Namun belakangan, ramalan itu tak begitu tepat. Buktinya, pengendali utama kekuatan militer setelah Kangjeng Susuhunan mendekati uzur, adalah Pangeran Suwarga, seorang bangsawan yang sebelumnya tidak pernah disebut-sebut. Mengapa hal itu bisa terjadi, orang tak pernah mempertanyakannya, tidak juga Pangeran Arya Damar sendiri.
Semua orang maklum dan percaya bahwa Kangjeng Susuhunan selalu memikirkan yang terbaik buat negri beserta keselamatannya. Pangeran Arya Damar memang tetap mengabdi kepada jabatan yang dipercayakan kepadanya, kendati akhir-akhir ini terlihat tengah membuat sesuatu gerakan.
Gerakan yang paling kentara adalah usaha penggabungan kekuatan dengan Pangeran Danuwangsa. Dengan adanya rencana hubungan besan, kedua pengamat memperkirakan, kedua pangeran ini berusaha ingin menjalin kerja-sama. Kerja-sama dalam hal apa, tak pernah ada yang tahu. Hanya saja yang patut diperhatikan, baik Pangeran Arya Damar mau pun Pangeran Danuwangsa, punya hubungan yang kurang begitu mesra dengan Pangeran Suwarga. Menurut khabar, kendati mereka tak pernah bertentangan, tapi sebetulnya berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Pangeran Suwarga kurang mendapatkan sambutan penuh dari dua pembantunya.
“Suwarga itu kurang terampil dalam mengendalikan prajurit sehingga kekuatan yang kita miliki kurang berperan dalam mempertahankan keberadaan negri,” kata Pangeran Arya Damar dalam sebuah perbincangan dipaseban (bangsal tempat pertemuan penting).
*****
Hari itu Pangeran Arya Damar duduk berhadapan dengan para pembantu dekatnya, yaitu Ki Aspahar, Ki Aliman, Ki Marsonah dan Ki Albani. Sementara Purbajaya duduk di belakang keempat perwira itu.
“Suwarga terlalu lemah dalam menghadapi musuh. Akibatnya, musuh punya peluang untuk memperkuat kembali posisinya,” kata Pangeran Arya Damar.
Sudah berkali-kali Purbajaya mendengar keluhan ini. Menurut Pangeran Arya Damar, musuh kini semakin punya peluang untuk memperkuat dirinya hanya karena Carbon kurang menekan. Yang dimaksud musuh di sini adalah Pajajaran. Kata Pangeran Arya Damar, Pajajaran sebetulnya cenderung lemah. Tapi karena oleh Carbon tetap dibiarkan, maka Pajajaran tetap berdiri.
“Tapi pada akhirnya, kita tidak perlu mencari siapa salah siapa benar. Yang penting, Carbon memiliki keberadaannya seperti semula. Kalau ada rekan kita yanag lemah, harus kita tutup dengan kekuatan yang kita miliki. Itulah sebabnya, sudah sejak dulu aku rencanakan untuk menyerang Pajajaran,” kata Arya Damar. Ketika mengatakan kalimat terakhir mengenai Pajajaran, dia ucapkan dengan nada berapi-api.
“Saya sebenarnya sudah tak sabar untuk memulainya,” tutur Ki Aliman. ”Sudah bertahun-tahun kami hanya berlatih dan berlatih. Ibarat mata pisau, kami ini hanya diasah melulu tanpa dipergunakan. Kalau terlalu banyak diasah, suatu saat logam akan menipis,” ungkapnya membuat perbandingan.
“Atau bisa juga suatu saat akan kembali berkarat bila kita bosan mengasahnya,” sambung Ki Aspahar. Pangeran Arya Damar mengangguk-angguk mengiyakan.
Purbajaya hanya tersenyum tipis. Dia ingat hari-hari lalu, betapa Ki Aliman sebenarnya hanya besar mulut saja. Begitulah kata Paman Jayaratu, tong kosong nyaring bunyinya. Ki Aliman mungkin lupa bahwa dirinya yang berpangkat perwira pernah jatuh-bangun olehnya yang berstatus calon perwira dan bahkan sekarang di sini hanya ditempatkan sebagai prajurit saja. Barangkali bukan karena Ki Aliman terlalu bodoh. Dia kecolongan karena kesombongannya saja.
“Justru pertemuan ini untuk memulai rencana yang telah lama kita simpan,” kata Pangeran Arya Damar menjelaskan.Dan kembali pangeran itu mengutarakan gagasannya untuk melakukan serangan ke wilayah Pajajaran.
“Maksudku, kita akan berusaha melumpuhkan kekuatan-kekuatan yang selama ini menghambat perjalanan kita,” tuturnya.
Beberapa waktu lalu Pangeran Arya Damar memang pernah berkata akan mengirimkan pasukan secara diam-diam ke puncak Gunung Cakrabuana. Di puncak itu dikhabarkan tersembunyi tombak pusaka bernama Cuntangbarang, mengambil nama seorang perwira sakti asal Karatuan Talaga. Tombak itu memang dulunya benda pusaka milik Karatuan Talaga. Banyak orang berupaya menguasai tombak itu. Salah satunya adalah seorang bekas perwira Pajajaran bernama Ki Darma.
“Kita harus berhasil membunuh orang itu!” kata Pangeran Arya Damar mengepal tinjunya.
“Haruskah kita bunuh dia, Pangeran?” tanya Purbajaya tiba-tiba.
“Sudah aku katakan, dia adalah kerikil tajam yang bisa menghalangi kelancaran perjalanan kita ke pusat kekuatan Pajajaran. Lain daripada itu, kita pun musti berupaya menyelamatkan pusaka Cuntangbarang yang sudah jelas-jelas milik Carbon karena Talaga telah berpihak pada kita. Sekali mengayuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Itulah sebabnya, perjalanan ke Cakrabuana harus dilakukan,” kata Pangeran Arya Damar, matanya berkeliling menatap ke semua orang.
Dan semua orang mengangguk-angguk, kecuali Purbajaya. Pemuda itu merasakan, semakin hari semakin nyata, betapa ganjilnya jalan pikiran Arya Damar. Purbajaya memang mengerti, pangeran ini dulunya perwira handal yang banyak makan asam-garamnya pertempuran. Purbajaya pun mengerti bahwa Pangeran Arya Damar adalah juga perwira militer yang menguasai banyak prajurit. Namun Panageran Arya Damar sebetulnya masih punya atasan. Artinya wewenang dirinya sebetulnya tetap terbatas. Mana mungkin sekarang punya inisiatif sendiri untuk melakukan operasi militer tanpa persetujuan bahkan sepengetahuan Pangeran Suwarga?
“Purbajaya, camkan, ini adalah tugas berat pertama bagimu sebelum menjalankan misi sesungguhnya,” kata Pangeran Arya Damar membuyarkan pikiran pemuda itu.
Purbajaya hanya menunduk dan mengangguk kecil. Tugas pertama sebelum menjalankan misi sesungguhnya? Yang dia ingat, misi sesungguhnya bagi dirinya adalah melakukan penyusupan ke wilayah Pajajaran dan mempengaruhi sendi-sendi kekuatan didayo (ibukota) Pakuan untuk berkiblat ke Carbon. Tak ada penekanan tugas-tugas kewiraan, misalnya menyerang Pakuan. Paling tidak, itu yang pertama kali disebutkan Paman Jayaratu. Namun pada kenyataannya, tugas pertama baginya adalah bergabung dengan sebuah pasukan rahasia untuk melakukan pertempuran. Benarkah ini tugas negara dan benarkah Pangeran Arya Damar punya wewenang untuk melakukan hal itu?
“Pangeran, apakah yang Pangeran pikirkan sudah benar-benar matang?” tanya Purbajaya tiba-tiba.
Semua orang memandang kaget kepada pemuda itu, tidak pula Pangeran Arya Damar. “Aku tak mengerti pertanyaanmu, anak muda!” jawab Pangeran Arya Damar dan nampak tersinggung atas pertanyaan Purbajaya ini.
“Tidakkah sebaiknya rencana ini Pangeran rundingkan dulu dengan Pangeran Suwarga sebagai hulu-jurit (panglima) di Nagri Carbon?” tanya lagi Purbajaya semakin berani dan semakin mengagetkan semua orang.
“Hati-hati bicaramu, anak muda,” dengus Ki Aliman dengan wajah merah-padam saking tersinggungnya dengan ucapan Purbajaya.
“Bicaramu sungguh kurang ajar, Purba!” Ki Aspahar malah sudah mendelik dan membentak.
“Dasar orang Pajajaran. Kalau aku tahu kau masih berkiblat ke sana, seharusnya sejak dulu aku bunuh engkau!” teriak pula Ki Albani geram. Malah orang tua ini sudah beranjak dari duduknya dan berniat menyerang Purbajaya.
Semua orang maklum dan percaya bahwa Kangjeng Susuhunan selalu memikirkan yang terbaik buat negri beserta keselamatannya. Pangeran Arya Damar memang tetap mengabdi kepada jabatan yang dipercayakan kepadanya, kendati akhir-akhir ini terlihat tengah membuat sesuatu gerakan.
Gerakan yang paling kentara adalah usaha penggabungan kekuatan dengan Pangeran Danuwangsa. Dengan adanya rencana hubungan besan, kedua pengamat memperkirakan, kedua pangeran ini berusaha ingin menjalin kerja-sama. Kerja-sama dalam hal apa, tak pernah ada yang tahu. Hanya saja yang patut diperhatikan, baik Pangeran Arya Damar mau pun Pangeran Danuwangsa, punya hubungan yang kurang begitu mesra dengan Pangeran Suwarga. Menurut khabar, kendati mereka tak pernah bertentangan, tapi sebetulnya berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Pangeran Suwarga kurang mendapatkan sambutan penuh dari dua pembantunya.
“Suwarga itu kurang terampil dalam mengendalikan prajurit sehingga kekuatan yang kita miliki kurang berperan dalam mempertahankan keberadaan negri,” kata Pangeran Arya Damar dalam sebuah perbincangan dipaseban (bangsal tempat pertemuan penting).
*****
Hari itu Pangeran Arya Damar duduk berhadapan dengan para pembantu dekatnya, yaitu Ki Aspahar, Ki Aliman, Ki Marsonah dan Ki Albani. Sementara Purbajaya duduk di belakang keempat perwira itu.
“Suwarga terlalu lemah dalam menghadapi musuh. Akibatnya, musuh punya peluang untuk memperkuat kembali posisinya,” kata Pangeran Arya Damar.
Sudah berkali-kali Purbajaya mendengar keluhan ini. Menurut Pangeran Arya Damar, musuh kini semakin punya peluang untuk memperkuat dirinya hanya karena Carbon kurang menekan. Yang dimaksud musuh di sini adalah Pajajaran. Kata Pangeran Arya Damar, Pajajaran sebetulnya cenderung lemah. Tapi karena oleh Carbon tetap dibiarkan, maka Pajajaran tetap berdiri.
“Tapi pada akhirnya, kita tidak perlu mencari siapa salah siapa benar. Yang penting, Carbon memiliki keberadaannya seperti semula. Kalau ada rekan kita yanag lemah, harus kita tutup dengan kekuatan yang kita miliki. Itulah sebabnya, sudah sejak dulu aku rencanakan untuk menyerang Pajajaran,” kata Arya Damar. Ketika mengatakan kalimat terakhir mengenai Pajajaran, dia ucapkan dengan nada berapi-api.
“Saya sebenarnya sudah tak sabar untuk memulainya,” tutur Ki Aliman. ”Sudah bertahun-tahun kami hanya berlatih dan berlatih. Ibarat mata pisau, kami ini hanya diasah melulu tanpa dipergunakan. Kalau terlalu banyak diasah, suatu saat logam akan menipis,” ungkapnya membuat perbandingan.
“Atau bisa juga suatu saat akan kembali berkarat bila kita bosan mengasahnya,” sambung Ki Aspahar. Pangeran Arya Damar mengangguk-angguk mengiyakan.
Purbajaya hanya tersenyum tipis. Dia ingat hari-hari lalu, betapa Ki Aliman sebenarnya hanya besar mulut saja. Begitulah kata Paman Jayaratu, tong kosong nyaring bunyinya. Ki Aliman mungkin lupa bahwa dirinya yang berpangkat perwira pernah jatuh-bangun olehnya yang berstatus calon perwira dan bahkan sekarang di sini hanya ditempatkan sebagai prajurit saja. Barangkali bukan karena Ki Aliman terlalu bodoh. Dia kecolongan karena kesombongannya saja.
“Justru pertemuan ini untuk memulai rencana yang telah lama kita simpan,” kata Pangeran Arya Damar menjelaskan.Dan kembali pangeran itu mengutarakan gagasannya untuk melakukan serangan ke wilayah Pajajaran.
“Maksudku, kita akan berusaha melumpuhkan kekuatan-kekuatan yang selama ini menghambat perjalanan kita,” tuturnya.
Beberapa waktu lalu Pangeran Arya Damar memang pernah berkata akan mengirimkan pasukan secara diam-diam ke puncak Gunung Cakrabuana. Di puncak itu dikhabarkan tersembunyi tombak pusaka bernama Cuntangbarang, mengambil nama seorang perwira sakti asal Karatuan Talaga. Tombak itu memang dulunya benda pusaka milik Karatuan Talaga. Banyak orang berupaya menguasai tombak itu. Salah satunya adalah seorang bekas perwira Pajajaran bernama Ki Darma.
“Kita harus berhasil membunuh orang itu!” kata Pangeran Arya Damar mengepal tinjunya.
“Haruskah kita bunuh dia, Pangeran?” tanya Purbajaya tiba-tiba.
“Sudah aku katakan, dia adalah kerikil tajam yang bisa menghalangi kelancaran perjalanan kita ke pusat kekuatan Pajajaran. Lain daripada itu, kita pun musti berupaya menyelamatkan pusaka Cuntangbarang yang sudah jelas-jelas milik Carbon karena Talaga telah berpihak pada kita. Sekali mengayuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Itulah sebabnya, perjalanan ke Cakrabuana harus dilakukan,” kata Pangeran Arya Damar, matanya berkeliling menatap ke semua orang.
Dan semua orang mengangguk-angguk, kecuali Purbajaya. Pemuda itu merasakan, semakin hari semakin nyata, betapa ganjilnya jalan pikiran Arya Damar. Purbajaya memang mengerti, pangeran ini dulunya perwira handal yang banyak makan asam-garamnya pertempuran. Purbajaya pun mengerti bahwa Pangeran Arya Damar adalah juga perwira militer yang menguasai banyak prajurit. Namun Panageran Arya Damar sebetulnya masih punya atasan. Artinya wewenang dirinya sebetulnya tetap terbatas. Mana mungkin sekarang punya inisiatif sendiri untuk melakukan operasi militer tanpa persetujuan bahkan sepengetahuan Pangeran Suwarga?
“Purbajaya, camkan, ini adalah tugas berat pertama bagimu sebelum menjalankan misi sesungguhnya,” kata Pangeran Arya Damar membuyarkan pikiran pemuda itu.
Purbajaya hanya menunduk dan mengangguk kecil. Tugas pertama sebelum menjalankan misi sesungguhnya? Yang dia ingat, misi sesungguhnya bagi dirinya adalah melakukan penyusupan ke wilayah Pajajaran dan mempengaruhi sendi-sendi kekuatan didayo (ibukota) Pakuan untuk berkiblat ke Carbon. Tak ada penekanan tugas-tugas kewiraan, misalnya menyerang Pakuan. Paling tidak, itu yang pertama kali disebutkan Paman Jayaratu. Namun pada kenyataannya, tugas pertama baginya adalah bergabung dengan sebuah pasukan rahasia untuk melakukan pertempuran. Benarkah ini tugas negara dan benarkah Pangeran Arya Damar punya wewenang untuk melakukan hal itu?
“Pangeran, apakah yang Pangeran pikirkan sudah benar-benar matang?” tanya Purbajaya tiba-tiba.
Semua orang memandang kaget kepada pemuda itu, tidak pula Pangeran Arya Damar. “Aku tak mengerti pertanyaanmu, anak muda!” jawab Pangeran Arya Damar dan nampak tersinggung atas pertanyaan Purbajaya ini.
“Tidakkah sebaiknya rencana ini Pangeran rundingkan dulu dengan Pangeran Suwarga sebagai hulu-jurit (panglima) di Nagri Carbon?” tanya lagi Purbajaya semakin berani dan semakin mengagetkan semua orang.
“Hati-hati bicaramu, anak muda,” dengus Ki Aliman dengan wajah merah-padam saking tersinggungnya dengan ucapan Purbajaya.
“Bicaramu sungguh kurang ajar, Purba!” Ki Aspahar malah sudah mendelik dan membentak.
“Dasar orang Pajajaran. Kalau aku tahu kau masih berkiblat ke sana, seharusnya sejak dulu aku bunuh engkau!” teriak pula Ki Albani geram. Malah orang tua ini sudah beranjak dari duduknya dan berniat menyerang Purbajaya.
Pangeran Arya Damar cepat mencegah dan menyuruh Ki Albani duduk dengan tenang.
“Lihatlah Purbajaya, betapa berbahayanya ucapanmu barusan,” tutur Pangeran Arya Damar bernada tenang namun alisnya berkerut tanda tak senang.
“Saya hanya bicara apa adanya, Pangeran,” Purbajaya menyembah hormat.
“Banyak orang berbicara bahwa hidupnya berjuang untuk Nagri Carbon. Namun pada kenyataannya mereka bertindak keliru sehingga hanya kehancuran yang didapat. Engkau harus paham anak muda, sejak dulu Carbon selalu berada di bawah bayang-bayang kekuatan negri lain. Kekuatan Carbon selalu bergantung kepada Demak. Dan hingga pada suatu saat Demak mengalami kemunduran, maka Carbon pun ikut mundur. Salah siapakah ini? Ini karena kesalahan orang yang berada di Carbon sendiri. Aku yang selama ini selalu berjuang untuk kepentingan dan kebesaran Carbon, tak mau disalahkan oleh generasi sesudah aku. Carbon harus bangkit. Dan untuk itu harus berani mengubah pola pikir dan mengoreksi kekeliruan selama ini,” tutur Pangeran Arya Damar panjang-lebar dengan suara menggebu.
”Dengan jalan membuka peperangankah upaya mengubah pola pikir itu, Pangeran?” tanya Purbajaya penasaran.
“Gusti Pangeran, izinkan saya mengajari anak dungu ini!” Ki Aliman tak kerasan dan langsung berdiri untuk kemudian menerjang ke arah Purbajaya yang masih duduk bersila.
Ki Aliman menyodok lurus ke depan, sedikit menyuruk ke bawah pusar Purbajaya. Maksudnya tentu ingin menyerang bagian paling lemah dari tubuh pemuda itu. Purbajaya sudah barang tentu tak mau dicederai begitu saja. Dia segera melempar tubuhnya ke belakang, itu pun sambil memutar kaki kanannya sebagai perlindungan.
“Berhenti!” teriak Pangeran Arya Damar.
“Tapi dia jelas pengkhianat. Hatinya masih berada di Pajajaran. Kalau tidak begitu, mengapa dia tak setuju kita menggempur Pajajaran?” Ki Aliman bicara sambil dadanya kembang-kempis pertanda menahan kemarahan.
“Purbajaya, betulkah hatimu kembali ke Pajajaran?” Pangeran Arya Damar matanya menyorot tajam ke arah pemuda itu.
Ditekan dengan pertanyaan seperti itu, hati Purbajaya luluh-lantak. Ini adalah serangan yang melumpuhkan hatinya. Selama ini dia selalu rendah diri hanya karena dia ditempatkan sebagai anak musuh Carbon yang dipungut dari arena peperangan. Sedikit saja dia berpikiran aneh-aneh, maka orang selalu mengkaitkan dirinya dengan pengkhianatan. Itulah sebabnya, Purbajaya terkejut dengan tudingan barusan. Di antara sedih dan kecewa tersembul rasa khawatir yang sangat.
“Saya adalah orang Carbon, Gusti… ” gumam Purbajaya sedih.
“Kalau begitu, berpikirlah seperti aku,” ujar Pangeran Arya Damar pendek. ”Duduklah engkau… ” kata pangeran itu lagi.
Purbajaya kembali duduk, demikian pun Ki Aliman. Perundingan kembali dilanjutkan, sepertinya tak pernah terjadi peristiwa panas yang mengawalinya. Putusan Pangeran Arya Damar sudah mantap. Bulan depan akan mengirimkan pasukan rahasia, dipimpin oleh keempat orang perwira Puri Arya Damar. Mereka akan memimpin belasan prajurit tangguh menuju puncak Gunung Cakrabuana.
RENCANA ini demikian rahasia. Hanya sekali pun begitu, bukan berarti tak diketahui. Paling tidak, perjalanan ke wikayah puncak Cakrabuana ini diketahui dan direstui Pangeran Suwarga.
Pangeran Arya Damar memang cerdik. Perjalanan ini dilaporkannya sebagai pemeriksaan rutin ke wilayah bawahan Carbon. Cakrabuana adalah gunung tinggi yang puncaknya selalu diselimuti kabut. Gunung itu oleh sementara orang suka dikeramatkan, berada di wilayah Karatuan Talaga.
Seperti sudah diketahui, wilayah Karatuan Talaga yang dulunya masuk wilayah Pajajaran, sejak tahun 1530 Masehi telah bergabung kepada Carbon. Untuk memantapkan pembinaan agar keamanan tetap terjamin, kontrol dari pusat setiap waktu tertentu selalu dilakukan. Jadi tak ada hal yang aneh bila kini Pangeran Arya Damar mengirimkan pasukan kecil ke wilayah itu. Dan Pangeran Suwarga pun sebagai pucuk pimpinan militer tertinggi, tidak ada alasan untuk menolaknya.
Tapi malam hari sebelum berangkat, Purbajaya tak bisa tidur. Akhir-akhir ini memang banyak pikiran bergayut di benaknya. Purbajaya merasa bingung akan hidupnya, mengapa jadi begini? Selama tinggal bersama Paman Jayaratu, Purbajaya tak pernah punya persoalan hidup. Namun kini sesudah bergabung dengan Pangeran Arya Damar, masalah jadi bermunculan.
Pertama memasuki puri, Purbajaya sudah dikejutkan oleh kenyataan bahwa dirinya bukan orang Carbon. Dia dipungut dari sebuah kemelut pertempuran di wilayah Pajajaran, sesudah itu diurus sebagai anak pungut oleh Carbon. Karena kedudukan seperti inilah maka usaha pengabdian-pengabdian pemuda itu terhadap negara lebih menyerupai sebagai utang-budi. Orang lain tak menganggap pengabdian pemuda itu sebagai rasa cinta, melainkan sebagai budi yang harus dibalas. Ini yang membuat dirinya merasa tak enak dan merasa kedudukannya berbeda dengan yang lain.
Yang lebih sedih dari itu, orang mudah curiga ke padanya. Seperti kejadian kemarin dulu ketika dia tak setuju ada semacam penyerbuan kepada orang-orang Pajajaran, maka semua orang mudah menudingnya sebagai pengkhianat berkepala dua. Penyakit rendah diri melanda hatinya karena kedudukannya ini.
Dalam hal bercinta, perasaan ini pun terasa amat mengganggunya. Dia begitu rendah diri bila berhadapan dengan Nyimas Waningyun. Benar, sesekali bisa bercanda. Tapi bila ingat akan kedudukannya, kembali hatinya tersiksa. Nyimas Waningyun adalah keluarga bangsawan sedangkan dirinya hanya prajurit dari keluarga yang tak diketahui asal-usulnya. Kalau pun pernah disebutkan sebagai keluarga bangsawan, hanyalah bangsawan Pajajaran yang sulit dilacak kebenarannya.
Bersaing dengan kalangan bangsawan Carbon mustahil bisa menang. Itulah sebabnya, walau pun Raden Ranggasena merupakan pemuda bengal, angkuh dan sombong tapi Purbajaya tak akan sanggup berebut simpati. Di saat terjadi pertalian jodoh sesama keluarga bangsawan, Purbajaya tak bisa apa. Padahal Purbajaya amat mendambakan hidup bersama Nyimas Waningyun. Ini mungkin mimpi.
“Harapan semakin jauh… ” keluhnya.
Purbajaya segera duduk dari tidur telentangnya. Dia bahkan keluar dari kamarnya dan pergi berjalan-jalan menyusuri kompleks ksatriaan (asrama prajurit). Pemuda itu melangkah pelan di atas jalan berbalay yang nampak lengang dan sepi. Ada rembulan melayang di atas awan. Sesekali cahayanya redup lantaran sang awan terlalu tebal, namun sesekali cahayanya bersinar terang membuat alam sekeliling menjadi benderang. Namun, baik ketika dalam keadaan terang, mau pun redup, semuanya tidak mengubah hati Purbajaya yang sedang gulana.
Purbajaya terus berjalan dan tak terasa langkahnya menuju luar kompleks. Sebetulnya di pintu depan ada dua orang penjaga. Namun entah mengapa, Purbajaya lolos dari perhatian mereka. Barangkali langkah Purbajaya terlalu halus, atau bisa juga lantaran dua penjaga itu terkantuk-kantuk dalam tugas jaganya. Ini sudah larut malam dan udara pun terasa dingin. Sepi dan dingin akan membuat orang mudah terbuai kantuk, tidak juga yang tengah bertugas.
Sekarang Purbajaya lewat ke benteng kaputren. Hatinya langsung ingat Nyimas Waningyun. Sedang apa Nyimas di tengah sepinya malam ini? Purbajaya merunduk. Mungkin hanya sementara saja gadis itu tinggal dalam sepi. Tokh tak berapa lama lagi dia akan segera punya pengayom, punya pelindung dan tak akan merasakan arti sepi.
“Duh, Nyimas… Mengapa bukan aku yang jadi pelindungmu?” keluhnya seorang diri.
Esok subuhnya, Purbajaya sudah akan berangkat bersama pasukan. Entah kapan akan kembali. Kalau nasib buruk, barangkali juga akan mati dan tak kembali. Kalau begitu, maka putuslah harapannya bertemu Nyimas Waningyun. Padahal ingin sekali, di saat-saat akhir gadis itu berumah-tangga, dia ingin menatapnya dengan lama.
“Duh, Nyimas… betapa pilu hatiku. Engkau menggodaku dan engkau membuatku nestapa… ” keluhnya berkali-kali.
Kerinduan begitu menerpa dirinya. Itulah sebabnya, di saat punya kesempatan, dengan nekadnya dia menyelundup masuk kaputren. Memang mustahil bisa bertemu Nyimas Waningyun sebab suasana masih malam. Namun paling tidak, dia bisa menatap bangku kecil di bawah pohon taman yang biasa diduduki gadis ayu itu.
Purbajaya mendekati tempat itu. Purbajaya menatap ke arah bangku kecil sebab di sana terlihat ada Nyimas Waningyun tengah merenung. Mula-mula Purbajaya terkejut setengah mati, namun belakangan bibirnya tersenyum tipis.
Purbajaya merasa, karena dirinya telah begitu tergila-gila dan selalu membayangkan tubuh Nyimas Waningyun, maka ke mana pun dia memandang, yang nampak selalu saja gadis itu. Demikian pun malam itu. Ada bayangan gadis itu. Ya, Nyimas Waningyun duduk merenung di bangku kecil. Kepalanya tertunduk lesu menatap kolam ikan hias.
Purbajaya sadar, ini hanya tipuan mata. Namun demikian, pemuda itu tetap gembira. Biarlah, tidak dengan orangnya, dengan bayangannya pun sudah terpuaskan, demikian bisik hatinya. Tipuan-tipuan pandang sudah jadi miliknya sudah biasa menghibur dirinya.
Purbajaya tersenyum dalam kebahagiaan semu. Sekarang ada bayangan gadis itu. Maka matanya tak boleh dikecapkan, takut bayangan manis itu segera hilang. Tapi Purbajaya tak kuat matanya terus melotot. Dengan jengkelnya dia terpaksa berkedip. Hanya aneh sekali, bayangan itu tak mau hilang.
Bulan kembali memisahkan diri dari himpitan awan dan kini cahayanya cemerlang menerangi alam sekeliling. Purbajaya terpana, nyatanya bayangan Nyimas Waningyun tak mau hilang dari pandangannya.
Purbajaya semakin terpana sebab tubuh indah itu semakin nampak nyata. Sekarang rambut ikal gadis itu malah terlihat tergerai dan berombak terkena tiupan angin malam. Hidung kecil mancung gadis itu nampak nyata ketika dia menoleh ke pinggir.
“Terima kasih sang rembulan membuat hatiku amat bahagia… ” kata Purbajaya tiba-tiba. Tapi Purbajaya jadi terkejut sebab tubuh gemulai itu cepat berdiri dan membalik menghadap ke arahnya.
“Purbajaya!” terdengar pekik merdu dari arah sana.
“Nyimas… ” bisik Purbajaya dengan suara bergetar.
Mula-mula dia berdiri mematung. Tubuh Purbajaya tak mau bergerak. Takut ini masih berupa tipuan. Tapi ketika langkah gadis itu bergerak menuju ke padanya, Purbajaya pun mulai berani melangkah. Dan akhirnya, baik Purbajaya mau pun gadis itu, sama-sama berlari saling mendekat. Sampai pada suatu saat tubuh mereka bertubrukan, berpelukan dan sulit dipisahkan.
“Purbajaya… “
“Nyimas… Ah, Nyimas !”
Lama mereka berpelukan dalam diam. Rembulan pun untuk sementara seperti malu menampakkan diri dan sembunyi di balik awan. Lain lagi dengan sepasang muda-mudi itu. Kalau bulan merasa malu dan sembunyi di balik awan, maka remangnya cuaca malah dijadikannya sebagai kesempatan untuk saling melepas rindu. Tubuh dua orang itu saling merapat seperti tak ingin dilepas lagi. Beberapa kali mereka saling pandang dan beberapa kali pula mereka saling dekap.
“Purbajaya… “
“Nyimas…”
Mereka saling berdekapan lagi untuk beberapa lama.
“Nyimas… benarkah engkau ini ada di hadapanku” bisik Purbajaya dengan suara bergetar.
“Aku malah yang bertanya, benar-benarkah engkau yang berdiri di hadapanku?” Nyimas Waningyun balik bertanya.
Tak sadar Purbajaya menarik tangan gadis itu. Mula-mula dipegangnya halus, lama-lama diremasnya dengan cukup keras sehingga Nyimas Waningyun meringis kesakitan.
“Aduh, kau sakit, Nyimas? Aku khawatir, kau hanyalah bayangan semu semata,” tutur Purbajaya masih menggenggam tangan gadis itu.
“Ya, Tuhan, engkau benar-benar Nyimasku. Betapa halus jari-jari tanganmu, betapa hangat telapak tanganmu. Nyimas, mengapa engkau malam-malam berada di sini?” Purbajaya nyeroscos bicara sampai napasnya kembang-kempis karena tak putus-putus.
“Aku malah yang harus tanya, mengapa engkau malam-malam berada di sini?” untuk ke sekian kalinya gadis itu malah yang balik bertanya. Dia pun balik meremas tangan Purbajaya
“Maafkan Nyimas. Ini semua karena aku ingat engkau…” bisik Purbajaya sejujurnya.
“Aku pun lama menyepi dalam dingin ini karena ingat engkau…” jawab gadis itu pun dengan berani.
Dua pasang mata saling berpandangan, pegangan tangan masing-masing pun semakin kuat. Dan tak bisa dibendung, keduanya pun akhirnya larut dalam peluk. Kuat, tak habis-habisnya.
Rembulan masih sembunyi.
“Aku menerima khabar, sebentar subuh engkau sudah akan berangkat tugas,” bisik gadis itu sambil pipinya bersandar di dada Purbajaya yang bidang.
“Aku datang ke sini memang mau pamit. Entah kapan bisa kembali,” kata Purbajaya setengah mengeluh.
“Wilayah Karatuan Talaga tak begitu jauh. Sebentar kemudian kau pasti kembali. Yang terpenting dari kesemuanya, kau musti ingat aku,” kata gadis itu manja menyandarkan pipinya di dada yang bidang.
“Aku butuh doamu dan aku pun butuh cintamu.” bisik Purbajaya. Tanpa ragu-ragu dikecupnya kening gadis itu.
“Akan aku berikan cintaku sepenuhnya padamu…” bisik Nyimas Waningyun lirih. Tangannya semakin erat memeluk dan melingkar di punggung Purbajaya. Suara desah napas memburu dari gadis itu. Kemudian terdengar pula keluh-keluh lirih dan sedikit merintih.
Purbajaya tersentak ketika merasakan hal ini. Dengan serta-merta dia melepaskan rangkulan gadis itu. Purbajaya mencoba menjauh dan memberi jarak terhadap gadis itu. Kini mereka hanya saling berpeganagan tangan saja. Untuk sementara Nyimas Waningyun kecewa, mengapa Purbajaya melepaskan kesempatan ini. Dia menatap nanar kepada pemuda pujaannya.
“Jangan berbuat itu, Nyimas… ” kata Purbajaya namun sambil mengelus pergelangan tangan gadis itu.
“Purba, bukankah engkau cinta padaku? Percayalah, aku pun cinta engkau,” kata Nyimas Waningyun, masih heran dengan sikap Purbajaya.
Purbajaya menggelengkan kepala beberapa kali.
“Tak cintakah engkau ke padaku?”
“Bukan begitu, Nyimas. Kalau ada orang yang menyuruhku mati demi cintaku padamu, maka akan kulakukan. Tapi menjamah kesucianmu, itu soal lain. Jangan anggap cintaku hanya sebatas berahi, Nyimas… ” Purbajaya berkata sungguh-sungguh.
Nampak ada garis-garis kecewa di wajah gadis itu.
“Sungguh, Nyimas, aku cinta padamu…” bisik Purbajaya sambil kembali meremas jari-jemari gadis itu.
“Tapi kesempatanmu hanya itu, Purba…” gumam gadis itu sambil menunduk lesu.
Purbajaya menghela napas panjang. Dia mengerti maksud gadis itu.
“Aku telah dijodohkan kepada Ranggasena…” keluh Nyimas Waningyun.
“Ya… aku pun tahu.”
“Tapi aku tak suka dia. Ranggasena sifatnya kekanak-kanakan. Tolonglah Purba, aku tak berdaya menepisnya…” kembali Nyimas Waningyun mengeluh. Kini bahkan ada lelehan air mata di pipinya.
“Tidakkah kau mencoba menolaknya?” tanya Purbajaya.
Nyimas Waningyun menghela napas. Kini kedua orang muda itu duduk berdampingan di bangku kecil sambil mengawasi ikan-ikan berenang di kolam. Ada satu ikan dikejar-kejar sesamanya, namun ada juga ikan yang kesepian sendiri di sudut kolam.
“Ini bukan sekadar perjodohan. Kami musti bersatu karena orangtua kami menginginkan persatuan di antara mereka.
“Ya, aku pun tahu, ini hanyalah kepentingan para orangtua kalian…” kata Purbajaya lagi.
“Itu pun tidak persis begitu, sebab keluarga kami sebetulnya tidak pernah bersahabat. Setiap saat kerjanya hanya saling curiga-mencurigai,” kata Nyimas Waningyun.
“Jadi, untuk apa perjodohan ini?”
“Mereka harus bersatu demi kepentingan politik negri ini,” jawab gadis itu.
Purbajaya terpekur. Ini adalah berita yang ke sekian kalinya. Kali ini datang dari mulut Nyimas Waningyun. Demi kepentingan politik, perasaan orang dikorbankan.
“Maukah Nyimas menungguku?” tanya Purbajaya tiba-tiba.
“Menunggu apa?”
“Aku akan berusaha memperjuangkan nasib kita.”
Nyimas Waningyun hanya menatap lemah, sepertinya dia sangsi akan ucapan Purbajaya.
“Engkau ingin memberikan kesucianmu karena cintamu padaku. Maka tekadku pasti, ingin memperjuangkan nasib kita,” kata Purbajaya bersemangat.
Tak ada anggukan pasti dari gadis itu, kecuali menjatuhkan kepalanya lagi pada dada Purbajaya. Sepertinya gadis itu tetap merasa hanya ini peluang bagi mereka berdua. Kini malah terdengar suara gadis itu menangis sesenggukan.
“Saya hanya bicara apa adanya, Pangeran,” Purbajaya menyembah hormat.
“Banyak orang berbicara bahwa hidupnya berjuang untuk Nagri Carbon. Namun pada kenyataannya mereka bertindak keliru sehingga hanya kehancuran yang didapat. Engkau harus paham anak muda, sejak dulu Carbon selalu berada di bawah bayang-bayang kekuatan negri lain. Kekuatan Carbon selalu bergantung kepada Demak. Dan hingga pada suatu saat Demak mengalami kemunduran, maka Carbon pun ikut mundur. Salah siapakah ini? Ini karena kesalahan orang yang berada di Carbon sendiri. Aku yang selama ini selalu berjuang untuk kepentingan dan kebesaran Carbon, tak mau disalahkan oleh generasi sesudah aku. Carbon harus bangkit. Dan untuk itu harus berani mengubah pola pikir dan mengoreksi kekeliruan selama ini,” tutur Pangeran Arya Damar panjang-lebar dengan suara menggebu.
”Dengan jalan membuka peperangankah upaya mengubah pola pikir itu, Pangeran?” tanya Purbajaya penasaran.
“Gusti Pangeran, izinkan saya mengajari anak dungu ini!” Ki Aliman tak kerasan dan langsung berdiri untuk kemudian menerjang ke arah Purbajaya yang masih duduk bersila.
Ki Aliman menyodok lurus ke depan, sedikit menyuruk ke bawah pusar Purbajaya. Maksudnya tentu ingin menyerang bagian paling lemah dari tubuh pemuda itu. Purbajaya sudah barang tentu tak mau dicederai begitu saja. Dia segera melempar tubuhnya ke belakang, itu pun sambil memutar kaki kanannya sebagai perlindungan.
“Berhenti!” teriak Pangeran Arya Damar.
“Tapi dia jelas pengkhianat. Hatinya masih berada di Pajajaran. Kalau tidak begitu, mengapa dia tak setuju kita menggempur Pajajaran?” Ki Aliman bicara sambil dadanya kembang-kempis pertanda menahan kemarahan.
“Purbajaya, betulkah hatimu kembali ke Pajajaran?” Pangeran Arya Damar matanya menyorot tajam ke arah pemuda itu.
Ditekan dengan pertanyaan seperti itu, hati Purbajaya luluh-lantak. Ini adalah serangan yang melumpuhkan hatinya. Selama ini dia selalu rendah diri hanya karena dia ditempatkan sebagai anak musuh Carbon yang dipungut dari arena peperangan. Sedikit saja dia berpikiran aneh-aneh, maka orang selalu mengkaitkan dirinya dengan pengkhianatan. Itulah sebabnya, Purbajaya terkejut dengan tudingan barusan. Di antara sedih dan kecewa tersembul rasa khawatir yang sangat.
“Saya adalah orang Carbon, Gusti… ” gumam Purbajaya sedih.
“Kalau begitu, berpikirlah seperti aku,” ujar Pangeran Arya Damar pendek. ”Duduklah engkau… ” kata pangeran itu lagi.
Purbajaya kembali duduk, demikian pun Ki Aliman. Perundingan kembali dilanjutkan, sepertinya tak pernah terjadi peristiwa panas yang mengawalinya. Putusan Pangeran Arya Damar sudah mantap. Bulan depan akan mengirimkan pasukan rahasia, dipimpin oleh keempat orang perwira Puri Arya Damar. Mereka akan memimpin belasan prajurit tangguh menuju puncak Gunung Cakrabuana.
RENCANA ini demikian rahasia. Hanya sekali pun begitu, bukan berarti tak diketahui. Paling tidak, perjalanan ke wikayah puncak Cakrabuana ini diketahui dan direstui Pangeran Suwarga.
Pangeran Arya Damar memang cerdik. Perjalanan ini dilaporkannya sebagai pemeriksaan rutin ke wilayah bawahan Carbon. Cakrabuana adalah gunung tinggi yang puncaknya selalu diselimuti kabut. Gunung itu oleh sementara orang suka dikeramatkan, berada di wilayah Karatuan Talaga.
Seperti sudah diketahui, wilayah Karatuan Talaga yang dulunya masuk wilayah Pajajaran, sejak tahun 1530 Masehi telah bergabung kepada Carbon. Untuk memantapkan pembinaan agar keamanan tetap terjamin, kontrol dari pusat setiap waktu tertentu selalu dilakukan. Jadi tak ada hal yang aneh bila kini Pangeran Arya Damar mengirimkan pasukan kecil ke wilayah itu. Dan Pangeran Suwarga pun sebagai pucuk pimpinan militer tertinggi, tidak ada alasan untuk menolaknya.
Tapi malam hari sebelum berangkat, Purbajaya tak bisa tidur. Akhir-akhir ini memang banyak pikiran bergayut di benaknya. Purbajaya merasa bingung akan hidupnya, mengapa jadi begini? Selama tinggal bersama Paman Jayaratu, Purbajaya tak pernah punya persoalan hidup. Namun kini sesudah bergabung dengan Pangeran Arya Damar, masalah jadi bermunculan.
Pertama memasuki puri, Purbajaya sudah dikejutkan oleh kenyataan bahwa dirinya bukan orang Carbon. Dia dipungut dari sebuah kemelut pertempuran di wilayah Pajajaran, sesudah itu diurus sebagai anak pungut oleh Carbon. Karena kedudukan seperti inilah maka usaha pengabdian-pengabdian pemuda itu terhadap negara lebih menyerupai sebagai utang-budi. Orang lain tak menganggap pengabdian pemuda itu sebagai rasa cinta, melainkan sebagai budi yang harus dibalas. Ini yang membuat dirinya merasa tak enak dan merasa kedudukannya berbeda dengan yang lain.
Yang lebih sedih dari itu, orang mudah curiga ke padanya. Seperti kejadian kemarin dulu ketika dia tak setuju ada semacam penyerbuan kepada orang-orang Pajajaran, maka semua orang mudah menudingnya sebagai pengkhianat berkepala dua. Penyakit rendah diri melanda hatinya karena kedudukannya ini.
Dalam hal bercinta, perasaan ini pun terasa amat mengganggunya. Dia begitu rendah diri bila berhadapan dengan Nyimas Waningyun. Benar, sesekali bisa bercanda. Tapi bila ingat akan kedudukannya, kembali hatinya tersiksa. Nyimas Waningyun adalah keluarga bangsawan sedangkan dirinya hanya prajurit dari keluarga yang tak diketahui asal-usulnya. Kalau pun pernah disebutkan sebagai keluarga bangsawan, hanyalah bangsawan Pajajaran yang sulit dilacak kebenarannya.
Bersaing dengan kalangan bangsawan Carbon mustahil bisa menang. Itulah sebabnya, walau pun Raden Ranggasena merupakan pemuda bengal, angkuh dan sombong tapi Purbajaya tak akan sanggup berebut simpati. Di saat terjadi pertalian jodoh sesama keluarga bangsawan, Purbajaya tak bisa apa. Padahal Purbajaya amat mendambakan hidup bersama Nyimas Waningyun. Ini mungkin mimpi.
“Harapan semakin jauh… ” keluhnya.
Purbajaya segera duduk dari tidur telentangnya. Dia bahkan keluar dari kamarnya dan pergi berjalan-jalan menyusuri kompleks ksatriaan (asrama prajurit). Pemuda itu melangkah pelan di atas jalan berbalay yang nampak lengang dan sepi. Ada rembulan melayang di atas awan. Sesekali cahayanya redup lantaran sang awan terlalu tebal, namun sesekali cahayanya bersinar terang membuat alam sekeliling menjadi benderang. Namun, baik ketika dalam keadaan terang, mau pun redup, semuanya tidak mengubah hati Purbajaya yang sedang gulana.
Purbajaya terus berjalan dan tak terasa langkahnya menuju luar kompleks. Sebetulnya di pintu depan ada dua orang penjaga. Namun entah mengapa, Purbajaya lolos dari perhatian mereka. Barangkali langkah Purbajaya terlalu halus, atau bisa juga lantaran dua penjaga itu terkantuk-kantuk dalam tugas jaganya. Ini sudah larut malam dan udara pun terasa dingin. Sepi dan dingin akan membuat orang mudah terbuai kantuk, tidak juga yang tengah bertugas.
Sekarang Purbajaya lewat ke benteng kaputren. Hatinya langsung ingat Nyimas Waningyun. Sedang apa Nyimas di tengah sepinya malam ini? Purbajaya merunduk. Mungkin hanya sementara saja gadis itu tinggal dalam sepi. Tokh tak berapa lama lagi dia akan segera punya pengayom, punya pelindung dan tak akan merasakan arti sepi.
“Duh, Nyimas… Mengapa bukan aku yang jadi pelindungmu?” keluhnya seorang diri.
Esok subuhnya, Purbajaya sudah akan berangkat bersama pasukan. Entah kapan akan kembali. Kalau nasib buruk, barangkali juga akan mati dan tak kembali. Kalau begitu, maka putuslah harapannya bertemu Nyimas Waningyun. Padahal ingin sekali, di saat-saat akhir gadis itu berumah-tangga, dia ingin menatapnya dengan lama.
“Duh, Nyimas… betapa pilu hatiku. Engkau menggodaku dan engkau membuatku nestapa… ” keluhnya berkali-kali.
Kerinduan begitu menerpa dirinya. Itulah sebabnya, di saat punya kesempatan, dengan nekadnya dia menyelundup masuk kaputren. Memang mustahil bisa bertemu Nyimas Waningyun sebab suasana masih malam. Namun paling tidak, dia bisa menatap bangku kecil di bawah pohon taman yang biasa diduduki gadis ayu itu.
Purbajaya mendekati tempat itu. Purbajaya menatap ke arah bangku kecil sebab di sana terlihat ada Nyimas Waningyun tengah merenung. Mula-mula Purbajaya terkejut setengah mati, namun belakangan bibirnya tersenyum tipis.
Purbajaya merasa, karena dirinya telah begitu tergila-gila dan selalu membayangkan tubuh Nyimas Waningyun, maka ke mana pun dia memandang, yang nampak selalu saja gadis itu. Demikian pun malam itu. Ada bayangan gadis itu. Ya, Nyimas Waningyun duduk merenung di bangku kecil. Kepalanya tertunduk lesu menatap kolam ikan hias.
Purbajaya sadar, ini hanya tipuan mata. Namun demikian, pemuda itu tetap gembira. Biarlah, tidak dengan orangnya, dengan bayangannya pun sudah terpuaskan, demikian bisik hatinya. Tipuan-tipuan pandang sudah jadi miliknya sudah biasa menghibur dirinya.
Purbajaya tersenyum dalam kebahagiaan semu. Sekarang ada bayangan gadis itu. Maka matanya tak boleh dikecapkan, takut bayangan manis itu segera hilang. Tapi Purbajaya tak kuat matanya terus melotot. Dengan jengkelnya dia terpaksa berkedip. Hanya aneh sekali, bayangan itu tak mau hilang.
Bulan kembali memisahkan diri dari himpitan awan dan kini cahayanya cemerlang menerangi alam sekeliling. Purbajaya terpana, nyatanya bayangan Nyimas Waningyun tak mau hilang dari pandangannya.
Purbajaya semakin terpana sebab tubuh indah itu semakin nampak nyata. Sekarang rambut ikal gadis itu malah terlihat tergerai dan berombak terkena tiupan angin malam. Hidung kecil mancung gadis itu nampak nyata ketika dia menoleh ke pinggir.
“Terima kasih sang rembulan membuat hatiku amat bahagia… ” kata Purbajaya tiba-tiba. Tapi Purbajaya jadi terkejut sebab tubuh gemulai itu cepat berdiri dan membalik menghadap ke arahnya.
“Purbajaya!” terdengar pekik merdu dari arah sana.
“Nyimas… ” bisik Purbajaya dengan suara bergetar.
Mula-mula dia berdiri mematung. Tubuh Purbajaya tak mau bergerak. Takut ini masih berupa tipuan. Tapi ketika langkah gadis itu bergerak menuju ke padanya, Purbajaya pun mulai berani melangkah. Dan akhirnya, baik Purbajaya mau pun gadis itu, sama-sama berlari saling mendekat. Sampai pada suatu saat tubuh mereka bertubrukan, berpelukan dan sulit dipisahkan.
“Purbajaya… “
“Nyimas… Ah, Nyimas !”
Lama mereka berpelukan dalam diam. Rembulan pun untuk sementara seperti malu menampakkan diri dan sembunyi di balik awan. Lain lagi dengan sepasang muda-mudi itu. Kalau bulan merasa malu dan sembunyi di balik awan, maka remangnya cuaca malah dijadikannya sebagai kesempatan untuk saling melepas rindu. Tubuh dua orang itu saling merapat seperti tak ingin dilepas lagi. Beberapa kali mereka saling pandang dan beberapa kali pula mereka saling dekap.
“Purbajaya… “
“Nyimas…”
Mereka saling berdekapan lagi untuk beberapa lama.
“Nyimas… benarkah engkau ini ada di hadapanku” bisik Purbajaya dengan suara bergetar.
“Aku malah yang bertanya, benar-benarkah engkau yang berdiri di hadapanku?” Nyimas Waningyun balik bertanya.
Tak sadar Purbajaya menarik tangan gadis itu. Mula-mula dipegangnya halus, lama-lama diremasnya dengan cukup keras sehingga Nyimas Waningyun meringis kesakitan.
“Aduh, kau sakit, Nyimas? Aku khawatir, kau hanyalah bayangan semu semata,” tutur Purbajaya masih menggenggam tangan gadis itu.
“Ya, Tuhan, engkau benar-benar Nyimasku. Betapa halus jari-jari tanganmu, betapa hangat telapak tanganmu. Nyimas, mengapa engkau malam-malam berada di sini?” Purbajaya nyeroscos bicara sampai napasnya kembang-kempis karena tak putus-putus.
“Aku malah yang harus tanya, mengapa engkau malam-malam berada di sini?” untuk ke sekian kalinya gadis itu malah yang balik bertanya. Dia pun balik meremas tangan Purbajaya
“Maafkan Nyimas. Ini semua karena aku ingat engkau…” bisik Purbajaya sejujurnya.
“Aku pun lama menyepi dalam dingin ini karena ingat engkau…” jawab gadis itu pun dengan berani.
Dua pasang mata saling berpandangan, pegangan tangan masing-masing pun semakin kuat. Dan tak bisa dibendung, keduanya pun akhirnya larut dalam peluk. Kuat, tak habis-habisnya.
Rembulan masih sembunyi.
“Aku menerima khabar, sebentar subuh engkau sudah akan berangkat tugas,” bisik gadis itu sambil pipinya bersandar di dada Purbajaya yang bidang.
“Aku datang ke sini memang mau pamit. Entah kapan bisa kembali,” kata Purbajaya setengah mengeluh.
“Wilayah Karatuan Talaga tak begitu jauh. Sebentar kemudian kau pasti kembali. Yang terpenting dari kesemuanya, kau musti ingat aku,” kata gadis itu manja menyandarkan pipinya di dada yang bidang.
“Aku butuh doamu dan aku pun butuh cintamu.” bisik Purbajaya. Tanpa ragu-ragu dikecupnya kening gadis itu.
“Akan aku berikan cintaku sepenuhnya padamu…” bisik Nyimas Waningyun lirih. Tangannya semakin erat memeluk dan melingkar di punggung Purbajaya. Suara desah napas memburu dari gadis itu. Kemudian terdengar pula keluh-keluh lirih dan sedikit merintih.
Purbajaya tersentak ketika merasakan hal ini. Dengan serta-merta dia melepaskan rangkulan gadis itu. Purbajaya mencoba menjauh dan memberi jarak terhadap gadis itu. Kini mereka hanya saling berpeganagan tangan saja. Untuk sementara Nyimas Waningyun kecewa, mengapa Purbajaya melepaskan kesempatan ini. Dia menatap nanar kepada pemuda pujaannya.
“Jangan berbuat itu, Nyimas… ” kata Purbajaya namun sambil mengelus pergelangan tangan gadis itu.
“Purba, bukankah engkau cinta padaku? Percayalah, aku pun cinta engkau,” kata Nyimas Waningyun, masih heran dengan sikap Purbajaya.
Purbajaya menggelengkan kepala beberapa kali.
“Tak cintakah engkau ke padaku?”
“Bukan begitu, Nyimas. Kalau ada orang yang menyuruhku mati demi cintaku padamu, maka akan kulakukan. Tapi menjamah kesucianmu, itu soal lain. Jangan anggap cintaku hanya sebatas berahi, Nyimas… ” Purbajaya berkata sungguh-sungguh.
Nampak ada garis-garis kecewa di wajah gadis itu.
“Sungguh, Nyimas, aku cinta padamu…” bisik Purbajaya sambil kembali meremas jari-jemari gadis itu.
“Tapi kesempatanmu hanya itu, Purba…” gumam gadis itu sambil menunduk lesu.
Purbajaya menghela napas panjang. Dia mengerti maksud gadis itu.
“Aku telah dijodohkan kepada Ranggasena…” keluh Nyimas Waningyun.
“Ya… aku pun tahu.”
“Tapi aku tak suka dia. Ranggasena sifatnya kekanak-kanakan. Tolonglah Purba, aku tak berdaya menepisnya…” kembali Nyimas Waningyun mengeluh. Kini bahkan ada lelehan air mata di pipinya.
“Tidakkah kau mencoba menolaknya?” tanya Purbajaya.
Nyimas Waningyun menghela napas. Kini kedua orang muda itu duduk berdampingan di bangku kecil sambil mengawasi ikan-ikan berenang di kolam. Ada satu ikan dikejar-kejar sesamanya, namun ada juga ikan yang kesepian sendiri di sudut kolam.
“Ini bukan sekadar perjodohan. Kami musti bersatu karena orangtua kami menginginkan persatuan di antara mereka.
“Ya, aku pun tahu, ini hanyalah kepentingan para orangtua kalian…” kata Purbajaya lagi.
“Itu pun tidak persis begitu, sebab keluarga kami sebetulnya tidak pernah bersahabat. Setiap saat kerjanya hanya saling curiga-mencurigai,” kata Nyimas Waningyun.
“Jadi, untuk apa perjodohan ini?”
“Mereka harus bersatu demi kepentingan politik negri ini,” jawab gadis itu.
Purbajaya terpekur. Ini adalah berita yang ke sekian kalinya. Kali ini datang dari mulut Nyimas Waningyun. Demi kepentingan politik, perasaan orang dikorbankan.
“Maukah Nyimas menungguku?” tanya Purbajaya tiba-tiba.
“Menunggu apa?”
“Aku akan berusaha memperjuangkan nasib kita.”
Nyimas Waningyun hanya menatap lemah, sepertinya dia sangsi akan ucapan Purbajaya.
“Engkau ingin memberikan kesucianmu karena cintamu padaku. Maka tekadku pasti, ingin memperjuangkan nasib kita,” kata Purbajaya bersemangat.
Tak ada anggukan pasti dari gadis itu, kecuali menjatuhkan kepalanya lagi pada dada Purbajaya. Sepertinya gadis itu tetap merasa hanya ini peluang bagi mereka berdua. Kini malah terdengar suara gadis itu menangis sesenggukan.
**** 008 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment