Dan alangkah kecewanya Purbajaya ketika dilihatnya kelompok anak-anak muda itu meninggalkan bangku di bawah pohon rindang di mana tadi mereka duduk-duduk. Dari jarak agak jauh Purbajaya ikut ke mana mereka bergerak. Ternyata gadis berlesung pipit dengan hidung kecil mancung itu menuju sebuah sampan bersama tiga orang gadis dan dua orang pemuda. Mereka semuanya menaiki sampan dan berlayar mengitari kolam.
Tak terasa Purbajaya melangkahkan kaki ikut ke mana perahu itu bergerak. Kalau perahu atau sampan itu berhenti, maka kaki Purbajaya pun ikut berhenti. Sebaliknya bila sampan bergerak maka Purbajaya pun ikut bergerak. Ketika salah seorang dari gadis di sampan bersenandung, maka Purbajaya pun ikut bersenandung pelan.
Namun entah setan mana yang menggodanya, secara tiba-tiba saja di benaknya tersembul pikiran buruk. Pikiran ini terbentuk karena didesak kebutuhan ingin bergabung dengan mereka.
Purbajaya dengan diam-diam memungut sebuah kerikil. Dengan pengerahan tenaga penuh dia melemparkan kerikil sebesar biji rambutan itu. Secepat kilat benda itu melesat mengarah bagian lunas perahu. Maka tak lama kemudian terdengar bunyi “tak!”. Namun karena penumpang sampan tengah beriang gembira, maka bunyi aneh itu tidak terdengar oleh mereka. Tahu-tahu, secara perlahan namun pasti, sampan turun dan semakin turun, kemudian permukaan air seperti menjadi naik dan masuk ke dalam sampan.
“Hai… perahu bocor!”
“Wah betul, perahu bocor!”
“Cepat tambal!” teriak pemuda satunya.
“Tambal dengan apa, tolol!”
“Wah, bahaya ini!”
“Tolong! Tolong! Perahu bocor!” teriak pemuda satunya lagi.
“Ya, betul! Tolong! Tolong!” teriak pemuda lainnya lagi. Dan tubuh perahu semakin turun juga.
Para penumpang nampak panik. Jangankan para anak gadis yang nampak panik dengan wajah pucat pasi, sedangkan kedua orang pemuda yang tadi bertindak sebagai pengawal dan pelindung pun berteriak-teriak minta tolong.
Purbajaya terkekeh-kekeh menyaksikan kejadian ini. Namun belakangan baru sadar bahwa para penumpang sampan itu kesemuanya tidak bisa berenang. Pemuda itu segera meloncat dan terjun ke kolam manakala dilihatnya sampan mulai oleng dan menumpahkan isinya. Terdengar teriakan minta tolong dan jerit ketakutan dari para penumpang sebab sampan benar-benar tenggelam.
Tak percuma Purbajaya hidup di daerah pesisir Muhara Jati, sebab dia punya kepandaian bermain di air dengan amat hebatnya. Paman Jayaratu memang melatih Purbajaya untuk menjadi puhawang (akhli teluk dan lautan). Sebagai orang yang dididik kebaharian, sudah barang tentu pemuda itu pandai berenang dan menyelam.
Purbajaya tidak panik harus menyelamatkan enam orang sekaligus, tokh itu hanya kolam biasa saja yang kedalamannya paling beberapa depa. Dalam waktu yang cepat dia sudah bisa menjemput dua orang gadis, namun yang didahulukan ditolong adalah gadis berlesung pipit dan berhidung kecil mancung. Gadis itu dipeluknya erat, kemudian disuruhnya bergayut pada buritan sampan yang terbalik. Sesudah itu dengan secepat kilat dia tolong lagi dua gadis. Keduanya dikempit kiri dan kanan. Dia berenang hanya mengandalkan gerakan sepasang kakinya. Paling akhir barulah kedua pemuda itu yang nampak kepayahan karena mulut gelagapan banyak kemasukan air. Sesudah semuanya bergayut di sampan, sampan ditarik ke tepi sambil berenang.
Di tepi kolam sudah banyak orang menunggu untuk memberikan pertolongan. Kaum lelaki kebanyakan hanya sibuk menolong para gadis. Purbajaya sibuk mengurusi gadis berlesung pipit, berebutan dengan beberapa pemuda lainnya. Kedua orang muda yang tadi bersampan dan kini basah kuyup, mendorong tubuh Purbajaya ketika dilihatnya pemuda itu terkesan berlebihan menolong gadis berlesung pipit.
“Minggir kamu!” teriak salah seorang dari mereka geram.
“Eh, Rangga, jangan kasar! Bukankah pemuda itu rela berkorban menolong kita?” kata si gadis berlesung pipit dengan suaranya yang merdu. Tapi pemuda bernama Rangga itu hanya mendengus dan memalingkan muka.
Purbajaya baru sadar bahwa sebetulnya gadis berlesung pipit berkulit pipi halus putih dan berghidung kecil mancung itu sebenarnya menjadi pusat perhatian semua pemuda. Nampak nyata, ketika dia memeluk dan memeriksa keadaan gadis itu karena megap-megap kena air, semua pemuda yang ada di sana mendelik marah. Terbukti, tubuh Purbajaya sampai terjengkang didorong pemuda marah lantaran berani memeluk gadis cantik itu.
“Saya tidak kurang ajar, hanya berniat menolong saja,” tutur Purbajaya memeras ujung baju yang basah kuyup.
“Kalau hanya pegang-pegang Nyimas, aku juga bisa!” teriak pemuda bernama Rangga itu hendak menerjang, membuat Purbajaya mundur satu tindak.
“Apa menolongnya? Ketika dia hampir tenggelam pun engkau bisa?” Purbajaya tak kepalang tanggung menantang kemarahan pemuda itu.
Dan benar saja, kemarahan pemuda itu semakin memuncak. Dia menerjang dan melayangkan pukulan ke arah wajah Purbajaya. Namun dengan mendoyongkan tubuh ke belakang, kepalan tangan pemuda itu tak sanggup menjangkaunya, hanya terpaut beberapa inci saja. Pemuda itu jadi bertambah marah. Dia pun maju setindak dan kembali melayangkan pukulan lurus ke depan mengarah dagu. Untuk kedua kalinya Purbajaya hanya perlu mendoyongkan tubuhnya ke belakang, sehingga kembali tohokan meleset.
“Rangga, sudahlah!” teriak gadis berlesung pipit mencegah.
Namun pemuda bernama Rangga itu rupanya orang pemarah. Dia tak mau berhenti sebelum rasa marahnya terpuaskan. Purbajaya mengerti akan hal ini. Maka agar pemuda Rangga tak dikejar rasa penasaran, Purbajaya memperlambat gerakannya, sehingga ketika serangan yang ketiga datang menyusul, pukulan itu menohok telak ke ulu hati Purbajaya. Tenaga pukulan ini terasa biasa-biasa saja, walau pun sakit tapi tak terasa benar. Mungkin Rangga tak sepenuhnya mengeluarkan tenaga, atau mungkin juga hanya sebatas itu tenaga yang dimilikinya. Tapi untuk membuat Rangga senang, Purbajaya pura-pura kesakitan. Dia menjerit sambil menunduk dan kedua-belah tangannya memegangi ulu hatinya.
“Rangga jangan bertindak kejam!” teriak gadis berlesung pipit dengan nada tak suka.
Namun Rangga seperti kurang puas. Dengan gerakan indah, pemuda itu meloncat dan kedua kakinya menerjang ke depan. Purbajaya sadar bahwa pemuda bengal itu hendak menendang ubun-ubunnya. Dan bila demikian halnya, Purbajaya bisa menduga bahwa pemuda di hadapannya ini berhati kejam dan pendendam. Atau bisa juga dia ini orang yang biasa memelihara perasaan iri. Si Rangga ini iri karena Purbajaya berdekatan dengan gadis berlesung pipit itu.
Beberapa pemuda lain hanya melihat peristiwa ini tanpa berani bertindak atau menengahi. Ini hanya punya dua kemungkinan. Pertama, orang-orang merasa segan terhadap pemuda bengal itu. Kemungkinan kedua, semua pemuda setuju Purbajaya “dipermak” pemuda Rangga.
Tapi menurut jalan pikiran Purbajaya, orang barangkali segan untuk ikut campur. Mungkin pemuda Rangga bukan orang sembarangan. Dia orang terhormat barangkali. Sebetulnya mudah saja bagi Purbajaya untuk menghindarkan terjangan ini. Dengan sedikit miringkan tubuh saja ke kiri atau pun ke kanan, serangan sudah bisa dipatahkan.
Tapi kalau serangan ini patah, pemuda Rangga akan semakin berang, belum lagi rasa malunya sebab ditonton banyak orang. Maka untuk menjaga agar gengsi anak bengal itu tidak melorot turun, Purbajaya membiarkan serangan datang menerjang. Hanya biar pun begitu, Purbajaya tak mau begitu saja menerima tendangan. Dia pun harus balik memberikan pelajaran kepada pemuda pongah ini.
Maka ketika terjangan sepasang kaki mengarah ubun-ubunnya, Purbajaya melindungi dirinya dengan sepasang ibu jari yang dirangkapkan dan mengacung mengarah ke telapak kaki lawan. Dengan kekuatan yang terlatih, Purbajaya melakukan serangan, menotol telapak kaki lawan dengan tohokan sepasang ibu jari tangan, tepat mengarah jaringan urat syaraf kaki. Purbajaya terhempas ke belakang karena dorongan telapak kaki dan dia pura-pura menjerit ngeri. Dia jatuh berdebuk dan bergulingan beberapa kali.
Di samping kirinya ada suara jeritan halus. Ternyata itu suara merdu yang keluar dari mulut manis dan mungil gadis berlesung pipit. Gadis semampai itu menghambur menolong Purbajaya. Sambil duduk bersimpuh, gadis itu memeriksa kepala bahkan bagian badan lainnya, kalau-kalau terdapat luka serius di tubuh Purbajaya. Pemuda itu meram-melek tapi sambil pura-pura menahan sakit.
Purbajaya terlena keenakan. Sesekali matanya melirik ke arah pemuda Rangga. Dilihatnya, pemuda itu masih berdiri. Purbajaya tersenyum tipis dari balik sepasang telapak tangannya yang dipakai menutupi wajahnya. Walau pun pemuda Rangga masih berdiri tapi Purbajaya tahu pemuda itu berdiri karena sepasang kakinya kaku menahan rasa sakit dan ngilu. Ini nampak jelas karena keringat dingin membasahi wajahnya yang pucat-pasi dan mulutnya menyeringai.
Rangga jelas menderita rasa sakit yang sangat. Purbajaya geli hatinya. Yang menderita justru pemuda Rangga tapi yang dirawat gadis cantik malah dia. Betapa dengan gerak-gerik halus penuh perhatian, gadis berlesung pipit ini mencoba sebisanya menolong Purbajaya yang tergeletak “kepayahan”. Beberapa gadis lain pun ikut merubung dan membantu “mengobati”.
TAK dinyana tak disangka, peristiwa lama itu kembali mencuat dalam ingatan hanya karena Pangeran Arya Damar mempercakapkannya kembali.
“Aku mendengar peristiwa itu. Tapi katanya hampir membuat keributan, benarkah itu?” tanya Pangeran Arya Damar menatap Purbajaya dengan seksama. Yang ditatap hanya menunduk.
“Maafkan, anak ini memang nakal tak tahu sopan santun istana. Tapi urusan itu sudah saya selesaikan beberapa kemudian. Pangeran Aryadila bahkan sudah memeriksa perkara ini dan memberikan maaf,” tutur Paman Jayaratu.
Purbajaya mengangkat muka dan menoleh . Sudah diselesaikan? Berarti peristiwa itu pernah berbuntut panjang dan perlu diselesaikan, padahal menurut perkiraannya, peristiwa itu selesai hari itu juga. Mengapa Paman Jayaratu tak mengabarinya bahwa percekcokan pernah berlarut-larut sehingga membuat Paman Jayaratu mengurusinya?
“Sudahlah. Kedatangan kalian ke sini bukan untuk membicarakan masalah itu… ” tutur Paman Pangeran Arya Damar menjegal kebingungan Purbajaya.
“Silakan Pangeran yang membicarakannya sebab hanya kalangan istana yang berwewenang memaparkannya,” kata Paman Jayaratu.
Pangeran Arya Damar mengangguk, kemudian menatap Purbajaya. “Anak muda, sudah berapa lama engkau tinggal bersama Ki Jayaratu?” tiba-tiba pangeran itu mengajukan pertanyaan aneh.
“Sudah sejak kecil saya bersamanya, Pangeran,” tutur Purbajaya tanpa bisa menduga ke mana arah pertanyaan itu.
“Engkau anak siapakah sebenarnya?” sambung Pangeran Arya Damar lagi.
Purbajaya menoleh kepada Paman Jayaratu. Yang punya jawaban ini tentu orang tua itu, sebab sudah berulang kali Purbajaya bertanya namun Paman Jayaratu selalu berkata belum saatnya.
“Barangkali paman saya bisa menerangkannya, Pangeran,” tutur Purbajaya sesudah merenung sejenak.
“Salah. Yang sanggup menerangkan siapa dirimu adalah aku, anak muda,” jawab Pangeran Arya Damar menatap pemuda itu.
Dengan amat terkejutnya Purbajaya balik menatap bangsawan itu. Mengapa Pangeran Arya Damar mengaku lebih hapal perihal dirinya? Purbajaya bingung dan tak sanggup meraba-raba misteri ini.
“Dengarkan, aku akan bercerita… ” kata Pangeran Arya Damar. Dan tak menunggu komentar, pangeran ini menuturkan sebuah kisah.
Tak terasa Purbajaya melangkahkan kaki ikut ke mana perahu itu bergerak. Kalau perahu atau sampan itu berhenti, maka kaki Purbajaya pun ikut berhenti. Sebaliknya bila sampan bergerak maka Purbajaya pun ikut bergerak. Ketika salah seorang dari gadis di sampan bersenandung, maka Purbajaya pun ikut bersenandung pelan.
Namun entah setan mana yang menggodanya, secara tiba-tiba saja di benaknya tersembul pikiran buruk. Pikiran ini terbentuk karena didesak kebutuhan ingin bergabung dengan mereka.
Purbajaya dengan diam-diam memungut sebuah kerikil. Dengan pengerahan tenaga penuh dia melemparkan kerikil sebesar biji rambutan itu. Secepat kilat benda itu melesat mengarah bagian lunas perahu. Maka tak lama kemudian terdengar bunyi “tak!”. Namun karena penumpang sampan tengah beriang gembira, maka bunyi aneh itu tidak terdengar oleh mereka. Tahu-tahu, secara perlahan namun pasti, sampan turun dan semakin turun, kemudian permukaan air seperti menjadi naik dan masuk ke dalam sampan.
“Hai… perahu bocor!”
“Wah betul, perahu bocor!”
“Cepat tambal!” teriak pemuda satunya.
“Tambal dengan apa, tolol!”
“Wah, bahaya ini!”
“Tolong! Tolong! Perahu bocor!” teriak pemuda satunya lagi.
“Ya, betul! Tolong! Tolong!” teriak pemuda lainnya lagi. Dan tubuh perahu semakin turun juga.
Para penumpang nampak panik. Jangankan para anak gadis yang nampak panik dengan wajah pucat pasi, sedangkan kedua orang pemuda yang tadi bertindak sebagai pengawal dan pelindung pun berteriak-teriak minta tolong.
Purbajaya terkekeh-kekeh menyaksikan kejadian ini. Namun belakangan baru sadar bahwa para penumpang sampan itu kesemuanya tidak bisa berenang. Pemuda itu segera meloncat dan terjun ke kolam manakala dilihatnya sampan mulai oleng dan menumpahkan isinya. Terdengar teriakan minta tolong dan jerit ketakutan dari para penumpang sebab sampan benar-benar tenggelam.
Tak percuma Purbajaya hidup di daerah pesisir Muhara Jati, sebab dia punya kepandaian bermain di air dengan amat hebatnya. Paman Jayaratu memang melatih Purbajaya untuk menjadi puhawang (akhli teluk dan lautan). Sebagai orang yang dididik kebaharian, sudah barang tentu pemuda itu pandai berenang dan menyelam.
Purbajaya tidak panik harus menyelamatkan enam orang sekaligus, tokh itu hanya kolam biasa saja yang kedalamannya paling beberapa depa. Dalam waktu yang cepat dia sudah bisa menjemput dua orang gadis, namun yang didahulukan ditolong adalah gadis berlesung pipit dan berhidung kecil mancung. Gadis itu dipeluknya erat, kemudian disuruhnya bergayut pada buritan sampan yang terbalik. Sesudah itu dengan secepat kilat dia tolong lagi dua gadis. Keduanya dikempit kiri dan kanan. Dia berenang hanya mengandalkan gerakan sepasang kakinya. Paling akhir barulah kedua pemuda itu yang nampak kepayahan karena mulut gelagapan banyak kemasukan air. Sesudah semuanya bergayut di sampan, sampan ditarik ke tepi sambil berenang.
Di tepi kolam sudah banyak orang menunggu untuk memberikan pertolongan. Kaum lelaki kebanyakan hanya sibuk menolong para gadis. Purbajaya sibuk mengurusi gadis berlesung pipit, berebutan dengan beberapa pemuda lainnya. Kedua orang muda yang tadi bersampan dan kini basah kuyup, mendorong tubuh Purbajaya ketika dilihatnya pemuda itu terkesan berlebihan menolong gadis berlesung pipit.
“Minggir kamu!” teriak salah seorang dari mereka geram.
“Eh, Rangga, jangan kasar! Bukankah pemuda itu rela berkorban menolong kita?” kata si gadis berlesung pipit dengan suaranya yang merdu. Tapi pemuda bernama Rangga itu hanya mendengus dan memalingkan muka.
Purbajaya baru sadar bahwa sebetulnya gadis berlesung pipit berkulit pipi halus putih dan berghidung kecil mancung itu sebenarnya menjadi pusat perhatian semua pemuda. Nampak nyata, ketika dia memeluk dan memeriksa keadaan gadis itu karena megap-megap kena air, semua pemuda yang ada di sana mendelik marah. Terbukti, tubuh Purbajaya sampai terjengkang didorong pemuda marah lantaran berani memeluk gadis cantik itu.
“Saya tidak kurang ajar, hanya berniat menolong saja,” tutur Purbajaya memeras ujung baju yang basah kuyup.
“Kalau hanya pegang-pegang Nyimas, aku juga bisa!” teriak pemuda bernama Rangga itu hendak menerjang, membuat Purbajaya mundur satu tindak.
“Apa menolongnya? Ketika dia hampir tenggelam pun engkau bisa?” Purbajaya tak kepalang tanggung menantang kemarahan pemuda itu.
Dan benar saja, kemarahan pemuda itu semakin memuncak. Dia menerjang dan melayangkan pukulan ke arah wajah Purbajaya. Namun dengan mendoyongkan tubuh ke belakang, kepalan tangan pemuda itu tak sanggup menjangkaunya, hanya terpaut beberapa inci saja. Pemuda itu jadi bertambah marah. Dia pun maju setindak dan kembali melayangkan pukulan lurus ke depan mengarah dagu. Untuk kedua kalinya Purbajaya hanya perlu mendoyongkan tubuhnya ke belakang, sehingga kembali tohokan meleset.
“Rangga, sudahlah!” teriak gadis berlesung pipit mencegah.
Namun pemuda bernama Rangga itu rupanya orang pemarah. Dia tak mau berhenti sebelum rasa marahnya terpuaskan. Purbajaya mengerti akan hal ini. Maka agar pemuda Rangga tak dikejar rasa penasaran, Purbajaya memperlambat gerakannya, sehingga ketika serangan yang ketiga datang menyusul, pukulan itu menohok telak ke ulu hati Purbajaya. Tenaga pukulan ini terasa biasa-biasa saja, walau pun sakit tapi tak terasa benar. Mungkin Rangga tak sepenuhnya mengeluarkan tenaga, atau mungkin juga hanya sebatas itu tenaga yang dimilikinya. Tapi untuk membuat Rangga senang, Purbajaya pura-pura kesakitan. Dia menjerit sambil menunduk dan kedua-belah tangannya memegangi ulu hatinya.
“Rangga jangan bertindak kejam!” teriak gadis berlesung pipit dengan nada tak suka.
Namun Rangga seperti kurang puas. Dengan gerakan indah, pemuda itu meloncat dan kedua kakinya menerjang ke depan. Purbajaya sadar bahwa pemuda bengal itu hendak menendang ubun-ubunnya. Dan bila demikian halnya, Purbajaya bisa menduga bahwa pemuda di hadapannya ini berhati kejam dan pendendam. Atau bisa juga dia ini orang yang biasa memelihara perasaan iri. Si Rangga ini iri karena Purbajaya berdekatan dengan gadis berlesung pipit itu.
Beberapa pemuda lain hanya melihat peristiwa ini tanpa berani bertindak atau menengahi. Ini hanya punya dua kemungkinan. Pertama, orang-orang merasa segan terhadap pemuda bengal itu. Kemungkinan kedua, semua pemuda setuju Purbajaya “dipermak” pemuda Rangga.
Tapi menurut jalan pikiran Purbajaya, orang barangkali segan untuk ikut campur. Mungkin pemuda Rangga bukan orang sembarangan. Dia orang terhormat barangkali. Sebetulnya mudah saja bagi Purbajaya untuk menghindarkan terjangan ini. Dengan sedikit miringkan tubuh saja ke kiri atau pun ke kanan, serangan sudah bisa dipatahkan.
Tapi kalau serangan ini patah, pemuda Rangga akan semakin berang, belum lagi rasa malunya sebab ditonton banyak orang. Maka untuk menjaga agar gengsi anak bengal itu tidak melorot turun, Purbajaya membiarkan serangan datang menerjang. Hanya biar pun begitu, Purbajaya tak mau begitu saja menerima tendangan. Dia pun harus balik memberikan pelajaran kepada pemuda pongah ini.
Maka ketika terjangan sepasang kaki mengarah ubun-ubunnya, Purbajaya melindungi dirinya dengan sepasang ibu jari yang dirangkapkan dan mengacung mengarah ke telapak kaki lawan. Dengan kekuatan yang terlatih, Purbajaya melakukan serangan, menotol telapak kaki lawan dengan tohokan sepasang ibu jari tangan, tepat mengarah jaringan urat syaraf kaki. Purbajaya terhempas ke belakang karena dorongan telapak kaki dan dia pura-pura menjerit ngeri. Dia jatuh berdebuk dan bergulingan beberapa kali.
Di samping kirinya ada suara jeritan halus. Ternyata itu suara merdu yang keluar dari mulut manis dan mungil gadis berlesung pipit. Gadis semampai itu menghambur menolong Purbajaya. Sambil duduk bersimpuh, gadis itu memeriksa kepala bahkan bagian badan lainnya, kalau-kalau terdapat luka serius di tubuh Purbajaya. Pemuda itu meram-melek tapi sambil pura-pura menahan sakit.
Purbajaya terlena keenakan. Sesekali matanya melirik ke arah pemuda Rangga. Dilihatnya, pemuda itu masih berdiri. Purbajaya tersenyum tipis dari balik sepasang telapak tangannya yang dipakai menutupi wajahnya. Walau pun pemuda Rangga masih berdiri tapi Purbajaya tahu pemuda itu berdiri karena sepasang kakinya kaku menahan rasa sakit dan ngilu. Ini nampak jelas karena keringat dingin membasahi wajahnya yang pucat-pasi dan mulutnya menyeringai.
Rangga jelas menderita rasa sakit yang sangat. Purbajaya geli hatinya. Yang menderita justru pemuda Rangga tapi yang dirawat gadis cantik malah dia. Betapa dengan gerak-gerik halus penuh perhatian, gadis berlesung pipit ini mencoba sebisanya menolong Purbajaya yang tergeletak “kepayahan”. Beberapa gadis lain pun ikut merubung dan membantu “mengobati”.
TAK dinyana tak disangka, peristiwa lama itu kembali mencuat dalam ingatan hanya karena Pangeran Arya Damar mempercakapkannya kembali.
“Aku mendengar peristiwa itu. Tapi katanya hampir membuat keributan, benarkah itu?” tanya Pangeran Arya Damar menatap Purbajaya dengan seksama. Yang ditatap hanya menunduk.
“Maafkan, anak ini memang nakal tak tahu sopan santun istana. Tapi urusan itu sudah saya selesaikan beberapa kemudian. Pangeran Aryadila bahkan sudah memeriksa perkara ini dan memberikan maaf,” tutur Paman Jayaratu.
Purbajaya mengangkat muka dan menoleh . Sudah diselesaikan? Berarti peristiwa itu pernah berbuntut panjang dan perlu diselesaikan, padahal menurut perkiraannya, peristiwa itu selesai hari itu juga. Mengapa Paman Jayaratu tak mengabarinya bahwa percekcokan pernah berlarut-larut sehingga membuat Paman Jayaratu mengurusinya?
“Sudahlah. Kedatangan kalian ke sini bukan untuk membicarakan masalah itu… ” tutur Paman Pangeran Arya Damar menjegal kebingungan Purbajaya.
“Silakan Pangeran yang membicarakannya sebab hanya kalangan istana yang berwewenang memaparkannya,” kata Paman Jayaratu.
Pangeran Arya Damar mengangguk, kemudian menatap Purbajaya. “Anak muda, sudah berapa lama engkau tinggal bersama Ki Jayaratu?” tiba-tiba pangeran itu mengajukan pertanyaan aneh.
“Sudah sejak kecil saya bersamanya, Pangeran,” tutur Purbajaya tanpa bisa menduga ke mana arah pertanyaan itu.
“Engkau anak siapakah sebenarnya?” sambung Pangeran Arya Damar lagi.
Purbajaya menoleh kepada Paman Jayaratu. Yang punya jawaban ini tentu orang tua itu, sebab sudah berulang kali Purbajaya bertanya namun Paman Jayaratu selalu berkata belum saatnya.
“Barangkali paman saya bisa menerangkannya, Pangeran,” tutur Purbajaya sesudah merenung sejenak.
“Salah. Yang sanggup menerangkan siapa dirimu adalah aku, anak muda,” jawab Pangeran Arya Damar menatap pemuda itu.
Dengan amat terkejutnya Purbajaya balik menatap bangsawan itu. Mengapa Pangeran Arya Damar mengaku lebih hapal perihal dirinya? Purbajaya bingung dan tak sanggup meraba-raba misteri ini.
“Dengarkan, aku akan bercerita… ” kata Pangeran Arya Damar. Dan tak menunggu komentar, pangeran ini menuturkan sebuah kisah.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment