Namun teriakan-teriakan ini tak berlangsung lama sebab beberapa pejabat lainnya serentak menghunus senjata dan menyerang para pejabat yang diketahui sebagai pendukung Raja. Sekarang perkelahian kecil telah terjadi di sana-sini. Di atas daratan, para pejabat saling serang sesamanya. Satu kelompok yang pasti sudah menjadi sekutu Ki Sunda Sembawa menyerang kelompok yang lainnya. Sehingga akibatnya mereka saling serang dan saling bunuh. Sementara keempat perwira sudah mulai berhadapan dengan enam orang pengawal keluarga Raja. Mereka berkelahi dengan menggunakan senjata tajam. Para pengawal keluarga Raja nampak dibantu oleh seorang pemuda tampan yang dikenal Ginggi sebagai Sang Lumahing Majaya, putra terkasih Raja dari salah seorang selirnya.
Pemuda elok itu memiliki kepandaian juga, namun nampak sekali tingkatannya di bawah kepandaian para penyerangnya. Selintas Ginggi melihat, pemuda itu cepat sekali terdesak oleh serangan seorang perwira. Apalagi pemuda elok itu hanya menggunakan keris, sedangkan penyerangnya menggunakan pedang. Kalau pertempuran dilakukan satu lawan satu, dalam waktu singkat Sang Lumahing Majaya pasti akan kalah. Hanya untung sekali jumlah pengawal keluarga Raja lebih banyak ketimbang para penyerangnya. Antara pengawal dan pemuda itu bias saling mengisi dan saling menutupi kekosongan.
Sementara itu Ginggi sudah terlibat perkelahian dengan Ki Sunda Sembawa. Kandagalante dari Sagaraherang ini demikian kaget dan marahnya melihat Ginggi berdiri di fihak Raja. Ginggi tak tahu, apakah kekagetan Ki Sunda Sembawa ini karena sebelumnya tak menduga atas sikap Ginggi sekarang, ataukah tidak. Yang jelas ada sinar kebencian Ki Sunda Sembawa yang terpancar di matanya.
“Pengkhianat engkau! Aku harus bunuh! Aku harus bunuh engkau!” teriak Ki Sunda Sembawa dengan geramnya.
Ginggi sekarang agak tenang sebab Sang Prabu sudah terlindungi oleh para pengawalnya. Kalau Ki Sunda Sembawa memaksa hendak menyerang Raja, rasanya sudah tak semudah itu. Dan rupanya Ki Sunda Sembawa pun merasakan situasi ini. Itulah sebabnya pejabat itu kini seperti menimpakan kemarahannya kepada Ginggi. Dengan gerengan keras Ki Sunda Sembawa berlari di antara air sebatas dada dan mengarahkan serangan terhadap Ginggi.
Perkelahian satu lawan satu terjadi antara Ginggi dan Ki Sunda Sembawa. Dalam pertempuran itu Ginggi nampak jadi fihak yang terdesak. Hal ini karena di samping Ki Sunda Sembawa begitu bernafsu untuk membunuh Ginggi, juga karena Ginggi sendiri hanya main kelit saja. Pemuda itu tak secuil pun punya niat membunuh Ki Sunda Sembawa. Tujuan semula hanyalah hendak mencegah pembunuhan terhadap Raja saja. Dia pun tak berniat melumpuhkan atau mengalahkan Ki Sunda Sembawa. Biarlah dia ditangkap para pengawal Raja.
Namun Ginggi merasa heran, ternyata dia dibiarkan berkelahi sendirian. Belasan pengawal yang sudah berdiri kokoh dengan air telaga sebatas dada itu hanya menyaksikan saja dan seperti tak punya minat membantu Ginggi.
“Kubunuh engkau pengkhianat! Kubunuh engkau manusia dungu!” teriak Ki Sunda Sembawa.
Dia menjadi semakin marah manakala melihat ke samping, keempat perwiranya telah tewas mengambang di permukaan telaga. Keempat orang itu rupanya tak mampu melawan kepungan para pengawal. Tadi saja ketika mereka menghadapi enam orang pengawal ditambah tenaga putra mahkota Sang Lumahing Majaya, telah begitu sulitnya untuk segera menerobos pengawalan. Apalagi ketika datang bala bantuan belasan pengawal yang baru datang dari darat. Maka ketika tenaga bantuan datang, keempat perwira itu tak mampu bertahan lagi. Mereka tewas dalam membela ambisi tuannya, yaitu Sunda Sembawa.
Belasan perwira kerajaan yang turun ke permukaan telaga sekarang jumlahnya kian bertambah lagi oleh belasan atau bahkan puluhan perwira yang ikut turun memperkuat pengawalan. Perkelahian Ginggi dan Ki Sunda Sembawa di air telaga sepertinya kini berada di tengah kepungan para perwira. Semuanya membuat lingkaran dalam keadaan siaga, kendati sikap mereka hanya mengawasi perkelahian saja.
Sebetulnya kepandaian Ginggi berada di atas Ki Sunda Sembawa. Namun karena sikap pemuda itu yang mengalah, pertempuran sepertinya seru dan berimbang. Ki Sunda Sembawa dengan ganasnya membuat tusukan dan sabetan dengan kerisnya. Sedangkan Ginggi yang bertangan kosong hanya berkelit dan memutar untuk menghindarkan berbagai serangan dahsyat itu. Banyak dugaan mengapa Ginggi dibiarkan berkelahi seorang diri. Ini mungkin karena para perwira tak merasa berkepentingan membantu Ginggi. Hampir semua perwira sepertinya mengetahui bahwa Sang Prabu telah memerintahkan agar pemuda itu ditangkap. Kalau ada yang turun tangan menangkap Ki Sunda Sembawa sepertinya mereka membantu Ginggi. Mereka seperti tengah membuat siasat, biarlah dua serigala berebut mangsa, siapa yang menang giliran dirinya yang diserang. Mungkin para perwira pun tengah menunggu hasil pertempuran. Siapa kelak yang akan menang, itulah yang mendapat giliran diserang pasukan perwira.
Sialan, pikir Ginggi. Karena merasa Raja telah terselamatkan, ada terbetik dalam benak Ginggi untuk meloloskan diri saja dari kepungan dan membiarkan Ki Sunda Sembawa seorang diri di sana. Tapi ketika pemuda itu melihat ke darat, di sana ada puluhan pasukan panah dan semuanya telah siap melepas anak panah dari busur. Bergetar hati Ginggi, sebab Ki Darma pernah berkata bahwa Pasukan Panah Pajajaran sungguh hebat.
Sementara di tempat lain, sudah terlihat puluhan korban bergelimpangan. Korban-korban itu bercampur-baur. Ada para pejabat bergeletakan, ada juga tubuh para perwira dan prajurit biasa. Ginggi sedikit was-was melihat jajaran pasukan pemanah itu. Mereka sudah dalam keadaan siap melepas anak panah. Siapa yang akan mereka serang? Dirinyakah? Ki Sunda Sembawakah? Atau keduanya?
Celaka, pikir Ginggi. Usaha untuk melarikan diri menuju daratan rupanya sudah tertutup rapat oleh barisan panah. Ke arah mana Ginggi harus melarikan diri? Sementara itu Sang Prabu beserta keluarganya sudah dibimbing untuk meninggalkan telaga. Mereka dikawal ketat oleh puluhan perwira.
“Mana para pengawal lain? Mengapa yang ada di sini hanya puluhan orang?” teriak Sang Prabu gemas dan marah.
“Ampun Paduka… di puncak bukit pun tengah terjadi pertempuran. Secara tiba-tiba ada gemuruh sorak-sorai pasukan asing. Nah… dengarkan Paduka! Mereka mulai menyerang!” teriak seorang perwira dengan suara parau.
Mendengar berita ini, Ki Sunda Sembawa berhenti menyerang Ginggi. Kepalanya dimiringkan seperti ingin mendengar suatu suara. Padahal sudah sejak tadi Ginggi mendengar suara gemuruh banyak orang. Inilah saat penyerbuan pasukan dari timur. Mereka ternyata datang dari punggung Bukit Badigul sebelah selatan. Dan melihat pasukan pengawal Raja di sini jumlahnya sedikit, ada kemungkinan mereka pun sudah tahu akan ada penyerangan pasukan misterius itu. Mereka pasti tengah menghadangnya di puncak bukit, atau bahkan mungkin sudah saling berhadapan.
“Hahaha! Mereka datang! Mereka datang! Hahahaha!!” Ki Sunda Sembawa berteriak dan tertawa terbahak-bahak.
“Sunda Sembawa, apa ini artinya?” teriak Sang Prabu sambil menghentikan pasukan pengawal agar tak melanjutkan langkah menuju daratan.
“Artinya, kejatuhan dirimu terjadi hari ini. Besok pagi di saat matahari bersinar cerah, yang menjadi Raja di Pakuan adalah Sang Prabu Sunda Sembawa!” kata Ki Sunda Sembawa dengan congkaknya.
“Jangan sombong Sunda Sembawa. Engkau melawan keinginan Sang Rumuhun. Sebentar lagi engkau akan tewas di sini. Tidak sadarkah kendati engkau membawa pasukan begitu banyaknya dari wilayah timur tapi kau sendirian di tepi telaga ini? Kau lihat ke darat, puluhan pasukan panah sudah siap menghadang!” kata Sang Prabu tenang.
Ucapan ini ditimpali oleh suara tertawa keras Ki Sunda Sembawa. “Engkau Raja dungu, sebab engkau hanya merajai istana kosong belaka. Hampir sebagian besar penghuninya sudah bersujud kepada Prabu Sunda Sembawa!” kata Ki Sunda Sembawa diiringi tawa keras.
Antara percaya dan tidak kepada ucapan ini, Sang Prabu Ratu Sakti segera mengajak para pengawalnya untuk mendekati daratan. Berusaha mencapai daratan berarti mendekati jajaran puluhan anggota pasukan berpanah. Dan Ginggi terperangah kaget manakala dari daratan serentak berhamburan puluhan panah yang dilepas dengan kepandaian khas.
“Awas serangan panah!!!” teriak Ginggi ke arah para pengawal Raja.
Mereka pun amat terkejut dengan peringatan ini sebab tidak menduga sedikit pun bahwa para anggota pasukan pemanah itu mengarahkan sasaran ke arah Sang Prabu Sakti. Serentak belasan orang melindungi Raja beserta keluarganya. Puluhan anak panah yang datang menyerang mereka tepis dengan senjata pedang. Tapi anak panah datangnya beruntun. Ada beberapa perwira yang tak sanggup menepis dengan baik dan menjadi sasaran empuk panah-panah itu.
Ginggi menghitung, dalam dua gerakan penyerangan, lima perwira terjungkal karena dadanya tertembus panah. Namun para perwira pengawal begitu setia terhadap Raja, lima orang terjungkal segera tergantikan oleh belasan perwira yang lain. Dengan gagah berani mereka melayangkan pedangnya ke kiri dan kanan sekali pun beberapa orang di antara mereka sudah ada yang terjungkal lagi.
Pemuda elok itu memiliki kepandaian juga, namun nampak sekali tingkatannya di bawah kepandaian para penyerangnya. Selintas Ginggi melihat, pemuda itu cepat sekali terdesak oleh serangan seorang perwira. Apalagi pemuda elok itu hanya menggunakan keris, sedangkan penyerangnya menggunakan pedang. Kalau pertempuran dilakukan satu lawan satu, dalam waktu singkat Sang Lumahing Majaya pasti akan kalah. Hanya untung sekali jumlah pengawal keluarga Raja lebih banyak ketimbang para penyerangnya. Antara pengawal dan pemuda itu bias saling mengisi dan saling menutupi kekosongan.
Sementara itu Ginggi sudah terlibat perkelahian dengan Ki Sunda Sembawa. Kandagalante dari Sagaraherang ini demikian kaget dan marahnya melihat Ginggi berdiri di fihak Raja. Ginggi tak tahu, apakah kekagetan Ki Sunda Sembawa ini karena sebelumnya tak menduga atas sikap Ginggi sekarang, ataukah tidak. Yang jelas ada sinar kebencian Ki Sunda Sembawa yang terpancar di matanya.
“Pengkhianat engkau! Aku harus bunuh! Aku harus bunuh engkau!” teriak Ki Sunda Sembawa dengan geramnya.
Ginggi sekarang agak tenang sebab Sang Prabu sudah terlindungi oleh para pengawalnya. Kalau Ki Sunda Sembawa memaksa hendak menyerang Raja, rasanya sudah tak semudah itu. Dan rupanya Ki Sunda Sembawa pun merasakan situasi ini. Itulah sebabnya pejabat itu kini seperti menimpakan kemarahannya kepada Ginggi. Dengan gerengan keras Ki Sunda Sembawa berlari di antara air sebatas dada dan mengarahkan serangan terhadap Ginggi.
Perkelahian satu lawan satu terjadi antara Ginggi dan Ki Sunda Sembawa. Dalam pertempuran itu Ginggi nampak jadi fihak yang terdesak. Hal ini karena di samping Ki Sunda Sembawa begitu bernafsu untuk membunuh Ginggi, juga karena Ginggi sendiri hanya main kelit saja. Pemuda itu tak secuil pun punya niat membunuh Ki Sunda Sembawa. Tujuan semula hanyalah hendak mencegah pembunuhan terhadap Raja saja. Dia pun tak berniat melumpuhkan atau mengalahkan Ki Sunda Sembawa. Biarlah dia ditangkap para pengawal Raja.
Namun Ginggi merasa heran, ternyata dia dibiarkan berkelahi sendirian. Belasan pengawal yang sudah berdiri kokoh dengan air telaga sebatas dada itu hanya menyaksikan saja dan seperti tak punya minat membantu Ginggi.
“Kubunuh engkau pengkhianat! Kubunuh engkau manusia dungu!” teriak Ki Sunda Sembawa.
Dia menjadi semakin marah manakala melihat ke samping, keempat perwiranya telah tewas mengambang di permukaan telaga. Keempat orang itu rupanya tak mampu melawan kepungan para pengawal. Tadi saja ketika mereka menghadapi enam orang pengawal ditambah tenaga putra mahkota Sang Lumahing Majaya, telah begitu sulitnya untuk segera menerobos pengawalan. Apalagi ketika datang bala bantuan belasan pengawal yang baru datang dari darat. Maka ketika tenaga bantuan datang, keempat perwira itu tak mampu bertahan lagi. Mereka tewas dalam membela ambisi tuannya, yaitu Sunda Sembawa.
Belasan perwira kerajaan yang turun ke permukaan telaga sekarang jumlahnya kian bertambah lagi oleh belasan atau bahkan puluhan perwira yang ikut turun memperkuat pengawalan. Perkelahian Ginggi dan Ki Sunda Sembawa di air telaga sepertinya kini berada di tengah kepungan para perwira. Semuanya membuat lingkaran dalam keadaan siaga, kendati sikap mereka hanya mengawasi perkelahian saja.
Sebetulnya kepandaian Ginggi berada di atas Ki Sunda Sembawa. Namun karena sikap pemuda itu yang mengalah, pertempuran sepertinya seru dan berimbang. Ki Sunda Sembawa dengan ganasnya membuat tusukan dan sabetan dengan kerisnya. Sedangkan Ginggi yang bertangan kosong hanya berkelit dan memutar untuk menghindarkan berbagai serangan dahsyat itu. Banyak dugaan mengapa Ginggi dibiarkan berkelahi seorang diri. Ini mungkin karena para perwira tak merasa berkepentingan membantu Ginggi. Hampir semua perwira sepertinya mengetahui bahwa Sang Prabu telah memerintahkan agar pemuda itu ditangkap. Kalau ada yang turun tangan menangkap Ki Sunda Sembawa sepertinya mereka membantu Ginggi. Mereka seperti tengah membuat siasat, biarlah dua serigala berebut mangsa, siapa yang menang giliran dirinya yang diserang. Mungkin para perwira pun tengah menunggu hasil pertempuran. Siapa kelak yang akan menang, itulah yang mendapat giliran diserang pasukan perwira.
Sialan, pikir Ginggi. Karena merasa Raja telah terselamatkan, ada terbetik dalam benak Ginggi untuk meloloskan diri saja dari kepungan dan membiarkan Ki Sunda Sembawa seorang diri di sana. Tapi ketika pemuda itu melihat ke darat, di sana ada puluhan pasukan panah dan semuanya telah siap melepas anak panah dari busur. Bergetar hati Ginggi, sebab Ki Darma pernah berkata bahwa Pasukan Panah Pajajaran sungguh hebat.
Sementara di tempat lain, sudah terlihat puluhan korban bergelimpangan. Korban-korban itu bercampur-baur. Ada para pejabat bergeletakan, ada juga tubuh para perwira dan prajurit biasa. Ginggi sedikit was-was melihat jajaran pasukan pemanah itu. Mereka sudah dalam keadaan siap melepas anak panah. Siapa yang akan mereka serang? Dirinyakah? Ki Sunda Sembawakah? Atau keduanya?
Celaka, pikir Ginggi. Usaha untuk melarikan diri menuju daratan rupanya sudah tertutup rapat oleh barisan panah. Ke arah mana Ginggi harus melarikan diri? Sementara itu Sang Prabu beserta keluarganya sudah dibimbing untuk meninggalkan telaga. Mereka dikawal ketat oleh puluhan perwira.
“Mana para pengawal lain? Mengapa yang ada di sini hanya puluhan orang?” teriak Sang Prabu gemas dan marah.
“Ampun Paduka… di puncak bukit pun tengah terjadi pertempuran. Secara tiba-tiba ada gemuruh sorak-sorai pasukan asing. Nah… dengarkan Paduka! Mereka mulai menyerang!” teriak seorang perwira dengan suara parau.
Mendengar berita ini, Ki Sunda Sembawa berhenti menyerang Ginggi. Kepalanya dimiringkan seperti ingin mendengar suatu suara. Padahal sudah sejak tadi Ginggi mendengar suara gemuruh banyak orang. Inilah saat penyerbuan pasukan dari timur. Mereka ternyata datang dari punggung Bukit Badigul sebelah selatan. Dan melihat pasukan pengawal Raja di sini jumlahnya sedikit, ada kemungkinan mereka pun sudah tahu akan ada penyerangan pasukan misterius itu. Mereka pasti tengah menghadangnya di puncak bukit, atau bahkan mungkin sudah saling berhadapan.
“Hahaha! Mereka datang! Mereka datang! Hahahaha!!” Ki Sunda Sembawa berteriak dan tertawa terbahak-bahak.
“Sunda Sembawa, apa ini artinya?” teriak Sang Prabu sambil menghentikan pasukan pengawal agar tak melanjutkan langkah menuju daratan.
“Artinya, kejatuhan dirimu terjadi hari ini. Besok pagi di saat matahari bersinar cerah, yang menjadi Raja di Pakuan adalah Sang Prabu Sunda Sembawa!” kata Ki Sunda Sembawa dengan congkaknya.
“Jangan sombong Sunda Sembawa. Engkau melawan keinginan Sang Rumuhun. Sebentar lagi engkau akan tewas di sini. Tidak sadarkah kendati engkau membawa pasukan begitu banyaknya dari wilayah timur tapi kau sendirian di tepi telaga ini? Kau lihat ke darat, puluhan pasukan panah sudah siap menghadang!” kata Sang Prabu tenang.
Ucapan ini ditimpali oleh suara tertawa keras Ki Sunda Sembawa. “Engkau Raja dungu, sebab engkau hanya merajai istana kosong belaka. Hampir sebagian besar penghuninya sudah bersujud kepada Prabu Sunda Sembawa!” kata Ki Sunda Sembawa diiringi tawa keras.
Antara percaya dan tidak kepada ucapan ini, Sang Prabu Ratu Sakti segera mengajak para pengawalnya untuk mendekati daratan. Berusaha mencapai daratan berarti mendekati jajaran puluhan anggota pasukan berpanah. Dan Ginggi terperangah kaget manakala dari daratan serentak berhamburan puluhan panah yang dilepas dengan kepandaian khas.
“Awas serangan panah!!!” teriak Ginggi ke arah para pengawal Raja.
Mereka pun amat terkejut dengan peringatan ini sebab tidak menduga sedikit pun bahwa para anggota pasukan pemanah itu mengarahkan sasaran ke arah Sang Prabu Sakti. Serentak belasan orang melindungi Raja beserta keluarganya. Puluhan anak panah yang datang menyerang mereka tepis dengan senjata pedang. Tapi anak panah datangnya beruntun. Ada beberapa perwira yang tak sanggup menepis dengan baik dan menjadi sasaran empuk panah-panah itu.
Ginggi menghitung, dalam dua gerakan penyerangan, lima perwira terjungkal karena dadanya tertembus panah. Namun para perwira pengawal begitu setia terhadap Raja, lima orang terjungkal segera tergantikan oleh belasan perwira yang lain. Dengan gagah berani mereka melayangkan pedangnya ke kiri dan kanan sekali pun beberapa orang di antara mereka sudah ada yang terjungkal lagi.
Para wanita dan selir Raja berteriak histeris karena rasa takut dan tegangnya. Dan tiga wanita jatuh terjerembab. Dua orang karena saking takutnya tapi seorang wanita jatuh karena anak panah menembus perutnya. Sang Prabu berteriak-teriak histeris dengan kejadian ini. Dia mencoba melepaskan diri dari kawalan dan akan menghambur mendekati KI Sunda Sembawa yang berdiri agak jauh terpisah bertolak pinggang dan tertawa terbahak-bahak.
“Engkau biadab Sunda Sembawa! Engkau manusia durhaka, jahat dan tak punya rasa malu!” teriak Sang Prabu. “Lepaskan! Aku sanggup membunuh durjana itu!” teriak Sang Prabu.
“Hahaha! Lepaskan dia! Dulu engkau perwira kerajaan. Tapi kepandaianmu sudah hilang entah ke mana karena tergantikan oleh kebiasaan bermewah-mewah dan main perempuan. Engkau tidak sekuat dulu lagi!” teriak Ki Sunda Sembawa menantang.
Sementara itu beberapa pengawal sudah berjatuhan lagi karena serangan anak panah. Ki Sunda Sembawa tawanya semakin keras menyaksikan adegan ini, membuat Ginggi sebal hatinya. Ada terpikir untuk memukul jatuh Kandagalante ambisius ini. Namun sebelum niatnya terlaksana, secara tiba-tiba terdengar teriakan ngeri Ki Sunda Sembawa.
Ginggi kaget setengah mati sebab tanpa diketahui awal mulanya, dada Ki Sunda Sembawa sudah tertusuk sebuah anak panah. Serangan itu jelas datang dari daratan dan dilepas oleh pasukan pemanah itu. kelirukah pasukan pemanah itu?
Ow, tidak! Dan Ginggi yang berdiri terpaut dua tiga tindak dari kedudukan Ki Sunda Sembawa segera melempar tubuhnya ke samping sebab hamburan anak panah datang ke arah dia dan Ki Sunda Sembawa. Ginggi lolos dari serangan karena sudah melempar tubuhnya tapi Ki Sunda Sembawa tidak. Dia masih berdiri terpaku ketika tiga batang anak panah sekaligus menembus bagian leher dan tangan kanannya.
Ginggi berdiri lagi, melihat pasukan berpanah dengan kaget. Mengapa mereka menyerang membabi-buta kesana-kemari? Ginggi saksikan Sang Prabu Ratu Sakti pun masih tetap menjadi incaran serangan anak panah dan begitu pun dirinya. Sedangkan tubuh limbung Ki Sunda Sembawa masih terus dihujani anak panah lagi. Sehingga ketika tubuh itu terjerembab ke permukaan air telaga, sudah ada belasan anak panah tertancap di sekujur tubuhnya.
Sambil berkelit kesana-kemari karena anak panah terus berhamburan mengarah padanya, Ginggi melihat tubuh Ki Sunda Sembawa timbul tenggelam di permukaan telaga. Air telaga yang tadinya begitu bening kini sudah berubah menjadi merah karena darah Ki Sunda Sembawa. Para wanita tetap menjerit-jerit histeris karena serangan panah ini. Sementara para perwira pun dengan susah-payah berusaha menghalau serbuan-serbuan itu. ada dua orang yang nekad berlari menuju daratan. Tapi sebelum keduanya sampai di tempat tujuan, tubuh-tubuh mereka sudah tertembus banyak anak panah.
Ginggi cepat berpikir, siapa gerangan pasukan panah ini. Namun serentak dugaannya mengarah pada satu tuduhan. Ya, siapa lagi yang mengendalikan pasukan berpanah ini kalau bukan Ki Banaspati? Ya, inilah tujuan Ki Banaspati. Dia akan membunuh Raja tapi juga menyingkirkan Ki Sunda Sembawa. Dengan demikian dia sendirilah kelak yang memetik kemenangan.
Licin, licik dan buasnya Ki Banaspati. Aku harus cari dia, kata Ginggi dalam hati. Sambil berkelit kesana-kemari, Ginggi melakukan beberapa loncatan. Dia harus mencapai daratan di mana pasukan panah yang sudah berada di bawah pengaruh Ki Banaspati berada. Usaha ini benar-benar untung-untungan sebab hujan panah begitu deras mengancam jiwanya. Tapi apa boleh buat, sebab semua tak ada bedanya. Dan lebih baik mati sambil berusaha melawan dari pada mati sia-sia di tengah air telaga.
Ginggi bergerak memilih saat-saat anak panah sudah dilepas. Sebab di saat itulah ada kekosongan serangan. Tapi usaha ini memang tidak begitu mudah sebab di sana ada tiga barisan pemanah masing-masing berjumlah duapuluh orang dan secara bergiliran melepas anak panahnya. Hanya sedikit saja antaranya saat pelepasan panah-panah pertama dengan kedua dan seterusnya.
Untuk menahan hujan anak panah itu sesekali Ginggi melakukan pukulan jarak jauh dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Namun tentu itu dilakukan hanya sesekali saja sebab kalau terlalu diobral bahkan hanya akan mencelakakan dirinya sendiri saja. Sudah ada satu anak panah menancap di bahunya. Tidak terlalu dalam, tapi sakitnya terasa kiut-miut dan sedikit mengganggu gerakannya. Ginggi tak berani mencabutnya, sebab kalau dicabut begitu saja, takut lukanya semakin melebar dan darah akan lebih banyak keluar.
Sekarang Ginggi sudah berada di bagian air agak dangkal, hanya sebatas betis saja. Serbuan anak panah datang sejajar setinggi tubuhnya berdiri. Bila hendak menghindarkan serangan itu, Ginggi harus meloncat ke darat melebihi ketinggian serangan itu sendiri. Tentu dia harus meloncat secara tiba-tiba dan waktunya harus dihitung. Maka ketika barisan pemanah melepaskan serangan mendatar, Ginggi segera meloncat dan jumpalitan di udara. Serangan pertama gagal total dan serangan kedua terpaksa harus mengubah posisi semula. Ginggi lihat barisan pemanah kedua agak sedikit bingung mengubah posisinya. Dari gerakan mendatar mereka harus sedikit miringkan busurnya tapi begitu kesulitan untuk mengikuti gerakan Ginggi. Soalnya pemuda itu bersalto di udara beberapa kali dan tubuhnya seperti naik-turun, sehingga gerakan busur pun naik-turun mengikuti gerakan salto sebelum anak panah benar-benar dilepas.
Dan ketika anak panah dilepas, arahnya begitu lemah dan tak tepat sasaran. Namun ketika Ginggi sudah berdiri di tanah, serangan panah datang lagi. Di sini Ginggi mengirim serangan pukulan jarak jauh dengan pengerahan tenaga dalam. Namun karena jarak dia dengan barisan pemanah sudah tak begitu jauh lagi, serangan pukulan ini bukan saja merontokkan anak-anak panah, melainkan juga menyerang para pemanahnya.
Beberapa orang menjerit ngeri ketika tubuh-tubuh mereka terlontar ke belakang seperti daun kering tertiup angin. Ginggi tak memberi kesempatan kepada yang lainnya untuk memasang anak panahnya, sebab dengan secepat kilat dia meloncat ke depan dan merangsek mereka dengan serangan-serangan sepasang tangannya. Secara berturut-turut Ginggi melucuti busur-busur mereka sehingga penyerangan anak panah baik kepadanya mau pun kepada Raja dan keluarganya terhambat sudah.
Pasukan panah memang bisa juga berkelahi jarak dekat, namun mereka sebenarnya lebih akhli lagi dalam melepaskan anak panah. Itulah sebabnya ketika dipaksa Ginggi harus melakukan perkelahian langsung, kendati jumlah mereka banyak namun kekuatan mereka masih jauh di bawah keakhlian Ginggi. Dalam sebentar saja belasan dari mereka sudah tumbang dan jatuh bergeletakan kendati tak sampai mati.
Kedudukan mereka menjadi semakin terdesak manakala para perwira yang mengawal Raja dan keluarganya, sebagian ikut melakukan penyerangan ke arah pasukan panah. Dan Ginggi mengeluh menyaksikan sepak-terjang para perwira kerajaan ini. Mereka menyerang pasukan panah dengan beringas dan penuh kebencian. Pedang-pedangnya mereka tebaskan kesana kemari dengan ganasnya dan belum merasa puas sebelum pedang-pedang itu menghirup darah para korbannya. Musuh yang telah dilumpuhkan Ginggi pun mereka bunuh juga.
Ini sudah bukan lagi pertempuran tapi lebih berupa semacam pembantaian. Kendati jumlah pasukan pemanah masih lebih besar ketimbang jumlah para perwira, namun tingkat kepandaian para perwira Raja sudah terkenal kehebatannya. Ginggi kagum melihat sepak terjang mereka yang demikian gagah berani, namun sekaligus juga ngeri melihat keganasannya itu. Sekarang di tepi telaga mayat sudah semakin bergelimpangan, mungkin ratusan banyaknya. Mereka adalah mayat para pejabat yang saling bertempur sendiri, juga mayat-mayat pasukan panah. Darah berceceran di mana-mana, sehingga kesegaran alam tepi telaga ini berubah menjadi tempat yang menyebarkan bau amis darah.
Merasa bahwa usahanya sudah gagal, sisa-sisa pasukan panah segera berpencar untuk menyelamatkan diri masing-masing. Satu dua orang perwira masih mencoba mengejarnya tapi sebagian besar tetap menjaga Raja dan seluruh keluarganya. Walau dengan perasaan kacau, namun Ginggi merasa bahwa keinginannya untuk menjaga Raja dari kematian sudah dianggap berjalan secara baik. Dia akan meninggalkan tempat itu untuk segera memburu puncak Bukit Badigul di mana terjadi pertempuran yang diduga Ginggi lebih besar lagi.
“Hai pengawal! Tangkap pemuda itu!” teriak Sang Prabu Ratu Sakti sambil menudingkan telunjuknya ke arah Ginggi.
Ginggi menoleh ke belakang. Dengan amat marahnya dia melihat empat orang perwira menghunus pedang serta memburu dirinya. Ketika empat perwira menghambur ke arahnya, Ginggi malah sengaja berlari mendekat ke arah mereka. Namun tiga depa sebelum terjadi bentrokan, Ginggi meloncat ke atas seperti terbang melewati ubun-ubun empat perwira.
Ginggi jumpalitan di udara dan tubuhnya melayang di atas kepala Sang Ratu Prabu Sakti. Para pengawal yang mengurung Sang Prabu dalam upaya memberi perlindungan merasa kesulitan untuk menyerang pemuda itu karena kedudukannya tepat di atas kepala Sang Prabu. Kalau mereka harus dengan gegabah, bias-bisa malah tubuh Raja yang mereka serang. Keragu-raguan para perwira dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Ginggi untuk segera turun dan menelikung tangan Sang Prabu ke belakang.
“Jangan bunuh Raja!” para perwira berteriak-teriak sambil mengamang-amangkan senjata.
Di belakang Ginggi pun ada gerakan orang hendak melakukan serangan tapi Ginggi tak berupaya menoleh.
“Bunuhlah aku dari belakang kalau kalian berani!” teriak Ginggi.
Tapi tentu saja penyerang dari belakang segera hentikan gerakannya. Barangkali mereka takut, begitu serangannya dilakukan, Ginggi pun akan membunuh Raja.
“Sang Prabu, engkau begitu bernafsu untuk menangkapku, apa sebenarnya salahku?” tanya Ginggi marah dan penasaran.
“Engkau punya hubungan dengan Ki Darma, engkau pun pengkhianat!” kata Sang Prabu masih bersikap tenang.
“Sudah dua kali aku berada di belakang dirimu seperti ini. Kalau aku benci Raja, amat mudah untuk mencelakakan bahkan membunuhmu. Engkau mudah sekali menuding pengkhianat kepada orang yang tak bias menyenangkan dirimu. Padahal Ki Darma selama ini tidak pernah berniat mencelakakanmu bahkan penguasa-penguasa sebelummu. Dan kau lihatlah pula orang-orang yang selama ini gemar membuat dirimu tenggelam dalam kesenangan. Semua yang pandai mengucapkan kata manis, malah itulah yang mencelakakanmu!” kata Ginggi dengan gemas.
Serta-merta Ginggi mendorong tubuh Sang Prabu ke arah para pengawal dan hendak berlalu dari tempat itu.
“Seharusnya hari kemarin engkau beberkan rencana penyerbuan ini, maka tak nanti akan terjadi korban begini banyak!” kata Sang Prabu. “Sikapmu merugikan negara!” teriaknya.
Ginggi merandeg dan menjawab tanpa menoleh ke belakang. “Pangeran Yogascitra sudah aku beri tahu dan pasti sudah melaporkannya. Apa yang dia katakan, itulah yang aku ketahui!” tuturnya ketus.
“Tapi Pangeran Yogascitra kurang rinci memberi laporan. Dia tak tahu siapa pasukan dari timur itu. Banaspati kami kejar tapi dia menghilang. Bangsawan Soka dan Ki Bagus Seta kami tangkap dan periksa tapi mereka bilang tak tahu-menahu. Kami tak punya bukti keterlibatan mereka. Semua orang hanya mencurigai sesuatu karena laporan engkau semata. Semua kekuatan prajurit disebar untuk menyelidiki kekuatan yang dimaksud tapi sampai dengan tadi pagi, tak diketemukan sebuah kekuatan yang diduga akan menyerbu Pakuan. Tidak juga tahu perihal pengkhianatan Si Sunda Sembawa dan baru bisa terbongkar barusan. Itu semua engkaulah penyebabnya! Kau tak sungguh-sungguh dalam menyelamatkan negara,” kata Sang Prabu lagi dengan nada tak senang.
Dalam hatinya Ginggi sedikit membenarkan tudingan ini. Tapi dia sendiri pun sebetulnya hanya samar saja mendapatkan data penyerbuan kekuatan dari timur itu. Bukankah semuanya hanya didapat dari perkiraan-perkiraan yang dia baca lewat sandi rahasia?
“Akhirnya kita hanya bisa saling menyalahkan. Aku juga menyalahkanmu, mengapa keinginanku, keinginan seorang rakyat tidak kau penuhi?” kata Ginggi. “Tapi setidaknya aku tetap cinta Pajajaran, seperti kecintaan Ki Darma yang mau mengabdi tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan pujian. Sekarang bebaskan aku dari sini, sebab aku akan melaksanakan kewajiban sebagai warga Pajajaran. Kalian dengar di atas bukit sana, pertempuran besar tengah terjadi. Aku harus melaksanakan titah Ki Darma, bahwa apa pun yang terjadi di bumi Pajajaran, rakyat tak berdosa jangan sampai jadi korban!” kata Ginggi sambil meloncat pergi dan nampaknya dibiarkan oleh para perwira yang ada di sana.
Untuk tiba di punggung bukit, Ginggi memotong jalan setapak, sehingga bisa datang ke tempat itu dengan cepat. Benar saja perkiraannya. Di punggung Bukit Badigul sedang terjadi peperangan yang cukup besar. Punggung bukit itu berupa tegalan atau padang alang-alang dan berbentuk sebuah lapangan. Kata penduduk, Bukit Badigul pada saat-saat tertentu selalu digunakan upacara keagamaan. Tidak dinyana sedikit pun bahwa hari ini, bukit suci ini harus digunakan untuk pembantaian manusia.
Ada sekitar ribuan orang di tegalan itu. Mereka tengah bertempur mati-matian, saling berhadapan satu sama lain dan sulit memisahkan mana kawan dan mana lawan. Ada prajurit melawan prajurit, ada prajurit melawan rakyat kalau menilik jenis pakaian yang dikenakannya.
Namun bila Ginggi ingat kejadian semalam, orang-orang di bawah pimpinan Kandagalante Sunda Sembawa atau Ki Banaspati memang kebanyakan datang dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Kelompok mereka yang mengintai tepi telaga dan berhasil dia lumpuhkan pun semua memakai pakaian rakyat kebanyakan. Korban sudah berjatuhan. Baik yang tewas mau pun yang luka-luka bergeletakan di sana-sini. Di beberapa bagian, tegalan pun sudah berubah menjadi merah karena darah.
Pertempuran itu tidak seimbang. Pasukan penyerbu jumlahnya masih lebih sedikit ketimbang Pasukan Pakuan. Lebih dari itu, Pasukan Pakuan sepertinya memiliki tenaga lebih terampil ketimbang anggota pasukan penyerbu. Ginggi dengan perasaan heran bahkan melihat sepak terjang seorang anggota pasukan pemerintah yang nampak aneh dalam melakukan perkelahian. Dia banyak melumpuhkan pasukan penyerbu tapi sedikit pun tidak berupaya membunuh lawan-lawannya. Berbeda dengan pasukan pemerintah, dia malah tidak memakai pakaian seragam perwira, melainkan menggunakan pakaian rakyat biasa saja. Jurus-jurus berkelahinya membuat hati Ginggi bergetar sebab dia hafal betul, itulah jurus-jurus yang biasa diperagakan Ki Darma yang dikombinasikan dengan jurus-jurus aneh namun Ginggi pun telah kenal akan gerakan itu.
“Ki Rangga Guna…” gumam Ginggi dengan perasaan tak tentu.
Ginggi mengucak-ucak sepasang matanya kalau-kalau dia salah lihat. Tapi beberapa kali dia menggosok mata, pandangannya tidak berubah. Yang dilihatnya benar-benar Ki Rangga Guna! Ki Rangga Guna masih hidup dan bebas dari kungkungan Ki Banaspati. Ginggi begitu bahagia melihat kenyataan ini. Dia tersenyum seorang diri. Dia baru mengerti kini, kelompok-kelompok pasukan musuh yang bersembunyi di sekitar telaga pasti telah dilumpuhkan Ki Rangga Guna secara diam-diam. Musuh tak berdaya tapi tak tewas. Itulah kebiasaan Ki Rangga Guna. Seperti yang diungkapkannya kepada Ginggi, bahwa dia pantang membunuh sebab manusia tak berhak membunuh sesamanya.
Jasa Ki Rangga Guna dalam melumpuhkan para pemberontak cukup besar. Pasukan yang akan membunuh Raja gagal melaksanakan tugasnya karena jauh sebelumnya kekuatan mereka sudah tak utuh lagi. Itu pasti hasil tindak tanduk Ki Rangga Guna. Sekarang di Bukit Badigul ini, jumlah pasukan musuh jauh berkurang karena Ki Rangga Guna turun tangan ikut melumpuhkan musuh.
Ginggi berpikir, sebaiknya dia pun ikut turun tangan melumpuhkan pihak penyerbu. Bukan tak percaya kepada para prajurit dan perwira Pakuan, sebab tanpa bantuan Ki Rangga Guna atau dirinya, sebetulnya kendati secara perlahan namun pihak Pasukan Pakuan akan bias mengatasi pemberontakan ini. Tapi mengapa Ki Rangga Guna tetap memaksakan diri turun tangan, barangkali karena dia ingin mengurangi korban tewas. Kalau pihak Pakuan sendiri yang melakukan penyelesaian, maka mereka akan membantai habis pasukan penyerbu. Tapi bila Ki Rangga Guna yang bergerak, musuh hanya akan lumpuh tanpa tewas.
Berpikir sampai di situ, Ginggi pun segera terjun ke arena pertempuran. Dia bertempur di dekat seorang perwira yang begitu ganasnya membabati musuh. Ginggi mencoba mengurangi korban tewas dengan cara mendahului. Setiap musuh yang dekat, sebelum disabet pedang perwira, Ginggi dahului dengan sodokan kepalan atau tusukan jari ke urat syaraf lawan, yang penting lawan roboh tak berkutik, tapi nyawanya masih utuh.
Pada mulanya perwira itu mengerutkan dahi dan sedikit kaget karena secara tiba-tiba pemuda itu sudah ada di sampingnya. Dia kaget karena mungkin sudah kenal Ginggi sebagai pemberontak. Namun karena pemuda itu nampak ada di pihaknya, perwira itu malah seperti senang hatinya.
“Hahaha! Engkau orang aneh anak muda!” kata perwira itu di tengah kesibukannya menggerak-gerakkan pedang.
Perwira itu seperti terbawa arus sikap Ginggi, melumpuhkan lawan tanpa bermaksud menewaskannya. Hanya gerakannya saja yang tetap ganas sehingga musuh putus nyalinya.
“Mereka hanya terbawa-bawa sikap pemimpinnya saja, jadi tak perlu kita bunuh,” kata Ginggi pada perwira itu.
“Benar juga. Yang penting, kita harus bisa membekuk biang keladinya!” sahut si perwira sambil menangkis sebuah serbuan ujung tombak.
Batang tombak kutung karena sabetan mata pedang yang demikian runcingnya. Pemilik tombak meringis kecut dan akhirnya lari tunggang-langgang karena takut lehernya kena tebas. Medan pertempuran sudah benar-benar dikuasai pasukan pemerintah. Sebagian tentara musuh melarikan diri, serabutan ke berbagai arah. Tapi sebagian besar telah terkepung di tengah-tengah karena mereka terperangkap oleh taktik pertempuran yang disusun oleh para perwira kerajaan.
“Engkau biadab Sunda Sembawa! Engkau manusia durhaka, jahat dan tak punya rasa malu!” teriak Sang Prabu. “Lepaskan! Aku sanggup membunuh durjana itu!” teriak Sang Prabu.
“Hahaha! Lepaskan dia! Dulu engkau perwira kerajaan. Tapi kepandaianmu sudah hilang entah ke mana karena tergantikan oleh kebiasaan bermewah-mewah dan main perempuan. Engkau tidak sekuat dulu lagi!” teriak Ki Sunda Sembawa menantang.
Sementara itu beberapa pengawal sudah berjatuhan lagi karena serangan anak panah. Ki Sunda Sembawa tawanya semakin keras menyaksikan adegan ini, membuat Ginggi sebal hatinya. Ada terpikir untuk memukul jatuh Kandagalante ambisius ini. Namun sebelum niatnya terlaksana, secara tiba-tiba terdengar teriakan ngeri Ki Sunda Sembawa.
Ginggi kaget setengah mati sebab tanpa diketahui awal mulanya, dada Ki Sunda Sembawa sudah tertusuk sebuah anak panah. Serangan itu jelas datang dari daratan dan dilepas oleh pasukan pemanah itu. kelirukah pasukan pemanah itu?
Ow, tidak! Dan Ginggi yang berdiri terpaut dua tiga tindak dari kedudukan Ki Sunda Sembawa segera melempar tubuhnya ke samping sebab hamburan anak panah datang ke arah dia dan Ki Sunda Sembawa. Ginggi lolos dari serangan karena sudah melempar tubuhnya tapi Ki Sunda Sembawa tidak. Dia masih berdiri terpaku ketika tiga batang anak panah sekaligus menembus bagian leher dan tangan kanannya.
Ginggi berdiri lagi, melihat pasukan berpanah dengan kaget. Mengapa mereka menyerang membabi-buta kesana-kemari? Ginggi saksikan Sang Prabu Ratu Sakti pun masih tetap menjadi incaran serangan anak panah dan begitu pun dirinya. Sedangkan tubuh limbung Ki Sunda Sembawa masih terus dihujani anak panah lagi. Sehingga ketika tubuh itu terjerembab ke permukaan air telaga, sudah ada belasan anak panah tertancap di sekujur tubuhnya.
Sambil berkelit kesana-kemari karena anak panah terus berhamburan mengarah padanya, Ginggi melihat tubuh Ki Sunda Sembawa timbul tenggelam di permukaan telaga. Air telaga yang tadinya begitu bening kini sudah berubah menjadi merah karena darah Ki Sunda Sembawa. Para wanita tetap menjerit-jerit histeris karena serangan panah ini. Sementara para perwira pun dengan susah-payah berusaha menghalau serbuan-serbuan itu. ada dua orang yang nekad berlari menuju daratan. Tapi sebelum keduanya sampai di tempat tujuan, tubuh-tubuh mereka sudah tertembus banyak anak panah.
Ginggi cepat berpikir, siapa gerangan pasukan panah ini. Namun serentak dugaannya mengarah pada satu tuduhan. Ya, siapa lagi yang mengendalikan pasukan berpanah ini kalau bukan Ki Banaspati? Ya, inilah tujuan Ki Banaspati. Dia akan membunuh Raja tapi juga menyingkirkan Ki Sunda Sembawa. Dengan demikian dia sendirilah kelak yang memetik kemenangan.
Licin, licik dan buasnya Ki Banaspati. Aku harus cari dia, kata Ginggi dalam hati. Sambil berkelit kesana-kemari, Ginggi melakukan beberapa loncatan. Dia harus mencapai daratan di mana pasukan panah yang sudah berada di bawah pengaruh Ki Banaspati berada. Usaha ini benar-benar untung-untungan sebab hujan panah begitu deras mengancam jiwanya. Tapi apa boleh buat, sebab semua tak ada bedanya. Dan lebih baik mati sambil berusaha melawan dari pada mati sia-sia di tengah air telaga.
Ginggi bergerak memilih saat-saat anak panah sudah dilepas. Sebab di saat itulah ada kekosongan serangan. Tapi usaha ini memang tidak begitu mudah sebab di sana ada tiga barisan pemanah masing-masing berjumlah duapuluh orang dan secara bergiliran melepas anak panahnya. Hanya sedikit saja antaranya saat pelepasan panah-panah pertama dengan kedua dan seterusnya.
Untuk menahan hujan anak panah itu sesekali Ginggi melakukan pukulan jarak jauh dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Namun tentu itu dilakukan hanya sesekali saja sebab kalau terlalu diobral bahkan hanya akan mencelakakan dirinya sendiri saja. Sudah ada satu anak panah menancap di bahunya. Tidak terlalu dalam, tapi sakitnya terasa kiut-miut dan sedikit mengganggu gerakannya. Ginggi tak berani mencabutnya, sebab kalau dicabut begitu saja, takut lukanya semakin melebar dan darah akan lebih banyak keluar.
Sekarang Ginggi sudah berada di bagian air agak dangkal, hanya sebatas betis saja. Serbuan anak panah datang sejajar setinggi tubuhnya berdiri. Bila hendak menghindarkan serangan itu, Ginggi harus meloncat ke darat melebihi ketinggian serangan itu sendiri. Tentu dia harus meloncat secara tiba-tiba dan waktunya harus dihitung. Maka ketika barisan pemanah melepaskan serangan mendatar, Ginggi segera meloncat dan jumpalitan di udara. Serangan pertama gagal total dan serangan kedua terpaksa harus mengubah posisi semula. Ginggi lihat barisan pemanah kedua agak sedikit bingung mengubah posisinya. Dari gerakan mendatar mereka harus sedikit miringkan busurnya tapi begitu kesulitan untuk mengikuti gerakan Ginggi. Soalnya pemuda itu bersalto di udara beberapa kali dan tubuhnya seperti naik-turun, sehingga gerakan busur pun naik-turun mengikuti gerakan salto sebelum anak panah benar-benar dilepas.
Dan ketika anak panah dilepas, arahnya begitu lemah dan tak tepat sasaran. Namun ketika Ginggi sudah berdiri di tanah, serangan panah datang lagi. Di sini Ginggi mengirim serangan pukulan jarak jauh dengan pengerahan tenaga dalam. Namun karena jarak dia dengan barisan pemanah sudah tak begitu jauh lagi, serangan pukulan ini bukan saja merontokkan anak-anak panah, melainkan juga menyerang para pemanahnya.
Beberapa orang menjerit ngeri ketika tubuh-tubuh mereka terlontar ke belakang seperti daun kering tertiup angin. Ginggi tak memberi kesempatan kepada yang lainnya untuk memasang anak panahnya, sebab dengan secepat kilat dia meloncat ke depan dan merangsek mereka dengan serangan-serangan sepasang tangannya. Secara berturut-turut Ginggi melucuti busur-busur mereka sehingga penyerangan anak panah baik kepadanya mau pun kepada Raja dan keluarganya terhambat sudah.
Pasukan panah memang bisa juga berkelahi jarak dekat, namun mereka sebenarnya lebih akhli lagi dalam melepaskan anak panah. Itulah sebabnya ketika dipaksa Ginggi harus melakukan perkelahian langsung, kendati jumlah mereka banyak namun kekuatan mereka masih jauh di bawah keakhlian Ginggi. Dalam sebentar saja belasan dari mereka sudah tumbang dan jatuh bergeletakan kendati tak sampai mati.
Kedudukan mereka menjadi semakin terdesak manakala para perwira yang mengawal Raja dan keluarganya, sebagian ikut melakukan penyerangan ke arah pasukan panah. Dan Ginggi mengeluh menyaksikan sepak-terjang para perwira kerajaan ini. Mereka menyerang pasukan panah dengan beringas dan penuh kebencian. Pedang-pedangnya mereka tebaskan kesana kemari dengan ganasnya dan belum merasa puas sebelum pedang-pedang itu menghirup darah para korbannya. Musuh yang telah dilumpuhkan Ginggi pun mereka bunuh juga.
Ini sudah bukan lagi pertempuran tapi lebih berupa semacam pembantaian. Kendati jumlah pasukan pemanah masih lebih besar ketimbang jumlah para perwira, namun tingkat kepandaian para perwira Raja sudah terkenal kehebatannya. Ginggi kagum melihat sepak terjang mereka yang demikian gagah berani, namun sekaligus juga ngeri melihat keganasannya itu. Sekarang di tepi telaga mayat sudah semakin bergelimpangan, mungkin ratusan banyaknya. Mereka adalah mayat para pejabat yang saling bertempur sendiri, juga mayat-mayat pasukan panah. Darah berceceran di mana-mana, sehingga kesegaran alam tepi telaga ini berubah menjadi tempat yang menyebarkan bau amis darah.
Merasa bahwa usahanya sudah gagal, sisa-sisa pasukan panah segera berpencar untuk menyelamatkan diri masing-masing. Satu dua orang perwira masih mencoba mengejarnya tapi sebagian besar tetap menjaga Raja dan seluruh keluarganya. Walau dengan perasaan kacau, namun Ginggi merasa bahwa keinginannya untuk menjaga Raja dari kematian sudah dianggap berjalan secara baik. Dia akan meninggalkan tempat itu untuk segera memburu puncak Bukit Badigul di mana terjadi pertempuran yang diduga Ginggi lebih besar lagi.
“Hai pengawal! Tangkap pemuda itu!” teriak Sang Prabu Ratu Sakti sambil menudingkan telunjuknya ke arah Ginggi.
Ginggi menoleh ke belakang. Dengan amat marahnya dia melihat empat orang perwira menghunus pedang serta memburu dirinya. Ketika empat perwira menghambur ke arahnya, Ginggi malah sengaja berlari mendekat ke arah mereka. Namun tiga depa sebelum terjadi bentrokan, Ginggi meloncat ke atas seperti terbang melewati ubun-ubun empat perwira.
Ginggi jumpalitan di udara dan tubuhnya melayang di atas kepala Sang Ratu Prabu Sakti. Para pengawal yang mengurung Sang Prabu dalam upaya memberi perlindungan merasa kesulitan untuk menyerang pemuda itu karena kedudukannya tepat di atas kepala Sang Prabu. Kalau mereka harus dengan gegabah, bias-bisa malah tubuh Raja yang mereka serang. Keragu-raguan para perwira dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Ginggi untuk segera turun dan menelikung tangan Sang Prabu ke belakang.
“Jangan bunuh Raja!” para perwira berteriak-teriak sambil mengamang-amangkan senjata.
Di belakang Ginggi pun ada gerakan orang hendak melakukan serangan tapi Ginggi tak berupaya menoleh.
“Bunuhlah aku dari belakang kalau kalian berani!” teriak Ginggi.
Tapi tentu saja penyerang dari belakang segera hentikan gerakannya. Barangkali mereka takut, begitu serangannya dilakukan, Ginggi pun akan membunuh Raja.
“Sang Prabu, engkau begitu bernafsu untuk menangkapku, apa sebenarnya salahku?” tanya Ginggi marah dan penasaran.
“Engkau punya hubungan dengan Ki Darma, engkau pun pengkhianat!” kata Sang Prabu masih bersikap tenang.
“Sudah dua kali aku berada di belakang dirimu seperti ini. Kalau aku benci Raja, amat mudah untuk mencelakakan bahkan membunuhmu. Engkau mudah sekali menuding pengkhianat kepada orang yang tak bias menyenangkan dirimu. Padahal Ki Darma selama ini tidak pernah berniat mencelakakanmu bahkan penguasa-penguasa sebelummu. Dan kau lihatlah pula orang-orang yang selama ini gemar membuat dirimu tenggelam dalam kesenangan. Semua yang pandai mengucapkan kata manis, malah itulah yang mencelakakanmu!” kata Ginggi dengan gemas.
Serta-merta Ginggi mendorong tubuh Sang Prabu ke arah para pengawal dan hendak berlalu dari tempat itu.
“Seharusnya hari kemarin engkau beberkan rencana penyerbuan ini, maka tak nanti akan terjadi korban begini banyak!” kata Sang Prabu. “Sikapmu merugikan negara!” teriaknya.
Ginggi merandeg dan menjawab tanpa menoleh ke belakang. “Pangeran Yogascitra sudah aku beri tahu dan pasti sudah melaporkannya. Apa yang dia katakan, itulah yang aku ketahui!” tuturnya ketus.
“Tapi Pangeran Yogascitra kurang rinci memberi laporan. Dia tak tahu siapa pasukan dari timur itu. Banaspati kami kejar tapi dia menghilang. Bangsawan Soka dan Ki Bagus Seta kami tangkap dan periksa tapi mereka bilang tak tahu-menahu. Kami tak punya bukti keterlibatan mereka. Semua orang hanya mencurigai sesuatu karena laporan engkau semata. Semua kekuatan prajurit disebar untuk menyelidiki kekuatan yang dimaksud tapi sampai dengan tadi pagi, tak diketemukan sebuah kekuatan yang diduga akan menyerbu Pakuan. Tidak juga tahu perihal pengkhianatan Si Sunda Sembawa dan baru bisa terbongkar barusan. Itu semua engkaulah penyebabnya! Kau tak sungguh-sungguh dalam menyelamatkan negara,” kata Sang Prabu lagi dengan nada tak senang.
Dalam hatinya Ginggi sedikit membenarkan tudingan ini. Tapi dia sendiri pun sebetulnya hanya samar saja mendapatkan data penyerbuan kekuatan dari timur itu. Bukankah semuanya hanya didapat dari perkiraan-perkiraan yang dia baca lewat sandi rahasia?
“Akhirnya kita hanya bisa saling menyalahkan. Aku juga menyalahkanmu, mengapa keinginanku, keinginan seorang rakyat tidak kau penuhi?” kata Ginggi. “Tapi setidaknya aku tetap cinta Pajajaran, seperti kecintaan Ki Darma yang mau mengabdi tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan pujian. Sekarang bebaskan aku dari sini, sebab aku akan melaksanakan kewajiban sebagai warga Pajajaran. Kalian dengar di atas bukit sana, pertempuran besar tengah terjadi. Aku harus melaksanakan titah Ki Darma, bahwa apa pun yang terjadi di bumi Pajajaran, rakyat tak berdosa jangan sampai jadi korban!” kata Ginggi sambil meloncat pergi dan nampaknya dibiarkan oleh para perwira yang ada di sana.
Untuk tiba di punggung bukit, Ginggi memotong jalan setapak, sehingga bisa datang ke tempat itu dengan cepat. Benar saja perkiraannya. Di punggung Bukit Badigul sedang terjadi peperangan yang cukup besar. Punggung bukit itu berupa tegalan atau padang alang-alang dan berbentuk sebuah lapangan. Kata penduduk, Bukit Badigul pada saat-saat tertentu selalu digunakan upacara keagamaan. Tidak dinyana sedikit pun bahwa hari ini, bukit suci ini harus digunakan untuk pembantaian manusia.
Ada sekitar ribuan orang di tegalan itu. Mereka tengah bertempur mati-matian, saling berhadapan satu sama lain dan sulit memisahkan mana kawan dan mana lawan. Ada prajurit melawan prajurit, ada prajurit melawan rakyat kalau menilik jenis pakaian yang dikenakannya.
Namun bila Ginggi ingat kejadian semalam, orang-orang di bawah pimpinan Kandagalante Sunda Sembawa atau Ki Banaspati memang kebanyakan datang dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Kelompok mereka yang mengintai tepi telaga dan berhasil dia lumpuhkan pun semua memakai pakaian rakyat kebanyakan. Korban sudah berjatuhan. Baik yang tewas mau pun yang luka-luka bergeletakan di sana-sini. Di beberapa bagian, tegalan pun sudah berubah menjadi merah karena darah.
Pertempuran itu tidak seimbang. Pasukan penyerbu jumlahnya masih lebih sedikit ketimbang Pasukan Pakuan. Lebih dari itu, Pasukan Pakuan sepertinya memiliki tenaga lebih terampil ketimbang anggota pasukan penyerbu. Ginggi dengan perasaan heran bahkan melihat sepak terjang seorang anggota pasukan pemerintah yang nampak aneh dalam melakukan perkelahian. Dia banyak melumpuhkan pasukan penyerbu tapi sedikit pun tidak berupaya membunuh lawan-lawannya. Berbeda dengan pasukan pemerintah, dia malah tidak memakai pakaian seragam perwira, melainkan menggunakan pakaian rakyat biasa saja. Jurus-jurus berkelahinya membuat hati Ginggi bergetar sebab dia hafal betul, itulah jurus-jurus yang biasa diperagakan Ki Darma yang dikombinasikan dengan jurus-jurus aneh namun Ginggi pun telah kenal akan gerakan itu.
“Ki Rangga Guna…” gumam Ginggi dengan perasaan tak tentu.
Ginggi mengucak-ucak sepasang matanya kalau-kalau dia salah lihat. Tapi beberapa kali dia menggosok mata, pandangannya tidak berubah. Yang dilihatnya benar-benar Ki Rangga Guna! Ki Rangga Guna masih hidup dan bebas dari kungkungan Ki Banaspati. Ginggi begitu bahagia melihat kenyataan ini. Dia tersenyum seorang diri. Dia baru mengerti kini, kelompok-kelompok pasukan musuh yang bersembunyi di sekitar telaga pasti telah dilumpuhkan Ki Rangga Guna secara diam-diam. Musuh tak berdaya tapi tak tewas. Itulah kebiasaan Ki Rangga Guna. Seperti yang diungkapkannya kepada Ginggi, bahwa dia pantang membunuh sebab manusia tak berhak membunuh sesamanya.
Jasa Ki Rangga Guna dalam melumpuhkan para pemberontak cukup besar. Pasukan yang akan membunuh Raja gagal melaksanakan tugasnya karena jauh sebelumnya kekuatan mereka sudah tak utuh lagi. Itu pasti hasil tindak tanduk Ki Rangga Guna. Sekarang di Bukit Badigul ini, jumlah pasukan musuh jauh berkurang karena Ki Rangga Guna turun tangan ikut melumpuhkan musuh.
Ginggi berpikir, sebaiknya dia pun ikut turun tangan melumpuhkan pihak penyerbu. Bukan tak percaya kepada para prajurit dan perwira Pakuan, sebab tanpa bantuan Ki Rangga Guna atau dirinya, sebetulnya kendati secara perlahan namun pihak Pasukan Pakuan akan bias mengatasi pemberontakan ini. Tapi mengapa Ki Rangga Guna tetap memaksakan diri turun tangan, barangkali karena dia ingin mengurangi korban tewas. Kalau pihak Pakuan sendiri yang melakukan penyelesaian, maka mereka akan membantai habis pasukan penyerbu. Tapi bila Ki Rangga Guna yang bergerak, musuh hanya akan lumpuh tanpa tewas.
Berpikir sampai di situ, Ginggi pun segera terjun ke arena pertempuran. Dia bertempur di dekat seorang perwira yang begitu ganasnya membabati musuh. Ginggi mencoba mengurangi korban tewas dengan cara mendahului. Setiap musuh yang dekat, sebelum disabet pedang perwira, Ginggi dahului dengan sodokan kepalan atau tusukan jari ke urat syaraf lawan, yang penting lawan roboh tak berkutik, tapi nyawanya masih utuh.
Pada mulanya perwira itu mengerutkan dahi dan sedikit kaget karena secara tiba-tiba pemuda itu sudah ada di sampingnya. Dia kaget karena mungkin sudah kenal Ginggi sebagai pemberontak. Namun karena pemuda itu nampak ada di pihaknya, perwira itu malah seperti senang hatinya.
“Hahaha! Engkau orang aneh anak muda!” kata perwira itu di tengah kesibukannya menggerak-gerakkan pedang.
Perwira itu seperti terbawa arus sikap Ginggi, melumpuhkan lawan tanpa bermaksud menewaskannya. Hanya gerakannya saja yang tetap ganas sehingga musuh putus nyalinya.
“Mereka hanya terbawa-bawa sikap pemimpinnya saja, jadi tak perlu kita bunuh,” kata Ginggi pada perwira itu.
“Benar juga. Yang penting, kita harus bisa membekuk biang keladinya!” sahut si perwira sambil menangkis sebuah serbuan ujung tombak.
Batang tombak kutung karena sabetan mata pedang yang demikian runcingnya. Pemilik tombak meringis kecut dan akhirnya lari tunggang-langgang karena takut lehernya kena tebas. Medan pertempuran sudah benar-benar dikuasai pasukan pemerintah. Sebagian tentara musuh melarikan diri, serabutan ke berbagai arah. Tapi sebagian besar telah terkepung di tengah-tengah karena mereka terperangkap oleh taktik pertempuran yang disusun oleh para perwira kerajaan.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment