“Sudah kukatakan, aku tak biasa ditekan oleh ikatan janji atau pun persyaratan. Tapi mengingat ini urusan keselamatan negara, maka aku sebagai Raja Pakuan mau merendahkan diri untuk mengikuti keinginanmu. Coba kau katakan apa dua persyaratan yang engkau inginkan,” kata Sang Prabu akhirnya.
Ginggi menghela napas lega mendengar ucapan Sang Prabu ini. Namun ketika matanya mengerling ke samping, wajah Purbajaya kelihatan murung dan sedikit pucat. Apa boleh buat, pikir Ginggi.
“Syarat pertama, hamba mau menjelaskan situasi di Pakuan akhir-akhir ini, asalkan Paduka mau mengubah sikap dan kebijaksanaan. Semua perubahan sikap dan kebijaksanaan Paduka penting untuk mengembalikan keadaan ke arah hal-hal yang diinginkan semua fihak,” kata Ginggi menatap Sang Prabu.
Yang ditatap balik menatap. Dan Ginggi menunduk karena sorotan mata Sang Prabu demikian tajam dan seperti sulit untuk dilawan. Hening sejenak, sehingga bunyi tonggeret, sejenis binatang serangga yang ada di pepohonan beringin terdengar nyata.
“Sabda wiku paraloka (akhli kebatinan) sikap Raja haruslah seuseug keupeul lega aur, tenget suling panyaweuyan, teuas peureup leuleus usap (Tegas tapi bijaksana). Sebetulnya aku harus bicara seperlunya. Tapi bicara terlalu singkat, ucapanku selalu salah diartikan aparatku. Aku pun harus teliti memilih laporan dan pengaduan. Namun terkadang ada laporan yang dipalsukan dan aku terkecoh mempercayainya. Dan karena banyak hal tak benar terdengar sampai ke telingaku, maka terpaksa aku harus memilih teuas peureup (bertindak tegas) tanpa mengikutsertakan sikap leuleus usap (bijaksana, welas asih),” ujar Sang Prabu sesudah lama merenung.
Kemudian Sang Ratu Sakti bersabda lagi, “Kuakui, tindakanku selalu keras, aku mudah menghukum kepada orang yang dianggap salah, tapi juga tak segan-segan memberi penghargaan kepada yang dianggap berjasa. Kalau yang kau maksud, aku harus mengubah sikap kerasku, kurasa sulit sekali terkabul. Kau harus maklum anak muda, sekarang zaman keras. Hanya yang berhati baja yang bisa bertahan. Bukan berarti sikap welas asih tak berlaku lagi, tapi cara mengasihi kehidupan sekarang tak dilakukan dengan lemah-lembut. Sikap Ayahandaku Sang Ratu Dewata yang welas asih dan lemah-lembut diartikan salah sebagai jiwa yang lemah, sehingga musuh dari luar tidak merasa jerih, begitu pun aparat dan ambarahayat. Kalau kau mau bertanya kepada bujangga (akhli sejarah), akan begitu jelas, betapa Pajajaran banyak diserang musuh dari luar karena kepemimpinan waktu itu dianggap lemah.”
Sang Prabu Sakti dadanya turun naik karena terlalu banyak berbicara. Dan suasana amat hening ketika beliau menghentikan ucapannya sambil menatap tajam pemuda itu.
“Coba kau sebutkan syarat yang kedua!” ucap Sang Prabu kemudian.
Ginggi kembali menatap Sang Prabu, “Syarat yang kedua… ampuni Ki Darma dan Paduka harus mencabut tuduhan bahwa Ki Darma pengkhianat dan pemberontak!” kata Ginggi nyaring.
Mendengar ucapan ini, semua orang nampak terkejut dan sama membelalakkan mata, kecuali Pangeran Yogascitra dan Purbajaya nampak tenang. Namun Ginggi merasa heran sebab mimik wajah Sang Prabu tak berubah. Beliau hanya menatap tajam secara terus-terusan saja terhadap Ginggi.
“Sudah aku duga, engkau punya hubungan dengan Ki Darma. Ucapan-ucapanmu itu tajam, menyakitkan dan mudah membuat orang tersinggung, anak muda,” ujar Sang Prabu. “Persis seperti apa yang gemar diucapkan oleh Ki Darma,” sambung Sang Prabu lagi.
“Sepuluh tahun hamba bersamanya di Puncak Cakrabuana, Paduka,” kata Ginggi, sengaja menyebutkannya agar Sang Prabu ingat dirinya pernah memerintahkan pasukan perwira untuk menyerbu Puncak Cakrabuana.
Ucapan Ginggi hanya ditanggapi Sang Prabu dengan tatapan matanya disertai beberapa kerutan di dahi. Dan untuk beberapa lama suasana menjadi hening kembali.
“Rupanya tak ada keputusan penting di sini. Maafkan, hamba akan meninggalkan paseban,” kata Ginggi menyembah dan mengangkat tubuhnya hendak berlalu.
“Tidak semudah itu engkau meninggalkan tempat ini, anak muda!” kata Sang Prabu.
“Apakah hamba pun masuk dalam tuduhan memberontak juga, Paduka?” tanya Ginggi menatap Sang Prabu dengan berani.
“Jalan pikiran Ki Darma membahayakan ketentraman negri sebab meresahkan dan menimbulkan gejolak pro dan kontra di kalangan pejabat istana. Aku kenal Ki Darma sejak kami sama-sama menjadi perwira pengawal Raja. Betapa bahayanya ucapan-ucapannya. Dan itu bias merongrong kewibawaan Raja,” kata Sang Prabu lagi.
“Barangkali Paduka lupa, di mana baru saja mengatakan sikap Paduka, bahwa kasih sayang sekarang tidak dilakukan dengan lemah-lembut. Ki Darma hanya melontarkan kritik pada keadaan yang tengah berlangsung dan kritik tidak sama dengan pemberontakan. Kritik hanyalah sebuah kasih sayang yang dilakukan secara keras. Itu juga sebenarnya yang dilakukan Paduka terhadap bawahan dan rakyat Paduka,” ujar Ginggi.
Merah-padam wajah Sang Prabu mendengar ucapan Ginggi ini. Dadanya turun-naik menahan gelora hatinya dan matanya memandang tajam kepada pemuda itu. Ginggi kini tak menggubrisnya dan segera akan berlalu. Namun Sang Prabu bangun berdiri. Sambil menuding ke arah Ginggi beliau berseru,
“Tangkap pemuda itu!”
Dari duapuluh pengawal hanya duabelas perwira yang serentak berdiri, sedangkan yang lainnya masih duduk bersila dengan punggung tegak. Keduabelas perwira segera menghambur dan mengepung. Tapi Ginggi kini lebih pengalaman lagi. Dia sudah kenal, para perwira pandai taktik berkelahi yang sifatnya beregu. Mereka punya formasi tempur, baik menyerang mau pun bertahan. Dan pemuda itu tak mau meladeninya sebab pernah merasakan dan pernah dikalahkan oleh taktik kepungan asu-maliput di Puri Bagus Seta beberapa waktu lalu.
Ginggi menghela napas lega mendengar ucapan Sang Prabu ini. Namun ketika matanya mengerling ke samping, wajah Purbajaya kelihatan murung dan sedikit pucat. Apa boleh buat, pikir Ginggi.
“Syarat pertama, hamba mau menjelaskan situasi di Pakuan akhir-akhir ini, asalkan Paduka mau mengubah sikap dan kebijaksanaan. Semua perubahan sikap dan kebijaksanaan Paduka penting untuk mengembalikan keadaan ke arah hal-hal yang diinginkan semua fihak,” kata Ginggi menatap Sang Prabu.
Yang ditatap balik menatap. Dan Ginggi menunduk karena sorotan mata Sang Prabu demikian tajam dan seperti sulit untuk dilawan. Hening sejenak, sehingga bunyi tonggeret, sejenis binatang serangga yang ada di pepohonan beringin terdengar nyata.
“Sabda wiku paraloka (akhli kebatinan) sikap Raja haruslah seuseug keupeul lega aur, tenget suling panyaweuyan, teuas peureup leuleus usap (Tegas tapi bijaksana). Sebetulnya aku harus bicara seperlunya. Tapi bicara terlalu singkat, ucapanku selalu salah diartikan aparatku. Aku pun harus teliti memilih laporan dan pengaduan. Namun terkadang ada laporan yang dipalsukan dan aku terkecoh mempercayainya. Dan karena banyak hal tak benar terdengar sampai ke telingaku, maka terpaksa aku harus memilih teuas peureup (bertindak tegas) tanpa mengikutsertakan sikap leuleus usap (bijaksana, welas asih),” ujar Sang Prabu sesudah lama merenung.
Kemudian Sang Ratu Sakti bersabda lagi, “Kuakui, tindakanku selalu keras, aku mudah menghukum kepada orang yang dianggap salah, tapi juga tak segan-segan memberi penghargaan kepada yang dianggap berjasa. Kalau yang kau maksud, aku harus mengubah sikap kerasku, kurasa sulit sekali terkabul. Kau harus maklum anak muda, sekarang zaman keras. Hanya yang berhati baja yang bisa bertahan. Bukan berarti sikap welas asih tak berlaku lagi, tapi cara mengasihi kehidupan sekarang tak dilakukan dengan lemah-lembut. Sikap Ayahandaku Sang Ratu Dewata yang welas asih dan lemah-lembut diartikan salah sebagai jiwa yang lemah, sehingga musuh dari luar tidak merasa jerih, begitu pun aparat dan ambarahayat. Kalau kau mau bertanya kepada bujangga (akhli sejarah), akan begitu jelas, betapa Pajajaran banyak diserang musuh dari luar karena kepemimpinan waktu itu dianggap lemah.”
Sang Prabu Sakti dadanya turun naik karena terlalu banyak berbicara. Dan suasana amat hening ketika beliau menghentikan ucapannya sambil menatap tajam pemuda itu.
“Coba kau sebutkan syarat yang kedua!” ucap Sang Prabu kemudian.
Ginggi kembali menatap Sang Prabu, “Syarat yang kedua… ampuni Ki Darma dan Paduka harus mencabut tuduhan bahwa Ki Darma pengkhianat dan pemberontak!” kata Ginggi nyaring.
Mendengar ucapan ini, semua orang nampak terkejut dan sama membelalakkan mata, kecuali Pangeran Yogascitra dan Purbajaya nampak tenang. Namun Ginggi merasa heran sebab mimik wajah Sang Prabu tak berubah. Beliau hanya menatap tajam secara terus-terusan saja terhadap Ginggi.
“Sudah aku duga, engkau punya hubungan dengan Ki Darma. Ucapan-ucapanmu itu tajam, menyakitkan dan mudah membuat orang tersinggung, anak muda,” ujar Sang Prabu. “Persis seperti apa yang gemar diucapkan oleh Ki Darma,” sambung Sang Prabu lagi.
“Sepuluh tahun hamba bersamanya di Puncak Cakrabuana, Paduka,” kata Ginggi, sengaja menyebutkannya agar Sang Prabu ingat dirinya pernah memerintahkan pasukan perwira untuk menyerbu Puncak Cakrabuana.
Ucapan Ginggi hanya ditanggapi Sang Prabu dengan tatapan matanya disertai beberapa kerutan di dahi. Dan untuk beberapa lama suasana menjadi hening kembali.
“Rupanya tak ada keputusan penting di sini. Maafkan, hamba akan meninggalkan paseban,” kata Ginggi menyembah dan mengangkat tubuhnya hendak berlalu.
“Tidak semudah itu engkau meninggalkan tempat ini, anak muda!” kata Sang Prabu.
“Apakah hamba pun masuk dalam tuduhan memberontak juga, Paduka?” tanya Ginggi menatap Sang Prabu dengan berani.
“Jalan pikiran Ki Darma membahayakan ketentraman negri sebab meresahkan dan menimbulkan gejolak pro dan kontra di kalangan pejabat istana. Aku kenal Ki Darma sejak kami sama-sama menjadi perwira pengawal Raja. Betapa bahayanya ucapan-ucapannya. Dan itu bias merongrong kewibawaan Raja,” kata Sang Prabu lagi.
“Barangkali Paduka lupa, di mana baru saja mengatakan sikap Paduka, bahwa kasih sayang sekarang tidak dilakukan dengan lemah-lembut. Ki Darma hanya melontarkan kritik pada keadaan yang tengah berlangsung dan kritik tidak sama dengan pemberontakan. Kritik hanyalah sebuah kasih sayang yang dilakukan secara keras. Itu juga sebenarnya yang dilakukan Paduka terhadap bawahan dan rakyat Paduka,” ujar Ginggi.
Merah-padam wajah Sang Prabu mendengar ucapan Ginggi ini. Dadanya turun-naik menahan gelora hatinya dan matanya memandang tajam kepada pemuda itu. Ginggi kini tak menggubrisnya dan segera akan berlalu. Namun Sang Prabu bangun berdiri. Sambil menuding ke arah Ginggi beliau berseru,
“Tangkap pemuda itu!”
Dari duapuluh pengawal hanya duabelas perwira yang serentak berdiri, sedangkan yang lainnya masih duduk bersila dengan punggung tegak. Keduabelas perwira segera menghambur dan mengepung. Tapi Ginggi kini lebih pengalaman lagi. Dia sudah kenal, para perwira pandai taktik berkelahi yang sifatnya beregu. Mereka punya formasi tempur, baik menyerang mau pun bertahan. Dan pemuda itu tak mau meladeninya sebab pernah merasakan dan pernah dikalahkan oleh taktik kepungan asu-maliput di Puri Bagus Seta beberapa waktu lalu.
“Kalau akan melumpuhkan ular, maka tangkaplah kepalanya,” kata Ki Darma ketika di Puncak Cakrabuana.
Ginggi ingat pepatah ini. Maka pada kesempatan inilah teori Ki Darma akan dilaksanakan. Jadi, ketika beberapa pengawal menghambur ke depan, Ginggi bukan melayaninya, melainkan meloncat tinggi, bersalto beberapa kali melewati kepala-kepala mereka. Rupanya semua orang tak menduga kenekatan Ginggi, sehingga nampaknya para perwira lebih nampak kaget ketimbang melakukan satu tindakan. Bagaimana tak kaget, sebab Ginggi yang jungkir balik beberapa kali itu, tubuhnya bergerak ke arah di mana Sang Raja berdiri. Sebelum semua orang sadar apa yang terjadi, Ginggi sudah berdiri tepat di belakang Sang Prabu. Tangan kiri Ginggi mencengkram pakaian di bagian pundak Sang Prabu, sedangkan tangan kanan siap menghantam batok kepala penguasa Pakuan itu.
“Semua berhenti bila tak ingin keselamatan Raja terancam!” teriak Ginggi.
Tindakan ini mungkin keterlaluan, tapi inilah satu-satunya cara agar dia terlindungi. Semua perwira kini berdiri seperti patung, tak terkecuali delapan orang perwira yang sejak tadi hanya duduk bersila dengan wajah tegang. Dalam suasana seperti ini mata Ginggi terkuak lebar dan bisa mengenal semua orang. Mana yang berfihak kepada Sang Prabu Ratu Sakti dan mana yang sudah berpaling, nampak jelas kelihatan. Duabelas perwira nampak berdiri dengan sikap siaga, tubuh menggigil menahan kemarahan dan mata melotot serta gigi berkerot. Namun yang lainnya hanya berlaku siaga saja tapi tidak menampakkan mimik tertentu. Pangeran Yogascitra nampak berwajah pucat. Sambil berdiri dengan tubuh bergetar dia berseru agar Ginggi tak melakukan tindakan seperti itu.
“Ginggi, apa pun yang dilakukan Ki Darma, sebenarnya dia orang yang amat menghargai Raja dan tak pernah berniat mencelakakan Raja. Lepaskan Sang Prabu! Jangan kotori perjuangan Ki Darma dengan perbuatan tercela seperti itu!” teriak Pangeran Yogascitra.
Ginggi tersentak mendengar ucapan ini. Pangeran Yogascitra memang amat mengingatkannya, bahwa selama Ki Darma berbicara perihal rasa kecewanya, tidak secuil pun dia mengakui membenci Raja, apalagi memerintahkannya untuk mencelakai Raja. Ki Darma tak menyuruhnya melakukan pemberontakan atau menyingkirkan Raja, jadi kalau sekarang dia bertindak kasar terhadap Raja, akan dianggap keterlaluan dan tidak sesuai dengan keinginan Ki Darma. Ingat ini, Ginggi segera akan melepaskannya. Namun sebelum dirinya pergi menjauh dari tempat di mana Raja berdiri, Ginggi dengan kaget melihat gerakan yang dilakukan Purbajaya secara tiba-tiba.
“Jangan lepaskan dia!” teriak Purbajaya sambil meloncat ke depan.
Sepasang kaki Purbajaya terpentang lebar dan kedua belah tangan diayun ke depan. Ginggi berteriak kaget sebab pemuda itu menghunjam pukulan jarak jauh yang dikerahkan dengan kekuatan penuh. Serangan itu diarahkan ke dada Sang Prabu dan jelas-jelas tujuannya hendak membunuh Raja. Ginggi mendorong tubuh Sang Prabu ke samping sehingga jatuh terjerembab.
“Hiaaattt!!!” teriak Ginggi mengerahkan tenaga dalam dan sepasang telapak tangannya dibuka lebar menahan serbuan Purbajaya.
Terdengar suara benturan keras. Purbajaya menjerit ngeri dan tubuhnya terpental ke belakang. Dia berguling-guling beberapa kali dan akhirnya telentang dengan mulut penuh darah segar. Ginggi pucat wajahnya sebab ini sesuatu yang di luar dugaannya. Namun pemuda itu tak boleh tinggal berlama-lama di sana, sebab Sang Prabu sudah bebas dari kungkungannya. Maka sebelum bahaya mengancam, dia segera meloncat amat cepatnya. Tubuh Purbajaya dia buru, kemudian diangkat dan dipanggulnya di bahu kirinya.
Ginggi meloncat beberapa kali dan berlari menjauhi tempat itu. Tidak ada yang melakukan pengejaran. Ini karena di halaman paseban sebenarnya telah terjadi pula pertempuran kecil. Ginggi bisa menduga, pertempuran terjadi antara para perwira yang setia terhadap Raja dan perwira-perwira yang sudah membelot. Para pembelot mungkin melakukan tindakan untuk mencegah Ginggi melarikan diri, atau untuk menyelamatkan Purbajaya. Atau, entah apalah, sebab pemuda itu masih menduga-duga, apakah para pembelot itu anak buah Ki Banaspati ataukah teman-teman Purbajaya.
“Masuk… masuk ke bangunan itu…!” perintah Purbajaya di antara erang kesakitannya.
Ginggi memasuki sebuah bangunan seperti tempat orang memuja. Ketika sudah berada di dalam hanya mendapatkan sebuah batu bertulis. Ada huruf palawa berjumlah sembilan baris. Ketika Ginggi membacanya, itu merupakan sebuah peringatan atau kenang-kenangan perihal kebesaran Sri Baduga Maharaja, ditulis oleh putranya Sang Prabu Surawisesa pada tahun 1533 atau delapan belas tahu lalu sebelum hari ini. Batu bertulis ini disimpan di sebuah bangunan tertutup dan bercungkup. Banyak bunga dan wewangian bertebaran di sekitar batu bertulis itu. Menandakan bahwa tempat ini kerapkali dikunjungi tapi oleh orang-orang tertentu saja, mengingat tempat ini demikian tertutupnya.
“Turunkan aku,” keluh Purbajaya.
Ginggi menurunkan tubuh pemuda itu. Dibaringkan di lantai tanah secara terlentang dan diurut-urut dadanya. Namun pemuda itu menolaknya.
“Biarkan aku mati…” gumam pemuda itu.
“Jangan mati. Kalau engkau mati, aku akan amat berdosa, Raden…” kata Ginggi khawatir dan penuh sesal.
“Biarkan aku mati…Hidupku tak berharga,” keluh pemuda itu menyeka sisa darah di ujung bibirnya.
“Raden… mengapa engkau hendak membunuh Sang Prabu?” tanya Ginggi penasaran.
“Karena engkau tidak jadi membunuhnya!”
“Aku memang tak berniat membunuh Raja!”
“Raja sepatutnya dibunuh!”
“Mengapa?”
“Banyak dosa-dosanya. Bagi rakyat Pajajaran, Raja dianggap telah melanggar aturan moral. Dia selalu memaksakan kehendaknya untuk mengawini wanita larangan. Kau akan berjasa bila bisa membunuh Raja…” kata Purbajaya sambil menahan rasa sakitnya.
Aku akan berjasa membunuh Raja yang berdosa melanggar aturan moral? Mengapa aku harus menghukum seseorang yang padahal aku sendiri pun sama pernah bersalah dan sama pernah melanggar aturan moral, pikir Ginggi tak mengerti akan ucapan Purbajaya
“Tidak! Aku tidak akan punya jasa apa-apa hanya karena membunuh Raja. Aku bahkan akan semakin berdosa!” kata Ginggi lantang.
Wajah Purbajaya nampak murung mendengar ucapan Ginggi ini.
“Engkau membingungkan aku. Sikapmu dan posisimu, ada di manakah sebenarnya?” gumam pemuda itu seraya tetap memegangi dadanya yang mungkin dirasakan amat sakit.
“Mengapa engkau merasa bingung hanya karena aku tak mau membunuh Raja? Yang harus dibuat pikir, malah orang yang ingin membunuh sesama. Aku pernah dengar ucapan Ki Rangga Guna, murid Ki Darma, bahwa bukan kita yang menghidupkan makhluk di dunia, maka kita pun tak berhak membunuhnya,” kata Ginggi.
Nampak Purbajaya mengatupkan mata. “Aku malu padanya…aku malu pada Ki Rangga Guna…” ucapnya.
“Engkau sudah mengenalinya?” Ginggi heran menatap wajah pemuda itu yang kini kian memucat.
“Ya…aku kenal dia…aku kenal dia…!” gumam pemuda itu semakin payah berbicara.
“Raden!…Raden!…” Ginggi mengguncang-guncang tubuh pemuda itu.
“Ginggi…terima kasih!” gumam pemuda itu lagi.
Serasa dingin tengkuk Ginggi mendengar gumaman pemuda itu. Ginggi menganggap kesadaran Purbajaya telah mulai menurun. Ginggi berduka dan selalu penuh sesal, sekaligus juga merasa berdosa. Dia tahu, sebenarnya kepandaian pemuda ini tidak terlalu tinggi. Namun karena Ginggi merasa kaget melihat Purbajaya menyerang dan hendak membunuh Raja secara tiba-tiba, maka serentak Ginggi pun menolak serangan pemuda itu dengan kekuatan penuh. Akibatnya, tenaga dalam pemuda itu menghantam dirinya sendiri. Ginggi tahu, luka dalam pemuda ini amat parah dan sulit ditolong. Ini semua gara-gara dia. Kalau pemuda itu tewas, Ginggi berdosa.
“Ginggi…terima kasih…engkau berjasa… engkau berjasa…” gumam pemuda itu datar dan dingin.
“Raden, sadarlah! Sadarlah!” Ginggi mengguncang-guncang tubuh pemuda itu.
“Bila tak kau cegah, maka aku akan melakukan pembunuhan. Padahal dalam agamaku, membunuh karena benci adalah dosa…Apalagi…apalagi rencana pembunuhan itu hanya karena dasar cemburu…” gumam pemuda itu.
Ginggi mengerutkan dahi. Tidak. Pemuda ini masih memiliki kesadaran. Tapi mengapa kata-katanya begitu aneh?
“Engkau mau membunuh Raja karena cemburu?”
“Aku sakit hati…Raja begitu berkuasa untuk mengambil dan menolak cinta…Nyimas Banyak Inten, dia hancurkan hidupnya. Begitu gampangnya Raja menyuruh gadis itu masuk mandala…” ujar Purbajaya memejamkan mata dan terengah-engah.
Tubuh Purbajaya semakin melemah, begitu pun detak jantungnya.
“Raden!… Raden!…”
“Ginggi… Kau pergilah kemandala, temui Nyimas Banyak Inten…Katakan padanya…katakan padanya…”
“Raden, apa yang harus aku katakan?”
Mulut Purbajaya berkomat-kamit. Dia masih ingin berbicara tapi gerakan mulutnya sudah amat sulit. Ginggi mencoba mendekatkan telinganya ke bibir pemuda itu.
“Katakan padanya…aku…aku mencintainya…Allohu Akbar…”
Ginggi tersentak karena terkejut. Terkejut oleh kematian pemuda itu dan terkejut karena ucapan terakhirnya. Purbajaya mengucapkan sebuah kalimat yang Ginggi kenal sebagai kalimat suci yang biasa diserukan pemeluk agama baru. Ginggi sedikit tergoncang jiwanya. Purbajaya yang dalam kesehariannya tidak terlalu menonjol, kurang banyak mengemukakan pendapat dan selalu bicara apa adanya, ternyata banyak memendam rahasia. Dia mengenal Ki Rangga Guna, dia pemeluk agama baru dia…mencintai Nyimas Banyak Inten. Hanya karena cintanya pada gadis itu dia nekad akan membunuh Raja. Pantas saja pemuda itu seperti mendorongnya untuk melaksanakan perintah Ki Banaspati. Dan ketika ternyata Ginggi tidak melakukan apa-apa pada kesempatan paling baik, Purbajaya hendak turun tangan sendiri untuk membunuh Raja.
“Ah…malang sekali nasibmu, Raden…” keluh Ginggi seorang diri.
Pemuda itu harus menunggu malam tiba untuk menyampaikan amanat Purbajaya. Mandala adalah sebuah asrama tempat pendeta wanita berkumpul. Kata Purbajaya, Nyimas Banyak Inten ada di sana dan Sang Prabulah yang memerintahkan gadis itu untuk menjadi seorang pendeta yang kerjanya mempelajari ilmu-ilmu yang jauh dari urusan duniawi. Kata Purbajaya, Sang Prabu bersalah menyuruh Nyimas Banyak Inten memasuki mandala. Raja sudah menjauhkan harapan-harapan hidup gadis itu hanya karena kecewa melihat peristiwa aib yang menimpa gadis itu.
Purbajaya marah menerima kebijaksanaan Sang Prabu. Barangkali pemuda itu menginginkan, seandainya Raja batal mempersunting Nyimas Banyak Inten, maka tak perlulah mengirim gadis itu kemandala. Purbajaya diam-diam mencintai gadis itu. Sekarang dengan masuknya Nyimas Banyak Inten ke pusat para pendeta, artinya sudah tertutup harapan untuk mendekatinya. Itulah pangkal kemarahan Purbajaya sehingga akhirnya nekat hendak membunuh Raja. Ginggi amat berduka mengingatnya. Cinta memang membutakan segalanya. Cinta juga membuat hati menjadi duka. Paling tidak sekarang ini yang tengah dirasakan Ginggi.
“Kalau engkau masih hidup, mungkin engkau akan kaget, sebab aku sendiri pun mencintai Nyimas Banyak Inten…” keluh Ginggi sambil menatap wajah pucat-pasi Purbajaya yang sudah tak bergerak itu.
Ketika malam sudah tiba, Ginggi merawat dan membenahi tubuh Purbajaya, membaringkannya di sudut ruangan. Sesudah itu, dengan berindap-indap pemuda itu keluar dari ruangan bercungkup. Ginggi harus begitu hati-hati, sebab ternyata di beberapa tempat didapati kelompok-kelompok prajurit dan nampaknya mereka tengah melakukan pencarian.
Dirinyakah yang mereka cari? Mungkin hanya dirinya, mungkin juga lebih banyak lagi. Sang Prabu pasti sudah mengetahui, bahwa dengan kejadian di paseban berarti sudah ada unsur-unsur yang melawan Raja di kalangan istana. Ginggi khawatir, bagaimana dengan nasib Pangeran Yogascitra? Karena tindakan Purbajaya, Pangeran itu pasti dituduh ikut terlibat. Kalau Raja demikian marah dengan peristiwa siang tadi, ada kemungkinan Pangeran Yogascitra ditangkap pemerintah. Memikirkan hal ini, Ginggi menjadi amat berduka. Kemelut di Pakuan ini semakin menjlimet dan terus memanjang. Pangeran Yogascitra mungkin benar terlibat mungkin tidak. Tapi kemarahan Sang Prabu terhadap pangeran tua itu pasti terjadi karena perkara Purbajaya dan perkara dirinya. Tadi sudah dia saksikan, Sang Prabu tak mau memaafkan Ki Darma yang dianggapnya membuat keresahan dan menurunkan wibawa Raja karena kritik-kritiknya.
Dengan demikian sikap Sang Prabu juga jelas, akan menganggap kepada setiap yang memiliki hubungan dengan Ki Darma adalah orang yang harus diburu. Ginggi harus meloncat ke atas wuwungan dan berjalan di atap sebab bila melakukan perjalanan biasa, akan amat mudah berpapasan dengan pasukan penjaga. Untung sekali bulan tertutup awan. Cahaya bulan, hanya akan muncul sebentar lagi. Ginggi yakin karena awan di langit begitu tebal.
Ginggi sudah tahu di mana letak paseban. Tempat itu agak terpencil, yaitu agak diujung setelah bale watangan (ruang peradilan) dan bale tulis (ruang administrasi). Mandala atau ruangan dan bangunan tempat berkumpulnya para wiku wanita terpaut jauh agak terpencil, mungkin untuk mendapatkan suasana tenang.
Ginggi harus berlari mengunakan ilmumencek-mesat, sebuah ilmu berlari cepat yang diberikan Ki Darma untuk mencapai bangunan mandala dengan cepat. Ini karena bangunan itu terpisah oleh lapangan yang cukup terbuka. Mencek-mesat adalah ilmu lari yang dilakukan dengan pengarahan tenaga dalam. Langkah kaki saking cepatnya seperti putaran roda dan hampir-hampir tak menapak tanah saking cepatnya. Bila dilihat oleh mata orang awam, gerakan berlari tak mungkin terikuti, kecuali hanya menyerupai sebuah bayangan melesat saja.
Ginggi langsung saja memasuki pintu yang selamanya selalu terbuka sebab tak ada sesuatu yang dirahasiakan di sana. Hanya bedanya, ke mandala tak boleh sembarangan masuk, apalagi kaum lelaki. Penghuni mandala semuanya wanita semata, yaitu wanita yang sudah benar-benar ingin meninggalkan kehidupan duniawi.
Tapi, benarkah demikian yang dikehendaki Nyimas Banyak Inten? Ginggi berduka mengingatnya. Bagi gadis itu, sebenarnya masih banyak rencana hidup yang musti dia jalani. Mengapa Sang Prabu begitu kejam memasukkan gadis itu kemandala ? Ini pula yang jadi kemarahan Purbajaya sehingga akhirnya nekat berusaha membunuh Raja.
Semua penghuni asrama pendeta wanita itu terkejut setengah mati. Mereka semua tak memiliki kepandaian khusus, sehingga tidak sanggup merasakan kehadiran Ginggi jauh sebelumnya. Hanya tiba-tiba saja mereka melihat seorang pemuda berdiri di sana, persis seperti kehadiran makhluk gaib saja.
“Jangan kaget dan panik, saya tidak akan berbuat jahat. Saya hanya ingin menemui Nyimas Banyak Inten…” kata Ginggi pelan dan sopan agar penghuni asrama tidak merasa ketakutan.
“Aku sendirilah Banyak Inten…” gumam seseorang berkerudung putih.
Semua penghuni memang menggunakan pakaian putih. Beberapa di antaranya kepalanya dikerudung sehingga wajahnya sulit dikenal. Kerongkongan Ginggi seperti tersekat karena kesedihan yang sangat. Betapa tidak, sebenarnya dia amat mencintai gadis itu. Tapi putri Bangsawan Yogascitra yang dulu anggun, cantik jelita dengan sorot mata berbinar dan senyum kecil berlesung pipit, sekarang seperti hilang lenyap.
Kehalusan kulit wajahnya masih terlihat nyata, namun warna putihnya begitu pucat. Sorot matanya sayu dan sepasang pipinya tak ranum lagi. Nyimas Banyak Inten begitu kurus tak bercahaya. Hanya dalam jangka waktu satu bulan saja segalanya berubah banyak. Wajah gadis itu seperti maju belasan tahun. Nyimas, nasibmu benar-benar malang, keluh Ginggi dalam hatinya.
“Sebetulnya amat tabu kaum lelaki memasuki asrama pendeta wanita. Tapi engkau seperti memendam satu keperluan amat penting. Paling tidak untuk kepentingan bagimu sendiri. Bicaralah seperlunya, barangkali para pendeta yang ada di sini tak keberatan mendengarnya,” kata Nyimas Banyak Inten dengan suara halus.
Ginggi melirik ke kiri dan kanan, di sana ada belasan wanita yang kebanyakan usianya di atas Nyimas Banyak Inten. Namun nampak sekali ada rasa hormat kepada gadis itu.
“Nyimas, saya tak bisa mengemukakan keperluan saya di hadapan banyak orang,” Ginggi seperti salah tingkah.
“Semuanya orang sendiri dan tak ada sesuatu yang harus dirahasiakan di sini…” sahut gadis itu masih dengan suara halus.
Ginggi menghela napas. “Baiklah kalau begitu…” gumam Ginggi. “Ada berita sedih, Raden Purbajaya telah tewas…” kata Ginggi.
Gadis itu membelalakkan matanya sejenak, kemudian mengatupkannya. Sambil menunduk dia merapatkan kedua tangannya dan mulutnya komat-kamit, berdoa. Nampak semua pendeta lain pun ikut berdoa.
“Dia sahabat saya dan pengawal saya ketika masih di luar mandala, Tak disangka, dialah yang lebih dahulu membebaskan diri dari kesengsaraan dunia…” gadis itu masih merangkapkan sepasang tangannya yang halus.
“Nyimas…ada amanatnya sebelum dia menghembuskan napasnya yang terakhir,” kata Ginggi.
Nyimas Banyak Inten membuka matanya.
“Cintanya hanya untukmu…” lanjut Ginggi.
Gadis itu masih menatap Ginggi tapi sorot matanya semakin sayu.
“Adalah anugerah semua manusia diberkati cinta. Tapi mari kita kembalikan rasa cinta itu kepada yang memberiNya agar rasa cinta tak membuat nestapa,” kata Nyimas Banyak Inten kembali merangkapkan sepasang tangannya.
Ginggi menatap tindak-tanduk gadis itu dengan perasaan tidak menentu. Ada perasaan sendu dalam hatinya dan terasa pahit serta pedih.
“Kau kembalilah, Ginggi. Kami semua akan berdoa agar arwah Kakanda Raden Purbajaya mendapatkan kesentausaan di alam sana…” gumam gadis itu.
Ginggi tetap berdiri mematung. Ribuan kata akan dia serahkan kepada gadis itu. Tapi lidahnya mendadak kelu dan kerongkongannya seperti tersumbat. Semua maksud hatinya serasa terbendung oleh sikap gadis itu yang berubah drastis. Kembali Nyimas Banyak Inten menyuruh Ginggi meninggalkan asrama, tapi Ginggi masih berdiri mematung sambil tatapannya menyorot tajam pada mata gadis itu.
“Masih ada lagi yang akan engkau sampaikan, Ginggi?” tanya Nyimas Banyak Inten.
“Saya …mencintaimu!” kata Ginggi pendek.
Gadis itu sedikit membelalakkan matanya, namun kemudian menunduk dan tersenyum kecut.
“Ini nasibku. Tapi juga anugerah. Dari mulai raja, para ksatria sampai badega (jongos) berkata cinta padaku. Ginggi, mari kita sama-sama memuji syukur kepada keagungan Sang Rumuhun Hyang penguasa jagat raya, bahwa semua orang diberi perasaan cintanya. Kuterima cintamu sebagaimana aku mencintai dan dicintai oleh semua pendeta di sini. Hidup manusia memang harus saling kasih-mengasihi jauh dari perasaan iri dan dengki…” Nyimas Banyak Inten merangkapkan kedua belah telapak tangannya dan berdoa komat-kamit.
Ginggi ingat pepatah ini. Maka pada kesempatan inilah teori Ki Darma akan dilaksanakan. Jadi, ketika beberapa pengawal menghambur ke depan, Ginggi bukan melayaninya, melainkan meloncat tinggi, bersalto beberapa kali melewati kepala-kepala mereka. Rupanya semua orang tak menduga kenekatan Ginggi, sehingga nampaknya para perwira lebih nampak kaget ketimbang melakukan satu tindakan. Bagaimana tak kaget, sebab Ginggi yang jungkir balik beberapa kali itu, tubuhnya bergerak ke arah di mana Sang Raja berdiri. Sebelum semua orang sadar apa yang terjadi, Ginggi sudah berdiri tepat di belakang Sang Prabu. Tangan kiri Ginggi mencengkram pakaian di bagian pundak Sang Prabu, sedangkan tangan kanan siap menghantam batok kepala penguasa Pakuan itu.
“Semua berhenti bila tak ingin keselamatan Raja terancam!” teriak Ginggi.
Tindakan ini mungkin keterlaluan, tapi inilah satu-satunya cara agar dia terlindungi. Semua perwira kini berdiri seperti patung, tak terkecuali delapan orang perwira yang sejak tadi hanya duduk bersila dengan wajah tegang. Dalam suasana seperti ini mata Ginggi terkuak lebar dan bisa mengenal semua orang. Mana yang berfihak kepada Sang Prabu Ratu Sakti dan mana yang sudah berpaling, nampak jelas kelihatan. Duabelas perwira nampak berdiri dengan sikap siaga, tubuh menggigil menahan kemarahan dan mata melotot serta gigi berkerot. Namun yang lainnya hanya berlaku siaga saja tapi tidak menampakkan mimik tertentu. Pangeran Yogascitra nampak berwajah pucat. Sambil berdiri dengan tubuh bergetar dia berseru agar Ginggi tak melakukan tindakan seperti itu.
“Ginggi, apa pun yang dilakukan Ki Darma, sebenarnya dia orang yang amat menghargai Raja dan tak pernah berniat mencelakakan Raja. Lepaskan Sang Prabu! Jangan kotori perjuangan Ki Darma dengan perbuatan tercela seperti itu!” teriak Pangeran Yogascitra.
Ginggi tersentak mendengar ucapan ini. Pangeran Yogascitra memang amat mengingatkannya, bahwa selama Ki Darma berbicara perihal rasa kecewanya, tidak secuil pun dia mengakui membenci Raja, apalagi memerintahkannya untuk mencelakai Raja. Ki Darma tak menyuruhnya melakukan pemberontakan atau menyingkirkan Raja, jadi kalau sekarang dia bertindak kasar terhadap Raja, akan dianggap keterlaluan dan tidak sesuai dengan keinginan Ki Darma. Ingat ini, Ginggi segera akan melepaskannya. Namun sebelum dirinya pergi menjauh dari tempat di mana Raja berdiri, Ginggi dengan kaget melihat gerakan yang dilakukan Purbajaya secara tiba-tiba.
“Jangan lepaskan dia!” teriak Purbajaya sambil meloncat ke depan.
Sepasang kaki Purbajaya terpentang lebar dan kedua belah tangan diayun ke depan. Ginggi berteriak kaget sebab pemuda itu menghunjam pukulan jarak jauh yang dikerahkan dengan kekuatan penuh. Serangan itu diarahkan ke dada Sang Prabu dan jelas-jelas tujuannya hendak membunuh Raja. Ginggi mendorong tubuh Sang Prabu ke samping sehingga jatuh terjerembab.
“Hiaaattt!!!” teriak Ginggi mengerahkan tenaga dalam dan sepasang telapak tangannya dibuka lebar menahan serbuan Purbajaya.
Terdengar suara benturan keras. Purbajaya menjerit ngeri dan tubuhnya terpental ke belakang. Dia berguling-guling beberapa kali dan akhirnya telentang dengan mulut penuh darah segar. Ginggi pucat wajahnya sebab ini sesuatu yang di luar dugaannya. Namun pemuda itu tak boleh tinggal berlama-lama di sana, sebab Sang Prabu sudah bebas dari kungkungannya. Maka sebelum bahaya mengancam, dia segera meloncat amat cepatnya. Tubuh Purbajaya dia buru, kemudian diangkat dan dipanggulnya di bahu kirinya.
Ginggi meloncat beberapa kali dan berlari menjauhi tempat itu. Tidak ada yang melakukan pengejaran. Ini karena di halaman paseban sebenarnya telah terjadi pula pertempuran kecil. Ginggi bisa menduga, pertempuran terjadi antara para perwira yang setia terhadap Raja dan perwira-perwira yang sudah membelot. Para pembelot mungkin melakukan tindakan untuk mencegah Ginggi melarikan diri, atau untuk menyelamatkan Purbajaya. Atau, entah apalah, sebab pemuda itu masih menduga-duga, apakah para pembelot itu anak buah Ki Banaspati ataukah teman-teman Purbajaya.
“Masuk… masuk ke bangunan itu…!” perintah Purbajaya di antara erang kesakitannya.
Ginggi memasuki sebuah bangunan seperti tempat orang memuja. Ketika sudah berada di dalam hanya mendapatkan sebuah batu bertulis. Ada huruf palawa berjumlah sembilan baris. Ketika Ginggi membacanya, itu merupakan sebuah peringatan atau kenang-kenangan perihal kebesaran Sri Baduga Maharaja, ditulis oleh putranya Sang Prabu Surawisesa pada tahun 1533 atau delapan belas tahu lalu sebelum hari ini. Batu bertulis ini disimpan di sebuah bangunan tertutup dan bercungkup. Banyak bunga dan wewangian bertebaran di sekitar batu bertulis itu. Menandakan bahwa tempat ini kerapkali dikunjungi tapi oleh orang-orang tertentu saja, mengingat tempat ini demikian tertutupnya.
“Turunkan aku,” keluh Purbajaya.
Ginggi menurunkan tubuh pemuda itu. Dibaringkan di lantai tanah secara terlentang dan diurut-urut dadanya. Namun pemuda itu menolaknya.
“Biarkan aku mati…” gumam pemuda itu.
“Jangan mati. Kalau engkau mati, aku akan amat berdosa, Raden…” kata Ginggi khawatir dan penuh sesal.
“Biarkan aku mati…Hidupku tak berharga,” keluh pemuda itu menyeka sisa darah di ujung bibirnya.
“Raden… mengapa engkau hendak membunuh Sang Prabu?” tanya Ginggi penasaran.
“Karena engkau tidak jadi membunuhnya!”
“Aku memang tak berniat membunuh Raja!”
“Raja sepatutnya dibunuh!”
“Mengapa?”
“Banyak dosa-dosanya. Bagi rakyat Pajajaran, Raja dianggap telah melanggar aturan moral. Dia selalu memaksakan kehendaknya untuk mengawini wanita larangan. Kau akan berjasa bila bisa membunuh Raja…” kata Purbajaya sambil menahan rasa sakitnya.
Aku akan berjasa membunuh Raja yang berdosa melanggar aturan moral? Mengapa aku harus menghukum seseorang yang padahal aku sendiri pun sama pernah bersalah dan sama pernah melanggar aturan moral, pikir Ginggi tak mengerti akan ucapan Purbajaya
“Tidak! Aku tidak akan punya jasa apa-apa hanya karena membunuh Raja. Aku bahkan akan semakin berdosa!” kata Ginggi lantang.
Wajah Purbajaya nampak murung mendengar ucapan Ginggi ini.
“Engkau membingungkan aku. Sikapmu dan posisimu, ada di manakah sebenarnya?” gumam pemuda itu seraya tetap memegangi dadanya yang mungkin dirasakan amat sakit.
“Mengapa engkau merasa bingung hanya karena aku tak mau membunuh Raja? Yang harus dibuat pikir, malah orang yang ingin membunuh sesama. Aku pernah dengar ucapan Ki Rangga Guna, murid Ki Darma, bahwa bukan kita yang menghidupkan makhluk di dunia, maka kita pun tak berhak membunuhnya,” kata Ginggi.
Nampak Purbajaya mengatupkan mata. “Aku malu padanya…aku malu pada Ki Rangga Guna…” ucapnya.
“Engkau sudah mengenalinya?” Ginggi heran menatap wajah pemuda itu yang kini kian memucat.
“Ya…aku kenal dia…aku kenal dia…!” gumam pemuda itu semakin payah berbicara.
“Raden!…Raden!…” Ginggi mengguncang-guncang tubuh pemuda itu.
“Ginggi…terima kasih!” gumam pemuda itu lagi.
Serasa dingin tengkuk Ginggi mendengar gumaman pemuda itu. Ginggi menganggap kesadaran Purbajaya telah mulai menurun. Ginggi berduka dan selalu penuh sesal, sekaligus juga merasa berdosa. Dia tahu, sebenarnya kepandaian pemuda ini tidak terlalu tinggi. Namun karena Ginggi merasa kaget melihat Purbajaya menyerang dan hendak membunuh Raja secara tiba-tiba, maka serentak Ginggi pun menolak serangan pemuda itu dengan kekuatan penuh. Akibatnya, tenaga dalam pemuda itu menghantam dirinya sendiri. Ginggi tahu, luka dalam pemuda ini amat parah dan sulit ditolong. Ini semua gara-gara dia. Kalau pemuda itu tewas, Ginggi berdosa.
“Ginggi…terima kasih…engkau berjasa… engkau berjasa…” gumam pemuda itu datar dan dingin.
“Raden, sadarlah! Sadarlah!” Ginggi mengguncang-guncang tubuh pemuda itu.
“Bila tak kau cegah, maka aku akan melakukan pembunuhan. Padahal dalam agamaku, membunuh karena benci adalah dosa…Apalagi…apalagi rencana pembunuhan itu hanya karena dasar cemburu…” gumam pemuda itu.
Ginggi mengerutkan dahi. Tidak. Pemuda ini masih memiliki kesadaran. Tapi mengapa kata-katanya begitu aneh?
“Engkau mau membunuh Raja karena cemburu?”
“Aku sakit hati…Raja begitu berkuasa untuk mengambil dan menolak cinta…Nyimas Banyak Inten, dia hancurkan hidupnya. Begitu gampangnya Raja menyuruh gadis itu masuk mandala…” ujar Purbajaya memejamkan mata dan terengah-engah.
Tubuh Purbajaya semakin melemah, begitu pun detak jantungnya.
“Raden!… Raden!…”
“Ginggi… Kau pergilah kemandala, temui Nyimas Banyak Inten…Katakan padanya…katakan padanya…”
“Raden, apa yang harus aku katakan?”
Mulut Purbajaya berkomat-kamit. Dia masih ingin berbicara tapi gerakan mulutnya sudah amat sulit. Ginggi mencoba mendekatkan telinganya ke bibir pemuda itu.
“Katakan padanya…aku…aku mencintainya…Allohu Akbar…”
Ginggi tersentak karena terkejut. Terkejut oleh kematian pemuda itu dan terkejut karena ucapan terakhirnya. Purbajaya mengucapkan sebuah kalimat yang Ginggi kenal sebagai kalimat suci yang biasa diserukan pemeluk agama baru. Ginggi sedikit tergoncang jiwanya. Purbajaya yang dalam kesehariannya tidak terlalu menonjol, kurang banyak mengemukakan pendapat dan selalu bicara apa adanya, ternyata banyak memendam rahasia. Dia mengenal Ki Rangga Guna, dia pemeluk agama baru dia…mencintai Nyimas Banyak Inten. Hanya karena cintanya pada gadis itu dia nekad akan membunuh Raja. Pantas saja pemuda itu seperti mendorongnya untuk melaksanakan perintah Ki Banaspati. Dan ketika ternyata Ginggi tidak melakukan apa-apa pada kesempatan paling baik, Purbajaya hendak turun tangan sendiri untuk membunuh Raja.
“Ah…malang sekali nasibmu, Raden…” keluh Ginggi seorang diri.
Pemuda itu harus menunggu malam tiba untuk menyampaikan amanat Purbajaya. Mandala adalah sebuah asrama tempat pendeta wanita berkumpul. Kata Purbajaya, Nyimas Banyak Inten ada di sana dan Sang Prabulah yang memerintahkan gadis itu untuk menjadi seorang pendeta yang kerjanya mempelajari ilmu-ilmu yang jauh dari urusan duniawi. Kata Purbajaya, Sang Prabu bersalah menyuruh Nyimas Banyak Inten memasuki mandala. Raja sudah menjauhkan harapan-harapan hidup gadis itu hanya karena kecewa melihat peristiwa aib yang menimpa gadis itu.
Purbajaya marah menerima kebijaksanaan Sang Prabu. Barangkali pemuda itu menginginkan, seandainya Raja batal mempersunting Nyimas Banyak Inten, maka tak perlulah mengirim gadis itu kemandala. Purbajaya diam-diam mencintai gadis itu. Sekarang dengan masuknya Nyimas Banyak Inten ke pusat para pendeta, artinya sudah tertutup harapan untuk mendekatinya. Itulah pangkal kemarahan Purbajaya sehingga akhirnya nekat hendak membunuh Raja. Ginggi amat berduka mengingatnya. Cinta memang membutakan segalanya. Cinta juga membuat hati menjadi duka. Paling tidak sekarang ini yang tengah dirasakan Ginggi.
“Kalau engkau masih hidup, mungkin engkau akan kaget, sebab aku sendiri pun mencintai Nyimas Banyak Inten…” keluh Ginggi sambil menatap wajah pucat-pasi Purbajaya yang sudah tak bergerak itu.
Ketika malam sudah tiba, Ginggi merawat dan membenahi tubuh Purbajaya, membaringkannya di sudut ruangan. Sesudah itu, dengan berindap-indap pemuda itu keluar dari ruangan bercungkup. Ginggi harus begitu hati-hati, sebab ternyata di beberapa tempat didapati kelompok-kelompok prajurit dan nampaknya mereka tengah melakukan pencarian.
Dirinyakah yang mereka cari? Mungkin hanya dirinya, mungkin juga lebih banyak lagi. Sang Prabu pasti sudah mengetahui, bahwa dengan kejadian di paseban berarti sudah ada unsur-unsur yang melawan Raja di kalangan istana. Ginggi khawatir, bagaimana dengan nasib Pangeran Yogascitra? Karena tindakan Purbajaya, Pangeran itu pasti dituduh ikut terlibat. Kalau Raja demikian marah dengan peristiwa siang tadi, ada kemungkinan Pangeran Yogascitra ditangkap pemerintah. Memikirkan hal ini, Ginggi menjadi amat berduka. Kemelut di Pakuan ini semakin menjlimet dan terus memanjang. Pangeran Yogascitra mungkin benar terlibat mungkin tidak. Tapi kemarahan Sang Prabu terhadap pangeran tua itu pasti terjadi karena perkara Purbajaya dan perkara dirinya. Tadi sudah dia saksikan, Sang Prabu tak mau memaafkan Ki Darma yang dianggapnya membuat keresahan dan menurunkan wibawa Raja karena kritik-kritiknya.
Dengan demikian sikap Sang Prabu juga jelas, akan menganggap kepada setiap yang memiliki hubungan dengan Ki Darma adalah orang yang harus diburu. Ginggi harus meloncat ke atas wuwungan dan berjalan di atap sebab bila melakukan perjalanan biasa, akan amat mudah berpapasan dengan pasukan penjaga. Untung sekali bulan tertutup awan. Cahaya bulan, hanya akan muncul sebentar lagi. Ginggi yakin karena awan di langit begitu tebal.
Ginggi sudah tahu di mana letak paseban. Tempat itu agak terpencil, yaitu agak diujung setelah bale watangan (ruang peradilan) dan bale tulis (ruang administrasi). Mandala atau ruangan dan bangunan tempat berkumpulnya para wiku wanita terpaut jauh agak terpencil, mungkin untuk mendapatkan suasana tenang.
Ginggi harus berlari mengunakan ilmumencek-mesat, sebuah ilmu berlari cepat yang diberikan Ki Darma untuk mencapai bangunan mandala dengan cepat. Ini karena bangunan itu terpisah oleh lapangan yang cukup terbuka. Mencek-mesat adalah ilmu lari yang dilakukan dengan pengarahan tenaga dalam. Langkah kaki saking cepatnya seperti putaran roda dan hampir-hampir tak menapak tanah saking cepatnya. Bila dilihat oleh mata orang awam, gerakan berlari tak mungkin terikuti, kecuali hanya menyerupai sebuah bayangan melesat saja.
Ginggi langsung saja memasuki pintu yang selamanya selalu terbuka sebab tak ada sesuatu yang dirahasiakan di sana. Hanya bedanya, ke mandala tak boleh sembarangan masuk, apalagi kaum lelaki. Penghuni mandala semuanya wanita semata, yaitu wanita yang sudah benar-benar ingin meninggalkan kehidupan duniawi.
Tapi, benarkah demikian yang dikehendaki Nyimas Banyak Inten? Ginggi berduka mengingatnya. Bagi gadis itu, sebenarnya masih banyak rencana hidup yang musti dia jalani. Mengapa Sang Prabu begitu kejam memasukkan gadis itu kemandala ? Ini pula yang jadi kemarahan Purbajaya sehingga akhirnya nekat berusaha membunuh Raja.
Semua penghuni asrama pendeta wanita itu terkejut setengah mati. Mereka semua tak memiliki kepandaian khusus, sehingga tidak sanggup merasakan kehadiran Ginggi jauh sebelumnya. Hanya tiba-tiba saja mereka melihat seorang pemuda berdiri di sana, persis seperti kehadiran makhluk gaib saja.
“Jangan kaget dan panik, saya tidak akan berbuat jahat. Saya hanya ingin menemui Nyimas Banyak Inten…” kata Ginggi pelan dan sopan agar penghuni asrama tidak merasa ketakutan.
“Aku sendirilah Banyak Inten…” gumam seseorang berkerudung putih.
Semua penghuni memang menggunakan pakaian putih. Beberapa di antaranya kepalanya dikerudung sehingga wajahnya sulit dikenal. Kerongkongan Ginggi seperti tersekat karena kesedihan yang sangat. Betapa tidak, sebenarnya dia amat mencintai gadis itu. Tapi putri Bangsawan Yogascitra yang dulu anggun, cantik jelita dengan sorot mata berbinar dan senyum kecil berlesung pipit, sekarang seperti hilang lenyap.
Kehalusan kulit wajahnya masih terlihat nyata, namun warna putihnya begitu pucat. Sorot matanya sayu dan sepasang pipinya tak ranum lagi. Nyimas Banyak Inten begitu kurus tak bercahaya. Hanya dalam jangka waktu satu bulan saja segalanya berubah banyak. Wajah gadis itu seperti maju belasan tahun. Nyimas, nasibmu benar-benar malang, keluh Ginggi dalam hatinya.
“Sebetulnya amat tabu kaum lelaki memasuki asrama pendeta wanita. Tapi engkau seperti memendam satu keperluan amat penting. Paling tidak untuk kepentingan bagimu sendiri. Bicaralah seperlunya, barangkali para pendeta yang ada di sini tak keberatan mendengarnya,” kata Nyimas Banyak Inten dengan suara halus.
Ginggi melirik ke kiri dan kanan, di sana ada belasan wanita yang kebanyakan usianya di atas Nyimas Banyak Inten. Namun nampak sekali ada rasa hormat kepada gadis itu.
“Nyimas, saya tak bisa mengemukakan keperluan saya di hadapan banyak orang,” Ginggi seperti salah tingkah.
“Semuanya orang sendiri dan tak ada sesuatu yang harus dirahasiakan di sini…” sahut gadis itu masih dengan suara halus.
Ginggi menghela napas. “Baiklah kalau begitu…” gumam Ginggi. “Ada berita sedih, Raden Purbajaya telah tewas…” kata Ginggi.
Gadis itu membelalakkan matanya sejenak, kemudian mengatupkannya. Sambil menunduk dia merapatkan kedua tangannya dan mulutnya komat-kamit, berdoa. Nampak semua pendeta lain pun ikut berdoa.
“Dia sahabat saya dan pengawal saya ketika masih di luar mandala, Tak disangka, dialah yang lebih dahulu membebaskan diri dari kesengsaraan dunia…” gadis itu masih merangkapkan sepasang tangannya yang halus.
“Nyimas…ada amanatnya sebelum dia menghembuskan napasnya yang terakhir,” kata Ginggi.
Nyimas Banyak Inten membuka matanya.
“Cintanya hanya untukmu…” lanjut Ginggi.
Gadis itu masih menatap Ginggi tapi sorot matanya semakin sayu.
“Adalah anugerah semua manusia diberkati cinta. Tapi mari kita kembalikan rasa cinta itu kepada yang memberiNya agar rasa cinta tak membuat nestapa,” kata Nyimas Banyak Inten kembali merangkapkan sepasang tangannya.
Ginggi menatap tindak-tanduk gadis itu dengan perasaan tidak menentu. Ada perasaan sendu dalam hatinya dan terasa pahit serta pedih.
“Kau kembalilah, Ginggi. Kami semua akan berdoa agar arwah Kakanda Raden Purbajaya mendapatkan kesentausaan di alam sana…” gumam gadis itu.
Ginggi tetap berdiri mematung. Ribuan kata akan dia serahkan kepada gadis itu. Tapi lidahnya mendadak kelu dan kerongkongannya seperti tersumbat. Semua maksud hatinya serasa terbendung oleh sikap gadis itu yang berubah drastis. Kembali Nyimas Banyak Inten menyuruh Ginggi meninggalkan asrama, tapi Ginggi masih berdiri mematung sambil tatapannya menyorot tajam pada mata gadis itu.
“Masih ada lagi yang akan engkau sampaikan, Ginggi?” tanya Nyimas Banyak Inten.
“Saya …mencintaimu!” kata Ginggi pendek.
Gadis itu sedikit membelalakkan matanya, namun kemudian menunduk dan tersenyum kecut.
“Ini nasibku. Tapi juga anugerah. Dari mulai raja, para ksatria sampai badega (jongos) berkata cinta padaku. Ginggi, mari kita sama-sama memuji syukur kepada keagungan Sang Rumuhun Hyang penguasa jagat raya, bahwa semua orang diberi perasaan cintanya. Kuterima cintamu sebagaimana aku mencintai dan dicintai oleh semua pendeta di sini. Hidup manusia memang harus saling kasih-mengasihi jauh dari perasaan iri dan dengki…” Nyimas Banyak Inten merangkapkan kedua belah telapak tangannya dan berdoa komat-kamit.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment