Nagri Carbon dulu merupakan wilayah kekuasaan Pajajaran. Namun ketika agama baru bernama Islam semakin berpengaruh di wilayah pesisir Jawa Dwipa (Pulau Jawa), Cirebon atau Carbon bertekad melepaskan diri dari Pajajaran.
Sudah barang tentu penguasa Pakuan (ibukota Kerajaan Pajajaran) tidak senang kedaulatannya terkikis. Maka sejak saat itu hubungan cirebon dengan Pakuan semakin renggang. Cirebon sudah berhenti mengirimkan upeti. Penguasa Pakuan semakin cemas, apalagi melihat hubungan Cirebon dengan Kerajaan Demak, penyebar Islam di Jawa Dwipa semakin erat. Bahkan karena melihat hubungan ini semakin erat maka permusuhan terjadi.
“Bermusuhankah antara Carbon dan Pakuan, Pangeran?” tanya Purbajaya tiba-tiba.
“Ya, bermusuhan sekali!” jawab Pangeran Arya Damar tandas sekali.
Purbajaya mennoleh ke arah Paman Jayaratu yang nampak masih duduk dengan tegak namun nampak nyata tidak begitu menyimak penjelasan ini.
“Saya dengar Pajajaran tidak membenci Carbon sebab dahulu pendiri Carbon adalah putra-putri Sang Prabu Sri Baduga Maharaja, penguasa Pajajaran (1482-1521 Masehi). Permesuri Sang Prabu adalah Nyimas Subanglarang, dari Pesantren Quro wilayah Tanjungpura (Karawang kini) dan ketiga putranya yaitu Walangsungsang, Larasantang serta Raja Sangara ikut agama ibunya yaitu Islam,” potong Purbajaya.
“Benar, Nyimas Subanglarang orang Islam, anak-anaknya pun Islam juga dan kemudian mendirikan Carbon. Tapi ayahanda mereka bukan. Sang Prabu Sri Baduga Maharaja tak mau masuk agama baru. Itulah sebabnya, permusuhan terjadi,” kata Pangeran Arya Damar.
Purbajaya menoleh ke arah Paman Jayaratu, nampak orang itu menghela napas.
“Sudahlah, bukan itu yang jadi titik perbincangan kita,” kata bangsawan itu menepuk paha. Purbajaya pun seperti diingatkan kembali, bahwa percakapan utama adalah perihal dirinya.
Pangeran Arya Damar kembali melanjutkan kisahnya. Karena antara Carbon dan Pajajaran sudah tak ada persesuaian paham, maka beberapa kali terjadi pertempuran antara Carbon dan Pajajaran. Carbon yang mendapatkan bantuan militer secara penuh dari Kerajaan Demak, lebih unggul dan sering memperoleh kemenangan. Beberapa tempat-tempat penting milik Pajajaran bisa direbut. Enam pelabuhan penting milik Pajajaran yaitu Ciamo (muara Cimanuk), Caravan (Ujung Karawang), Tamaram (muara Cisadane), Pontang (Marunda) dan Pelabuhan Bantam (Karangantu, Banten) menjadi milik Carbon, mengakibatkan pengaruh Pajajaran semakin terkikis. Dulu dia adalah nagara maritim dan agraris dan kini tinggal sebagai negara agraris saja sebab pengaruh Pajajaran kini hanya sebatas di daerah pedalaman.
“Ketika terjadi banyak pertempuran engkau kami temukan!” kata Pangeran Arya Damar pada akhirnya.
Penjelasan ini amat mengejutkan Purbajaya. Dia menatap tajam ke arah pangeran itu, kemudian menoleh kepada Paman Jayaratu.
“Kalau begitu saya orang Pajajaran!” gumam Purbajaya.
“Benar, kau orang Pajajaran. Kau kami ambil di arena pertempuran yang terjadi antara Pasukan Carbon dan pasukan Pajajaran di wilayah Tanjungpura (Karawang kini),” tutur Pangeran Arya Damar lagi.
Purbajaya termenung lesu. “Saya anak musuh Carbon… ” gumamnya dengan wajah pucat.
“Hahaha…! Engkau bahkan anak dari penguasa Tanjungpura, anak muda,” kata Pangeran Arya Damar semakin mengejutkan hati Purbajaya.
Hening sejenak. Paman Jayaratu tak berkomentar, kecuali bersila dengan tubuh tegak namun dengan wajah tertunduk. Yang paling kacau pikiran adalah Purbajaya. Ada galauan sedih, terkejut, marah dan sesal. Dia selama ini hidup dan dididik oleh orang Carbon dan merasa orang Carbon, nyatanya anak keturunan dari Pajajaran.
“Saya anak musuh, mengapa tidak dibunuh?” tanya Purbajaya.
“Hahaha…! Itulah kemurahan hati orang Carbon, anak muda. Musuh tidak dibunuh bahkan diurus, diberi hidup dan diberi pendidikan. Namun tentu saja engkau tak boleh percuma tinggal di sini, harus ada semacam balas-budi,” tutur pangeran itu, memeluk kedua belah tangan dan mata menerawang ke beranda depan.
Purbajaya masih menatap pangeran itu.
“Barangkali sudah kau dapatkan penjelasannya…” kata Pangeran Arya Damar menatap.
“Saya ditugaskan kedayo (ibukota) Pajajaran, yaitu Pakuan,” kata Purbajaya.
“Sanggupkah?”
“Belasan tahun saya dididik pengetahuan. Kata Paman Jayaratu, saya akhli sebagai puhawang (akhli kebaharian), saya juga banyak menerima pendidikan kedigjayaan dan keagamaan. Kalau Carbon percaya dan berkenan memberi saya pekerjaan, maka semua kemampuan saya untuk negri ini,” kata Purbajaya sepenuh hati namun masih dengan perasaan sedih.
“Bagus. Itu yang aku inginkan. Kau akan masih dididik beberapa lama di sini, di puri ini. Semua tugas-tugasmu di bawah kendaliku,” ujar Sang Pangeran.
“Saya musti bersiap-siap untuk itu.”
“Sekarang pun engkau harus sudah siap. Mulai malam ini, kau menjadi bagian dari puri ini,” kata Pangeran Arya Damar tandas dan seperti tak boleh dibantah.
Tentu saja Purbajaya terkejut dengan perintah ini. Dia menatap Paman Jayaratu. Nampak orang tua itu pun terkejut dengan keputusan ini. Purbajaya menduga, barangkali pikiran dia dan Paman Jayaratu sama, yaitu tak ingin secepat itu berpisah. Benar keduanya masih berada di Carbon. Tapi yang namanya berjauhan tempat tinggal, itulah berpisah namanya.
Sudah barang tentu penguasa Pakuan (ibukota Kerajaan Pajajaran) tidak senang kedaulatannya terkikis. Maka sejak saat itu hubungan cirebon dengan Pakuan semakin renggang. Cirebon sudah berhenti mengirimkan upeti. Penguasa Pakuan semakin cemas, apalagi melihat hubungan Cirebon dengan Kerajaan Demak, penyebar Islam di Jawa Dwipa semakin erat. Bahkan karena melihat hubungan ini semakin erat maka permusuhan terjadi.
“Bermusuhankah antara Carbon dan Pakuan, Pangeran?” tanya Purbajaya tiba-tiba.
“Ya, bermusuhan sekali!” jawab Pangeran Arya Damar tandas sekali.
Purbajaya mennoleh ke arah Paman Jayaratu yang nampak masih duduk dengan tegak namun nampak nyata tidak begitu menyimak penjelasan ini.
“Saya dengar Pajajaran tidak membenci Carbon sebab dahulu pendiri Carbon adalah putra-putri Sang Prabu Sri Baduga Maharaja, penguasa Pajajaran (1482-1521 Masehi). Permesuri Sang Prabu adalah Nyimas Subanglarang, dari Pesantren Quro wilayah Tanjungpura (Karawang kini) dan ketiga putranya yaitu Walangsungsang, Larasantang serta Raja Sangara ikut agama ibunya yaitu Islam,” potong Purbajaya.
“Benar, Nyimas Subanglarang orang Islam, anak-anaknya pun Islam juga dan kemudian mendirikan Carbon. Tapi ayahanda mereka bukan. Sang Prabu Sri Baduga Maharaja tak mau masuk agama baru. Itulah sebabnya, permusuhan terjadi,” kata Pangeran Arya Damar.
Purbajaya menoleh ke arah Paman Jayaratu, nampak orang itu menghela napas.
“Sudahlah, bukan itu yang jadi titik perbincangan kita,” kata bangsawan itu menepuk paha. Purbajaya pun seperti diingatkan kembali, bahwa percakapan utama adalah perihal dirinya.
Pangeran Arya Damar kembali melanjutkan kisahnya. Karena antara Carbon dan Pajajaran sudah tak ada persesuaian paham, maka beberapa kali terjadi pertempuran antara Carbon dan Pajajaran. Carbon yang mendapatkan bantuan militer secara penuh dari Kerajaan Demak, lebih unggul dan sering memperoleh kemenangan. Beberapa tempat-tempat penting milik Pajajaran bisa direbut. Enam pelabuhan penting milik Pajajaran yaitu Ciamo (muara Cimanuk), Caravan (Ujung Karawang), Tamaram (muara Cisadane), Pontang (Marunda) dan Pelabuhan Bantam (Karangantu, Banten) menjadi milik Carbon, mengakibatkan pengaruh Pajajaran semakin terkikis. Dulu dia adalah nagara maritim dan agraris dan kini tinggal sebagai negara agraris saja sebab pengaruh Pajajaran kini hanya sebatas di daerah pedalaman.
“Ketika terjadi banyak pertempuran engkau kami temukan!” kata Pangeran Arya Damar pada akhirnya.
Penjelasan ini amat mengejutkan Purbajaya. Dia menatap tajam ke arah pangeran itu, kemudian menoleh kepada Paman Jayaratu.
“Kalau begitu saya orang Pajajaran!” gumam Purbajaya.
“Benar, kau orang Pajajaran. Kau kami ambil di arena pertempuran yang terjadi antara Pasukan Carbon dan pasukan Pajajaran di wilayah Tanjungpura (Karawang kini),” tutur Pangeran Arya Damar lagi.
Purbajaya termenung lesu. “Saya anak musuh Carbon… ” gumamnya dengan wajah pucat.
“Hahaha…! Engkau bahkan anak dari penguasa Tanjungpura, anak muda,” kata Pangeran Arya Damar semakin mengejutkan hati Purbajaya.
Hening sejenak. Paman Jayaratu tak berkomentar, kecuali bersila dengan tubuh tegak namun dengan wajah tertunduk. Yang paling kacau pikiran adalah Purbajaya. Ada galauan sedih, terkejut, marah dan sesal. Dia selama ini hidup dan dididik oleh orang Carbon dan merasa orang Carbon, nyatanya anak keturunan dari Pajajaran.
“Saya anak musuh, mengapa tidak dibunuh?” tanya Purbajaya.
“Hahaha…! Itulah kemurahan hati orang Carbon, anak muda. Musuh tidak dibunuh bahkan diurus, diberi hidup dan diberi pendidikan. Namun tentu saja engkau tak boleh percuma tinggal di sini, harus ada semacam balas-budi,” tutur pangeran itu, memeluk kedua belah tangan dan mata menerawang ke beranda depan.
Purbajaya masih menatap pangeran itu.
“Barangkali sudah kau dapatkan penjelasannya…” kata Pangeran Arya Damar menatap.
“Saya ditugaskan kedayo (ibukota) Pajajaran, yaitu Pakuan,” kata Purbajaya.
“Sanggupkah?”
“Belasan tahun saya dididik pengetahuan. Kata Paman Jayaratu, saya akhli sebagai puhawang (akhli kebaharian), saya juga banyak menerima pendidikan kedigjayaan dan keagamaan. Kalau Carbon percaya dan berkenan memberi saya pekerjaan, maka semua kemampuan saya untuk negri ini,” kata Purbajaya sepenuh hati namun masih dengan perasaan sedih.
“Bagus. Itu yang aku inginkan. Kau akan masih dididik beberapa lama di sini, di puri ini. Semua tugas-tugasmu di bawah kendaliku,” ujar Sang Pangeran.
“Saya musti bersiap-siap untuk itu.”
“Sekarang pun engkau harus sudah siap. Mulai malam ini, kau menjadi bagian dari puri ini,” kata Pangeran Arya Damar tandas dan seperti tak boleh dibantah.
Tentu saja Purbajaya terkejut dengan perintah ini. Dia menatap Paman Jayaratu. Nampak orang tua itu pun terkejut dengan keputusan ini. Purbajaya menduga, barangkali pikiran dia dan Paman Jayaratu sama, yaitu tak ingin secepat itu berpisah. Benar keduanya masih berada di Carbon. Tapi yang namanya berjauhan tempat tinggal, itulah berpisah namanya.
Hari ini dan seterusnya, dia akan tinggal di kompleks istana. Barangkali segalanya serba enak namun terasa asing. Beda lagi dengan bila berkumpul bersama Paman Jayaratu. Tinggal di dusun sunyi, rumah pun beratap rumbia dan berlantai tanah. Tapi itulah kehidupannya. Jauh dengan Paman Jayaratu tentu akan sunyi dan rindu. Orang tua ini mendidiknya dengan keras dan ketat namun tak pernah memarahinya. Inilah kerinduan, inilah kenangan. Mengapa dia tiba-tiba harus dipisahkan dari Paman Jayaratu?
“Saya perlu beberapa hari untuk berkemas-kemas, Pangeran,” Purbajaya memohon.
“Segala sesuatu mengenai keperluanmu sudah disiapkan. Tinggalkan masa-lalumu. Kau bukan lagi pemuda dusun yang tak tahu sopan-santun, melainkan seorang ksatria dan calon perwira dari Carbon. Kau adalah keturunan bangsawan. Jadi, di Carbon pun kau tetap bangsawan. Tapi ada satu hal yang jangan terlupa. Kau bisa tinggal di sini karena utang budi. Camkan itu,” kata Pangeran Arya Damar.
Purbajaya mengangguk pelan.
“Malam sudah semakin larut. Ki Jayaratu silahkan istirahat pulang. Anak ini Insya Allah aman dalam lindungan istana,” kata Pangeran Arya Damar mengusir halus.
Paman Jayaratu menyembah takzim, kemudian beringsut ke belakang.
Dan tanpa sempat saling pandang dengan Purbajaya, orang tua itu segera meninggalkan paseban (bangsal tempat pertemuan penting).
PURBAJAYA tak sanggup menilai, mimpi apakah ini? Sebuah anugrah ataukah sekadar mimpi buruk? Dianggap anugrah boleh juga sebab kehidupan dia secara lahiriah jadi terangkat. Baru dua hari saja tinggal di puri itu sudah dihormati dan disembah, baik oleh para jagabaya maupun oleh dayang istana. Jenis pakaian pun kini menjadi serba indah. Kalau sebelumnya dia hanya memakai baju rompi jenis kain kasar dan celana sontong (celana sebatas betis) juga dari kain kasar, di Puri Arya Damar pakaian yang dikenakan adalah jauh dari jenis yang digunakan orang kebanyakan.
Dia memakai pakaian untuk kaum santana (masyarakat golongan menengah, termasuk kaum ksatria). Kalau pun dia sedang menggunakan rompi dan sontog, hanyalah sebatas bila tengah berlatih kemiliteran di alun-alun. Pada hari-hari biasa dia selalu memakai pakaian necis. Seperti hari itu misalnya. Sore hari dia menyusuri benteng bata-merah sambil menggunakan baju jubah warna kuning mencolok. Jubah itu menjurai ke bawah sebatas lipatan dengkul. Dia menggunakan celana komprang warna hitam yang pada setiap pinggirnya berkelim benang perak. Kepalanya ditutup bendo citak dengan kain batik corak hihinggulan dengan garis-garis putih coklat. Inilah mungkin anugrah baginya.
Tapi dia juga berpikir tentang mimpi buruk. Betapa tidak. Dia hadir di sini sebenarnya sebagai orang yang berkewajiban menebus utang budi. Inilah yang menyedihkan hatinya. Sebelum berita perihal dirinya diketahui pasti, dia mengabdi di Negri Carbon karena pilihan hatinya. Carbon adalah negri tempat dia bernaung, berjuang dan mungkin mati.
Tapi ada tuntutan yang tak berkenan di hatinya dan amat mengecewakan. Dia harus bekerja untuk negri ini karena urusan utang budi. Ya, utang budi seperti anjing kurus diurus dan sesudah gemuk musti taat tuannya. Mengapa kedudukannya jadi seperti itu, padahal sejak semula pengabdiannya hanyalah karena cinta tanah air semata. Tanah air? Oh, ya! Bukankah tanah air sebenarnya buat dirinya adalah Pajajaran? Tanjungpura, kata Pangeran Arya Damar adalah kampung halamannya dan Tanjungpura itu wilayah Pajajaran.
Dia dikhabari sebagai anak penguasa Tanjungpura. Kalau begitu dia anak seorang kandagalante ( setingkat wedana kini). Memang sudah termasuk kalangan bangsawan juga. Menurut khabar, yang jadi penguasa di wilayah Pajajaran biasanya merupakan bagian dari kerabat raja juga. Purbajaya tak mau tahu, apa benar dia masih kerabat raja atau bukan. Yang jelas khabar-khabar bahwa dia bukan orang Carbon dan “diambil” dari sisa pertempuran, amat menyakitkan hatinya. Itulah sebabnya, di sore hari yang cerah ini, dia jalan-jalan menyusuri benteng Istana Pakungwati kendati dengan hati loyo.
“Itu dia anak muda yang kami maksud, Nyimas!” terdengar celoteh suara perempuan.
Purbajaya menatap ke depan. Berjarak kurang lebih sepuluh depa di depan ada serombongan gadis. Pakaian mereka indah-indah, mengingatkan dirinya pada perayaan muludan beberapa bulan lalu. Tapi yang membuat jantungnya berdegup dan bertalu-talu karena melihat siapa gadis yang berjalan paling depan.
“Nyimas Waningyun… ” bisiknya tak terasa.
Ya, dia tak pernah lupa wajah putih mulus dengan lesung pipit di pipi kirinya serta hidung kecil mancung dan mata berbinar itu. Selama hampir enam bulan semenjak pertama kali bertemu dengan gadis itu di pesta muludan yang berakhir dengan keributan, Purbajaya tak pernah lupa akan wajah purnama itu.
Purbajaya merandeg dan sepasang kakinya serasa terpaku di tanah, sedangkan matanya tak lepas-lepasnya memandang purnama gemilang itu. Belakangan baru dia sadar sesudah terdengar suara cekikikan di depannya. Yang tertawa adalah gadis-gadis yang tadi jadi pengiring Nyimas Waningyun. Barangkali mereka mengetawakan tindak-tanduk Purbajaya yang nampak lucu. Betapa tidak, mulut pemuda itu melongo dan matanya tak berkedip seperti mata ikan peda.
“Hei, awas nanti ada lalat masuk ke mulutmu!” teriak gadis-gadis itu.
Purbajaya memalingkan muka kemudian menunduk. Sepasang pipinya terasa panas. Kalau dilihat orang, barangkali pipi itu bersemu merah seperti udang direbus.
“Nah lihat, sekarang pemuda itu menunduk malu seperti bocah dimarahi ibunya,” goda gadis-gadis itu sambil kembali cekikikan.
“Sudahlah, kasihan dia digoda terus,” tutur suara lain yang terdengar halus dan merdu.
Purbajaya masih berdiri terpaku. Ternyata Nyimas Waningyun pun masih tak beranjak dari tempatnya. Gadis bermata binar itu pun ternyata masih berdiri terpaku. Matanya yang jernih menatap lama ke arah Purbajaya. Ketika pemuda itu balik menatap, gadis itu cepat menunduk. Menatap sebentar kemudian menunduk lagi sesudah tahu bahwa dirinya masih ditatap pemuda itu. Akan halnya Purbajaya, dia pun bertindak-tanduk sama. Menatap dan kemudian menunduk sesudah tahu bahwa gadis itu menatap dirinya.
“Hai, kok saling tatap begitu. Majulah anak muda kalau dirimu merasa jantan,” tantang salah seorang gadis pengiring.
Tapi ditantang seperti itu, Purbajaya bukannya maju, melainkan malah kian tertunduk saja, sehingga membuat suara cekikikan semakin banyak.
“Ayolah maju, Nyimas!”
Tubuh gadis itu didorong-dorong dari belakang. Maksudnya agar segera mendekat ke arah Purbajaya. Sudah barang tentu gadis itu ogah. Dia malah berpegang pada tepian benteng dengan erat seperti orang takut jatuh. Melihat adegan ini, Purbajaya jadi berani tersenyum.
“Mengapa senyum-senyum? Monyet kamu, ya?” celetuk salah seorang gadis pengiring.
“Masa iya monyet bisa senyum?” jawab Purbajaya mulai berani bicara.
“Memang bukan senyum sebab kamu tadi itu cengar-cengir. Monyet kan yang cengar-cengir?”
“Purbajaya mengatupkan bibir sebagai tanda tak suka. Namun sungguh aneh, gadis berlesung pipit pun sama mengatupkan bibir. Tak sukakah Purbajaya disebut monyet oleh orang lain? Oh, kalau begitu, Nyimas Waningyun membelaku! Hati Purbajaya berbunga-bunga.
“Sudahlah, kalian jangan menggoda kami,” kaya Nyimas Waningyun.
“Eh, kok kami? Kami itu, Nyimas dengan siapa?” gadis-gadis itu seperti tak habis-habisnya menggoda. Semakin gugup dan semakin merona warna pipi gadis itu.
Purbajaya merrasa kasihan kepada Nyimas Waningyun. Gadis itu habis kena goda karena kehadiran dirinya. Maka untuk jangan keterusan, maka dia mengangguk dan kemudian membalikkan diri untuk segera berlalu dari tempat itu.
“Hai, hai! Mau ke mana? Tidakkah engkau tahu bahwa jauh-jauh datang kemari karena Nyimas ingin bertemu denganmu?” teriak seorang gadis, membuat pipi Purbajaya terasa panas dan dada berdegup. Tanpa sadar, pemuda itu serentak menghentikan langkahnya.
“Hai, coba balik sini, kok tidak sopan sekali berdiri sambil memberi punggung?” terdengar lagi suara gadis.
Seperti kena sihir saja, Purbajaya membalikkan tubuhya dan menghadapkan wajah ke arah mereka. Namun hanya sebentar sebab kepalanya segera tertunduk malu. Terjadilah adegan yang lucu. Dua pasang muda-mudi berdiri berhadapan namun dengan kepala tertunduk, sedangkan di sekelilingnya beberapa gadis sibuk menonton sambil tertawa-tawa.
“Pergilah kalian. Aku bisa mati kalau terus digoda seperti ini…” keluh Nyimas Waningyun dengan suara parau.
Namun walau masih senyum-senyum, pada akhirnya semua gadis pengiring mundur teratur dan tinggallah Purbajaya berdua dengan Nyimas Waningyun. Keduanya masih sama membisu dan Purbajaya tak tahu bagaimana harus memulai.
“Maafkan saya…“
“Maafkan saya…“
Dua suara dengan bunyi kalimat yang sama, hampir berbareng diucapkan oleh mereka. Kedua orang muda-mudi ini terkejut sendiri. Keduanya menganga, terbelalak namun keduanya akhirnya sama-sama tertawa geli. Nyimas Wanungyun tertawa sambil menutupi mulutnya dengan punggung tangan kanannya.
“Saya harus memaafkan apa, Nyimas?” tanya Purbajaya.
“Apa pula yang harus saya maafkan untukmu? Oh, siapa namamu? Purbajaya, ya?” gadis itu mulai berani buka suara.
Purbajaya pun mengangguk gembira bahwa gadis itu sudah mengenal namanya. Hanya dalam dua hari gadis itu tahu namanya, hanya menandakan bahwa Nyimas Waningyun memperhatikan dirinya.
“Nyimas masih ingat saya?”
“Tidak. Hanya merasa diingatkan kembali. Oh, ya. Engkau sebetulnya pemuda bengal. Engkau harus minta maaf ke sana ke mari. Kepada Raden Ranggasena juga terhadapku!” sergah gadis itu.
“Lho, barusan Nyimas berkata apa yang musti dimaafkan. Sekarang malah Nyimas minta agar saya minta maaf,” kata Purbajaya heran tapi dengan mengulum senyum.
“Ya, harus minta maaf karena engkau bengal, licik dan tukang bohong!” sergah lagi gadis itu. Kini malah telunjuk kanannya yang kecil dan putih bersih menuding hidung Purbajaya.
Pemuda itu melihat hidungnya sendiri dengan picingkan mata, kemudian mencoba menyeka hidung, seperti di bagian tubuhnya itu ada kotoran menempel.
“Bukan di hidungmu!”
“Di mana?”
“Di hatimu! Hatimu itu!” teriak gadis kecil itu marah tapi merdu.
“Di hatiku?” giliran pemuda itu yang pegang dadanya. “Ada apa di hatiku?” tanyanya ketolol-tololan.
“Terkalah sendiri, ada apa di hatimu?”
“Ouw, saya tahu!”
“Ya, coba katakan!” desak gadis itu.
Tapi Purbajaya malah diam. Kembali gadis itu mendesak dan untuk ke sekian kalinya Purbajaya berdiam diri.
“Saya malu mengatakannya…” jawab pemuda itu bersemu merah.
“Memang harus malu kalau merasa diri culas dan bengal.”
“Eh, hatiku tidak culas dan juga tidak bengal. Apa yang ada di hatiku benar-benar tulus dan murni serta bisa dipercaya,” kata Purbajaya dengan suara sungguh-sungguh.
“Tidak bisa dipercaya sebab engkau telah merugikan orang lain dengan main sembunyi. Dengarkan hai pemuda bodoh. Sampai seminggu lamanya dari kejadian itu, Raden Ranggasena tak bisa ke luar puri dan kerjanya tidur melulu.”
“Mengapa?”
“Karena kakinya bengkak, urat nadinya tersumbat!”
“Lho?”
“Jangan lha-lha-lho-lho! Kaki itu bengkak karena ulahmu. Alhasil engkau waktu itu mengibuli orang. Berkaok-kaok pura-pura kesakitan seolah-olah disakiti Raden Rangga, padahal engkaulah sebetulnya yang mencederai pemuda bangsawan itu. Dan sialnya… Oh, malu aku mengatakannya!”
“Tentang apa, Nyimas?”
“Tentang, betapa aku mengkhawatirkanmu sampai-sampai aku marahi Raden Rangga, sampai-sampai aku pegang-pegang tubuhmu… Oh!” Nyimas Waningyun membuang muka kemudian lari meninggalkan tempat itu.
Tinggallah Purbajaya berdiri mematung di tempat sunyi. Aneh sekali, pikirnya. Pada pertemuan awal, gadis itu nampak begitu manis begitu ramah dan bergalau tawa. Kenapa setelah ingat peristiwa lama malah jadi uring-uringan?
Ow, sialnya aku! Mengapa tak marah? Ya, siapa takkan sebal kalau pada akhirnya tindakan pura-puranya ketahuan? Pasti gadis itu marah karena merasa dipermainkan. Ya, dia masih ingat bahkan suka tertawa sendiri kalau mengingatnya. Raden Ranggasena menerjang Purbajaya dengan tendangan telak, namun serangan ini segera dijemput totokan ibu jari tangannya yang bertindak seolah tengah melindungi kepalanya dari serangan itu. Purbajaya pura-pura terjengkang ke belakang dan menjerit kesakitan. Padahal yang sebenarnya terjadi, Ranggasenalah yang terluka karena urat nadi di telapal kakinya tersumbat.
Tidakkah Nyimas Waningyun pun tahu bahwa perahu bocor di tengah kolam pun sebetulnya sengaja dilubangi olehnya? Pikir Purbajaya melamun seorang diri. Dengan hati murung pemuda itu berjalan pelan menyusuri benteng istana. Sayup-sayup terdengar suara azan magrib dari Mesjid Sang Ciptarasa.
“Saya perlu beberapa hari untuk berkemas-kemas, Pangeran,” Purbajaya memohon.
“Segala sesuatu mengenai keperluanmu sudah disiapkan. Tinggalkan masa-lalumu. Kau bukan lagi pemuda dusun yang tak tahu sopan-santun, melainkan seorang ksatria dan calon perwira dari Carbon. Kau adalah keturunan bangsawan. Jadi, di Carbon pun kau tetap bangsawan. Tapi ada satu hal yang jangan terlupa. Kau bisa tinggal di sini karena utang budi. Camkan itu,” kata Pangeran Arya Damar.
Purbajaya mengangguk pelan.
“Malam sudah semakin larut. Ki Jayaratu silahkan istirahat pulang. Anak ini Insya Allah aman dalam lindungan istana,” kata Pangeran Arya Damar mengusir halus.
Paman Jayaratu menyembah takzim, kemudian beringsut ke belakang.
Dan tanpa sempat saling pandang dengan Purbajaya, orang tua itu segera meninggalkan paseban (bangsal tempat pertemuan penting).
PURBAJAYA tak sanggup menilai, mimpi apakah ini? Sebuah anugrah ataukah sekadar mimpi buruk? Dianggap anugrah boleh juga sebab kehidupan dia secara lahiriah jadi terangkat. Baru dua hari saja tinggal di puri itu sudah dihormati dan disembah, baik oleh para jagabaya maupun oleh dayang istana. Jenis pakaian pun kini menjadi serba indah. Kalau sebelumnya dia hanya memakai baju rompi jenis kain kasar dan celana sontong (celana sebatas betis) juga dari kain kasar, di Puri Arya Damar pakaian yang dikenakan adalah jauh dari jenis yang digunakan orang kebanyakan.
Dia memakai pakaian untuk kaum santana (masyarakat golongan menengah, termasuk kaum ksatria). Kalau pun dia sedang menggunakan rompi dan sontog, hanyalah sebatas bila tengah berlatih kemiliteran di alun-alun. Pada hari-hari biasa dia selalu memakai pakaian necis. Seperti hari itu misalnya. Sore hari dia menyusuri benteng bata-merah sambil menggunakan baju jubah warna kuning mencolok. Jubah itu menjurai ke bawah sebatas lipatan dengkul. Dia menggunakan celana komprang warna hitam yang pada setiap pinggirnya berkelim benang perak. Kepalanya ditutup bendo citak dengan kain batik corak hihinggulan dengan garis-garis putih coklat. Inilah mungkin anugrah baginya.
Tapi dia juga berpikir tentang mimpi buruk. Betapa tidak. Dia hadir di sini sebenarnya sebagai orang yang berkewajiban menebus utang budi. Inilah yang menyedihkan hatinya. Sebelum berita perihal dirinya diketahui pasti, dia mengabdi di Negri Carbon karena pilihan hatinya. Carbon adalah negri tempat dia bernaung, berjuang dan mungkin mati.
Tapi ada tuntutan yang tak berkenan di hatinya dan amat mengecewakan. Dia harus bekerja untuk negri ini karena urusan utang budi. Ya, utang budi seperti anjing kurus diurus dan sesudah gemuk musti taat tuannya. Mengapa kedudukannya jadi seperti itu, padahal sejak semula pengabdiannya hanyalah karena cinta tanah air semata. Tanah air? Oh, ya! Bukankah tanah air sebenarnya buat dirinya adalah Pajajaran? Tanjungpura, kata Pangeran Arya Damar adalah kampung halamannya dan Tanjungpura itu wilayah Pajajaran.
Dia dikhabari sebagai anak penguasa Tanjungpura. Kalau begitu dia anak seorang kandagalante ( setingkat wedana kini). Memang sudah termasuk kalangan bangsawan juga. Menurut khabar, yang jadi penguasa di wilayah Pajajaran biasanya merupakan bagian dari kerabat raja juga. Purbajaya tak mau tahu, apa benar dia masih kerabat raja atau bukan. Yang jelas khabar-khabar bahwa dia bukan orang Carbon dan “diambil” dari sisa pertempuran, amat menyakitkan hatinya. Itulah sebabnya, di sore hari yang cerah ini, dia jalan-jalan menyusuri benteng Istana Pakungwati kendati dengan hati loyo.
“Itu dia anak muda yang kami maksud, Nyimas!” terdengar celoteh suara perempuan.
Purbajaya menatap ke depan. Berjarak kurang lebih sepuluh depa di depan ada serombongan gadis. Pakaian mereka indah-indah, mengingatkan dirinya pada perayaan muludan beberapa bulan lalu. Tapi yang membuat jantungnya berdegup dan bertalu-talu karena melihat siapa gadis yang berjalan paling depan.
“Nyimas Waningyun… ” bisiknya tak terasa.
Ya, dia tak pernah lupa wajah putih mulus dengan lesung pipit di pipi kirinya serta hidung kecil mancung dan mata berbinar itu. Selama hampir enam bulan semenjak pertama kali bertemu dengan gadis itu di pesta muludan yang berakhir dengan keributan, Purbajaya tak pernah lupa akan wajah purnama itu.
Purbajaya merandeg dan sepasang kakinya serasa terpaku di tanah, sedangkan matanya tak lepas-lepasnya memandang purnama gemilang itu. Belakangan baru dia sadar sesudah terdengar suara cekikikan di depannya. Yang tertawa adalah gadis-gadis yang tadi jadi pengiring Nyimas Waningyun. Barangkali mereka mengetawakan tindak-tanduk Purbajaya yang nampak lucu. Betapa tidak, mulut pemuda itu melongo dan matanya tak berkedip seperti mata ikan peda.
“Hei, awas nanti ada lalat masuk ke mulutmu!” teriak gadis-gadis itu.
Purbajaya memalingkan muka kemudian menunduk. Sepasang pipinya terasa panas. Kalau dilihat orang, barangkali pipi itu bersemu merah seperti udang direbus.
“Nah lihat, sekarang pemuda itu menunduk malu seperti bocah dimarahi ibunya,” goda gadis-gadis itu sambil kembali cekikikan.
“Sudahlah, kasihan dia digoda terus,” tutur suara lain yang terdengar halus dan merdu.
Purbajaya masih berdiri terpaku. Ternyata Nyimas Waningyun pun masih tak beranjak dari tempatnya. Gadis bermata binar itu pun ternyata masih berdiri terpaku. Matanya yang jernih menatap lama ke arah Purbajaya. Ketika pemuda itu balik menatap, gadis itu cepat menunduk. Menatap sebentar kemudian menunduk lagi sesudah tahu bahwa dirinya masih ditatap pemuda itu. Akan halnya Purbajaya, dia pun bertindak-tanduk sama. Menatap dan kemudian menunduk sesudah tahu bahwa gadis itu menatap dirinya.
“Hai, kok saling tatap begitu. Majulah anak muda kalau dirimu merasa jantan,” tantang salah seorang gadis pengiring.
Tapi ditantang seperti itu, Purbajaya bukannya maju, melainkan malah kian tertunduk saja, sehingga membuat suara cekikikan semakin banyak.
“Ayolah maju, Nyimas!”
Tubuh gadis itu didorong-dorong dari belakang. Maksudnya agar segera mendekat ke arah Purbajaya. Sudah barang tentu gadis itu ogah. Dia malah berpegang pada tepian benteng dengan erat seperti orang takut jatuh. Melihat adegan ini, Purbajaya jadi berani tersenyum.
“Mengapa senyum-senyum? Monyet kamu, ya?” celetuk salah seorang gadis pengiring.
“Masa iya monyet bisa senyum?” jawab Purbajaya mulai berani bicara.
“Memang bukan senyum sebab kamu tadi itu cengar-cengir. Monyet kan yang cengar-cengir?”
“Purbajaya mengatupkan bibir sebagai tanda tak suka. Namun sungguh aneh, gadis berlesung pipit pun sama mengatupkan bibir. Tak sukakah Purbajaya disebut monyet oleh orang lain? Oh, kalau begitu, Nyimas Waningyun membelaku! Hati Purbajaya berbunga-bunga.
“Sudahlah, kalian jangan menggoda kami,” kaya Nyimas Waningyun.
“Eh, kok kami? Kami itu, Nyimas dengan siapa?” gadis-gadis itu seperti tak habis-habisnya menggoda. Semakin gugup dan semakin merona warna pipi gadis itu.
Purbajaya merrasa kasihan kepada Nyimas Waningyun. Gadis itu habis kena goda karena kehadiran dirinya. Maka untuk jangan keterusan, maka dia mengangguk dan kemudian membalikkan diri untuk segera berlalu dari tempat itu.
“Hai, hai! Mau ke mana? Tidakkah engkau tahu bahwa jauh-jauh datang kemari karena Nyimas ingin bertemu denganmu?” teriak seorang gadis, membuat pipi Purbajaya terasa panas dan dada berdegup. Tanpa sadar, pemuda itu serentak menghentikan langkahnya.
“Hai, coba balik sini, kok tidak sopan sekali berdiri sambil memberi punggung?” terdengar lagi suara gadis.
Seperti kena sihir saja, Purbajaya membalikkan tubuhya dan menghadapkan wajah ke arah mereka. Namun hanya sebentar sebab kepalanya segera tertunduk malu. Terjadilah adegan yang lucu. Dua pasang muda-mudi berdiri berhadapan namun dengan kepala tertunduk, sedangkan di sekelilingnya beberapa gadis sibuk menonton sambil tertawa-tawa.
“Pergilah kalian. Aku bisa mati kalau terus digoda seperti ini…” keluh Nyimas Waningyun dengan suara parau.
Namun walau masih senyum-senyum, pada akhirnya semua gadis pengiring mundur teratur dan tinggallah Purbajaya berdua dengan Nyimas Waningyun. Keduanya masih sama membisu dan Purbajaya tak tahu bagaimana harus memulai.
“Maafkan saya…“
“Maafkan saya…“
Dua suara dengan bunyi kalimat yang sama, hampir berbareng diucapkan oleh mereka. Kedua orang muda-mudi ini terkejut sendiri. Keduanya menganga, terbelalak namun keduanya akhirnya sama-sama tertawa geli. Nyimas Wanungyun tertawa sambil menutupi mulutnya dengan punggung tangan kanannya.
“Saya harus memaafkan apa, Nyimas?” tanya Purbajaya.
“Apa pula yang harus saya maafkan untukmu? Oh, siapa namamu? Purbajaya, ya?” gadis itu mulai berani buka suara.
Purbajaya pun mengangguk gembira bahwa gadis itu sudah mengenal namanya. Hanya dalam dua hari gadis itu tahu namanya, hanya menandakan bahwa Nyimas Waningyun memperhatikan dirinya.
“Nyimas masih ingat saya?”
“Tidak. Hanya merasa diingatkan kembali. Oh, ya. Engkau sebetulnya pemuda bengal. Engkau harus minta maaf ke sana ke mari. Kepada Raden Ranggasena juga terhadapku!” sergah gadis itu.
“Lho, barusan Nyimas berkata apa yang musti dimaafkan. Sekarang malah Nyimas minta agar saya minta maaf,” kata Purbajaya heran tapi dengan mengulum senyum.
“Ya, harus minta maaf karena engkau bengal, licik dan tukang bohong!” sergah lagi gadis itu. Kini malah telunjuk kanannya yang kecil dan putih bersih menuding hidung Purbajaya.
Pemuda itu melihat hidungnya sendiri dengan picingkan mata, kemudian mencoba menyeka hidung, seperti di bagian tubuhnya itu ada kotoran menempel.
“Bukan di hidungmu!”
“Di mana?”
“Di hatimu! Hatimu itu!” teriak gadis kecil itu marah tapi merdu.
“Di hatiku?” giliran pemuda itu yang pegang dadanya. “Ada apa di hatiku?” tanyanya ketolol-tololan.
“Terkalah sendiri, ada apa di hatimu?”
“Ouw, saya tahu!”
“Ya, coba katakan!” desak gadis itu.
Tapi Purbajaya malah diam. Kembali gadis itu mendesak dan untuk ke sekian kalinya Purbajaya berdiam diri.
“Saya malu mengatakannya…” jawab pemuda itu bersemu merah.
“Memang harus malu kalau merasa diri culas dan bengal.”
“Eh, hatiku tidak culas dan juga tidak bengal. Apa yang ada di hatiku benar-benar tulus dan murni serta bisa dipercaya,” kata Purbajaya dengan suara sungguh-sungguh.
“Tidak bisa dipercaya sebab engkau telah merugikan orang lain dengan main sembunyi. Dengarkan hai pemuda bodoh. Sampai seminggu lamanya dari kejadian itu, Raden Ranggasena tak bisa ke luar puri dan kerjanya tidur melulu.”
“Mengapa?”
“Karena kakinya bengkak, urat nadinya tersumbat!”
“Lho?”
“Jangan lha-lha-lho-lho! Kaki itu bengkak karena ulahmu. Alhasil engkau waktu itu mengibuli orang. Berkaok-kaok pura-pura kesakitan seolah-olah disakiti Raden Rangga, padahal engkaulah sebetulnya yang mencederai pemuda bangsawan itu. Dan sialnya… Oh, malu aku mengatakannya!”
“Tentang apa, Nyimas?”
“Tentang, betapa aku mengkhawatirkanmu sampai-sampai aku marahi Raden Rangga, sampai-sampai aku pegang-pegang tubuhmu… Oh!” Nyimas Waningyun membuang muka kemudian lari meninggalkan tempat itu.
Tinggallah Purbajaya berdiri mematung di tempat sunyi. Aneh sekali, pikirnya. Pada pertemuan awal, gadis itu nampak begitu manis begitu ramah dan bergalau tawa. Kenapa setelah ingat peristiwa lama malah jadi uring-uringan?
Ow, sialnya aku! Mengapa tak marah? Ya, siapa takkan sebal kalau pada akhirnya tindakan pura-puranya ketahuan? Pasti gadis itu marah karena merasa dipermainkan. Ya, dia masih ingat bahkan suka tertawa sendiri kalau mengingatnya. Raden Ranggasena menerjang Purbajaya dengan tendangan telak, namun serangan ini segera dijemput totokan ibu jari tangannya yang bertindak seolah tengah melindungi kepalanya dari serangan itu. Purbajaya pura-pura terjengkang ke belakang dan menjerit kesakitan. Padahal yang sebenarnya terjadi, Ranggasenalah yang terluka karena urat nadi di telapal kakinya tersumbat.
Tidakkah Nyimas Waningyun pun tahu bahwa perahu bocor di tengah kolam pun sebetulnya sengaja dilubangi olehnya? Pikir Purbajaya melamun seorang diri. Dengan hati murung pemuda itu berjalan pelan menyusuri benteng istana. Sayup-sayup terdengar suara azan magrib dari Mesjid Sang Ciptarasa.
**** 003 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment