Dan Ginggi bingung memikirkannya. Sampai pagi menjelang, pemuda itu tidak pernah tidur padahal kantuk begitu menyerangnya. Ginggi hanya tidur-tiduran saja di sebuah gudang belakang, sebuah bangunan kedai. Pagi-pagi sekali semua penghuni rumah sudah pada bangun. Tapi semuanya tidak berupaya membuka kedai. Mereka hanya terdengar membuka persiapan seperti akan pergi ke suatu tempat.
“Ayo berkemas, siang sedikit kita tak bisa melihat upacara mandi suci di Telaga Rena Maha Wijaya,” kata seseorang.
Sang Prabu Ratu Sakti benar-benar orang hebat, dia pemberani, pikir Ginggi. Ginggi memang tak pernah mengabarkan langsung perihal akan terjadinya penyerbuan dari wilayah timur. Namun sekurang-kurangnya Raja sudah menerima berita ini dari Pangeran Yogascitra. Apakah ucapan pangeran itu tak dipercayanya karena telah dianggap terlibat urusan Ginggi dan Purbajaya, Ginggi sendiri pun tak mengetahuinya.
Seisi rumah sudah meninggalkan tempat itu, sehingga keadaan kembali sunyi. Ginggi harus segera meninggalkan rumah itu untuk sama-sama melihat upacara mandi suci. Tapi akan sangat berbahaya bila dia datang ke sana dengan begitu saja. Kalau ada yang mengenalnya, dia pasti dauber-uber lagi. Ginggi terpaksa memasuki rumah yang sudah ditinggalkan penghuninya. Dia mencari-cari sesuatu. Dan akhirnya ditemukannya barang yang dicarinya, yaitu pakaian. Sejak beberapa hari dia hanya menggunakan pakaian santana pemberian Pangeran Yogascitra. Pakaian itu warna ungu dan akan sangat mencolok sekali, apalagi beberapa orang di istana sudah mengenalnya.
Dia harus ganti pakaian. Pakaian yang ada di rumah itu hanyalah celana pokek dan baju kampret, semua berwarna hitam dan terbuat dari kain tenunan kasar jenis seumat saumur, yaitu tenunan kain yang menggunakan serat-serat benang kasar yang berukuran besar. Dia ambil pula sebuah ikat kepala jenis lohen yang segera diikatkan di kepalanya. Tapi ketika melihat ada ikat kepala jenis lain, dia segera melepas ikat kepala yang barusan sudah dikenakannya. Tidak, aku harus menggunakan jenis ikat kepala barangbang semplak ini, kata Ginggi dalam hatinya.
Ikat kepala jenis ini biasanya digunakan para orang lanjut usia saja. Tapi justru Ginggi akan menggunakannya. Ikat kepala jenis ini ukurannya selalu lebar. Kalau dipakai agak miring ke sisi akan sedikit menutupi pipinya. Ini perlu untuk menghindari pengenalannya.
Selesailah sudah berdandan. Kemudian Ginggi keluar dari rumah itu sesudah diketahui pasti tak akan ada orang yang memperhatikannya. Ginggi menuju Telaga Rena Maha Wijaya. Tempat itu terletak di benteng luar sebelah selatan. Telaga Rena dibuat pada zaman Sang Prabu Sri Baduga Maharaja hampir 30 tahun silam. Telaga hanya mengandalkan sebuah sumber air yang keluar dari ujung sebuah bukit kecil yang dikenal sebagai Bukit Badigul.
Ginggi pernah mendengar penjelasan dari Purohita Ragasuci, bahwa sebenarnya Badigul pun merupakan bukit buatan. Sekurang-kurangnya, tanah dataran tinggi itu dibuat sedemikian rupa membentuk punggung kura-kura. Puncaknya merupakan alam terbuka dan tak ada pepohonan di sana, kecuali semacam lapangan rumput saja. Bukit Badigul sengaja diciptakan menjadi semacam puncak dengan dataran tanah yang rata sebab pada saat-saat tertentu selalu digunakan untuk tempat pemujaan.
Seusai melaksanakan mandi suci dalam kegiatan Kuwerabakti ini pun, akan diadakan upacara keagamaan di puncak bukit. Bila mengingat penjelasan dari Purohita ini, perasaan Ginggi kembali berdebar keras. Ginggi amat membayangkan bahwa penyerangan pasukan dari timur pasti dilakukan di saat semua orang tengah melakukan pemujaan. Ini termasuk kegiataan penting dan semua rakyat Pakuan berbondong-bondong datang ke sana. Itulah sebabnya sepagi itu sudah banyak orang menuju Bukit Badigul dan Telaga Rena Maha Wijaya.
Tiba di tempat itu Ginggi menemukan sesuatu yang mencengangkan. Ke tempat itu banyak rombongan pria-wanita dan anak-anak. Mereka menggunakan pakaian bagus-bagus. Yang kaum lelaki membawa dan memikul jampana, satu jampana diusung empat orang. Di dalam jampana, penuh diisi berbagai macam makanan seperti nasi kuning, panggang ayam dan telur rebus. Yang wanita mengusung tempayan berisi berbagai jenis buah-buahan yang ranum-ranum.
Di seputar tepi telaga yang berair tenang dan jernih itu berderet umbul-umbul dengan kain warna-warni. Kian dekat ke tepi bukit, kian banyak juga orang didapat. Ketika akan memasuki wilayah itu, ribuan orang berderet memadati tepian jalan tanah bercampur pasir. Deretan orang sepertinya tengah menunggu atau menyambut sesuatu.
“Siapa yang akan disambut di sini, Paman?” Tanya Ginggi kepada seorang lelaki yang berpakaian baru.
“Kita semua tengah menyongsong kehadiran keluarga istana,” katanya. “Raja dan keluarga, disertai para pejabat akan mengadakan upacara mandi suci di tepi telaga,” sambungnya pula.
Tidak terlalu lama Ginggi menunggu, sebab sayup-sayup di arah utara terdengar suara gong ditabuh beberapa kali. Orang-orang yang berderet di ujung utara bahkan terdengar bertepuk dan bersuit riuh. Ada juga suara tepukan tangan seperti menyambut sesuatu yang amat membahagiakan bagi mereka. Ternyata yang disambut tempik-sorak meriah adalah rombongan Raja dan seluruh keluarganya. Setiap rombongan tiba di deretan penyambut, setiap itu pula terdengar tempik-sorak. Rakyat mengelu-elukan Raja dengan penuh suka-cita. Beberapa kelompok para wanita termasuk deretan gadis belia bahkan melempar-lemparkan bunga warna-warni.
Kian dekat kian nyata bahwa yang datang adalah rombongan Raja. Raja duduk di atas jampana atau tandu mewah, sebab selain terdiri dari kayu jati berukir, juga dibelakangnya dihiasi patung ukir burung garuda. Raja masih tetap bermahkota terbuat dari logam emas yang ditatah butir-butir zamrud dan mutiara. Itulah Makuta Binokasih Sanghyang Pake (kini disimpan di Museum Geusan Ulun, Sumedang). Namun pakaiannya berselendang kain putih. Dan bila tak menggunakan mahkota, selintas raja seperti seorang pendeta saja.
Anggota rombongan lain pun nampak menggunakan kain putih termasuk permesuri dan para selirnya. Pada sanggul-sanggul mereka nampak bunga-bunga menempel. Ini karena tabur bunga yang dilakukan para penyambut itu. Yang membuat rombongan ini menjadi kian berwibawa adalah rapatnya pengawalan. Begitu banyaknya perwira yang mengawal rombongan ini. Hampir tiap tiga depa antaranya. Dan selintas Ginggi bisa meneliti, bahwa mereka adalah para perwira kosen semata. Mungkin inilah barisan seribu pengawal Raja, sebuah pasukan elit yang amat disegani sejak zamannya Sang Prabu Sri Baduga Maharaja.
Melihat mereka berjalan dengan rapih serta langkah yang mantap. Ada pedang di pinggang mereka dan pakaian indahnya yang dihiasi baju zirah. Ginggi tak begitu tahu, apakah setiap mereka bekerja mengawal Raja selalu menggunakan pakaian zirah, atau karena mereka tengah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang tidak diharapkan? Baju zirah terbuat dari logam baja berbentuk sisik ikan. Bila ada serangan senjata tajam, badan mereka tak akan tertembus karena sisik-sisik logam baja itu.
“Paman, siapakah anak muda yang naik kuda putih di belakang Sang Prabu itu?” tanya Ginggi.
“Itulah Sang Lumahing Majaya…” kata yang ditanya.
“Apa kedudukannya di Pakuan? Nampaknya anak lelaki berwajah tampan itu punya hubungan erat dengan Sang Prabu,” kata Ginggi agak bergumam.
Sambil matanya menatap tak habis-habisnya kepada pemuda berparas elok itu. Usianya barangkali sebanding dengan Ginggi, yaitu sekitar 16 atau 17 tahun. Namun pemuda yang mencongklang kuda putih dengan amat anggunnya itu demikian gagah dan tampannya. Pakaiannya pun amat mewah kendati ditutup kain putih juga. Pergelangan tangan dan kakinya dihiasi gelang-gelang emas beberapa buah, sehingga bila dia menggoyang kendali kuda atau kakinya menggerak-gerakan ke arah perut kuda tunggangannya, maka akan terdengar suara gemerincing halus karena gelang-gelang emas satu sama lain saling berdencing.
“Aku tak begitu tahu hubungan antara Sang Prabu dengan Raden Majaya. Mungkin Raden Majaya putra dari seorang selir, sebab dari permesuri Sang Prabu hanya mempunyai beberapa orang putri saja. Hanya yang pasti, kata beberapa prajurit istana yang aku kenal, Sang Prabu demikian sayangnya kepada Raden Majaya ini,” gumam lelaki itu.
Ginggi terus menatap pengendara kuda putih itu sampai berlalu dari pandangannya. (catatan pengarang: Kelak Raden Majaya akan menggantikan Prabu Ratu Sakti, dialah Prabu Nilakendra, memerintah pada 1551-1567 Masehi).
“Hei…engkau mau ke mana anak muda?”
“Ayo berkemas, siang sedikit kita tak bisa melihat upacara mandi suci di Telaga Rena Maha Wijaya,” kata seseorang.
Sang Prabu Ratu Sakti benar-benar orang hebat, dia pemberani, pikir Ginggi. Ginggi memang tak pernah mengabarkan langsung perihal akan terjadinya penyerbuan dari wilayah timur. Namun sekurang-kurangnya Raja sudah menerima berita ini dari Pangeran Yogascitra. Apakah ucapan pangeran itu tak dipercayanya karena telah dianggap terlibat urusan Ginggi dan Purbajaya, Ginggi sendiri pun tak mengetahuinya.
Seisi rumah sudah meninggalkan tempat itu, sehingga keadaan kembali sunyi. Ginggi harus segera meninggalkan rumah itu untuk sama-sama melihat upacara mandi suci. Tapi akan sangat berbahaya bila dia datang ke sana dengan begitu saja. Kalau ada yang mengenalnya, dia pasti dauber-uber lagi. Ginggi terpaksa memasuki rumah yang sudah ditinggalkan penghuninya. Dia mencari-cari sesuatu. Dan akhirnya ditemukannya barang yang dicarinya, yaitu pakaian. Sejak beberapa hari dia hanya menggunakan pakaian santana pemberian Pangeran Yogascitra. Pakaian itu warna ungu dan akan sangat mencolok sekali, apalagi beberapa orang di istana sudah mengenalnya.
Dia harus ganti pakaian. Pakaian yang ada di rumah itu hanyalah celana pokek dan baju kampret, semua berwarna hitam dan terbuat dari kain tenunan kasar jenis seumat saumur, yaitu tenunan kain yang menggunakan serat-serat benang kasar yang berukuran besar. Dia ambil pula sebuah ikat kepala jenis lohen yang segera diikatkan di kepalanya. Tapi ketika melihat ada ikat kepala jenis lain, dia segera melepas ikat kepala yang barusan sudah dikenakannya. Tidak, aku harus menggunakan jenis ikat kepala barangbang semplak ini, kata Ginggi dalam hatinya.
Ikat kepala jenis ini biasanya digunakan para orang lanjut usia saja. Tapi justru Ginggi akan menggunakannya. Ikat kepala jenis ini ukurannya selalu lebar. Kalau dipakai agak miring ke sisi akan sedikit menutupi pipinya. Ini perlu untuk menghindari pengenalannya.
Selesailah sudah berdandan. Kemudian Ginggi keluar dari rumah itu sesudah diketahui pasti tak akan ada orang yang memperhatikannya. Ginggi menuju Telaga Rena Maha Wijaya. Tempat itu terletak di benteng luar sebelah selatan. Telaga Rena dibuat pada zaman Sang Prabu Sri Baduga Maharaja hampir 30 tahun silam. Telaga hanya mengandalkan sebuah sumber air yang keluar dari ujung sebuah bukit kecil yang dikenal sebagai Bukit Badigul.
Ginggi pernah mendengar penjelasan dari Purohita Ragasuci, bahwa sebenarnya Badigul pun merupakan bukit buatan. Sekurang-kurangnya, tanah dataran tinggi itu dibuat sedemikian rupa membentuk punggung kura-kura. Puncaknya merupakan alam terbuka dan tak ada pepohonan di sana, kecuali semacam lapangan rumput saja. Bukit Badigul sengaja diciptakan menjadi semacam puncak dengan dataran tanah yang rata sebab pada saat-saat tertentu selalu digunakan untuk tempat pemujaan.
Seusai melaksanakan mandi suci dalam kegiatan Kuwerabakti ini pun, akan diadakan upacara keagamaan di puncak bukit. Bila mengingat penjelasan dari Purohita ini, perasaan Ginggi kembali berdebar keras. Ginggi amat membayangkan bahwa penyerangan pasukan dari timur pasti dilakukan di saat semua orang tengah melakukan pemujaan. Ini termasuk kegiataan penting dan semua rakyat Pakuan berbondong-bondong datang ke sana. Itulah sebabnya sepagi itu sudah banyak orang menuju Bukit Badigul dan Telaga Rena Maha Wijaya.
Tiba di tempat itu Ginggi menemukan sesuatu yang mencengangkan. Ke tempat itu banyak rombongan pria-wanita dan anak-anak. Mereka menggunakan pakaian bagus-bagus. Yang kaum lelaki membawa dan memikul jampana, satu jampana diusung empat orang. Di dalam jampana, penuh diisi berbagai macam makanan seperti nasi kuning, panggang ayam dan telur rebus. Yang wanita mengusung tempayan berisi berbagai jenis buah-buahan yang ranum-ranum.
Di seputar tepi telaga yang berair tenang dan jernih itu berderet umbul-umbul dengan kain warna-warni. Kian dekat ke tepi bukit, kian banyak juga orang didapat. Ketika akan memasuki wilayah itu, ribuan orang berderet memadati tepian jalan tanah bercampur pasir. Deretan orang sepertinya tengah menunggu atau menyambut sesuatu.
“Siapa yang akan disambut di sini, Paman?” Tanya Ginggi kepada seorang lelaki yang berpakaian baru.
“Kita semua tengah menyongsong kehadiran keluarga istana,” katanya. “Raja dan keluarga, disertai para pejabat akan mengadakan upacara mandi suci di tepi telaga,” sambungnya pula.
Tidak terlalu lama Ginggi menunggu, sebab sayup-sayup di arah utara terdengar suara gong ditabuh beberapa kali. Orang-orang yang berderet di ujung utara bahkan terdengar bertepuk dan bersuit riuh. Ada juga suara tepukan tangan seperti menyambut sesuatu yang amat membahagiakan bagi mereka. Ternyata yang disambut tempik-sorak meriah adalah rombongan Raja dan seluruh keluarganya. Setiap rombongan tiba di deretan penyambut, setiap itu pula terdengar tempik-sorak. Rakyat mengelu-elukan Raja dengan penuh suka-cita. Beberapa kelompok para wanita termasuk deretan gadis belia bahkan melempar-lemparkan bunga warna-warni.
Kian dekat kian nyata bahwa yang datang adalah rombongan Raja. Raja duduk di atas jampana atau tandu mewah, sebab selain terdiri dari kayu jati berukir, juga dibelakangnya dihiasi patung ukir burung garuda. Raja masih tetap bermahkota terbuat dari logam emas yang ditatah butir-butir zamrud dan mutiara. Itulah Makuta Binokasih Sanghyang Pake (kini disimpan di Museum Geusan Ulun, Sumedang). Namun pakaiannya berselendang kain putih. Dan bila tak menggunakan mahkota, selintas raja seperti seorang pendeta saja.
Anggota rombongan lain pun nampak menggunakan kain putih termasuk permesuri dan para selirnya. Pada sanggul-sanggul mereka nampak bunga-bunga menempel. Ini karena tabur bunga yang dilakukan para penyambut itu. Yang membuat rombongan ini menjadi kian berwibawa adalah rapatnya pengawalan. Begitu banyaknya perwira yang mengawal rombongan ini. Hampir tiap tiga depa antaranya. Dan selintas Ginggi bisa meneliti, bahwa mereka adalah para perwira kosen semata. Mungkin inilah barisan seribu pengawal Raja, sebuah pasukan elit yang amat disegani sejak zamannya Sang Prabu Sri Baduga Maharaja.
Melihat mereka berjalan dengan rapih serta langkah yang mantap. Ada pedang di pinggang mereka dan pakaian indahnya yang dihiasi baju zirah. Ginggi tak begitu tahu, apakah setiap mereka bekerja mengawal Raja selalu menggunakan pakaian zirah, atau karena mereka tengah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang tidak diharapkan? Baju zirah terbuat dari logam baja berbentuk sisik ikan. Bila ada serangan senjata tajam, badan mereka tak akan tertembus karena sisik-sisik logam baja itu.
“Paman, siapakah anak muda yang naik kuda putih di belakang Sang Prabu itu?” tanya Ginggi.
“Itulah Sang Lumahing Majaya…” kata yang ditanya.
“Apa kedudukannya di Pakuan? Nampaknya anak lelaki berwajah tampan itu punya hubungan erat dengan Sang Prabu,” kata Ginggi agak bergumam.
Sambil matanya menatap tak habis-habisnya kepada pemuda berparas elok itu. Usianya barangkali sebanding dengan Ginggi, yaitu sekitar 16 atau 17 tahun. Namun pemuda yang mencongklang kuda putih dengan amat anggunnya itu demikian gagah dan tampannya. Pakaiannya pun amat mewah kendati ditutup kain putih juga. Pergelangan tangan dan kakinya dihiasi gelang-gelang emas beberapa buah, sehingga bila dia menggoyang kendali kuda atau kakinya menggerak-gerakan ke arah perut kuda tunggangannya, maka akan terdengar suara gemerincing halus karena gelang-gelang emas satu sama lain saling berdencing.
“Aku tak begitu tahu hubungan antara Sang Prabu dengan Raden Majaya. Mungkin Raden Majaya putra dari seorang selir, sebab dari permesuri Sang Prabu hanya mempunyai beberapa orang putri saja. Hanya yang pasti, kata beberapa prajurit istana yang aku kenal, Sang Prabu demikian sayangnya kepada Raden Majaya ini,” gumam lelaki itu.
Ginggi terus menatap pengendara kuda putih itu sampai berlalu dari pandangannya. (catatan pengarang: Kelak Raden Majaya akan menggantikan Prabu Ratu Sakti, dialah Prabu Nilakendra, memerintah pada 1551-1567 Masehi).
“Hei…engkau mau ke mana anak muda?”
“Bukankah kita akan menyaksikan Raja beserta kerabatnya mandi suci?” kata Ginggi balik bertanya.
“Huss! Kita tidak diperkenankan menyaksikan upacara mandi suci,” kata lelaki setengah baya itu.
“Jadi, untuk apa kita berduyun-duyun ke sini?” Tanya Ginggi lagi sambil wajahnya mendongak ke arah jalan yang menaik ke bukit.
“Kita semua baru diperbolehkan bersama Raja dalam upacara keagamaan di Puncak Badigul di mana dahulu Sang Prabu Sri Baduga Maharajangahiyang (moksa),” kata lelaki itu pula.
Ginggi mengangguk-angguk tapi sambil meninggalkan tempat itu. Dia harus bisa menyelinap dan ikut ke tepi telaga. Tapi bagaimana caranya, belum terpikirkan benar. Tidak mungkin mendekati tepi telaga dengan mengambil jalan yang barusan dilalui rombongan Raja. Ginggi harus mencari jalan lain, yang penting bisa mendekati tepi telaga untuk mengamati upacara mandi suci. Dia memang harus mengamatinya. Upacara itu harus berlangsung dan tak boleh ada gangguan, apalagi gangguan itu berupa penyerbuan pasukan pemberontak.
Berdesir darah Ginggi kalau mengingat kembali urusan ini. Hari ini begitu banyaknya orang menuju tempat ini. Bila dikaitkan dengan kejadian tadi malam, hati pemuda itu semakin yakin bahwa di antara ribuan pengunjung ini ada terselip ratusan anggota pasukan yang dipimpin Kandagalante Sunda Sembawa.
Bertepatan dengan jalan pikirannya ini, Ginggi melihat rombongan kedua lewat di jalan yang berupa pintu masuk ke Bukit Badigul atau juga ke tepi telaga buatan itu. Kembali berdesir darah pemuda itu. Rombongan yang lewat ini ternyata barisan para pejabat istana beserta pejabat-pejabat dari wilayah-wilayah seputar kekuasaan Pakuan. Yang membuat darah Ginggi berdesir karena di antara barisan pejabat yang datang menggunakan kendaraan kuda, juga terdapat Kandagalante Sunda Sembawa. Ginggi yakin, Sunda Sembawa datang ke sini disertai pasukannya yang hadir secara terpencar-pencar dan rahasia.
Kehadiran Sunda Sembawa ke Pakuan memang wajar sebab semua kepala wilayah yang ada di bawah kekuasaan Pakuan akan hadir dalam upacaraku werabakti, Namun kehadiran Sunda Sembawa di Pakuan hari ini, juga hanya menandakan bahwa gerakannya tidak tercium orang-orang Pakuan. Ini betul-betul berbahaya.
Ginggi menyaksikan barisan pejabat berkuda itu dari balik batang pohon. Beberapa pejabat sudah Ginggi kenali sebab mereka telah ikut hadir dalam pertemuan penting di puri Yogascitra beberapa waktu lalu. Hanya yang membuat Ginggi khawatir ialah tidak terlihatnya Pangeran Yogascitra, begitu pun putranya, Banyak Angga.
Ginggi khawatir sebab ia menduga, keluarga Yogascitra pasti mendapat kesulitan setelah peristiwa kemarin pagi di paseban istana. Pangeran Yogascitra pasti ditangkap karena dituduh dalam peristiwa itu.
Rombongan itu jelas menuju tepi telaga juga. Ginggi harus sama-sama mendekati tepi telaga. Di sana ada Ki Sunda Sembawa. Dia mendekati Raja. Tugas membunuh Raja mungkin sudah dialihkan dari dirinya, entah kepada siapa. Ginggi menduga, peristiwa kemarin siang di paseban istana pasti diketahui Ki Banaspati juga. Entah apa penilaian Ki Banaspati terhadapnya kini. Yang jelas, Ginggi sudah tak akan “terpakai” tenaganya dalam melaksanakan tugas membunuh Raja. Ya, kendati Raja sudah mencurigai dirinya sebab punya kaitan erat dengan Ki Darma, tetapi sikapnya tetap tak berubah. Raja tak boleh mati.
Tadi malam di Pulo Parakan Baranangsiang hatinya sempat mengumpat bahwa biarkan Raja tewas dalam kemelut penyerbuan. Dia berpikir begitu karena malam tadi hatinya panas dan pikirannya kacau. Sekarang sesudah emosinya normal kembali, timbul lagi jalan pikirannya yang wajar. Dia tetap mempertahankan sikapnya yang lama untuk tidak mentolerir gerakan yang bernama pemberontakan. Raja tak boleh tewas, sebab kalau harus begitu, maka suasana di Pakuan akan semakin tak menentu dan akan menguntungkan kaum pemberontak.
Raja harus tetap selamat, sebab apa pun yang terjadi di istana, kedudukan Raja sebetulnya tetap sebagai penentu kebijaksanaan. Maka betapa kacaunya suasana bila Raja harus mati dalam pemberontakan. Soal banyak pelanggaran yang dilakukan Raja seperti melanggar aturan moral yang dikeluhkan banyak pejabat istana, biarlah kelak mereka menentukan sendiri dengan jalan musyawarah dan bukan jalan kekerasan seperti yang tengah dirancang Ki Banaspati dan Kandagalante Sunda Sembawa.
Sesudah memantapkan sikapnya, Ginggi segera meninggalkan tempat itu. Dia harus jalan memutar melewati semak-semak dan hutan kecil lereng bukit untuk bisa mencapai tepi telaga. Namun sebelum tiba di tempat yang dituju, Ginggi memergoki sekelompok orang misterius. Mereka berpakaian seperti orang kebanyakan, berjumlah sekitar lima orang, namun ada sesuatu tersembul di balik bajunya yng tertutup kain sarung. Ginggi menduga keras, mereka adalah pasukan Sunda Sembawa.
Ginggi bertekad akan melumpuhkan orang-orang ini sebelum mereka membuat kekacauan. Maka secara diam-diam pemuda itu mendekati mereka. Namun yang didekati rupanya bukan orang-orang sembarangan. Buktinya, lima tindak sebelum Ginggi tiba di tempat mereka sembunyi, tiga orang di antaranya sudah menengok ke belakang.
Kecurigaan mereka begitu cepat berubah menjadi semacam tindakan cepat. Kelima orang itu serentak menyerang Ginggi sebelum mereka diserang. Maka dalam waktu singkat Ginggi diberondong berbagai serangan dahsyat. Ginggi pun demikian terkejut sebab mereka rata-rata berkepandaian tinggi dan memiliki pukulan tenaga dalam cukup mantap. Hanya karena Ginggi pandai berkelit saja maka banyak angin pukulan mengenai tempat kosong.
Ginggi mengerti, mereka langsung menyerang dengan tenaga dalam dengan maksud bisa melumpuhkan bahkan membunuh pemuda itu dengan cepat dan dalam waktu singkat. Namun sudah barang tentu Ginggi tak mau begitu saja jadi santapan pukulan maut mereka. Maka Ginggi meloncat kesana-kemari, berkelit dan menghindar. Akibatnya banyak batang pohon runtuh atau batangnya hancur karena dorongan pukulan tenaga dalam mereka.
Ginggi berpikir, mereka benar-benar orang pandai namun terlalu gegabah mengobral tenaga dalam. Satu dua pukulan tenaga dalam mereka mungkin masih mampu. Tapi kalau harus terus-terusan mengeluarkan tenaga dalam seperti itu, hanya akan mengurasnya saja. Dan melihat kebodohan mereka ini, Ginggi malah sengaja menyulut emosi mereka agar terus-terusan merasa penasaran dan melancarkan pukulan tenaga dalam. Biar tenaga mereka kedodoran, pikir Ginggi.
“Jangan terpancing pemuda sinting itu,” teriak seorang dari mereka. “Hemat tenaga!” katanya pula.
Namun peringatan ini sungguh terlambat, sebab empat temannya sudah mulai ngos-ngosan. Melihat tenaga mereka sudah mulai menurun, kini giliran Ginggi melakukan penyerangan. Ginggi memang tengah diserang oleh lawan dari kiri dua orang, kanan dua orang serta dari depan satu orang. Dari kelima orang itu, ada dua orang di kiri yang nampak tenaganya sudah menurun. Oleh sebab itu pemuda itu harus menitik-beratkan serangan kepada orang paling lemah. Ginggi melipat dua jari tengah dan telunjuk, kemudian menyodokkannya ke ulu hati lawan yang berdiri paling ujung. Serangan dilakukannya dengan tangan kiri. Yang mendapatkan serangan ini nampak terkejut dan menunduk dengan harapan perutnya mundur menjauh. Namun ini sebenarnya hanya pancingan belaka. Serangan sebenarnya Ginggi lakukan dengan tangan kanan dan mengarah kepada lawan yang berdiri kedua dari kiri. Orang itu tak menduga bahwa serangan sebetulnya mengarah kepadanya. Karena serangan tangan kanan Ginggi mengarah pada ulu hati, serentak kedua tangannya melindungi bagian pusar. Namun sodokan tangan kanan pemuda itu malah belok ke atas dan…
“Tuk!”
Leher di bawah tenggorokan terkena pukulan dua jari melipat. Ginggi segera melipat jari-jarinya. Bagian itu adalah paling lemah dari tubuh manusia. Bila diserang orang yang memiliki tenaga dalam hebat pun tidak akan bisa melindungi bagian ini. Maka begitu menerima serangan telak, orang itu berteriak ngeri dan langsung terjerembab.
Dua orang di kanan serta satu orang di depannya secara bersamaan melancarkan pukulan keras mengarah wajah. Ginggi secepat kilat menarik wajahnya ke belakang sambil tubuh sedikit jongkok, secepat kilat juga kaki kirinya melayang dari samping kiri menyabet setengah lingkaran ke samping kanan. Tiga orang penyerangnya harus meloncat ke atas secara bersamaan kalau tidak mau kaki-kaki mereka tersapu serangan kaki kiri Ginggi.
Sambil kaki kiri menyapu, tangan kirinya pun melakukan sodokan lurus ke arah satu penyerang yang datang dari sisi kiri. Dua kepalan tangan beradu dan akibatnya fihak penyerang menjerit ngeri karena sambungan tulang jari-jari tangannya seperti terlepas karena tonjokan kepalan tangan Ginggi. Pemuda itu melakukan serangan susulan berupa tamparan tangan kanan.
“Plak!” jerit kedua kalinya dari mulut orang itu terdengar kembali yang diakhiri dengan terpentalnya tubuh. Orang itu meloso tak bisa bangun lagi.
Tiga orang yang masih sisa tampak ragu-ragu akan kemampuannya. Namun Ginggi harus melumpuhkan semuanya, sebab bila satu orang saja lolos, maka semua teman-temannya ini akan segera mengetahui tindakan sabotasenya. Melihat nyali ketiganya sudah pudar, Ginggi melakukan serangan cepat. Hanya dengan menggunakan tendangan beruntun yang dilakukan kaki kanannya, ketiga orang itu mengeluh setengah menjerit ketika ulu hati mereka masing-masing menerima sapuan kaki. Tubuh mereka terpental ke semak-semak setiap sapuan kaki kanan Ginggi mampir.
Dalam waktu singkat lima orang bergeletakan malang-melintang. Tapi sebelum meninggalkannya, Ginggi memeriksa tubuh mereka satu-persatu. Tidak seorang pun yang mati kecuali pingsan karena rasa sakitnya saja. Maka sesudah hatinya tenang karena tidak membunuh orang-orang itu. Namun anggota pasukan yang diduga orang-orang Ki Sunda Sembawa juga terdapat di sana-sini. Di setiap tempat-tempat terlindung, pasti Ginggi temukan regu-regu kecil dengan tindak-tanduk mencurigakan.
Gerakan mereka lincah dan selalu siaga penuh, namun berpakaian seperti petani. Beberapa regu itu Ginggi lumpuhkan dengan serangan gelap. Namun pemuda itu merasa, tak mungkin seluruh anggota pasukan gelap itu dia kalahkan oleh tangannya sendiri seperti itu, apalagi dia harus mampu melumpuhkan mereka dengan diam=diam. Tidak apa, yang penting kekuatan mereka sedikit berkurang, pikir Ginggi.
Hanya yang membuat Ginggi heran adalah ketika dia tiba di sebuah tempat bersemak. Ginggi melihat begitu banyak orang bergeletakan. Ketika pemuda itu memeriksa, hatinya pun merasa aneh pula sebab orang-orang itu satu pun tak ada yang tewas, melainkan hanya pingsan saja. Mereka pingsan karena menderita pukulan telak pada bagian yang menentukan. Pukulan itu nampaknya dilakukan oleh seorang akhli pula. Orang-orang yang pingsan itu jumlahnya belasan, dan semuanya berbekal senjata yang belum siap digunakan. Ginggi menduga, mereka tentu anggota pasukan Ki Sunda Sembawa. Yang jadi pertanyaan, oleh siapa mereka dibuat tak sadar seperti itu?
Ginggi terus menyusuri semak-belukar dalam upaya mendekati tepi telaga. Ternyata di bagian lain, orang-orang pingsan masih bergeletakan sampai hampir ke wilayah tepi telaga. Benar-benar hebat pelakunya, siapa dia? Orang itu benar-benar berhati mulia. Sekali pun dia memukul tapi tak mengakibatkan cedera berat korbannya kecuali pingsan karena gangguan urat darah, dan pada waktunya mereka akan sadar kembali. Tapi siapa pun orang itu dan apa maksudnya, yang jelas amat mengentengkan tugas Ginggi.
Yang berusaha menyelundup ke tepi telaga ini kesemuanya orang-orang pandai. Mungkin mereka bekerja terpisah untuk menyelesaikan tugas khusus. Tugas apakah itu? Mungkinkah tugas untuk membunuh Raja di tempat itu?
Begitu jelasnya isi sandi ini. Pagi hari memang waktunya Raja mengadakan mandi suci di Telaga Rena. Kalau sandi ini diartikan sebagai saat yang tepat untuk membunuh Raja, memang amat beralasan. Yang datang ke tepi telaga hanya orang-orang khusus saja. Kemungkinan hanya dikawal beberapa orang kepercayaan saja dan situasinya tepat untuk digunakan penyerangan.
Namun siapa yang akan menyerang, sampai sejauh ini Ginggi tak mengetahuinya. Kalau Ginggi mentaati keinginan Ki Banaspati, sebetulnya itu adalah tugasnya. Tapi Ginggi yakin, Ki Banaspati sudah memindahkan tugas berat itu kepada yang lainnya. Akhirnya Ginggi tiba juga di wilayah tepi telaga. Telaga itu tidak terlalu luas dan membentuk tapal kuda. Namun yang Ginggi senang melihatnya, air telaga demikian jernih, menyenangkan bila digunakan untuk mandi-mandi atau barangkali enak bila diminum di saat haus.
Namun keindahan tempat ini kini tengah dibayang-bayangi peristiwa yang sekiranya akan mengundang maut dan kemelut. Bisakah dengan seorang diri saja mencegah peristiwa besar seperti ini? Melalui semak-semak Ginggi menyaksikan ke sebuah tempat. Di tepi telaga sebelah kanan dilihatnya banyak orang mandi. Mandi begitu saja tanpa melepas baju mereka. Mandi sambil di tepiannya dilempari bunga macam-macam warna.
Yang ditaburi bunga adalah Sang Prabu Ratu Sakti beserta keluarganya. Mereka mandi begitu tertib dan serius. Tak ada canda-ria atau pun cekikik tawa. Mereka melakukan upacara mandi dengan penuh perhatian sambil diantar lantunan doa Purohita Ragasuci dan para wiku lainnya. Asap dupa kemenyan pun nampak mengelun ke udara disertai bau harum semerbak.
Upacara ini disaksikan oleh puluhan perwira dan belasan pejabat. Semuanya khusuk menyimak dan memperhatikan kegiatan ini. Namun dari jarak agak jauh, Ginggi melihat, hanya satu orang yang menyaksikan upacara ini dengan tindak-tanduk mencurigakan. Dia tak lain adalah Kandagalante Sunda Sembawa. Bila yang lainnya dengan seksama memperhatikan ke arah permukaan telaga, adalah Ki Sunda Sembawa yang sesekali dengan gelisah melirik ke kiri dan ke kanan. Terkadang dia pun menengadah ke tempat yang jauh. Berdesir darah Ginggi. Yang dilihat Ki Sunda Sembawa adalah daerah bersemak yang Ginggi tahu banyak orang pingsan di sana.
Lirikan Ki Sunda Sembawa ke arah itu hanya menunjukkan bahwa dia tengah menunggu sesuatu dengan penuh harap yang barangkali datangnya dari arah itu. Manakala upacara mandi suci hampir selesai, Nampak sekali kegelisahan Ki Sunda Sembawa semakin memuncak. Dan akhirnya, upacara mandi suci pun selesailah pula.
Raja beserta seluruh keluarganya berkemas untuk menuju darat, mereka disambut oleh para pembantunya. Ada yang tergopoh-gopoh hendak menyodorkan pakaian kering, ada juga yang tergopoh-gopoh karena ingin membantu Raja untuk naik ke darat. Namun di antara yang menyambut dengan tergopoh-gopoh seperti itu, adalah juga Ki Sunda Sembawa yang diiringkan empat pengawal raja. Anehnya, Ki Sunda Sembawa menghambur menuju tepi telaga dengan keris terhunus. Begitu pun keempat perwira yang berlari di belakangnya, mereka bergerak cepat sambil menghunus pedang mengkilat. Tak ada waktu bagi Ginggi kecuali berteriak keras sambil meloncat keluar semak.
“Sang Prabu…Awaaaasss!!!” teriak Ginggi.
Pemuda itu menghambur seperti terbang. Dia harus berlomba dengan Sunda Sembawa dalam upaya mendekati Raja. Ki Sunda Sembawa ingin paling dulu mendekati Raja karena ingin membunuhnya, sementara Ginggi punya maksud sebaliknya. Puluhan perwira lainnya dengan kaget segera bergerak pula. Yang lain mencoba mengejar Ki Sunda Sembawa tapi yang terbanyak adalah yang menghadang Ginggi.
“Tangkap pemberontak Ginggi! Dia akan membunuh Sang Prabu!” teriak penghadang.
“Tangkap anak-buah Ki Darma!!!”
“Bunuh Ginggi!!!”
Teriakan-teriakan ini muncul dari mulut beberapa perwira, termasuk perwira yang tadi lari di belakang Ki Sunda Sembawa. Ginggi tak tahu, apakah yang berteriak-teriak menghadangnya itu adalah perwira setia kerajaan, ataukah mereka yang sudah menjadi sekutu Ki Banaspati. Untuk mengacaukan perhatian, bisa saja para sekutu pemberontak berteriak-teriak seperti itu agar para perwira yang bersetia kepada Raja teralihkan perhatiannya pada Ginggi dan melalaikan tugas mengawal Raja. Atau bisa jadi yang berteriak-teriak juga adalah para perwira yang masih setia kepada Raja dan mereka bertekad menangkap atau membunuh Ginggi yang mereka tahu sudah dicap pemberontak.
Namun terlepas dari kesemuanya, pemuda itu menjadi begitu kesal sebab upayanya untuk menggagalkan penyerangan kepada Raja menjadi terhambat. Para perwira yang akan menghadangnya ada sekitar duabelas orang dan bersenjata lengkap. Ketika Ginggi berlari cepat menuju tepi telaga, duabelas perwira pun sama berlari memburunya. Padahal di belakang mereka, Sang Prabu tengah terancam bahaya sebab Ki Sunda Sembawa dengan keris terhunus terus memburu kemana Sang Prabu berlari.
Sedangkan di belakang Ki Sunda Sembawa, empat orang berpakaian perwira sama berlari dengan pedang terhunus. Barangkali para perwira lainnya terkecoh. Disangkanya empat orang perwira yang berada di belakang Ki Sunda Sembawa tengah mengejar pejabat itu guna menggagalkan usaha pembunuhan. Padahal Ginggi tahu betul, keempat perwira itu sudah menjadi anak buah Ki Sunda Sembawa. Para pengawal setia Raja malah meninggalkan Sang Prabu dan lebih menitik beratkan usaha untuk menghadang Ginggi karena teriakan-teriakan tadi.
Dengan pedang terhunus, belasan perwira memburunya. Melihat mereka berlari kencang ke arahnya, Ginggi bukan menghindar, melainkan sama berlari kencang ke arah mereka. Tapi beberapa depa sebelum berpapasan dengan belasan perwira, Ginggi segera menotol tanah dengan sekuat tenaga. Tubuh Ginggi meloncat tinggi melampaui kepala-kepala mereka dan sepasang kakinya langsung kecebur ke permukan telaga. Di tepiannya, kedalaman air hanya sebatas betis saja. Begitu kakinya terjun ke permukaan air, pemuda itu menggerakkan sepasang tangannya. Dia memukul ke arah Ki Sunda Sembawa dengan pengerahan tenaga dalam.
Air muncrat seperti ada ledakan dahsyat keluar dari dasar telaga ketika pukulan dengan pengerahan tenaga dalam itu dikelitkan oleh Kandagalante Sagaraherang itu. Namun kendati serangan Ginggi gagal, sedikitnya menghambat serangan Ki Sunda Sembawa terhadap Raja.
“Sunda Sembawa, apa yang engkau lakukan ini?” teriak Sang Prabu marah bercampur heran melihat tindakan Ki Sunda Sembawa yang aneh ini.
Ki Sunda Sembawa tak menjawab, melainkan kembali melakukan serangan. Sambil meloncat tinggi, tubuhnya melayang ke arah di mana Sang Prabu berada. Yang diserang bergerak ke samping dengan amat lamban. Di samping kedalaman air di sana hamper mencapai dada, juga Sang Prabu nampak kaget dengan serangan ini. Terdengar jerit-jerit ketakutan dari para wanita yang ada di air telaga itu. Beberapa pengawal Raja yang ada di sekitar permukaan telaga berlari di permukaan air sebatas perut dan dengan amat bingungnya mencoba membuat pengawalan. Mereka berjumlah sepuluh orang.
Nampak sekali mereka kebingungan, siapa yang harus dikawal sepenuhnya. Bila semua mendekati Raja maka para keluarganya ditinggalkan, padahal empat perwira anak buah Ki Sunda Sembawa sudah mendekat dan sepertinya hendak mengancam keselamatan Raja. Akhirnya para pengawal melakukan inisiatif masing-masing. Beberapa orang berusaha melindungi Raja dan beberapa lainnya berusaha melindungi keluarga Raja yang nampak panik dan menjerit-jerit.
“Ki Sunda Sembawa memberontak! Ki Sunda Sembawa memberontak!!!” teriakan ini keluar dari mulut para pejabat lainnya yang sejak tadi berderet di tepi telaga.
“Huss! Kita tidak diperkenankan menyaksikan upacara mandi suci,” kata lelaki setengah baya itu.
“Jadi, untuk apa kita berduyun-duyun ke sini?” Tanya Ginggi lagi sambil wajahnya mendongak ke arah jalan yang menaik ke bukit.
“Kita semua baru diperbolehkan bersama Raja dalam upacara keagamaan di Puncak Badigul di mana dahulu Sang Prabu Sri Baduga Maharajangahiyang (moksa),” kata lelaki itu pula.
Ginggi mengangguk-angguk tapi sambil meninggalkan tempat itu. Dia harus bisa menyelinap dan ikut ke tepi telaga. Tapi bagaimana caranya, belum terpikirkan benar. Tidak mungkin mendekati tepi telaga dengan mengambil jalan yang barusan dilalui rombongan Raja. Ginggi harus mencari jalan lain, yang penting bisa mendekati tepi telaga untuk mengamati upacara mandi suci. Dia memang harus mengamatinya. Upacara itu harus berlangsung dan tak boleh ada gangguan, apalagi gangguan itu berupa penyerbuan pasukan pemberontak.
Berdesir darah Ginggi kalau mengingat kembali urusan ini. Hari ini begitu banyaknya orang menuju tempat ini. Bila dikaitkan dengan kejadian tadi malam, hati pemuda itu semakin yakin bahwa di antara ribuan pengunjung ini ada terselip ratusan anggota pasukan yang dipimpin Kandagalante Sunda Sembawa.
Bertepatan dengan jalan pikirannya ini, Ginggi melihat rombongan kedua lewat di jalan yang berupa pintu masuk ke Bukit Badigul atau juga ke tepi telaga buatan itu. Kembali berdesir darah pemuda itu. Rombongan yang lewat ini ternyata barisan para pejabat istana beserta pejabat-pejabat dari wilayah-wilayah seputar kekuasaan Pakuan. Yang membuat darah Ginggi berdesir karena di antara barisan pejabat yang datang menggunakan kendaraan kuda, juga terdapat Kandagalante Sunda Sembawa. Ginggi yakin, Sunda Sembawa datang ke sini disertai pasukannya yang hadir secara terpencar-pencar dan rahasia.
Kehadiran Sunda Sembawa ke Pakuan memang wajar sebab semua kepala wilayah yang ada di bawah kekuasaan Pakuan akan hadir dalam upacaraku werabakti, Namun kehadiran Sunda Sembawa di Pakuan hari ini, juga hanya menandakan bahwa gerakannya tidak tercium orang-orang Pakuan. Ini betul-betul berbahaya.
Ginggi menyaksikan barisan pejabat berkuda itu dari balik batang pohon. Beberapa pejabat sudah Ginggi kenali sebab mereka telah ikut hadir dalam pertemuan penting di puri Yogascitra beberapa waktu lalu. Hanya yang membuat Ginggi khawatir ialah tidak terlihatnya Pangeran Yogascitra, begitu pun putranya, Banyak Angga.
Ginggi khawatir sebab ia menduga, keluarga Yogascitra pasti mendapat kesulitan setelah peristiwa kemarin pagi di paseban istana. Pangeran Yogascitra pasti ditangkap karena dituduh dalam peristiwa itu.
Rombongan itu jelas menuju tepi telaga juga. Ginggi harus sama-sama mendekati tepi telaga. Di sana ada Ki Sunda Sembawa. Dia mendekati Raja. Tugas membunuh Raja mungkin sudah dialihkan dari dirinya, entah kepada siapa. Ginggi menduga, peristiwa kemarin siang di paseban istana pasti diketahui Ki Banaspati juga. Entah apa penilaian Ki Banaspati terhadapnya kini. Yang jelas, Ginggi sudah tak akan “terpakai” tenaganya dalam melaksanakan tugas membunuh Raja. Ya, kendati Raja sudah mencurigai dirinya sebab punya kaitan erat dengan Ki Darma, tetapi sikapnya tetap tak berubah. Raja tak boleh mati.
Tadi malam di Pulo Parakan Baranangsiang hatinya sempat mengumpat bahwa biarkan Raja tewas dalam kemelut penyerbuan. Dia berpikir begitu karena malam tadi hatinya panas dan pikirannya kacau. Sekarang sesudah emosinya normal kembali, timbul lagi jalan pikirannya yang wajar. Dia tetap mempertahankan sikapnya yang lama untuk tidak mentolerir gerakan yang bernama pemberontakan. Raja tak boleh tewas, sebab kalau harus begitu, maka suasana di Pakuan akan semakin tak menentu dan akan menguntungkan kaum pemberontak.
Raja harus tetap selamat, sebab apa pun yang terjadi di istana, kedudukan Raja sebetulnya tetap sebagai penentu kebijaksanaan. Maka betapa kacaunya suasana bila Raja harus mati dalam pemberontakan. Soal banyak pelanggaran yang dilakukan Raja seperti melanggar aturan moral yang dikeluhkan banyak pejabat istana, biarlah kelak mereka menentukan sendiri dengan jalan musyawarah dan bukan jalan kekerasan seperti yang tengah dirancang Ki Banaspati dan Kandagalante Sunda Sembawa.
Sesudah memantapkan sikapnya, Ginggi segera meninggalkan tempat itu. Dia harus jalan memutar melewati semak-semak dan hutan kecil lereng bukit untuk bisa mencapai tepi telaga. Namun sebelum tiba di tempat yang dituju, Ginggi memergoki sekelompok orang misterius. Mereka berpakaian seperti orang kebanyakan, berjumlah sekitar lima orang, namun ada sesuatu tersembul di balik bajunya yng tertutup kain sarung. Ginggi menduga keras, mereka adalah pasukan Sunda Sembawa.
Ginggi bertekad akan melumpuhkan orang-orang ini sebelum mereka membuat kekacauan. Maka secara diam-diam pemuda itu mendekati mereka. Namun yang didekati rupanya bukan orang-orang sembarangan. Buktinya, lima tindak sebelum Ginggi tiba di tempat mereka sembunyi, tiga orang di antaranya sudah menengok ke belakang.
Kecurigaan mereka begitu cepat berubah menjadi semacam tindakan cepat. Kelima orang itu serentak menyerang Ginggi sebelum mereka diserang. Maka dalam waktu singkat Ginggi diberondong berbagai serangan dahsyat. Ginggi pun demikian terkejut sebab mereka rata-rata berkepandaian tinggi dan memiliki pukulan tenaga dalam cukup mantap. Hanya karena Ginggi pandai berkelit saja maka banyak angin pukulan mengenai tempat kosong.
Ginggi mengerti, mereka langsung menyerang dengan tenaga dalam dengan maksud bisa melumpuhkan bahkan membunuh pemuda itu dengan cepat dan dalam waktu singkat. Namun sudah barang tentu Ginggi tak mau begitu saja jadi santapan pukulan maut mereka. Maka Ginggi meloncat kesana-kemari, berkelit dan menghindar. Akibatnya banyak batang pohon runtuh atau batangnya hancur karena dorongan pukulan tenaga dalam mereka.
Ginggi berpikir, mereka benar-benar orang pandai namun terlalu gegabah mengobral tenaga dalam. Satu dua pukulan tenaga dalam mereka mungkin masih mampu. Tapi kalau harus terus-terusan mengeluarkan tenaga dalam seperti itu, hanya akan mengurasnya saja. Dan melihat kebodohan mereka ini, Ginggi malah sengaja menyulut emosi mereka agar terus-terusan merasa penasaran dan melancarkan pukulan tenaga dalam. Biar tenaga mereka kedodoran, pikir Ginggi.
“Jangan terpancing pemuda sinting itu,” teriak seorang dari mereka. “Hemat tenaga!” katanya pula.
Namun peringatan ini sungguh terlambat, sebab empat temannya sudah mulai ngos-ngosan. Melihat tenaga mereka sudah mulai menurun, kini giliran Ginggi melakukan penyerangan. Ginggi memang tengah diserang oleh lawan dari kiri dua orang, kanan dua orang serta dari depan satu orang. Dari kelima orang itu, ada dua orang di kiri yang nampak tenaganya sudah menurun. Oleh sebab itu pemuda itu harus menitik-beratkan serangan kepada orang paling lemah. Ginggi melipat dua jari tengah dan telunjuk, kemudian menyodokkannya ke ulu hati lawan yang berdiri paling ujung. Serangan dilakukannya dengan tangan kiri. Yang mendapatkan serangan ini nampak terkejut dan menunduk dengan harapan perutnya mundur menjauh. Namun ini sebenarnya hanya pancingan belaka. Serangan sebenarnya Ginggi lakukan dengan tangan kanan dan mengarah kepada lawan yang berdiri kedua dari kiri. Orang itu tak menduga bahwa serangan sebetulnya mengarah kepadanya. Karena serangan tangan kanan Ginggi mengarah pada ulu hati, serentak kedua tangannya melindungi bagian pusar. Namun sodokan tangan kanan pemuda itu malah belok ke atas dan…
“Tuk!”
Leher di bawah tenggorokan terkena pukulan dua jari melipat. Ginggi segera melipat jari-jarinya. Bagian itu adalah paling lemah dari tubuh manusia. Bila diserang orang yang memiliki tenaga dalam hebat pun tidak akan bisa melindungi bagian ini. Maka begitu menerima serangan telak, orang itu berteriak ngeri dan langsung terjerembab.
Dua orang di kanan serta satu orang di depannya secara bersamaan melancarkan pukulan keras mengarah wajah. Ginggi secepat kilat menarik wajahnya ke belakang sambil tubuh sedikit jongkok, secepat kilat juga kaki kirinya melayang dari samping kiri menyabet setengah lingkaran ke samping kanan. Tiga orang penyerangnya harus meloncat ke atas secara bersamaan kalau tidak mau kaki-kaki mereka tersapu serangan kaki kiri Ginggi.
Sambil kaki kiri menyapu, tangan kirinya pun melakukan sodokan lurus ke arah satu penyerang yang datang dari sisi kiri. Dua kepalan tangan beradu dan akibatnya fihak penyerang menjerit ngeri karena sambungan tulang jari-jari tangannya seperti terlepas karena tonjokan kepalan tangan Ginggi. Pemuda itu melakukan serangan susulan berupa tamparan tangan kanan.
“Plak!” jerit kedua kalinya dari mulut orang itu terdengar kembali yang diakhiri dengan terpentalnya tubuh. Orang itu meloso tak bisa bangun lagi.
Tiga orang yang masih sisa tampak ragu-ragu akan kemampuannya. Namun Ginggi harus melumpuhkan semuanya, sebab bila satu orang saja lolos, maka semua teman-temannya ini akan segera mengetahui tindakan sabotasenya. Melihat nyali ketiganya sudah pudar, Ginggi melakukan serangan cepat. Hanya dengan menggunakan tendangan beruntun yang dilakukan kaki kanannya, ketiga orang itu mengeluh setengah menjerit ketika ulu hati mereka masing-masing menerima sapuan kaki. Tubuh mereka terpental ke semak-semak setiap sapuan kaki kanan Ginggi mampir.
Dalam waktu singkat lima orang bergeletakan malang-melintang. Tapi sebelum meninggalkannya, Ginggi memeriksa tubuh mereka satu-persatu. Tidak seorang pun yang mati kecuali pingsan karena rasa sakitnya saja. Maka sesudah hatinya tenang karena tidak membunuh orang-orang itu. Namun anggota pasukan yang diduga orang-orang Ki Sunda Sembawa juga terdapat di sana-sini. Di setiap tempat-tempat terlindung, pasti Ginggi temukan regu-regu kecil dengan tindak-tanduk mencurigakan.
Gerakan mereka lincah dan selalu siaga penuh, namun berpakaian seperti petani. Beberapa regu itu Ginggi lumpuhkan dengan serangan gelap. Namun pemuda itu merasa, tak mungkin seluruh anggota pasukan gelap itu dia kalahkan oleh tangannya sendiri seperti itu, apalagi dia harus mampu melumpuhkan mereka dengan diam=diam. Tidak apa, yang penting kekuatan mereka sedikit berkurang, pikir Ginggi.
Hanya yang membuat Ginggi heran adalah ketika dia tiba di sebuah tempat bersemak. Ginggi melihat begitu banyak orang bergeletakan. Ketika pemuda itu memeriksa, hatinya pun merasa aneh pula sebab orang-orang itu satu pun tak ada yang tewas, melainkan hanya pingsan saja. Mereka pingsan karena menderita pukulan telak pada bagian yang menentukan. Pukulan itu nampaknya dilakukan oleh seorang akhli pula. Orang-orang yang pingsan itu jumlahnya belasan, dan semuanya berbekal senjata yang belum siap digunakan. Ginggi menduga, mereka tentu anggota pasukan Ki Sunda Sembawa. Yang jadi pertanyaan, oleh siapa mereka dibuat tak sadar seperti itu?
Ginggi terus menyusuri semak-belukar dalam upaya mendekati tepi telaga. Ternyata di bagian lain, orang-orang pingsan masih bergeletakan sampai hampir ke wilayah tepi telaga. Benar-benar hebat pelakunya, siapa dia? Orang itu benar-benar berhati mulia. Sekali pun dia memukul tapi tak mengakibatkan cedera berat korbannya kecuali pingsan karena gangguan urat darah, dan pada waktunya mereka akan sadar kembali. Tapi siapa pun orang itu dan apa maksudnya, yang jelas amat mengentengkan tugas Ginggi.
Yang berusaha menyelundup ke tepi telaga ini kesemuanya orang-orang pandai. Mungkin mereka bekerja terpisah untuk menyelesaikan tugas khusus. Tugas apakah itu? Mungkinkah tugas untuk membunuh Raja di tempat itu?
Begitu jelasnya isi sandi ini. Pagi hari memang waktunya Raja mengadakan mandi suci di Telaga Rena. Kalau sandi ini diartikan sebagai saat yang tepat untuk membunuh Raja, memang amat beralasan. Yang datang ke tepi telaga hanya orang-orang khusus saja. Kemungkinan hanya dikawal beberapa orang kepercayaan saja dan situasinya tepat untuk digunakan penyerangan.
Namun siapa yang akan menyerang, sampai sejauh ini Ginggi tak mengetahuinya. Kalau Ginggi mentaati keinginan Ki Banaspati, sebetulnya itu adalah tugasnya. Tapi Ginggi yakin, Ki Banaspati sudah memindahkan tugas berat itu kepada yang lainnya. Akhirnya Ginggi tiba juga di wilayah tepi telaga. Telaga itu tidak terlalu luas dan membentuk tapal kuda. Namun yang Ginggi senang melihatnya, air telaga demikian jernih, menyenangkan bila digunakan untuk mandi-mandi atau barangkali enak bila diminum di saat haus.
Namun keindahan tempat ini kini tengah dibayang-bayangi peristiwa yang sekiranya akan mengundang maut dan kemelut. Bisakah dengan seorang diri saja mencegah peristiwa besar seperti ini? Melalui semak-semak Ginggi menyaksikan ke sebuah tempat. Di tepi telaga sebelah kanan dilihatnya banyak orang mandi. Mandi begitu saja tanpa melepas baju mereka. Mandi sambil di tepiannya dilempari bunga macam-macam warna.
Yang ditaburi bunga adalah Sang Prabu Ratu Sakti beserta keluarganya. Mereka mandi begitu tertib dan serius. Tak ada canda-ria atau pun cekikik tawa. Mereka melakukan upacara mandi dengan penuh perhatian sambil diantar lantunan doa Purohita Ragasuci dan para wiku lainnya. Asap dupa kemenyan pun nampak mengelun ke udara disertai bau harum semerbak.
Upacara ini disaksikan oleh puluhan perwira dan belasan pejabat. Semuanya khusuk menyimak dan memperhatikan kegiatan ini. Namun dari jarak agak jauh, Ginggi melihat, hanya satu orang yang menyaksikan upacara ini dengan tindak-tanduk mencurigakan. Dia tak lain adalah Kandagalante Sunda Sembawa. Bila yang lainnya dengan seksama memperhatikan ke arah permukaan telaga, adalah Ki Sunda Sembawa yang sesekali dengan gelisah melirik ke kiri dan ke kanan. Terkadang dia pun menengadah ke tempat yang jauh. Berdesir darah Ginggi. Yang dilihat Ki Sunda Sembawa adalah daerah bersemak yang Ginggi tahu banyak orang pingsan di sana.
Lirikan Ki Sunda Sembawa ke arah itu hanya menunjukkan bahwa dia tengah menunggu sesuatu dengan penuh harap yang barangkali datangnya dari arah itu. Manakala upacara mandi suci hampir selesai, Nampak sekali kegelisahan Ki Sunda Sembawa semakin memuncak. Dan akhirnya, upacara mandi suci pun selesailah pula.
Raja beserta seluruh keluarganya berkemas untuk menuju darat, mereka disambut oleh para pembantunya. Ada yang tergopoh-gopoh hendak menyodorkan pakaian kering, ada juga yang tergopoh-gopoh karena ingin membantu Raja untuk naik ke darat. Namun di antara yang menyambut dengan tergopoh-gopoh seperti itu, adalah juga Ki Sunda Sembawa yang diiringkan empat pengawal raja. Anehnya, Ki Sunda Sembawa menghambur menuju tepi telaga dengan keris terhunus. Begitu pun keempat perwira yang berlari di belakangnya, mereka bergerak cepat sambil menghunus pedang mengkilat. Tak ada waktu bagi Ginggi kecuali berteriak keras sambil meloncat keluar semak.
“Sang Prabu…Awaaaasss!!!” teriak Ginggi.
Pemuda itu menghambur seperti terbang. Dia harus berlomba dengan Sunda Sembawa dalam upaya mendekati Raja. Ki Sunda Sembawa ingin paling dulu mendekati Raja karena ingin membunuhnya, sementara Ginggi punya maksud sebaliknya. Puluhan perwira lainnya dengan kaget segera bergerak pula. Yang lain mencoba mengejar Ki Sunda Sembawa tapi yang terbanyak adalah yang menghadang Ginggi.
“Tangkap pemberontak Ginggi! Dia akan membunuh Sang Prabu!” teriak penghadang.
“Tangkap anak-buah Ki Darma!!!”
“Bunuh Ginggi!!!”
Teriakan-teriakan ini muncul dari mulut beberapa perwira, termasuk perwira yang tadi lari di belakang Ki Sunda Sembawa. Ginggi tak tahu, apakah yang berteriak-teriak menghadangnya itu adalah perwira setia kerajaan, ataukah mereka yang sudah menjadi sekutu Ki Banaspati. Untuk mengacaukan perhatian, bisa saja para sekutu pemberontak berteriak-teriak seperti itu agar para perwira yang bersetia kepada Raja teralihkan perhatiannya pada Ginggi dan melalaikan tugas mengawal Raja. Atau bisa jadi yang berteriak-teriak juga adalah para perwira yang masih setia kepada Raja dan mereka bertekad menangkap atau membunuh Ginggi yang mereka tahu sudah dicap pemberontak.
Namun terlepas dari kesemuanya, pemuda itu menjadi begitu kesal sebab upayanya untuk menggagalkan penyerangan kepada Raja menjadi terhambat. Para perwira yang akan menghadangnya ada sekitar duabelas orang dan bersenjata lengkap. Ketika Ginggi berlari cepat menuju tepi telaga, duabelas perwira pun sama berlari memburunya. Padahal di belakang mereka, Sang Prabu tengah terancam bahaya sebab Ki Sunda Sembawa dengan keris terhunus terus memburu kemana Sang Prabu berlari.
Sedangkan di belakang Ki Sunda Sembawa, empat orang berpakaian perwira sama berlari dengan pedang terhunus. Barangkali para perwira lainnya terkecoh. Disangkanya empat orang perwira yang berada di belakang Ki Sunda Sembawa tengah mengejar pejabat itu guna menggagalkan usaha pembunuhan. Padahal Ginggi tahu betul, keempat perwira itu sudah menjadi anak buah Ki Sunda Sembawa. Para pengawal setia Raja malah meninggalkan Sang Prabu dan lebih menitik beratkan usaha untuk menghadang Ginggi karena teriakan-teriakan tadi.
Dengan pedang terhunus, belasan perwira memburunya. Melihat mereka berlari kencang ke arahnya, Ginggi bukan menghindar, melainkan sama berlari kencang ke arah mereka. Tapi beberapa depa sebelum berpapasan dengan belasan perwira, Ginggi segera menotol tanah dengan sekuat tenaga. Tubuh Ginggi meloncat tinggi melampaui kepala-kepala mereka dan sepasang kakinya langsung kecebur ke permukan telaga. Di tepiannya, kedalaman air hanya sebatas betis saja. Begitu kakinya terjun ke permukaan air, pemuda itu menggerakkan sepasang tangannya. Dia memukul ke arah Ki Sunda Sembawa dengan pengerahan tenaga dalam.
Air muncrat seperti ada ledakan dahsyat keluar dari dasar telaga ketika pukulan dengan pengerahan tenaga dalam itu dikelitkan oleh Kandagalante Sagaraherang itu. Namun kendati serangan Ginggi gagal, sedikitnya menghambat serangan Ki Sunda Sembawa terhadap Raja.
“Sunda Sembawa, apa yang engkau lakukan ini?” teriak Sang Prabu marah bercampur heran melihat tindakan Ki Sunda Sembawa yang aneh ini.
Ki Sunda Sembawa tak menjawab, melainkan kembali melakukan serangan. Sambil meloncat tinggi, tubuhnya melayang ke arah di mana Sang Prabu berada. Yang diserang bergerak ke samping dengan amat lamban. Di samping kedalaman air di sana hamper mencapai dada, juga Sang Prabu nampak kaget dengan serangan ini. Terdengar jerit-jerit ketakutan dari para wanita yang ada di air telaga itu. Beberapa pengawal Raja yang ada di sekitar permukaan telaga berlari di permukaan air sebatas perut dan dengan amat bingungnya mencoba membuat pengawalan. Mereka berjumlah sepuluh orang.
Nampak sekali mereka kebingungan, siapa yang harus dikawal sepenuhnya. Bila semua mendekati Raja maka para keluarganya ditinggalkan, padahal empat perwira anak buah Ki Sunda Sembawa sudah mendekat dan sepertinya hendak mengancam keselamatan Raja. Akhirnya para pengawal melakukan inisiatif masing-masing. Beberapa orang berusaha melindungi Raja dan beberapa lainnya berusaha melindungi keluarga Raja yang nampak panik dan menjerit-jerit.
“Ki Sunda Sembawa memberontak! Ki Sunda Sembawa memberontak!!!” teriakan ini keluar dari mulut para pejabat lainnya yang sejak tadi berderet di tepi telaga.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment