Namun Purbajaya kecele. Gadis itu tidak menunduk, apalagi tersipu dengan rona merah di pipi. Dahi gadis itu malah berkerut ketika disapa Raden Yudakara seperti itu. Dia berjalan dengan langkah lebih cepat dan mepet ke pinggir jalan berdebu.
“Mulutmu yang cemberut tidak akan mengubah wajah manismu. Tapi cemberutmu hanya akan merugikanmu sebab hatiku jadi tersiksa, hai gadis,” kata lagi Raden Yudakara tak bosan menggoda.
“Kalau hatiku gundah, maka engkaulah yang berdosa,” jawab gadis itu pendek.
Raden Yudakara tersenyum kecil dan tak menampakkan rasa tersinggung, padahal menurut penilaian Purbajaya, gadis itu tak sopan, kepada seorang bangsawan bicara ketus.
“Amboi, sikapku yang baik ini malah menjadikannya sebuah dosa,” sergah Raden Yudakara sambil tertawa renyah.
“Ya, engkau berdosa… ” kata gadis itu kian mepet karena kuda Raden Yudakara semakin mendekat saja.
“Tolonglah hai gadis manis, jangan biarkan aku berbuat dosa!” Raden Yudakara merintih namun jelas hanya olok-olok belaka.
Dan gadis itu akhirnya merandek. “Biarkan aku melangkah tanpa gangguanmu!” katanya ketus sekali.
“Gadis secantikmu terlalu sayang untuk dilewatkan. Berdosakah bila aku menatap paras elokmu?” lagi-lagi Raden Yudakara menantang.
“Tentu berdosa sebab engkau sepertinya tak tahu dan tak bisa memilih-milih kepada siapa rayuanmu kau sampaikan,” ujar gadis itu lantang.
“Oh, hai… Tak pantaskah rayuanku dilayangkan padamu?”
“Tentu tak pantas.”
“Kenapa gerangan?”
Gadis itu tak menjawabnya, membuat Raden Yudakara penasaran untuk mendesaknya.
“Karena…“
“Karena apa, manis? Cepatlah jawab gadisku, sebab hari semakin siang, sebab kaki-kaki kuda semakin tak sabar untuk merambah indahnya cinta. Katakanlah, apa penyebab tak pantasnya sapaan cintaku padamu?” Raden Yudakara semakin mendesak dan menantang sampai Purbajaya malu sendiri menyimaknya.
“Aku sudah ada yang punya!” jawab gadis itu pendek. Lalu rona merah merebak di pipinya.
“Amboi, sungguh beruntung suamimu…”
“Aku belum bersuami!”
“Lho?”
“Aku sudah terikat perjodohan!”
“Ow, tentu calon suamimu amat tampan!”
“Tidak!”
“Engkau cinta padanya?”
“Apakah perasaan cinta musti dikaitkan dengan keelokan wajah? Engkau hai laki-laki asing, wajahmu memang tampan. Pakaianmu gagah. Mungkin kau anak orang kaya atau keluarga kaum bangsawan. Tapi aku tak suka padamu. Kau tak sopan!” hardik gadis itu.
Sejenak Raden Yudakara menghentikan congklang kudanya. Mungkin dia sedikit terhenyak dengan perkataan gadis itu. Hingga gadis itu berlari menjauh, Raden Yudakara masih terpana di atas kudanya.
“Mari Raden, kita lanjutkan perjalanan…” kata Purbajaya sepertinya tak pernah melihat adegan itu.
Raden Yudakara membedol tali kekang kuda dengan marahnya. Sepertinya dia kesal dan terhina oleh gadis dusun itu.
Ada sedikit kebosanan melihat sikap Raden Yudakara ini. Dalam pandangan Purbajaya, pemuda ini punya watak hidung belang. Masa di sepanjang jalan kerjanya hanya menyapa dan menggoda perempuan saja. Sangat beruntung, rasa bosan Purbajaya tidak memuncak menjadi rasa muak sebab sikap pemuda bangsawan itu ada batasnya juga. Sekali pun benar setiap kali bertemu gadis dia menggoda, tapi hanya sebatas godaan kata-kata saja.
“Apa Raden tak sakit hati didamprat gadis dusun seperti itu?”
Ditanya seperti itu, Raden Yudakara hanya tersenyum saja. “Dia tak tahu aku seorang bangsawan,” tuturnya.
“Benar. Kalau pun tadi gadis itu bilang kau anak bangsawan, tapi sebatas baru mengira-ngira saja. Padahal kalau tahu yang sebenarnya, gadis itu pasti wajahnya pucat-pasi,” kata Purbajaya “memberi angin”.
“Itulah sebabnya, aku senang berpakaian orang kebanyakan, biar mereka jujur mengemukakan pendapatnya,” tuturnya. ”Aku pernah bersua wanita yang telah bersuami. Ketika kugoda dia mau saja hanya karena aku mengaku keluarga bangsawan. Aku campakkan dia dengan muak. Selain pengkhianat, dia pun ambisius. Coba kalau aku anak petani, apa dia mau?” sambungnya.
“Barangkali gadis barusan pun akan terpikat kalau Raden terang-terangan mengaku sebagai pejabat,” sela Purbajaya.
“Mungkin juga begitu. Tapi kalau benar, aku pasti muak dan akan kucampakkan dia. Aku paling tak senang pengkghianatan, termasuk dalam urusan cinta,” tutur Raden Yudakara tegas.
Purbajaya menatap agak lama. Hatinya bertanya-tanya, apa benar Raden Yudakara begitu tegas dalam urusan cinta?. Namun demikian, Purbajaya pun memuji sikap ini. Raden Yudakara benci pengkhianatan. Dia pun adalah orang yang tak mudah tersinggung dan sakit hati. Sebuah sikap yang sebetulnya bisa dianggap baik namun juga bisa dianggap jelek.
Orang yang tak mudah tersinggung bisa juga tak begitu tebal punya rasa malu. Dan yang ini bisa bahaya sebab bisa saja orang itu melakukan hal-hal yang hina tapi tidak merasa bahwa tindakan itu hina karena dirinya tak malu melakukannya. Dan kalau ingat ini, ciut juga nyali Purbajaya. Kalau Raden Yudakara berkarakter begitu, pemuda bangsawan penggemar wanita cantik ini bisa jadi gangguan terhadap dirinya.
“Ah… mudah-mudahan dia tak ganggu Nyimas Waningyun. Mudah-mudahan dia malah membantuku dalam memperjuangkan cintaku terhadap gadis itu,” pikir Purbajaya.
“Mulutmu yang cemberut tidak akan mengubah wajah manismu. Tapi cemberutmu hanya akan merugikanmu sebab hatiku jadi tersiksa, hai gadis,” kata lagi Raden Yudakara tak bosan menggoda.
“Kalau hatiku gundah, maka engkaulah yang berdosa,” jawab gadis itu pendek.
Raden Yudakara tersenyum kecil dan tak menampakkan rasa tersinggung, padahal menurut penilaian Purbajaya, gadis itu tak sopan, kepada seorang bangsawan bicara ketus.
“Amboi, sikapku yang baik ini malah menjadikannya sebuah dosa,” sergah Raden Yudakara sambil tertawa renyah.
“Ya, engkau berdosa… ” kata gadis itu kian mepet karena kuda Raden Yudakara semakin mendekat saja.
“Tolonglah hai gadis manis, jangan biarkan aku berbuat dosa!” Raden Yudakara merintih namun jelas hanya olok-olok belaka.
Dan gadis itu akhirnya merandek. “Biarkan aku melangkah tanpa gangguanmu!” katanya ketus sekali.
“Gadis secantikmu terlalu sayang untuk dilewatkan. Berdosakah bila aku menatap paras elokmu?” lagi-lagi Raden Yudakara menantang.
“Tentu berdosa sebab engkau sepertinya tak tahu dan tak bisa memilih-milih kepada siapa rayuanmu kau sampaikan,” ujar gadis itu lantang.
“Oh, hai… Tak pantaskah rayuanku dilayangkan padamu?”
“Tentu tak pantas.”
“Kenapa gerangan?”
Gadis itu tak menjawabnya, membuat Raden Yudakara penasaran untuk mendesaknya.
“Karena…“
“Karena apa, manis? Cepatlah jawab gadisku, sebab hari semakin siang, sebab kaki-kaki kuda semakin tak sabar untuk merambah indahnya cinta. Katakanlah, apa penyebab tak pantasnya sapaan cintaku padamu?” Raden Yudakara semakin mendesak dan menantang sampai Purbajaya malu sendiri menyimaknya.
“Aku sudah ada yang punya!” jawab gadis itu pendek. Lalu rona merah merebak di pipinya.
“Amboi, sungguh beruntung suamimu…”
“Aku belum bersuami!”
“Lho?”
“Aku sudah terikat perjodohan!”
“Ow, tentu calon suamimu amat tampan!”
“Tidak!”
“Engkau cinta padanya?”
“Apakah perasaan cinta musti dikaitkan dengan keelokan wajah? Engkau hai laki-laki asing, wajahmu memang tampan. Pakaianmu gagah. Mungkin kau anak orang kaya atau keluarga kaum bangsawan. Tapi aku tak suka padamu. Kau tak sopan!” hardik gadis itu.
Sejenak Raden Yudakara menghentikan congklang kudanya. Mungkin dia sedikit terhenyak dengan perkataan gadis itu. Hingga gadis itu berlari menjauh, Raden Yudakara masih terpana di atas kudanya.
“Mari Raden, kita lanjutkan perjalanan…” kata Purbajaya sepertinya tak pernah melihat adegan itu.
Raden Yudakara membedol tali kekang kuda dengan marahnya. Sepertinya dia kesal dan terhina oleh gadis dusun itu.
Ada sedikit kebosanan melihat sikap Raden Yudakara ini. Dalam pandangan Purbajaya, pemuda ini punya watak hidung belang. Masa di sepanjang jalan kerjanya hanya menyapa dan menggoda perempuan saja. Sangat beruntung, rasa bosan Purbajaya tidak memuncak menjadi rasa muak sebab sikap pemuda bangsawan itu ada batasnya juga. Sekali pun benar setiap kali bertemu gadis dia menggoda, tapi hanya sebatas godaan kata-kata saja.
“Apa Raden tak sakit hati didamprat gadis dusun seperti itu?”
Ditanya seperti itu, Raden Yudakara hanya tersenyum saja. “Dia tak tahu aku seorang bangsawan,” tuturnya.
“Benar. Kalau pun tadi gadis itu bilang kau anak bangsawan, tapi sebatas baru mengira-ngira saja. Padahal kalau tahu yang sebenarnya, gadis itu pasti wajahnya pucat-pasi,” kata Purbajaya “memberi angin”.
“Itulah sebabnya, aku senang berpakaian orang kebanyakan, biar mereka jujur mengemukakan pendapatnya,” tuturnya. ”Aku pernah bersua wanita yang telah bersuami. Ketika kugoda dia mau saja hanya karena aku mengaku keluarga bangsawan. Aku campakkan dia dengan muak. Selain pengkhianat, dia pun ambisius. Coba kalau aku anak petani, apa dia mau?” sambungnya.
“Barangkali gadis barusan pun akan terpikat kalau Raden terang-terangan mengaku sebagai pejabat,” sela Purbajaya.
“Mungkin juga begitu. Tapi kalau benar, aku pasti muak dan akan kucampakkan dia. Aku paling tak senang pengkghianatan, termasuk dalam urusan cinta,” tutur Raden Yudakara tegas.
Purbajaya menatap agak lama. Hatinya bertanya-tanya, apa benar Raden Yudakara begitu tegas dalam urusan cinta?. Namun demikian, Purbajaya pun memuji sikap ini. Raden Yudakara benci pengkhianatan. Dia pun adalah orang yang tak mudah tersinggung dan sakit hati. Sebuah sikap yang sebetulnya bisa dianggap baik namun juga bisa dianggap jelek.
Orang yang tak mudah tersinggung bisa juga tak begitu tebal punya rasa malu. Dan yang ini bisa bahaya sebab bisa saja orang itu melakukan hal-hal yang hina tapi tidak merasa bahwa tindakan itu hina karena dirinya tak malu melakukannya. Dan kalau ingat ini, ciut juga nyali Purbajaya. Kalau Raden Yudakara berkarakter begitu, pemuda bangsawan penggemar wanita cantik ini bisa jadi gangguan terhadap dirinya.
“Ah… mudah-mudahan dia tak ganggu Nyimas Waningyun. Mudah-mudahan dia malah membantuku dalam memperjuangkan cintaku terhadap gadis itu,” pikir Purbajaya.
ROMBONGAN yang akan menuju puncak Cakrabuana memang dibagi dua kelompok. Kelompok berkuda yang jumlahnya lebih besar dipimpin oleh empat pembantu utama Pangeran Arya Damar, melakukan perjalanan melewati Gunung Ciremai bagian selatan. Mereka akan menuju puncak Cakrabuana melewati Talaga. Ini perjalanan yang cukup sulit sebab akan melewati kaki bukit yang terjal dan berhutan lebat serta memiliki hawa amat dingin berkabut. Rombongan ini sengaja memilih jalan ini sambil sekalian mengadakan perondaan.
Di wilayah-wilayah terpencil seperti ini kerapkali didengar ada pasukan pengacau keamanan. Mereka bisa saja hanya perampok biasa, namun bisa juga karena latar belakang politik. Sudah tak aneh, di masa peralihan pengaruh dan kekuasaan banyak melahirkan kelompok yang pro dan kontra. Khabar selentingan, di wilayah kekuasaan baru Negri Carbon seperti wilayah selatan dan barat, diisukan banyak kelompok pembangkang.
Mereka adalah yang tak mau tunduk kepada penguasa baru dan memilih memisahkan diri dari kehidupan bernegara. Kendati Karatuan Sindang Kasih, Rajagaluh atau pun Talaga sudah resmi bernaung di bawah Carbon, namun masih ada kelompok kecil yang tak setuju dengan itu dan tetap bertahan dengan keyakinan lama. Jumlahnya memang tak seberapa. Namun demikian, tetap merupakan duri dalam daging. Maka itulah sebabnya, rombongan yang dipimpin empat perwira menyusuri daerah rawan keamanan. Di samping memang sudah jadi tugasnya, namun juga bisa diartikan sebagai kamuplase. Sebab, bukankah tujuan utama dari kesemuanya adalah menyerang sarang Ki Darma di puncak Cakrabuana?
Ingat ini, Purbajaya jadi penasaran. Dia amat tertarik kepada tokoh bernama Ki Darma ini. Hanya satu orang saja, namun mengapa Pangeran Arya Damar begitu tegang menghadapinya, sehingga upaya menyerang Ki Darma dijadikan gerakan amat khusus? Kalau kelak tiba di Cakrabuana, yang Purbajaya inginkan adalah bertemu dengan Ki Darma.
Rombongan kedua jumlahnya lebih kecil, hanya Purbajaya dan Raden Yudakara. Perjalanan mereka lebih enteng sebab hanya menyusuri jalan pedati di dataran rendah dan banyak melewati kampung-kampung besar.
Diatur sedemikian rupa dengan berbagai pertimbangan. Melakukan perjalan melalui utara seperti yang dilakukan Purbajaya dan Raden Yudakara adalah perjalanan paling mudah. Namun hal ini tidak bisa dilakukan dengan rombongan besar. Walau pun menyandang tugas “resmi” yang direstui pimpinan tertinggi militer, namun perjalanan ini tetap memendam tugas rahasia yang tak diketahui negara. Pasukan ini diusahakan jangan terlalu banyak bertemu orang ramai.
Jalur utara itu daerah ramai tapi juga kerawanannya lumayan. Walau pun wilayah ini sudah masuk ke Carbon, namun yang namanya daerah perbatasan berbagai kemungkinan bisa terjadi. Orang Pajajaran kerapkali menyusup ke wilayah Carbon. Mungkin hanya sebatas melakukan perdagangan gelap, namun bisa juga karena keperluan mata-mata.
Oleh sebab itu, memamerkan pasukan berkuda ke daerah ramai seperti ini amat mengundang perhatian. Lain halnya dengan perjalanan yang dilakukan kedua orang itu. Kalau ada orang Carbon melihat Raden Yudakara keluyuran di sini, tidak akan menimbulkan perhatian khusus sebab pemuda bangsawan ini dikenal gemar keluyuran. Namun kalau pun dia memasuki wilayah Pajajaran, maka giliran orang Pajajaranlah yang tak bercuriga apa pun, sebab khabar menunjukkan bahwa Raden Yudakara pun di sana diakui sebagai warga.
Raden Yudakara adalah mata-mata bagi kepentingan Carbon. Dan kalau pemuda tampan ini senang keluyuran dan berpelesir, barangkali juga karena didesak oleh kebutuhannya sebagai mata-mata. Tidakkah kegemarannya terhadap wanita pun berangkat dari kepentingan tugasnya?
Purbajaya berpikir, begitu berbahayanya sebenarnya permainan politik itu. Kehidupan politik telah membutakan kemanusiaan. Dalam lingkaran politik orang sulit melihat kebenaran, sebab segalanya sepertinya diatur untuk sebuah kepentingan tertentu. Orang membunuh, belum tentu dikatakan jahat. Bahkan sebaliknya, orang berbuat kebajikan, belum tentu dasarnya kemanusiaan.
Bermain dalam politik, orang sulit menilai kemanusiaan yang hakiki. Sebab ada kalanya, kesulitan dan kesengsaraan sengaja direkayasa agar nantinya bisa dijadikan alat untuk memenangkan kepentingan politiknya. Begitu mungkin yang tengah dilakukan Raden Yudakara. Dia bisa bermain ke sana ke mari, bisa menjadi ini dan itu hanya karena sebuah kepentingan dan bukan lahir dari nilai kemanusiaannya.
Sebagai contoh, di wilayah Carbon, pemuda ini dikenal sebagai keluarga bangsawan. Namun kedudukannya sebagai apa, tak banyak orang mengenalnya. Paling orang kebanyakan hanya menilai dia adalah seorang pemuda yang doyan pelesiran dan amat menyenangi berbagai keindahan, termasuk keindahan kodrat wanita. Hanya sedikit saja orang yang tahu, betapa sebenarnya dia tengah mengemban tugas sebagai mata-mata.
Menurut pengakuan Pangeran Arya Damar, Raden Yudakara ini di Pajajaran adalah kerabat pejabat di sana juga. Khabarnya Pangeran Yudakara adalah kerabat dekatnya Ki Sunda Sembawa, seorang kandagalante (pejabat setingkat wedana kini) di wilayah Sagaraherang (sekitar Subang kini). Apakah benar merupakan kerabat dekatnya Sunda Sembawa atau bukan, Purbajaya tak bisa memastikan.
Keluarga dekat pun bisa jadi, tokh antara Pajajaran dan Carbon sebenarnya masih setunggale seturunan. Banyak kekerabatan di kalangan orang Carbon dan Pajajaran, kendati secara politis terpisah oleh dua negri berbeda dan dua paham berbeda. Namun hanya sekadar rekayasa pun bisa saja. Tokh seperti tadi diutarakan, untuk kepentingan politik, hal apa pun bisa terjadi. Dan benar atau tidak hal ini terjadi, yang pasti kehidupan akal-akalan tidak mungkin bisa berdiri sendiri.
Tentu yang keluyuran di Pajajaran sebagai mata-mata bukan Raden Yudakara seorang. Tentu Ki Sunda Sembawa sebagai pejabat penting di wilayah Sagaraherang pun ikut terlibat di dalamnya. Berapa jumlah orang Pajajaran yang sama-sama ikut terlibat mempunyai misi “dua muka” barangkali sudah sulit dihitung. Dan orang-orang yang demikian sebenarnya amat membahayakan tatanan negara.
Oleh orang Pajajaran, Raden Yudakara mungkin dianggap warga yang baik dan terhormat. Mereka salah penilaian. Padahal yang sebenarnya terjadi, Raden Yudakara itu orang yang kelak akan sangat merugikan mereka. Beruntung Raden Yudakara bekerja untuk kepentingan Carbon. Bagaimana halnya kalau keadaan sebenarnya terbalik? Ow, Purbajaya tak mau melantur jauh seperti itu. Namun yang tetap dia yakini, permainan politi ini benar-benar berbahaya sebab nilai kemanusiaan bisa buram dan sulit ditentukan warna aslinya.
Purbajaya ngeri, sebab suatu saat peranan Raden Yudakara pun akan jatuh padanya. Melalui Raden Yudakara, dia pun kelak akan menjadi “warga” Pajajaran. Dia akan disuruh “mengabdi” kepada Pajajaran. Sungguh ngeri, mengabdi tapi untuk menghancurkan. Di sana dia harus berbuat baik tapi untuk melakukan kebohongan. Kebaikan yang dia kerjakan nanti, sebetulnya untuk menciptakan kejahatan, paling tidak mengkhianati sesama manusia dan menghancurkan kepercayaan kemanusiaan. Inilah yang mengerikan baginya. Dia akan melakukan penipuan. Bagaimana penilaian agama terhadap perilaku seperti ini? Purbajaya tak sanggup memikirkannya.
Purbajaya bingung. Sejauh mana agama memperkenankan perilaku manusia dalam melakukan pembelaan terhadap negara. Apakah menipu untuk mempermainkan kepercayaan orang demi kepentingan negara diperkenankan agama?. Purbajaya sama sekali tak sanggup mengira-ngira.
Hanya saja melihat sikap dan tindak-tanduk Raden Yudakara di perjalanan dalam tugasnya sebagai mata-mata di mata Purbajaya terasa keji. Di saat-saat tertentu Raden Yudakara harus mengecoh orang. Apa yang dia kemukakan kepada siapa pun selalu diimbuhi kebohongan. Mungkin bukan tabiat Raden Yudakara begitu. Namun tugasnya sebagai mata-mata mengharuskannya begitu. Tak boleh mengemukakan apa yang sebetulnya terjadi atau apa yang sebetulnya tengah dilakukan.
Sampai pada suatu hari, Raden Yudakara betul-betul menemukan sebuah khabar yang amat mengejutkan. Bahkan Purbajaya pun sama terkejut mendengar berita ini.
“Betulkah ada serombongan pasukan Pakuan yang menuju Cakrabuana?” tanya Raden Yudakara sambil santai membenahi pelana kudanya. Suaranya datar, pertanyaan pun dilakukan sambil lalu saja. Padahal Purbajaya menduga, berita ini amat mengejutkan Raden Yudakara.
“Betul. Semuanya terdiri dari kaum perwira, belasan jumlahnya,” tutur seorang tua setengah baya.
Dia adalah pedagang penyelundup dari wilayah perbatasan utara yang dengan susah-payah menyelundupkan kain halus ke wilayah Pajajaran. Semenjak perdagangan antar pulau Pajajaran terhambat oleh gerakan Carbon, wilayah mereka kesulitan mendatangkan kain halus dari Nagri Cina, Parasi atau pun Campa. Agar kain halus tetap didapat, maka pedagang Pajajaran harus “minta tolong” kepada pedagang Carbon. Maka jadilah perdagangan gelap antara dua negri. Secara politik mereka bermusuhan namun dagang jalan terus. Mengapa tidak boleh dilakukan, tokh orang Carbon (pesisir) pun butuh hasil bumi dari wilayah pegunungan atau pedalaman. Pajajaranlah yang menguasainya.
“Betul, belasan jumlahnya,” pedagang asal Carbon ini seperti ingin lebih memberi keyakinan.
“Di Cakrabuana memang banyak binatang buruan. Namun rasanya jumlahnya sudah semakin berkurang…” gumam Raden Yudakara masih bicara sambil lalu.
“Berburu? Masa serombongan perwira Pajajaran jauh-jauh dari wilayah barat berburu ke timur?” pedagang itu melecehkan pendapat Raden Yudakara.
“Habis, apa yang mereka kerjakan di sana?” tanya Raden Yudakara.
“Mereka akan mengejar seorang buruan!”
“Siapa yang akan mereka buru?”
“Ki Darma!”
“Ki Darma? Siapa dia?” Raden Yudakara pura-pura tak kenal.
“Dia orang terkenal di Pajajaran. Namun sungguh aneh, dia dicintai rakyatnya, namun dibenci penguasa negri. Orang Pajajaran kok aneh-aneh. Sepertinya apa yang dianggap baik oleh rakyatnya, tidak demikian oleh penguasanya. Aneh sekali ada beda pendapat antara pemerintah dan rakyatnya,” tutur pedagang itu.
Raden Yudakara tidak mengomentari pertanyaan orang itu yang bagi pandangan pemuda itu, ini hanyalah pendapat dungu dari masyarakat awam semata. Namun demikian, Raden Yudakara tetap memperlihatkan mimik, seolah-olah dia menyimak dan menghargai wawasan politik pedagang gelap itu.
“Hanya sedikit saja yang aku tahu. Ki Darma itu pemberontak dan pengkhianat.” Raden Yudakara mencoba menggiring pendapat orang itu.
“Pengkhianat bagi penguasa tidak berarti penjahat bagi rakyat. Oleh rakyatnya, Ki Darma malah dianggap pembela.”
“Apa sih yang dia bela?”
“Paling tidak, Ki Darma berani mengeritik penguasa. Sang Prabu Ratu Sakti orang kejam. Ayahandanya malah gemar berperang, sehingga kerapkali rakyat sengsara karena peperangan. Hanya Ki Darma yang berani memperingatkan, bahwa peperangan membuat rakyat menderita dan pembangunan terhambat.”
Raden Yudakara mengangguk-angguk, entah apa maksudnya. Tapi sampai pedagang gelap itu pergi, Raden Yudakara masih termenung. Purbajaya tak tahu, apa yang sebenarnya tengah dipikirkan pemuda bangsawan itu.
“Saya kira, perjalanan kita sedikit terganggu, Raden…” gumam Purbajaya.
“Sangat terganggu…” jawab Raden Yudakara masih merenung. ”Kita pasti bentrok dengan mereka,” sambungnya dengan wajah sedikit tegang.
“Kita harus berusaha memberitahu rekan-rekan kita yang tengah bergerak di selatan. Mungkin sebaiknya perjalanan mereka diurungkan dulu agar bentrokan dengan musuh tidak terjadi,” kata Purbajaya.
“Justru kita dipaksa harus bentrok dengan musuh,” ujar Raden Yudakara.
“Mengapa? Tujuan kita hanya menempur Ki Darma. Sekarang tugas kita ringan sebab tanpa kita tempur, Ki Darma sudah diserang orang lain. Kita hemat tenaga, Raden,” kata Purbajaya mengeluarkan pendapatanya.
“Belasan perwira Pakuan datang ke Cakrabuana mungkin bukan hanya sekadar mau menangkap Ki Darma saja, melainkan juga akan mencari tombak pusaka Cuntangbarang,” ujar Raden Yudakara.
Purbajaya jadi ingat perbincangan beberapa waktu lalu di paseban Puri Arya Damar. Bahwa penyerbuan ke Cakrabuana yang direncanakan ini, selain ingin melumpuhkan Ki Darma juga akan mencoba merebut tombak pusaka itu yang diduga dikuasai tokoh itu.
Purbajaya terkejut. Kalau begitu, benar yang dikatakan Raden Yudakara, bentrokan dengan musuh tak bisa dielakkan sebab satu sama lain memiliki keinginan yang sama, yaitu merebut tombak pusaka Cuntang Barang.
“Mari, kita harus berpacu melawan waktu. Pasukan di selatan harus kita hubungi dan jangan sampai terlambat datang,” kata Raden Yudakara membedal tali kekang kudanya.
Kuda warna hitam dengan tubuh tinggi besar itu mendadak berlari kencang karena hentakan-hentakan keras dari penunggangnya. Purbajaya pun ikut membedal kuda sehingga dia pun sama-sama mencongklang keras di atas punggung kuda.
Kata Raden Yudakara, bersama pasukan yang tengah bergerak di selatan, harus membuat siasat melepas domba bertarung dengan domba untuk kemenangan srigala.
“Biarkan dulu Ki Darma dan para perwira Pakuan saling timpuk. Kemenangan salah satu dari mereka adalah kelelahan. Maka di saat itulah pasukan Carbon menggempurnya,” kata Raden Yudakara membayangkan rencananya dengan bibir tersenyum puas, seolah-olah rencana itu sudah benar-benar tengah berjalan.
Begitu cerdik dan ganas siasat ini. Namun demikian, Purbajaya hanya bisa membedal kudanya keras-keras agar bisa mengikuti kecepatan lari kuda yang dimiliki Raden Yudakara.
Mereka berdua benar-benar harus berpacu melawan waktu. Mereka harus bisa mencegat pasukan Carbon sebelum pasukan itu telanjur bertemu musuh. Namun usaha ini amatlah sulit. Kedua orang ini tadinya tak dipersiapkan untuk melakukan perjalanan tergesa-gesa. Mereka tak dibekali kuda yang bisa merambah perjalanan sulit dan keras sebab kuda-kuda mereka biasanya dilatih untuk kepentingan upacara kenegaraan saja. Kuda-kuda itu hanya berpenampilan bagus dan gagah namun kurang tangguh kekuatannya terutama bila digunakan untuk perjalanan keras.
Hanya beberapa saat saja kuda-kuda itu bisa memacu langkah dengan cepat. Namun untuk selanjutnya, kuda-kuda tinggi besar itu kedodoran. Kuda milik Purbajaya bahkan sudah tersungkur duluan.
“Raden…!” Purbajaya berteriak takut ditinggal.
Raden Yudakara pun terpaksa turun dari kudanya. Untuk beberapa saat dia memeriksa kudanya. Ada buih putih di mulutnya. Barangkali sebentar lagi kuda hitam tegap itu pun akan mengalami nasib yang sama yang dialami kuda milik Purbajaya.
“Sialan…!” gerutu Raden Yudakara.
Jalan pedati semakin sempit dan menaik ke arah perbukitan. Tentu saja ini merepotkan bila di saat genting dan perjalanan berat seperti ini, kuda mereka malah mogok.
“Mustinya kuda ini kuat berlari dua hari penuh tanpa henti,” omel Raden Yudakara dengan wajah cemberut.
“Perjalanan kuda itu memang sudah dua hari. Barangkali kalau kita tak banyak belok kiri-kanan, kuda akan sanggup melaksanakan tugasnya sampai di tujuan,” kata Purbajaya sedikit menyalahkan Raden Yudakara yang banyak berhenti untuk menggoda wanita cantik.
Mendapatkan kritik ini, Raden Yudakara hanya menoleh sebentar. “Ayo kita jalan kaki saja!” kata Raden Yudakara.
Purbajaya segera mengikuti pemuda bangsawan itu yang segera berlari cepat menaiki bukit. Dia nampak meloncat-loncat lincah dari ujung batu ke ujung batu lainnya. Sepertinya dia sengaja hendak menguji atau menghukum Purbajaya yang barusan berani menyalahkannya. Sadar akan hal ini, Purbajaya pun tak sungkan-sungkan melayaninya.
Dia tak mau menyusul langkah Raden Yudakara. Namun demikian, dia pun tak mau tertinggal jauh oleh pemuda bangsawan itu. Dengan kata lain, Purbajaya ingin memperlihatkan bahwa kemampuannya tidak berada terlalu jauh di bawah kemampuan Raden Yudakara.
Dan memang terbukti, sebenarnya kemampuan Purbajaya tidak berada jauh di bawah kemampuan Raden Yudakara. Kian menuju bukit, tenaga yang dikeluarkan oleh Purbajaya tidak semakin ditingkatkan. Namun kenyataannya, jarak antara keduanya tak begitu jauh. Purbajaya tidak pernah ketinggalan oleh larinya Raden Yudakara. Bahkan ada kelebihannya, kalau Raden Yudakara sudah nampak kelelahan, tapi Purbajaya biasa-biasa saja. Dalam hal tenaga, Purbajaya unggul satu tingkat.
Namun Raden Yudakara tak mau memperlihatkan kelemahannya ini. Dia terus saja berlari kendati pun kecepatannya kian berkurang juga. Purbajaya sadar, sebetulnya Raden Yudakara memiliki rasa angkuh dan tak mau kalah oleh orang lain. Dia tak mau mengakui kelemahannya atau kelemahannya tak boleh diketahui orang lain.Oleh sebab itu nampak sekali, kendati dia sudah lelah tapi masih tetap memaksa lari.
Melihat ini, Purbajaya segera mengurangi langkahnya. Dia bahkan teriak-teriak minta agar Raden Yudakara suka menghentikan langkahnya untuk memberi istirahat pada Purbajaya.
“Tolonglah Raden, saya sudah tak kuat…” keluh Purbajaya pura-pura terengah-engah. Beberapa kali dia pura-pura tersedak batuk dan menyeka jidatnya.
“Dasar engkau orang lemah, Purba…” omel Raden Yudakara sambil menghentikan larinya dan mencoba menahan napasnya yang memburu.
Kalau Raden Yudakara berusahan menahan napasnya yang kecapekan, sebaliknya Purbajaya berusaha mnemperlihatkan bahwa dirinya amat capek. Akal ini ternyata berhasil. Raden Yudakara tersenyum puas karena sudah membuktikan “kehebatan”nya. Purbajaya kalah olehnya dalam adu lari. Dia punya kesempatan untuk “memberi” istirahat kepada Purbajaya.
“Tenaga saja memang payah. Tapi sebetulnya ada sesuatu yang tengah saya pikirkan,” kata Purbajaya masih terengah-engah.
“Kau memikirkan apa?” tanya Raden Yudakara.
Purbajaya sebenarnya memang tak mengada-ada. Ada sesuatu yang tengah dia pikirkan.
“Jalanan ini sempit, mendaki dan berbatu. Mungkinkah pasukan kita bisa tiba di sini?” tanya Purbajaya.
Di wilayah-wilayah terpencil seperti ini kerapkali didengar ada pasukan pengacau keamanan. Mereka bisa saja hanya perampok biasa, namun bisa juga karena latar belakang politik. Sudah tak aneh, di masa peralihan pengaruh dan kekuasaan banyak melahirkan kelompok yang pro dan kontra. Khabar selentingan, di wilayah kekuasaan baru Negri Carbon seperti wilayah selatan dan barat, diisukan banyak kelompok pembangkang.
Mereka adalah yang tak mau tunduk kepada penguasa baru dan memilih memisahkan diri dari kehidupan bernegara. Kendati Karatuan Sindang Kasih, Rajagaluh atau pun Talaga sudah resmi bernaung di bawah Carbon, namun masih ada kelompok kecil yang tak setuju dengan itu dan tetap bertahan dengan keyakinan lama. Jumlahnya memang tak seberapa. Namun demikian, tetap merupakan duri dalam daging. Maka itulah sebabnya, rombongan yang dipimpin empat perwira menyusuri daerah rawan keamanan. Di samping memang sudah jadi tugasnya, namun juga bisa diartikan sebagai kamuplase. Sebab, bukankah tujuan utama dari kesemuanya adalah menyerang sarang Ki Darma di puncak Cakrabuana?
Ingat ini, Purbajaya jadi penasaran. Dia amat tertarik kepada tokoh bernama Ki Darma ini. Hanya satu orang saja, namun mengapa Pangeran Arya Damar begitu tegang menghadapinya, sehingga upaya menyerang Ki Darma dijadikan gerakan amat khusus? Kalau kelak tiba di Cakrabuana, yang Purbajaya inginkan adalah bertemu dengan Ki Darma.
Rombongan kedua jumlahnya lebih kecil, hanya Purbajaya dan Raden Yudakara. Perjalanan mereka lebih enteng sebab hanya menyusuri jalan pedati di dataran rendah dan banyak melewati kampung-kampung besar.
Diatur sedemikian rupa dengan berbagai pertimbangan. Melakukan perjalan melalui utara seperti yang dilakukan Purbajaya dan Raden Yudakara adalah perjalanan paling mudah. Namun hal ini tidak bisa dilakukan dengan rombongan besar. Walau pun menyandang tugas “resmi” yang direstui pimpinan tertinggi militer, namun perjalanan ini tetap memendam tugas rahasia yang tak diketahui negara. Pasukan ini diusahakan jangan terlalu banyak bertemu orang ramai.
Jalur utara itu daerah ramai tapi juga kerawanannya lumayan. Walau pun wilayah ini sudah masuk ke Carbon, namun yang namanya daerah perbatasan berbagai kemungkinan bisa terjadi. Orang Pajajaran kerapkali menyusup ke wilayah Carbon. Mungkin hanya sebatas melakukan perdagangan gelap, namun bisa juga karena keperluan mata-mata.
Oleh sebab itu, memamerkan pasukan berkuda ke daerah ramai seperti ini amat mengundang perhatian. Lain halnya dengan perjalanan yang dilakukan kedua orang itu. Kalau ada orang Carbon melihat Raden Yudakara keluyuran di sini, tidak akan menimbulkan perhatian khusus sebab pemuda bangsawan ini dikenal gemar keluyuran. Namun kalau pun dia memasuki wilayah Pajajaran, maka giliran orang Pajajaranlah yang tak bercuriga apa pun, sebab khabar menunjukkan bahwa Raden Yudakara pun di sana diakui sebagai warga.
Raden Yudakara adalah mata-mata bagi kepentingan Carbon. Dan kalau pemuda tampan ini senang keluyuran dan berpelesir, barangkali juga karena didesak oleh kebutuhannya sebagai mata-mata. Tidakkah kegemarannya terhadap wanita pun berangkat dari kepentingan tugasnya?
Purbajaya berpikir, begitu berbahayanya sebenarnya permainan politik itu. Kehidupan politik telah membutakan kemanusiaan. Dalam lingkaran politik orang sulit melihat kebenaran, sebab segalanya sepertinya diatur untuk sebuah kepentingan tertentu. Orang membunuh, belum tentu dikatakan jahat. Bahkan sebaliknya, orang berbuat kebajikan, belum tentu dasarnya kemanusiaan.
Bermain dalam politik, orang sulit menilai kemanusiaan yang hakiki. Sebab ada kalanya, kesulitan dan kesengsaraan sengaja direkayasa agar nantinya bisa dijadikan alat untuk memenangkan kepentingan politiknya. Begitu mungkin yang tengah dilakukan Raden Yudakara. Dia bisa bermain ke sana ke mari, bisa menjadi ini dan itu hanya karena sebuah kepentingan dan bukan lahir dari nilai kemanusiaannya.
Sebagai contoh, di wilayah Carbon, pemuda ini dikenal sebagai keluarga bangsawan. Namun kedudukannya sebagai apa, tak banyak orang mengenalnya. Paling orang kebanyakan hanya menilai dia adalah seorang pemuda yang doyan pelesiran dan amat menyenangi berbagai keindahan, termasuk keindahan kodrat wanita. Hanya sedikit saja orang yang tahu, betapa sebenarnya dia tengah mengemban tugas sebagai mata-mata.
Menurut pengakuan Pangeran Arya Damar, Raden Yudakara ini di Pajajaran adalah kerabat pejabat di sana juga. Khabarnya Pangeran Yudakara adalah kerabat dekatnya Ki Sunda Sembawa, seorang kandagalante (pejabat setingkat wedana kini) di wilayah Sagaraherang (sekitar Subang kini). Apakah benar merupakan kerabat dekatnya Sunda Sembawa atau bukan, Purbajaya tak bisa memastikan.
Keluarga dekat pun bisa jadi, tokh antara Pajajaran dan Carbon sebenarnya masih setunggale seturunan. Banyak kekerabatan di kalangan orang Carbon dan Pajajaran, kendati secara politis terpisah oleh dua negri berbeda dan dua paham berbeda. Namun hanya sekadar rekayasa pun bisa saja. Tokh seperti tadi diutarakan, untuk kepentingan politik, hal apa pun bisa terjadi. Dan benar atau tidak hal ini terjadi, yang pasti kehidupan akal-akalan tidak mungkin bisa berdiri sendiri.
Tentu yang keluyuran di Pajajaran sebagai mata-mata bukan Raden Yudakara seorang. Tentu Ki Sunda Sembawa sebagai pejabat penting di wilayah Sagaraherang pun ikut terlibat di dalamnya. Berapa jumlah orang Pajajaran yang sama-sama ikut terlibat mempunyai misi “dua muka” barangkali sudah sulit dihitung. Dan orang-orang yang demikian sebenarnya amat membahayakan tatanan negara.
Oleh orang Pajajaran, Raden Yudakara mungkin dianggap warga yang baik dan terhormat. Mereka salah penilaian. Padahal yang sebenarnya terjadi, Raden Yudakara itu orang yang kelak akan sangat merugikan mereka. Beruntung Raden Yudakara bekerja untuk kepentingan Carbon. Bagaimana halnya kalau keadaan sebenarnya terbalik? Ow, Purbajaya tak mau melantur jauh seperti itu. Namun yang tetap dia yakini, permainan politi ini benar-benar berbahaya sebab nilai kemanusiaan bisa buram dan sulit ditentukan warna aslinya.
Purbajaya ngeri, sebab suatu saat peranan Raden Yudakara pun akan jatuh padanya. Melalui Raden Yudakara, dia pun kelak akan menjadi “warga” Pajajaran. Dia akan disuruh “mengabdi” kepada Pajajaran. Sungguh ngeri, mengabdi tapi untuk menghancurkan. Di sana dia harus berbuat baik tapi untuk melakukan kebohongan. Kebaikan yang dia kerjakan nanti, sebetulnya untuk menciptakan kejahatan, paling tidak mengkhianati sesama manusia dan menghancurkan kepercayaan kemanusiaan. Inilah yang mengerikan baginya. Dia akan melakukan penipuan. Bagaimana penilaian agama terhadap perilaku seperti ini? Purbajaya tak sanggup memikirkannya.
Purbajaya bingung. Sejauh mana agama memperkenankan perilaku manusia dalam melakukan pembelaan terhadap negara. Apakah menipu untuk mempermainkan kepercayaan orang demi kepentingan negara diperkenankan agama?. Purbajaya sama sekali tak sanggup mengira-ngira.
Hanya saja melihat sikap dan tindak-tanduk Raden Yudakara di perjalanan dalam tugasnya sebagai mata-mata di mata Purbajaya terasa keji. Di saat-saat tertentu Raden Yudakara harus mengecoh orang. Apa yang dia kemukakan kepada siapa pun selalu diimbuhi kebohongan. Mungkin bukan tabiat Raden Yudakara begitu. Namun tugasnya sebagai mata-mata mengharuskannya begitu. Tak boleh mengemukakan apa yang sebetulnya terjadi atau apa yang sebetulnya tengah dilakukan.
Sampai pada suatu hari, Raden Yudakara betul-betul menemukan sebuah khabar yang amat mengejutkan. Bahkan Purbajaya pun sama terkejut mendengar berita ini.
“Betulkah ada serombongan pasukan Pakuan yang menuju Cakrabuana?” tanya Raden Yudakara sambil santai membenahi pelana kudanya. Suaranya datar, pertanyaan pun dilakukan sambil lalu saja. Padahal Purbajaya menduga, berita ini amat mengejutkan Raden Yudakara.
“Betul. Semuanya terdiri dari kaum perwira, belasan jumlahnya,” tutur seorang tua setengah baya.
Dia adalah pedagang penyelundup dari wilayah perbatasan utara yang dengan susah-payah menyelundupkan kain halus ke wilayah Pajajaran. Semenjak perdagangan antar pulau Pajajaran terhambat oleh gerakan Carbon, wilayah mereka kesulitan mendatangkan kain halus dari Nagri Cina, Parasi atau pun Campa. Agar kain halus tetap didapat, maka pedagang Pajajaran harus “minta tolong” kepada pedagang Carbon. Maka jadilah perdagangan gelap antara dua negri. Secara politik mereka bermusuhan namun dagang jalan terus. Mengapa tidak boleh dilakukan, tokh orang Carbon (pesisir) pun butuh hasil bumi dari wilayah pegunungan atau pedalaman. Pajajaranlah yang menguasainya.
“Betul, belasan jumlahnya,” pedagang asal Carbon ini seperti ingin lebih memberi keyakinan.
“Di Cakrabuana memang banyak binatang buruan. Namun rasanya jumlahnya sudah semakin berkurang…” gumam Raden Yudakara masih bicara sambil lalu.
“Berburu? Masa serombongan perwira Pajajaran jauh-jauh dari wilayah barat berburu ke timur?” pedagang itu melecehkan pendapat Raden Yudakara.
“Habis, apa yang mereka kerjakan di sana?” tanya Raden Yudakara.
“Mereka akan mengejar seorang buruan!”
“Siapa yang akan mereka buru?”
“Ki Darma!”
“Ki Darma? Siapa dia?” Raden Yudakara pura-pura tak kenal.
“Dia orang terkenal di Pajajaran. Namun sungguh aneh, dia dicintai rakyatnya, namun dibenci penguasa negri. Orang Pajajaran kok aneh-aneh. Sepertinya apa yang dianggap baik oleh rakyatnya, tidak demikian oleh penguasanya. Aneh sekali ada beda pendapat antara pemerintah dan rakyatnya,” tutur pedagang itu.
Raden Yudakara tidak mengomentari pertanyaan orang itu yang bagi pandangan pemuda itu, ini hanyalah pendapat dungu dari masyarakat awam semata. Namun demikian, Raden Yudakara tetap memperlihatkan mimik, seolah-olah dia menyimak dan menghargai wawasan politik pedagang gelap itu.
“Hanya sedikit saja yang aku tahu. Ki Darma itu pemberontak dan pengkhianat.” Raden Yudakara mencoba menggiring pendapat orang itu.
“Pengkhianat bagi penguasa tidak berarti penjahat bagi rakyat. Oleh rakyatnya, Ki Darma malah dianggap pembela.”
“Apa sih yang dia bela?”
“Paling tidak, Ki Darma berani mengeritik penguasa. Sang Prabu Ratu Sakti orang kejam. Ayahandanya malah gemar berperang, sehingga kerapkali rakyat sengsara karena peperangan. Hanya Ki Darma yang berani memperingatkan, bahwa peperangan membuat rakyat menderita dan pembangunan terhambat.”
Raden Yudakara mengangguk-angguk, entah apa maksudnya. Tapi sampai pedagang gelap itu pergi, Raden Yudakara masih termenung. Purbajaya tak tahu, apa yang sebenarnya tengah dipikirkan pemuda bangsawan itu.
“Saya kira, perjalanan kita sedikit terganggu, Raden…” gumam Purbajaya.
“Sangat terganggu…” jawab Raden Yudakara masih merenung. ”Kita pasti bentrok dengan mereka,” sambungnya dengan wajah sedikit tegang.
“Kita harus berusaha memberitahu rekan-rekan kita yang tengah bergerak di selatan. Mungkin sebaiknya perjalanan mereka diurungkan dulu agar bentrokan dengan musuh tidak terjadi,” kata Purbajaya.
“Justru kita dipaksa harus bentrok dengan musuh,” ujar Raden Yudakara.
“Mengapa? Tujuan kita hanya menempur Ki Darma. Sekarang tugas kita ringan sebab tanpa kita tempur, Ki Darma sudah diserang orang lain. Kita hemat tenaga, Raden,” kata Purbajaya mengeluarkan pendapatanya.
“Belasan perwira Pakuan datang ke Cakrabuana mungkin bukan hanya sekadar mau menangkap Ki Darma saja, melainkan juga akan mencari tombak pusaka Cuntangbarang,” ujar Raden Yudakara.
Purbajaya jadi ingat perbincangan beberapa waktu lalu di paseban Puri Arya Damar. Bahwa penyerbuan ke Cakrabuana yang direncanakan ini, selain ingin melumpuhkan Ki Darma juga akan mencoba merebut tombak pusaka itu yang diduga dikuasai tokoh itu.
Purbajaya terkejut. Kalau begitu, benar yang dikatakan Raden Yudakara, bentrokan dengan musuh tak bisa dielakkan sebab satu sama lain memiliki keinginan yang sama, yaitu merebut tombak pusaka Cuntang Barang.
“Mari, kita harus berpacu melawan waktu. Pasukan di selatan harus kita hubungi dan jangan sampai terlambat datang,” kata Raden Yudakara membedal tali kekang kudanya.
Kuda warna hitam dengan tubuh tinggi besar itu mendadak berlari kencang karena hentakan-hentakan keras dari penunggangnya. Purbajaya pun ikut membedal kuda sehingga dia pun sama-sama mencongklang keras di atas punggung kuda.
Kata Raden Yudakara, bersama pasukan yang tengah bergerak di selatan, harus membuat siasat melepas domba bertarung dengan domba untuk kemenangan srigala.
“Biarkan dulu Ki Darma dan para perwira Pakuan saling timpuk. Kemenangan salah satu dari mereka adalah kelelahan. Maka di saat itulah pasukan Carbon menggempurnya,” kata Raden Yudakara membayangkan rencananya dengan bibir tersenyum puas, seolah-olah rencana itu sudah benar-benar tengah berjalan.
Begitu cerdik dan ganas siasat ini. Namun demikian, Purbajaya hanya bisa membedal kudanya keras-keras agar bisa mengikuti kecepatan lari kuda yang dimiliki Raden Yudakara.
Mereka berdua benar-benar harus berpacu melawan waktu. Mereka harus bisa mencegat pasukan Carbon sebelum pasukan itu telanjur bertemu musuh. Namun usaha ini amatlah sulit. Kedua orang ini tadinya tak dipersiapkan untuk melakukan perjalanan tergesa-gesa. Mereka tak dibekali kuda yang bisa merambah perjalanan sulit dan keras sebab kuda-kuda mereka biasanya dilatih untuk kepentingan upacara kenegaraan saja. Kuda-kuda itu hanya berpenampilan bagus dan gagah namun kurang tangguh kekuatannya terutama bila digunakan untuk perjalanan keras.
Hanya beberapa saat saja kuda-kuda itu bisa memacu langkah dengan cepat. Namun untuk selanjutnya, kuda-kuda tinggi besar itu kedodoran. Kuda milik Purbajaya bahkan sudah tersungkur duluan.
“Raden…!” Purbajaya berteriak takut ditinggal.
Raden Yudakara pun terpaksa turun dari kudanya. Untuk beberapa saat dia memeriksa kudanya. Ada buih putih di mulutnya. Barangkali sebentar lagi kuda hitam tegap itu pun akan mengalami nasib yang sama yang dialami kuda milik Purbajaya.
“Sialan…!” gerutu Raden Yudakara.
Jalan pedati semakin sempit dan menaik ke arah perbukitan. Tentu saja ini merepotkan bila di saat genting dan perjalanan berat seperti ini, kuda mereka malah mogok.
“Mustinya kuda ini kuat berlari dua hari penuh tanpa henti,” omel Raden Yudakara dengan wajah cemberut.
“Perjalanan kuda itu memang sudah dua hari. Barangkali kalau kita tak banyak belok kiri-kanan, kuda akan sanggup melaksanakan tugasnya sampai di tujuan,” kata Purbajaya sedikit menyalahkan Raden Yudakara yang banyak berhenti untuk menggoda wanita cantik.
Mendapatkan kritik ini, Raden Yudakara hanya menoleh sebentar. “Ayo kita jalan kaki saja!” kata Raden Yudakara.
Purbajaya segera mengikuti pemuda bangsawan itu yang segera berlari cepat menaiki bukit. Dia nampak meloncat-loncat lincah dari ujung batu ke ujung batu lainnya. Sepertinya dia sengaja hendak menguji atau menghukum Purbajaya yang barusan berani menyalahkannya. Sadar akan hal ini, Purbajaya pun tak sungkan-sungkan melayaninya.
Dia tak mau menyusul langkah Raden Yudakara. Namun demikian, dia pun tak mau tertinggal jauh oleh pemuda bangsawan itu. Dengan kata lain, Purbajaya ingin memperlihatkan bahwa kemampuannya tidak berada terlalu jauh di bawah kemampuan Raden Yudakara.
Dan memang terbukti, sebenarnya kemampuan Purbajaya tidak berada jauh di bawah kemampuan Raden Yudakara. Kian menuju bukit, tenaga yang dikeluarkan oleh Purbajaya tidak semakin ditingkatkan. Namun kenyataannya, jarak antara keduanya tak begitu jauh. Purbajaya tidak pernah ketinggalan oleh larinya Raden Yudakara. Bahkan ada kelebihannya, kalau Raden Yudakara sudah nampak kelelahan, tapi Purbajaya biasa-biasa saja. Dalam hal tenaga, Purbajaya unggul satu tingkat.
Namun Raden Yudakara tak mau memperlihatkan kelemahannya ini. Dia terus saja berlari kendati pun kecepatannya kian berkurang juga. Purbajaya sadar, sebetulnya Raden Yudakara memiliki rasa angkuh dan tak mau kalah oleh orang lain. Dia tak mau mengakui kelemahannya atau kelemahannya tak boleh diketahui orang lain.Oleh sebab itu nampak sekali, kendati dia sudah lelah tapi masih tetap memaksa lari.
Melihat ini, Purbajaya segera mengurangi langkahnya. Dia bahkan teriak-teriak minta agar Raden Yudakara suka menghentikan langkahnya untuk memberi istirahat pada Purbajaya.
“Tolonglah Raden, saya sudah tak kuat…” keluh Purbajaya pura-pura terengah-engah. Beberapa kali dia pura-pura tersedak batuk dan menyeka jidatnya.
“Dasar engkau orang lemah, Purba…” omel Raden Yudakara sambil menghentikan larinya dan mencoba menahan napasnya yang memburu.
Kalau Raden Yudakara berusahan menahan napasnya yang kecapekan, sebaliknya Purbajaya berusaha mnemperlihatkan bahwa dirinya amat capek. Akal ini ternyata berhasil. Raden Yudakara tersenyum puas karena sudah membuktikan “kehebatan”nya. Purbajaya kalah olehnya dalam adu lari. Dia punya kesempatan untuk “memberi” istirahat kepada Purbajaya.
“Tenaga saja memang payah. Tapi sebetulnya ada sesuatu yang tengah saya pikirkan,” kata Purbajaya masih terengah-engah.
“Kau memikirkan apa?” tanya Raden Yudakara.
Purbajaya sebenarnya memang tak mengada-ada. Ada sesuatu yang tengah dia pikirkan.
“Jalanan ini sempit, mendaki dan berbatu. Mungkinkah pasukan kita bisa tiba di sini?” tanya Purbajaya.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment