Ads

Tuesday, December 21, 2021

Kemelut di Cakrabuana 011

“Maksudmu mereka tak pernah ke sini?”

Keduanya terdiam sejenak.

“Atau mereka ke sini,” cetus Raden Yudakara.

“Tapi tanpa berkuda,” sambung Purbajaya.

“Kau benar. Kuda terbaik mana pun tak mungkin sanggup merambah perjalanan di sini. Jalanan terlalu sempit untuk tubuh seekor kuda paling kecil pun. Jadi satu-satunya jalan tentu merambahnya dengan jalan kaki seperti kita ini,” kata Raden Yudakara sambil kembali meloncat dan berjalan cepat.

Purbajaya kembali mengikutinya dari belakang. Namun belum juga jauh, Raden Yudakara sudah kembali merandek.

“Ada apa, Raden?”

“Kalau perjalanan mereka dilakukan dengan berjalan kaki, mereka tak bisa cepat.”

“Artinya bisa kita susul,” Purbajaya menyambung.

“Tidakkah malah musuh yang mendahului menyusul pasukan kita?” tanya Raden Yudakara dengan khawatir.

Purbajaya pun kaget dengan perkataan Raden Yudakara ini. “Raden tahu pasti?”

“Hanya perkiraan saja. Tapi aku khawatir kalau hal ini memang terjadi.

“Kalau begitu, kita harus cepat pergi ke atas,” seru Purbajaya. Dan kembali keduanya merambah jalanan sempit di kaki bukit.

Namun puncak Gunung Cakrabuana kendati tak setinggi Ciremai, namun bukanlah sebuah tempat yang enak untuk dirambah. Perjalanan ke puncak gunung, semakin ke atas semakin pekat karena hutan pohon kareumbi, kuray dan pohon carik angin (sebangsa tumbuhan keras) dengan daun-daunnya yang rimbun dan gelap. Udara pun menjadi dingin dan lembab membuat pernapasan mudah sesak.

Begitu pun yang terjadi pada Purbajaya. Kendati udara dingin menusuk tulang sumsum, namun sekujur tubuh bersimbah keringat. Di antara simbahan keringat dan pernapasan yang berat, Purbajaya kembali berpikir tentang perjalanan ini. Mengapa ini musti dilakukan?. Dia sudah terlalu jauh melibatkan diri dengan urusan yang dia sendiri tak mengerti. Semakin tidak mengerti ketika Paman Jayaratu secara rahasia datang ke puri dan dengan terang-terangan menyalahkan kebijakan Pangeran Arya Damar yang telah menciptakan misi ini.

Di malam kehadiran Paman Jayaratu, seharusnya Purbajaya menyadari kalau dia telah mengabdi kepada kelompok yang salah. Tokh Paman Jayaratu telah mengerutkan kening sejak ketika dirinya dipanggil menghadap ke Puri Arya Damar. Kemudian secara diam-diam Paman Jayaratu mengunjungi puri untuk menentang kebijakan penghuni puri itu.

Ah, kukira Paman Jayaratu pun keliru, mengapa dia menyembunyikan sesuatu? Purbajaya kini mulai bisa menduga, Paman Jayaratu sebenarnya bukan orang sembarangan. Melihat pembicaraan malam itu, di mana Paman Jayaratu tak memiliki basa-basi kesopanan dalam berhadapan dengan Pangeran Arya Damar, hanya membuktikan bahwa kedudukan dan derajat keduanya sejajar. Hanya entah mengapa Paman Jayaratu keluar dari lingkungan istana dan seperti memilih tidak punya peran apa-apa di Pakungwati. Sengaja dibuang oleh lingkungannya ataukah dia sendiri yang membuang diri?

Benar atau tidak perkiraan ini, yang jelas hal-hal rahasia yang menyangkut diri Paman Jayaratu sedikit banyaknya telah merugikan Purbajaya. Karena serba dirahasiakan, akhirnya Purbajaya menjadi buta dalam mengenal kehidupan istana. Lamunan terhenti ketika tiba-tiba Raden Yudakara menghentikan larinya.

“Kau simaklah, ada orang bertengkar… ” bisik Raden Yudakara.

Purbajaya pun segera memasang telinga baik-baik. Benar saja, sayup-sayup terdengar ada orang tengah bersilat lidah.

“Paman Jayaratu… ” bisik Purbajaya kaget.

“Aku kenal, suara satunya lagi adalah Ki Albani,” bisik Raden Yudakara.

Ya, Purbajaya pun dengar, ada suara Ki Albani, yaitu perwira utama paling tua dari tiga perwira yang memimpin pasukan ke tempat ini.

Raden Yudakara dan Purbajaya berindap-indap, mencoba mendekati tempat di mana terdengar dua pembicaraan yang menegangkan. Dan dua orang itu akhirnya berhasil mengintip ke tempat yang dimaksud. Mereka adalah pasukan Carbon yang dipimpin oleh empat perwira dan terlihat tengah mengerumuni Paman Jayaratu. Mereka semuanya terlibat dalam pembicaraan serius dan terkesan berselisih pendapat.

“Engkau tak punya hak mencegah kami berbuat sesuatu di sini,” kata Ki Albani.

Ketiga orang perwira lainnya yaitu Ki Aspahar, Ki Maarsonah dan Ki Aliman nampak mengurung Paman Jayaratu sepertinya siap melakukan sesuatu. Ki Aliman yang pemberang bahkan nampak telah memegang gagang golok yang terselip di pinggang kirinya.

“Dulu memang engkau atasan kami dan kami dipaksa hormat dan taat padamu. Namun itu puluhan tahun silam. Ketaatan kami kini hanya diabdikan untuk Pangeran Arya Damar.” kata Ki Aspahar, sama bersikap menantang.

“Ini bukan pembicaraan mengenai hak atau bukan. Yang aku ingin lakukan demi keselamatan kita bersama,” Paman Jayartu menjawab tenang. Tak ada sikap menantang pada dirinya. Bahkan berdiri pun terlihat seenaknya saja.

“Keselamatan kami adalah bila kami taat perintah Pangeran Arya Damar. Hanya dia yang janjikan kami punya peranan penting di Pakungwati. Sementara selama kami ikut engkau puluhan tahun, tidak secuil pun engkau memberikan harapan akan masa depan kami. Yang engkau pikirkan hanya mengabdi dan mengabdi saja. Kerbau yang menarik gerobak saja punya keinginan karena dirinya merasa memiliki jasa. Orang tolollah yang mati-matian mengabdi tanpa memiliki ambisi apa pun,” kata Ki Aspahar lagi.

Diserang dengan kata-kata tajam seperti itu, Paman Jayaratu hanya tersenyum tipis. “Mungkin itu yang membedakan aku dengan kalian. Aku bukan saudagar atau pedagang, jadinya dalam bekerja tidak berniat mencari keuntungan. Dulu aku memimpin ribuan prajurit hanya karena pengabdian agar Carbon besar dan berwibawa. Kalau pun aku sebut keuntungan, itulah yang aku cari. Nah, kuharap, kau pun seperti itu. Kalau mau cari keuntungan, jadilah pedagang, jangan jadi pejabat. Tokh antara Carbon dan Pajajaran, sejak dimulainya permusuhan sudah terbiasa kita melihat pedagang gelap. Untuk mencari keuntungan dalam berniaga, cara apa pun memang bisa dilakukan tapi tidak untuk pengabdian kepada negara,” jawab Paman Jayaratu panjang-lebar. ”Sebelum terlambat, cepat jauhilah Si Arya Damar,” sambungnya lagi. Nada suaranya mulai tegas.

“Huah! Petuahmu hanya bisa dimengerti kaum wiku di Pajajaran, di mana banyak orang membatasi diri dalam berupaya dan berkehendak. Ucapanmu hanya pantas disampaikan kepada orang-orang yang tak memiliki keinginan untuk maju. Dengarkan Jayaratu, aku pun kini tengah mengabdi. Namun mengabdi kepada suatu cita-cita. Kini aku mengabdi kepada orang lain, dan pada gilirannya orang lainlah yang kelak akan mengabdi ke padaku. Itulah yang namanya cita-cita!” Ki Aspahar berkata lantang, diiyakan oleh tiga perwira lainnya. Paman Jayaratu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar pendapat ini.



“Engkau pikirkanlah, hai Jayaratu. Orang yang tak berambisi sepertimu dan bekerja hanya untuk pengabdian, maka di akhir hayat tak akan berketentuan. Kau tak punya apa-apa, tidak juga sebuah pengaruh. Hanya selama terpakai engkau dihargai, namun sesudah itu, semua orang melupakanmu. Melihat kau jujur, siapa yang memujimu? Kejujuran adalah malapetaka, baik bagi dirimu, begitu pun bagi orang lain. Apa kau tak pernah mengira bahwa kejujuran yang engkau buat sebetulnya telah mengganggu kehidupan orang lain? Itulah sebabnya kau digeser dan dicampakkan karena terlalu mementingkan kejujuran!” kata Ki Albani dengan nada mengejek.

“Alhamdulillah, aku merasa tidak sakit hati dimusuhi dan dienyahkan karena mempertahankan kejujuran dan ketulusan. Dan sekali lagi aku harapkan, sebaiknya kalian seperti aku. Ingatlah, Carbon tengah mengalami kemunduran. Kalau kita tak bersatu melakukan kejujuran dan ketulusan dalam mempertahankan keberadaan negri, maka tanah yang kita pijak ini akan hancur-lebur. Hanya melulu bekerja untuk saling berebut menguruskan kepentingan ambisi pribadi malah akan mempercepat keruntuhan,” kata Paman Jayaratu berusaha menyadarkan mereka.

“Hahaha…! Malah itu yang diinginkan Pangeran Arya Damar. Untuk melahirkan seorang pahlawan harus diciptakan kemelut dulu. Dan bila kau sanggup mengamankan dan meredam kemelut, kaulah pahlawannya!” kata Ki Aspahar.

“Masya Allah… begitu kejamnya jalan pikiran kalian. Aspahar, bertobatlah engkau kepada Tuhan agar sebelum kematian dicabut dosamu diampuni”

“Sudahlah Jayaratu, kau mundur dari sini dan biarkan kami menggempur Ki Darma!”

“Kalian hanya membuang tenaga menggempur Ki Darma. Ki Darma memang musuh besar tapi sebatas ketika dia menjadi perwira besar Kerajaan Pajajaran. Kini dia mengasingkan diri di puncak dan sudah tak ingin melibatkan diri ke kancah percaturan dunia. Jangan ganggu ketentramannya,” Paman Jayaratu masih berupaya mencegah pasukan berangkat.

“Ki Darma itu penjahat besar. Buktinya dia selalu dikejar oleh orang-orangnya sendiri. Dia curi tombak pusaka Cuntang Barang. Dan kau harus tahu, Cuntang Barang itu mustinya jadi milik Carbon,” kata Ki Aliman.

“Jangan terkecoh siasat Arya Damar. Cuntang Barang tak ke mana-mana. Benda pusaka itu sudah dirawat oleh Kangjeng Susuhunan Jati. Arya Damar menyuruh kalian untuk menyerbu Ki Darma karena dia takut kepada perwira tangguh itu. Arya Damar punya dosa besar kepada Ki Darma. Dia bantai keluarga Ki Darma. Secara pengecut Arya Damar menggempur wilayah Tanjungpura!”

“Ah, orang tua ini rewel, Kakang. Sebaiknya kita habisi saja dia!” Ki Albani tak sabar lagi dan segera mencabut senjatanya.

“Benar, bunuh Jarayatu!” teriak Ki Aspahar menyerupai komando.

Tentu saja teriak-teriakan ini mengundang emosi yang lainnya. Dan dengan serta-merta Ki Jayaratu dikepung semua orang. Purbajaya yang sejak tadi bingung mengamati pertengkaran, akan segera meloncat ketika melihat Paman Jayaratu dikeroyok belasan orang dengan senjata penuh. Namun sebelum niatnya terlaksana, bahunya sudah ditarik Raden Yudakara.

“Engkau mau apa?” tanya Raden Yudakara masih memegang bahu Purbajaya.

Sejenak Purbajaya tak bisa menjawab. Dia memang bingung. Paman Jayartu adalah gurunya, juga orang yang sudah dianggap sebagai keluarganya. Tapi kalau mau bantu Paman Jayaratu berarti melawan atasannya. Bukankah dirinya kini telah menjadi anak buah keempat orang perwira itu?

“Raden, aku hanya tak mau melihat Paman Jayaratu celaka,”

“Engkau prajurit. Jangan memikirkan urusan-urusan besar dan pelik. Ini urusan politik. Siapa benar siapa salah, belum tentu kita tahu. Kalau kau menyangka Ki Jayaratu punya pendapat yang benar, mengapa dia tersingkir dari istana? Seharusnya Ki Jayaratu memegang jabatan yang kini dikuasai Pangeran Arya Damar, nyatanya tidak. Itu karena dia tak punya persesuaian paham dengan sesama pejabat lainnya,” kata Raden Yudakara.

”Pangeran Suwarga, hulu-jurit (panglima perang) tidak melakukan tekanan berat kepada Pajajaran. Dia terlalu taat kepada keinginan Kangjeng Susuhunan Jati yang menempatkan Carbon bukan negara militer, namun lebih menitik beratkan sebagai pusatnya pengembangan agama. Kangjeng Susuhunan Jati menginginkan dalam mencoba menguasai Pajajaran seutuhnya tidak dilakukan dengan peperangan namun lebih menitik beratkan kepada upaya pendekatan agama.

Sementara Pangeran Arya Damar lebih memilih pendekatan kekuatan militer. Hanya sekadar perbedaan pendapat mengenai cara menanganinya saja sebab tujuannya semua sama yaitu seluruh wilayah Pajajaran seutuhnya harus masuk Carbon. Sementara Ki Jayaratu tidak sepakat dengan pendapat yang mana pun. Dia malah berkeinginan agar antara Pajajaran dan Carbon hidup berdampingan sebagai dua kekuatan di Jawa Kulon yang hidup saling menghormati. Dan akhirnya semuanya tak punya kesesuaian paham. Nah, kalau kau mau melibatkan diri mau ikut ke mana? Engkau orang kecil, maka tak akan mampu ikut ke mana-mana, selain hanya memiliki keterikatan sebagai prajurit semata,” Raden Yudakara bicara panjang-lebar dan Purbajaya menyimak pendapat pemuda bangsawan itu sambil terus mengawasi jalannya pertempuran.

Paman Jayaratu memang hebat. Bahkan baru kali inilah Purbajaya melihat kehebatan orang tua itu. Selama bertahun-tahun dia ikut Paman Jayaratu, baru kali ini menyaksikan orang tua itu bertempur sungguhan. Paman Jayaratu dikeroyok empat orang perwira sekaligus, sementara belasan prajurit mengepungnya dengan rapat.

Purbajaya hanya pernah mengenal kehebatan Ki Aliman sebab tempo hari pernah adu kepandaian dengan orang itu. Kata orang, kepandaian Ki Aliman hanya menempati peringkat empat dari empat perwira utama Puri Arya Damar. Artinya, ketiga orang perwira lainnya berada di atas kepandaian Ki Aliman. Purbajaya khawatir, apakah Paman Jayaratu bisa mengimbangi pengeroyokan ini?

Tapi seperti tadi tersaksikan, Paman Jayaratu memang hebat. Kalau pertempuran ini dilakukan satu lawan satu, maka Purbajaya bisa memastikan kalau keempat orang perwira itu tidak akan mampu menandinginya. Ki Albani merupakan orang paling pandai. Menurut penilaian Purbajaya, orang itu kepandaiannya berada satu tingkat di bawah Paman Jayaratu.

Tapi Paman Jayaratu yang tak menggunakan senjata, dikepung empat orang yang kesemuanya berbekal senjata keras. Ki Aliman memegang golok mengkilap saking tajamnya, Ki Marsonah berbekal ruyung baja, Ki Aspahar dengan senjata trisula yang juga terbuat dari baja hitam, serta Ki Albani nampak memutar-mutar tongkat besi.

Purbajaya tak pernah menyaksikan Paman Jayaratu bertempur. Dengan demikian, dia tak tahu bagaimana kegemaran dan cara Paman Jayaratu berkelahi. Apakah dalam setiap perkelahian Paman Jayaratu tidak pernah menggunakan senjata, atau hanya karena dalam perkelahian yang ini dia merasa tak perlu untuk menggunakannya? Yang jelas bisa dilihat, betapa sibuknya Paman Jayaratu dalam meladeni pengeroyokan ini. Dia harus berkelit ke sana ke mari untuk menghindari serbuan empat jenis senjata yang gaya menyerangnya berbeda karakter. Beberapa kali Paman Jayaratu harus bergulingan di atas tanah dalam upaya menghindarkan serangan lawan. Beberapa kali pula Paman Jayaratu terlihat menerobos dan mencoba melumpuhkan kepungan lawan.

Amat beruntung, karena keempat jenis senjata itu berlainan karakter, maka kepungan tidak bisa rapat dan ketat. Senjata ruyung dan tongkat besi yang terus berputar dan menimbulkan gaung keras, harus menempatkan diri dengan jarak antara yang tepat sebab kalau di antara mereka jaraknya tidak tepat, maka terjadi benturan di antara sesamanya sendiri. Hanya senjata trisula di tangan Ki Aspahar dan golok di tangan Ki Albani yang bisa kerja sama melakukan serangan. Secara bergiliran trisula dan golok melakukan tusukan atau sabetan.

Namun Paman Jayaratu selalu bisa meloloskan diri dari bentuk serangan apa pun, kendati dilakukan dengan susah-payah dan mengurangi daya serangnya sendiri. Keuletan Paman Jayaratu dalam mempertahankan diri rupanya amat menjengkelkan keempat orang perwira itu. Buktinya, setelah melalui berbagai upaya mereka belum juga sanggup melumpuhkan Paman Jayaratu, Ki Albani berseru keras dan memerintahkan belasan prajuritnya untuk ikut menerjang.

Maka pertempuran semakin seru dan tak beraturan sebab belasan orang mengeroyok satu orang. Belasan prajurit yang hanya memiliki kepandaian biasa-biasa saja, hanya menyerang serabutan tanpa disertai strategi yang benar. Kalau Paman Jayaratu mau, sebetulnya dalam satu gerakan saja sudah bisa melabas habis belasan prajurit itu.

Namun barangkali itu tidak akan dilakukan Paman Jayaratu. Selain orang tua itu tidak memiliki perangai kejam, juga mungkin disengaja. Belasan penyerang yang tak memilki kepandaian berarti, hanya akan mengacaukan strategi penyerang-penyerang berilmu saja. Terbukti, banyaknya pengeroyok, malah serangan menjadi tak efektif. Gerakan keempat orang perwira itu malah banyak terganggu oleh sabetan-sabetan golok tak berarti dari para prajurit. Ki Albani sudah mengeluarkan sumpah-serapah. Dia memarahi para prajurit yang dikatakannya bodoh dan tiada guna.

Namun demikian, menghadapi pengeroyokan yang demikian ketat, Paman Jayaratu pun tak bebas bergerak. Apalagi dia seperti tak punya niat untuk melukai para prajurit. Maka bertambah sulitlah gerakan Paman Jayaratu.

Kini terlihat Paman Jayaratu malah mulai repot. Beberapa gebukan tongkat sempat mendarat di punggungnya. Ketika ada tusukan trisula, Paman Jayaratu kurang sempurna menghindar sebab pada waktu yang bersamaan ada ruyung berputar dan mengarah ubun-ubunnya.

“Cras!”

Ujung trisula menusuk bahu Paman Jayaratu. Untuk menghindari serangan susulan, Paman Jayaratu menggunakan ilmu trenggili dan tubuhnya berguling-guling terus. Namun demikian, serangan pukulan tongkat dan ruyung terus mengarah padanya. Karena serangan datang bertubi, maka sambil bergulingan Paman Jayaratu meraih sebatang ranting.

Ranting itu digunakannya sebagai senjata pelindung. Oleh Paman Jayaratu ranting itu digerakkannya ke kiri dan ke kanan. Ini bukan sabetan biasa, melainkan sebuah sabetan dengan pengerahan tenaga dalam. Maka yang paling rugi menerima sabetan ini adalah para prajurit yang hanya memiliki kepandaian biasa-biasa saja. Setiap pedang dan goloknya berbenturan dengan ranting yang dipegang Paman Jayaratu, maka setiap itu pula terdengar jerit kesakitan. Senjata mereka terlontar ke sana ke mari.

Paman Jayaratu terus dikejar oleh keempat perwira karena kemarahan mereka memuncak manakala dilihatnya beberapa prajuritnya terluka. Dan karena kedudukan Paman Jayaratu lemah, beberapa kali senjata lawan mendarat lagi di tubuhnya. Darah sudah mulai terlihat di sana-sini.

Melihat kejadian yang amat membahayakan ini, Purbajaya tak bisa menahan diri, dia segera meloncat terjun ke arena pertempuran. Serangan empat perwira dicoba untuk dihadang.

“Dasar gurunya pengkhianat, muridnya pun sama pengkhianat!” dengus Ki Albani. ”Bunuh sekalian tikus kecil ini!” teriaknya sambil mendahului melayangkan goloknya.

Beberapa prajurit ikut mencecarkan goloknya ke arah tubuh Purbajaya. Dan pemuda ini sebentar saja sudah dikeroyok seperti gurunya. Dengan amat mudahnya dia menghindari serangan para prajurit. Dan ketika Ki Aliman menyerang dengan senjatanya, Purbajaya segera menjegalnya. Pemuda itu meningkatkan tenaganya. Dia sudah lama tak suka orang ini yang sombong dan pemarah. Dulu dia sudah menjajalnya dan orang ini kepandaiannya satu tingkat di bawahnya. Maka didorong oleh rasa sebalnya, Purbajaya mendahului menerjang sebelum senjata Ki Aliman datang menyerang. Gerakan Ki Aliman kalah cepat dengan sambaran ujung kaki kanan Purbajaya. Maka tak ayal terdengar jeritan Ki Aliman ketika tubuhnya terlontar ke udara, kemudian jatuh berdebuk hampir enam depa jauhnya. Dia sudah tak bisa bangun lagi.

Ki Marsonah yang bersenjata ruyung, mencoba memutar benda itu bagaikan baling-baling. Purbajaya terpaksa main mundur karena tak berani memapaki senjata berat itu. Rupanya Ki Albani dan Ki Aspahar pun darahnya semakin naik demi melihat rekannya tak bisa bangun lagi. Terlihat nyata, mereka menyerang Purbajaya habis-habisan sepertinya tubuh Purbajaya mau dia lumatkan hari itu juga. Paman Jayaratu dan Purbajaya terkepung lagi. Mereka berdua saling beradu punggung agar tidak menerima serangan dari belakang. Pertempuran berlangsung lama dan tak terasa cuaca menjadi gelap.

Purbajaya mulai terdesak karena diganggu rasa lelah. Di beberapa bagian tubuhnya terasa ada cairan hangat mengucur. Dia menduga, darah telah mengucur karena luka-luka.

“Paman, mari kita tinggalkan tempat ini!” serunya.

Rupanya Paman Jayaratu pun punya pendapat yang sama, ingin keluar dari kepungan. Hanya saja untuk lolos dari tempat ini memang sungguh sulit. Kepungan tetap rapat sementara baik Paman Jayaratu mau pun Purbajaya tidak mau membuka jalan darah dengan cara mengorbankan prajurit yang tak berdosa. Purbajaya benci ini. Membuka kepungan tak bisa tapi melakukan pembunuhan pun tak mau. Dia tak mau sesama orang Carbon jadi saling bunuh begini.

Di saat genting begini, secara tiba-tiba dari bawah lereng bukit terdengar sorak-sorai dengan puluhan cahaya obor datang menyerbu. Ada pasukan baru yang datang ke sini. Pasukan dari mana?

“Betul! Mereka prajurit Carbon! Mereka prajurit Carbon!” teriak suara-suara itu membahana.

Purbajaya terkesiap. Dia baru sadar kalau yang datang adalah belasan perwira Pajajaran disertai puluhan prajurit yang pernah diberitakan kemarin.

“Masya Allah! Bodohnya aku!” keluh Purbajaya. Betul-betul bodoh. Padahal susah-payah menuju puncak bersama Raden Yudakara karena urusan ini. Mereka tadinya ingin melaporkan kehadiran pasukan Pajajaran ini kepada Ki Albani dan pasukannya. Raden Yudakara bahkan sudah wanti-wanti agar diusahakan pasukan Carbon jangan dulu bertempur dengan pasukan Pajajaran dan biarkanlah mereka saling timpuk dulu dengan Ki Darma, baru kemudian dihajar pasukan Carbon. Tapi rencana tinggal rencana. Yang belakangan terjadi malah kebalikannya, sesama orang Carbon yang saling timpuk duluan. Sungguh tragis dan juga sekaligus memalukan!

Hal semacam rupanya mulai disadari oleh yang lainnya. Buktinya ketika terdengar teriak-teriakan dari bawah lereng, pertempuran mendadak berhenti. Semuanya meneliti ke bawah lereng dan baru kelabakan sesudah tahu siapa yang datang.

“Sial… Pasukan Pajajaran datang!” teriak Ki Albani.

“Ayo menyingkir!” teriak Ki Marsonah.

Namun gerakan mereka mendadak terhambat sebab puluhan anak panah melesat dari bawah lereng pertanda musuh melepaskan senjata anak-panah. Beberapa saat kemudian terdengar jerit kesakitan karena beberapa orang prajurit Carbon tertusuk anak-panah. Hanya orang berkepandaian tinggi yang bisa menghindar dari serangan anak-panah yang dilepas dalam gelapnya malam.

“Dari mana mereka tahu kita di sini?” tanya Ki Albani sambil miringkan tubuhnya ke samping karena ada anak-panah melesat ke arahnya.

“Aku tahu sejak dini. Justru kalian mau aku beritahu. Tapi apa daya, kalian malah saling timpuk dengan sesama,” kata Purbajaya marah dan kesal.

“Dasar engkau anak dungu. Seharusnya kau khabarkan sejak tadi. Kau malah sibuk membantu Si Jayaratu yang pengkhianat itu!” teriak Ki Aspahar gemas. Dia bahkan hendak memukul Purbajaya namun segera diurungkan sebab hujan anak-panah kembali mencecarnya.

“Jahanam! Kita serbu mereka! Ayo, kalian berlindung di belakangku, biar hujan anak-panah aku yang sambut!” teriak Ki Marsonah sambil memutar ruyungnya.

Benda itu diputarnya keras-keras untuk membentengi tubuhnya dan sekalian juga buat melindungi para prajurit yang berlindung di belakangnya.

Ki Albani yang berdiri di samping pun sama memutar tongkat besi. Maka terdengar suara keras dari dua senjata berlainan. Setiap ada anak-panah melesat segera tertangkis oleh putaran senjata mereka.

Usaha ini berhasil. Pasukan Ki Albani bisa merangsek mendekati pasukan musuh yang bersenjata panah. Purbajaya mengerti, pasukan panah akan kesulitan kalau diajak melakukan pertempuran jarak dekat. Mereka tak akan punya waktu mementangkan busurnya.

Namun serangan prajurit di bawah pimpinan Ki Albani ini disambut oleh pasukan musuh lapis kedua. Purbajaya terkejut. Pasukan panah sebetulnya hanyalah pasukan pelopor. Tugas mereka hanya membuat lawan panik saja. Sedangkan serangan sesungguhnya justru datang dari lapis kedua inilah.

Purbajaya terkesiap, betapa kemarin pagi dia menerima khabar bahwa yang datang ke puncak Cakrabuana ini adalah belasan perwira handal yang ditugaskan menangkap Ki Darma. Serasa kecil nyali Purbajaya setelah menerima penjelasan Paman Jayaratu beberapa waktu lalu. Kata orang tua itu, Raja Pajajaran selalu memiliki seribu orang pasukan Balamati (pengawal raja) yang tugasnya membela Raja dan negara sampai titik darah penghabisan.

Itulah sebabnya, dayo (ibu negri) Pakuan selamat dari serbuan pasukan Banten (ketika Pajajaran dikuasai oleh Sang Prabu Ratu Dewata, 1535-1543 Masehi). Ki Darma yang kini mengasingkan diri di puncak Cakrabuana adalah salah seorang anggota pasukan Balamati dan dulu pernah ikut mempertahankan Pakuan dari gempuran pasukan Banten.

Sekarang ada belasan perwira disertai puluhan prajuritnya datang ke Cakrabuana dengan memiliki tujuan yang sama dengan pasukan Carbon, yaitu sama-sama hendak menempur Ki Darma, namun secara kebetulan mereka bertemu dulu sebelum rencana mereka tercapai. Maka tak ada pilihan buat mereka kecuali saling tempur.

Purbajaya merasa ngeri menghadapi pertempuran ini. Empat perwira Carbon tenaganya sudah tak utuh lagi sebab mereka sebelumnya telah habis-habisan menempur Paman Jayaratu. Sekarang mereka harus melawan belasan perwira Pajajaran yang masih banyak menyimpan tenaga.

Dalam keadaan terdesak seperti sekarang ini, mungkin Paman Jayaratu dan dirinya sendiri akan berpihak kepada pasukan Carbon. Namun tentu dengan hati kesal dan pikiran kalut karena kejadian ini sebelumnya didahului oleh peristiwa yang tidak menyenangkan.

Dengan gagah berani, tiga perwira merangsek ke depan. Mereka adalah Ki Albani, Ki Marsonah dan Ki Aspahar karena Ki Aliman terluka parah oleh tendangan Purbajaya tadi. Ini adalah satu-satunya pilihan dari dua pilihan terburuk. Dengan jumlah pasukan yang kecil, lebih baik menyerang duluan ketimbang menunggu untuk diserang.

Apalagi dalam menghadapi pasukan panah, tak boleh mengambil jarak kalau tak mau jadi sasaran. Namun sebaliknya, kalau mendahului menerjang, pasukan panah tak bisa segera melakukan aksinya. Paman Jayaratu dan dia yang sudah terluka terpaksa memaksakan diri ikut menerjang. Seluruh sisa prajurit Carbon pun sama-sama ikut menerjang.

Yang amat menyebalkan hati Purbajaya, mengapa Raden Yudakara tak mau muncul di saat genting seperti ini? Pemuda itu bahkan sejak tadi tidak pernah menampakkan batang hidungnya. Tadi siang Raden Yudakara memang masih berada di sampingnya, bahkan memberikan nasihat agar Purbajaya tak ikut melibatkan diri dalam pertikaian antara para perwira Cabon dan Paman Jayaratu. Namun menurut hemat Purbajaya, tak seharusnya Raden Yudakara terus ngumpet dan membiarkan pasukan Carbon kepayahan begini.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment