Ads

Friday, December 17, 2021

Kemelut di Cakrabuana 004

MALAM itu Purbajaya tak bisa memejamkan mata. Banyak pikiran bergayut di benaknya. Pemuda itu berpikir tentang Paman Jayaratu, tentang Nyimas Waningyun dan juga tentang dirinya. Sungguh aneh, semuanya diselimuti misteri. Hatinya coba menguak perihal Paman Jayaratu. Siapa orang tua itu, dia tetap tak tahu. Ada sesuatu yang ditutupi Paman Jayaratu, paling tidak perasaannya terhadap Pangeran Arya Damar.

Dalam selintas, Purbajaya sudah bisa menduga, Paman Jayaratu tidak menyukai Pangeran Arya Damar. Sejak Purbajaya menerima panggilan ke istana, sudah terlihat ada kerutan di dahi Paman Jayaratu. Orang tua itu adalah seorang penyabar dan bertindak-tanduk sederhana. Tidak pernah memperlihatkan perasaan suka atau tidak suka. Tapi Purbajaya sudah hapal perangai Paman Jayaratu, bahwa kalau memperlihatkan kerut-merut di dahi, pertanda ada sesuatu yang tidak disenanginya. Mengapa Paman Jayaratu tidak menyenangi Pangeran Arya Damar?

“Barangkali dia tak senang sebab dengan pemanggilan dirinya ke istana, hanya punya arti bahwa dia berpisah denganku…” pikir Purbajaya.

Pemuda ini hanya bisa menduga hingga di ditu. Ya, dugaan ini yang paling dekat sebab dirinya sendiri pun sebetulnya punya perasaan yang sama, bahwa ada sedikit sesal mengapa keputusan istana begitu tergesa-gesa. Ini terlalu cepat memisahkan dirinya dengan Paman Jayaratu. Belasan tahun dia dididik Paman Jayaratu tapi manakala harus berpisah, dia tak sempat bilang terimakasih atau pun sekadar ucapan perpisahan. Ini menyedihkan hatinya. Dan barangkali hati Paman Jayaratu pun begitu. Jadi bisa dimengerti bila orang tua itu tak senang kepada Pangeran Arya Damar.

Sekarang pemuda itu berpikir tentang Nyimas Waningyun. Selama lebih dari enam bulan ini di benaknya selalu ada bayanagan seorang gadis ayu yang berlesung pipit, yang berhidung mancung kecil dan dengan sepasang mata berbinar. Itulah Nyimas Waningyun. Selama berbulan-bulan ini hanya ada dalam bayangannya saja, tak dinyana dia diberi kesempatan untuk bersua kembali. Tapi senja tadi, begitu marahnya gadis itu. Dulu gadis itu membela dirinya, kini berputar total jadi bela pemuda bernama Rangga.

“Engkau harus malu kalau mengaku dirimu culas dan bengal!” terngiang lagi ucapan Nyimas Waningyun. Memang dia malu sekali sebab akal bulusnya ketahuan sudah. Kalau gadis itu sudah tahu dia senang berakal-bulus, bisa-bisa dia dibenci sepanjang masa.

“Satu kali berbohong, selama hidup orang takkan percaya.” Kini yang terngiang adalah nasihat Paman Jayaratu.

Betul, Nyimas Waningyun akan benci selamanya. Dan akan semakin benci pula dia kalau akal bulusnya bukan itu saja, melainkan juga yang menyebabkan gadis itu basah kuyup kecebur kolam. Bukankah kejadian ini gara-gara tubuh perahu itu dia lempar dengan kerikil sehingga bocor? Kalau gadis itu tahu, barangkali cercaannya akan berlipat-ganda. Bukan saja menuduhnya bengal, melainkan jahat. Jahat? Ouw, padahal Paman Jayaratu benci kejahatan.

“Hati-hati menjaga perasaanmu jangan sampai digilas oleh yang namanya iri. Iri adalah kembangnya kejahatan,” tutur Paman Jayaratu suatu kali.

Tidak salah orang tua itu berkata begitu. Dia bertekad membocorkan perahu karena didorong perasaan iri melihat pemuda lain bercengkrama dengan gadis-gadis cantik sementara dirinya penuh sepi.

Tapi sorot mata gadis itu penuh misteri. Purbajaya hanya merasakan, mulut dan kata-kata gadis itu saja yang pedas sedangkan matanya lembut dan… dan seperti menyiratkan cahaya tertentu padanya. Cahaya apa, Purbajaya tak bisa menduganya, kecuali berpikir dengan hati berdebar disertai perasaan harap-harap cemas. Harapan cintakah itu? Sampai di sini hatinya merandek. Dia tak tahu, apakah bila melihat wajah wanita cantik disertai perasaan berdebar merupakan sesuatu bernama cinta?

Lantas kalau memang begitu, bagaimana harus dimulai dan bagaimana pula selanjutnya? Kalau dia berani menyatakan cintanya, apakah tak akan terjadi sesuatu yang buruk? Purbajaya bingung memikirkannya. Dia bingung, bagaimana menyatakan perasaan ini, apakah musti melalui surat atau dengan menggunakan perantara, atau bahkan musti datang sendiri?

Namun belum sempat dia menimbang-nimbang berbagai cara yang barusan dia pikirkan, tangannya segera melayang dan menampar pipinya sendiri. Sialan, mengapa aku berani berpikir seperti itu? Ada satu pertanyaan yang musti dijawab terlebih dahulu, apakah gadis itu pun sama punya perasaan seperti itu padanya?

Kalau melihat sorot mata gadis itu padanya, Purbajaya serasa mau bilang ya. Tapi banyak kendala yang harus dia pikirkan. Nyimas Waningyun adalah putri seorang bangsawan terkemuka sedangkan dirinya sendiri apa? Tak berlebihan bila pemuda Rangga marah besar melihat dia berdekatan dengan Nyimas Waningyun sebab Purbajaya sudah menduga, pemuda itu tengah mengharapkan cinta gadis itu. Dan pemuda mana pun pasti mengharapkan cinta gadis itu.

Dan saingan Purbajaya sungguh berat. Dia hanyalah pemuda luntang-lantung yang tidak dikenal asal-usulnya, sementara para pesaingnya melulu keturunan bangsawan. Pemuda Rangga yang dia pecundangi itu, bukankah seorang pemuda bergelar raden? Dia adalah Raden Ranggasena putra bangsawan terkemuka bernama Pangeran Danuwarsa yang cukup ternama di Carbon ini? Sedih hatinya ketika memikirkan hal ini. Bila demikian halnya, Purbajaya hanya berhadapan dengan sebuah gunung semata. Dia tak punya daya untuk mendakinya.

PAGI harinya Purbajaya sudah dipanggil ke paseban. Di sana Pangeran Arya Damar sudah duduk dengan penampilan amat anggun. Bangsawan itu duduk bersila dengan tubuh tegak. Duduk di atas hamparan karpet beludru buatan Nagri Parasi (Iran). Dia memakai baju warna coklat muda terbuat dari kain beludru halus jenis bedahan lima. Keris beronce benang emas tak tertinggal terselip di pinggang bagian belakang. Bangsawan itu memakai tutup kepala bendo citak terbuat dari kain batik motif hihinggulan .

Yang membuat Purbajaya heran, di paseban itu pun sudah terdapat beberapa orang lainnya. Melihat jenis pakaian mereka, tentulah para perwira kerajaan. Ada empat orang di sana. Rata-rata memakai pakaian serba-hitam dengan kelim-kelim benang warna perak. Di pinggang bagian belakang, terpasang keris dengan ronce-ronce indah kendati tak seindah ronce keris yang dimiliki Pangeran Arya Damar.

Ketika Purbajaya datang ke paseban, keempat perwira itu menatapnya dengan penuh perhatian. Pemuda itu tak berani balik menatap. Selain akan dianggap tak sopan juga karena sorot mata mereka berwibawa.

“Kau duduk di sini, Purba …” kata Pangeran Arya Damar.



Purbajaya beringsut menuju ke tempat yang ditunjukkan pangeran itu. Menyembah hormat ke hadapan Pangeran Arya Damar, baru kemudian kepada yang lainnya.

“Engkau harus berkenalan dengan empat perwira ini, Purba,” tutur Pangeran Arya Damar sambil memperkenalkan mereka.

Lelaki bertubuh jangkung sedikit kurus dengan kumis tipis, diperkenalkan sebagai Ki Albani. Beranjak kepada orang kedua, wajahnmya sedikit bulat dengan kumis tebal, diperkenalkan sebagai Ki Aspahar. Kemudian yang berhidung melengkung dengan mata dalam disebutnya sebagai Ki Aliman dan yang berwajah pucat tapi punya sorot mata tajam diperkenalkan dengan nama Ki Marsonah.

Yang diperkenalkan ini sepertinya orang-orang yang tak suka banyak bicara dan mungkin juga tak punya keramahan. Terbukti dalam menerima hormat Purbajaya mereka hanya mengangguk kecil tanpa sesungging senyum sedikit pun.

“Kelak engkau akan ikut bertugas dengan keempat perwira ini, Purba… ” kata Pangeran Arya Damar menerangkan.

“Atasan sayakah mereka ini, Gusti?”

“Boleh dikata begitulah.”

“Tentu banyak tugas yang saya emban kelak,” kata Purbajaya.

“Kewajibanmu kelak hanyalah mengikuti perintah mereka,” kata lagi Pangeran Arya Damar sambil melirik ke arah empat perwira itu.

“Mengapa kami perlu bertemu khusus dengan pemuda ini, Pangeran? Tidak cukupkah bila dalam menerima penjelasan dia, kita satukan saja dengan para prajurit lainnya?” tanya Ki Aliman sambil memandang enteng kepada Purbajaya.

“Dia memang prajurit tapi tengah kami persiapkan untuk jadi perwira juga. Dia punya sesuatu hal yang khusus. Jadi jangan samakan dia dengan prajurit kebanyakan,” jawab Pangeran Arya Damar sepertinya bangga kepada Purbajaya.

“Maksud Pangeran, apakah pemuda ini punya kepandaian lebih tinggi dari kebanyakan prajurit?” Ki Aliman memicingkan matanya.

“Dia adalah murid Ki Jayaratu!” kata Pangeran Arya Damar.

Sejenak keempat orang perwira itu memperlihatkan wajah terkejut. Hanya sebentar saja sebab kemudian sudah terlihat biasa lagi.

“Kami percaya kepandaian Ki Jayaratu tapi tidak kepada muridnya,” kata Ki Aliman lagi tanpa melihat kepada Purbajaya.

“Purbajaya, Ki Aliman adalah tingkat keempat dari empat perwira ini. Silahkan kau turun ke halaman dan bermain-main dulu sebentar dengan Ki Aliman,” perkataan Pangeran Arya Damar ini bernada perintah. Tapi yang turun duluan adalah Ki Aliman. Bahkan dia langsung memasang kuda-kuda sebagai tanda siap untuk menguji kepandaian.

Purbajaya bimbang menghadapi peristiwa ini. Ini adalah pengalaman pertama di mana harus bertarung dengan orang lain. Memang benar selama bertahun-tahun mendapatkan gemblengan dan latihan kewiraan dari Paman Jayaratu tapi berkelahi secara sungguhan belum pernah dia lakukan. Melawan Ki Aliman barangkali hanya sekadar uji-coba saja. Tapi menurut pemuda ini, uji-coba punya arti sebagai pertandingan. Inilah yang merisaukannya.

Yang namanya bertanding dia belum pernah melakukannya. Apalagi berlatih kewiraan baginya hanya merupakan olah gerak semata agar badan selamanya merasa sehat. Mengalahkan apalagi membunuh orang lain adalah soal lain. Sudah berkali-kali Paman Jayaratu mengatakan bahwa mengalahkan orang lain belum tentu merupakan sebuah kemenangan. Orang yang dikalahkan akan memendam perasaan sakit hati, benci dan dendam. Dan bila dendam sudah membara maka setiap saat akan mencari peluang melakukan pembalasan. Dan karena dendam ini pula maka kedamaian selalu terganggu.

”Tak ada kemenangan selama tak ada kedamaian,” ujar Paman Jayaratu suatu kali.

Dan menurut orang tua ini, kemenangan abadi yang membawa kedamaian adalah kemenangan tanpa mengalahkan.

“Ada banyak cara agar kita mencapai kemenangan tanpa mengalahkan,” kata Paman Jayaratu pula.

“Bagaimana caranya, Paman?” tanya Purbajaya ketika itu.

“Mengalahlah untuk mencari kemenangan!”

Purbajaya melengak heran.

Kemudian Paman Jayaratu melanjutkan, ”Kemenangan artinya mencapai suatu tujuan. Jadi yang penting, tujuan akhirlah yang dicapai dan bukan bagaimana caranya. Dengan kata lain, kita bisa mencari kemenangan tanpa harus melalui jalan dari mengalahkan orang lain. Sebuah kemenangan bisa diraih tanpa melakukan kekerasan.”

“Ayo Purbajaya, turunlah ke pekarangan, Ki Aliman sudah menantimu!” seru Pangeran Arya Damar menyentakkan lamunan pemuda itu.

Dengan hati yang berat Purbajaya keluar dari ruangan paseban dan menuju pekarangan yang berumput hijau. Ki Aliman sudah berdiri di sana dengan kedudukan kuda-kuda yang kokoh. Sepasang kakinya terpentang lebar ke kiri dan ke kanan sementara kedua pasang tangan membentuk gerakan sayap garuda. Anggun dan nampak gagah sekali, kecuali hidungnya yang melengkung dan sorot matanya yang dalam serta bibirnya mengatup rapat amat menampakkan dirinya adalah seorang yang angkuh.

Dengan perasaan masih ragu, Purbajaya menghormat kepada lelaki berusia empatpuluhan ini dan hanya dibalasnya dengan sebuah anggukan kecil.

“Kita bermain-main sebentar, anak muda,” katanya pendek.

Sesudah itu, lelaki berikat kepala kain hitam kasar ini segera mengubah sikap. Sambil mengepak-epakkan sepasang tangannya menyerupai kepak sayap burung garuda, Ki Aliman bergerak ke kiri dan ke kanan, kemudian berhenti dengan hanya menotolkan ujung kaki kiri saja. Belakangan, Ki Aliman mengubah kuda-kudanya. Tangan kanannya membentuk siku-siku dengan telapak tangan menghadap ke atas. Tangan kirinya pun membentuk siku-siku tapi berada di bawah kedudukan tangan kirinya. Kini telapak tangan kanan mengepal keras membuat tinju.

Purbajaya pernah mengenal gerakan ini. Kata Paman Jayaratu, gerakan ini disebut Jurus Inti Garuda Paksi Tangan Delapan Bukan untuk penyerangan, melainkan untuk pertahanan belaka. Ini hanya membuktikan, Ki Aliman sebenarnya hanya akan menunggu serangan lawan dan bukan untuk mendahului melakukan serangan.

Ada berbagai penilaian Purbajaya melihat sikap ini. Pertama, Ki Aliman bersikap menunggu karena sebagai orang yang usianya berada di atas lawannya dia bersikap “sabar”. Namun penilaian kedua, bisa saja sikap ini menandakan kesombongan bahwa seorang yang kepandaiannya lebih tinggi, cenderung lebih menunggu lawan menyerang yang diketahui kepandaiannya ada di bawahnya. Atau bisa juga Ki Aliman punya kecerdikan lain. Banyak akhli berpendapat, bahwa serangan yang baik adalah pada saat lawan melakukan serangan. Mereka berpendapat bahwa bila lawan melakukan serangan, maka titik perhatiannya adalah pada penyerangan dan bukan pada pertahanan. Maka di saat dia melakukan serangan, akan terkuak pertahanan yang lowong. Itulah peluang si terserang untuk balik menyerang.

Karena punya pikiran seperti itu, maka Purbajaya bersikap hati-hati. Dia akan membagi dua perhatian. Setengah gerakan dia gunakan untuk menyerang dan setengahnya lagi untuk bertahan. Tapi bagaimana caranya, sudah barang tentu akan melihat dulu bagaimana nanti Ki Aliman melakukan serangan balasan.

Purbajaya mulai melakukan gerakan tertentu. Dia melangkah tiga tindak ke depan, sesudah itu melakukan gerakan ke samping kiri dan bersikap seolah-olah memutari tubuh Ki Aliman. Dengan cara memutar dia mencoba mengganggu pertahanan Ki Aliman. Lelaki itu akan terus mengubah sikap pertahanannya sesuai dengan gerakan memutar yang dilakukan Purbajaya. Sikap berubah-ubah karena mengikuti gerakan lawan, diperkirakan akan mengganggu konsentrasi dalam memantapkan kedudukan pertahanan.

Namun demikian, Ki Aliman belum mengubah sikap sepasang tangannya yang membentuk siku-siku di depan dadanya. Sungguh tepat sebab itu adalah pertahanan yang kokoh sebab semua bagian penting tubuhnya akan terlindungi dengan baik. Serangan mengarah dada jelas akan tertutup rapat. Bila Purbajaya hendak menyerang ubun-ubun akan ada tangan kiri yang melindungi. Demikian pun bila hendak menyerang ulu hatinya, tangan kanan dari depan dada tinggi bergeser ke bagian bawah. Satu-satunya pusat penyerangan adalah mengarah ke bagian tubuh lawan yang tak begitu penting tapi sebetulnya bebas dari perlindungan kuda-kuda.

Kaki adalah bagian tidak penting yang tidak memerlukan pengawalan secara khusus. Mengapa begitu sebab semua orang menganggap bahwa kaki adalah bagian senjata tubuh yang berfungsi sebagai alat untuk menyerang. Karena punya dugaan seperti ini, maka Purbajaya akan menitik-beratkan penyerangan ke bagian ini.

Oleh sebab itu, Purbajaya terus saja memutari tubuh Ki Aliman. Pandangan matanya tak lepas dari kepala lawan dengan harapan lawan menduga bahwa Purbajaya tengah mengincar kepala.

Purbajaya terus berputar dan berlari sepertinya tak ada tujuan lain baginya kecuali berlari sambil berputar. Sampai pada suatu saat Ki Aliman nampak kesal dan bosan dengan keadaan ini. Inilah modal penyerangan Purbajaya, yaitu membuat lawan bosan dan jenuh karena melihat gerakan monoton. Kesal dan marah akan menyebabkan hilangnya konsentrasi. Ketika kerut-merut di dahi Ki Aliman kian kentara, maka secara tiba-tiba Purbajaya mengubah gerakan. Kakinya tidak melakukan loncatan ke samping melainkan ke depan ke arah tubuh lawan.

Purbajaya berpura-pura seolah-olah mengarahkan serangan kedua belah tangannya ke arah ubun-ubun Ki Aliman. Dan benar perkiraannya, tangan kiri Ki Aliman bergerak ke atas.

Namun tentu saja Purbajaya tidak menghentikan serangan tangannya begitu saja. Dia ingin meyakinkan lawan bahwa dirinya hendak menyerang ubun-ubun. Tapi Purbajaya pun sadar bahwa tangan kanan Ki Aliman yang masih bersikap bebas sebenarnya adalah senjata yang kelak akan digunakan untuk melakukan serangan balasan. Maka sebelum tangan kanan itu digunakan untuk menyerang, terlebih dahulu harus disibukkan untuk melindungi. Tangan kiri pemuda itu tetap bersikap mengancam ubun-ubun tapi tangan kanan bersikap menyodok ke bawah untuk menohok ulu hati.

Ki Aliman segera menggerakkan tangan kanan ke bawah. Namun ternyata ini adalah serangan tipuan. Purbajaya tak menohok ke ulu hati, melainkan belok ke atas mengarah dada. Dengan demikian, secara tiba-tiba tangan Ki Aliman pun segera bergerak ke atas. Dan inilah peluang lowong. Ada kekosongan pertahanan di bagian bawah.

Seharusnya Purbajaya serentak menyerang telak ke arah ulu hati melalui serangan tangan kirinya. Namun itu adalah serangan ganas yang membahayakan dan pemuda itu tak mau menyinggung kemarahan lawan. Yang dia lakukan adalah menjatuhkan dirinya seperti hendak bersila secara cepat kaki kirinya memang dilipat meniru-niru gerakan orang hendak bersila namun kaki kanannya dia ayunkan dengan keras menyerang dengan sapuan bagian betis lawan.

Purbajaya sudah menduga kalau pada akhirnya tubuh Ki Aliman akan meloncat ke atas untuk menghindari sapuan ini. Untuk mencegah tindakan lawan, sapuan kakinya agak mengarah ke atas. Benar saja Ki Aliman melakukan gerakan meloncat. Tapi sapuan kaki kanan Purbajaya seolah terus mengejarnya sampai pada titik penghabisan gerakan loncatannya itu. Dan di saat tubuh Ki Aliman kembali bergerak turun, maka tak ayal, otot betis kaki kiri Ki Aliman mendapatkan sapuan keras telapak kaki kanan Purbajaya.

Otot betis termasuk bagian lemah yang sulit menahan serangan keras. Maka ketika menerima sapuan keras, tubuh Ki Aliman jungkir-balik ke belakang. Dari mulutnya terdengar suara teriakan keras pertanda kesakitan. Tubuh lelaki berhidung melengkung ini jatuh berdebum karena punggungnya menimpa permukaan tanah dengan keras. Dengan wajah merah padam dan sebentar berubah pucat, Ki Aliman segera bangkit berdiri. Namun untuk beberapa saat dia hanya berdiri terpaku. Namun kakinya terasa kaku dan ngilu karena kerasnya sapuan Purbajaya tadi.

Hanya sejenak saja dia berdiri mematung. Sesudah itu dengan suara gerengan keras dia menghambur melakukan serangan dahsyat. Ki Aliman meloncat ke depan, sedangkan sepasang tangannya secara bergantian melakukan serangan-serangan jarak jauh.

Purbajaya terkejut. Inilah serangan pukulan yang mempergunakan tenaga dalam. Semakin tinggi tenaga dalam yang dimiliki maka akan semakin dahsyat hasilnya. Orang yang memiliki tenaga dalam tinggi bahkan bisa melakukan pukulan hanya dengan angin pukulan yang dilayangkan dari jarak jauh. Artinya, tanpa tangan menyentuh tubuh lawan maka yang diserang akan terjungkal atau kesakitan kena angin pukulan.

Dulu Purbajaya tidak percaya dengan hal ini. Mustahil tanpa disentuh lawan bisa jatuh. Tapi kata Paman Jayaratu, dalam tubuh manusia terdapat salah satu daya. Dalam tubuh manusia terdapat sekitar satu triliun sel yang mengandung tenaga khusus (dalam pengetahuan ilmu bela diri masa kini dikenal sebagai sel bermuatan biolistrik tubuh). Antara satu sel dengan sel lainnya ada satu gaya yang pada zaman modern kini disebut sebagai gaya elektro magnetik dan selalu memancar keluar. Namun daya yang keluar bisa sangat kecil dan tidak teratur bila manusia tak sanggup memanfaatkannya secara benar.

“Oleh orang-orang yang benar-benar akhli, daya itu diatur sedemikian rupa. Misalnya tenaga ajaib itu dihimpun pada suatu bagian tubuh, sebutlah telapak tangan. Tenaga ajaib yang sudah terkumpul penuh di telapak tangan dikeluarkan secara serentak, maka jadilah sebuah tenaga tolakan yang amat dahsyat. Semakin baik orang melatihnya, akan semakin dahsyat hasilnya,” kata Paman Jayaratu beberapa waktu berselang.

Purbajaya pun akhirnya mendapatkan latihan dalam upaya menghimpun tenaga dalam. Mula-mula dia disuruh berhadapan dengan api pelita dalam jarak sekitar satu depa (1,698 meter). Dari jarak sejauh ini Purbajaya mendorongkan sepasang telapak tangannya yang dibuka lebar-lebar. Pada tahap awal api di pelita hanya bergoyang pelan. Namun semakin lama berlatih, goyangan api semakin keras. Sesudah lebih dari sebulan melakukan gerakan ini, barulah api bisa padam.

Kewajiban Purbajaya selanjutnya adalah mundurkan langkah beberapa depa ke belakang. Dengan jarak semakin jauh, harus tetap diusahakan cahaya api akan padam sesudah didorong angin pukulan tenaga dalam. Latihan ini terus ditingkatkan sehingga pada akhirnya angin pukulan pemuda itu sanggup merontokkan daun-daun pohon sawo di halaman gubuk. Hanya saja ketika latihan terus meningkat, Purbajaya tak sanggup meneruskannya. Pemuda ini merasa ngeri manakala melihat contoh yang diperagakan Paman Jayaratu.

Dengan pukulan jarak jauhnya, orang tua itu sanggup menghancurkan batang pohon. Purbajaya ngeri. Bila yang dihantam oleh angin pukulan itu adalah tubuh manusia bagaimana jadinya? Ngeri hatinya bila memikirkan bahwa latihan-latihan itu dan kepandaian itu bisa membuat musibah bila dilakukan dengan cara yang tak benar, membunuh orang misalnya.

“Tanpa berlatih kedigjayaan pun sebetulnya kita bisa membunuh orang. Jadi pada akhirnya, semuanya terpulang pada diri kita sendiri. Bila kita memiliki sebuah pisau, apakah mau digunakan mengupas mangga ataukah untuk membunuh manusia? Pisau adalah pisau. Mau digunakan sebagai alat kebajikan atau pun kejahatan, kita yang menentukan,” kata Paman Jayaratu tempo hari.

Purbajaya memang terus berlatih kendati tak memiliki kepandaian seperti yang diperagakan Paman Jayaratu. Dia masih tetap merasa ngeri dan menyangsikan, apakah bila kelak dia memiliki kepandaian sehebat itu tidak punya keinginan untuk membunuh orang?

Namun kepandaian tinggi ternyata dibutuhkan juga. Buktinya hari ini. Kendati belum tentu mendapatkan ancaman pembunuhan dari Ki Aliman, namun paling tidak Purbajaya harus sanggup mempertahankan nama baiknya di hadapan semua orang bahwa dia adalah murid Ki Jayaratu dan dia pun dipercaya untuk menerima titah negara. Kalau hari ini dia tak sanggup membuktikan dirinya sebagai orang yang memiliki kemampuan maka nama dia dan gurunya akan tercoreng.

Itulah sebabnya ketika menerima serangan angin pukulan dahsyat dari Ki Aliman, Purbajaya harus bijaksana meladeninya. Dia harus berupaya agar selain dirinya tak dipecundangi juga harus dijaga agar lawan pun tidak dipermalukan olehnya di hadapan umum. Dia harus ingat, pada mulanya Ki Aliman menantang dirinya hanya sekadar ingin menguji bukan untuk mengalahkannya. Selain itu, karena Ki Aliman menempatkan dirinya selaku penguji, hanya punya arti bahwa kemampuan si penguji tingkatannya harus lebih tinggi dari si penguji. Oleh sebab itu, Purbajaya jangan berkeras ingin kelihatan hebat dan apalagi terkesan tingkatannya jauh di atas Ki Aliman. Sambil dia tak kalah, dia pun jangan membuat Ki Aliman kalah.

Namun melihat gerakan Ki Aliman, Purbajaya menjadi khawatir. Wajah Ki Aliman masih nampak merah dan serbuan tenaga dalamnya secara penuh dikeluarkan. Kalau begitu, ini bukan lagi sekadar menguji, melainkan seperti berupaya akan membuat lawan cedera kalau pun tak dikatakan sebagai upaya untuk membunuhnya. Mengapa tak disebut begitu sebab serbuan tenaga dalam itu demikian dahsyat dalam jarak yang sedemikian dekatnya.

Purbajaya sudah tak bisa mengelak kecuali mencoba menahan gempuran dengan tenaga dalam pula. Dan bila demikian halnya, inilah pertarungan hidup dan mati. Purbajaya harus mengeluarkan tenaga dalam seimbang dengan kekuatan yang disalurkan lawan sebab kalau salah satu lebih tinggi atau lebih rendah maka pihak yang lemah akan menderita luka dalam. Susahnya Purbajaya tak bisa mengukur berapa kekuatan yang disalurkan Ki Aliman dalam menyerang dirinya. Kalau dia membatasi diri, takut Ki Aliman malah melontarkan tenaga dalam sepenuhnya dan akhirnya dirinyalah yang merugi. Maka untuk berjaga-jaga kearah itu, Purbajaya berusaha mengeluarkan tenaga dalam tiga perempatnya. Dia akan mencoba menolak serangan dahsyat itu dengan pengerahan tenaga dalam takaran khusus.

Suara angin terdengar bersiutan dan hawa dingin terasa mengarah dadanya. Dan ketika dua tenaga besar saling bertabrakan, maka terdengar suara ledakan keras disertai bunga api berpijar. Tubuh Purbajaya terlontar hampir empat depa dan tubuh Ki Aliman masih tetap berdiri di tempatnya tapi dari sudut bibirnya meleleh sedikit darah. Ketika Purbajaya bangun karena tadi terjengkang, adalah kebalikannya yang menimpa Ki Aliman. Lelaki bermata dalam berhidung melengkung itu malah ambruk ke atas tanah.

Dada Purbajaya sebetulnya serasa mau pecah karena menahan sakit. Tapi melihat Ki Aliman rebah tak berdaya, rasa khawatir pemuda itu mengalahkan segalanya. Dia takut Ki Aliman celaka karena ulahnya. Oleh sebab itu dia buru-buru mendekati tempat di mana Ki Aliman tertelungkup. Tiga perwira lainnya pun segera berlari mendekati Ki Aliman. Semuanya memeriksa tubuh lelaki itu dengan penuh seksama.

“Maafkan, saya terlalu kasar menghadapinya!” kata Purbajaya penuh sesal.

“Hm, adikku yang dungu…” gumam Ki Albani, perwira bertubuh kurus dan berkumis tipis.

“Pangeran, saya bersalah telah membuatnya terluka,” keluh Purbajaya lagi menengok ke arah Pangeran Arya Damar. Tapi Sang Pangeran malah tampak tertawa gembira melihat kejadian ini.

“Kekuatan kita semakin bertambah… ” gumamnya menatap Purbajaya dengan penuh arti.

Tapi melihat kekalahan Ki Aliman, Ki Aspahar yang bertubuh bulat dan berkumis tebal maju ke depan dan berniat akan menggantikan Ki Aliman untuk “menguji” Purbajaya.

“Tidak usah sebab rasanya sudah cukup,” kata Pangeran Arya Damar.

“Ki Aliman belum memperlihatkan kepandaian sesungguhnya. Belum tentu dia kalah oleh anak ingusan itu kalau dia bermain-main dengan benar,” kata Ki Aspahar tidak puas.

“Ini bukan mencari siapa menang siapa kalah. Yang penting kita bisa mengukur sejauh mana kepandaian anak muda ini. Dan anggaplah pengujian selesai. Aku sudah percaya kepada kepandaian anak ini dan dia cukup pantas menjadi anak buah kalian,” kata Pangeran Arya Damar.

“Pangeran benar, anak muda ini bisa diandalkan kelak,” kata Ki Albani yang nampak usianya paling tua di antara mereka.”Saya setuju dia ikut kita. Tapi akan lebih tenteram hati kami bila Pangeran sudi menerangkan siapa sebenarnya anak muda ini,” sambungnya sambil menatap tajam kepada Purbajaya.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment