Ads

Tuesday, December 21, 2021

Kemelut di Cakrabuana 012

Pertempuran yang hanya diterangi cahaya obor di sana-sini, memang terlihat berat sebelah. Kendati pasukan Carbon mendahului menyerang, tapi akhirnya jadi bulan-bulanan pasukan Pajajaran. Mereka yang jumlahnya lebih kecil, akhirnya dikepung rapat oleh sejumlah pasukan yang jauh lebih besar dengan tenaga lebih utuh. Purbajaya berjuang sekuat tenaga. Dia dikepung oleh tiga atau empat orang perwira Pajajaran, belum tenaga beberapa orang prajurit yang membantu mereka di belakang.

Para perwira Pajajaran benar-benar hebat. Gerakan mereka cepat dan susah diikuti ke arah mana mereka melakukan serangan. Mereka menyerang Purbajaya dengan tangan kosong tapi amat membahayakan jiwa kalau tak hati-hati menghadapinya. Mereka menyerang dari depan, dari samping, bahkan dari bawah dan atas sambil kaki-kaki mereka yang lincah dan ringan menotol dari satu pohon ke pohon lain.

Namun kendati pasukan Carbon diserang rapat, ternyata tak mudah dikalahkan. Buktinya, pertempuran di hutan pinus lereng Gunung Cakrabuana ini belum juga usai hingga malam menjelang pagi. Artinya, pertempuran berlangsung sepanjang malam dan satu sama lain sulit mengalahkan kendati pasukan Carbon ada di pihak yang terdesak. Hal ini terjadi barangkali karena kenekatan anggota pasukan Carbon yang dipimpin oleh tiga perwiranya.

Ki Albani, Ki Marsonah dan Ki Aspahar bertempur dengan ganas dan mati-matian bahkan sedikit membabi-buta dalam memainkan senjatanya. Sebaliknya, belasan perwira Pajajaran, di samping bertempur tak menggunakan senjata apa pun, mereka lebih bergerak secara taktis dan tidak terlalu mengobral tenaga. Ini disadari oleh Purbajaya dan barangkali juga oleh Paman Jayaratu, bahwa pasukan Pajajaran ingin membuat pasukan Carbon kalah karena kehabisan tenaga. Mungkin mereka akan melibasnya bila lawan sudah benar-benar lumpuh kehabisan tenaga.

Siasat ini memang berhasil. Ketika hari sudah terang, kondisi tubuh ketiga orang perwira Carbon mulai lemah. Mereka hanya sanggup menggerakkan senjata masing-masing dengan tenaga seadanya saja. Anehnya, orang Pajajaran tak segera melumpuhkannya. Padahal dalam satu kali gerakan, ketiga perwira Carbon sudah bisa dikalahkan.

Hati Purbajaya merasa panas. Dia berpikir orang Pajajaran ini sombong-sombong. Menganggap dirinya sudah berada di atas angin, maka kerja mereka hanya mempermainkan lawan saja, persis seperti kucing mempermainkan tikus sebelum dilahapnya. Sangkaan ini meleset. Ketika ketiga orang perwira Carbon jatuh terduduk karena kelelahan, mereka tak diganggu, apalagi dibunuhnya. Mereka hanya bersikap mengepung saja.

Kelelahan pada akhirnya mendera Purbajaya dan Paman Jayaratu juga. Kedua orang itu akhirnya bertekuk lutut tanpa menerima serangan maut dari pihak lawan. Melihat ke sekelilin, hampir semua orang-orang Carbon tergeletak, entah tewas entah pingsan atau karena kelelahan saja.

“Bunuhlah aku! Bunuhlah aku!” teriak Ki Albani seraya menjambak-jambak rambutnya sendiri. Suaranya parau. Namun nada kesal dan marah bercampur perasaan putus asa nampak sekali pada diri perwira ini. Sementara Ki Marsonah dan Ki Aspahar sudah tergeletak pingsan.

“Ya, bunuhlah semuanya dengan segera, sebab sesudah itu, kalian akan menghadapiku!” tiba-tiba terdengar suara lantang tapi dengan nada acuh tak acuh sepertinya ini bukan peristiwa penting dan mengagetkan.

Yang nampak kaget ketika mendengar suara ini adalah para perwira Pajajaran. Mereka semuanya menatap ke tebing bagian atas. Paman Jayaratu pun nampak terkejut. Dengan susah-payah dia berdiri dan kepalanya tengadah ke atas tebing.

“Ki Darma…” gumam Paman Jayaratu pelan.

Purbajaya ikut menengadah. Di atas tebing cadas nampak orang tua bertubuh ceking dengan rambut warna perak riap-riapan tanpa ikat kepala. Dia bercelana sontog (celana sebatas betis) terbuat dari kain kasar warna nila. Bajunya rompi dari kain kasar juga. Tidak berkancing sehingga dadanya dibiarkan terbuka begitu saja.

Purbajaya mengeluh sebab rasanya kesulitan akan kian bertambah. Mendapat serangan perwira Pajajaran tidak terkenal saja sudah sedemikian payahnya, apalagi ditambah dengan Ki Darma, tokoh yang amat ditakuti semua orang.

“Kalian datang jauh-jauh dari Pakuan, apakah akan menangkapku?” tanya Ki Darma bertolak pinggang.

“Kami memang menerima perintah Ratu untuk menangkapmu. Sebetulnya Kangjeng Prabu Ratu Sakti mengharapkanmu,” kata seorang perwira Pajajaran berusia kira-kira tigapuluh tahun.

“Nah, sekarang laksanakan perintahnya agar kalian menjadi orang-orang yang taat kepada pemerintah. Tapi hati-hati sebab aku akan melawan kalian,” kata Ki Darma masih bertolak pinggang.

“Kami tak akan menangkapmu.”

“Mengapa?”

“Karena kami tak mau!”

“Bocah edan. Apa perlunya kalian jauh-jauh datang ke sini kalau tujuannya hanya mau berkhianat terhadap ratumu?” tanya Ki Darma mengerutkan alis.

“Pertama kami tak akan mampu mengungguli kesaktiamu dan keduanya kami tak mau mentaati perintah Ratu.”

“Hahaha…! Semua orang senang bersandiwara!” Ki Darma terkekeh-kekeh sepertinya ini percakapan penuh kelucuan.

“Ini adalah ucapan yang keluar dari hati kami yang suci. Kami mau berhenti dari pengabdian kami kepada Kangjeng Prabu.”

“Salah sendiri, kenapa kalian mengabdi kepada orang dan bukan kepada negara?” tanya Ki Darma.

“Itulah sebabnya, kami akan bergabung denganmu!”

“Mengabdi padaku?”

“Bukan. Bergabung denganmu.”

“Nanti aku disalahkan lagi sama penguasa Pakuan. Disangkanya aku mempengaruhi kalian untuk sama-sama tak menyukai penguasa!” ujar Ki Darma.

“Itu kami yang bertanggung-jawab.”

“Coba alasan kalian, mengapa kabur dari Pakuan?” tanya Ki Darma.

“Perilaku Kangjeng Prabu semakin menjadi-jadi saja. Rakyat dibebani pajak tinggi, yang membangkang ditangkap. Banyak negara kecil di bawah Pakuan diserang habis-habaisan hanya karena enggan membayar pajak.”

“Penyakit lama… Sialan!” gumam Ki Darma.

“Maka kami akan ikut Aki saja…”



“Hati-hati bicaramu. Aku tak mengumpulkan orang-orang yang membangkang kepada penguasa. Kalau mau membangkang, boleh pergi sendiri-sendiri. Lagi pula aku nyelonong memasuki wilayah orang lain, maksudku tiada lain selain ingin menyepi jauh dari semua berita-berita buruk mengenai Pajajaran,” kata Ki Darma.

“Ya, kami akan jalan sendiri-sendiri, namun secara kebetulan, kami akan tinggal di sini saja bersama Aki,” kata sang perwira.

“Dasar anak bodoh!”

“Tapi ada satu hal yang mengganjal pikiran kami. Kami diutus ke sini juga untuk merebut tombak pusaka Cuntang Barang. Betulkah ada pada Aki?” tanya perwira muda itu.

“Kalian tanya sendiri pada hatimu, apa yakin aku nyolong benda milik orang lain?” Ki Darma malah balik bertanya.

“Saya tak yakin, Aki…“

“Nah, kau sudah jawab itu!”

“Kau memang mencuri tombak pusaka Cuntang Barang. Kembalikanlah sebab itu milik Carbon!” Ki Albani tiba-tiba bersuara. Dia masih terlihat duduk dengan lesu di tanah. Darah masih mengucur dari sana-sini.

“Hai, engkau bekas perwira Carbon yang puluhan tahun jadi musuh besarku, coba kau katakan Jayaratu, bagaimana caranya agar orang-orang dungu dari negrimu mengerti perihal aku!” tiba-tiba Ki Darma berkata kepada Paman Jayaratu.

Sambil mata masih terpejam untuk mengatur pernapasan, Paman Jayaratu mengatakan bahwa Ki Darma tidak pernah berupaya menguasai tombak pusaka itu.

“Memang dulu ada berita bahwa ketika Karatuan Talaga jatuh ke tangan Carbon, tombak pusaka Cuntang Barang milik Talaga dibawa lari ke puncak Cakrabuana oleh salah seorang perwiranya yang tak mau tunduk, yaitu Ki Dita Jayaratu dan disembunyikan di sekitar sini. Ki Darma hanya secara kebetulan saja datang ke sini dan tak tahu menahu urusan itu,” tutur Paman Jayaratu.

“Jadi sekarang Cuntang Barang ada di mana?” tanya Ki Albani. Dia pun duduk tegak sambil sesekali mengatur pernapasan.

“Cuntang Barang sudah diamankan oleh Kangjeng Susuhunan Jati di Carbon.”

“Mengapa aku tak tahu?”

“Majikanmu Arya Damar yang bertanggung-jawab, mengapa pengetahuanmu sampai keliru seperti ini?” Paman Jayaratu balik bertanya.

“Bahkan Panageran Arya Damarlah yang mengutus kami untuk merebut benda pusaka itu dari Ki Darma!” Ki Albani masih bertahan dengan pendapatnya.

“Sudah aku katakan, Arya Damar yang harus bertanggung-jawab!” potong lagi Paman Jayaratu.

“Hahaha…! Ternyata semua orang memperebutkan aku!” Ki Darma terkekeh-kekeh.

Mendengar ucapan ini, semua orang hanya termenung tak tentu apa yang dipikirkan.

“Lihatlah, korban-korban bergelimpangan. Mereka tidak mengerti, mengapa harus begitu…” gumam Ki Darma.

Semuanya membisu, seolah-olah membenarkan pendapat Ki Darma. Mereka semua menatap tubuh-tubuh korban yang bergelimpangan. Ada yang membujur kaku namun ada juga yang berguling-guling atau mengerang menahan sakit.

Ki Darma tertawa-tawa. Namun suaranya terdengar dingin menyeramkan. Sesudah itu dia berlalu meninggalkan mereka dan sayup-sayup terdengar senandung Ki Darma. Parau, gersang tapi memaksa orang harus berpikir.

Hidup banyak menawarkan sesuatu
tapi bila tak sanggup memilihnya
maka kita adalah orang-orang yang kalah!


TERNYATA korban tewas dalam pertempuran sia-sia ini ada puluhan. Prajurit Carbon semuanya tewas, begitu pun prajurit Pajajaran. Kendati tak semua tapi jumlahnya cukup banyak.

Ki Albani menderita kesedihan yang sangat. Tiga orang rekannya yang menderita luka parah dan lama tak sadarkan diri, akhirnya tewas juga. Sedangkan dia sendiri diduga kelak akan menjadi orang yang cacat dan tak akan sanggup melakukan perkelahian karena luka dalam, dalam pertempuran itu.

Paman Jayaratu banyak menderita luka bacokan dan tusukan, kebanyakan karena keroyokan Ki Albani dan rekan-rekannya dalam pertempuran sebelum pasukan Pajajaran tiba.

Ya, semua pertikaian seperti selesai begitu saja seusai semua tahu bahwa apa yang diharap tak terlaksana. Bukankah sebelumnya semua orang berebut ingin mencari Ki Darma dan Cuntang Barang sehingga terjadi korban sia-sia? Ternyata setelah semuanya selesai, selesai pula permusuhan. Persis dalam adegan sandiwara seperti yang diucapkan Ki Darma.

Pasukan Pajajaraan tak lagi memusuhi pasukan Carbon yang telah porak-poranda. Mereka bahkan saling membantu menguburkan korban yang tewas. Ketika tugas itu selesai, masing-masing mengundurkan diri dari tempat itu. Belasan perwira Pajajaran meninggalkan tempat itu dengan kelesuan yang sangat. Ki Albani turun gunung dengan tertatih-tatih dan wajah meringis penuh rasa sakit. Ketika Purbajaya mengajak Paman Jayaratu untuk sama-sama turun gunung, orang tua itu menolak.

“Aku akan tinggal di sini, Purba… ” kata Paman Jayaratu lesu tapi dengan suara bulat.

“Engkau akan bergabung dengan Ki Darma?” tanya Purbajaya heran.

Paman Jayaratu menggelengkan kepala. “Bukan karena bermusuhan antar negara. Tapi kami tak mungkin berdampingan. Dia mungkin menetap di puncak, aku di lereng untuk mendekatkan diri pada penduduk. Ki Darma tidak mau masuk agama baru. Mungkin bagi dirinya, hidup yang baik adalah menjauhkan diri dari khalayak. Aku di sini bahkan ingin mengajarkan dan menyebarkan agama baru seperti apa yanag dipesankan Kangjeng Susuhunan Jati,” tutur Paman Jayaratu panjang-lebar.

“Kalau begitu, saya akan mengikutimu, Paman…” kata Purbajaya. Namun

Paman Jayaratu menggelengkan kepala. “Jangan. Perjalananmu masih panjang. Tugasmu adalah mencari berita mengenai keluargamu di wilayah Pajajaran. Kau harus ikut Raden Yudakara ke wilayah Tanjungpura,” kata Paman Jayaratu.

“Bukankah Paman telah katakan kepada Ki Albani bahwa keluarga saya habis dibantai pasukan Pangeran Arya Damar?” tanya Purbajaya menatap wajah orang tua itu.

Mendengar ucapan Purbajaya, nampak wajah Paman Jayaratu murung. “Aku menyesal hal ini terlanjur kau ketahui, padahal selama ini ingin aku rahasiakan…” keluh Paman Jayaratu.

“Dengan harapan agar aku tak membenci Carbon?” tanya Purbajaya.

Paman Jayaratu tak menjawab secuil pun.

“Apa pun yang terjadi, saya tetap orang Carbon, Paman. Saya hanya akan memiliki dugaan satu, bahwa pembantaian itu tidak dilakukan oleh Carbon, melainkan hanya karena ambisi Pangeran Arya Damar semata,” kata Purbajaya dengan kalimat datar tak memiliki emosi sedikit pun.

“Engkau bijaksana, Purba… ” kata Paman Jayaratu memegang pundak pemuda itu. “Namun demikian, kau harus tetap mencari berita yang sebenarnya. Di Tanjungpura mungkin masih ada kerabatmu,” kata Paman Jayaratu tetap memaksa pemuda itu untuk pergi.

“Saya tak menyukai Raden Yudakara… ” keluh Purbajaya. ”Orang itu pengecut. Saya ke sini bersama dia. Tapi dalam menghadapi pertempuran dia menghilang begitu saja,” lanjutnya mengemukakan kekesalannya.

“Aku bisa menduga, mengapa dia bertindak begitu,” kata Paman Jayaratu. ”Raden Yudakara hidup dalam dua sisi. Satu sisi dikenal sebagai warga Pajajaran, satunya lagi sebagai orang Carbon. Kalau dia ikut terlibat pertempuran, dia takut rahasianya terbongkar oleh orang Pajajaraan. Dan itu akan membahayakan misi Carbon. Atau, mungkin juga dia lebih dewasa dalam berpikir. Pertempuran semalam tak menguntungkan siapa pun juga. Dia tak mau terlibat dalam urusan yang sia-sia sebab dia punya tugas yang lebih penting dari sekadar mengobral emosi,” kata Paman Jayaratu.

Namun Purbajaya merasakan kalau nada kata-kata orang tua ini seperti mengandung keraguan.

“Paman… ” Purbajaya mau membantah.

Tapi Paman Jayaratu memberi tanda dengan tangannya agar pemuda itu diam. “Kau cepatlah pergi dan tinggalkan aku di sini,” kata Paman Jayaratu.

“Saya akan pergi dari sini asalkan Paman memberikan keyakinan saya mengenai Raden Yudakara… ” desak Purbajaya.

Sejenak Paman Jayaratu termenung. “Kau akan semakin berat mengarungi kehidupan. Tapi semakin banyak cobaan, maka akan semakin dewasa dirimu. Memang buruk terlalu mempercayai orang,. namun juga sama buruknya mencurigai orang. Raden Yudakara adalah mata-mata. Artinya, setiap gerak-langkahnya selalu penuh tipu-daya. Yang engkau perlu simak, untuk apa tipu daya itu dia kerjakan. Kalau ternyata hanya untuk kepentingan sesaat dan tak punya nilai keluhuran, boleh kau tinggalkan. Kehati-hatian terhadap Raden Yudakara harus kau lakukan,” kata Paman Jayaratu memberikan nasihat.

“Baik, saya akan pergi setelah merawat lukamu, Paman…“

“Kau pergilah. Ilmu pengobatanmu kan aku yang ajarkan, jadi aku pasti lebih pandai mengobati ketimbang kamu,” Paman Jayaratu berkata namun nadanya adalah perintah pergi.

Akhirnya Purbajaya berdiri. Dia mengerti kalau sebenarnya Paman Jayaratu senang hidup menyendiri. Purbajaya menghormat takzim. Ini adalah perpisahan dan entah kapan akan bertemu lagi. Sudut-sudut matanya terasa panas tapi Purbajaya mengerti, tangis tak boleh diperlihatkan di hadapan Paman jayaratu. Dengan hati berat Purbajaya meninggalkan lereng gunung Cakrabuana.

PURBAJAYA menuruni lereng dengan gontai dan pikiran kalut. Hatinya hampa sekali karena berbagai perjalanan hidupnya selama ini seperti tak berketentuan. Dulu dia seperti punya cita-cita dan mengabdi untuk kepentingan Carbon. Paman Jayaratu seperti mendukungnya dan dirinya diarahkannya agar memiliki berbagai kepandaian. Belakangan dia merasa telah terjatuh kepada orang yang salah, yaitu mengabdi kepada Pangeran Arya Damar yang hanya mengabdi untuk kepentingan dirinya sendiri.

Cita-cita Purbajaya bahkan semakin kabur setelah terlibat asmara dengan Nyimas Waningyun. Sehingga kendati dia sudah tak setuju dengan kebijakan Pangeran Arya Damar, dia tak mau beranjak pergi dari puri hanya karena melihat putrinya, Nyimas Waningyun.

“Ah, padahal gadis itu telah ditunangkan kepada sesama anak pejabat lainnya…” keluh Purbajaya.

Purbajaya sedih merasakan semua ini. Akhirnya dia terlunta-lunta ke mana langkah kaki membawanya. Jelas, dia tak mau kembali ke Carbon. Kalau kembali peristiwa pertempuran di Cakrabuana akan menjadi urusan. Barangkali dia akan dituduh pengkhianat karena telah menempur empat perwira pimpinan pasukan Carbon.

Purbajaya bahkan berkelana ke wilayah Karatuan Talaga, juga ke Sumedanglarang. Berbulan-bulan dia tinggal di wilayah itu sampai pada suatu waktu datanglah khabar dari Nagri Carbon. Khabar itu sungguh mengejutkan. Beberapa bangsawan penting dari Sumedanglarang berkenaan dengan adanya pesta pernikahan putri Panageran Arya Damar.

Dengan hati pedih Purbajaya menerima khabar ini. Hanya yang hatinya demikian sedih, Nyimas Waningyun ternyata bukan dipersunting oleh Ranggasena, melainkan oleh… Raden Yudakara! Ini menyakitkan. Bukankah dirinya pernah minta tolong agar nasib Nyimas Waningyun diselamatkan oleh Raden Yudakara?

Purbajaya coba mengingat-ingat kembali permohonannya pada Raden Yudakara. Waktu itu dia mengabarkan bahwa Nyimas Waningyun tengah dirundung duka karena dipaksa menikah dengan lelaki bukan pilihannya. Raden Yudakara waktu itu berjanji akan menolong nasib gadis itu.

“Ya, gadis itu harus ditolong dari penderitaan cintanya. Kalau pun perjodohannya diatur orang, maka sekurang-kurangnya harus menyertakan kepentingan gadis itu sendiri,” tutur Raden Yudakara ketika itu.

Ternyata sekarang gadis itu malah dipersunting oleh Raden Yudakara. Barangkali Nyimas Waningyun memang berkepentingan dalam pernikahan ini. Kepentingan apa? Purbajaya ingat, betapa sebenarnya gadis itu lemah iman. Mudah tergoda berahi. Buktinya dulu dalam malam perpisahan, gadis itu hampir menyerahkan kesuciannya kepada Purbajaya kalau pemuda itu tak menolaknya.

Bertemu dengan Raden Yudakara yang tampan, periang, romantis dan penggoda, tentu gadis itu takkan kuat. Raden Yudakara adalah lelaki penggoda. Dan mungkin ini lebih dibutuhkan Nyimas Waningyun ketimbang perilaku Purbajaya yang bersikap alim dan menjaga kesopanan dalam urusan cinta berahi.

Ingat ini Purbajaya jadi tersenyum, entah menyiratkan apa. Yang jelas pemuda ini bahagia gadis itu dinikahi orang lain. Sebab dengan demikian, dirinya terbebas dari bayangan-bayangan cinta Nyimas Waningyun.

Purbajaya berada di wilayah Sumedanglarang berbulan lamanya. Sedikit banyaknya dia bisa mengenal wilayah ini. Sumedanglarang dulu merupakan kerajaan yang cukup besar. Wilayahnya luas mencakup beberapa daerah seperti Tanjungpura (Karawang), Ciasem, Pamanukan, Indramayu, Sukapura, Parakanmuncang, bahkan Talaga. Namun kendati demikian, sejak kehadirannya Sumedanglarang tetap berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Pajajaran. Dengan kata lain, Sumedanglarang merupakan negara bagian dari Pajajaran.

Mengapa tak begitu, sebab Sumedanglarang dibangun oleh Sang Prabu Tajimalela. Prabu Tajimalela adalah putra Prabu Aji Putih dan Prabu Aji Putih adalah saudara dekat dari Sang Prabu Sri Baduga Maharaja, penguasa Pajajaran (1498-1521 Masehi).

Namun zaman terus bergulir, dengan membawa berbagai perubahannya. Di saat kekuatan Pajajaran mulai melemah, Sumedanglarang malah berpaling dari induknya dan memindahkan kesetiaannya kepada sang penguasa baru yaitu Nagri Carbon (Cirebon). Ini dimulai ketika Nyimas Ratu Inten Dewata penguasa Sumedanglarang, dipersunting Kangjeng Pangeran Santri, seorang tokoh penting dari Carbon. Babak baru mulai berlangsung, di mana Sumedanglarang mulai dipengaruhi agama baru, Islam.

Menghadapi perubahan agama seperti ini, boleh dikata orang Sumedanglarang tidak merasa sulit. Mereka mudah beradaptasi dan tidak susah menerima kehadiran agama baru itu sebab pada hematnya, terdapat nilai-nilai yang sama antara agama karuhun (nenek-moyang) dengan nilai yang dikandung agama baru.

Karuhun Pajajaran memang ada juga yang terpengaruh ajaran Hindu atau pun Budha, namun kepercayaan asli mereka sebenarnya tidak menyembah patung. Tak ada benda mati yang mereka sembah. Karuhun Sunda mengakui bahwa di dunia fana ini, kehidupan dikuasai oleh sebuah kekuatan yang berada jauh di atas kekuatan manusia. Kekuatan apakah itu, mereka tak bisa melihat namun dapat merasakannya. Oleh sebab itulah Sang Kekuatan Gaib disembahnya sebagai Hyang (Yang Gaib). Hyang adalah penguasa tunggal jagat raya. Dialah Sang Maha Kuasa, Maha Melihat dengan segala kekuatannya. Dialah Yang Maha Tahu dari segala sumber pengetahuan yang ada di jagat raya.

Jadi ketika Islam hadir di Sumedanglarang, orang tak merasa kaget ketika diperkenalkan kepada Tuhan yang dimaksud oleh agama baru itu. Tuhan dalam Islam adalah penguasa kehidupan yang tidak bisa dilihat tapi dapat dirasakan keberadaannya. Mereka bahkan bersyukur bahwa semakin didalami dan ditekuni, maka kesempurnaan agama baru ini semakin terasa. Mereka tetap merasa bahwa agama karuhun itu baik, namun agama baru bahkan lebih baik lagi, lebih komplit dan lebih sempurna dalam memberikan pedoman hidup untuk kepentingan dunia dan akhirat. Itulah sebabnya, banyak orang Sumedanglarang tidak terlalu sulit menerima kehadiran agama baru ini.

Namun secara politis, Sumedanglarang memalingkan muka dari Pajajaran ke Carbon bukan semata perkara kepercayaan saja. Yang lebih dari itu Sumedanglarang merasa bahwa Carbon dianggap lebih baik dan bisa dipakai sebagai pelindung ketimbang Pajajaran.Dayo (ibu kota) Pajajaran berada di Pakuan (Bogor kini). Letaknya jauh sekali di barat. Semakin jauh dari pusat pemerintahan, wilayah Pajajaran itu semakin tak terurus. Sementara pengaruh yang paling terasa ketika itu adalah Nagri Carbon. Jadi amat beralasan kalau Sumedanglarang akhirnya memilih bergabung dengan Carbon.

Perjalanan hidup negara besar di Jawa Kulon bernama Pajajaran ini semakin tak terarah selepas pemerintahan Sang Prabu Sri Baduga Maharaja. Para penerusnya tidak memiliki kearifan dalam memimpin negri. Sumedanglarang tak mau terombang-ambing oleh hidup yang tak berketentuan. Maka di saat Pajajaran dipimpin oleh Sang Prabu Surawisesa (1521-1535 Masehi), Sumedanglarang memisahkan diri dan memilih bergabung dengan Nagri Carbon.

Sekarang orang Sumedanglarang malah semakin bersyukur bahwa sejak limabelas tahun silam telah ikut Carbon, Sumedanglarang selamat dari tekanan kelompok yang bernama penguasa. Kalau tetap berada di bawah bayang-bayang Pajajaran, bagaimana jadinya.

Kini penguasa Pajajaran adalah Sang Prabu Ratu Sakti (1535-1551 Masehi). Ratu ini tabiatnya bahkan lebih buruk dari Sang Prabu Surawisesa, sang kakek. Kalau kakeknya gemar berperang, adalah sang cucu yang selain punya kegemaran sama juga suka menekan rakyatnya. Sang Prabu Ratu Sakti menekan rakyat dengan seba (pajak) yang berat. Negara bawahannya yang dianggap membangkang, tanpa pikir panjang diserbunya. Akibatnya, rakyat menderita karena banyak terlibat perang. Sang Prabu Ratu Sakti pun alergi terhadap kritik. Dia tak mau menerima kritik dari bawahannya. Siapa pun yang berani mengkritiknya, maka dianggapnya sebagai lawan politik yang merongrong kewibawaannya.

Itulah sebabnya, banyak penduduk Sumedanglarang merasa hormat kepada Carbon. Kangjeng Pangeran Santri kendati bukan ratu (penguasa, pejabat), namun dia memiliki kemampuan memimpin yang hebat, sampai-sampai istrinya pun memberikan keleluasaan baginya dalam menangani pemerintahan. Nyimas Ratu Inten Dewata menyerahkan tampuk pemerintahan sehari-hari ke pada suaminya. Kangjeng Pangeran Santri memang pandai memimpin dan bisa menyenangkan hati rakyat serta pejabat yang ada di bawahnya, kendati pada akhirnya dimanfaatkan oleh sementara pejabat yang ingin berada paling dekat dan paling dipercaya oleh Kangjeng Panageran.

Harumnya Kangjeng Pangeran telah menjadi harumnya Nagri Carbon. Banyak orang tua di Sumedanglarang bercita-cita putrinya dipersunting jejaka Carbon, dengan harapan putrinya dapat bimbingan agama dan beroleh nasib baik.

Namun seperti kata pepatah, bambu dalam serumpun tak seluruhnya tumbuh lurus. Satu dua pasti ada yang bengkok. Begitu pun yang terjadi pada sementara orang yang mengaku berasal dari Carbon. Keharuman Kangjeng Pangeran Santri di Sumedanglarang, seperti dijadikan pijakan oleh orang lain untuk mencari kesempatan.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment