Ads

Saturday, December 4, 2021

Kidung Senja Jatuh di Pajajaran 043

“Nyimas, cinta saya adalah seorang lelaki kepada wanita…”

“Ssssttt… jangan bicara urusan kehidupan duniawi di sini,” potong gadis itu.

“Nyimas, jangan mengubur diri dalam keterasingan. Tak baik melakukan kehidupan beragama dengan keterpaksaan!”

“Tidak ada keterpaksaan di sini.”

“Engkau dipaksa Raja karena dia kecewa terhadapmu. Engkau juga dipaksa kemandala karena hatimu putus asa dengan cintanya Raden Suji. Dengarkanlah hai wanita malang, perasaan hatimu terhadap pemuda itu sebetulnya percuma belaka sebab Raden Suji bukan orang baik-baik. Kau korbankan cinta sucimu kepada sesuatu yang seharusnya engkau jauhi!” kata Ginggi setengah berteriak karena kecewa dan kesal.

Sedang yang diajak bicara hanya tersenyum tipis dengan pandangan mata sayu. “Itulah kelemahan manusia, merasa diri sendiri lebih baik dari yang lainnya. Bila ada nafsu dan cemburu serta iri hati merasuki jiwa, maka pikiran kita tidak terkontrol lagi dalam memilih benar atau salah,” kata gadis itu, benar-benar seperti akhli kebatinan.

“Aku bicara benar! Engkau telah salah memilih cinta, sebab Raden Suji orang jahat!” teriak Ginggi.

“Kuburkanlah masa lalu sebab tak akan terulang kembali,” ujar gadis. “Tapi yang penting harus kita simak, cinta itu memang buta, sebab bukan baik atau buruknya yang dilihat, melainkan cocok atau tidaknya. Mungkin ada bujangga dan pohaci bermain cinta sebab mereka sudah merasa cocok karena mereka adalah dewa dan dewi dari kahyangan. Tapi seorang penjahat pun punya peluang untuk menyinta dan dicinta. Ada pencuri di Pakuan yang begitu sayang dan setianya terhadap istrinya. Dia kasih makan anak istrinya dari keringat mencuri. Aku ketika itu tak berani menuding Kakanda Suji lelaki jahat. Mungkin jahat bagi orang yang merasa dirugikannya, tapi tidak bagiku. Dia mati karena mencintaiku, mengapa aku harus membencinya? Tapi aku bersyukur bahwa aku sekarang masuk mandala, Inilah tempat paling damai, jauh dari keruwetan duniawi. Jangan khawatir, aku tinggal di mandala bukan membuang diri, melainkan sedang belajar saling mengasihi dan menjauhkan sikap saling menyakiti,” kata Nyimas Banyak Inten dengan kata-kata yang tenang dan lembut, tidak meledak-ledak seperti Ginggi tadi.

Entah apa lagi yang kini bergayut di hati Ginggi kini. Sedih, kecewa dan kesal sudah bercampur aduk menjadi satu. Kini dia hanya memandangi wajah gadis itu yang tertunduk menutupkan kedua matanya dan duduk bersimpuh sambil merangkapkan kedua belah tangannya.

“Anak muda, cepatlah keluar dan tinggalkan tempat ini. Kalau kau diketahui penjaga, kau akan mengalami kesulitan,” kata seorang pendeta setengah tua.

Ginggi masih menatap gadis itu sebelum pada akhirnya dia berlalu dari tempat itu. Setibanya di luar dia meloncat pergi, berlari kencang sekencang-kencangnya. Dia memang takut bertemu dengan para prajurit yang pasti akan menghadangnya. Bukan takut kalah atau takut mati, tapi dia takut membunuh orang. Ada kemarahan dan kekesalan tak terkendali, bercampur menjadi satu dengan duka dan kecewa. Kalau bertemu dengan penghadang, dia khawatir akan menimpakan segalanya kepada mereka. Itulah sebabnya Ginggi berlari secepatnya. Secepatnya, yang penting keluar jauh-jauh dari Pakuan. Dia ingin pergi, meninggalkan Pakuan jauh-jauh. Pergi entah ke mana. Yang penting tidak melihat lagi dayo (ibukota) yang dipenuhi berbagai kemelut ini. Biarkanlah Pakuan kacau dengan segala kemelut dan permasalahannya. Biarkanlah orang-orang saling jatuh menjatuhkan dan biarkan pula Raja tewas oleh gerakan pemberontak dan pembunuh. Biarkan pula perang terjadi! Biarkan! Biarkan! Dan....

“Brusss!!!”

Tubuh Ginggi kecemplung ke dalam permukaan air. Tubuhnya timbul tenggelam dan bergerak terbawa aliran air. Ginggi tak tahu air apa yang membawanya ini. Dia tak mau tahu. Mungkin dia akan tenggelam dan akhirnya mati. Biarlah aku mati saja, biarlah! Dan tubuhnya memang tenggelam. Mulutnya terkunci, hidungnya tersumbat. Segalanya tak bisa dipergunakan untuk menghirup pernapasan.

Tapi Ginggi tak mati. Hanya isi dadanya saja yang membusung seperti mau meledak. Ini karena dia selalu menahan napas. Sampai pada suatu saat napasnya tak bias ditahan lagi. Dan bersamaan dengan hirupan air yang masuk ke lubang hidungnya tubuh pemuda itu terantuk sesuatu yang keras. Dia sedikit gelagapan karena banyak air memasuki lubang hidungnya. Dengan cepat dia berdiri. Tak terasa memang, dia sudah berada di tepi. Bukan di seberang sungai, tapi di sebuah gugusan tengah sungai. Kebetulan bulan keluar dari persembuyiannya, sehingga sinarnya menerangi alam raya. Bulan itu begitu bundar namun pucat.

Ginggi menatap ke arah gugusan terlihat sebuah bangunan pasanggrahan. Sekarang dia ingat ada di mana. Ternyata gugusan ini adalah Pulo Parakan Baranangsiang, tempat kerabat Raja bersenang-senang menghirup udara segar dan menyaksikan pemandangan elok. Namun Ginggi juga ingat, di sinilah Suji Angkara menemui ajalnya.

Ingat ini Ginggi menjadi sedih. Beberapa orang sudah tewas dan semua karena ulahnya. Paling tidak, dia terlibat langsung sehingga orang-orang itu mati. Boleh dikata pula, karena gara-gara dirinyalah orang-orang itu tewas.

Suji Angkara memang dibunuh ramai-ramai oleh para prajurit kerajaan, tapi pemuda itu begitu mudah dibunuh karena sebelumnya sudah dibuat tak berdaya olehnya. Purbajaya bahkan tewas karena adu tenaga langsung dengannya. Padahal berulang kali dia ingat kata-kata Ki Rangga Guna bahwa selama manusia tak mampu menghidupkan maka dia tak berhak membunuh.

Ginggi juga malu dan sedih mengingat sikapnya. Purbajaya tewas karena sikap Ginggi yang ragu-ragu dan membingungkan orang lain, termasuk membingungkan Purbajaya. Suji Angkara bahkan tewas karena sikap cemburu Ginggi terhadap pemuda itu. Dia melumpuhkan pemuda itu sehingga digunakan peluang oleh para prajurit kerajaan untuk membunuhnya. Tapi tetap Ginggi yang punya andil. Bukan karena alasan membela kebenaran, melainkan karena alasan cemburu yang tak disadarinya.

Ginggi cemburu terhadap Suji Angkara, sebab kendati pemuda itu jahat, tokh tetap dicintai Nyimas Banyak Inten. Ginggi terpukul oleh ucapan gadis itu, bahwa untuk mencintai seseorang tak melihat baik-buruknya orang yang dicinta, melainkan adanya kecocokan hati. Seribu kali Ginggi mengaku orang baik, kalau Nyimas Banyak Inten tidak menyukainya bisa apa? Ginggi berduka dan merasa malu. Sebetulnya lancang benar dia berkata cinta kepada Nyimas Banyak Inten. Disangkanya siapa gadis itu? Memang benar Nyimas Banyak Inten sudah menjadi pendeta. Tapi apapun yang terjadi, gadis itu tetap saja seorang putri bangsawan dan terlalu tinggi untuk bias disanding Ginggi.

“Ini sebuah anugrah bagiku, dari sejak raja, para ksatria hingga badega (jongos) mencintaiku…” ucapan Nyimas Banyak Inten terdengar begitu menyakitkan sebab secara tak langsung menyadarkan siapa dia dan apa kedudukan dia. Sakit sekali!

Benar, dia hanyalah seorang badega, sebab pangkat itulah yang resmi disandangnya. Kalau pun ada orang mau mengangkatnya sebagai ksatria, itu baru rencana dan mustahil terlaksana sesudah terjadi peristiwa tadi siang di paseban istana.

“Oh, Ki Darma … engkau membuatku sengsara saja,” keluh pemuda itu di tepi gugusan.

Ginggi berjingkat dan melangkah menuju bangunan pasanggrahan. Tubuhnya lelah sekali dan perutnya pun terasa pedih karena seharian tidak dimasuki makanan barang sejumput. Pemuda itu membaringkan tubuhnya. Tidur telentang sambil kepala berbantalkan kedua belah tangannya. Banyak kemelut di istana yang membuat dirinya pusing tujuh keliling. Sekarang dirinya baru sadar, betapa berat sebenarnya amanat yang diberikan Ki Darma. Begitu beratnya sehingga tak semua orang yang menerima amanat mengerti akan makna sebenarnya.

Ya, Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati adalah salah satu pengemban amanat yang salah menerapkannya. Dan barangkali Ginggi pun termasuk orang yang tak tahu bagaimana cara melaksanakan amanat tersebut, sehingga akhirnya dia merasa tak sanggup lagi memikul beban amanat ini.

“Aku akan kembali saja ke Puncak Cakrabuana. Kalau Ki Darma benar sudah tewas oleh penyerbuan para perwira Pakuan, aku akan minta maaf karena tak sanggup mengemban apa yang dia inginkan,” gumam pemuda itu sendirian.

Ya, gumamnya dalam hati, aku sudah tak mau tahu lagi akan keadaan di Pakuan. Silakan orang berusaha berebut kekuasaan! Silakan orang saling berperang dan saling bunuh! Dia tak ada kepentingannya sama sekali. Tak ada kepentingannya? Pemuda itu bangun dan duduk merenung. Alisnya pun berkerut tanda memikirkan jalan pikirannya sendiri. Bisa saja perang bukan urusannya dan dia tak punya kepentingan dengan itu. Tapi, apakah hanya karena dia tak berkepentingan maka akan tega membiarkan orang saling bunuh sesamanya? Membiarkan orang saling bunuh berarti dia setuju pembunuhan. Padahal pendapat Ki Rangga Guna amat dia hargai bahwa selama manusia tak sanggup menghidupkan, maka dia tak berhak membunuh. Dengan begitu, Ginggi pun tetap masih terikat dengan sebuah kewajiban yaitu mencegah pembunuhan. Perang jangan sampai terjadi!

“Ya, perang jangan sampai terjadi sebab akan menyengsarakan rakyat!” gumam Ginggi.

Dan itulah amanat Ki Darma. Jangan sengsarakan rakyat! Ginggi menghitung-hitung hari. Di malam bulan purnama akan diadakan upacara kuwerabakti. Tapi sehari sebelumnya, akan ada upacara cara mandi suci di Telaga Rena Maha wijaya. Raja dan seluruh keluarganya akan mandi suci di telaga itu. Kapan?



Bulan purnama terjadi dua hari lagi. Berarti upacara mandi suci akan dilangsungkan besok pagi. Akan berlangsungkah upacara di Telaga Rena Maha Wijaya padahal tadi siang hampir terjadi percobaan pembunuhan terhadap Raja? Ginggi mengingat-ingat lagi surat sandi yang dikirim dari Ki Banaspati untuk Pangeran Jaya Perbangsa :

Ribuan pipit terbang dari timur

ketika senja jatuh di barat

tiga hari sebelum kuwerabakti

pagi hari di Telaga Rena Maha Wijaya


Ribuan pipit itu jelas pasukan besar yang datang dari Sagaraherang (timur). Mereka akan tiba pada senja hari. Mungkin yang dimaksudnya senja hari tadi. Tiga hari sebelum kuwerabakti adalah dimulainya pemberangkatan pasukan besar itu, sebab perjalanan dari Sagaraherang makan waktu dua hari. Sedangkan pagi hari di Telaga Rena Maha Wijaya, mungkin adalah hari penyerbuan! Siapa yang sudah tahu isi surat rahasia ini? Tidak ada yang benar-benar tahu, sebab Pangeran Yogascitra pun menerima penjelasan ini kurang begitu rinci. Kemudian kalau Pangeran Yogascitra mengabarkannya pada Raja, belum tentu Raja akan benar-benar percaya, apalagi dengan terjadinya peristiwa tadi siang. Pangeran tua itu pasti akan dianggap kabar bohong belaka.

Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan benar-benar merugi. Hanya karena tak mau memberi pengampunan kepada Ki Darma dia tidak mendapatkan keterangan rahasia yang amat berharga, pikir Ginggi. Ya, kalau pun penjelasan dari pangeran Yogascitra mau dia terima, tapi keterangan tersebut sepotong-sepotong. Orang-orang Pakuan tidak tahu, pasukan mana dan siapa yang memimpin.

Kepada Pangeran Yogascitra Ginggi tidak pernah bicara tentang Sagaraherang beserta situasi yang ada di sana. Ginggi juga tidak pernah menyebut-nyebut nama KandagaLante Sunda Sembawa kepada siapa pun, padahal dirinya merasa yakin, yang akan memimpin penyerbuan kelak adalah Sunda Sembawa. Ki Banaspati adalah otak penggerak yang sebenarnya. Dia akan membiarkan pertarungan antara Sang Prabu Ratu Sakti dengan Ki Sunda Sembawa, tak ubahnya seekor serigala menunggu hasil pertarungan dua keledai. Pemenang dari pertarungan pasti sudah lemah dan sang serigala tinggal menyerangnya dengan mudah. Tidak boleh terjadi, sebab kalau peperangan berlangsung, banyak orang tak berdosa akan jadi korban!

Karena teringat hal inilah maka Ginggi tak jadi pergi meninggalkan Pakuan. Sedapat mungkin dia akan mencegah pertempuran. Bukan untuk kepentingan para penguasa atau pun para pengejar ambisi, melainkan demi kepentingan rakyat semata!

Ginggi yang sudah lelah dan yang sedianya hanya akan bersembunyi saja di Pulo Parakan Baranangsiang, akhirnya kembali meninggalkan tempat itu. Dia harus memburu dan meneliti daerah sekitar dayo, Pertama yang diburunya adalah kota di wilayah-jawi khita (benteng luar). Kota berpenduduk hampir 50 ribu jiwa itu malam itu nampak ramai sekali. Menurut beberapa pedagang kain yang dihampirinya, setiap upacara kuwerabakti Pakuan memang selalu dipenuhi keramaian. Ini karena hari-hari itu dayo dikunjungi oleh orang-orang yang datang dari berbagai wilayah. Wilayah-wilayah Kandagalante atau kerajaan kecil yang hingga saat itu masih setia kepada Pakuan.

Kuwerabakti adalah upacara menghormati suami Dewi Sri, Ratu dan Dewi Padi. Pakuan sehabis musim panen tahunan akan menerima seba (upeti) dari wilayah-wilayah kekuasaannya. Semua rombongan seba dari setiap wilayah akan hadir di Pakuan. Rombongan-rombongan itu merupakan barisan besar, datang dengan bawaan hasil bumi, seperti kapas diangkutnya menggunakan carangka dan berbagai hasil bumi pangan diangkutnya menggunakan dondang. Ada juga yang diangkut menggunakan roda pedati ditarik kerbau. Ginggi bisa lihat, di pusat-pusat keramaian banyak dondang ditaruh di halaman rumah wadha (petugas penerima seba), begitu pun barisan pedati.

Di pusat-pusat keramaian, berbagai macam hiburan juga diadakan. Di sudut sana prepantun membawakan kisah-kisah kepahlawanan para ksatria Pajajaran. Sedangkan di sudut lainnya ada seni pewayangan tengah dibawakan para dalang. Ginggi menghitung ada sekitar tiga buah panggung pewayangan dan tiga pangung pertunjukan pantun digelar di tiap sudut alun-alun jawi khita, Kata orang, semua dalang akan mempertunjukkan cerita-cerita terkenal seperti kisah-kisah Darmajati, Jayasena, Ramayana, Adiparwa atau Sedamana, Begitu pun prepantun melantunkan kisah terkenal mulai dari cerita Pamanah Rasa, hingga Sanghyang Lutung Kasarung, dari mulai kisah Anggalarang hingga kisah Banyakcitra atau Katurwargi, Namun para prepantun juga tidak pernah lupa untuk membawakan kisah pengelelanaan Raden Mundinglaya Di Kusumah atau Guru Gantangan,

Pada saat ksatria ini dinobatkan menjadi raja dengan nama Prebu Surawisesa, nama perwira pengawal Raja berjuluk Ki Darma Tunggara disebut-sebut. Mulanya sebagai perwira gagah berani, namun belakangan berubah menjadi seorang perwira yang rewel karena terlalu banyak berkehendak, serta dianggap orang tinggi hati, sok tahu dan tidak hormat kepada Raja.

Ginggi tersenyum pahit mendengar kisah ini. Dan dia segera berlalu, sebab bukan tujuannya untuk menonton berbagai pertunjukan di alun-alun itu. Tujuannya untuk menyelidiki “pasukan dari timur” yang menurut surat rahasia harus sudah tiba di Pakuan pada senja hari. Sekarang sudah lewat senja hari, berarti pasukan penyerbu sudah lama tinggal di sini. Namun Ginggi tak melihat hal-hal aneh atau pun mencurigakan. Tak ada ketegangan atau pun hal-hal merisaukan di sana. Bahkan yang Ginggi lihat, semua orang larut dalam pesta.

Orang sibuk kesana-kemari melihat berbagai ragam pertunjukan. Di bagian lain Ginggi lihat para penembang sedang melantunkan kawih Bongbong Kaso, Porod Surih, Sisindiran atau Kawih Bangbarongan, Malah di panggung lain orang tengah terpingkal-pingkal karena ada pertunjukan seni pamaceuh (permainan lucu) seperti tatapukan (permainan topeng),ceta niras dan ngadu nini, Semua ceria dan seperti tak satu pun mengingat sesuatu bahaya.

“Entah mengapa, pengunjung dari luar daerah upacara Kuwerabakti tahun ini demikian banyaknya. Aku juga heran, padahal hasil panen tahun ini tidak menggebu dan keamanan di beberapa wilayah kurang terjamin,” kata seorang pedagang yang mengaku datang dari wilayah sebrang Sungai Cisadane.

“Berapa kali pengujung Kuwerabakti ramai seperti tahun ini, Paman?” tanya Ginggi.

“Berapa kali? Bahkan baru kali inilah sepengetahuanku. Aneh, begitu banyaknya orang yang datang ke Pakuan ini…” gumam pedagang itu heran.

Berdebar jantung Ginggi. Tak pelak lagi, pasukan dari timur sudah tiba di Pakuan. Ginggi sudah menduganya, Pakuan seramai ini karena yang datang bukan hanya rombongan pengirim seba saja, melainkan juga pasukan dari Sagaraherang. Tapi bagaimana cara membedakan mana pasukan dan mana orang-orang biasa?

Ginggi terus berkeliling meneliti kesana-kemari. Dari berbagai macam pedagang di pasar malam tepi alun-alun benteng luar, pemuda itu mendapatkan para pedagang macam-macam senjata, digelar begitu saja di atas tanah. Ketika Ginggi tanya kepada orang di sana, mereka mengatakan, setiap keramaian Kuwerabakti memang sudah biasa ada pedagang alat-alat, mulai dari alat-alat pertanian, sampai kepada alat-alat yang biasa digunakan sebagai senjata.

Dalam keramaian Kuwerabakti juga diadakan latihan perang-perangan. Dalam saat-saat ini, pemerintah pun membuka lamaran kepada semua orang untuk mengabdi sebagai prajurit Pakuan. Kuwerabakti juga adalah musim orang pamernya kedigjayaan karena ingin terpakai sebagai pengabdi negara. Inilah saat-saat orang mencari pekerjaan terhormat.

“Jadi amat wajar di keramaian pasar malam juga digelar dagangan macam-macam senjata sebab memang erat hubungannya dengan pamer kedigjayaan,” kata seseorang yang tengah meneliti berbagai ragam dagangan senjata. Ginggi pun ikut meneliti.

Di samping jajaan alat pertanian seperti belincong, baliung, patik, kored, sadap dan kujang, atau alat-alat yang biasa digunakan para pendeta seperti peso pengot, peso raut, peso dongdang, dan pakisi, juga dijajakan benda-benda berupa senjata, mulai dari golok, pedang, abet, pamuk golok, peso teudeut sampai kepada keris yang sebetulnya hanya digunakan para raja. Namun tentu saja keris yang dijajakan di sini hanya kualitas pasaran saja.

Pedagang senjata ini tidak berkumpul pada satu tempat. Mereka berpencaran jauh. Kalau meneliti hanya selintas, tak akan menimbulkan perhatian khusus. Lain lagi dengan Ginggi yang perhatiannya tengah meneliti sesuatu. Pedagang senjata ini amat mencurigakan. Jumlahnya serasa terlalu banyak. Di sekitar benteng luar, Ginggi menghitung hampir duapuluh pedagang senjata betul-betul mencurigakan. Benarkah mereka hanya pedagang biasa?

Ginggi mencoba mendekati satu pedagang. Ditelitinya dengan seksama, siapa-siapa saja pembelinya. Satu dua orang pembeli wajar-wajar saja. Tapi yang lainnya begitu ganjil. Mereka beli benda-benda tajam tidak terlalu banyak bicara, tidak rewel menawar harga dan langsung dibeli. Banyak pedagang hanya dalam waktu singkat sanggup menghabiskan dagangannya.

“Enak sekali, jualan benda-benda tajam cepat laku, Paman,” kata Ginggi pada seorang pedagang.

Yang diajak bicara hanya ketawa kecil.

“Kenapa yang banyak laku barang-barang berupa senjata, sedangkan alat pertanian tidak, Paman?” tanya lagi Ginggi.

Pedagang itu mengeryitkan dahi dan menatap Ginggi sedikit bercuriga. Namun karena dagangannya sudah habis, dia segera melipat kantung-kantung goni di mana barang-barang dagangannya di simpan. Tanpa banyak cakap orang itu segera berlalu meninggalkan Ginggi seorang diri.

Pemuda itu termangu sejenak. Namun sesudah orang itu menghilang dibalik sebuah gang di antara dua bangunan kedai, Ginggi segera berjingkat. Dia ingin mengikuti kemana dua orang itu pergi. Ginggi tiba di gang itu, hanya nampak bayangan hitam berkelebat menjauh. Ginggi pun melangkah lebih cepat lagi, bayangan itu semakin pergi menjauh. Kecurigaan pemuda itu semakin menebal. Orang tadi, atau bahkan beberapa orang lainnya pasti bukan benar-benar pedagang, melainkan anggota pasukan yang bertugas membagikan senjata. Ginggi sudah menduga, pasukan yang datang dari Sagaraherang tidak datang secara terang-terangan.

Kalau mereka menampakkan diri sebagai pasukan tentu akan amat mencurigakan bagi fihak Pakuan. Mereka pasti masuk Pakuan secara terpisah dan dipecah-pecah dalam bentuk rombongan kecil. Mungkin berpura-pura sebagai rakyat biasa, mungkin berpura-pura sebagai anggota rombongan pengangkut seba. Sedangkan perlengkapan perang, mereka angkut dan disamarkan seolah-olah barang dagangan. Melihat banyak “dagangan” sudah habis, Ginggi sudah bisa menduga bahwa semua atau kebanyakan anggota pasukan sudah mendapatkan jatah senjata.

Ginggi bingung dan sedikit menyesal. Hanya karena dia banyak berdiam diri di Pulo Parakan Baranangsiang, maka upaya pencegahan menjadi terlambat. Padahal bila Ginggi sudah sejak sore hari melakukan penelitian, sedikitnya dia bias melakukan tindakan, misalnya berusaha menggagalkan upaya mereka dalam membagikan senjata. Senjata tajam bagi prajurit biasa adalah perlengkapan vital. Jadi bila berperang tanpa senjata, akan amat menyulitkan. Tapi semua sudah terlambat, senjata sudah dibagikan dan Ginggi pusing sendiri dibuatnya.

Tapi Ginggi terus mencoba membuntuti orang itu. Sang “pedagang” rupanya hendak memasuki sebuah rumah. Namun ternyata dia tak jadi masuk, malah mencoba membalikkan badan, berdiri bertolak pinggang dan nampaknya sengaja menanti kehadiran Ginggi. Sudah barang tentu pemuda itu agak merandek dibuatnya. Dia menyumpah-nyumpah dirinya sebagai kurang hati-hati. Sebab kalau tak begitu tak nanti tindakannya diketahui orang tadi.

“Mau apa kau membuntuti aku?” teriak orang itu, sengaja memperkeras suaranya.

Ginggi mengerti, suara ini hanya sebagai tanda dalam upaya memanggil teman-temannya. Dan benar perkiraannya. Begitu teriakan itu berhenti, pintu terkuak lebar dan ada sekitar lima orang keluar dari pintu.

“Serbu!” teriak orang yang dibuntuti tadi.

Dan lima orang serentak menghambur ke arah Ginggi. Semua melakukan serangan ganas dan tujuannya hendak membunuh. Ginggi merasakannya sebab semua serangan ditujukan ke arah bagian badan yang amat lemah. Satu orang menyerang mata Ginggi dengan dua ujung jari siap menusuk. Lainnya mengarah ke bagian pusar dengan tendangan beruntun.

Ginggi miringkan kepala ke kanan dan kiri untuk menghindarkan serangan tusukan dua jari dan menahan beberapa tendangan dengan telapak tangan kiri dan kanannya. Tapi serangan semakin deras mengarah padanya. Dua orang lawan bahkan menggunakan loncatan salto untuk sama-sama menyerang ubun-ubun Ginggi.

Pemuda itu tidak berniat balas menyerang, apalagi untuk mencoba menganiaya atau membunuh mereka. Tapi serbuan lawan demikian ganas. Bila dia hanya main kelit saja, mungkin hanya satu-dua serangan yang bias dihindarkan, sedangkan yang lainnya pasti akan mengenai sasaran. Maka agar keselamatan dirinya sendiri bisa terjaga, Ginggi terpaksa mengeluarkan jurus serangan.

Serbuan dari atas kepalanya berupa sodokan-sodokan tangan kiri dan kanan, ini sulit untuk dikelit, sebab Ginggi baru saja menghindar terjangan ujung kaki lawan yang mengarah dadanya. Pemuda itu sudah dalam keadaan jongkok dan tak mungkin menghindarkan serangan dari atas. Satu-satunya cara mempertahankan diri adalah melakukan tangkisan. Namun tangkisan biasa saja tak akan berarti apa-apa dalam menahan serangan yang datang dari atas dengan pengerahan tenaga penuh. Sepasang tangan Ginggi yang sudah terbuka lebar dia isi dengan pengerahan tenaga dalam. Maka begitu tangan-tangan lawan bertumbukan dengan telapak tangan Ginggi, terdengar jerit-jerit kesakitan sebab dua orang penyerang yang bersalto di atas kepala Ginggi terpental lagi ke udara.

Ginggi belum dikatakan lolos dari bahaya sebab terjangan dari arah depan menyuruk mengarah wajahnya. Namun dalam keadaan jongkok, maka dengan mudah Ginggi jungkir balik ke belakang dengan cara menotolkan sepasang kaki yang tadi jongkok. Dua orang penyerang yang melakukan terjangan hanya bias menyerang tempat kosong yang sudah ditinggalkan Ginggi.

Tiga orang penyerang akan kembali melakukan serbuan lagi. Tapi dari gang dimana tadi Ginggi muncul, bermunculan pula beberapa orang. Mereka berbekal obor, sehingga suasana menjadi terang benderang. Ginggi dan para penyerangnya bisa melihat bahwa yang datang adalah para prajurit istana.

“Tolong, ada penjahat mau merampok” teriak seseorang penyerangnya.

Ginggi mendengus mendengar siasat brengsek ini. Namun para prajurit rupanya percaya omongan ini. Buktinya mereka mengurung Ginggi, jumlahnya ada sekitar tujuh orang. Ada tiga buah obor dengan nyalanya yang terang sehingga wajah Ginggi bisa dilihat semua orang.

“Ginggi!!!” teriak beberapa orang.

Semua suara datang dari kedua belah fihak para prajurit dan fihak para penyerang. Ginggi pun terkejut dibuatnya. Dari kedua belah fihak yang kini tengah mengurungnya ternyata ada mengenal dirinya.

“Tangkap pemberontak!” seru seorang prajurit

“Siapa pemberontak?” tanya orang yang dikuntit Ginggi.

“Dia!” seru prajurit menunjuk hidung Ginggi dengan ujung obornya.

“Ya, tangkap dia” teriak yang lain.

Maka Ginggi pun dikepung lagi. Hanya saja, kini para pengepungnya terdiri dari tujuh prajurit. Ginggi menduga bahwa peristiwa tadi siang di paseban istana rupanya secara diam-diam sudah diketahui para prajurit bahkan mereka sudah ditugaskan mengejarnya. Buktinya, ketika di antara mereka ada yang mengenalnya, langsung menuding dan mencercanya sebagai pemberontak.

Ginggi juga berpikir, dari fihak yang dikuntitnya sudah ada yang mengenalinya. Ini hanya membuktikan bahwa mereka benar anggota pasukan dari Sagaraherang. Ketika dia berada di wilayah kandagalante itu, Ginggi dikenal banyak oleh para prajurit di sana. Bagaimana sikap orang-orang Sagaraherang terhadapnya kini? Apakah masih menganggapnya orang sendiri atau sebaliknya? Pemuda itu tak bisa menduga. Kalau saja tadi mereka berteriak-teriak mempengaruhi Ginggi ditangkap, itu bisa saja sekadar siasat pula, sebab tak mungkin mereka membantu Ginggi kalau tak ingin sama-sama ditangkap prajurit istana. Dan nampak sekali mereka mulai meninggalkan tempat itu setelah perhatian para prajurit hanya tertuju pada Ginggi seorang. Mereka pasti sudah menghindar dari tempat ini, pikir Ginggi.

Ginggi tak mau mati konyol, tapi pun tak mau menganiaya mereka. Maka sebelum kepungan merapat, Ginggi segera melompat ke balik sebatang pohon. Padahal yang dilakukan Ginggi adalah meloncat ke dahan pohon di atasnya. Sesudah itu dia meloncat kesana-kemari, loncat lagi ke atas atap bangunan dan melarikan diri dari tempat itu.

Kacau sekali, kata Ginggi dalam hatinya. Ya, betapa tak kacau sebab gerakan Ginggi untuk meneliti gerakan fihak pasukan penyerbu kini diganggu para prajurit istana. Ini sekaligus juga kian menyadarkan dirinya bahwa kedudukannya sekarang mulai terjepit. Pihak penyerbu yang dipimpin Ki Banaspati atau Ki Sunda Sembawa kini pasti sudah menganggap dirinya sebagai musuh sebab tidak melakukan keinginan mereka dengan benar. Sebaliknya pihak istana yang hendak dia tolong pun kini memusuhinya dan menuduhnya sebagai pemberontak pula.

Ginggi hampir-hampir bosan mengalami hal-hal menyebalkan seperti ini. Kalau hatinya tidak berkeberatan untuk membiarkan peperangan tetap berlangsung, sudah sejak dari tadi dia pergi saja dari Pakuan. Namun Ginggi akan tetap bertahan dulu tinggal didayo ini. Memang dirinya merasa gagal sebab peperangan pasti berlangsung. Namun kendati begitu, dia tetap ingin berusaha agar korban sia-sia tidak terlalu banyak terjadi. Ini tetap akan menjadi sikapnya. Bahwa peperangan yang selalu mengakibatkan korban jiwa, sebenarnya hanya terjadi karena otak-otak segelintir orang yang mengaku sebagai pemimpin. Kalau dia berhasil menyadarkan para pemimpinnya, mungkin peperangan tak bakal terjadi. Tapi bagaimana caranya?





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment