Ads

Monday, December 6, 2021

Kidung Senja Jatuh di Pajajaran 046 ( TAMAT )

Bila Ginggi ingat akan keterangan Ki Darma tempo hari, maka inilah siasat perang yang bernama cakrabihwa, Siasat ini digunakan terbalik. Cakra-bihwa biasanya dilakukan bila pasukan terperangkap dalam kepungan musuh. Caranya, di dalam kepungan musuh mereka membentuk lingkaran. Dari lingkaran itu setiap selang dua orang, keluar satu perwira. Tugas mereka adalah berusaha membobol kepungan.

Sekarang kedudukan pasukan perwira terbalik. Posisi mereka bertindak sebagai pihak pengepung, yaitu melingkari lawan dan membiarkan mereka ada di tengah. Dari setiap dua orang yang ada dalam lingkaran itu, keluar satu perwira dan mencoba melakukan gempuran. Namun setiap lawan hendak balik menggempur perwira itu segera melompat ke belakang dan ganti formasi. Dengan demikian, secara bergantian mereka melakukan penyerangan dan ganti pula melakukan pengawalan, begitu seterusnya, membuat musuh yang dikepung merasa kebingungan.

Ginggi menghitung lebih dua ratus orang yang terperangkap siasat perang cakra-bihwa ini. Kedudukan mereka semakin terhimpit sebab jumlah pihak pengepung bahkan lebih dari enam ratus orang. Ketika lingkaran semakin kecil, maka semakin ketat pula lingkaran pengepungan. Ginggi menghitung lagi, kini ada tiga lapis lingkaran, ketiganya berputar-putar dengan arah berlawanan dan membuat lawan yang terkepung menjadi bingung.

Pasukan yang terjepit di tengah kepungan, menjadi semakin kacau formasinya setelah belasan perwira secara berani melakukan salto-salto di udara dan masuk ke tengah kepungan. Untuk sementara belasan perwira harus mati-matian melakukan gempuran atau bahkan menahan gempuran lawan. Namun hebatnya, sambil berusaha melakukan sepak-terjang penyerangan atau sebaliknya belasan perwira itu menyusun formasi lingkaran baru.

Dengan demikian, kini terbentuk satu formasi lingkaran lagi namun berada di tengah kepungan. Benar-benar hebat formasi ini, sebab musuh kini seolah digempur dari luar dan dalam. Jerit-jerit kesakitan mulai terdengar di sana-sini dan semua keluar dari mulut-mulut pasukan musuh. Formasi mereka sudah demikian kacau dan hancur. Mereka bingung sebab serangan datang dari depan dan belakang. Kian lama lingkaran di tengah kian melebar pula sebab kian banyak perwira yang melakukan salto dan menerobos masuk ke tengah kepungan.

Lawan yang ada dalam kepungan hanya menunggu waktu saja untuk segera dibantai habis oleh teknik pertempuran cakra-bihwa ini. Ginggi berteriak-teriak agar pasukan pemerintah tidak begitu ganas membantai mereka. Ginggi berteriak mengabarkan bahwa biang keladi kerusuhan sudah bisa dilumpuhkan dan Raja pun selamat. Namun teriakan Ginggi tenggelam ke dalam gemuruh pertempuran. Jerit kesakitan terdengar membahana dan membuat bulu kuduk merinding saking ngerinya mendengar teriak-teriakan itu.

Apalagi di seputar tegalan, tubuh-tubuh bertumpuk dan bergeletakan dan darah membanjir di mana-mana. Pertempuran sekarang hanya terpusat pada lingkaran itu saja, sebab di tempat lain, perkelahian sudah usai. Ginggi hanya berdiri termangu sebab dia tak tahu harus berbuat bagaimana lagi. Melihat ketatnya pengepungan ini, Ginggi tak mungkin ikut masuk lingkaran, sebab kalau pun terjun ke arena yang demikian ketatnya dia akan masuk dalam putaran pembantaian itu sendiri.

Ini adalah pertempuran dengan mengunakan taktik barisan dan bukan pertempuran perseorangan seperti tadi. Berbagai gerak dan jurus, dikendalikan oleh satu komando dan tidak berjalan sendiri-sendiri. Ki Rangga Guna pun nampak mulai bingung untuk dapat melibatkan diri dalam pertempuran ini. Dia tak bisa lagi turun tangan untuk mengurangi korban. Ki Rangga Guna bahkan meloncat mendekati tempat di mana Ginggi berdiri termangu.

“Ini korban yang sia-sia… Benar-benar sia-sia…” gumam Ki Rangga Guna, “Astaghfirullah… Astagfirullah… Astaghfirullah!” gumam Ki Rangga Guna mengusap wajahnya.

Ginggi melirik dan menatap orang tua itu dengan heran dan menduga-duga. “Paman, bagimana kita mencegah pembantaian ini?” tanya Ginggi bingung.

“Kita sudah berusaha sekuatnya. Tapi barangkali ini kehendak Allah… Allaahu Akbar! Allaahu Akbar!” gumam Ki Rangga Guna lagi.

Ginggi menatap ke arah pertempuran dengan pandangn kosong. Sudah tak terlihat lagi mayat-mayat bergelimpangan. Sudah tak terdengar lagi jerit-jerit kesakitan. Yang ada hanyalah hati pemuda itu yang kosong dan perasaannya yang hampa. Dengan tubuh seperti kehilangan berat badan, Ginggi membalikkan arah dan berjalan meninggalkan arena pertempuran begitu saja.

“Ginggi…!” teriak Ki Rangga Guna memanggil.

Tapi Ginggi terus saja berlalu.

“Ginggi! Ada panah tertancap di bahumu. Mari aku cabut!” teriak Ki Rangga Guna menyusul pemuda itu. Tapi Ginggi seperti tidak mendengar panggilan orang tua itu.

Di sebuah tempat sunyi, jauh di benteng luar, Ginggi mendapatkan pengobatan sederhana dari Ki Rangga Guna. Panah sudah tercabut dari bahunya namun luka itu akan melebar sebab kulit dan sedikit daging pada bagian bahu harus sedikit disayat.

“Terima kasih engkau selamat, Paman…” gumam Ginggi sambil berdiri dan mulai hendak melangkah.

“Aku terlalu sembrono memasuki wilayah Sagaraherang, sehingga akhirnya ditangkap Ki Banaspati karena tak mau diajaknya kerja sama. Tapi di saat persiapan mereka hampir matang, aku bisa kabur bahkan aku akhirnya bias menyadarkan beberapa wilayah Kandagalante lainnya untuk mengurungkan rencana dan tak ikut memberontak, sehingga kekuatan yang datang ke Pakuan sedikit berkurang,” kata Ki Rangga Guna menerangkan sambil melangkah mengikuti Ginggi.

“Setelah itu aku berkelana ke wilayah Cirebon dan bergabung dengan mereka,” sambung lagi Ki Rangga Guna.

Mendengar ini Ginggi merandeg dan menatap Ki Rangga Guna. “Engkau telah memasuki kehidupan agama baru, Paman?” tanya Ginggi

Ki Rangga Guna mengangguk. “Aku menyadari, pada saatnya zaman akan segera berubah, meninggalkan hal-hal lama dan memasuki hal-hal baru,” tutur Ki Rangga Guna.

“Engkau mencintai agama baru, Paman?”

“Pada dasarnya, tak ada agama baru atau agama lama, sebab setiap agama yang baik akan membawa kedamaian hidup. Namun Allah Maha Penyayang. Dia selalu menginginkan manusia punya nilai kesempurnaan. Itulah sebabnya, setiap agama pada waktu kurun tertentu akan disempurnakan dan makin disempurnakan. Ini adalah kurun waktu di mana Allah mempercayai akan kemampuan umat manusia untuk mencapai tingkat kesempurnaan. Itulah sebabnya Allah menurunkan agama paling sempurna dan terakhir, sebab sesudah ini tak akan ada agama baru lagi. Inilah agama akhir zaman di mana semua manusia di bumi ini wajib mengikutinya,” ujar Ki Rangga Guna menjelaskan.

Ginggi termenung, berdiri mematung sambil berpangku tangan.

“Mari anakku, masuklah engkau pada agamaku,” ajak Ki Rangga Guna dengan lemah-lembut.

Ginggi menatap dengan dalam-dalam. “Kalau saya menolak, apakah saya akan diperangi, Paman?” tanya Ginggi.

“Mengapa engkau berpikiran begitu?”

“Pajajaran pun digempur karena tidak mau memasuki agama baru…” gumam Ginggi.

“Masya Allah! Jangan campurkan agama dan politik. Agamaku hanya menganjurkan orang mengikutinya karena inilah agama yang paling sempurna dalam membawa umat manusia menuju jalan keselamatan. Tapi kalau sudah diajak mereka tetap menolak juga, itu adalah hak mereka dengan risiko-risiko tertentu kelak di pengadilan Tuhan. Sementara peperangan yang selama ini berlangsung antara Pajajaran dengan negara-negara agama baru, pendapatku itu hanyalah pertentangan politik semata,” ujar Ki Rangga Guna.

“Saya dibiarkan kosong oleh Ki Darma selama berada di Puncak Cakrabuana. Barangkali ini kebijaksanaan beliau agar di saat kosong begini saya disuruhnya memilih sesuatu yang terbaik buat diri saya sendiri,” gumam Ginggi. “Saya pun ingin memiliki kedamaian. Dan akan saya cari agama yang bisa membawa kedamaian hati namun bukan hasil pengaruh dan gagasan orang lain,” kata pemuda itu mulai hendak berlalu.

“Semoga Allah membukakan hatimu untuk segera memilih agama yang bisa menghantarmu ke kedamaian hakiki, anakku. Tapi hati-hatilah, waktu terus berlalu juga dan Allah akan selalu mencatatnya, sejauh mana kita mempergunakan dan memanfaatkan waktu yang sedikit itu…” kata Ki Rangga Guna.

Ginggi mengangguk mengiyakan. Dia hendak segera berlalu pergi, ketika tiba-tiba ingat sesuatu.

“Paman… Raden Purbajaya telah tewas. Barangkali, sayalah pembunuhnya…” kata Ginggi tapi masih menatap tajam Ki Rangga Guna.

Sedangkan yang ditatap hanya tersenyum pahit. “Aku sudah mendengar semuanya. Dia diutus oleh Cirebon agar mengajak penghuni istana Pakuan untuk memasuki agama baru. Namun pemuda itu hatinya dipenuhi urusan pribadi sehingga akhirnya mencelakakan dirinya sendiri. Anakku ketahuilah, agamaku melarang orang memiliki kebencian. Aku sebagai warga Pajajaran, sebetulnya tetap berkeinginan Pajajaran tetap hidup dan besar. Tatanan pemerintahan sudah baik, tinggal membentuk sikap yang baik dari orang-orangnya. Alangkah baiknya bila kebesaran Pajajaran dijalankan melalui tata cara agama baru,” kata Ki Rangga Guna.

Ginggi tersenyum tipis mendengarnya. “Kita lihat saja perkembangan zaman, Paman…” gumam Ginggi.

Dan akhirnya mereka berpisah di sana. Ki Rangga Guna berdiri mematung memperhatikan Ginggi yang melangkah lesu menuju ke timur. Senja sudah mulai jatuh. Sebagian menimpa pintu gerbang timur, sebagian menimpa punggung pemuda itu. Dan di atas tanah di mana Ginggi melangkah, bayangan besar matahari senja yang terhalang kokohnya tembok-tembok gerbang telah menutupi bayangan tubuh pemuda itu, gelap dan suram.

Ginggi terus menuju ke timur dia akan kembali ke Puncak Cakrabuana sebab hatinya tak yakin Ki Darma telah tiada. Dia pun akan berusaha mencari kampung kecil bernama Caringin di wilayah Cirebon, sebab Ki Darma pernah bilang, bila dia ingin tahu siapa dia sebenarnya, maka harus menuju Kampung Caringin. Bila Ginggi masuk ke sebuah wilayah Kandagalante, maka sesekali akan tersimak juga lantunan dan tembang-tembang ki juru pantun yang cepat sekali membawa berita baru dari Pakuan.

Melalui berita-berita pantun, Ginggi mendapatkan khabar bahwa beberapa bulan sesudah peristiwa besar itu, Sang Prabu Ratu Sakti akhirnya turun tahta juga karena tetap dianggap melakukan pelanggaran moral. Raja yang penuh ambisi ini memerintah sejak tahun 1543 dan berakhir tahun 1551. Penggantinya adalah Sang Lumahing Majaya dikenal juga sebagai Sang Prabu Nilakendra.

Untuk mengurangi kemelut di istana, Sang Prabu yang masih belia ini segera menangkap Bangsawan Soka dan Ki Bagus Seta namun kemudian meninggal karena sakit dan kecewa. Sang Prabu juga mengumumkan bahwa Ki Banaspati dicap pemberontak dan harus diburu sampai diketemukan kendati sembunyi di ujung dunia. Sedangkan Pangeran Yogascitra sekeluarga, begitu pun Ginggi, disebut-sebut Ki Juru Pantun sebagai para pahlawan Pajajaran yang berjuang mempertahankan Pakuan tanpa pamrih. Namun yang paling melegakan Ginggi adalah ketika lantunan juru pantun menembangkan kisah-kisah kedigjayaan seorang perwira setia bernama Ki Darma Tunggara. Ini hanya memberi tanda bahwa Ki Darma telah dibersihkan namanya.

Sebelum tiba di Puncak Cakrabuana Ginggi melakukan pengembaraan kesana-kemari termasuk pula memasuki wilayah-wilayah Kandagalante yang pernah dia kunjungi ketika berangkat dulu. Dengan senyum tipis dia melihat gadis Asih dari Kandagalante Tanjungpura telah bersuamikan pemuda di sana. Dan senyum pahitnya membayang manakala tiba di Desa Cae ketika mendengar khabar bahwa Nyi Santimi akhirnya menjadi istri muda Kuwu Suntara, yaitu ayah kandung Suji Angkara.

Semua serba terjadi dan semua membawa arti. Sambil berjalan sendirian di bawah bayang-bayang senja, Ginggi bersenandung melantunkan tembang yang pernah didendangkan Ki Darma dulu: Hidup banyak menawarkan sesuatu namun bila tak sanggup memilihya maka kita orang-orang yang kalah!

Tamat





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment