LELAKI tua berjenggot putih itu mangangkat kaki kanannya dengan lutut sejajar pusar, sedangkan sepasang tangannya siap siaga di depan dada dengan telapak terbuka lebar. Lelaki itu menahan napas sejenak, mulutnya berkomat-kamit. Secara tiba-tiba kaki kanan yang terangkat itu melompat ke depan. Bersamaan dengan itu sepasang tangannya mendorong dengan pengerahan tenaga kuat.
Tenaga dorongan mengarah ke depan, ke arah sebongkah batu yang jaraknya sekitar lima depa (1 depa kurang lebih 1,698 meter). Seiring dengan teriakan yang keluar dari mulut lelaki tua itu angin pukulan terdengar berciutan. Kemudian tak lama antaranya terdengar suara ledakan memecah jantung. Bongkahan itu hancur hampir menjadi kerikil bertaburan.
“Mengagumkan sekali Paman Jayaratu!” teriak seorang pemuda yang berdiri terpana pada jarak sejauh lima depa.
“Suatu saat, engkau yang harus melakukan gerakan ini,” kata Paman Jayaratu menatap pemuda itu.
“Saya?”
“Ya, Purbajaya…!”
“Untuk apakah?”
“Untuk membela agamamu! Untuk memperkokoh, memperkuat bahkan membuatnya besar,” tutur Paman Jayaratu.
“Paman kan pernah bilang, Islam tak butuh kekerasan,” kata Purbajaya.
“Memang betul, Islam tak butuh kekerasan tapi kekuatan. Ilmu kedigjayaan adalah bagian dari kekuatan. Dan itu perlu untuk kewibawaan agama kita,” tutur lagi Paman Jayaratu.
“Harus dengan kedigjayaankah Islam melebarkan sayap?” tanya pemuda itu, duduk bersila di sebuah hamparan tikar pandan.
Paman Jayaratu menghela napas. Kemudian dia pun mencoba duduk bersila di atas tikar yang sudah ditempati pemuda itu. Sebelum meneruskan percakapan, Paman Jayaratu mengenakan kembali baju kurung warna hitamnya. Ikat kepalanya yang juga berwarna hitam pun segera dikenakannya lagi, sehingga nampak kontras dengan warna rambut putihnya yang riap-riapan tertebak semilir angin tengah hari.
Mereka berdua duduk di bawah pohon kaso yang rindang yang berdiri terpencil di kaki bukit itu. Nun jauh ke sebelah utara nampak dataran rendah pantai utara yang langsung berbatasan dengan warna laut biru pesisir Cirebon.
“Kenakan kembali pakaianmu, Purba…” kata Paman Jayaratu.
Purbajaya segera mengambil baju rompi hitam yang terbuat dari kain beludru biru. Dadanya yang bidang dan putih sedikit tertutup rompi. Purbajaya pun segera mengikat kepalanya dengan ikat kepala warna putih.
“Dalam hal apa pun kedigjayaan adalah lambang kegagahan. Namun harus diingat, kegagahan hanyalah sebuah pelengkap, atau bagaikan kembang pelengkap keindahan. Sedangkan sumber dari segala kekuatan itu sendiri adalah saripatinya. Islam di saat-saat perkembangannya memang butuh kegagahan. Namun kegagahan itu sudah barang tentu jangan mengalahkan tujuan utamanya sendiri. Ingatlah, kalau pun ada terdengar orang Islam melakukan peperangan, itu bukanlah pamer kegagahan atau pun pamer kekuasaan, melainkan mempertahankan keberadaan. Kita berkewajiban mempertahankan keberadaan Islam. Untuk itu kita butuh kedigjayaan dan kekuatan,” tutur Paman Jayaratu panjang lebar.
Purbajaya duduk tegak memangku kedua belah tangan. Termenung sejenak, kemudian mengangguk-angguk.
“Saya siap berlatih kedigjayaan, Paman…” kata Purbajaya pada akhirnya.
“Tapi ingatlah, kau tidak dididik untuk jadi tukang berkelahi atau pun tukang pukul. Agama kita benci kesombongan, takabur dan kejam,” tutur Paman Jayaratu.
Pemuda itu mengangguk-angguk lagi. “Apakah agama kita benci pembunuhan?” tanya pemuda itu tiba-tiba.
“Hati-hatilah bicara pembunuhan sebab dalam agama kita, pengadilan pertama di hari kiamat adalah perkara pembunuhan!” potong Paman Jayaratu tegas.
“Jadi dalam agama kita tak boleh ada pembunuhan, Paman?”
“Di sini bukan berbicara masalah boleh atau tak bolehnya tapi menitik beratkan pada perkara apa yang kita hadapi ini.”
“Tugas saya kelak dari Negri Carbon ini adalah menyelundup ke Pajajaran,” gumam Purbajaya tiba-tiba dengan wajah tegang. Dia khawatir di tempat musuh nanti akan berhadapan dengan tugas-tugas membunuh.
Paman Jayaratu seperti maklum akan isi hati pemuda ini. “Kita harus punya kedewasaan dalam berpikir. Kalau ada ucapan orang seagama berdosa besar membunuh sesamanya, tidak berarti bunyi ucapan ini bisa diputar-balik lantas kita bisa bebas dari dosa kalau membunuh orang yang tak seagama,” kata Paman Jayaratu, ”Dan kau harus hati-hati dalam berpikir, ilmu kedigjayaan yang aku berikan bukanlah ilmu untuk membunuh,” tandasnya lagi.
Kembali Purbajaya mengangguk-angguk tanda mengerti. “Tapi ikut bertugas menyebarkan agama kita ke masyarakat Pajajaran sungguh berat,” keluh pemuda itu kemudian.
“Tidak berat sebab tak ada paksaan masuk agama kita. Engkau hanya perlu meyakinkan saja. Dan yang belum yakin dengan agama kita sebaiknya tak perlu masuk sebab bila telah masuk lantas keluar lagi, dia akan mendapat hukuman sebagai orang murtad,” kata Paman Jayaratu.
Untuk ke sekian kalinya Purbajaya mengangguk-angguk.
“Nah, hari ini latihan selesai. Tapi ingatlah, dalam satu tahun ini, di sampaing kau kian memperdalam agamamu juga harus semakin memperdalam ilmu kewiraanmu. Tahun depan engkau harus diikut sertakan dalam tugas menyelundup ke pusat pemerintahan Pajajaran, yaitu dayo (ibukota) Pakuan,” kata Paman Jayaratu.
Tenaga dorongan mengarah ke depan, ke arah sebongkah batu yang jaraknya sekitar lima depa (1 depa kurang lebih 1,698 meter). Seiring dengan teriakan yang keluar dari mulut lelaki tua itu angin pukulan terdengar berciutan. Kemudian tak lama antaranya terdengar suara ledakan memecah jantung. Bongkahan itu hancur hampir menjadi kerikil bertaburan.
“Mengagumkan sekali Paman Jayaratu!” teriak seorang pemuda yang berdiri terpana pada jarak sejauh lima depa.
“Suatu saat, engkau yang harus melakukan gerakan ini,” kata Paman Jayaratu menatap pemuda itu.
“Saya?”
“Ya, Purbajaya…!”
“Untuk apakah?”
“Untuk membela agamamu! Untuk memperkokoh, memperkuat bahkan membuatnya besar,” tutur Paman Jayaratu.
“Paman kan pernah bilang, Islam tak butuh kekerasan,” kata Purbajaya.
“Memang betul, Islam tak butuh kekerasan tapi kekuatan. Ilmu kedigjayaan adalah bagian dari kekuatan. Dan itu perlu untuk kewibawaan agama kita,” tutur lagi Paman Jayaratu.
“Harus dengan kedigjayaankah Islam melebarkan sayap?” tanya pemuda itu, duduk bersila di sebuah hamparan tikar pandan.
Paman Jayaratu menghela napas. Kemudian dia pun mencoba duduk bersila di atas tikar yang sudah ditempati pemuda itu. Sebelum meneruskan percakapan, Paman Jayaratu mengenakan kembali baju kurung warna hitamnya. Ikat kepalanya yang juga berwarna hitam pun segera dikenakannya lagi, sehingga nampak kontras dengan warna rambut putihnya yang riap-riapan tertebak semilir angin tengah hari.
Mereka berdua duduk di bawah pohon kaso yang rindang yang berdiri terpencil di kaki bukit itu. Nun jauh ke sebelah utara nampak dataran rendah pantai utara yang langsung berbatasan dengan warna laut biru pesisir Cirebon.
“Kenakan kembali pakaianmu, Purba…” kata Paman Jayaratu.
Purbajaya segera mengambil baju rompi hitam yang terbuat dari kain beludru biru. Dadanya yang bidang dan putih sedikit tertutup rompi. Purbajaya pun segera mengikat kepalanya dengan ikat kepala warna putih.
“Dalam hal apa pun kedigjayaan adalah lambang kegagahan. Namun harus diingat, kegagahan hanyalah sebuah pelengkap, atau bagaikan kembang pelengkap keindahan. Sedangkan sumber dari segala kekuatan itu sendiri adalah saripatinya. Islam di saat-saat perkembangannya memang butuh kegagahan. Namun kegagahan itu sudah barang tentu jangan mengalahkan tujuan utamanya sendiri. Ingatlah, kalau pun ada terdengar orang Islam melakukan peperangan, itu bukanlah pamer kegagahan atau pun pamer kekuasaan, melainkan mempertahankan keberadaan. Kita berkewajiban mempertahankan keberadaan Islam. Untuk itu kita butuh kedigjayaan dan kekuatan,” tutur Paman Jayaratu panjang lebar.
Purbajaya duduk tegak memangku kedua belah tangan. Termenung sejenak, kemudian mengangguk-angguk.
“Saya siap berlatih kedigjayaan, Paman…” kata Purbajaya pada akhirnya.
“Tapi ingatlah, kau tidak dididik untuk jadi tukang berkelahi atau pun tukang pukul. Agama kita benci kesombongan, takabur dan kejam,” tutur Paman Jayaratu.
Pemuda itu mengangguk-angguk lagi. “Apakah agama kita benci pembunuhan?” tanya pemuda itu tiba-tiba.
“Hati-hatilah bicara pembunuhan sebab dalam agama kita, pengadilan pertama di hari kiamat adalah perkara pembunuhan!” potong Paman Jayaratu tegas.
“Jadi dalam agama kita tak boleh ada pembunuhan, Paman?”
“Di sini bukan berbicara masalah boleh atau tak bolehnya tapi menitik beratkan pada perkara apa yang kita hadapi ini.”
“Tugas saya kelak dari Negri Carbon ini adalah menyelundup ke Pajajaran,” gumam Purbajaya tiba-tiba dengan wajah tegang. Dia khawatir di tempat musuh nanti akan berhadapan dengan tugas-tugas membunuh.
Paman Jayaratu seperti maklum akan isi hati pemuda ini. “Kita harus punya kedewasaan dalam berpikir. Kalau ada ucapan orang seagama berdosa besar membunuh sesamanya, tidak berarti bunyi ucapan ini bisa diputar-balik lantas kita bisa bebas dari dosa kalau membunuh orang yang tak seagama,” kata Paman Jayaratu, ”Dan kau harus hati-hati dalam berpikir, ilmu kedigjayaan yang aku berikan bukanlah ilmu untuk membunuh,” tandasnya lagi.
Kembali Purbajaya mengangguk-angguk tanda mengerti. “Tapi ikut bertugas menyebarkan agama kita ke masyarakat Pajajaran sungguh berat,” keluh pemuda itu kemudian.
“Tidak berat sebab tak ada paksaan masuk agama kita. Engkau hanya perlu meyakinkan saja. Dan yang belum yakin dengan agama kita sebaiknya tak perlu masuk sebab bila telah masuk lantas keluar lagi, dia akan mendapat hukuman sebagai orang murtad,” kata Paman Jayaratu.
Untuk ke sekian kalinya Purbajaya mengangguk-angguk.
“Nah, hari ini latihan selesai. Tapi ingatlah, dalam satu tahun ini, di sampaing kau kian memperdalam agamamu juga harus semakin memperdalam ilmu kewiraanmu. Tahun depan engkau harus diikut sertakan dalam tugas menyelundup ke pusat pemerintahan Pajajaran, yaitu dayo (ibukota) Pakuan,” kata Paman Jayaratu.
Lelaki tua itu segera berdiri. Dia memerintah Purbajaya menggulung tikar. Sesudah itu, bagaikan kijang, kaki Paman Jayaratu meloncat lincah. Dia berlari cepat menuruni bukit. Setiap ujung jari kakinya menotol tanah, maka setiap itu pula tubuhnya meloncat tinggi di udara. Dalam beberapa saat saja, orang tua itu telah berada jauh di bawah bukit, meninggalkan Purbajaya yang masih termangu sambil menggulung tikar. Namun sebentar kemudian dia pun sadar bahwa Paman Jayaratu tengah mengujinya, sejauh mana perkembangan ilmu napak sancang (semacam ilmu untuk meringankan tubuh dalam berlari) yang dimiliki pemuda itu.
Purbajaya pun segera meniru gerakan Paman Jayaratu. Dia menotolkan ujung jari kakinya ke atas tonjolan batu. Tubuhnya sedikit mumbul ke udara seperti di ujung jari kakinya dipasangi per baja. Pemuda itu memang bisa bergerak cepat kendati masih kalah cepat dibandingkan gerakan Paman Jayaratu.
SELAMA hampir satu tahun Purbajaya dididik ilmu kedigjayaan di samping semakin memperdalam pelajaran agamanya. Seingatnya, agamanya mulai dikenalkan di wilayah Negri Carbon sejak dia masih bocah. Kendati menurut banyak orang, agamanya belum merata diterima masyarakat tanah Sunda, namun bagi Purbajaya, agama baru ini bukan halangan bagi kehidupan manusia. Dalam agamanya yang baru, dia tak merasa ada hambatan dalam kebebasan. Kalau pun agama ini mengatur kehidupan, itu adalah sesuatu yang membimbingnya ke arah sesuatu kehidupan lebih baik.
“Betapa kacaunya isi dunia seandainya kehidupan manusia tidak diatur oleh keberadaan agama,” pikir Purbajaya.
Dia tak merasakan keanehan dalam menempuh kehidupan beragama sebab pada umumnya orang yang berada di wilayah Karatuan Carbon adalah pemeluk agama yang saleh kendati masyarakat Carbon terdiri dari banyak macam suku bangsa seperti Sunda, Keling, Arab, Cina.
Hanya saja yang membuat dirinya belum merasa tentram bila tiba saatnya dia harus memikirkan siapa dia sebenarnya. Selama belasan tahun ini dan tinggal di wilayah ini, dia tak tahu siapa keluarganya. Orang yang dekat dengannya sampai hari ini hanyalah Paman Jayaratu. Orang tuanyakah dia? Mengapakah dia tak memanggilnya ayahanda kepada Paman Jayaratu? Siapa pula ibunya?
“Suatu saat kau akan diberitahu…” tutur Paman Jayaratu bila Purbajaya bertanya perihal itu.
Namun pada suatu saat tiba pula apa yang didambakannya. Malam itu langit penuh bintang. Purbajaya tengah duduk bersila di bale-bale berhadapan dengan sebuah pelita dengan cahaya suram. Pemuda itu dengan sabar membaca beberapa ayat suci yang tengah dia pelajari.
Dia segera menghentikan pekerjaannya manakala ke pekarangan rumah masuk dua orang berpakaian prajurit. Mereka datang berbekal oncor (obor) yang cahaya merahnya menggelebur menerangi wajah-wajah mereka.
“Siapa?”
“Kami utusan dari Puri Arya Damar, ingin bertemu Ki Jayaratu,” jawab seorang dari mereka.
“Arya Damar? Bukankah dia salah seorang pangeran dari Pakungwati?” tanya Purbajaya pelan.
“Ya, ada urusan amat penting. Jadi, bila Ki Jayaratu tak ada halangan, diharap ikut bersama kami ke puri,” tutur prajurit.
“Paman Jayaratu sedang pergi ke Astanajapura. Tapi menurut rencana, malam ini pun sudah kembali,” jawab Purbajaya masih duduk bersila.
“Silakan Ki Silah (saudara) berdua tunggu di sini…” tutur kedua orang itu mengajak kedua orang prajurit untuk duduk di bale-bale.
Namun sebelum kedua orang tamu itu duduk, tiba-tiba Paman Jayaratu muncul dari pekarangan.
“Kebetulan beliau sudah tadang…” Purbajaya melihat orang tua itu dengan hati gembira.
“Kalian dari mana?” tanya Paman Jayaratu.
“Kami utusan dari Pangeran Arya Damar…”
“Pangeran Arya Damar?”
“Beliau mengundangmu ke purinya tapi diharap anda membawa serta pemuda bernama Purbajaya,” kata prajurit.
Purbajaya terkejut, mengapa dia pun musti ikut? Dan ketika dia melirik ke arah Paman Jayaratu, dia pun bertambah heran sebab alis orang tua itu nampak berkerut. Ada apakah?
“Harus sekarang jugakah kami menghadap beliau?” tanya Paman Jayaratu. Kedua prajurit itu mengangguk. Kembali dahi Paman Jayaratu berkerut. Dia termenung sejenak.
“Kami harus membawa kalian sekarang ini juga,” kata prajurit menegaskan ketika Paman Jayaratu nampak meragu.
Paman Jayaratu masih termenung. Namun pada akhirnya dia mengangguk juga. “Baiklah, kami berangkat menuruti titahnya,” guman Paman Jayaratu. ”Purba, berkemaslah, malam ini kita menghadap ke Istana Pakungwati…” kata Paman Jayaratu berjingkat.
“Ouw, jadi anak muda inikah Purbajaya?” kedua orang prajurit ini kaget ketika nama itu dipanggil.
“Apakah kalian sudah tahu tentang anak ini?” tanya Paman Jayaratu penuh selidik.
“Hanya sedikit-sedikit. Tapi anak muda ini amat menarik perhatian…” kata prajurit berkumis tebal berdada bidang.
Berdebar dada Purbajaya. Mereka membicarakan dirinya tapi dia tak tahu perkara apa itu. Ketika Paman Jayaratu masuk ke ruangan rumah panggungnya, Purbajaya ikut berjingkat dengan alasan akan segera berkemas.
“Paman, ada apakah ini?” tanyanya berbisik.
“Ini adalah perihal masa depanmu tapi sekaligus juga tentang masa lalumu. Hanya saja aku hawatir, mengapa yang menanganimu malah Pangeran itu?” gumam Ki Jayaratu.
“Ada apa dengan Pangeran Arya Damar, Paman?”
Paman Jayaratu hanya menghela napas. “Tak bisa aku katakan sekarang. Tapi mudah-mudahan berhadapan dengan pangeran itu tak mengejutkanmu,” kata Paman Jayaratu semakin membuat pemuda itu bertanya-tanya hatinya.
“Tapi kau harus siap, apa pun yang pangeran itu katakan,” kata pula orang tua itu.
Purbajaya mengangguk tanpa tahu mengapa harus begitu.
“Kami sudah siap berangkat,” kata Paman Jayaratu keluar menuju pekarangan.
Kedua orang prajurit itu pun berdiri. Masing-masing mengambil kembali obornya yang tadi disimpan di batang pagar bambu.
“Mari!” ajak prajurit.
“Mari… Bismil-laahirrakhmaanir-rakhiim!” gumam Paman Jayaratu memulai langkahnya, diikuti oleh Purbajaya.
Maka keempat orang itu mulai berjalan beriringan. Pembawa obor berjalan paling depan sebagai penunjuk arah dalam gelapnya malam. Malam itu memang tak ada bulan. Kendati bulan bertebaran dilangit, cahayanya tak sanggup menerangi semesta. Sedangkan menuju Istana Pakungwati jaraknya cukup jauh, harus merambah sedikit hutan jati. Hanya saja Paman Jayaratu seperti tak menderita kesulitan. Nampaknya dia hapal betul, ke mana arah yang harus dilalui. Langkah orang tua itu mantap dan cepat. Sebentar saja dia sudah jalan paling depan, meninggalkan dua orang prajurit yang jalan tertatih-tatih karena mata silau oleh cahaya obor.
Purbajaya melangkah di belakang Paman Jayaratu. Hanya dia yang tahu, orang tua itu bisa jalan cepat dalam gelap karena memiliki ilmu Sorot Kalong. Sorot Kalong adalah semacam ilmu melihat dalam gelap. Yang sudah menguasai ilmu ini, kendati berada di dalam gelap tidak kesulitan untuk melihat. Kata pemilik ilmu itu, seluruh alam bisa dilihat kendati remang-remang saja.
PAMAN Jayaratu menguasai ilmu Sorot Kalong dengan baik. Purbajaya pun sebenarnya sudah diperintah orang tua itu untuk berlatih. Tapi pemuda itu hanya melakukannya setengah-setengah. Sungguh berat melatih mata agar bisa melihat di dalam gelap. Selama tiga bulan penuh harus berada di ruangan yang hanya menerima sedikit cahaya. Semakin hari, cahaya yang masuk ke dalam ruangan itu semakin dikurangi sampai pada suatu saat ruangan itu gelap gulita sama sekali. Namun demikian, kemampuan mata harus tetap seperti manakala melihat ruangan ketika masih mendapatkan cahaya.
Purbajaya tak kuat melebarkan pupil mata. Urat-urat di sekitar bola mata serasa menegang bahkan serasa mau putus dan kepala pun berdenyut disertai perasaan mual di ulu hati. Rasanya mau muntah.
“Mata saya seperti tak sanggup memenuhi keinginan ini,” tutur Purbajaya pada beberapa bulan lalu. Dia keluar ruangan dengan sepasang mata yang bengkak dan berwarna merah, bahkan dari sudut-sudut matanya keluar tetesan darah.
Mendengar keluhan ini Paman Jayaratu ketika itu hanya ketawa masam. “Orang yang tak tahu melangkah tak akan sampai ke tempat tujuan. Dan alangkah sedihnya bilamana suatu saat dia sadar bahwa selama ini dia hanya tinggal di tempat yang itu-itu juga. Dia tetap mentah pengalaman dan pengetahuan…” kata Paman Jayaratu. Orang tua ini tak pernah memaksakan kehendak, kecuali memberikan gambaran seperti itu.
Dan hari ini baru terasa akibatnya, betapa ucapan Ki Jayaratu amat tepat. Orang yang tak mau beranjak tak akan sampai di tujuan. Hanya karena tak mau mempelajari ilmu Sorot Kalong maka Purbajaya tak bisa berjalan cepat di dalam gelap. Maka tak heran, dalam upaya mengejar ketinggalan, dia bergerak di tengah hutan jati dengan gerakan lintang-pukang, seruduk sana seruduk sini, sama seperti kedua orang prajurit yang berlari di belakangnya. Malah, dua orang prajurit itu lebih unggul sebab berbekal obor. Hanya saja yang menyebabkan Purbajaya ada di depan sebab pemuda itu memiliki ilmu lari cepat jauh lebih baik ketimbang dua prajurit.
“Kalau saja aku ulet dalam latihan… ” keluh pemuda itu. Terasa sekali, Paman Jayaratu hendak mengujinya, atau sekadar memberi pelajaran padanya, betapa orang bodoh selalu ketinggalan dalam segala hal. Paman Jayaratu kini berusia lebih dari limapuluh tahun, sementara tahun ini Purbajaya baru menginjak usi enambelas. Tapi usia yang terpaut jauh tidak menjamin. Toh anak muda yang bodoh tak bisa mengalahkan orang berusia tua yang pandai.
Untunglah hutan jati sudah dirambah. Kini mereka berada di tengah padang alang-alang yang beberapa di antaranya gundul dan tanahnya berdebu. Namun di tempat terbuka seperti itu bintang-gemintang berjasa menolong Purbajaya. Dengan mengerahkan tenaga dia berlari kencang menyusul Paman Jayaratu. Yang payah adalah kedua orang prajurit. Mereka hanya memiliki kepandaian biasa-biasa saja. Maka diajak berlari menggunakan ilmu napak-sancang (ilmu lari meringankan tubuh), mereka ketinggalan jauh.
Ketika tiba di batas kota, barulah Paman Jayaratu menurunkan kepandaiannya. Dia bahkan berjalan lenggang-kangkung seperti memberi kesempatan kepada orang-orang di belakangnya untuk menyusul.
Dalam waktu yang tak terlalu lama, Purbajaya sudah berada di samping Paman Jayaratu dengan dada turun naik. Kedua orang prajurit Negri Carbon pun sudah ada di belakang mereka dengan napas senin-kemis dan wajah bersimbah keringat.
“Sekarang giliran kalian yang jalan di depan,” kata Paman Jayaratu kepada dua orang prajurit.
Sekarang sudah sampai di kota tapi keadaan sudah lengang sebab malam hampir larut. Ketika memasuki gerbang keraton, mereka perlu mendapatkan pemeriksaan dari empat orang jagabaya. Setelah segalanya beres, semua boleh masuk.
Keraton Negri Carbon dikenal bernama Dalem Agung Pakungwati, dikelilingi pekarangan-pekarangan yang dibatasi dinding batu bata dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya melalui gerbang, kori dan pintu-pintu. Di dalam beberapa pekarangan terdapat kompleks bangsal (bangunan terbuka) yang terbuat dari lantai berhias.
Banyak puri di sana. Puri-puri itu dimiliki para bangsawan, pejabat dan kerabat istana. Salah satunya adalah milik Pangeran Arya Damar. Di depan puri Arya Damar ada pemeriksaan lagi tapi di sini tak seketat ketika diperiksa di luar istana. Barangkali petugas puri sudah diberitahu akan kedatangan dua orang tamu itu.
Di beranda depan ternyata Pangeran Arya Damar sudah duduk bersila di atas hamparan alketip buatan Negeri Parasi (Parsi-Iran). Purbajaya sudah pernah bertemu dengan pangeran ini beberapa bulan silam. Itu pun terjadi pada waktu perayaan maulid dan bukan pada pertemuan khusus. Mengapa pejabat ini tiba-tiba ingin bertemu malam-malam seperti ini dengannya?
Pangeran Arya Damar malam itu amat berwibawa. Dia memakai baju bedahan lima terbuat dari beludru halus warna hitam. Pada sisi-sisi bedahan dikelim benang emas. Celananya pun terbuat dari beludru hitam pula, ditutup kain batik trusmi yang dilipat dua. Ada keris dengan gagang beronce benang emas, tersembul tipis dari balik bedahan. Ketika Paman Jayaratu datang mendekat, keris itu dipindahkan sedikit ke belakang sehingga tak terlihat. Tapi gerakan pangeran itu tetap mengesankan bahwa dia barusan memegang hulu senjata.
“Assalaamu’alaikum warahmatul-laah… “
“Wa’alaikum salam… Silahkan duduk Ki Jayaratu,” sambut Pangeran Arya Damar sambil melinting kumis tipisnya.
Paman Jayaratu duduk bersila sesudah menghormat penuh takzim, diikuti tindakan serupa yang dilakukan Purbajaya. Sedangkan dua prajurit, sesudah menyembah hormat segera undur diri.
“Engkau yang duduk di belakang tentu pemuda bernama Purbajaya itu, ya?” Pangeran Arya Damar matanya menyorot bagai mata burung elang.
Purbajaya menunduk. Dan untuk kedua kalinya dia menyembah.
“Serasa aku sudah pernah melihat wajahnya, di mana ya Ki Jayaratu?” tanyanya kemudian.
“Pangeran pernah melihatnya pada perayaan muludan beberapa bulan lalu… ” jawab Paman Jayaratu sambil kembali menyembah.
Pangeran Arya Damar mengangguk-angguk sesudah mengingat-ingat sebentar. “Bukankah yang menolong putriku Nyimas Waningyun ketika anak nakal itu hampir tenggelam di Taman Air Petratean?” tanya Pangeran Arya Damar lagi.
Jantung Purbajaya hampir berhenti dan teringat gadis ayu berlesung pipit. Dia putri Pangeran Arya Damar? Beberapa bulan lalu, adalah perayaan 12 Mulud upacara tradisi memperingati hari lahirnya penyebar agama baru di dunia bernama Islam. Kangjeng Nabi Muhammad SAW.
Namun di samping perayaan yang bersifat keagamaan, perayaan lain pun ikut mewarnai. Berbagai kesibukan lain ikut meramaikan, misalnya jenis-jenis kesenian. Keramaian itu biasa diadakan sejak dua minggu sebelum 12 Mulud.
Perayaan secara besar-besaran selalu diadakan, terutama sesudah Kangjeng Syarief Hidayatullah atau lebih dikenal Sang Susuhunan Jati memegang tampuk pemerintahan Nagri Carbon (1479 Masehi). Susuhunan Jati mengadakan berbagai perayaan secara besar-besaran ini, bukan semata karena menghormati Kangjeng Nabi sebagai penyebar agama saja, melainkan juga karena menghormati nenek-moyang.
Menurut garis ayah, Kangjeng Syarief Hidayatullah keturunan ke 22 Kangjeng Nabi Muhammad SAW. Ayahandanya Syarief Abdullah yang datang ke Pulau Jawa dari Mesir melalui Gujarat. Menikah dengan Nyimas Rara Santang putri Sri Baduga Maharaja penguasa Pajajaran.
Sebagai keturunan langsung dari penyebar agama Islam, sudah barang tentu Kangjeng Syarief Hidayatullah begitu menghormatinya secara khusus, hormat seorang keturunan kepada nenek-moyangnya. Makanya sejak saat itulah muludan di Nagri Carbon selalu meriah hingga kini.
Nagri Carbon menjadi tempat yang ramai bila muludan tiba. Ribuan orang akan datang dari mana-mana, termasuk dari wilayah karatuan yang telah bergabung dengan Carbon seperti Rajagaluh, Kuningan, Talaga dan Sumedanglarang.
Yang datang berkunjung ke suasana pesta, bukan hanya orang tua. Bahkan orang muda, para gadis dan lajang saling memperlihatkan wajah dan penampilan agar satu sama lain menjadi saling tertarik.
Kebahagiaan juga larut ke dada para remaja bangsawan. Para ksatria dan puteri Karaton Pakungwati yang elok-elok sama bergembira namun tentu saja mereka tak berbaur dengan orang kebanyakan. Anak-anak kaum bangsawan hanya bercengkrama di Taman Air Petratean. Sebuah taman indah di kompleks istana. Di kompleks itu ada kolam berbentuk melingkar, airnya jernih banyak ditumbuhi bunga teratai. Bila senja hari anak-anak bangsawan karaton bersenandung sambil bersampan, melewati taman-taman air Pulau Kaca, Pulau Manik dan kemudian berhenti di Taman Air Petratean (karena banyak ditumbuhi bunga teratai yang indah-indah).
Purbajaya bukan putra bangsawan. Namun pada perayaan ini dia bisa keluyuran ke Taman Air Petratean berkat Paman Jayaratu. Kalau mengingat ini memang sungguh mencengangkan. Paman Jayaratu bukanlah seorang pejabat, tidak juga sebagai abdi keraton. Tapi entah mengapa, dia bisa keluar-masuk kompleks istana dan sering berhubungan dengan kalangan pejabat di Pakungwati.
Sesekali ada juga keinginan pemuda itu untuk bertanya, mengapa Paman Jayaratu punya kelonggaran seperti itu. Namun yang membuat keinginan itu selalu kandas, karena Paman Jayaratu orangnya acuh tak acuh. Jangankan orang tak bertanya, sedangkan orang perlu penjelasan darinya jarang mengabulkannya. Jadinya pemuda itu lebih memilih diam ketimbang pusing sendiri memikirkan sifat-sifat orang tua itu.
Purbajaya boleh menggunakan pakaian bagus. Ketika ikut keluyuran di Taman Air Petratean dia memakai pakaian seperti yang biasa digunakan kaum santana (golongan masyarakat pertengahan), yaitu memakai baju kurung tangan panjang terbuat dari kain halus buatan Nagri Campa (Cambodia kini), warna mencolok biru muda, sedangkan ke bawahnya menggunakan celana komprang (celana panjang sebatas mata kaki) dengan warna kuning tua. Kepala diikat kain batik motif atau corak pupunjungan. Tentu saja gagah sekali. Apalagi potongan wajah Purbajaya terbilang tampan. Dia berkulit putih bermata tajam. Ada ciri khas yang tak mungkin orang lupa, yaitu ujung dagu pemuda ini seperti terbelah dua oleh goresan.
Purbajaya jalan-jalan sendirian sebab Paman Jayaratu punya kepentingan lain. Betapa gembiranya pemuda ini ketika dilihatnya di kolam taman itu banyak anak muda pria dan wanita bercengkrama. Beberapa di antaranya melayari kolam berbentuk lingkaran dengan wajah ceria. Yang membuat Purbajaya terlongong-longong kagum, karena kaum remaja di sana selain berpakaian indah-indah juga wajahnya pun elok-elok. Yang perempuan cantik-cantik dan yang prianya tampan-tampan.
Namun dari sekian remaja elok yang dia kagumi, ada seorang dari sekumpulan gadis yang dia perhatikan. Dia punya kesan khusus terhadap gadis belia yang barangkali usianya masih sekitar limabelas tahun ini. Dia cantik melebihi yang lainnya, tapi tindak-tanduknya tenang setenang air kolam. Kalau orang lain menampakkan kegembiraan yang penuh sebagai remaja, adalah gadis itu hanya senyum-senyum saja. Namun dalam selintas nampak nyata bahwa gadis itu selalu jadi incaran para pemuda di sekelilingnya. Mereka seperti bersaing ingin lebih dekat dengan gadis itu. Selalu berusaha menggoda dan membuat kelucuan-kelucuan agar gadis itu tertarik padanya.
Purbajaya ingin sekali bergabung namun bagaimana caranya? Alangkah kurang sopannya bila secara tiba-tiba dia ikut melibatkan diri begitu saja. Mereka tidak saling mengenal.
Purbajaya pun segera meniru gerakan Paman Jayaratu. Dia menotolkan ujung jari kakinya ke atas tonjolan batu. Tubuhnya sedikit mumbul ke udara seperti di ujung jari kakinya dipasangi per baja. Pemuda itu memang bisa bergerak cepat kendati masih kalah cepat dibandingkan gerakan Paman Jayaratu.
SELAMA hampir satu tahun Purbajaya dididik ilmu kedigjayaan di samping semakin memperdalam pelajaran agamanya. Seingatnya, agamanya mulai dikenalkan di wilayah Negri Carbon sejak dia masih bocah. Kendati menurut banyak orang, agamanya belum merata diterima masyarakat tanah Sunda, namun bagi Purbajaya, agama baru ini bukan halangan bagi kehidupan manusia. Dalam agamanya yang baru, dia tak merasa ada hambatan dalam kebebasan. Kalau pun agama ini mengatur kehidupan, itu adalah sesuatu yang membimbingnya ke arah sesuatu kehidupan lebih baik.
“Betapa kacaunya isi dunia seandainya kehidupan manusia tidak diatur oleh keberadaan agama,” pikir Purbajaya.
Dia tak merasakan keanehan dalam menempuh kehidupan beragama sebab pada umumnya orang yang berada di wilayah Karatuan Carbon adalah pemeluk agama yang saleh kendati masyarakat Carbon terdiri dari banyak macam suku bangsa seperti Sunda, Keling, Arab, Cina.
Hanya saja yang membuat dirinya belum merasa tentram bila tiba saatnya dia harus memikirkan siapa dia sebenarnya. Selama belasan tahun ini dan tinggal di wilayah ini, dia tak tahu siapa keluarganya. Orang yang dekat dengannya sampai hari ini hanyalah Paman Jayaratu. Orang tuanyakah dia? Mengapakah dia tak memanggilnya ayahanda kepada Paman Jayaratu? Siapa pula ibunya?
“Suatu saat kau akan diberitahu…” tutur Paman Jayaratu bila Purbajaya bertanya perihal itu.
Namun pada suatu saat tiba pula apa yang didambakannya. Malam itu langit penuh bintang. Purbajaya tengah duduk bersila di bale-bale berhadapan dengan sebuah pelita dengan cahaya suram. Pemuda itu dengan sabar membaca beberapa ayat suci yang tengah dia pelajari.
Dia segera menghentikan pekerjaannya manakala ke pekarangan rumah masuk dua orang berpakaian prajurit. Mereka datang berbekal oncor (obor) yang cahaya merahnya menggelebur menerangi wajah-wajah mereka.
“Siapa?”
“Kami utusan dari Puri Arya Damar, ingin bertemu Ki Jayaratu,” jawab seorang dari mereka.
“Arya Damar? Bukankah dia salah seorang pangeran dari Pakungwati?” tanya Purbajaya pelan.
“Ya, ada urusan amat penting. Jadi, bila Ki Jayaratu tak ada halangan, diharap ikut bersama kami ke puri,” tutur prajurit.
“Paman Jayaratu sedang pergi ke Astanajapura. Tapi menurut rencana, malam ini pun sudah kembali,” jawab Purbajaya masih duduk bersila.
“Silakan Ki Silah (saudara) berdua tunggu di sini…” tutur kedua orang itu mengajak kedua orang prajurit untuk duduk di bale-bale.
Namun sebelum kedua orang tamu itu duduk, tiba-tiba Paman Jayaratu muncul dari pekarangan.
“Kebetulan beliau sudah tadang…” Purbajaya melihat orang tua itu dengan hati gembira.
“Kalian dari mana?” tanya Paman Jayaratu.
“Kami utusan dari Pangeran Arya Damar…”
“Pangeran Arya Damar?”
“Beliau mengundangmu ke purinya tapi diharap anda membawa serta pemuda bernama Purbajaya,” kata prajurit.
Purbajaya terkejut, mengapa dia pun musti ikut? Dan ketika dia melirik ke arah Paman Jayaratu, dia pun bertambah heran sebab alis orang tua itu nampak berkerut. Ada apakah?
“Harus sekarang jugakah kami menghadap beliau?” tanya Paman Jayaratu. Kedua prajurit itu mengangguk. Kembali dahi Paman Jayaratu berkerut. Dia termenung sejenak.
“Kami harus membawa kalian sekarang ini juga,” kata prajurit menegaskan ketika Paman Jayaratu nampak meragu.
Paman Jayaratu masih termenung. Namun pada akhirnya dia mengangguk juga. “Baiklah, kami berangkat menuruti titahnya,” guman Paman Jayaratu. ”Purba, berkemaslah, malam ini kita menghadap ke Istana Pakungwati…” kata Paman Jayaratu berjingkat.
“Ouw, jadi anak muda inikah Purbajaya?” kedua orang prajurit ini kaget ketika nama itu dipanggil.
“Apakah kalian sudah tahu tentang anak ini?” tanya Paman Jayaratu penuh selidik.
“Hanya sedikit-sedikit. Tapi anak muda ini amat menarik perhatian…” kata prajurit berkumis tebal berdada bidang.
Berdebar dada Purbajaya. Mereka membicarakan dirinya tapi dia tak tahu perkara apa itu. Ketika Paman Jayaratu masuk ke ruangan rumah panggungnya, Purbajaya ikut berjingkat dengan alasan akan segera berkemas.
“Paman, ada apakah ini?” tanyanya berbisik.
“Ini adalah perihal masa depanmu tapi sekaligus juga tentang masa lalumu. Hanya saja aku hawatir, mengapa yang menanganimu malah Pangeran itu?” gumam Ki Jayaratu.
“Ada apa dengan Pangeran Arya Damar, Paman?”
Paman Jayaratu hanya menghela napas. “Tak bisa aku katakan sekarang. Tapi mudah-mudahan berhadapan dengan pangeran itu tak mengejutkanmu,” kata Paman Jayaratu semakin membuat pemuda itu bertanya-tanya hatinya.
“Tapi kau harus siap, apa pun yang pangeran itu katakan,” kata pula orang tua itu.
Purbajaya mengangguk tanpa tahu mengapa harus begitu.
“Kami sudah siap berangkat,” kata Paman Jayaratu keluar menuju pekarangan.
Kedua orang prajurit itu pun berdiri. Masing-masing mengambil kembali obornya yang tadi disimpan di batang pagar bambu.
“Mari!” ajak prajurit.
“Mari… Bismil-laahirrakhmaanir-rakhiim!” gumam Paman Jayaratu memulai langkahnya, diikuti oleh Purbajaya.
Maka keempat orang itu mulai berjalan beriringan. Pembawa obor berjalan paling depan sebagai penunjuk arah dalam gelapnya malam. Malam itu memang tak ada bulan. Kendati bulan bertebaran dilangit, cahayanya tak sanggup menerangi semesta. Sedangkan menuju Istana Pakungwati jaraknya cukup jauh, harus merambah sedikit hutan jati. Hanya saja Paman Jayaratu seperti tak menderita kesulitan. Nampaknya dia hapal betul, ke mana arah yang harus dilalui. Langkah orang tua itu mantap dan cepat. Sebentar saja dia sudah jalan paling depan, meninggalkan dua orang prajurit yang jalan tertatih-tatih karena mata silau oleh cahaya obor.
Purbajaya melangkah di belakang Paman Jayaratu. Hanya dia yang tahu, orang tua itu bisa jalan cepat dalam gelap karena memiliki ilmu Sorot Kalong. Sorot Kalong adalah semacam ilmu melihat dalam gelap. Yang sudah menguasai ilmu ini, kendati berada di dalam gelap tidak kesulitan untuk melihat. Kata pemilik ilmu itu, seluruh alam bisa dilihat kendati remang-remang saja.
PAMAN Jayaratu menguasai ilmu Sorot Kalong dengan baik. Purbajaya pun sebenarnya sudah diperintah orang tua itu untuk berlatih. Tapi pemuda itu hanya melakukannya setengah-setengah. Sungguh berat melatih mata agar bisa melihat di dalam gelap. Selama tiga bulan penuh harus berada di ruangan yang hanya menerima sedikit cahaya. Semakin hari, cahaya yang masuk ke dalam ruangan itu semakin dikurangi sampai pada suatu saat ruangan itu gelap gulita sama sekali. Namun demikian, kemampuan mata harus tetap seperti manakala melihat ruangan ketika masih mendapatkan cahaya.
Purbajaya tak kuat melebarkan pupil mata. Urat-urat di sekitar bola mata serasa menegang bahkan serasa mau putus dan kepala pun berdenyut disertai perasaan mual di ulu hati. Rasanya mau muntah.
“Mata saya seperti tak sanggup memenuhi keinginan ini,” tutur Purbajaya pada beberapa bulan lalu. Dia keluar ruangan dengan sepasang mata yang bengkak dan berwarna merah, bahkan dari sudut-sudut matanya keluar tetesan darah.
Mendengar keluhan ini Paman Jayaratu ketika itu hanya ketawa masam. “Orang yang tak tahu melangkah tak akan sampai ke tempat tujuan. Dan alangkah sedihnya bilamana suatu saat dia sadar bahwa selama ini dia hanya tinggal di tempat yang itu-itu juga. Dia tetap mentah pengalaman dan pengetahuan…” kata Paman Jayaratu. Orang tua ini tak pernah memaksakan kehendak, kecuali memberikan gambaran seperti itu.
Dan hari ini baru terasa akibatnya, betapa ucapan Ki Jayaratu amat tepat. Orang yang tak mau beranjak tak akan sampai di tujuan. Hanya karena tak mau mempelajari ilmu Sorot Kalong maka Purbajaya tak bisa berjalan cepat di dalam gelap. Maka tak heran, dalam upaya mengejar ketinggalan, dia bergerak di tengah hutan jati dengan gerakan lintang-pukang, seruduk sana seruduk sini, sama seperti kedua orang prajurit yang berlari di belakangnya. Malah, dua orang prajurit itu lebih unggul sebab berbekal obor. Hanya saja yang menyebabkan Purbajaya ada di depan sebab pemuda itu memiliki ilmu lari cepat jauh lebih baik ketimbang dua prajurit.
“Kalau saja aku ulet dalam latihan… ” keluh pemuda itu. Terasa sekali, Paman Jayaratu hendak mengujinya, atau sekadar memberi pelajaran padanya, betapa orang bodoh selalu ketinggalan dalam segala hal. Paman Jayaratu kini berusia lebih dari limapuluh tahun, sementara tahun ini Purbajaya baru menginjak usi enambelas. Tapi usia yang terpaut jauh tidak menjamin. Toh anak muda yang bodoh tak bisa mengalahkan orang berusia tua yang pandai.
Untunglah hutan jati sudah dirambah. Kini mereka berada di tengah padang alang-alang yang beberapa di antaranya gundul dan tanahnya berdebu. Namun di tempat terbuka seperti itu bintang-gemintang berjasa menolong Purbajaya. Dengan mengerahkan tenaga dia berlari kencang menyusul Paman Jayaratu. Yang payah adalah kedua orang prajurit. Mereka hanya memiliki kepandaian biasa-biasa saja. Maka diajak berlari menggunakan ilmu napak-sancang (ilmu lari meringankan tubuh), mereka ketinggalan jauh.
Ketika tiba di batas kota, barulah Paman Jayaratu menurunkan kepandaiannya. Dia bahkan berjalan lenggang-kangkung seperti memberi kesempatan kepada orang-orang di belakangnya untuk menyusul.
Dalam waktu yang tak terlalu lama, Purbajaya sudah berada di samping Paman Jayaratu dengan dada turun naik. Kedua orang prajurit Negri Carbon pun sudah ada di belakang mereka dengan napas senin-kemis dan wajah bersimbah keringat.
“Sekarang giliran kalian yang jalan di depan,” kata Paman Jayaratu kepada dua orang prajurit.
Sekarang sudah sampai di kota tapi keadaan sudah lengang sebab malam hampir larut. Ketika memasuki gerbang keraton, mereka perlu mendapatkan pemeriksaan dari empat orang jagabaya. Setelah segalanya beres, semua boleh masuk.
Keraton Negri Carbon dikenal bernama Dalem Agung Pakungwati, dikelilingi pekarangan-pekarangan yang dibatasi dinding batu bata dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya melalui gerbang, kori dan pintu-pintu. Di dalam beberapa pekarangan terdapat kompleks bangsal (bangunan terbuka) yang terbuat dari lantai berhias.
Banyak puri di sana. Puri-puri itu dimiliki para bangsawan, pejabat dan kerabat istana. Salah satunya adalah milik Pangeran Arya Damar. Di depan puri Arya Damar ada pemeriksaan lagi tapi di sini tak seketat ketika diperiksa di luar istana. Barangkali petugas puri sudah diberitahu akan kedatangan dua orang tamu itu.
Di beranda depan ternyata Pangeran Arya Damar sudah duduk bersila di atas hamparan alketip buatan Negeri Parasi (Parsi-Iran). Purbajaya sudah pernah bertemu dengan pangeran ini beberapa bulan silam. Itu pun terjadi pada waktu perayaan maulid dan bukan pada pertemuan khusus. Mengapa pejabat ini tiba-tiba ingin bertemu malam-malam seperti ini dengannya?
Pangeran Arya Damar malam itu amat berwibawa. Dia memakai baju bedahan lima terbuat dari beludru halus warna hitam. Pada sisi-sisi bedahan dikelim benang emas. Celananya pun terbuat dari beludru hitam pula, ditutup kain batik trusmi yang dilipat dua. Ada keris dengan gagang beronce benang emas, tersembul tipis dari balik bedahan. Ketika Paman Jayaratu datang mendekat, keris itu dipindahkan sedikit ke belakang sehingga tak terlihat. Tapi gerakan pangeran itu tetap mengesankan bahwa dia barusan memegang hulu senjata.
“Assalaamu’alaikum warahmatul-laah… “
“Wa’alaikum salam… Silahkan duduk Ki Jayaratu,” sambut Pangeran Arya Damar sambil melinting kumis tipisnya.
Paman Jayaratu duduk bersila sesudah menghormat penuh takzim, diikuti tindakan serupa yang dilakukan Purbajaya. Sedangkan dua prajurit, sesudah menyembah hormat segera undur diri.
“Engkau yang duduk di belakang tentu pemuda bernama Purbajaya itu, ya?” Pangeran Arya Damar matanya menyorot bagai mata burung elang.
Purbajaya menunduk. Dan untuk kedua kalinya dia menyembah.
“Serasa aku sudah pernah melihat wajahnya, di mana ya Ki Jayaratu?” tanyanya kemudian.
“Pangeran pernah melihatnya pada perayaan muludan beberapa bulan lalu… ” jawab Paman Jayaratu sambil kembali menyembah.
Pangeran Arya Damar mengangguk-angguk sesudah mengingat-ingat sebentar. “Bukankah yang menolong putriku Nyimas Waningyun ketika anak nakal itu hampir tenggelam di Taman Air Petratean?” tanya Pangeran Arya Damar lagi.
Jantung Purbajaya hampir berhenti dan teringat gadis ayu berlesung pipit. Dia putri Pangeran Arya Damar? Beberapa bulan lalu, adalah perayaan 12 Mulud upacara tradisi memperingati hari lahirnya penyebar agama baru di dunia bernama Islam. Kangjeng Nabi Muhammad SAW.
Namun di samping perayaan yang bersifat keagamaan, perayaan lain pun ikut mewarnai. Berbagai kesibukan lain ikut meramaikan, misalnya jenis-jenis kesenian. Keramaian itu biasa diadakan sejak dua minggu sebelum 12 Mulud.
Perayaan secara besar-besaran selalu diadakan, terutama sesudah Kangjeng Syarief Hidayatullah atau lebih dikenal Sang Susuhunan Jati memegang tampuk pemerintahan Nagri Carbon (1479 Masehi). Susuhunan Jati mengadakan berbagai perayaan secara besar-besaran ini, bukan semata karena menghormati Kangjeng Nabi sebagai penyebar agama saja, melainkan juga karena menghormati nenek-moyang.
Menurut garis ayah, Kangjeng Syarief Hidayatullah keturunan ke 22 Kangjeng Nabi Muhammad SAW. Ayahandanya Syarief Abdullah yang datang ke Pulau Jawa dari Mesir melalui Gujarat. Menikah dengan Nyimas Rara Santang putri Sri Baduga Maharaja penguasa Pajajaran.
Sebagai keturunan langsung dari penyebar agama Islam, sudah barang tentu Kangjeng Syarief Hidayatullah begitu menghormatinya secara khusus, hormat seorang keturunan kepada nenek-moyangnya. Makanya sejak saat itulah muludan di Nagri Carbon selalu meriah hingga kini.
Nagri Carbon menjadi tempat yang ramai bila muludan tiba. Ribuan orang akan datang dari mana-mana, termasuk dari wilayah karatuan yang telah bergabung dengan Carbon seperti Rajagaluh, Kuningan, Talaga dan Sumedanglarang.
Yang datang berkunjung ke suasana pesta, bukan hanya orang tua. Bahkan orang muda, para gadis dan lajang saling memperlihatkan wajah dan penampilan agar satu sama lain menjadi saling tertarik.
Kebahagiaan juga larut ke dada para remaja bangsawan. Para ksatria dan puteri Karaton Pakungwati yang elok-elok sama bergembira namun tentu saja mereka tak berbaur dengan orang kebanyakan. Anak-anak kaum bangsawan hanya bercengkrama di Taman Air Petratean. Sebuah taman indah di kompleks istana. Di kompleks itu ada kolam berbentuk melingkar, airnya jernih banyak ditumbuhi bunga teratai. Bila senja hari anak-anak bangsawan karaton bersenandung sambil bersampan, melewati taman-taman air Pulau Kaca, Pulau Manik dan kemudian berhenti di Taman Air Petratean (karena banyak ditumbuhi bunga teratai yang indah-indah).
Purbajaya bukan putra bangsawan. Namun pada perayaan ini dia bisa keluyuran ke Taman Air Petratean berkat Paman Jayaratu. Kalau mengingat ini memang sungguh mencengangkan. Paman Jayaratu bukanlah seorang pejabat, tidak juga sebagai abdi keraton. Tapi entah mengapa, dia bisa keluar-masuk kompleks istana dan sering berhubungan dengan kalangan pejabat di Pakungwati.
Sesekali ada juga keinginan pemuda itu untuk bertanya, mengapa Paman Jayaratu punya kelonggaran seperti itu. Namun yang membuat keinginan itu selalu kandas, karena Paman Jayaratu orangnya acuh tak acuh. Jangankan orang tak bertanya, sedangkan orang perlu penjelasan darinya jarang mengabulkannya. Jadinya pemuda itu lebih memilih diam ketimbang pusing sendiri memikirkan sifat-sifat orang tua itu.
Purbajaya boleh menggunakan pakaian bagus. Ketika ikut keluyuran di Taman Air Petratean dia memakai pakaian seperti yang biasa digunakan kaum santana (golongan masyarakat pertengahan), yaitu memakai baju kurung tangan panjang terbuat dari kain halus buatan Nagri Campa (Cambodia kini), warna mencolok biru muda, sedangkan ke bawahnya menggunakan celana komprang (celana panjang sebatas mata kaki) dengan warna kuning tua. Kepala diikat kain batik motif atau corak pupunjungan. Tentu saja gagah sekali. Apalagi potongan wajah Purbajaya terbilang tampan. Dia berkulit putih bermata tajam. Ada ciri khas yang tak mungkin orang lupa, yaitu ujung dagu pemuda ini seperti terbelah dua oleh goresan.
Purbajaya jalan-jalan sendirian sebab Paman Jayaratu punya kepentingan lain. Betapa gembiranya pemuda ini ketika dilihatnya di kolam taman itu banyak anak muda pria dan wanita bercengkrama. Beberapa di antaranya melayari kolam berbentuk lingkaran dengan wajah ceria. Yang membuat Purbajaya terlongong-longong kagum, karena kaum remaja di sana selain berpakaian indah-indah juga wajahnya pun elok-elok. Yang perempuan cantik-cantik dan yang prianya tampan-tampan.
Namun dari sekian remaja elok yang dia kagumi, ada seorang dari sekumpulan gadis yang dia perhatikan. Dia punya kesan khusus terhadap gadis belia yang barangkali usianya masih sekitar limabelas tahun ini. Dia cantik melebihi yang lainnya, tapi tindak-tanduknya tenang setenang air kolam. Kalau orang lain menampakkan kegembiraan yang penuh sebagai remaja, adalah gadis itu hanya senyum-senyum saja. Namun dalam selintas nampak nyata bahwa gadis itu selalu jadi incaran para pemuda di sekelilingnya. Mereka seperti bersaing ingin lebih dekat dengan gadis itu. Selalu berusaha menggoda dan membuat kelucuan-kelucuan agar gadis itu tertarik padanya.
Purbajaya ingin sekali bergabung namun bagaimana caranya? Alangkah kurang sopannya bila secara tiba-tiba dia ikut melibatkan diri begitu saja. Mereka tidak saling mengenal.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment