Yang membalas tatapan tajam ini adalah Pangeran Arya Damar.
“Mari masuk kembali ke paseban,” gumam Pangeran Arya Damar. Dia jalan di depan, diikuti keempat perwira. Purbajaya jalan paling belakang.
Dan untuk yang kedua kalinya, Purbajaya kembali mendengarkan kisah dirinya yang dibeberkan Pangeran Arya Damar. Bahwa Purbajaya sebenarnya anak seorang kandagalante di wilayah Pajajaran yang “diambil” oleh Carbon di saat terjadi kemelut peperangan antara Carbon dengan Pajajaran.
“Bagaimana mungkin orang Pajajaran disuruh menyerbu negrinya sendiri, Pangeran?” tanya Ki Aliman yang nampak sesekali mengurut dadanya. Rupanya dia masih merasa sakit bekas adu tenaga yang dilakukan tadi dengan Purbajaya.
Ketiga orang perwira pun sama menatap Pangeran Arya Damar seolah membenarkan dan mendukung pertanyaan Ki Aliman. Mendengar pertanyaan ini, Pangeran Arya Damar hanya mengangguk-angguk tenang seolah-olah dia sudah memiliki jawabannya.
“Anak muda ini sejak kecil berada di Carbon, dididik orang Carbon dan sudah mengerti akan tujuan perjuangan negri kita. Maka sedikit sekali kemungkinan pemuda ini membelot ke Pakuan,” kata Pangeran Arya Damar sambil menoleh Purbajaya sepertinya ucapannya sekaligus juga mengingatkan Purbajaya akan hal ini.
“Benarkah ucapan Pangeran, hai anak muda?” tanya Ki Aspahar dengan wajah dingin namun meminta kepastian.
“Kalau Pangeran Arya Damar tak memberitahu saya, maka saya tak tahu kalau saya ini anak Pajajaran,” jawab Purbajaya menunduk.
“Sekarang kan sudah tahu. Jadi, bagaimana sikapmu?” Ki Aspahar mendesak.
“Saya tak tahu siapa orangtua saya. Yang saya kenal hanyalah Paman Jayaratu yang membesarkan dan memberi didikan pada saya,” tutur Purbajaya sejujurnya.
“Engkau tak akan mengkhianati Carbon, anak muda?”
“Bahkan saya ingin membuktikan bahwa saya adalah orang yang tahu membalas budi,” jawab lagi Purbajaya.
Ki Aspahar mengangguk-angguk kendati yang lainnya masih belum memperlihatkan kepuasan.
“Tak usah didesak lagi sebab begitulah kenyataannya. Dia sudah bilang begitu dan aku tanggungjawab,” kata Pangeran Arya Damar memutuskan.
Begitulah, pada akhirnya Purbajaya disetujui para perwira untuk ikut tugas. Tugas apa? Inilah yang Purbajaya tertarik memperhatikannya.
Pangeran Arya Damar berkilah bahwa perjuangan untuk menundukkan Pakuan sungguh berat. Kendati negri yang dipimpin Sang Prabu Ratu Sakti akhir-akhir ini selalu digoncang perpecahan, namun kekuatannya masih sulit dirontokkan. Ini karena Pajajaran memiliki pembantu-pembantu yang kuat.
“Masih banyak yang bersetia kepada negri itu. Jangankan yang tengah mengabdi, sedangkan yang oleh ratunya sudah dianggap pembangkang dan pemberontak pun, masih tetap nerdiri untuk kepentingan negrinya,” kata Pangeran Arya Damar.
“Hebat sekali!” seru Purbajaya membuat terkejut semua orang. Purbajaya tersipu bahkan akhirnya terkejut sendiri dengan pernyataannya ini. Melihat sikapnya tadi, jangan-jangan orang bercuriga bahwa dia bersimpati kepada Pajajaran.
“Bahkan kepada musuh pun kita wajib bercermin. Itu yang diajarkan Paman Jayaratu kepada saya. Tapi maafkan bila saya salah menafsirkannya,” tutur Purbajaya. Dia menyembah hormat kepada Pangeran Arya Damar, juga kepada keempat perwira itu.
“Engkau harus menerangkan tentang arti ucapanmu, anak muda,” kata Ki Aliman dingin dan bercuriga sekali.
Sebelum berani menjawab pertanyaan ini, Purbajaya melirik ke arah Pangeran Arya Damar. Nampak pangeran itu mengangguk tanda setuju.
“Saya hanya ingat perkataan Paman Jayaratu semata. Bahwa kita harus bercermin kepada sesuatu yang bermanfaat kendati itu datangnya dari musuh,” kata Purbajaya. ”Barusan Pangeran mengabarkan bahwa banyak pejabat dan orang pandai di Pajajaran, kendati tak disukai penguasa, akan tetapi tetap membela negrinya. Ini hanya menandakan bahwa orang-orang itu punya jiwa besar. Mereka patriotik.Yang penting hidupnya demi negara dan bukan demi penguasa. Saya pikir ini hebat dan patut kita teladani. Orang yang hanya mengabdikan dirinya untuk negara tak mungkin berkhianat. Apa pun yang dia kerjakan dan pikirkan, pasti untuk kepentingan negaranya,” kata pemuda itu panjang-lebar.
“Pendapatmu bagus, anak muda. Itu pula yang aku harapkan di Nagri Carbon ini,” tutur Pangeran Arya Damar.
“Saya bersumpah untuk mengabdi kepada Nagri Carbon, Pangeran….” tutur Purbajaya menyembah takzim.
“Bagus. Kini saatnyalah engkau memperlihatkan rasa cintamu pada Nagri Carbon,” sambut Pangeran Arya Damar.
Dan untuk yang kedua kalinya, Purbajaya kembali mendengarkan kisah dirinya yang dibeberkan Pangeran Arya Damar. Bahwa Purbajaya sebenarnya anak seorang kandagalante di wilayah Pajajaran yang “diambil” oleh Carbon di saat terjadi kemelut peperangan antara Carbon dengan Pajajaran.
“Bagaimana mungkin orang Pajajaran disuruh menyerbu negrinya sendiri, Pangeran?” tanya Ki Aliman yang nampak sesekali mengurut dadanya. Rupanya dia masih merasa sakit bekas adu tenaga yang dilakukan tadi dengan Purbajaya.
Ketiga orang perwira pun sama menatap Pangeran Arya Damar seolah membenarkan dan mendukung pertanyaan Ki Aliman. Mendengar pertanyaan ini, Pangeran Arya Damar hanya mengangguk-angguk tenang seolah-olah dia sudah memiliki jawabannya.
“Anak muda ini sejak kecil berada di Carbon, dididik orang Carbon dan sudah mengerti akan tujuan perjuangan negri kita. Maka sedikit sekali kemungkinan pemuda ini membelot ke Pakuan,” kata Pangeran Arya Damar sambil menoleh Purbajaya sepertinya ucapannya sekaligus juga mengingatkan Purbajaya akan hal ini.
“Benarkah ucapan Pangeran, hai anak muda?” tanya Ki Aspahar dengan wajah dingin namun meminta kepastian.
“Kalau Pangeran Arya Damar tak memberitahu saya, maka saya tak tahu kalau saya ini anak Pajajaran,” jawab Purbajaya menunduk.
“Sekarang kan sudah tahu. Jadi, bagaimana sikapmu?” Ki Aspahar mendesak.
“Saya tak tahu siapa orangtua saya. Yang saya kenal hanyalah Paman Jayaratu yang membesarkan dan memberi didikan pada saya,” tutur Purbajaya sejujurnya.
“Engkau tak akan mengkhianati Carbon, anak muda?”
“Bahkan saya ingin membuktikan bahwa saya adalah orang yang tahu membalas budi,” jawab lagi Purbajaya.
Ki Aspahar mengangguk-angguk kendati yang lainnya masih belum memperlihatkan kepuasan.
“Tak usah didesak lagi sebab begitulah kenyataannya. Dia sudah bilang begitu dan aku tanggungjawab,” kata Pangeran Arya Damar memutuskan.
Begitulah, pada akhirnya Purbajaya disetujui para perwira untuk ikut tugas. Tugas apa? Inilah yang Purbajaya tertarik memperhatikannya.
Pangeran Arya Damar berkilah bahwa perjuangan untuk menundukkan Pakuan sungguh berat. Kendati negri yang dipimpin Sang Prabu Ratu Sakti akhir-akhir ini selalu digoncang perpecahan, namun kekuatannya masih sulit dirontokkan. Ini karena Pajajaran memiliki pembantu-pembantu yang kuat.
“Masih banyak yang bersetia kepada negri itu. Jangankan yang tengah mengabdi, sedangkan yang oleh ratunya sudah dianggap pembangkang dan pemberontak pun, masih tetap nerdiri untuk kepentingan negrinya,” kata Pangeran Arya Damar.
“Hebat sekali!” seru Purbajaya membuat terkejut semua orang. Purbajaya tersipu bahkan akhirnya terkejut sendiri dengan pernyataannya ini. Melihat sikapnya tadi, jangan-jangan orang bercuriga bahwa dia bersimpati kepada Pajajaran.
“Bahkan kepada musuh pun kita wajib bercermin. Itu yang diajarkan Paman Jayaratu kepada saya. Tapi maafkan bila saya salah menafsirkannya,” tutur Purbajaya. Dia menyembah hormat kepada Pangeran Arya Damar, juga kepada keempat perwira itu.
“Engkau harus menerangkan tentang arti ucapanmu, anak muda,” kata Ki Aliman dingin dan bercuriga sekali.
Sebelum berani menjawab pertanyaan ini, Purbajaya melirik ke arah Pangeran Arya Damar. Nampak pangeran itu mengangguk tanda setuju.
“Saya hanya ingat perkataan Paman Jayaratu semata. Bahwa kita harus bercermin kepada sesuatu yang bermanfaat kendati itu datangnya dari musuh,” kata Purbajaya. ”Barusan Pangeran mengabarkan bahwa banyak pejabat dan orang pandai di Pajajaran, kendati tak disukai penguasa, akan tetapi tetap membela negrinya. Ini hanya menandakan bahwa orang-orang itu punya jiwa besar. Mereka patriotik.Yang penting hidupnya demi negara dan bukan demi penguasa. Saya pikir ini hebat dan patut kita teladani. Orang yang hanya mengabdikan dirinya untuk negara tak mungkin berkhianat. Apa pun yang dia kerjakan dan pikirkan, pasti untuk kepentingan negaranya,” kata pemuda itu panjang-lebar.
“Pendapatmu bagus, anak muda. Itu pula yang aku harapkan di Nagri Carbon ini,” tutur Pangeran Arya Damar.
“Saya bersumpah untuk mengabdi kepada Nagri Carbon, Pangeran….” tutur Purbajaya menyembah takzim.
“Bagus. Kini saatnyalah engkau memperlihatkan rasa cintamu pada Nagri Carbon,” sambut Pangeran Arya Damar.
Kemudian pangeran itu melanjutkan lagi penjelasannya. Bahwa sebelum Kangjeng Susuhunan melakukan perjalanan ke wilayah barat, (wilayah Pajajaran) dalam upaya semakin menyebarluaskan pengaruh agama baru, pihak militer Nagri Carbon perlu “membuka jalan” dahulu agar memperlancar perjalanan Kangjeng Susuhunan.
“Banyak kerikil tajam yang akan menghalangi perjalanan. Padahal tujuan utama Carbon adalah Pakuan. Kita harus menembus dayo (ibukota) Pakuan.”
“Apakah yang dimaksud dengan kerikil tajam itu, Pangeran?” tanya Purbajaya.
“Kerikil tajam itu adalah pembantu-pembantu utama dan para orang pandai yang hingga kini masih tetap bersetia kepada Pajajaran. Satu persatu kerikil itu harus disapu dan disingkirkan, sehingga jalan ke Pakuan kelak akan lurus dan rata, enak bagi yang akan melangkah,” kata Pangeran Arya Damar lagi.
Purbajaya mengangguk sebagai tanda mengerti ke mana arah perkataan pangeran ini.
“Ada kerikil yang amat tajam yang sekiranya akan jadi hambatan berat. Kalian tentu sudah mendengar seorang tokoh Pajajaran yang bernama Ki Darma Sungkawa,” kata Pangeran Arya Damar sambil menatap satu persatu kepada keempat orang perwiranya.
“Dia adalah bekas anggota pasukan Balamati seribu perwira pengawal raja di Pakuan,” kata Ki Albani bertubuh kurus berkumis tipis.
“Betul. Dia termasuk penghalang utama kita, Albani,” kata Pangeran Arya Damar menatap tajam.
“Tapi dia sudah dimusuhi pemerintahnya. Khabarnya Sang Prabu Ratu Sakti amat membencinya. Oleh sesama perwiranya, Ki Darma selalu dikejar untuk ditangkap atau dibunuh. Mengapa orang yang sudah terdesak seperti ini malah kita anggap sebagai penghalang besar, Pangeran?” tanya Ki Albani heran.
“Seharusnya begitu logikanya. Tapi kenyataannya berkata lain,” sahut Pangeran Arya Damar.
Ki Albani juga rekan-rekannya menatap pangeran ini dengan seksama.
“Seperti sudah aku katakan sejak awal, banyak orang pandai membentengi Pajajaran. Ki Darma sekali pun tak disukai penguasa, akan tetapi tetap bersikap sebagai pelindung negri. Bukan saja dia tak mau takluk kepada Carbon, tapi malah dia berupaya menggagalkan berbagai upaya nagri Carbon untuk menguasai Pakuan. Karena dikejar-kejar di Pakuan, dia melarikan diri ke sana ke mari. Namun dalam pelariannya dia tak pernah berhenti menghalangi kita yang ingin memasuki wilayah Pakuan,” kata Pangeran Arya Damar.
“Itulah salah satu maksudku. Kita harus mengirim kekuatan ke wilayah Talaga. Pertama untuk melumpuhkan Ki Darma agar tak menjadi duri dalam daging dan keduanya untuk menyelamatkan harta negara,” kata Pangeran Arya Damar. ”Kita harus bersiap-siap. Dalam waktu dekat kalian aku kirimkan ke wilayah Talaga,” kata Pangeran Arya Damar dengan yakin.
Keempat perwira menghormat dengan takzim dan berteriak menyatakan kesanggupannya. Karena semua orang pun berteriak begitu, maka Purbajaya pun ikut menyerukan kesanggupannya.
****
HAMPIR sebulan Purbajaya menerima gemblengan. Kalau oleh paman Jayaratu dia mendapatkan latihan ilmu bela diri, adalah ketika bersama dengan para perwira dia mendapatkan pendidikan kemiliteran.
Selama dalam penggodokan pemuda ini baru mengetahui bahwa ilmu berkelahi hanyalah bagian kecil dari pengetahuan kemiliteran sebab dalam ilmu kemiliteran semua strategi dipelajari. Berkelahi hanyalah berpikir tentang kalah dan menang secara sempit. Tidak demikian dengan pengetahuan militer. Purbajaya sekali waktu bahkan mendapatkan pengetahuan bahwa ukuran sebuah kemenangan dalam satu peperangan tak selamanya harus dilakukan melalui perkelahian.
“Perang yang paling baik adalah melakukan tipu muslihat, kemudian dengan tipu muslihat itu kita bisa menang tanpa melakukan perkelahian,” tutur seorang perwira berjanggut tipis tapi memiliki alis tebal bagaikan sepasang golok melintang.
“Camkanlah ini, tujuan kita adalah menaklukan musuh bukan menghancurkannya. Jadi, sebelum pertimbangan kita jatuhkan kepada pilihan peperangan dengan menggunakan senjata, terlebih dahulu harus sanggup memilih peperangan tanpa senjata. Kita harus sanggup mengalahkan musuh tanpa membunuh dan merebut wilayah tanpa merusak. Itulah sebabnya, siasat dan tipu muslihat harus kita tempuh,” tutur perwira ini.
“Siapakah dia, Ki Silah (saudara)?” tanya Purbajaya kepada prajurit muda yang duduk di sampingnya.
“Masak tak tahu, dialah Pangeran Suwarga, perwira kepala yang amat dipercaya Kangjeng Sunan,” tutur prajurit itu.
“Kemudian Pengeran Arya Damar sebagai apa di Carbon ini?” tanya lagi Purbajaya.
Yang ditanya hanya mengerutkan dahinya, entah jengkel dengan pertanyaan rewel ini entah memang bingung menjawabnya.
“Aku harus tahu jabatan-jabatan di Nagri Carbon ini. Hanya yang aku tahu Pangeran Arya Damar cukup disegani. Dia pun menguasai militer dan banyak perwira dekat dengannya. Pangeran Suwarga pandai dalam akal-akalan (strategi) militer dan Pangeran Arya Damar banyak melontarkan pikiran untuk kemajuan Nagri Carbon. Kalau kedua orang itu bisa bersatu, maka Nagri Carbon pasti akan bertambah kuat,” tutur prajurit itu.
“Jadi maksudmu antara kedua pangeran itu kini tak bersatu?” tanya Purbajaya heran.
“Aku tak bilang begitu, tolol! Sangkamu bila aku bilang kalau kedua orang itu bersatu, apa punya arti sedang tak bersatu,” prajurit tua itu berkata jengkel.
“Sssttt…! prajurit yang lebih tua memperingatkan agar mereka tak ribut. Beralasan sebab amat tak sopan pejabat sedang bicara di belakang ada yang bisk-bisik. Pangeran Yudhabangsa memang tengah serius memberikan ceramah mengenai strategi militer.
“Kalau kita akan melakukan penyerbuan terhadap musuh, maka jauh sebelumnya akan banyak hal harus dikerjakan,” tutur lagi Pangeran Suwarga.
Pengeran ini menjelaskan bahwa jauh sebelum kita menyerbu, maka keadaan lawan harus benar-benar diketahui dengan pasti. Pihak penyerbu terlebih dahulu harus bisa menyelidiki sejauh mana tingkat disiplin prajurit musuh, sejauh mana kepandaian panglima perangnya, sejauh mana tingkat rata-rata kepandaian prajuritnya, dan sejauh mana pemerintah memberikan penghargaan terhadap prajurit yang berjasa dan memberikan hukuman bagi yang bersalah.
“Kelemahan dan kekuatan nagri musuh harus benar-benar diketahui. Sebab. kalau kita pergi asal menyerbu, maka perang akan berkepanjangan. Camkanlah, menang dalam waktu singkat adalah tujuan utama peperangan. Kalau perang berkepanjangan, senjata akan menjadi tumpul dan semangat akan merosot. Kalau prajurit disuruh mengepung daerah musuh secara berekepanjangan, tenaganya akan terkuras dan dana negara termasuk segala perbekalan akan banyak dikeluarkan. Dengan kata lain, perang yang kita lakukan berharga mahal. Kendatipun kita pada akhirnya menang tapi segalanya telah compang-camping. Itulah kemenangan yang tiada arti,” kata Pangeran Suwarga.
Selanjutnya pangeran ini berkata, dia perlu mengingatkan hal ini sebab perang berkepanjangan pernah dialami Nagri Carbon dalam melawan Pajajaran manakala masih mendapatkan bantuan Keratuan Demak puluhan tahun silam.
Ketika Pajajaran dikuasai Sang Prabu Surawisesa (1521-1535), terjadi perang berlarut-larut dengan Nagri Carbon. Carbon yang dibantu Demak pada akhirnya menang tampil sebagai pemenang. Banyak wilayah yang dulu dikuasai Pajajaran menjadi milik Carbon, di antaranya adalah pelabuhan-pelabuhan penting perdagangan di sepanjang pantai utara. Namun perang itu sangat berlarut-larut sampai lebih dari lima tahun.
“Kerugian banyak dialami bukan saja oleh pihak yang kalah, tapi juga oleh pihak yang menang. Aku ingin tanya kepada kalian, menang secara mutlakkah Carbon? Tidak. Tokh hingga kini Pajajaran masih berdiri dengan cukup tangguh dan tak bergeming hanya karena Keratuan Galuh, Talaga, dan Sumedanglarang telah dapat kita rebut. Kita belum bisa menundukkan Pajajaran secara total sebab kelemahan kita sejak awal yaitu tak sanggup mengenal kekuatan dan kekurangan lawan secara benar. Itulah sebabnya, hari ini berkali-kali aku katakan, kenalilah lawanmu, kenali pula dirimu sendiri. Maka dalam seratus kali pertempuran pun kalian tak akan dalam bahaya,” tutur Pangeran Suwarga berapi-api.
Purbajaya terpukau mendengarkan ceramah pangeran yang nampak anggun berwibawa ini. Sampai ketika ceramah selesai, sampai ketika Pangeran Suwarga meninggalkan paseban, pemuda itu termangu-mangu sebab wejangan orang itu masih terngiang-ngiang di telinganya.
“Camkanlah, tujuan kita menaklukkan musuh dan bukan menghancurkannya…,” ucapan dan kalimat ini amat membekas di benak Purbajaya. Sungguh bijaksana dan mulia orang bisa berpikir seperti ini. Benar, mengapa orang harus saling membunuh karena berperang? Seratus kali berperang dan seratus kali membunuh, rasanya itu bukan sebuah kebanggaan sebab bukan sebuah kemenangan, paling tidak bukan kemenangan bagi kepentingan kemanusiaan.
“Aku ingin sekali bertukar pikiran lebih mendalam dengan pejabat ini. Sungguh aneh, Pangeran Suwarga adalah perwira kepala. Dia pelatih ilmu kemiliteran dan kata orang, banyak memiliki ilmu perang. Namun, pandangannya mengenai perang demikian halus dan beradab. Itulah yang menjadi kekaguman Purbajaya.
Berhari-hari dia berpikir mengenai kemungkinannya menemui Pangeran Suwarga. Sebentar lagi pemuda itu akan berangkat ke medan perang. Dia perlu bekal moril untuk ini. Jalan pikiran Pangeran Suwarga sungguh beda dengan Pangeran Arya Damar. Majikannya, kalau boleh disebut begitu, sepertinya hanya berpikir tentang ambisi, ambisi memenangkan perang. Arya Damar hanya berpikir bagaimana caranya menghancurkan musuh, dalam hal ini orang Pajajaran. Artinya, bila musuh hancur, itulah kemenangan.
Kalau dipikir terasa ganjil, aneh, mengapa pejabat-pejabat di satu atap Keraton Pakungwati bisa punya pandangan yang beda perihal arti peperangan? Pangeran Arya Damar mestinya mengikuti pendapat Pangeran Suwarga sebab dia sudah panglima. Pangeran Suwargalah yang oleh Sang Panembahan Pakungwati diakui sebagai konseptor militer dan akhli strategi perang. Mengapa Pangeran Arya Damar malah punya konsep sendiri?
“Panglima yang sesungguhnya adalah pimpinan di medan perang itu sendiri. Hanya dialah yang lebih tahu dari siapapun. Jadi, alangkah tak bijaksananya bila atasan yang hanya duduk di keraton, memerintahkan prajurit harus mundur padahal dia siap bertempur, atau malah sebaliknya menyuruh prajurit menyerang di saat mereka tak siap. Yang paling mengetahui siap dan tidaknya keadaan prajurit, hanyalah pimpinan yang ada di sekitar medan perang itu sendiri,” tutur Pangeran Arya Damar suatu hari.
Purbajaya pernah mendengar bahwa puluhan tahun silam atau tepatnya terjadi sekitar tahun 1521-1535, Pangeran Arya Damar beberapa kali mendapat tugas memimpin prajurit Carbon menyerbu wilayah Pajajaran. Pada tahun-tahun itu, Carbon yang waktu itu dibantu Demak berhasil menguasai pelabuhan penting milik Pajajaran, yaitu Ciamo (muara Sungai Cimanuk), Caravam (muara Sungai Citarum di Tanjungpura, wilayah Karawang kini), Tangaram (muara Sungai Cisadane), Cigede (muara Sungai Ciliwung), Pontang, Bantam (di wilayah Banten kini), dan Sunda Kelapa, pelabuhan internasional.
Menurut pemerintah Nagri Carbon, ini adalah sukses besar sebab dengan direbutnya pelabuhan penting, hubungan Pakuan dengan bangsa asing (Portugis) terputus. Carbon dan Demak merasa bahwa kehadiran Portugis merupakan ancaman bagi keberadaan Jawa Dwipa (Pulau Jawa). Portugis sudah menguasai Malaka dan mungkin akan meluaskan pengaruhnya ke Jawa Dwipa. Namun Pajajaran seperti tak menyadari bahaya ini. Kerajaan Sunda ini malahan mengadakan hubungan dagang dan Portugis diberi keleluasaan mendirikan benteng di Sunda Kelapa. Ini bahaya benar. Itulah sebabnya Demak dan Carbon mencoba merebut pelabuhan-pelabuhan milik Pajajaran dan berhasil.
Namun Pangeran Arya Damar yang waktu itu masih muda, berusia kurang lebih 25 tahun, tak menganggap ini sebuah sukses besar. Kemenangan sempurna bagi Carbon terjadi bilamana seluruh Pajajaran dikuasai sepenuhnya oleh Carbon. Pangeran muda ini menyesalkan sikap Kangjeng Sunan yang karena kekerabatannya dengan penguasa Pajajaran selalu bersikap tanggung dalam menurunkan kebijaksanaan.
Kangjeng Sunan seperti tak berniat menghancurkan Pajajaran. Sesudah terjadi peperangan hampir lima tahun lamanya, Carbon akhirnya malah mengadakan perjanjian damai dengan Pajajaran. Padahal Pangeran Arya Damar selalu mengusulkan agar Carbon yang diperkuat Demak harus menuntaskan perjuangan, yaitu menggempur Pajajaran hingga ke pusat Dayo (ibukota negara) yaitu Pakuan.
“Kangjeng Sunan mengkhawatirkan keselamatan umat manusia. Kangjeng khawatir akan banyak korban percuma bila prajurit Carbon terus mendesak ke pedalaman. Padahal yang paling tahu mengenai kekuatan prajurit Carbon adalah panglima yang ada di medan perang yaitu aku!” tutur Pangeran Arya Damar. “agar Carbon menjadi besar, kuasailah Jawa Kulon sepenuhnya! tuturnya lagi.
Purbajaya menilai, inilah ambisi manusia, yaitu selalu tak puas memiliki kekuasaan yang ada. Pemuda ini teringat kembali, betapa alis Paman Jayaratu berkerut ketika dirinya dipanggil Pangeran Arya Damar ke istana. Mungkinkah Paman Jayaratu tidak menyenangi pengeran ini karena terlalu banyak memiliki ambisi?
Akhirnya Purbajaya bingung sendiri. Dia terlalu mentah untuk mengenal kehidupan politik. Itulah sebabnya, agar mengenal lebih jauh kehidupan politik, pemuda ini berniat mendekati Pangeran Yudhabangsa, bagaimana pun caranya.
“Banyak kerikil tajam yang akan menghalangi perjalanan. Padahal tujuan utama Carbon adalah Pakuan. Kita harus menembus dayo (ibukota) Pakuan.”
“Apakah yang dimaksud dengan kerikil tajam itu, Pangeran?” tanya Purbajaya.
“Kerikil tajam itu adalah pembantu-pembantu utama dan para orang pandai yang hingga kini masih tetap bersetia kepada Pajajaran. Satu persatu kerikil itu harus disapu dan disingkirkan, sehingga jalan ke Pakuan kelak akan lurus dan rata, enak bagi yang akan melangkah,” kata Pangeran Arya Damar lagi.
Purbajaya mengangguk sebagai tanda mengerti ke mana arah perkataan pangeran ini.
“Ada kerikil yang amat tajam yang sekiranya akan jadi hambatan berat. Kalian tentu sudah mendengar seorang tokoh Pajajaran yang bernama Ki Darma Sungkawa,” kata Pangeran Arya Damar sambil menatap satu persatu kepada keempat orang perwiranya.
“Dia adalah bekas anggota pasukan Balamati seribu perwira pengawal raja di Pakuan,” kata Ki Albani bertubuh kurus berkumis tipis.
“Betul. Dia termasuk penghalang utama kita, Albani,” kata Pangeran Arya Damar menatap tajam.
“Tapi dia sudah dimusuhi pemerintahnya. Khabarnya Sang Prabu Ratu Sakti amat membencinya. Oleh sesama perwiranya, Ki Darma selalu dikejar untuk ditangkap atau dibunuh. Mengapa orang yang sudah terdesak seperti ini malah kita anggap sebagai penghalang besar, Pangeran?” tanya Ki Albani heran.
“Seharusnya begitu logikanya. Tapi kenyataannya berkata lain,” sahut Pangeran Arya Damar.
Ki Albani juga rekan-rekannya menatap pangeran ini dengan seksama.
“Seperti sudah aku katakan sejak awal, banyak orang pandai membentengi Pajajaran. Ki Darma sekali pun tak disukai penguasa, akan tetapi tetap bersikap sebagai pelindung negri. Bukan saja dia tak mau takluk kepada Carbon, tapi malah dia berupaya menggagalkan berbagai upaya nagri Carbon untuk menguasai Pakuan. Karena dikejar-kejar di Pakuan, dia melarikan diri ke sana ke mari. Namun dalam pelariannya dia tak pernah berhenti menghalangi kita yang ingin memasuki wilayah Pakuan,” kata Pangeran Arya Damar.
“Itulah salah satu maksudku. Kita harus mengirim kekuatan ke wilayah Talaga. Pertama untuk melumpuhkan Ki Darma agar tak menjadi duri dalam daging dan keduanya untuk menyelamatkan harta negara,” kata Pangeran Arya Damar. ”Kita harus bersiap-siap. Dalam waktu dekat kalian aku kirimkan ke wilayah Talaga,” kata Pangeran Arya Damar dengan yakin.
Keempat perwira menghormat dengan takzim dan berteriak menyatakan kesanggupannya. Karena semua orang pun berteriak begitu, maka Purbajaya pun ikut menyerukan kesanggupannya.
****
HAMPIR sebulan Purbajaya menerima gemblengan. Kalau oleh paman Jayaratu dia mendapatkan latihan ilmu bela diri, adalah ketika bersama dengan para perwira dia mendapatkan pendidikan kemiliteran.
Selama dalam penggodokan pemuda ini baru mengetahui bahwa ilmu berkelahi hanyalah bagian kecil dari pengetahuan kemiliteran sebab dalam ilmu kemiliteran semua strategi dipelajari. Berkelahi hanyalah berpikir tentang kalah dan menang secara sempit. Tidak demikian dengan pengetahuan militer. Purbajaya sekali waktu bahkan mendapatkan pengetahuan bahwa ukuran sebuah kemenangan dalam satu peperangan tak selamanya harus dilakukan melalui perkelahian.
“Perang yang paling baik adalah melakukan tipu muslihat, kemudian dengan tipu muslihat itu kita bisa menang tanpa melakukan perkelahian,” tutur seorang perwira berjanggut tipis tapi memiliki alis tebal bagaikan sepasang golok melintang.
“Camkanlah ini, tujuan kita adalah menaklukan musuh bukan menghancurkannya. Jadi, sebelum pertimbangan kita jatuhkan kepada pilihan peperangan dengan menggunakan senjata, terlebih dahulu harus sanggup memilih peperangan tanpa senjata. Kita harus sanggup mengalahkan musuh tanpa membunuh dan merebut wilayah tanpa merusak. Itulah sebabnya, siasat dan tipu muslihat harus kita tempuh,” tutur perwira ini.
“Siapakah dia, Ki Silah (saudara)?” tanya Purbajaya kepada prajurit muda yang duduk di sampingnya.
“Masak tak tahu, dialah Pangeran Suwarga, perwira kepala yang amat dipercaya Kangjeng Sunan,” tutur prajurit itu.
“Kemudian Pengeran Arya Damar sebagai apa di Carbon ini?” tanya lagi Purbajaya.
Yang ditanya hanya mengerutkan dahinya, entah jengkel dengan pertanyaan rewel ini entah memang bingung menjawabnya.
“Aku harus tahu jabatan-jabatan di Nagri Carbon ini. Hanya yang aku tahu Pangeran Arya Damar cukup disegani. Dia pun menguasai militer dan banyak perwira dekat dengannya. Pangeran Suwarga pandai dalam akal-akalan (strategi) militer dan Pangeran Arya Damar banyak melontarkan pikiran untuk kemajuan Nagri Carbon. Kalau kedua orang itu bisa bersatu, maka Nagri Carbon pasti akan bertambah kuat,” tutur prajurit itu.
“Jadi maksudmu antara kedua pangeran itu kini tak bersatu?” tanya Purbajaya heran.
“Aku tak bilang begitu, tolol! Sangkamu bila aku bilang kalau kedua orang itu bersatu, apa punya arti sedang tak bersatu,” prajurit tua itu berkata jengkel.
“Sssttt…! prajurit yang lebih tua memperingatkan agar mereka tak ribut. Beralasan sebab amat tak sopan pejabat sedang bicara di belakang ada yang bisk-bisik. Pangeran Yudhabangsa memang tengah serius memberikan ceramah mengenai strategi militer.
“Kalau kita akan melakukan penyerbuan terhadap musuh, maka jauh sebelumnya akan banyak hal harus dikerjakan,” tutur lagi Pangeran Suwarga.
Pengeran ini menjelaskan bahwa jauh sebelum kita menyerbu, maka keadaan lawan harus benar-benar diketahui dengan pasti. Pihak penyerbu terlebih dahulu harus bisa menyelidiki sejauh mana tingkat disiplin prajurit musuh, sejauh mana kepandaian panglima perangnya, sejauh mana tingkat rata-rata kepandaian prajuritnya, dan sejauh mana pemerintah memberikan penghargaan terhadap prajurit yang berjasa dan memberikan hukuman bagi yang bersalah.
“Kelemahan dan kekuatan nagri musuh harus benar-benar diketahui. Sebab. kalau kita pergi asal menyerbu, maka perang akan berkepanjangan. Camkanlah, menang dalam waktu singkat adalah tujuan utama peperangan. Kalau perang berkepanjangan, senjata akan menjadi tumpul dan semangat akan merosot. Kalau prajurit disuruh mengepung daerah musuh secara berekepanjangan, tenaganya akan terkuras dan dana negara termasuk segala perbekalan akan banyak dikeluarkan. Dengan kata lain, perang yang kita lakukan berharga mahal. Kendatipun kita pada akhirnya menang tapi segalanya telah compang-camping. Itulah kemenangan yang tiada arti,” kata Pangeran Suwarga.
Selanjutnya pangeran ini berkata, dia perlu mengingatkan hal ini sebab perang berkepanjangan pernah dialami Nagri Carbon dalam melawan Pajajaran manakala masih mendapatkan bantuan Keratuan Demak puluhan tahun silam.
Ketika Pajajaran dikuasai Sang Prabu Surawisesa (1521-1535), terjadi perang berlarut-larut dengan Nagri Carbon. Carbon yang dibantu Demak pada akhirnya menang tampil sebagai pemenang. Banyak wilayah yang dulu dikuasai Pajajaran menjadi milik Carbon, di antaranya adalah pelabuhan-pelabuhan penting perdagangan di sepanjang pantai utara. Namun perang itu sangat berlarut-larut sampai lebih dari lima tahun.
“Kerugian banyak dialami bukan saja oleh pihak yang kalah, tapi juga oleh pihak yang menang. Aku ingin tanya kepada kalian, menang secara mutlakkah Carbon? Tidak. Tokh hingga kini Pajajaran masih berdiri dengan cukup tangguh dan tak bergeming hanya karena Keratuan Galuh, Talaga, dan Sumedanglarang telah dapat kita rebut. Kita belum bisa menundukkan Pajajaran secara total sebab kelemahan kita sejak awal yaitu tak sanggup mengenal kekuatan dan kekurangan lawan secara benar. Itulah sebabnya, hari ini berkali-kali aku katakan, kenalilah lawanmu, kenali pula dirimu sendiri. Maka dalam seratus kali pertempuran pun kalian tak akan dalam bahaya,” tutur Pangeran Suwarga berapi-api.
Purbajaya terpukau mendengarkan ceramah pangeran yang nampak anggun berwibawa ini. Sampai ketika ceramah selesai, sampai ketika Pangeran Suwarga meninggalkan paseban, pemuda itu termangu-mangu sebab wejangan orang itu masih terngiang-ngiang di telinganya.
“Camkanlah, tujuan kita menaklukkan musuh dan bukan menghancurkannya…,” ucapan dan kalimat ini amat membekas di benak Purbajaya. Sungguh bijaksana dan mulia orang bisa berpikir seperti ini. Benar, mengapa orang harus saling membunuh karena berperang? Seratus kali berperang dan seratus kali membunuh, rasanya itu bukan sebuah kebanggaan sebab bukan sebuah kemenangan, paling tidak bukan kemenangan bagi kepentingan kemanusiaan.
“Aku ingin sekali bertukar pikiran lebih mendalam dengan pejabat ini. Sungguh aneh, Pangeran Suwarga adalah perwira kepala. Dia pelatih ilmu kemiliteran dan kata orang, banyak memiliki ilmu perang. Namun, pandangannya mengenai perang demikian halus dan beradab. Itulah yang menjadi kekaguman Purbajaya.
Berhari-hari dia berpikir mengenai kemungkinannya menemui Pangeran Suwarga. Sebentar lagi pemuda itu akan berangkat ke medan perang. Dia perlu bekal moril untuk ini. Jalan pikiran Pangeran Suwarga sungguh beda dengan Pangeran Arya Damar. Majikannya, kalau boleh disebut begitu, sepertinya hanya berpikir tentang ambisi, ambisi memenangkan perang. Arya Damar hanya berpikir bagaimana caranya menghancurkan musuh, dalam hal ini orang Pajajaran. Artinya, bila musuh hancur, itulah kemenangan.
Kalau dipikir terasa ganjil, aneh, mengapa pejabat-pejabat di satu atap Keraton Pakungwati bisa punya pandangan yang beda perihal arti peperangan? Pangeran Arya Damar mestinya mengikuti pendapat Pangeran Suwarga sebab dia sudah panglima. Pangeran Suwargalah yang oleh Sang Panembahan Pakungwati diakui sebagai konseptor militer dan akhli strategi perang. Mengapa Pangeran Arya Damar malah punya konsep sendiri?
“Panglima yang sesungguhnya adalah pimpinan di medan perang itu sendiri. Hanya dialah yang lebih tahu dari siapapun. Jadi, alangkah tak bijaksananya bila atasan yang hanya duduk di keraton, memerintahkan prajurit harus mundur padahal dia siap bertempur, atau malah sebaliknya menyuruh prajurit menyerang di saat mereka tak siap. Yang paling mengetahui siap dan tidaknya keadaan prajurit, hanyalah pimpinan yang ada di sekitar medan perang itu sendiri,” tutur Pangeran Arya Damar suatu hari.
Purbajaya pernah mendengar bahwa puluhan tahun silam atau tepatnya terjadi sekitar tahun 1521-1535, Pangeran Arya Damar beberapa kali mendapat tugas memimpin prajurit Carbon menyerbu wilayah Pajajaran. Pada tahun-tahun itu, Carbon yang waktu itu dibantu Demak berhasil menguasai pelabuhan penting milik Pajajaran, yaitu Ciamo (muara Sungai Cimanuk), Caravam (muara Sungai Citarum di Tanjungpura, wilayah Karawang kini), Tangaram (muara Sungai Cisadane), Cigede (muara Sungai Ciliwung), Pontang, Bantam (di wilayah Banten kini), dan Sunda Kelapa, pelabuhan internasional.
Menurut pemerintah Nagri Carbon, ini adalah sukses besar sebab dengan direbutnya pelabuhan penting, hubungan Pakuan dengan bangsa asing (Portugis) terputus. Carbon dan Demak merasa bahwa kehadiran Portugis merupakan ancaman bagi keberadaan Jawa Dwipa (Pulau Jawa). Portugis sudah menguasai Malaka dan mungkin akan meluaskan pengaruhnya ke Jawa Dwipa. Namun Pajajaran seperti tak menyadari bahaya ini. Kerajaan Sunda ini malahan mengadakan hubungan dagang dan Portugis diberi keleluasaan mendirikan benteng di Sunda Kelapa. Ini bahaya benar. Itulah sebabnya Demak dan Carbon mencoba merebut pelabuhan-pelabuhan milik Pajajaran dan berhasil.
Namun Pangeran Arya Damar yang waktu itu masih muda, berusia kurang lebih 25 tahun, tak menganggap ini sebuah sukses besar. Kemenangan sempurna bagi Carbon terjadi bilamana seluruh Pajajaran dikuasai sepenuhnya oleh Carbon. Pangeran muda ini menyesalkan sikap Kangjeng Sunan yang karena kekerabatannya dengan penguasa Pajajaran selalu bersikap tanggung dalam menurunkan kebijaksanaan.
Kangjeng Sunan seperti tak berniat menghancurkan Pajajaran. Sesudah terjadi peperangan hampir lima tahun lamanya, Carbon akhirnya malah mengadakan perjanjian damai dengan Pajajaran. Padahal Pangeran Arya Damar selalu mengusulkan agar Carbon yang diperkuat Demak harus menuntaskan perjuangan, yaitu menggempur Pajajaran hingga ke pusat Dayo (ibukota negara) yaitu Pakuan.
“Kangjeng Sunan mengkhawatirkan keselamatan umat manusia. Kangjeng khawatir akan banyak korban percuma bila prajurit Carbon terus mendesak ke pedalaman. Padahal yang paling tahu mengenai kekuatan prajurit Carbon adalah panglima yang ada di medan perang yaitu aku!” tutur Pangeran Arya Damar. “agar Carbon menjadi besar, kuasailah Jawa Kulon sepenuhnya! tuturnya lagi.
Purbajaya menilai, inilah ambisi manusia, yaitu selalu tak puas memiliki kekuasaan yang ada. Pemuda ini teringat kembali, betapa alis Paman Jayaratu berkerut ketika dirinya dipanggil Pangeran Arya Damar ke istana. Mungkinkah Paman Jayaratu tidak menyenangi pengeran ini karena terlalu banyak memiliki ambisi?
Akhirnya Purbajaya bingung sendiri. Dia terlalu mentah untuk mengenal kehidupan politik. Itulah sebabnya, agar mengenal lebih jauh kehidupan politik, pemuda ini berniat mendekati Pangeran Yudhabangsa, bagaimana pun caranya.
**** 005 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment