikir dua kali langsung diterkamnya dengan rakus. Purbajaya tak suka itu.
Cinta tak boleh dilakukan hanya karena terkuaknya peluang. Betapa Nyimas Waningyun gadis bangsawan Carbon rela menyerahkan jiwa raganya. Namun belakangan ternyata gadis itu bukan jodohnya. Sekarang peluang terkuak lagi. Namun Purbajaya tak boleh semberono menerimanya. Cinta-kasih itu bukan permainan benda mati. Ada hati dan perasaan yang ikut berperan dan itu yang menentukan segalanya.
Purbajaya memang amat menyukai kecantikan anak bangsawan Bagus Sura ini. Namun cintakah dia kepada Nyi Yuning Purnama? Dan lagi hal lain yang sama-sama tak boleh diabaikan, cinta jugakah Nyimas Yuning kepadanya? Antara Nyimas Waningyun dan dirinya mungkin terjadi cinta sehingga keduanya sepakat akan berbuat hal-hal yang dianggap akan merunyamkan keadaan. Namun dengan Nyimas Yuning belum tentu ada tali benang merah yang mengikat kendati sikap orangtuanya begitu menyetujuinya.
Memang akhir-akhir ini gadis itu semakin dekat kepadanya. Tapi hal ini punya alasan lain, yaitu gadis itu ingin mempelajari agama lebih dalam. Atau, benar-benarkah belajar mengaji hanya digunakannya sebagai batu loncatan agar gadis itu selalu berdekatan dengan dirinya? Pemuda itu menampar pipinya sendiri. Gila, lamunan itu terlalu jauh!
MALAM ini bulan kembali benderang. Anak-anak santri yang lain kembali “tergoda” untuk memilih latihan kewiraan bersama Ki Dita. Ini hanya punya arti bahwa untuk ke sekian kalinya di paseban hanya tinggal Purbajaya berdua dengan Nyimas Yuning Purnama.
Untuk ke sekian kalinya duduk saling berhadapan, hanya terbatasi oleh bantal berlapis kain satin biru buatan Negri Campa sebagai alat penopang Kitab Suci. Tentu tak begitu jauh. Jadi Purbajaya bisa leluasa menatap wajah anggun gadis itu.
Nyimas Yuning memang tengah tak sadar kalau wajahnya ditatap terus Purbajaya sebab dia tengah tekun membaca lafadz Kitab Suci. Suaranya pelan namun merdu mengalun. Sepertinya gadis itu tengah bernyanyi melantunkan lagu indah.
Bibir itu bergerak-gerak mungil bagaikan menantang. Hidungnya yang kecil mancung kembang-kempis karena desahan. Amboi, hidung itu bersemu merah dan sesekali disekanya dengan setangan sutra yang sejak tadi dipegangnya di tangan berjari-jari lentik. Purbajaya menahan napas.
Kalau peristiwa ini terjadi beberapa bulan silam dan bukan di saat mengaji seperti ini, tentu gadis itu sudah digodanya. Betapa tidak. Purbajaya pada dasarnya adalah seorang periang. Dia teringat masa-masa indah bersama Nyimas Waningyun. Pertama berkenalan dengan gadis itu dilaluinya dengan cara-cara yang lucu dan konyol. Ketika gadis itu tengah bersampan di kolam Taman Petratean Istana Pakungwati, secara diam-diam Purbajaya melubangi lunas perahu. Akibatnya, semua penumpang berteriak-teriak karena perahu akan tenggelam. Penumpang berloncatan panik namun tak bisa berenang. Purbajaya segera tampil sebagai “pahlawan” dan menyelamatkan Nyimas Waningyun. Itulah saat pertemuan dengan gadis manis dan periang itu.
Belum berlalu setahun. Namun waktu sesingkat itu telah mengubah segalanya. Nyimas Waningyun sudah dipersunting Raden Yudakara dan Purbajaya telah menjadi guru mengaji. Karena sudah jadi guru maka perilakunya menjadi lain, menjadi “dipaksa” untuk dewasa. Jadi mana mungkin seorang guru kerjanya menggoda murid wanitanya. Itu aib namanya. Makanya Purbajaya lebih terkesan sebagai seorang yang pendiam dan tutur katanya suka serius melulu. Senyum tentu masih membekas namun jauh dari keceriaan seorang belia.
Purbajaya ingin mengaku, semua perubahan ini tentu karena figurnya seorang guru dan bukan karena sisa-sisa cinta yang terpuruk. Kendati dia menyukai Nyimas Yunig Purnama, namun secuil pun dia tidak berniat untuk menggoda gadis itu dengan celoteh-celoteh lucu dan bengal seperti hari-hari lalu. Dia memang tengah menatap paras gadis cantik itu tapi bukan tatapan penuh berahi. Tatapan ini lebih berkesan sebagai pelampiasan rasa kasihan dan iba hati. Gadis itu bernasib malang.
Kecantikan parasnya tidak membawanya sebuah berkah, kecuali jadi permainan keserakahan seorang laki-laki semacam Raden Yudakara. Sekarang oleh ayahandanya, sepertinya gadis itu mau “diserahkan” kembali kepada lelaki lainnya. Mungkin Purbajaya tak sekejam Raden Yudakara. Mungkin saja Purbajaya sanggup memberikan penghargaan kepada gadis itu dengan rasa cinta yang tulus. Namun demikian, dia tetap merasa iba. Kalau pun ada cinta, cinta karena berdasarkan iba semata.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment