PURBAJAYA kembali dari kaputren sambil meloncat-loncat di atas kutha (benteng) dengan amat hati-hati. Baru belakangan ini saja dia sadar, betapa berbahayanya bila ada orang yang memergoki perbuatannya ini. Memasuki kaputren dan apalagi mengencani putri penguasa puri adalah sebuah pelanggaran berat. Bila diketahui penghuni puri, barangkali hukumannya mati. Betapa tidak, sebab sebenarnya dia telah berani mengotori tempat ini.
Nyimas Waningyun adalah gadis pingitan sebab sebentar lagi akan menjadi jodohnya Raden Ranggasena. Betapa terhinanya keluarga Pangeran Danuwangsa kalau diketahui calon mantunya dikotori oleh lelaki yang bukan haknya. Barangkali akan terjadi percekcokan dengan pemilik puri ini. Betapa marahnya Pangeran Arya Damar kalau yang menghina martabatnya ini adalah prajuritnya sendiri.
Purbajaya menyesal, mengapa dia bertindak semberono seperti ini. Mencuri masuk ke kaputren dan mengencani Nyimas Waningyun adalah tindakan amat memalukan. Beruntung, setan tak menggoda lebih dalam, sebab kalau tak begitu, dirinya sudah terjerumus ke jurang kehinaan.
Ingat Nyimas Waningyun dia menjadi sedih. Kalau dilayani, tentu gadis itu telah ternoda. Purbajaya sedih, gadis itu punya batin yang lemah. Purbajaya memang boleh bangga bahwa hatinya tak bertepuk sebelah tangan. Hanya yang disesalkan, ternyata gadis itu salah dalam menafsirkan cinta. Padahal bagi Purbajaya, berahi hanyalah satu perangkat kecil dari masalah besar bernama cinta. Purbajaya menginginkan, cinta sebetulnya bukan sekadar masalah berahi.
“Nyimas salah mengerti… salah mengerti…” keluh Purbajaya.
Karena ada dua orang prajurit tengah tugur (meronda), Purbajaya tak berani langsung memasuki gerbang kompleks ksatrian. Dia harus jalan memutar menyisir benteng. Namun benteng ini pun akhirnya memutar ke arah puri yang didiami Pangeran Arya Damar. Purbajaya harus hati-hati lewat sana, jangan sampai ada orang tahu.
Dia meloncati satu benteng dan menyisir kompleks belakang kediaman Pangeran Arya Damar. Dia jalan mengendap-endap sebab harus menerobos dan memotong lahan kebun bunga. Namun sebelum hal itu dilakukan, telinganya mendengar suara dua orang lelaki tengah berdebat. Walau dengan kata-kata dan kalimat yang diucapkan pelan, Purbajaya bisa hapal siapa yang tengah berdebat. Hatinya berdebar keras sebab itu adalah suara perdebatan antara Pangeran Arya Damar dan Paman Jayaratu.
“Engkau tak bisa ikut campur urusanku,” terdengar suara Pangeran Arya Damar.
“Aku memang tak bisa ikut campur urusanmu tapi aku bisa menghalang-halanginya,” kata Paman Jayaratu dengan suara tegas.
“Maksudmu, kau akan lapor kepada Pangeran Suwarga?” tanya Pangeran Arya Damar. ”Hahaha! Sudah belasan tahun dia tak mau menemuimu dan apalagi mempercayai omonganmu,” katanya lagi.
“Tentu, aku orang terbuang dari kalangan istana tapi tak terbuang dalam mencintai Nagri Carbon. Aku masih mempunyai hak menjaga Carbon dari kehancuran,” kata Paman Jayaratu dengan suara pelan tapi tajam.
Hening sejenak. Purbajaya tak tahu, apa yang dilakukan kedua orang itu di saat tak saling berbicara. Purbajaya tak berani bergerak, apalagi berusaha melongok ke arah tempat di mana kedua orang itu tengah bercakap-cakap. Baik Paman Jayaratu mau pun Pangeran Arya Damar adalah orang-orang pandai dan mungkin akan mudah curiga kepada setiap gerakan asing sebagaimana halus pun.
“Rencana-rencanamu membahayakan Carbon, Arya…” kata Paman Jayaratu menyebut nama bangsawan itu begitu saja.
“Tidak lebih berbahaya dibandingkan dengan kebijakan Pangeran Suwarga yang memilih diam. Kau harus tahu, Carbon lemah dan kedudukannya selalu berada di bawah Demak hanya karena ada beberapa pejabat Carbon yang tak memiliki ambisi. Kau harus tahu, sebuah kemajuan perlu ambisi,” kata Pangeran Arya Damar tak kurang sengitnya dalam mengutarakan pendapat.
“Tapi ambisi membuat orang tergelincir,” kata Paman Jayaratu memotong kalimat.
“Tergelincirkah aku?”
“Boleh dibilang ya!”
“Kau menganggapku tergelincir hanya karena aku berpaling dari Pangeran Suwarga. Sementara itu kau tak melihat manfaatnya usahaku dalam mengupayakan keberadaan negri,” sergah Pangeran Arya Damar.
“Justru jalan pikiran ini yang membuat dirimu tergelincir,” kembali Paman Jayaratu memotong omongan orang. ”Bahwa Carbon tak akan menyerang Pajajaran, itu bukan saja sekadar kebijakan seorang hulu-jurit bernama Suwarga, melainkan juga sudah jadi kesepakatan Carbon. Semenjak Carbon oleh seluruh para wali (Wali Sanga) diputuskan menjadi puser bumi Islam di Jawa Kulon, maka tak lagi ada kekerasan. Penyebaran agama baru harus dilalui dengan jalan damai tanpa salah satu menekan lainnya dan tanpa salah satu menyakiti lainnya.
“Keliru! Pajajaran harus dihancurkan sebab tak mau masuk Islam!” kata Pangeran Arya Damar tegas.
“Jangan campur-adukkan kepentingan agama dan politik. Engkau bertekad menghancurkan Pajajaran bukan karena urusan agama, melainkan karena ambisi politikmu. Sudah sejak lama engkau membayangkan, bila kau berhasil melumpuhkan Pajajaran dan membawanya masuk ke bawah kekuasaan Carbon, maka kau akan dapat bintang. Bintang apakah itu? Aku tak bisa memperkirakannya, sejauh mana kau punya ambisi. Barangkali kau ingin menggeser kedudukan hulu-jurit , atau bisa juga kau ingin ditempatkan di wilayah Pajajaran dengan jabatan mangkubumi bahkan lebih tinggi dari itu. Itu hanya kau yang tahu tentang cita-citamu,” tutur Paman Jayaratu lagi dengan berani.
Hening sejenak. Kemudian terdengar kekeh kecil Pangeran Arya Damar. “Engkau orang cerdik. Sebetulnya aku perlu orang-orang sepertimu. Daripada kau hidup terasing dan terlunta-lunta di negri sendiri, mengapa tidak gabung saja denganku?”
“Aku memang punya keinginan tapi tak sama dengan ambisimu,” gumam Paman Jayaratu.
“Apakah engkau akan terus begini, hidup tak punya pijakan dan masa depan? Ingat, hanya aku yang akan bisa mengangkat kembali derajatmu!” kata Pangeran Arya Damar.
“Hm… Tinggi-rendahnya derajat tidak ditentukan oleh tinggal di istana…“
Suasana hening lagi sejenak.
“Sejak lama kita tak pernah punya kesesuaian paham. Padahal kalau kita bersatu, akan merupakan sebuah kekuatan yang dahsyat. Barangkali seluruh Carbon akan dapat kita kuasai!” gumam Pangeran Arya Damar.
“Kau menginginkan hal itu?”
“Mengapa tidak? Untuk kebesaran sebuah negara, semua orang yang merasa memiliki kemampuan, harus berupaya menampilkan kemampuannya. Kalau aku merasa memiliki kemampuan untuk memimppin negara, mengapa hal itu tidak aku coba?” kilah Pangeran Arya Damar.
Nyimas Waningyun adalah gadis pingitan sebab sebentar lagi akan menjadi jodohnya Raden Ranggasena. Betapa terhinanya keluarga Pangeran Danuwangsa kalau diketahui calon mantunya dikotori oleh lelaki yang bukan haknya. Barangkali akan terjadi percekcokan dengan pemilik puri ini. Betapa marahnya Pangeran Arya Damar kalau yang menghina martabatnya ini adalah prajuritnya sendiri.
Purbajaya menyesal, mengapa dia bertindak semberono seperti ini. Mencuri masuk ke kaputren dan mengencani Nyimas Waningyun adalah tindakan amat memalukan. Beruntung, setan tak menggoda lebih dalam, sebab kalau tak begitu, dirinya sudah terjerumus ke jurang kehinaan.
Ingat Nyimas Waningyun dia menjadi sedih. Kalau dilayani, tentu gadis itu telah ternoda. Purbajaya sedih, gadis itu punya batin yang lemah. Purbajaya memang boleh bangga bahwa hatinya tak bertepuk sebelah tangan. Hanya yang disesalkan, ternyata gadis itu salah dalam menafsirkan cinta. Padahal bagi Purbajaya, berahi hanyalah satu perangkat kecil dari masalah besar bernama cinta. Purbajaya menginginkan, cinta sebetulnya bukan sekadar masalah berahi.
“Nyimas salah mengerti… salah mengerti…” keluh Purbajaya.
Karena ada dua orang prajurit tengah tugur (meronda), Purbajaya tak berani langsung memasuki gerbang kompleks ksatrian. Dia harus jalan memutar menyisir benteng. Namun benteng ini pun akhirnya memutar ke arah puri yang didiami Pangeran Arya Damar. Purbajaya harus hati-hati lewat sana, jangan sampai ada orang tahu.
Dia meloncati satu benteng dan menyisir kompleks belakang kediaman Pangeran Arya Damar. Dia jalan mengendap-endap sebab harus menerobos dan memotong lahan kebun bunga. Namun sebelum hal itu dilakukan, telinganya mendengar suara dua orang lelaki tengah berdebat. Walau dengan kata-kata dan kalimat yang diucapkan pelan, Purbajaya bisa hapal siapa yang tengah berdebat. Hatinya berdebar keras sebab itu adalah suara perdebatan antara Pangeran Arya Damar dan Paman Jayaratu.
“Engkau tak bisa ikut campur urusanku,” terdengar suara Pangeran Arya Damar.
“Aku memang tak bisa ikut campur urusanmu tapi aku bisa menghalang-halanginya,” kata Paman Jayaratu dengan suara tegas.
“Maksudmu, kau akan lapor kepada Pangeran Suwarga?” tanya Pangeran Arya Damar. ”Hahaha! Sudah belasan tahun dia tak mau menemuimu dan apalagi mempercayai omonganmu,” katanya lagi.
“Tentu, aku orang terbuang dari kalangan istana tapi tak terbuang dalam mencintai Nagri Carbon. Aku masih mempunyai hak menjaga Carbon dari kehancuran,” kata Paman Jayaratu dengan suara pelan tapi tajam.
Hening sejenak. Purbajaya tak tahu, apa yang dilakukan kedua orang itu di saat tak saling berbicara. Purbajaya tak berani bergerak, apalagi berusaha melongok ke arah tempat di mana kedua orang itu tengah bercakap-cakap. Baik Paman Jayaratu mau pun Pangeran Arya Damar adalah orang-orang pandai dan mungkin akan mudah curiga kepada setiap gerakan asing sebagaimana halus pun.
“Rencana-rencanamu membahayakan Carbon, Arya…” kata Paman Jayaratu menyebut nama bangsawan itu begitu saja.
“Tidak lebih berbahaya dibandingkan dengan kebijakan Pangeran Suwarga yang memilih diam. Kau harus tahu, Carbon lemah dan kedudukannya selalu berada di bawah Demak hanya karena ada beberapa pejabat Carbon yang tak memiliki ambisi. Kau harus tahu, sebuah kemajuan perlu ambisi,” kata Pangeran Arya Damar tak kurang sengitnya dalam mengutarakan pendapat.
“Tapi ambisi membuat orang tergelincir,” kata Paman Jayaratu memotong kalimat.
“Tergelincirkah aku?”
“Boleh dibilang ya!”
“Kau menganggapku tergelincir hanya karena aku berpaling dari Pangeran Suwarga. Sementara itu kau tak melihat manfaatnya usahaku dalam mengupayakan keberadaan negri,” sergah Pangeran Arya Damar.
“Justru jalan pikiran ini yang membuat dirimu tergelincir,” kembali Paman Jayaratu memotong omongan orang. ”Bahwa Carbon tak akan menyerang Pajajaran, itu bukan saja sekadar kebijakan seorang hulu-jurit bernama Suwarga, melainkan juga sudah jadi kesepakatan Carbon. Semenjak Carbon oleh seluruh para wali (Wali Sanga) diputuskan menjadi puser bumi Islam di Jawa Kulon, maka tak lagi ada kekerasan. Penyebaran agama baru harus dilalui dengan jalan damai tanpa salah satu menekan lainnya dan tanpa salah satu menyakiti lainnya.
“Keliru! Pajajaran harus dihancurkan sebab tak mau masuk Islam!” kata Pangeran Arya Damar tegas.
“Jangan campur-adukkan kepentingan agama dan politik. Engkau bertekad menghancurkan Pajajaran bukan karena urusan agama, melainkan karena ambisi politikmu. Sudah sejak lama engkau membayangkan, bila kau berhasil melumpuhkan Pajajaran dan membawanya masuk ke bawah kekuasaan Carbon, maka kau akan dapat bintang. Bintang apakah itu? Aku tak bisa memperkirakannya, sejauh mana kau punya ambisi. Barangkali kau ingin menggeser kedudukan hulu-jurit , atau bisa juga kau ingin ditempatkan di wilayah Pajajaran dengan jabatan mangkubumi bahkan lebih tinggi dari itu. Itu hanya kau yang tahu tentang cita-citamu,” tutur Paman Jayaratu lagi dengan berani.
Hening sejenak. Kemudian terdengar kekeh kecil Pangeran Arya Damar. “Engkau orang cerdik. Sebetulnya aku perlu orang-orang sepertimu. Daripada kau hidup terasing dan terlunta-lunta di negri sendiri, mengapa tidak gabung saja denganku?”
“Aku memang punya keinginan tapi tak sama dengan ambisimu,” gumam Paman Jayaratu.
“Apakah engkau akan terus begini, hidup tak punya pijakan dan masa depan? Ingat, hanya aku yang akan bisa mengangkat kembali derajatmu!” kata Pangeran Arya Damar.
“Hm… Tinggi-rendahnya derajat tidak ditentukan oleh tinggal di istana…“
Suasana hening lagi sejenak.
“Sejak lama kita tak pernah punya kesesuaian paham. Padahal kalau kita bersatu, akan merupakan sebuah kekuatan yang dahsyat. Barangkali seluruh Carbon akan dapat kita kuasai!” gumam Pangeran Arya Damar.
“Kau menginginkan hal itu?”
“Mengapa tidak? Untuk kebesaran sebuah negara, semua orang yang merasa memiliki kemampuan, harus berupaya menampilkan kemampuannya. Kalau aku merasa memiliki kemampuan untuk memimppin negara, mengapa hal itu tidak aku coba?” kilah Pangeran Arya Damar.
“Omonganmu kian melantur. Sikap-sikap seperti inilah yang tidak dikehendaki oleh Kangjeng Susuhunan Jati, di mana bila semua orang merasa mampu melakukan sesuatu, maka orang itu akan berusaha untuk duduk paling tinggi dan berjalan paling depan. Itulah sebabnya, Kangjeng Susuhunan Jati pernah berkata kalau mengurus sebuah negri maka landasan acuannya adalah agama. Dengan berlandaskan kepada kebenaran agama, maka orang tak akan saling berebut pengaruh dan kekuasaan atau juga saling merasa punya hak karena berdasarkan garis turunan. Betapa melencengnya jalan pikiranmu, Arya…” keluh Paman Jayaratu.
Suasana kembali diam. Dan ketika terdengar ada salah seorang dari mereka berjingkat, maka Purbajaya pun ambil kesempatan untuk berjingkat. Dengan demikian, gerakan dia ketika meninggalkan tempat itu suaranya kurang bisa diikuti orang pandai.
SEUSAI menyimak obrolan dua orang itu, kian bertambah pula kebingungan di hatinya. Ini sekaligus telah menambah nilai misteri yang ada di lingkungan istana. Dan Paman Jayaratu adalah orang yang paling diselimuti kabut misteri. Ya, mendengar obrolan barusan, siapakah sebenarnya Paman Jayaratu ini?
Bila bertemu dengan Pangeran Arya Damar di muka umum, Paman Jayaratu nampak sekali rasa hormatnya, seperti layaknya hormat seorang hamba-sahaya kepada majikannya, atau hormat dari seorang yang derajatnya rendah kepada orang yang memiliki derajat jauh lebih tinggi. Namun peristiwa malam ini di kebun belakang puri Arya Damar telah membuktikan lain. Mendengar nada suara dan tutur kata Paman Jayaratu kepada Pangeran Arya Damar, amat menunjukkan bahwa derajat mereka sebenarnya sama. Atau paling tidak, Paman Jayaratu merasa bahwa derajatnya tidak lebih rendah dari bangsawan bernama Pangeran Arya Damar itu.
Akan halnya Pangeran Arya Damar, dia pun amat kentara kalau dirinya sebetulnya segan kepada Paman jayaratu. Sungguh hebat, sungguh ajaib dan sungguh misterius. Sebenarnya bukan orang sembarangan. Barangkali Paman Jayaratu dulunya pejabat penting juga. Hanya entah karena apa orang tua itu akhirnya mundur dari istana.
Purbajaya jadi ingin sekali mengorek dan menguak tabir misteri ini. Maukah Paman Jayaratu membeberkan rahasia ini ke padanya? Orang tua itu serba merahasiakan dirinya. Sudah barang tentu yang namanya rahasia tak boleh diketahui siapa pun. Kalau Purbajaya tanya langsung, belum tentu Paman Jayaratu mau membeberkannya. Dan apa pula kepentingan dirinya untuk mengetahui rahasia Paman Jayaratu? Yang patut disimak adalah isi obrolan mereka. Dari hasil pendengaran Purbajaya, terdapat kesan bahwa rencana yang dibuat Pangeran Arya Damar sebetulnya menyerempet bahaya. Boleh dikata, itu adalah sebuah rencana liar yang tak diketahui negara. Berbahayakah kalau Purbajaya memaksakan diri terlibat di dalamnya?
Hati pemuda itu akhirnya merasa muak dengan yang jadi urusan pangeran ini. Ingin sekali dia kabur dari puri ini dan kembali berkumpul dengan Paman Jayaratu. Tapi kalau tiba-tiba dia mengundurkan diri, tentu akan membuat kecurigaan berbagai pihak. Pangeran Arya Damar akan marah dan curiga. Purbajaya sulit mengajukan alasan perihal kesaksiannya tadi malam. Kalau hal ini diketahui, bahaya lebih besar akan mengancam nyawanya.
Maka dengan alasan apa dia bisa mengundurkan diri dari libatan jaring pangeran itu? Bukankah ketika dia mempertanyakan kepentingan menyerang Cakrabuana pun semua orang lantas curiga kalau dirinya masih berkiblat ke Pajajaran? Belum lagi kalau memikirkan Nyimas Waningyun. Kalau dia menjauhkan diri dari rencana Pangeran Arya Damar, hanya punya arti dirinya memutuskan hubungannya dengan gadis itu, padahal dia tengah memiliki rencana besar dengan gadis itu.
Terus-terang, di benaknya ada terpikir untuk menggagalkan perjodohan Nyimas Waningyun dengan Raden Ranggasena. Tidak dengan jalan kekerasan, melainkan dengan menyodorkan logika yang sekiranya bisa terpikir oleh Pangeran Arya Damar.
Namun untuk meyakinkan hal ini, hambatannya sungguh berat. Selama ini Pangeran Arya Damar selama ini tak pernah menghargai jalan pikirannya. Perlu satu hal agar dirinya terperhatikan, yaitu membuat Pangeran Arya Damar percaya dan menghargainya. Kalau dia berjasa, maka Pangeran Arya Damar akan mau melirik padanya. Salah satu peluang untuk mendapatkan kepercayaan adalah keikut sertaan dirinya dalam rencana perjalanan ke Cakrabuana. Purbajaya harus sanggup menampilkan kesungguhannya dalam mengikuti perjalanan ini.
“Aku tak sanggup kehilanganmu, Nyimas. Makanya, apa pun yang terjadi, aku sudah tak mau meninggalkan puri ini…” gumam Purbajaya.
Pemuda ini tidur dengan hati gundah. Mungkin karena terlalu banyak yang jadi pikirannya. Akibatnya, pada subuh harinya dia terlambat bangun, sehingga pintu kamarnya perlu digedor orang.
“PURBA, cepat bangun!” seru suara dari luar sambil menggedor daun pintu keras-keras.
Dengan mata masih terasa pedih, Purbajaya membuka pintu. Di luar sudah berdiri dua orang prajurit.
“Engkau tengah ditunggu Raden Yudakara di depan puri!” tutur salah seorang di antaranya.
“Raden Yudakara?” Purbajaya mengerutkan alis. Dia tak kenal bangsawan ini.
“Ya, beliaulah yang akan memimpin perjalananmu ke Cakrabuana!” kata lagi prajurit.
Alis Purbajaya semakin berkerut. Namun diturutinya perintah dua prajurit itu. Purbajaya hanya punya waktu membasuh muka. Dia segera menjinjing perbekalan kecil yang telah dipersiapkan, sudah itu segera keluar.
Benar saja, di paseban dia sudah ditunggu. Di sana ada Pangeran Arya Damar, lengkap dengan para pembantunya, yaitu Ki Albani, Ki Aspahar, Ki Aliman dan Ki Marsonah, yang padahal menurut rencana, merekalah sebetulnya yang akan memimpin pasukan kecil ini.
Namun Purbajaya juga melihat seorang pemuda yang Purbajaya baru tahu hari ini. Dia adalah seorang pemuda dewasa. Barangkali usinya sekitar 35 tahun. Dia berpakaian hitam-hitam, juga memakai ikat kepala warna hitam. Yang mencolok dari kesemuanya wajahnya tampan berkulit putih. Hidungnya mancung walau sedikit melengkung. Matanya tajam setengah berkilat. Ada kumis tipis hitam menghiasi bagian atas bibirnya. Yang Purbajaya tak suka, sepasang bibirnya terkatup rapat seperti menampakkan ejekan. Dia bersila tegak di hadapan Pangeran Arya Damar. Sepasang tangannya bersedekap melintang di dada. Purbajaya menduga, tentu dialah Raden Yudakara.
Dan benar, lelaki tampan itu diperkenalkan Pangeran Arya Damar sebagai Raden Yudakara. Purbajaya disuruhnya agar memberikan hormatnya kepada pemuda itu.
“Purba, engkau akan melakukan perjalanan ke wilayah Cakrabuana bersama Raden Yudakara,” kata Pangeran Arya Damar.
“Ada perubahan rencana, Gusti?” tanya Purbajaya.
“Tidak. Rencana berjalan seperti semula, yaitu kita mengirimkan pasukan rahasia ke puncak Gunung Cakrabuana, tapi engkau melakukan perjalanan lebih dahulu bersama Raden Yudakara,” jawab Pangeran Arya Damar.
Purbajaya mencoba melirik ke arah pemuda itu.
“Engkau pasti belum kenal. Raden Yudakara adalah orang kita namun banyak ke luar-masuk wilayah Pajajaran dan bertindak sebagai mata-mata. Orang Pajajaran bahkan menganggapnya sebagai warga di sana. Hebat bukan?” kata Pangeran Arya Damar. ”Kelak angkau akan memasuki wilayah Pajajaran bersama Raden Yudakara,” sambung pangeran itu.
“Aku dengar, engkau ini puhawang (ahli kelautan) dan terbiasa hidup di Muhara Jati. Pajajaran khabarnya butuh tenaga puhawang sebab mereka merencanakan menghidupkan kembali kejayaannya di lautan. Kelak kau bisa menyusup menjadi pegawai di lautan,” kata Raden Yukadara nadanya sudah seperti memerintah.
Rundingan kembali diadakan. Tapi intinya hanya mengatur teknis perjalanan. Mereka berunding, kapan dan di mana bisa bergabung dengan pasukan inti yang dipimpin oleh keempat orang perwira itu.
“Sebelum hari terang tanah, kalian harus segera meninggalkan tempat ini,” kata Pangeran Arya Damar.
Mereka semuanya diberi hidangan penghangat badan. Sesudah itu, baru beranjak untuk pergi.
Beberapa orang penghuni puri melepas kepergian mereka. Para prajurit dilepas oleh sesama teman-temannya yang tak ikut pergi dan di pintu depan mereka diberi ucapan selamat jalan oleh deretan gadis cantik.
“Nyimas…” Purbajaya tak terasa berbisik.
“Ow, rembulan di atas sana sudah mulai pudar cahayanya. Tak dinyana di bawah sini malah bersinar cemerlang. Wahai gadis, siapakah gerangan?” kata Raden Yudakara dengan suara merdu merayu.
“Beliau adalah putri terkasih Pangeran Arya Damar, Raden… kata Purbajaya sebab Nyimas Waningyun hanya menunduk tersipu. Sepasang mata gadis itu sembab. Mungkin kurang tidur atau mungkin habis menangis. Kalau dua-duanya benar, tidakkah ini karena peristiwa semalam?
Nyimas Waningyun mungkin tak sempat tidur dan kini mencegatnya di sini bersama barisan gadis cantik yang bertugas mengantarkan rombongan. Sayang ada Raden Yudakara, sehingga pertemuan perpisahan ini tak sempat dinikmati oleh Purbajaya. Bahkan lebih dari itu, kehadiran pemuda bangsawan itu serasa mengganggu kenyamanan Purbajaya.
“Tak disangka, di puri ini ada mawar yang tengah merekah indah. Tapi, hai gadis, wajahmu muram, sorot matamu suram. Kalau ada awan hitam menggayut di hatimu, singkirkanlah dengan senyum bahagia,” Raden Yudakara menggoda Nyimas Waningyun dengan nada manis menawan.
Yang digoda hanya menunduk dengan senyum dikulum.
“Pangeran Arya Damar pandai menyembunyikan halaman indah sehingga tak ada orang tahu isinya,” kata Raden Yudakara sambil beberapa kali berdecak kagum.
Namun tak ada tanya-jawab penting di sana sebab Nyimas Waningyun keburu dibawa pergi oleh beberapa gadis lainnya. Dan Purbajaya berdegup jantungnya ketika gadis itu masih sempat menoleh ke belakang dan menatapnya sejenak.
“Sepertinya mawar harum itu mengenalmu, Purba… ” gumam Raden Yudakara melirik kepada Purbajaya.
“Tentu saja. Bukankah saya tinggal di puri ini, Raden?” jawab Purbajaya.
Kedua orang itu akhirnya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kuda terbagus milik puri itu. Dari Carbon menuju wilayah Karatuan Talaga akan memakan waktu sehari penuh kalau dilakukan dengan cepat. Namun demikian, mereka tidak akan memasuki dayo (kota) Karatuan Talaga, melainkan hanya akan singgah di sebuah dusun kaki Gunung Cakrabuana saja.
Paman Jayaratu pernah bercerita kepada Purbajaya bahwa nama Cakrabuana sebetulnya diambil dari sebuah peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di puncak gunung itu.
Dulunya, gunung itu hanya dikenal sebagai Gunung Cangak. Namun demikian, sudah sejak dulu gunung ini suka dipakai tempat tinggal orang-orang berilmu, baik ilmu kewiraan mau pun ilmu kebatinan termasuk agama. Karuhun (nenek-moyang) orang Sunda menganggap Gunung Cangak sebagai tempat keramat sebab di sana orang mendalami agama karuhun. Di wilayah Teja (Lemah putih) ada bekas tempat persemayaman tokoh amat terkenal dengan julukan Ki Jago. Di lereng timur ada Candi Batulawang, bekas para akhli agama Hindu bersemayam. Semakin ke atas, juga didapat petilasan bernama Batucakra.
Batucakra ini punya riwayatnya. Dulu Kangjeng Walangsungsang, putra Sang Prabu Siliwangi dari Pajajaran, mengembara mencari ilmu kehidupan. Beliau pun tiba pula di wilayah Gunung Cangak. Di sana lama mempelajari ilmu agama (Islam). Dan karena pernah tersesat di sana, maka beliau membuat peta dengan goresan-goresan kuat di atas batu. Orang mengatakan kalau Sang Walangsungsang ketika itu membuat goresan-goresan menyerupai cakra. Maka sejak saat itu, Walangsungsang dijuluki Cakrabuana bahkan gunung itu pun dikenal sebagai Gunung Cakrabuana hingga kini. Kangjeng Cakrabuana adalah pendiri Karatuan Carbon (1445 Masehi) dan bergelar pangeran.
“Dulu namanya Caruban. Artinya campuran. Ini karena Carbon sebelum berubah menjadi sebuah negara sudah dihuni oleh orang-orang dari berbagai bangsa, berbagai adat-istiadat, berbagai agama dan juga macam-macam bahasa dan tulisan. Penduduk menamakan dirinya sebagai wong grage. Asal kata dari garage. Semenjak berkembang menjadi negara dan dikepalai oleh Kangjeng Pangeran Cakrabuana, Carbon memang berubah menjadi nagara gede (garage). Kangjeng Pangeran Cakrabuana adalah uwaknya Sang Susuhunan Jati yang memerintah kini,” kata Paman Jayaratu ketika itu.
Selama dalam perjalanan, Purbajaya selalu memperhatikan perangai lelaki tampan ini. Ternyata Raden Yudakara adalah seorang yang periang. Baginya, alam sekelilingnya adalah kebahagiaan semata. Dia menyenangi pemandangan alam, sehingga menuju ke tempat pertempuran dianggapnya sebagai perjalanan pesiar saja. Dia pun amat romantis. Pencinta berbagai keindahan, termasuk keelokan wanita muda. Di sepanjang jalan, bila masuk ke sebuah dusun dan kebetulan berpapasan dengan wanita yang menurut seleranya cantik, Raden Yudakara selalu mengerling tajam dan senyum manis dikulum.
Wanita desa mana yang jantungnya tak berdegup bila diajak senyum seorang bangsawan berkuda gagah? Maka tak ayal, mereka tersipu, menunduk malu dengan rona merah di wajah, atau pura-pura cemberut, namun akhirnya ada kerling penasaran di matanya.
“Rupanya Raden amat menyukai wanita… ” kata Purbajaya di tengah jalan sepi.
Dikatakan begini, Raden Yudakara tertawa lepas dan bebas. Dan nampaknya ada kegembiraan menerima pernyataan ini.
“Tidak persis begitu. Yang sebetulnya kurasakan, aku mencintai keindahan. Keindahan apa saja. Namun karena wanita itu pun bagian dari keindahan, maka sudah barang tentu aku amat menyukainya. Tuhan memberikan warna keindahan kepada apa yang ada di dunia, termasuk keindahan wanita. Kalau aku mencintai keindahan, itulah tandanya aku memuji kepandaian Tuhan,” jawab Raden Yudakara berfilsafat.
“Dan aku tak memilah-milah. Keindahan ada di mana saja. Tidak melulu ada di lingkungan puri. Keindahan di alam bebas barangkali keindahan yang sebenarnya sebab di sana tak ada polesan. Tapi…” Raden Yudakara mendadak berhenti seperti mau tersedak.
“Ada apa Raden?”
“Gadis di puri Arya Damar demikian cantik. Mungkin yang tercantik dari semu kembang di taman. Dia demikian anggun, demikian indah. Mungkin penuh harum. Ow, aku akui gadis di Pajajaran elok dan indah. Namun yang namanya putri puri Arya Damar, mengapa sepertinya terpisah dari yang lainnya?”
Purbajaya sedikit goyah mendengar pujian ini. Benar, mendengar Nyimas Waningyun dipuji setinggi langit, hanya menegaskan bahwa dirinya adalah seorang normal, mencintai gadis maha-cantik. Namun yang dirinya tak enak, pujian habis-habisan yang diucapkan Raden Yudakara hanya menandakan bahwa pemuda bangsawan ini pun secara khusus tertarik kepada Nyimas Waningyun. Hati Purbajaya mengeluh, semakin bertambah saingannya dalam mendapatkan cinta gadis itu.
Yang membikin hati Purbajaya agak terobati, adalah ketika mendapatkan kenyataan bahwa Raden Yudakara kerjanya mengobral pujian kepada setiap gadis. Dalam satu hari itu saja, sudah belasan gadis yang kebetulan berpapasan, selalu dia puji setinggi langit. Purbajaya berdoa, semoga pujian-pujian Raden Yudakara kepada Nyimas Waningyun tidak singgah di hatinya, melainkan hanya pujian sejenak saja.
“Tapi gadis puri itu sepertinya memendam kesedihan besar. Aku sungguh ingin tahu, ada apakah ini?” Raden Yudakara membuat Purbajaya goyah lagi.
“Betul, Raden. Gadis itu sedang punya masalah. Ada sebuah perjodohan yang gadis itu tak menyukainya…” tak terasa Purbajaya memaparkan persoalan gadis itu.
“Hm… di mana-mana gadis bangsawan nasibnya selalu begitu. Perjodohan dan nasib cintanya selalu dikaitkan dengan kepentingan lain. Aku bisa duga, gadis itu dijodohkan dengan sesama anak bangsawan demi kepentingan kedua orangtua anak-anak muda itu,” Raden Yudakara menebaknya dengan jitu.
“Tebakan Raden benar… “
Raden Yudakara hanya senyum kecil.
“Kasihan Nyimas Waningyun… ” gumam Purbajaya tak sadar.
“Aku pastikan, gadis itu sudah punya pilihannya sendiri.”
“Benar sekali, Raden…“
“Siapa kira-kira?”
Ditanya seperti itu, giliran Purbajaya yang terkatup bibirnya. Ini rahasia pribadi. Mengapa musti diobral kepada banyak orang? Tapi Purbajaya akhirnya mulai berpikir lain. Di mata Pangeran Arya Damar, kedudukan Raden Yudakara sepertinya tidak berada di bawahnya. Mungkin juga keberadaan pemuda bangsawan ini cukup diperhitungkan oleh Pangeran Arya Damar. Kalau benar begitu, mengapa Purbajaya tidak minta tolong saja kepada pemuda periang ini?
“Yang saya lihat, Nyimas Waningyun tak suka kepada pemuda pilihan keluarganya,” kata Purbajaya.
“Gadis yang malang…” guman Raden Yudakara.
“Dia perlu pertolongan.” sambung lagi Purbajaya.
“Ya, dia perlu ditolong dari kesedihannya. Penderitaan cintanya harus dilenyapkan. Kalau pun perjodohan itu diatur orang, paling tidak harus menyertakan kepentingan gadis itu sendiri,” kata Raden Yudakara sambil mencongklang kudanya.
Purbajaya tak sanggup menebak, apa arti ucapan pemuda bangsawan ini. Hanya yang jelas, Raden Yudakara memang sepertinya punya perhatian yang khusus kepada Nyimas Waningyun. Purbajaya berdoa, mudah-mudahan Raden Yudakara memang bersikap penuh perhatian kepada nasib orang dan mau menolong kesedihan orang lain.
Perbincangan mengenai Nyimas Waningyun cukup sampai di situ. Bahkan seperti terlupakan ketika secara tiba-tiba di tengah perjalanan bertemu lagi dengan seorang gadis. Dia adalah gadis dusun, terlihat dari dandanannya yang amat sederhana, terbuat dari kain kasar dan sedikit lusuh. Hanya yang jadi perhatian, paras gadis itu cukup manis kendati kulitnya agak sawo matang karena banyak kena sinar matahari.
Gadis itu tengah melangkah dengan perlahan dan terkesan lunglai tak bersemangat. Bisa jadi lantaran kecapaian berjalan jauh. Gadis itu berjalan sambil menggendong bakul, entah berisi apa. Raden Yudakara serta-merta menghentikan langkah kudanya tepat di samping gadis itu.
“Kalau kerja-keras diselingi keluh-kesah maka bakalan lekas capek dan rasa bahagia akan berkurang, hai gadis manis,” kata Raden Yudakara.
Tentu saja gadis itu terkejut setengah mati karena ada lelaki asing tampan dan gagah menyapanya. Purbajaya menduga, seperti biasanya gadis ini pasti akan tersipu-sipu malu, menunduk dan wajahnya bersemu merah. Begitu yang pernah dilihat pada gadis yang sudah-sudah.
Suasana kembali diam. Dan ketika terdengar ada salah seorang dari mereka berjingkat, maka Purbajaya pun ambil kesempatan untuk berjingkat. Dengan demikian, gerakan dia ketika meninggalkan tempat itu suaranya kurang bisa diikuti orang pandai.
SEUSAI menyimak obrolan dua orang itu, kian bertambah pula kebingungan di hatinya. Ini sekaligus telah menambah nilai misteri yang ada di lingkungan istana. Dan Paman Jayaratu adalah orang yang paling diselimuti kabut misteri. Ya, mendengar obrolan barusan, siapakah sebenarnya Paman Jayaratu ini?
Bila bertemu dengan Pangeran Arya Damar di muka umum, Paman Jayaratu nampak sekali rasa hormatnya, seperti layaknya hormat seorang hamba-sahaya kepada majikannya, atau hormat dari seorang yang derajatnya rendah kepada orang yang memiliki derajat jauh lebih tinggi. Namun peristiwa malam ini di kebun belakang puri Arya Damar telah membuktikan lain. Mendengar nada suara dan tutur kata Paman Jayaratu kepada Pangeran Arya Damar, amat menunjukkan bahwa derajat mereka sebenarnya sama. Atau paling tidak, Paman Jayaratu merasa bahwa derajatnya tidak lebih rendah dari bangsawan bernama Pangeran Arya Damar itu.
Akan halnya Pangeran Arya Damar, dia pun amat kentara kalau dirinya sebetulnya segan kepada Paman jayaratu. Sungguh hebat, sungguh ajaib dan sungguh misterius. Sebenarnya bukan orang sembarangan. Barangkali Paman Jayaratu dulunya pejabat penting juga. Hanya entah karena apa orang tua itu akhirnya mundur dari istana.
Purbajaya jadi ingin sekali mengorek dan menguak tabir misteri ini. Maukah Paman Jayaratu membeberkan rahasia ini ke padanya? Orang tua itu serba merahasiakan dirinya. Sudah barang tentu yang namanya rahasia tak boleh diketahui siapa pun. Kalau Purbajaya tanya langsung, belum tentu Paman Jayaratu mau membeberkannya. Dan apa pula kepentingan dirinya untuk mengetahui rahasia Paman Jayaratu? Yang patut disimak adalah isi obrolan mereka. Dari hasil pendengaran Purbajaya, terdapat kesan bahwa rencana yang dibuat Pangeran Arya Damar sebetulnya menyerempet bahaya. Boleh dikata, itu adalah sebuah rencana liar yang tak diketahui negara. Berbahayakah kalau Purbajaya memaksakan diri terlibat di dalamnya?
Hati pemuda itu akhirnya merasa muak dengan yang jadi urusan pangeran ini. Ingin sekali dia kabur dari puri ini dan kembali berkumpul dengan Paman Jayaratu. Tapi kalau tiba-tiba dia mengundurkan diri, tentu akan membuat kecurigaan berbagai pihak. Pangeran Arya Damar akan marah dan curiga. Purbajaya sulit mengajukan alasan perihal kesaksiannya tadi malam. Kalau hal ini diketahui, bahaya lebih besar akan mengancam nyawanya.
Maka dengan alasan apa dia bisa mengundurkan diri dari libatan jaring pangeran itu? Bukankah ketika dia mempertanyakan kepentingan menyerang Cakrabuana pun semua orang lantas curiga kalau dirinya masih berkiblat ke Pajajaran? Belum lagi kalau memikirkan Nyimas Waningyun. Kalau dia menjauhkan diri dari rencana Pangeran Arya Damar, hanya punya arti dirinya memutuskan hubungannya dengan gadis itu, padahal dia tengah memiliki rencana besar dengan gadis itu.
Terus-terang, di benaknya ada terpikir untuk menggagalkan perjodohan Nyimas Waningyun dengan Raden Ranggasena. Tidak dengan jalan kekerasan, melainkan dengan menyodorkan logika yang sekiranya bisa terpikir oleh Pangeran Arya Damar.
Namun untuk meyakinkan hal ini, hambatannya sungguh berat. Selama ini Pangeran Arya Damar selama ini tak pernah menghargai jalan pikirannya. Perlu satu hal agar dirinya terperhatikan, yaitu membuat Pangeran Arya Damar percaya dan menghargainya. Kalau dia berjasa, maka Pangeran Arya Damar akan mau melirik padanya. Salah satu peluang untuk mendapatkan kepercayaan adalah keikut sertaan dirinya dalam rencana perjalanan ke Cakrabuana. Purbajaya harus sanggup menampilkan kesungguhannya dalam mengikuti perjalanan ini.
“Aku tak sanggup kehilanganmu, Nyimas. Makanya, apa pun yang terjadi, aku sudah tak mau meninggalkan puri ini…” gumam Purbajaya.
Pemuda ini tidur dengan hati gundah. Mungkin karena terlalu banyak yang jadi pikirannya. Akibatnya, pada subuh harinya dia terlambat bangun, sehingga pintu kamarnya perlu digedor orang.
“PURBA, cepat bangun!” seru suara dari luar sambil menggedor daun pintu keras-keras.
Dengan mata masih terasa pedih, Purbajaya membuka pintu. Di luar sudah berdiri dua orang prajurit.
“Engkau tengah ditunggu Raden Yudakara di depan puri!” tutur salah seorang di antaranya.
“Raden Yudakara?” Purbajaya mengerutkan alis. Dia tak kenal bangsawan ini.
“Ya, beliaulah yang akan memimpin perjalananmu ke Cakrabuana!” kata lagi prajurit.
Alis Purbajaya semakin berkerut. Namun diturutinya perintah dua prajurit itu. Purbajaya hanya punya waktu membasuh muka. Dia segera menjinjing perbekalan kecil yang telah dipersiapkan, sudah itu segera keluar.
Benar saja, di paseban dia sudah ditunggu. Di sana ada Pangeran Arya Damar, lengkap dengan para pembantunya, yaitu Ki Albani, Ki Aspahar, Ki Aliman dan Ki Marsonah, yang padahal menurut rencana, merekalah sebetulnya yang akan memimpin pasukan kecil ini.
Namun Purbajaya juga melihat seorang pemuda yang Purbajaya baru tahu hari ini. Dia adalah seorang pemuda dewasa. Barangkali usinya sekitar 35 tahun. Dia berpakaian hitam-hitam, juga memakai ikat kepala warna hitam. Yang mencolok dari kesemuanya wajahnya tampan berkulit putih. Hidungnya mancung walau sedikit melengkung. Matanya tajam setengah berkilat. Ada kumis tipis hitam menghiasi bagian atas bibirnya. Yang Purbajaya tak suka, sepasang bibirnya terkatup rapat seperti menampakkan ejekan. Dia bersila tegak di hadapan Pangeran Arya Damar. Sepasang tangannya bersedekap melintang di dada. Purbajaya menduga, tentu dialah Raden Yudakara.
Dan benar, lelaki tampan itu diperkenalkan Pangeran Arya Damar sebagai Raden Yudakara. Purbajaya disuruhnya agar memberikan hormatnya kepada pemuda itu.
“Purba, engkau akan melakukan perjalanan ke wilayah Cakrabuana bersama Raden Yudakara,” kata Pangeran Arya Damar.
“Ada perubahan rencana, Gusti?” tanya Purbajaya.
“Tidak. Rencana berjalan seperti semula, yaitu kita mengirimkan pasukan rahasia ke puncak Gunung Cakrabuana, tapi engkau melakukan perjalanan lebih dahulu bersama Raden Yudakara,” jawab Pangeran Arya Damar.
Purbajaya mencoba melirik ke arah pemuda itu.
“Engkau pasti belum kenal. Raden Yudakara adalah orang kita namun banyak ke luar-masuk wilayah Pajajaran dan bertindak sebagai mata-mata. Orang Pajajaran bahkan menganggapnya sebagai warga di sana. Hebat bukan?” kata Pangeran Arya Damar. ”Kelak angkau akan memasuki wilayah Pajajaran bersama Raden Yudakara,” sambung pangeran itu.
“Aku dengar, engkau ini puhawang (ahli kelautan) dan terbiasa hidup di Muhara Jati. Pajajaran khabarnya butuh tenaga puhawang sebab mereka merencanakan menghidupkan kembali kejayaannya di lautan. Kelak kau bisa menyusup menjadi pegawai di lautan,” kata Raden Yukadara nadanya sudah seperti memerintah.
Rundingan kembali diadakan. Tapi intinya hanya mengatur teknis perjalanan. Mereka berunding, kapan dan di mana bisa bergabung dengan pasukan inti yang dipimpin oleh keempat orang perwira itu.
“Sebelum hari terang tanah, kalian harus segera meninggalkan tempat ini,” kata Pangeran Arya Damar.
Mereka semuanya diberi hidangan penghangat badan. Sesudah itu, baru beranjak untuk pergi.
Beberapa orang penghuni puri melepas kepergian mereka. Para prajurit dilepas oleh sesama teman-temannya yang tak ikut pergi dan di pintu depan mereka diberi ucapan selamat jalan oleh deretan gadis cantik.
“Nyimas…” Purbajaya tak terasa berbisik.
“Ow, rembulan di atas sana sudah mulai pudar cahayanya. Tak dinyana di bawah sini malah bersinar cemerlang. Wahai gadis, siapakah gerangan?” kata Raden Yudakara dengan suara merdu merayu.
“Beliau adalah putri terkasih Pangeran Arya Damar, Raden… kata Purbajaya sebab Nyimas Waningyun hanya menunduk tersipu. Sepasang mata gadis itu sembab. Mungkin kurang tidur atau mungkin habis menangis. Kalau dua-duanya benar, tidakkah ini karena peristiwa semalam?
Nyimas Waningyun mungkin tak sempat tidur dan kini mencegatnya di sini bersama barisan gadis cantik yang bertugas mengantarkan rombongan. Sayang ada Raden Yudakara, sehingga pertemuan perpisahan ini tak sempat dinikmati oleh Purbajaya. Bahkan lebih dari itu, kehadiran pemuda bangsawan itu serasa mengganggu kenyamanan Purbajaya.
“Tak disangka, di puri ini ada mawar yang tengah merekah indah. Tapi, hai gadis, wajahmu muram, sorot matamu suram. Kalau ada awan hitam menggayut di hatimu, singkirkanlah dengan senyum bahagia,” Raden Yudakara menggoda Nyimas Waningyun dengan nada manis menawan.
Yang digoda hanya menunduk dengan senyum dikulum.
“Pangeran Arya Damar pandai menyembunyikan halaman indah sehingga tak ada orang tahu isinya,” kata Raden Yudakara sambil beberapa kali berdecak kagum.
Namun tak ada tanya-jawab penting di sana sebab Nyimas Waningyun keburu dibawa pergi oleh beberapa gadis lainnya. Dan Purbajaya berdegup jantungnya ketika gadis itu masih sempat menoleh ke belakang dan menatapnya sejenak.
“Sepertinya mawar harum itu mengenalmu, Purba… ” gumam Raden Yudakara melirik kepada Purbajaya.
“Tentu saja. Bukankah saya tinggal di puri ini, Raden?” jawab Purbajaya.
Kedua orang itu akhirnya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kuda terbagus milik puri itu. Dari Carbon menuju wilayah Karatuan Talaga akan memakan waktu sehari penuh kalau dilakukan dengan cepat. Namun demikian, mereka tidak akan memasuki dayo (kota) Karatuan Talaga, melainkan hanya akan singgah di sebuah dusun kaki Gunung Cakrabuana saja.
Paman Jayaratu pernah bercerita kepada Purbajaya bahwa nama Cakrabuana sebetulnya diambil dari sebuah peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di puncak gunung itu.
Dulunya, gunung itu hanya dikenal sebagai Gunung Cangak. Namun demikian, sudah sejak dulu gunung ini suka dipakai tempat tinggal orang-orang berilmu, baik ilmu kewiraan mau pun ilmu kebatinan termasuk agama. Karuhun (nenek-moyang) orang Sunda menganggap Gunung Cangak sebagai tempat keramat sebab di sana orang mendalami agama karuhun. Di wilayah Teja (Lemah putih) ada bekas tempat persemayaman tokoh amat terkenal dengan julukan Ki Jago. Di lereng timur ada Candi Batulawang, bekas para akhli agama Hindu bersemayam. Semakin ke atas, juga didapat petilasan bernama Batucakra.
Batucakra ini punya riwayatnya. Dulu Kangjeng Walangsungsang, putra Sang Prabu Siliwangi dari Pajajaran, mengembara mencari ilmu kehidupan. Beliau pun tiba pula di wilayah Gunung Cangak. Di sana lama mempelajari ilmu agama (Islam). Dan karena pernah tersesat di sana, maka beliau membuat peta dengan goresan-goresan kuat di atas batu. Orang mengatakan kalau Sang Walangsungsang ketika itu membuat goresan-goresan menyerupai cakra. Maka sejak saat itu, Walangsungsang dijuluki Cakrabuana bahkan gunung itu pun dikenal sebagai Gunung Cakrabuana hingga kini. Kangjeng Cakrabuana adalah pendiri Karatuan Carbon (1445 Masehi) dan bergelar pangeran.
“Dulu namanya Caruban. Artinya campuran. Ini karena Carbon sebelum berubah menjadi sebuah negara sudah dihuni oleh orang-orang dari berbagai bangsa, berbagai adat-istiadat, berbagai agama dan juga macam-macam bahasa dan tulisan. Penduduk menamakan dirinya sebagai wong grage. Asal kata dari garage. Semenjak berkembang menjadi negara dan dikepalai oleh Kangjeng Pangeran Cakrabuana, Carbon memang berubah menjadi nagara gede (garage). Kangjeng Pangeran Cakrabuana adalah uwaknya Sang Susuhunan Jati yang memerintah kini,” kata Paman Jayaratu ketika itu.
Selama dalam perjalanan, Purbajaya selalu memperhatikan perangai lelaki tampan ini. Ternyata Raden Yudakara adalah seorang yang periang. Baginya, alam sekelilingnya adalah kebahagiaan semata. Dia menyenangi pemandangan alam, sehingga menuju ke tempat pertempuran dianggapnya sebagai perjalanan pesiar saja. Dia pun amat romantis. Pencinta berbagai keindahan, termasuk keelokan wanita muda. Di sepanjang jalan, bila masuk ke sebuah dusun dan kebetulan berpapasan dengan wanita yang menurut seleranya cantik, Raden Yudakara selalu mengerling tajam dan senyum manis dikulum.
Wanita desa mana yang jantungnya tak berdegup bila diajak senyum seorang bangsawan berkuda gagah? Maka tak ayal, mereka tersipu, menunduk malu dengan rona merah di wajah, atau pura-pura cemberut, namun akhirnya ada kerling penasaran di matanya.
“Rupanya Raden amat menyukai wanita… ” kata Purbajaya di tengah jalan sepi.
Dikatakan begini, Raden Yudakara tertawa lepas dan bebas. Dan nampaknya ada kegembiraan menerima pernyataan ini.
“Tidak persis begitu. Yang sebetulnya kurasakan, aku mencintai keindahan. Keindahan apa saja. Namun karena wanita itu pun bagian dari keindahan, maka sudah barang tentu aku amat menyukainya. Tuhan memberikan warna keindahan kepada apa yang ada di dunia, termasuk keindahan wanita. Kalau aku mencintai keindahan, itulah tandanya aku memuji kepandaian Tuhan,” jawab Raden Yudakara berfilsafat.
“Dan aku tak memilah-milah. Keindahan ada di mana saja. Tidak melulu ada di lingkungan puri. Keindahan di alam bebas barangkali keindahan yang sebenarnya sebab di sana tak ada polesan. Tapi…” Raden Yudakara mendadak berhenti seperti mau tersedak.
“Ada apa Raden?”
“Gadis di puri Arya Damar demikian cantik. Mungkin yang tercantik dari semu kembang di taman. Dia demikian anggun, demikian indah. Mungkin penuh harum. Ow, aku akui gadis di Pajajaran elok dan indah. Namun yang namanya putri puri Arya Damar, mengapa sepertinya terpisah dari yang lainnya?”
Purbajaya sedikit goyah mendengar pujian ini. Benar, mendengar Nyimas Waningyun dipuji setinggi langit, hanya menegaskan bahwa dirinya adalah seorang normal, mencintai gadis maha-cantik. Namun yang dirinya tak enak, pujian habis-habisan yang diucapkan Raden Yudakara hanya menandakan bahwa pemuda bangsawan ini pun secara khusus tertarik kepada Nyimas Waningyun. Hati Purbajaya mengeluh, semakin bertambah saingannya dalam mendapatkan cinta gadis itu.
Yang membikin hati Purbajaya agak terobati, adalah ketika mendapatkan kenyataan bahwa Raden Yudakara kerjanya mengobral pujian kepada setiap gadis. Dalam satu hari itu saja, sudah belasan gadis yang kebetulan berpapasan, selalu dia puji setinggi langit. Purbajaya berdoa, semoga pujian-pujian Raden Yudakara kepada Nyimas Waningyun tidak singgah di hatinya, melainkan hanya pujian sejenak saja.
“Tapi gadis puri itu sepertinya memendam kesedihan besar. Aku sungguh ingin tahu, ada apakah ini?” Raden Yudakara membuat Purbajaya goyah lagi.
“Betul, Raden. Gadis itu sedang punya masalah. Ada sebuah perjodohan yang gadis itu tak menyukainya…” tak terasa Purbajaya memaparkan persoalan gadis itu.
“Hm… di mana-mana gadis bangsawan nasibnya selalu begitu. Perjodohan dan nasib cintanya selalu dikaitkan dengan kepentingan lain. Aku bisa duga, gadis itu dijodohkan dengan sesama anak bangsawan demi kepentingan kedua orangtua anak-anak muda itu,” Raden Yudakara menebaknya dengan jitu.
“Tebakan Raden benar… “
Raden Yudakara hanya senyum kecil.
“Kasihan Nyimas Waningyun… ” gumam Purbajaya tak sadar.
“Aku pastikan, gadis itu sudah punya pilihannya sendiri.”
“Benar sekali, Raden…“
“Siapa kira-kira?”
Ditanya seperti itu, giliran Purbajaya yang terkatup bibirnya. Ini rahasia pribadi. Mengapa musti diobral kepada banyak orang? Tapi Purbajaya akhirnya mulai berpikir lain. Di mata Pangeran Arya Damar, kedudukan Raden Yudakara sepertinya tidak berada di bawahnya. Mungkin juga keberadaan pemuda bangsawan ini cukup diperhitungkan oleh Pangeran Arya Damar. Kalau benar begitu, mengapa Purbajaya tidak minta tolong saja kepada pemuda periang ini?
“Yang saya lihat, Nyimas Waningyun tak suka kepada pemuda pilihan keluarganya,” kata Purbajaya.
“Gadis yang malang…” guman Raden Yudakara.
“Dia perlu pertolongan.” sambung lagi Purbajaya.
“Ya, dia perlu ditolong dari kesedihannya. Penderitaan cintanya harus dilenyapkan. Kalau pun perjodohan itu diatur orang, paling tidak harus menyertakan kepentingan gadis itu sendiri,” kata Raden Yudakara sambil mencongklang kudanya.
Purbajaya tak sanggup menebak, apa arti ucapan pemuda bangsawan ini. Hanya yang jelas, Raden Yudakara memang sepertinya punya perhatian yang khusus kepada Nyimas Waningyun. Purbajaya berdoa, mudah-mudahan Raden Yudakara memang bersikap penuh perhatian kepada nasib orang dan mau menolong kesedihan orang lain.
Perbincangan mengenai Nyimas Waningyun cukup sampai di situ. Bahkan seperti terlupakan ketika secara tiba-tiba di tengah perjalanan bertemu lagi dengan seorang gadis. Dia adalah gadis dusun, terlihat dari dandanannya yang amat sederhana, terbuat dari kain kasar dan sedikit lusuh. Hanya yang jadi perhatian, paras gadis itu cukup manis kendati kulitnya agak sawo matang karena banyak kena sinar matahari.
Gadis itu tengah melangkah dengan perlahan dan terkesan lunglai tak bersemangat. Bisa jadi lantaran kecapaian berjalan jauh. Gadis itu berjalan sambil menggendong bakul, entah berisi apa. Raden Yudakara serta-merta menghentikan langkah kudanya tepat di samping gadis itu.
“Kalau kerja-keras diselingi keluh-kesah maka bakalan lekas capek dan rasa bahagia akan berkurang, hai gadis manis,” kata Raden Yudakara.
Tentu saja gadis itu terkejut setengah mati karena ada lelaki asing tampan dan gagah menyapanya. Purbajaya menduga, seperti biasanya gadis ini pasti akan tersipu-sipu malu, menunduk dan wajahnya bersemu merah. Begitu yang pernah dilihat pada gadis yang sudah-sudah.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment