INILAH kenyataan aneh. Yang namanya sakit itu sebenarnya bukan di badan tapi di hati. Dengan perkataan lain, sesuatu yang bernama perasaan itu sebenarnya ada di hati bukan di tempat lain. Tubuh Purbajaya sebenarnya lebam-lebam karena hujan pukulan. Namun karena hatinya tengah berbunga-bunga, tak ada rasa sakit sebab yang muncul adalah kebahagiaan. Sampai jauh malam kerjanya hanya mengelus-elus kain satin yang warna kuningnya terpoles darah kering bekas luka di tubuhnya. Dengan kain halus itu, serasa Nyimas Waningyun selalu dekat dengannya.
Hati pemuda itu terus bernyanyi melantunkan lagu cinta. Sudah tak diragukan lagi, gadis itu pasti mencintainya. Kalau tak begitu, mengapa dia begitu baik padanya, begitu penuh perhatian padanya. Memang gadis itu beberapa kali berteriak marah padanya. Tapi Purbajaya tahu, itu adalah kemarahan karena rasa kasih sayang.
“Oh dewiku, bagaimana caranya agar aku pun bisa menyampaikan perasaanku yang sebenarnya?” kata hatinya.
Purbajaya akhirnya tertidur dengan sesungging senyum di sudut bibirnya kendati dalam selintas ada juga perasan khawatir dan tak enak. Kejadian tadi sore di samping amat membahagiakan hatinya, juga telah membuat rasa sakit orang lain. Tak syak lagi, kejadian tadi sore akan semakin menyulut permusuhan di hati pemuda bernama Ranggasena itu.
PURBAJAYA hanya punya waktu sore hari. Pagi hari dia berlatih perang-perangan bersama para prajurit dan perwira, sedangkan siang hari menerima pendidikan teori kemiliteran dan taktik peperangan. Itulah sebabnya, pada sore itu, dia kembali ke luar Puri Arya Damar. Dia akan melakukan perjalanan menuju Puri Suwarga. Tempatnya agak sedikit jauh tapi masih ada di lingkungan benteng Keraton Pakungwati.
Pemuda itu tetap penasaran untuk berkunjung dan bertemu dengan Pangeran Suwarga. Dia tetap merasa tertarik akan pendapat dan gagasan pangeran itu tentang filsafat dan arti peperangan. Pemuda itu perlu mengenal lebih jauh sebab baginya peperangan tak bisa diartikan sebagai membunuh atau dibunuh. Bukankah kata Pangeran Suwarga sendiri bahwa kemenangan yang paling bagus adalah menundukkan musuh dan bukan menghancurkannya? Ini yang ingin Purbajaya pelajari dan pahami.
Dia punya misi penting ke Pajajaran. Dan rasanya misi ini bukanlah sebuah perjuangan untuk menghancurkan, melainkan untuk menundukkan dan pada akhirnya menjadikannya sebagai kawan, tak ubahnya seperti perjuangan Carbon dalam menundukkan Karatuan Talaga, Karatuan Raja Galuh, dan sebagainya. Dulu mereka menjadi musuh dan berada di pihak Pajajaran, namun kini semuanya sudah berada di lingkungan kerajaan Islam bernama Carbon.
Purbajaya berkeinginan, misi Nagri Carbon tak pernah berubah. Dan menurut pengamatannya, jalan pikiran Pangeran Suwarga masih sesuai dengan prinsip-prinsip yang dipunyai nagri ini. Atau… Purbajaya merandek. Tidakkah apa yang jadi buah pikiran Pangeran Suwarga sebenarnya merupakan sesuatu yang didambakan hatinya? Dan bagaimana pula yang sebenarnya tengah diingini nagri ini dalam upaya mempertahankan keberadaannya? Apakah jalan pikiran yang dimiliki Pangeran Arya Damar pun mewakili keinginan Nagri Carbon?
Pemuda itu puyeng sendiri memikirkannya. Di Carbon ada banyak pejabat. Semua mengaku berjuang ingin mempertahankan kebesaran negri ini tapi dengan banyak pendapat dan jalan pikiran berbeda. Pantas saja Paman Jayaratu pernah berkata musti hati-hati masuk istana. Mungkin salah satu bahaya tinggal di istana adalah bila terumbang-ambing banyak pengaruh dan pendapat.
Purbajaya hanya merasa tertarik akan jalan pikiran Pangeran Suwarga. Tapi apakah pendapat pejabat ini yang terbaik, entahlah. Itulah sebabnya, untuk lebih meyakinkan perasaannya, Purbajaya ingin berkunjung ke Puri Suwarga. Dia ingin bertemu, bertanya, dan kalau mungkin berdiskusi.
Namun untuk masuk ke puri tak semudah berjalan-jalan di kolam Petratean. Mungkin Purbajaya dikenal baik di Puri Arya Damar, tapi tidak di Puri Suwarga. Buktinya, begitu dia tiba di gerbang puri sudah dihadang dua orang penjaga.
“Mau ke mana?”
“Mau menghadap Gusti Pangeran,”
“Engkau dipanggil?”
“Tidak.”
“Jadi, mau apa datang ke sini?”
“Ah, sekadar ingin bertemu saja,” jawab Purbajaya.
“Tidak semudah itu bertemu Gusti Pangeran, apalagi bagi orang sembarangan. Engkau siapa dan datang dari mana?”
“Nama saya Purbajaya, datang dari Puri Arya Damar,” jawab pemuda itu.
Tapi demi mendengar Arya Damar, kedua orang penjaga itu mengerutkan dahi.
“Ada apa?” tanya Purbajaya bingung.
“Tidak apa-apa. Tapi tadi sudah kami katakan, tak sembarangan orang bisa menemui Gusti Pangeran,” tutur penjaga lagi.
Purbajaya kecewa dengan sikap penjaga ini. Tapi barangkali sudah begitu peraturannya, bahwa orang sembarangan yang tak dikenal asal-usulnya tak begitu saja bisa bertemu dengan kaum bangsawan. Pemuda itu hendak undur diri ketika secara tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
“Tangkap bedebah itu!” teriak seseorang.
Purbajaya menoleh ke belakang. Ternyata yang berteriak adalah pemuda Ranggasena. Dia mengerutkan dahi, mengapa pemuda itu tiba-tiba ada di sini?
“Tangkap orang itu, dia pengacau!” teriak Ranggasena gemas.
Kedua orang penjaga nampak begitu takut dan mentaati keinginan pemuda itu. Keduanya menghambur ke depan dan bertindak mengepung Purbajaya.
“Bunuh dia! Bunuh dia!” teriak Ranggasena.
Tapi kedua orang penjaga hanya bersikap mengepung saja. Barangkali mereka berpikir tak perlu sampai membunuh Purbajaya untuk hal yang belum jelas persoalannya. Tapi Ranggasena tetap memerintahkan. Dan karena kedua orang penjaga itu masih berdiam diri, pemuda bengal itu membentak-bentak seraya mendorong-dorong tubuh penjaga.
Hal ini membuat Purbajaya gemas. Di hadapan Nyimas Waningyun pemuda ini berdiam diri karena takut tindakannya tak disukai gadis itu. Tapi di sini tak ada yang patut disegani. Purbajaya ingat kemarin dulu wajahnya lebam karena mandah saja dikerjai teman-teman Ranggasena. Sekarang pemuda bengal itu harus menebus kekeliruan berlaku bengal. Maka dengan gerakan cepat, Purbajaya menghambur ke arah Ranggasena, melewati dua penjaga yang ternganga heran. Hanya dalam satu gerakan saja telapak tangan Purbajaya sudah berhasil mengemplang ubun-ubun Ranggasena. Tidak terlalu keras tapi membuat tubuh pemuda itu berputar-putar beberapa kali. Ranggasena jatuh berdebuk, duduk tercenung seperti merasa-rasakan kemplangan di ubun-bunnya.
Hati pemuda itu terus bernyanyi melantunkan lagu cinta. Sudah tak diragukan lagi, gadis itu pasti mencintainya. Kalau tak begitu, mengapa dia begitu baik padanya, begitu penuh perhatian padanya. Memang gadis itu beberapa kali berteriak marah padanya. Tapi Purbajaya tahu, itu adalah kemarahan karena rasa kasih sayang.
“Oh dewiku, bagaimana caranya agar aku pun bisa menyampaikan perasaanku yang sebenarnya?” kata hatinya.
Purbajaya akhirnya tertidur dengan sesungging senyum di sudut bibirnya kendati dalam selintas ada juga perasan khawatir dan tak enak. Kejadian tadi sore di samping amat membahagiakan hatinya, juga telah membuat rasa sakit orang lain. Tak syak lagi, kejadian tadi sore akan semakin menyulut permusuhan di hati pemuda bernama Ranggasena itu.
PURBAJAYA hanya punya waktu sore hari. Pagi hari dia berlatih perang-perangan bersama para prajurit dan perwira, sedangkan siang hari menerima pendidikan teori kemiliteran dan taktik peperangan. Itulah sebabnya, pada sore itu, dia kembali ke luar Puri Arya Damar. Dia akan melakukan perjalanan menuju Puri Suwarga. Tempatnya agak sedikit jauh tapi masih ada di lingkungan benteng Keraton Pakungwati.
Pemuda itu tetap penasaran untuk berkunjung dan bertemu dengan Pangeran Suwarga. Dia tetap merasa tertarik akan pendapat dan gagasan pangeran itu tentang filsafat dan arti peperangan. Pemuda itu perlu mengenal lebih jauh sebab baginya peperangan tak bisa diartikan sebagai membunuh atau dibunuh. Bukankah kata Pangeran Suwarga sendiri bahwa kemenangan yang paling bagus adalah menundukkan musuh dan bukan menghancurkannya? Ini yang ingin Purbajaya pelajari dan pahami.
Dia punya misi penting ke Pajajaran. Dan rasanya misi ini bukanlah sebuah perjuangan untuk menghancurkan, melainkan untuk menundukkan dan pada akhirnya menjadikannya sebagai kawan, tak ubahnya seperti perjuangan Carbon dalam menundukkan Karatuan Talaga, Karatuan Raja Galuh, dan sebagainya. Dulu mereka menjadi musuh dan berada di pihak Pajajaran, namun kini semuanya sudah berada di lingkungan kerajaan Islam bernama Carbon.
Purbajaya berkeinginan, misi Nagri Carbon tak pernah berubah. Dan menurut pengamatannya, jalan pikiran Pangeran Suwarga masih sesuai dengan prinsip-prinsip yang dipunyai nagri ini. Atau… Purbajaya merandek. Tidakkah apa yang jadi buah pikiran Pangeran Suwarga sebenarnya merupakan sesuatu yang didambakan hatinya? Dan bagaimana pula yang sebenarnya tengah diingini nagri ini dalam upaya mempertahankan keberadaannya? Apakah jalan pikiran yang dimiliki Pangeran Arya Damar pun mewakili keinginan Nagri Carbon?
Pemuda itu puyeng sendiri memikirkannya. Di Carbon ada banyak pejabat. Semua mengaku berjuang ingin mempertahankan kebesaran negri ini tapi dengan banyak pendapat dan jalan pikiran berbeda. Pantas saja Paman Jayaratu pernah berkata musti hati-hati masuk istana. Mungkin salah satu bahaya tinggal di istana adalah bila terumbang-ambing banyak pengaruh dan pendapat.
Purbajaya hanya merasa tertarik akan jalan pikiran Pangeran Suwarga. Tapi apakah pendapat pejabat ini yang terbaik, entahlah. Itulah sebabnya, untuk lebih meyakinkan perasaannya, Purbajaya ingin berkunjung ke Puri Suwarga. Dia ingin bertemu, bertanya, dan kalau mungkin berdiskusi.
Namun untuk masuk ke puri tak semudah berjalan-jalan di kolam Petratean. Mungkin Purbajaya dikenal baik di Puri Arya Damar, tapi tidak di Puri Suwarga. Buktinya, begitu dia tiba di gerbang puri sudah dihadang dua orang penjaga.
“Mau ke mana?”
“Mau menghadap Gusti Pangeran,”
“Engkau dipanggil?”
“Tidak.”
“Jadi, mau apa datang ke sini?”
“Ah, sekadar ingin bertemu saja,” jawab Purbajaya.
“Tidak semudah itu bertemu Gusti Pangeran, apalagi bagi orang sembarangan. Engkau siapa dan datang dari mana?”
“Nama saya Purbajaya, datang dari Puri Arya Damar,” jawab pemuda itu.
Tapi demi mendengar Arya Damar, kedua orang penjaga itu mengerutkan dahi.
“Ada apa?” tanya Purbajaya bingung.
“Tidak apa-apa. Tapi tadi sudah kami katakan, tak sembarangan orang bisa menemui Gusti Pangeran,” tutur penjaga lagi.
Purbajaya kecewa dengan sikap penjaga ini. Tapi barangkali sudah begitu peraturannya, bahwa orang sembarangan yang tak dikenal asal-usulnya tak begitu saja bisa bertemu dengan kaum bangsawan. Pemuda itu hendak undur diri ketika secara tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
“Tangkap bedebah itu!” teriak seseorang.
Purbajaya menoleh ke belakang. Ternyata yang berteriak adalah pemuda Ranggasena. Dia mengerutkan dahi, mengapa pemuda itu tiba-tiba ada di sini?
“Tangkap orang itu, dia pengacau!” teriak Ranggasena gemas.
Kedua orang penjaga nampak begitu takut dan mentaati keinginan pemuda itu. Keduanya menghambur ke depan dan bertindak mengepung Purbajaya.
“Bunuh dia! Bunuh dia!” teriak Ranggasena.
Tapi kedua orang penjaga hanya bersikap mengepung saja. Barangkali mereka berpikir tak perlu sampai membunuh Purbajaya untuk hal yang belum jelas persoalannya. Tapi Ranggasena tetap memerintahkan. Dan karena kedua orang penjaga itu masih berdiam diri, pemuda bengal itu membentak-bentak seraya mendorong-dorong tubuh penjaga.
Hal ini membuat Purbajaya gemas. Di hadapan Nyimas Waningyun pemuda ini berdiam diri karena takut tindakannya tak disukai gadis itu. Tapi di sini tak ada yang patut disegani. Purbajaya ingat kemarin dulu wajahnya lebam karena mandah saja dikerjai teman-teman Ranggasena. Sekarang pemuda bengal itu harus menebus kekeliruan berlaku bengal. Maka dengan gerakan cepat, Purbajaya menghambur ke arah Ranggasena, melewati dua penjaga yang ternganga heran. Hanya dalam satu gerakan saja telapak tangan Purbajaya sudah berhasil mengemplang ubun-ubun Ranggasena. Tidak terlalu keras tapi membuat tubuh pemuda itu berputar-putar beberapa kali. Ranggasena jatuh berdebuk, duduk tercenung seperti merasa-rasakan kemplangan di ubun-bunnya.
Namun melihat Purbajaya menyerang Ranggasena, kedua orang penjaga mulai melakukan penyerangan. Yang seorang mengayunkan gobang (pedang), seorang lainnya memutar tombak. Namun serangan mereka terlalu mentah untuk disebut berbahaya. Purbajaya hanya mengelak ke kiri dan kanan, serangan itu sudah bisa dihindari.
“Tolong! Tangkap pembunuh! Tangkap pembunuh!” suara ini keluar dari mulut Ranggasena. Dan tak lama kemudian muncul belasan prajurit serta-merta mengepung Purbajaya dengan ketatnya.
Purbajaya menjadi bingung. Dia datang ke tempat ini tidak untuk membuat keributan. Akhirnya menjadi panik sendiri. Kepungan itu begitu ketat. Beberapa prajurit bahkan melakukan serangan kendati tujuannya tidak untuk membunuh. Namun, Purbajaya harus mati-matian berkelit kesana-kemari kalau tak mau terluka oleh serangan senjata. Kini kepungan semakin rapat, apalagi datang beberapa perwira memiliki kepandaian tinggi.
Purbajaya terus berkelit ke sana-kemari tanpa berani balik menyerang. Dia tak mau menyerang di samping tak punya niat bertempur, juga tak ingin membuat para pengepung semakin beringas. Menghadapi lawan tanpa balik menyerang adalah sebuah pertahanan yang buruk. Kalau tak tepat melakukan gerakan hindar, bisa-bisa rugi sendiri. Tapi karena di hatinya tak punya niat membuat keributan, pemuda itu tetap memilih jalan diam, artinya tak berupaya melakukan serangan balik.
“Aku menyerah!” teriak Purbajaya tiba-tiba. Dia mengacungkan tangan ketika ujung-ujung senjata diarahkan pada tubuhnya.
“Bunuh dia! Bunuh dia!” teriak Ranggasena parau karena masih merasa sakit. Tapi tak seorang prajurit pun melakukan titah itu.
Ranggsena serta-merta merebut sebatang padang dari seorang prajurit. Pedang mengkilap itu diayunkannya mengarah ubun-ubun Purbajaya. Pemuda itu segera bersiap untuk menghindar. Namun sebelum batang pedang mengenai ubun-ubunnya, sebatang tombak melayang lewat di bawahnya. Pedang terlontar lepas ke udara sedangkan batang tombak terus meluncur lurus dan menancap dalam di batang pohon. Purbajaya terkagum-kagum kepada si pelontar tombak. Pelempar itu pertanda orang pandai dan bertenaga besar.
“Tak perlu dibunuh. Orang itu sudah menyerah, Raden,” tutur seseorang yang barusan melempar tombak. Purbajaya menatapnya. Ternyata dia adalah seorang perwira tua.
“Tapi dia penjahat! Dia pembunuh,” teriak Ranggasena.
“Siapa yang dibunuh, Raden?” tanya perwira itu sabar. Ranggasena tak bisa menjawabnya segera.
“Tidakkah Paman lihat, bedebah itu hendak membunuhku? Coba tanyakan kepada dua orang prajurit itu. Si bedebah itu mau bunuh aku? Benar, kan? Benar, kan?” tanya Ranggasena memaksa. Kedua orang prajurit itu tak bisa apa-apa kecuali mengangguk karena dipelototi pemuda bengal itu.
“Tuh, kan! Ayo bunuh dia!” teriak Ranggasena.
“Orang bersalah bisa diadili. Dan untuk itu ada bagiannya,” kata perwira tua itu.
Ranggasena menatap tajam, kurang puas atas pendapat itu. “Baik. Bawalah kepada ayahku,” desisnya tajam.
Purbajaya ditangkap. Tapi berhubung hari sudah malam, dia tak sempat dibawa menghadap pada pejabat yang dianggap berwewenang mengurus perkara ini. Kata Ranggasena, sebaiknya dititipkan dulu di rumah tahanan. Dan di rumah tahanan berjeruji besi inilah balas dendam pemuda itu terbalaskan. Ranggasena memanggil semua teman-temannya. Di antaranya yang kemarin dulu ikut mengeroyok Purbajaya. Untuk kedua kalinya, mereka mengerjai Purbajaya. Tubuh pemuda itu menjadi bulan-bulanan dihajar beberapa orang pemuda.
“Kalian ingat, bukan? Nah, si jelek inilah yang dulu di pesta muludan sok aksi menjadi pahlawan, menyebabkan Nyimas Waningyun jauh dariku,” kata Ranggasena gemas sambil menampar kepala Purbajaya. Beberapa gebukan singgah pula ke punggung pemuda itu.
Tubuh Purbajaya matang-biru tapi dia tak berniat menghindar. Menghindar berarti melawan. Dan hal ini hanya akan semakin mengobarkan kebencian mereka saja.
TIGA hari Purbajaya disekap di kamar tahanan. Selama itu, dia disiksa habis-habisan oleh Ranggasena dan teman-temannya. Baru dilepas setelah ada utusan Pangeran Danuwangsa yang memerintahkan agar tahanan dibawa menghadap. Utusan itu menegur, mengapa ada tahanan lama disekap dan disiksa sampai babak-belur.
“Maafkan saya, Raden Ranggasena yang memasukkan orang ini ke tahanan,” kata penjaga itu.
“Lantas kalian menyiksa tahanan ini?”
“Saya tak menyiksanya.”
“Orang ini babak-belur.”
“Raden Ranggasena dan teman-temannya yang melakukan penyiksaan. Katanya atas perintah ayahandanya, Pangeran Danuwangsa.”
“Itu bohong. Bahkan Pangeran Danuwangsa yang kaget ketika ada yang memberitahu peristiwa itu. Tahanan ini tak terdaftar dan Pangeran pada mulanya tak mengetahui ada tahanan. Sudah, bersihkan tubuh orang ini. Jangan sampai Gusti Pangeran tahu ada tahanan disiksa,” tutur sang utusan.
Purbajaya keluar dari ruang tahanan tapi langsung dibawa ke hadapan Pangeran Danuwangsa. Dengan tubuh sedikit limbung, Purbajaya berlutut dan menyembah. Dia menundukkan muka sehingga belum bisa mengenal pangeran ini lebih saksama. Namun jauh sebelumnya, pemuda ini sudah tahu Pangeran Danuwangsa. Bangsawan ini adalah ayahanda Raden Ranggasena dan menjabat sebagai kepala keamanan istana. Yang dia tak tahu, Pangeran Danuwangsa ternyata adik misan Pangeran Suwarga.
Jadi kalau begitu, Raden Ranggasena pun masih punya pertalian kerabat dengan Pangeran Suwarga. Ini mengherankan Purbajaya, mengapa Raden Ranggasena berperangai bengal, sedangkan Pangeran Suwarga begitu berwibawa dalam kelemah-lembutan? Purbajaya menjadi penasaran, tabiat Ranggasena itu tiruan siapa?
“Anak muda, siapa namamu?” tanya Pangeran Danuwangsa.
“Saya bernama Purbajaya, Gusti…”
“Dari mana engkau datang?”
“Dari Puri Arya Damar,”
“Dari Puri Arya Damar?”
Purbajaya mengangkat muka dan memandang wajah pangeran itu. Pemuda ini tak sadar melakukannya karena dia merasa heran akan suara pangeran itu yang menyuarakan rasa terkejut yang amat sangat.
Dua orang itu saling memandang. Dan Purbajaya kini berkesempatan menatap wajah pejabat ini. Kalau pangeran ini tak berkumis tebal, tentu wajahnya mirip Raden Ranggasena. Yang menandakan bahwa mereka memang anak-beranak juga ketika melihat sorot mata Pangeran Danuwangsa yang bagaikan mata elang. Satu sorot mata yang sama persis dengan Raden Ranggasena.
Purbajaya pernah mendapat pesan dari Paman Jayaratu, hati-hati menghadapi orang yang bermata cekung dengan sorot dalam bagaikan mata elang. Terlebih-lebih yang memiliki hidung melengkung seperti paruh burung ekek. Orang-orang seperti itu selalu punya pikiran yang ganjil dan sulit ditebak. Ingat ini, Purbajaya bingung memikirkannya. Pangeran Danuwangsa memang memiliki sorot mata bagaikan mata elang tapi hidung bengkok malah dimiliki Pangeran Arya Damar. Jadi, kalau memiliki ciri separo-separo seperti ini, bagaimana menilainya?
“Siapa yang menjebloskanmu ke tahanan? Aku lihat, wajahmu juga memar-memar. Aku tak suka tahanan disiksa seperti ini. Santarupa, siapa yang menyiksa anak muda ini?” tanya Pangeran Danuwangsa kepada utusan yang menjemput Purbajaya.
“Saya tak berani mengatakannya,”
“Sepertinya ada yang engkau takuti lagi selain aku, Santa,” gumam Pangeran Danuwangsa.
“Ampun beribu ampun, bukan itu maksud saya,” Santarupa menyembah takzim.
“Kalau begitu, katakan saja.”
“Raden Ranggsenalah yang berbuat, Gusti…”
“Anakku? Beraninya anak itu… Panggil dia!” ujar Pangeran Danuwangsa.
“Saya rasa tak usah diperpanjang, Gusti…” Purbajaya menyembah.
“Tapi aku perlu tahu permasalahannya,” tukas Pangeran Danuwangsa pendek.
Dan Raden Ranggasena akhirnya dipanggil. Pemuda itu ditanyai oleh ayahandanya yang ingin tahu duduk persoalan yang sebenarnya. Selintas tindakan itu benar, Pangeran Danuwangsa ingin tahu “duduk persoalan sebenarnya”. Namun bila diamati lebih seksama ternyata penelusuran tidak adil. Pangeran itu menanyai anaknya tanpa sepatah pun bertanya kebenarannya kepada Purbajaya. Dengan kata lain, Pangeran Danuwangsa hanya membuat kesimpulan dari penjelasan sepihak saja.
Beruntung, Raden Ranggasena berkata jujur. Mungkin merasa takut kepada ayahandanya, atau bisa juga merasa tak ada untungnya berbuat kebohongan. Tapi, kejujuran yang disodorkan Ranggasena ini, ternyata merugikan Purbajaya.
“Saya benci kepada pemuda itu. Dia tak sopan,” ujar Raden Ranggasena.
“Tak sopan bagaimana?” tanya Pangeran Danuwangsa.
“Betapa tak sopannya si dungu ini. Dia berani-beraninya menggoda Nyimas Waningyun. Dengan segala cara dan akal bulusnya si dungu ini telah menempatkan dirinya menjadi orang yang mendapat simpati dan rasa kasihan Nyimas Waningyun dan sebaliknya memfitnah saya sehingga saya dibenci Nyimas. Bukankah ini tindakan yang jahat, Ayahanda?” Mendapat penjelasan serupa ini, Pangeran Danuwangsa mengerutkan dahinya seperti tengah mengingat-ingat sesuatu.
“Bukankah engkau pernah punya masalah dengan pemuda ini pada pesta muludan beberapa tahun lalu?” tanya pangeran itu. Ranggasena mengiyakan. Dan kembali Pangeran Danuwangsa mengerutkan dahi.
“Engkau hanya membuat kesulitan saja, anak tolol,” tegur Pangeran Danuwangsa. Ucapan ini ditujukan kepada anaknya sendiri dan amat mencengangkan Purbajaya.
“Sudah aku katakan, aku tak kerasan berurusan dengan Ki Jayaratu,” tutur Pangeran Danuwangsa.
“Pemuda itu sudah tak punya kaitan lagi dengan Ki Jayaratu. Sekarang dia sudah jadi orangnya Pangeran Arya Damar, Ayahanda,” kata Ranggasena.
“Itu merupakan ketololanmu yang kedua, anak dungu. Dengan menangkap pemuda ini, berarti kau harus berurusan dengan pihak Arya Damar. Dasar anak dungu!” teriak Pangeran Danuwangsa gusar.
Raden Ranggasena nampak takut melihat kemarahan ayahandanya. “Apakah kita bebaskan saja pemuda hina ini sekarang juga, Ayahanda?” tanya Raden Ranggasena kemudian.
“Jangan,” gumam Pangeran Danuwangsa setelah merenung sejenak. “Masukkan lagi anak muda ini ke dalam kamar tahanan, Santa!” sambungnya.
Purbajaya disuruh berdiri dan sepasang tangannya ditelikung ke belakang oleh Santarupa.
“Awas, kau jangan ikut campur perihal tawanan ini!” kata Pangeran Danuwangsa kepada anaknya.
Purbajaya mandah saja dibawa ke kamar tahanan. Selama menuju tempat itu, benaknya berputar-putar mencoba menebak keganjilan tindakan penghuni Puri Danuwangsa ini.
Belakangan baru Purbajaya tahu, bahwa dirinya ditahan dan dijadikan sandera untuk sebuah tuntutan. Isi tuntutan ini amat memukul perasaan pemuda itu. Betapa tidak, sebab pihak Pangeran Danuwangsa menuntut, Purbajaya bisa dibebaskan kalau pihak Pangeran Arya Damar mau berbesan dengan pihak Pangeran Danuwangsa.
Ini jelas memukul ulu hati Purbajaya sebab siapa lagi yang dijodohkan kalau bukan Raden Ranggasena dengan Nyimas Waningyun. Menyedihkan tapi juga menimbulkan hal yang aneh. Paling tidak ini yang dipikirkan Purbajaya. Aneh sekali, mengapa hal ini bisa terjadi. Artinya, mengapa keluarga Danuwangsa mengajak berbesan dengan cara seperti ini? Sepengetahuan Purbajaya, hubungan kedua keluarga bangsawan itu sungguh baik. Dalam setiap pertemuan baik pertemuan resmi di Pakungwati maupun pertemuan-pertemuan secara pribadi, mereka nampak bersahabat.
Sekarang Pangeran Danuwangsa nampak seperti menekan. Purbajaya bisa bebas dari tuduhan asalkan ada pertalian jodoh. Tuduhan kepada Purbajaya cukup berat, yaitu melakukan penyerbuan secara gelap. Mengapa melakukan penyerangan? Maka diciptakanlah berbagai perkiraan. Dan berbagai perkiraan yang dilontarkan ini hanya memberikan pengetahuan baru bagi Purbajaya. Ternyata di kalangan kaum bangsawan Negri Carbon ini terdapat semacam persaingan dalam menempatkan diri sebagai orang atau kelompok yang paling dipercaya oleh Kangjeng Sunan.
Pangeran Arya Damar adalah termasuk bangsawan yang punya kekerabatan erat dengan keluarga Sultan. Dengan demikian, diperkirakan punya pengaruh kuat di Pakungwati. Mudah ditebak, Pangeran Danuwangsa ingin mendekatkan diri kepada orang yang punya pengaruh. Tapi sungguh aneh, mengapa cara pendekatannya dengan melakukan tekanan? Yang paling aneh lagi adalah sikap Pangeran Arya Damar. Mendapatkan tekanan ini, dia bukan melawan melainkan malah mengabulkan pihak Danuwangsa.
Menghadapi kenyataan seperti ini, Purbajaya menjadi bingung dan sedih. Dia tak mau dihukum karena tuduhan melakukan penyerbuan gelap. Tapi dia pun tak mau bebas sambil mengorbankan Nyimas Waningyun.
Berpikir sampai di sini, Purbajaya merasa aneh. Nyimas Waningyun! Mengapa Pangeran Arya Damar mau mengorbankan putrinya sendiri untuk menolong bawahannya, pemuda bernama Purbajaya yang katanya orang keturunan Pajajaran? Berhargakah dirinya? Purbajaya bingung dengan kejadian ini.
“Aku ingin tahu, ada keperluan apa kau keluyuran ke puri itu,” tanya Pangeran Arya Damar ketika Purbajaya sudah kembali ke purinya.
Apa yang harus dia jawab? Semuanya tak enak buat dilaporkan. Puri Suwarga dan Puri Danuwangsa berada dalam satu kompleks. Tak dinyana, maksud hati ingin bertemu Pangeran Suwarga, malah bertemu Raden Ranggasena. Purbajaya dituduh melakukan serangan gelap ke puri Danuwanagsa. Untuk menepiskan tudingan ini tentu harus berterus-terang tentang tujuan sebenarnya. Dan ini jelas tak mungkin sebab Pangeran Arya Damar tak akan suka mendengarnya.
“Saya tak sengaja memasuki puri itu dan di sana terjadi kesalah pahaman dengan Raden Ranggasena,” tutur Purbajaya berbohong.
Pangeran Arya Damar tidak mendesak. Purbajaya tak tahu, apakah Pangeran Arya Damar merasakan atau tidak bahwa dia berbohong? Hanya yang jelas, pangeran itu mengatakan kalau dirinya tak senang kalau orang-orangnya keluyuran ke puri orang lain.
“Tanpa sepengetahuanku, kau tak boleh meninggalkan puri ini,” kata Pangeran Arya Damar bernada perintah.
“Saya patut dihukum. Hanya karena kesemberonoan saya maka Nyimas Waningyun menjadi korban…” Purbajaya berkata penuh sesal. Dia menunduk lesu.
Namun ternyata Pangeran Arya Damar hanya tersenyum tipis. Senyum ini penuh misteri. Ada apa di balik senyum ini?
Ini merupakan kejadian besar buat Purbajaya. Besar dan membuat nestapa. Tapi aneh sekali, peristiwa ini tak diketahui umum. Peristiwa “penyerbuan gelap” yang pernah dilakukan Purbajaya tak jadi perbincangan. Malah yang ramai dibicarakan adalah pertalian jodoh antara Raden Ranggasena dan Nyimas Waningyun.
Berbagai komentar dan pendapat bermunculan. Tapi pendapat paling umum mengatakan bahwa akan ada pengaruh kekuatan baru di Istana Pakungwati. Para pengamat beranggapan, gabungan Pangeran Arya Damar dan Pangeran Danuwangsa adalah sebuah kekuatan baru. Bila begitu, tentu sebelumnya ada sebuah kekuatan lama. Siapakah dia?
Ternyata yang dimaksud kekuatan lama adalah Pangeran Suwarga. Semakin lama Purbajaya mengamati keadaan di lingkungan puri, semakin terasa bahwa memang ada semacam perebutan pengaruh. Pada dasarnya terdapat beberapa pangeran yang menginginkan mendapatkan kepercayaan dari penguasa Pakungwati.
Tahun-tahun belakangan ini sebetulnya Nagri Carbon ada dalam keadaan lemah. Demak sebagai negri pendukung utama Cirebon sebetulnya sudah lama kehilangan kharismanya. Kekuatannya menurun sebab kerapkali diganggu oleh pertikaian di dalam negri yaitu perebutan kekuasaan di antara sesama keluarga istana. Di lain pihak, Kesultanan Banten semakin hari semakin nampak nyata kekuatannya. Wilayah Banten semakin menjadi wilayah perdagangan muslim yang ramai, melebihi Negri Cirebon yang dulu membebaskan diri dari Pajajaran. Banyak yang khawatir, suatu saat kelak, Banten menjadi kekuatan tersendiri dan memisahkan pula dari Cirebon.
Beberapa bangsawan Carbon ada yang tak puas dengan keadaan seperti ini. Maka dengan berbagai cara, mereka ingin menjadikan dirinya sebagai kepercayaan pihak penguasa dan dengan inisiatifnya sendiri ingin berusaha mengembalikan kejayaan kehidupan militer Cirebon sebagai sediakala.
Mereka punya pendapat bahwa kekuatan sebuah negara terletak pada kekuatan militernya. Bila militer kuat, maka negara pun kuat. Itulah sebabnya, beberapa bangsawan Carbon atau Cirebon berusaha ingin mendapatkan kepercayaan dalam memegang kendali militer. Ada pemeo mengatakan, barang siapa menguasai militer, dialah menguasai negara. Jadi tak heran, banyak bangsawan ingin berkecimpung dalam kehidupan kewiraan (militer).
Sekarang, kekuatan prajurit Carbon boleh dikatakan dikuasai oleh tiga orang: Pangeran Suwarga, Pangeran Danuwangsa dan Pangeran Arya Damar. Namun yang dipercaya sebagai pengendali utama dengan jabatan hulu jurit panglima adalah Pangeran Suwarga. Dua orang lainnya bertindak sebagai pembantu. Pangeran Danuwangsa sebagai pengendali keamanan dalam negri dan Pangeran Arya Damar bertindak sebagai pengendali keamanan di luar. Pangeran Arya Damar merupakan perwira tangguh yang sudah banyak makan asam-garam pertempuran.
Puluhan tahun dia berhasil melumpuhkan dan merebut beberapa wilayah utara yang tadinya dikuasai Pajajaran. Bahkan ketika beberapa pelabuhan penting milik Pajajaran direbut Carbon, Pangeran Arya Damar merupakan perwira handal yang banyak jasanya. Dia memiliki peranan penting dalam menyukseskan berbagai penyerbuan. Karena berbagai kesuksesan itu, maka banyak orang menduga bahwa pada akhirnya dialah yang akan menjadi orang yang paling dekat dengan Kangjeng Susuhunan Pakungwati, Sang Susuhunan Jati.
“Tolong! Tangkap pembunuh! Tangkap pembunuh!” suara ini keluar dari mulut Ranggasena. Dan tak lama kemudian muncul belasan prajurit serta-merta mengepung Purbajaya dengan ketatnya.
Purbajaya menjadi bingung. Dia datang ke tempat ini tidak untuk membuat keributan. Akhirnya menjadi panik sendiri. Kepungan itu begitu ketat. Beberapa prajurit bahkan melakukan serangan kendati tujuannya tidak untuk membunuh. Namun, Purbajaya harus mati-matian berkelit kesana-kemari kalau tak mau terluka oleh serangan senjata. Kini kepungan semakin rapat, apalagi datang beberapa perwira memiliki kepandaian tinggi.
Purbajaya terus berkelit ke sana-kemari tanpa berani balik menyerang. Dia tak mau menyerang di samping tak punya niat bertempur, juga tak ingin membuat para pengepung semakin beringas. Menghadapi lawan tanpa balik menyerang adalah sebuah pertahanan yang buruk. Kalau tak tepat melakukan gerakan hindar, bisa-bisa rugi sendiri. Tapi karena di hatinya tak punya niat membuat keributan, pemuda itu tetap memilih jalan diam, artinya tak berupaya melakukan serangan balik.
“Aku menyerah!” teriak Purbajaya tiba-tiba. Dia mengacungkan tangan ketika ujung-ujung senjata diarahkan pada tubuhnya.
“Bunuh dia! Bunuh dia!” teriak Ranggasena parau karena masih merasa sakit. Tapi tak seorang prajurit pun melakukan titah itu.
Ranggsena serta-merta merebut sebatang padang dari seorang prajurit. Pedang mengkilap itu diayunkannya mengarah ubun-ubun Purbajaya. Pemuda itu segera bersiap untuk menghindar. Namun sebelum batang pedang mengenai ubun-ubunnya, sebatang tombak melayang lewat di bawahnya. Pedang terlontar lepas ke udara sedangkan batang tombak terus meluncur lurus dan menancap dalam di batang pohon. Purbajaya terkagum-kagum kepada si pelontar tombak. Pelempar itu pertanda orang pandai dan bertenaga besar.
“Tak perlu dibunuh. Orang itu sudah menyerah, Raden,” tutur seseorang yang barusan melempar tombak. Purbajaya menatapnya. Ternyata dia adalah seorang perwira tua.
“Tapi dia penjahat! Dia pembunuh,” teriak Ranggasena.
“Siapa yang dibunuh, Raden?” tanya perwira itu sabar. Ranggasena tak bisa menjawabnya segera.
“Tidakkah Paman lihat, bedebah itu hendak membunuhku? Coba tanyakan kepada dua orang prajurit itu. Si bedebah itu mau bunuh aku? Benar, kan? Benar, kan?” tanya Ranggasena memaksa. Kedua orang prajurit itu tak bisa apa-apa kecuali mengangguk karena dipelototi pemuda bengal itu.
“Tuh, kan! Ayo bunuh dia!” teriak Ranggasena.
“Orang bersalah bisa diadili. Dan untuk itu ada bagiannya,” kata perwira tua itu.
Ranggasena menatap tajam, kurang puas atas pendapat itu. “Baik. Bawalah kepada ayahku,” desisnya tajam.
Purbajaya ditangkap. Tapi berhubung hari sudah malam, dia tak sempat dibawa menghadap pada pejabat yang dianggap berwewenang mengurus perkara ini. Kata Ranggasena, sebaiknya dititipkan dulu di rumah tahanan. Dan di rumah tahanan berjeruji besi inilah balas dendam pemuda itu terbalaskan. Ranggasena memanggil semua teman-temannya. Di antaranya yang kemarin dulu ikut mengeroyok Purbajaya. Untuk kedua kalinya, mereka mengerjai Purbajaya. Tubuh pemuda itu menjadi bulan-bulanan dihajar beberapa orang pemuda.
“Kalian ingat, bukan? Nah, si jelek inilah yang dulu di pesta muludan sok aksi menjadi pahlawan, menyebabkan Nyimas Waningyun jauh dariku,” kata Ranggasena gemas sambil menampar kepala Purbajaya. Beberapa gebukan singgah pula ke punggung pemuda itu.
Tubuh Purbajaya matang-biru tapi dia tak berniat menghindar. Menghindar berarti melawan. Dan hal ini hanya akan semakin mengobarkan kebencian mereka saja.
TIGA hari Purbajaya disekap di kamar tahanan. Selama itu, dia disiksa habis-habisan oleh Ranggasena dan teman-temannya. Baru dilepas setelah ada utusan Pangeran Danuwangsa yang memerintahkan agar tahanan dibawa menghadap. Utusan itu menegur, mengapa ada tahanan lama disekap dan disiksa sampai babak-belur.
“Maafkan saya, Raden Ranggasena yang memasukkan orang ini ke tahanan,” kata penjaga itu.
“Lantas kalian menyiksa tahanan ini?”
“Saya tak menyiksanya.”
“Orang ini babak-belur.”
“Raden Ranggasena dan teman-temannya yang melakukan penyiksaan. Katanya atas perintah ayahandanya, Pangeran Danuwangsa.”
“Itu bohong. Bahkan Pangeran Danuwangsa yang kaget ketika ada yang memberitahu peristiwa itu. Tahanan ini tak terdaftar dan Pangeran pada mulanya tak mengetahui ada tahanan. Sudah, bersihkan tubuh orang ini. Jangan sampai Gusti Pangeran tahu ada tahanan disiksa,” tutur sang utusan.
Purbajaya keluar dari ruang tahanan tapi langsung dibawa ke hadapan Pangeran Danuwangsa. Dengan tubuh sedikit limbung, Purbajaya berlutut dan menyembah. Dia menundukkan muka sehingga belum bisa mengenal pangeran ini lebih saksama. Namun jauh sebelumnya, pemuda ini sudah tahu Pangeran Danuwangsa. Bangsawan ini adalah ayahanda Raden Ranggasena dan menjabat sebagai kepala keamanan istana. Yang dia tak tahu, Pangeran Danuwangsa ternyata adik misan Pangeran Suwarga.
Jadi kalau begitu, Raden Ranggasena pun masih punya pertalian kerabat dengan Pangeran Suwarga. Ini mengherankan Purbajaya, mengapa Raden Ranggasena berperangai bengal, sedangkan Pangeran Suwarga begitu berwibawa dalam kelemah-lembutan? Purbajaya menjadi penasaran, tabiat Ranggasena itu tiruan siapa?
“Anak muda, siapa namamu?” tanya Pangeran Danuwangsa.
“Saya bernama Purbajaya, Gusti…”
“Dari mana engkau datang?”
“Dari Puri Arya Damar,”
“Dari Puri Arya Damar?”
Purbajaya mengangkat muka dan memandang wajah pangeran itu. Pemuda ini tak sadar melakukannya karena dia merasa heran akan suara pangeran itu yang menyuarakan rasa terkejut yang amat sangat.
Dua orang itu saling memandang. Dan Purbajaya kini berkesempatan menatap wajah pejabat ini. Kalau pangeran ini tak berkumis tebal, tentu wajahnya mirip Raden Ranggasena. Yang menandakan bahwa mereka memang anak-beranak juga ketika melihat sorot mata Pangeran Danuwangsa yang bagaikan mata elang. Satu sorot mata yang sama persis dengan Raden Ranggasena.
Purbajaya pernah mendapat pesan dari Paman Jayaratu, hati-hati menghadapi orang yang bermata cekung dengan sorot dalam bagaikan mata elang. Terlebih-lebih yang memiliki hidung melengkung seperti paruh burung ekek. Orang-orang seperti itu selalu punya pikiran yang ganjil dan sulit ditebak. Ingat ini, Purbajaya bingung memikirkannya. Pangeran Danuwangsa memang memiliki sorot mata bagaikan mata elang tapi hidung bengkok malah dimiliki Pangeran Arya Damar. Jadi, kalau memiliki ciri separo-separo seperti ini, bagaimana menilainya?
“Siapa yang menjebloskanmu ke tahanan? Aku lihat, wajahmu juga memar-memar. Aku tak suka tahanan disiksa seperti ini. Santarupa, siapa yang menyiksa anak muda ini?” tanya Pangeran Danuwangsa kepada utusan yang menjemput Purbajaya.
“Saya tak berani mengatakannya,”
“Sepertinya ada yang engkau takuti lagi selain aku, Santa,” gumam Pangeran Danuwangsa.
“Ampun beribu ampun, bukan itu maksud saya,” Santarupa menyembah takzim.
“Kalau begitu, katakan saja.”
“Raden Ranggsenalah yang berbuat, Gusti…”
“Anakku? Beraninya anak itu… Panggil dia!” ujar Pangeran Danuwangsa.
“Saya rasa tak usah diperpanjang, Gusti…” Purbajaya menyembah.
“Tapi aku perlu tahu permasalahannya,” tukas Pangeran Danuwangsa pendek.
Dan Raden Ranggasena akhirnya dipanggil. Pemuda itu ditanyai oleh ayahandanya yang ingin tahu duduk persoalan yang sebenarnya. Selintas tindakan itu benar, Pangeran Danuwangsa ingin tahu “duduk persoalan sebenarnya”. Namun bila diamati lebih seksama ternyata penelusuran tidak adil. Pangeran itu menanyai anaknya tanpa sepatah pun bertanya kebenarannya kepada Purbajaya. Dengan kata lain, Pangeran Danuwangsa hanya membuat kesimpulan dari penjelasan sepihak saja.
Beruntung, Raden Ranggasena berkata jujur. Mungkin merasa takut kepada ayahandanya, atau bisa juga merasa tak ada untungnya berbuat kebohongan. Tapi, kejujuran yang disodorkan Ranggasena ini, ternyata merugikan Purbajaya.
“Saya benci kepada pemuda itu. Dia tak sopan,” ujar Raden Ranggasena.
“Tak sopan bagaimana?” tanya Pangeran Danuwangsa.
“Betapa tak sopannya si dungu ini. Dia berani-beraninya menggoda Nyimas Waningyun. Dengan segala cara dan akal bulusnya si dungu ini telah menempatkan dirinya menjadi orang yang mendapat simpati dan rasa kasihan Nyimas Waningyun dan sebaliknya memfitnah saya sehingga saya dibenci Nyimas. Bukankah ini tindakan yang jahat, Ayahanda?” Mendapat penjelasan serupa ini, Pangeran Danuwangsa mengerutkan dahinya seperti tengah mengingat-ingat sesuatu.
“Bukankah engkau pernah punya masalah dengan pemuda ini pada pesta muludan beberapa tahun lalu?” tanya pangeran itu. Ranggasena mengiyakan. Dan kembali Pangeran Danuwangsa mengerutkan dahi.
“Engkau hanya membuat kesulitan saja, anak tolol,” tegur Pangeran Danuwangsa. Ucapan ini ditujukan kepada anaknya sendiri dan amat mencengangkan Purbajaya.
“Sudah aku katakan, aku tak kerasan berurusan dengan Ki Jayaratu,” tutur Pangeran Danuwangsa.
“Pemuda itu sudah tak punya kaitan lagi dengan Ki Jayaratu. Sekarang dia sudah jadi orangnya Pangeran Arya Damar, Ayahanda,” kata Ranggasena.
“Itu merupakan ketololanmu yang kedua, anak dungu. Dengan menangkap pemuda ini, berarti kau harus berurusan dengan pihak Arya Damar. Dasar anak dungu!” teriak Pangeran Danuwangsa gusar.
Raden Ranggasena nampak takut melihat kemarahan ayahandanya. “Apakah kita bebaskan saja pemuda hina ini sekarang juga, Ayahanda?” tanya Raden Ranggasena kemudian.
“Jangan,” gumam Pangeran Danuwangsa setelah merenung sejenak. “Masukkan lagi anak muda ini ke dalam kamar tahanan, Santa!” sambungnya.
Purbajaya disuruh berdiri dan sepasang tangannya ditelikung ke belakang oleh Santarupa.
“Awas, kau jangan ikut campur perihal tawanan ini!” kata Pangeran Danuwangsa kepada anaknya.
Purbajaya mandah saja dibawa ke kamar tahanan. Selama menuju tempat itu, benaknya berputar-putar mencoba menebak keganjilan tindakan penghuni Puri Danuwangsa ini.
Belakangan baru Purbajaya tahu, bahwa dirinya ditahan dan dijadikan sandera untuk sebuah tuntutan. Isi tuntutan ini amat memukul perasaan pemuda itu. Betapa tidak, sebab pihak Pangeran Danuwangsa menuntut, Purbajaya bisa dibebaskan kalau pihak Pangeran Arya Damar mau berbesan dengan pihak Pangeran Danuwangsa.
Ini jelas memukul ulu hati Purbajaya sebab siapa lagi yang dijodohkan kalau bukan Raden Ranggasena dengan Nyimas Waningyun. Menyedihkan tapi juga menimbulkan hal yang aneh. Paling tidak ini yang dipikirkan Purbajaya. Aneh sekali, mengapa hal ini bisa terjadi. Artinya, mengapa keluarga Danuwangsa mengajak berbesan dengan cara seperti ini? Sepengetahuan Purbajaya, hubungan kedua keluarga bangsawan itu sungguh baik. Dalam setiap pertemuan baik pertemuan resmi di Pakungwati maupun pertemuan-pertemuan secara pribadi, mereka nampak bersahabat.
Sekarang Pangeran Danuwangsa nampak seperti menekan. Purbajaya bisa bebas dari tuduhan asalkan ada pertalian jodoh. Tuduhan kepada Purbajaya cukup berat, yaitu melakukan penyerbuan secara gelap. Mengapa melakukan penyerangan? Maka diciptakanlah berbagai perkiraan. Dan berbagai perkiraan yang dilontarkan ini hanya memberikan pengetahuan baru bagi Purbajaya. Ternyata di kalangan kaum bangsawan Negri Carbon ini terdapat semacam persaingan dalam menempatkan diri sebagai orang atau kelompok yang paling dipercaya oleh Kangjeng Sunan.
Pangeran Arya Damar adalah termasuk bangsawan yang punya kekerabatan erat dengan keluarga Sultan. Dengan demikian, diperkirakan punya pengaruh kuat di Pakungwati. Mudah ditebak, Pangeran Danuwangsa ingin mendekatkan diri kepada orang yang punya pengaruh. Tapi sungguh aneh, mengapa cara pendekatannya dengan melakukan tekanan? Yang paling aneh lagi adalah sikap Pangeran Arya Damar. Mendapatkan tekanan ini, dia bukan melawan melainkan malah mengabulkan pihak Danuwangsa.
Menghadapi kenyataan seperti ini, Purbajaya menjadi bingung dan sedih. Dia tak mau dihukum karena tuduhan melakukan penyerbuan gelap. Tapi dia pun tak mau bebas sambil mengorbankan Nyimas Waningyun.
Berpikir sampai di sini, Purbajaya merasa aneh. Nyimas Waningyun! Mengapa Pangeran Arya Damar mau mengorbankan putrinya sendiri untuk menolong bawahannya, pemuda bernama Purbajaya yang katanya orang keturunan Pajajaran? Berhargakah dirinya? Purbajaya bingung dengan kejadian ini.
“Aku ingin tahu, ada keperluan apa kau keluyuran ke puri itu,” tanya Pangeran Arya Damar ketika Purbajaya sudah kembali ke purinya.
Apa yang harus dia jawab? Semuanya tak enak buat dilaporkan. Puri Suwarga dan Puri Danuwangsa berada dalam satu kompleks. Tak dinyana, maksud hati ingin bertemu Pangeran Suwarga, malah bertemu Raden Ranggasena. Purbajaya dituduh melakukan serangan gelap ke puri Danuwanagsa. Untuk menepiskan tudingan ini tentu harus berterus-terang tentang tujuan sebenarnya. Dan ini jelas tak mungkin sebab Pangeran Arya Damar tak akan suka mendengarnya.
“Saya tak sengaja memasuki puri itu dan di sana terjadi kesalah pahaman dengan Raden Ranggasena,” tutur Purbajaya berbohong.
Pangeran Arya Damar tidak mendesak. Purbajaya tak tahu, apakah Pangeran Arya Damar merasakan atau tidak bahwa dia berbohong? Hanya yang jelas, pangeran itu mengatakan kalau dirinya tak senang kalau orang-orangnya keluyuran ke puri orang lain.
“Tanpa sepengetahuanku, kau tak boleh meninggalkan puri ini,” kata Pangeran Arya Damar bernada perintah.
“Saya patut dihukum. Hanya karena kesemberonoan saya maka Nyimas Waningyun menjadi korban…” Purbajaya berkata penuh sesal. Dia menunduk lesu.
Namun ternyata Pangeran Arya Damar hanya tersenyum tipis. Senyum ini penuh misteri. Ada apa di balik senyum ini?
Ini merupakan kejadian besar buat Purbajaya. Besar dan membuat nestapa. Tapi aneh sekali, peristiwa ini tak diketahui umum. Peristiwa “penyerbuan gelap” yang pernah dilakukan Purbajaya tak jadi perbincangan. Malah yang ramai dibicarakan adalah pertalian jodoh antara Raden Ranggasena dan Nyimas Waningyun.
Berbagai komentar dan pendapat bermunculan. Tapi pendapat paling umum mengatakan bahwa akan ada pengaruh kekuatan baru di Istana Pakungwati. Para pengamat beranggapan, gabungan Pangeran Arya Damar dan Pangeran Danuwangsa adalah sebuah kekuatan baru. Bila begitu, tentu sebelumnya ada sebuah kekuatan lama. Siapakah dia?
Ternyata yang dimaksud kekuatan lama adalah Pangeran Suwarga. Semakin lama Purbajaya mengamati keadaan di lingkungan puri, semakin terasa bahwa memang ada semacam perebutan pengaruh. Pada dasarnya terdapat beberapa pangeran yang menginginkan mendapatkan kepercayaan dari penguasa Pakungwati.
Tahun-tahun belakangan ini sebetulnya Nagri Carbon ada dalam keadaan lemah. Demak sebagai negri pendukung utama Cirebon sebetulnya sudah lama kehilangan kharismanya. Kekuatannya menurun sebab kerapkali diganggu oleh pertikaian di dalam negri yaitu perebutan kekuasaan di antara sesama keluarga istana. Di lain pihak, Kesultanan Banten semakin hari semakin nampak nyata kekuatannya. Wilayah Banten semakin menjadi wilayah perdagangan muslim yang ramai, melebihi Negri Cirebon yang dulu membebaskan diri dari Pajajaran. Banyak yang khawatir, suatu saat kelak, Banten menjadi kekuatan tersendiri dan memisahkan pula dari Cirebon.
Beberapa bangsawan Carbon ada yang tak puas dengan keadaan seperti ini. Maka dengan berbagai cara, mereka ingin menjadikan dirinya sebagai kepercayaan pihak penguasa dan dengan inisiatifnya sendiri ingin berusaha mengembalikan kejayaan kehidupan militer Cirebon sebagai sediakala.
Mereka punya pendapat bahwa kekuatan sebuah negara terletak pada kekuatan militernya. Bila militer kuat, maka negara pun kuat. Itulah sebabnya, beberapa bangsawan Carbon atau Cirebon berusaha ingin mendapatkan kepercayaan dalam memegang kendali militer. Ada pemeo mengatakan, barang siapa menguasai militer, dialah menguasai negara. Jadi tak heran, banyak bangsawan ingin berkecimpung dalam kehidupan kewiraan (militer).
Sekarang, kekuatan prajurit Carbon boleh dikatakan dikuasai oleh tiga orang: Pangeran Suwarga, Pangeran Danuwangsa dan Pangeran Arya Damar. Namun yang dipercaya sebagai pengendali utama dengan jabatan hulu jurit panglima adalah Pangeran Suwarga. Dua orang lainnya bertindak sebagai pembantu. Pangeran Danuwangsa sebagai pengendali keamanan dalam negri dan Pangeran Arya Damar bertindak sebagai pengendali keamanan di luar. Pangeran Arya Damar merupakan perwira tangguh yang sudah banyak makan asam-garam pertempuran.
Puluhan tahun dia berhasil melumpuhkan dan merebut beberapa wilayah utara yang tadinya dikuasai Pajajaran. Bahkan ketika beberapa pelabuhan penting milik Pajajaran direbut Carbon, Pangeran Arya Damar merupakan perwira handal yang banyak jasanya. Dia memiliki peranan penting dalam menyukseskan berbagai penyerbuan. Karena berbagai kesuksesan itu, maka banyak orang menduga bahwa pada akhirnya dialah yang akan menjadi orang yang paling dekat dengan Kangjeng Susuhunan Pakungwati, Sang Susuhunan Jati.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment