Ads

Sunday, December 19, 2021

Kemelut di Cakrabuana 006

SORE hari yang cerah. Jadi sambil menunggu beduk magrib dari masjid Sang Ciptarasa, Purbajaya berjalan-jalan di kompleks puri. Hatinya tertarik untuk kembali mendatangi kolam melingkar tempat anak-anak bangsawan bersampan bersuka-cita.

Hampir delapan atau sembilan tahun lalu di keramaian sekatenan putra-putri bangsawan bercengkrama di kolam, di atas sampan indah. Namun sore hari itu, suasana kolam sungguh sepi. Tak ada muda-mudi, juga tak ada… Nyimas Waningyun.

Purbajaya berkeluh-kesah dan hatinya sedih sekali. Baru dua kali dia bertemu gadis ayu itu. Satu kali ketika tubuh si cantik itu basah kuyup dan ada dalam pelukannya. Gadis itu penuh perhatian memeriksa tubuhnya yang “disiksa” Ranggasena. Namun dalam pertemuan kedua hampir sebulan lalu, gadis itu marah-marah kepadanya karena Purbajaya dituding pemuda culas dan pembohong.

“Beginilah orang yang berbohong. satu kali berbuat kesalahan selama hidup dibenci orang….” keluhnya. Kalau saja dulu bertindak jujur. Ya, kalau dulu bertindak jujur, akan bagaimana hasilnya?

“Ah, tentu aku tak pernah kenal padanya. Kalau aku tak membuat kekacauan, tak mungkin Nyimas Waningyun mengenalku,” pikirnya lagi. Maka akhir jalan pikirannya bolak-balik menyalahkan dan membenarkan tindakannya waktu itu. “Coba kalau aku tak membocorkan perahu, mungkin tak bakalan menolong gadis itu dari bahaya tenggelam. Mungkin aku tak memangku tubuhnya dan mungkin aku tak berkenalan. Sekarang kan bisa berkenalan walaupun pada akhirnya dicerca habis-habisan,” katanya lagi dalam hatinya.

Mengapa mesti tersinggung melihat Nyimas Waningyun marah? Marahnya gadis itu adalah anugrah baginya. Bayangkan, kendati tengah marah tapi gadis itu tetap cantik. Dalam kemarahannya, gadis itu menampilkan kecantikan khas. Betapa masih terbayang di pelupuk matanya, kaki gadis kecil itu dengan penuh greget menjejak-jejak tanah beberapa kali untuk memperlihatkan rasa jengkel dan marah. Namun dalam pandangan Purbajaya, gerakan itu amat indah dan manis. Ketika gadis itu sedikit mengangkat kaki, kain batiknya sedikit tersingkap sehingga sedikit betis bersinar kuning membuat dada pemuda itu berdebar keras. Lebih dari seminggu adegan itu terus membayang di pelupuk matanya.

Tapi itu sudah berlalu. Hingga kini Purbajaya tak pernah bertemu lagi dengan gadis itu. Kendati hampir setiap hari dia bertemu dengan ayahnya yaitu Pangeran Arya Damar, namun hanya sebatas di paseban saja. Purbajaya tak berani memasuki Kompleks Puri Arya Damar, apalagi melongok ke keputren.

Kolam berair bening itu kini sungguh sepi. Airnya bergerak tenang, kecuali oleh gerakan-gerakan binatang air bila terlihat lewat ke permukaan. Untuk mengusir sepi, pemuda itu mencoba melemparkan sebuah kerikil kecil ke permukaan. Aneh sekali manakala dia melempar, ada dua muncratan air di kiri dan kanannya sepertinya air itu dilempar dua buah kerikil. Tapi siapa lagi yang melempar air selain dirinya? Purbajaya menoleh ke belakang.

“Nyimas….” bisiknya bergetar. Mengapa tak begitu sebab benar penglihatannya, di belakangnya berdiri anggun Nyimas Waningyun. Gadis itu memakai baju kurung kain satin warna biru, sebuah jenis kain halus yang tak mungkin dimiliki gadis biasa sebab harganya sangat mahal dan didatangkan dari Nagri Campa.

Gadis itu tidak menggelungkan rambutnya yang hitam berombak, melainkan sengaja membiarkan rambut itu terurai panjang. Sebagai pencegah agar rambut bagus itu tak awut-awutan kena angin sore, Nyimas Waningyun mengikat kepalanya dengan kain tipis halus warna kuning yang ujung-ujungnya menjurai ke bawah menutupi bagian dadanya. Kain batik trusmi warna gelap sedikit tertutup baju satin hingga ke bagian lutut. Purbajaya mengedipkan matanya beberapa kali, kemudian mengucak-ngucaknya beberapa kali pula.

“Nyimas, mata pemuda itu tampaknya kemasukan debu,” terdengar suara gadis pengiringnya. Setelah itu ada suara cekikikan dari beberapa gadis lainnya. Purbajaya baru sadar, Nyimas Waningyun diantar tiga orang gadis pengiring yang cantik-cantik dan berpakaian bagus.

“Bersihkan matamu di kolam, anak muda,” kata gadis lainnya.

“Saya tak kelilipan,” jawab Purbajaya gagap.

“Habis dari tadi kedap-kedip saja? Atau kau tak senang dengan kehadiran Nyi Mas ke sini?” kata yang lain.

“Sengajakah Nyimas datang ke sini?” tanya Purbajaya menatap gadis itu. Namun kemudian, Purbajaya memalingkan muka sebab tak kuat saling bertatap mata.

“Mengapa mesti sengaja? Tempat ini tak menimbulkan kenangan buat Nyimas,” kata suara lain. Purbajaya menatap ke arah Nyimas Waningyun. Sejak tadi gadis itu hanya menatap.

“Aku memang sengaja datang ke sini karena melihatmu,” gumam gadis itu pada akhirnya. Purbajaya sudah barang tentu terbelalak matanya. Gadis itu datang karena dia?

“Sudah tiga kali aku melihatmu bertandang ke sini. Ada apakah, padahal kolam ini sepi,” gumam gadis itu.

Gadis itu sudah tiga kali memergokinya? Purbajaya celingukan. Kira-kira dari arah mana gadis itu mengintipnya?

“Saya menyukai yang sepi-sepi, Nyimas…” tutur Purbajaya sekenanya.

“Wah, kalau begitu kita harus segera pergi dari tempat ini, Nyimas sebab dengan kehadiran kita, tempat ini jadi tak sepi dan anak muda itu pasti jadi tak menyukainya,” ajak seorang gadis pengiring.

“Hey, jangan!” teriak Purbajaya khawatir benar-benar ditinggalkan.

“Beraninya engkau memerintah Nyimas!” cetus gadis pengiring ketus.

“Bukan begitu. Maksud saya… maksud saya,”

“Maksudnya apa?” potong gadis pengiring dengan bawel.

“Sudahlah jangan terus diganggu,” gumam Nyimas Waningyun halus tapi sedikit tersipu melihat ulah Purbajaya. “aku memang datang mengunjungimu….” tutur Nyimas Waningyun.

“Mengunjungi saya? Untuk Apa?” Purbajaya gagap.

“Untuk minta maaf padamu…”

“Minta maaf…?”

“Ya.”

“Pada saya?”

“Ya.”

“Heran…”

“Mengapa orang minta maaf mesti dibuat heran” tanya Nyimas Waningyun mengerutkan dahinya yang putih mulus.

“Nyimas tak punya dosa. Malah saya yang sebetulnya berdosa padamu,” tutur Purbajaya.

“Tidak. Akulah yang berdosa padamu,” balas gadis itu setengah menunduk.

“Dosa apakah itu?”

“Bulan lalu aku memarahimu, padahal tak sepantasnya aku marah-marah padamu,” gumam gadis itu masih menunduk.

“Engkau pantas memarahi saya. Bukankah saya ini orang culas?” kata Purbajaya. Dari belakang Nyimas Waningyun terdengar suara tawa kecil.

“Mengapa ditertawakan?” Nyimas Waningyun menoleh ke belakang.

“Dia ngaku sendiri orang culas,” tutur suara orang di belakang.

“Engkau tidak culas, Purba, asal saja…”

“Asal saja apa, Nyimas?” tanya Purbajaya tak sabar.

“Asal saja engkau berlaku jujur,”

“Saya akan mencoba berlaku jujur, Nyimas…”

“Dan jangan bengal,”

“Saya akan mencoba tak bengal, Nyimas”

“Jangan sekali-kali mencederai orang lain,”

“Saya tidak akan mencederai orang lain, Nyimas,”

“Nah itu baru anak baik,” tutur suara dari belakang.

“Hus,” Nyimas Waningyun menegur pembantunya. Tapi yang ditegur masih terkekeh-kekeh sambil memandang Purbajaya, sehingga yang dipandang semakin tersipu.

Namun kendati merasa malu dan berdebar, yang jelas hati pemuda itu sepertinya mendapatkan durian runtuh. Ow, jangan samakan Nyimas dengan durian yang berduri runcing itu. Ya, Purbajaya sepertinya mendapatkan siraman air mawar, atau mendapatkan taburan bunga sedap malam, harum, hangat, dan mesra. Hanya saja, kebahagiaan pemuda itu tak berlangsung lama sebab dari arah lain datang serombongan pemuda. Celaka, ada Ranggasena, keluh Purbajaya dengan hati terkejut.

Ranggasena datang dengan langkah tegap dan gagah. Atau lebih pantas lagi disebut menakutkan sebab sepasang matanya melotot, mulutnya mengatup dan giginya terdengar gemelutuk sebagai tanda marah. Ranggasena jalan di muka, diiringkan empat orang pemuda lainnya. Mereka datang menghampiri dan semua mendekati Purbajaya dengan sikap mengancam.

“Kurang ajar! Lagi-lagi engkau ganggu Nyimas. Dasar pemuda cabul, tak tahu malu! Hajar tikus kecil itu!” teriak Ranggsena kepada teman-temannya.

Keempat pemuda itu serentak meloncat dan menyerang Purbajaya dengan membabi-buta. Gerakan-gerakan mereka memang memperlihatkan sebagai orang yang memiliki ilmu berkelahi. Namun dalam pandangan Purbajaya, ilmu mereka rendah saja. Kalau dia mau, dalam satu gerakan, selain bisa meloloskan diri juga sekaligus bisa balas menyerang.

Namun Purbajaya ingat akan janjinya kepada Nyimas untuk tidak mencederai orang lain. Pemuda itu takut sekali kalau dibenci atau dimarahi gadis itu. Dan karena itu, akhirnya dia memilih diam. Maka dalam waktu singkat saja terdengar suara bakbikbuk-bakbikbuk karena tubuh Purbajaya dihujani pukulan dari sana-sini.

“Bagus! Nah begitu! Pukul dia! Pukul dia!” teriak Ranggasena sambil sesekali terdengar kekeh gembira karena semua pukulan teman-temannya tak ada yang lolos.

“Hey, apa-apaan ini! Hentikan! Hentikan!” teriak Nyimas Waningyun yang amat terkejut dengan peristiwa mendadak ini.

“Jangan berhenti! Teruskan, pukul si cabul ini!” teriak lagi Ranggasena. Berkata begitu, dia pun menghambur ke depan dan melayangkan beberapa kali pukulan ke arah wajah Purbajaya.

Purbajaya masih berdiri kokoh namun sudah terlihat lelehan darah dari mulut dan hidungnya. Nyimas Waningyun dan para pengiringnya menjerit-jerit ngeri. Mereka ingin mencegah tapi tak bisa bagaimana harus mencegahnya. Jeritan-jeritan para gadis itu membuat perhatian orang-orang yang akan berangkat sembahyang ke Masjid Sang Ciptarasa. Beberapa orang prajurit bahkan perwira puri tergopoh-gopoh datang menghampiri dan serta-merta menghentikan peristiwa ini.

“Hentikan perkelahian. Apakah kalian tak malu orang lain hendak sembahyang magrib, kalian malah berkelahi?” teriak perwira tua yang datang menengahi.

Yang disebut “perkelahian” ini bisa dihentikan. Kelima pemuda yang mengepung Purbajaya mundur teratur dan nampaknya mereka cukup menyegani perwira tua itu.

“Kami hanya mencoba menghalangi perbuatan pemuda bejat itu. Dengan tak tahu malu, dia menggoda Nyimas. Ini adalah perbuatan yang kedua kalinya, Paman!” tutur Ranggasena mendelik ke arah Purbajaya.

“Betulkah Nyimas, engkau diganggu pemuda itu?” tanya perwira tua itu.

Namun sungguh mencengangkan, sebagai jawabannya tidak dengan kata-kata, melainkan gadis itu menghambur ke arah Purbajaya. Serta-merta Nyimas Waningyun membuka kain satin yang mengikat rambutnya. Kain halus warna kuning itu digunakannya untuk menyeka darah di bibir dan hidung Purbajaya sehingga warna kuning kain kini bercampur noda darah.

“Dasar pemuda bodoh, mengapa tak kau lawan mereka?” teriak gadis itu ketus, namun sambil mengelus luka di wajah Purbajaya.

Kejadian dan adegan ini tentu membuat semua orang tercengang, terutama bagi perwira tua dan pemuda pengeroyok itu. Ranggasena giginya berkerot dan sepasang matanya terbelalak. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah padam melihat adegan mesra ini. Dan tanpa bicara sepatah pun, pemuda itu meloncat pergi meninggalkan tempat itu. Keempat orang temannya pun akhirnya melakukan hal yang sama.

“Cepat kembalilah ke puri, hari hampir menjelang magrib,” kata perwira tua bernada perintah.

“Mengapa kau tadi diam saja, Purba?” tanya Nyimas Waningyun sekali lagi.

“Lho, saya taat keinginanmu. Bukankah saya jangan mencederai orang lain?” jawab Purbajaya lirih.

“Dasar bodoh dan dungu. Dilarang mencederai bukan berarti malah dicederai! Ah, kadang-kadang aku kesal melihat kedunguanmu ini!” kata Nyimas Waningyun cemberut.

Nyimas Waningyun pulang diiringi yang lain. Sementara Purbajaya masih termangu sambil menyusuti darah di hidung dengan kain satin milik gadis itu.

**** 006 ****





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment