Ads

Friday, December 3, 2021

Kidung Senja Jatuh di Pajajaran 041

“Tidak semua orang membenci Ki Darma. Sebagian besar anggota Seribu Pengawal Raja bahkan tidak merasakan bahwa Ki Darma memiliki kesalahan. Sekurang-kurangnya itu yang aku dengar di kalangan para perwira. Tapi Sang Prabu kurang gemar menerima kritik. Dia terlanjur dinina-bobokan oleh pembantu-pembantunya yang penjilat. Karena hasutan-hasutan merekalah maka Raja memutuskan Ki Darma harus diperlakukan sebagai pengkhianat, sehingga diburu dan dikejar,” kata Purbajaya.

“Betulkah sekitar dua tahun lalu ada pengejaran ke Puncak Cakrabuana?”

“Betul. Itu karena ada khabar yang sampai ke telinga Sang Prabu bahwa Ki Darma bersembunyi di sana. Raja semakin yakin bahwa Ki Darma berlaku sebagai pengkhianat setelah dia berada di Cakrabuana,” kata Purbajaya.

“Mengapa begitu?” tanya Ginggi heran.

“Raja tahu, di Cakrabuana tersimpan sebuah tombak pusaka bernama Cuntang Barang.”

Ginggi mengernyitkan dahinya, “Saya tak mengerti. Cobalah terangkan lebih rinci,” pinta Ginggi.

Dan kemudian Purbajaya menerangkan, bahwa dulu puluhan taun silam seorang bangsawan dari Karatuan Talaga bernama Pangeran Aria Saringsingan memiliki benda pusaka sebuah tombak dan diberi nama Cuntang Barang. Tapi pada tahun 1530 Karatuaan Talaga diserbu Cirebon, sehingga takluk dan mentaati keinginan pihak penyerbu agar beralih agama. Banyak pusaka Karatuan Talaga diboyong ke Cirebon, tapi beberapa di antaranya berhasil dilarikan para perwira yang tidak mau takluk pada agama baru. Salah seorang perwira Karatuan Talaga yaitu Dita Jayarasa berhasil membawa kabur tombak Cuntang Barang yang khabarnya disembunyikan di Puncak Cakrabuana. Semua orang pernah mencarinya, termasuk Pasukan Cirebon, tapi tidak siapa pun bisa menemukannya. Baik Perwira Dita Jayarasa mau pun tombak pusaka, sepertinya hilang ditelan bumi.

“Semua pihak merasa perlu memiliki benda pusaka itu. Cirebon memerlukanya sebagai tanda Talaga resmi berada di bawah kekuasaannya. Dan Pakuan malah merasa bahwa itu barang milik Pakuan sebagai simbol pemeluk agama lama,” kata Purbajaya.

Sang Prabu memaksakan diri mengirimkan limabelas perwira kerajaan karena menganggap Ki Darma bersembunyi di sana dengan maksud akan mencari benda pusaka itu. Namun sampai dua tahun tugas mencari Ki Darma dan benda pusaka tombak Cuntang Barang tidak berhasil dituntaskan.

“Jangankan menangkap Ki Darma atau membawa benda pusaka, bahkan kelimabelas perwira itu pun hingga kini tidak diketahui nasibnya,” ujar Purbajaya.

Selama Purbajaya berkata-kata, ingatan Ginggi malah melayang ke belakang. Sepuluh tahun lebih bersama Ki Darma, tidak sepatah-kata pun orang tua itu berbicara soal benda pusaka. Tidak pula berusaha mencarinya. Ginggi yakin, Ki Darma tidak begitu tertarik kepada berbagai benda pusaka.

“Kekuatan bukan pada benda pusaka, melainkan pada diri manusia itu sendiri,” kata Ki Darma ketika di Puncak Cakrabuana.

Hal ini dikemukakannya di sela-sela latihan bela diri. Kata Ki Darma, kita berkelahi tak perlu menggunakan senjata sebab tangan dan kaki kita sudah merupakan senjata paling hebat bila kita tahu menggunakannya.

“Lihatlah, begitu gagah terjangan sang harimau, begitu cepatnya gerakan ular mematuk. Mereka hebat, mereka berbahaya, padahal tidak dibantu benda pusaka,” kata Ki Darma ketika itu.

“Ki Darma tidak butuh benda pusaka,” gumam Ginggi.

“Pangeran Yogascitra pun pernah mengatakan demikian, dalam sepak terjangnya melawan musuh, Ki Darma tak pernah menggunakan senjata apa pun. Jadi beliau pun tak percaya Ki Darma pergi ke Puncak Cakrabuana hanya karena butuh benda pusaka. Pangeran menduga, kalau pun Ki Darma datang ke Cakrabuana karena urusan benda pusaka, bukan ingin memilikinya, melainkan akan menjaganya. Kata Pangeran Yogascitra, kendati Ki Darma tak senang menggunakan senjata, tapi dia amat menghormati kepada simbol-simbol kenegaraan. Maka Ki Darma pun pasti hormat pada barang yang bernama pusaka,” kata Purbajaya.

“Ya…sayang mengabdi kepada Raja yang buruk, sehingga benda pusaka seperti tak ada harganya…” gumam Purbajaya lagi.

Ginggi melirik pada pemuda itu, namun Purbajaya tidak melihatnya.

“Mari…” ajak Ginggi sambil bangun berdiri.

Purbajaya pun ikut berdiri sambil membenahi ikatan kainnya yang kurang mengikat ketat pinggangnya. Sambil memperbaiki ikat pinggang kain warna hitamnya, pemuda itu menatap tajam Ginggi sambil bergumam,

“Kalau kau mampu, di balai penghadapan Raja inilah kau laksanakan tugasmu itu!”

“Tugas apa?” tanya Ginggi heran.

“Membunuh Raja!”

Darah di urat-urat nadi Ginggi berdesir cepat. Bulu kuduknya pun mendadak berdiri. Benarkah Purbajaya yang barusan bicara?

“Raden…” desis Ginggi dengan mata setengah membelalak.

“Aku dengar percakapanmu dengan Ki Banaspati tadi malam,” kata Purbajaya menatap tajam Ginggi.

“Kau dengar percakapan kami?”

“Ya…tapi jangan takut!” kata Purbajaya lagi, masih menatap tajam Ginggi.

“Engkau juga bersekutu dengan Ki Banaspati?” Tanya Ginggi kemudian.

Tapi Purbajaya menggelengkan kepalanya.

Ginggi tambah heran. “Bila begitu, mengapa engkau tak tangkap aku, sebab seharusnya kau akan menuduhku berkomplot dengan Ki Banaspati,” kata Ginggi.



Tapi Purbajaya hanya tersenyum tipis. “Tak ada kepentingannya aku menangkapmu sebab aku bukan orang pemerintah,” jawab lagi pemuda itu, sehingga untuk kesekian kalinya Ginggi merasa heran.

“Hampir dua tahun ini engkau mengabdi pada Pangeran Yogascitra. Bahkan engkau pun sudah bisa keluar-masuk kadaton (istana) karena kerapkali Sang Prabu membutuhkanmu, Raden…”

Untuk kesekian kalinya Purbajaya mengelengkan kepala “Gerakan kita di Pakuan sebetulnya sama, yaitu menyelundup untuk menyingkirkan Raja, kendati motifnya mungkin berlainan,” kata pemuda itu.

Ginggi masih menatapnya.

“Tapi tak apa. Yang penting perjuangan kita sekarang sama. Maka untuk sementara kita berdua bisa bahu membahu di Pakuan ini,” kata lagi Purbajaya, “Kau dipanggil Raja dan ini kesempatan paling baik. Kalau kau melakukan tindakan membunuh Raja tidak akan begitu sulit sebab hampir separuh pengawal yang bertugas hari ini kesetiaannya sudah berpaling,” ungkap pemuda itu, “Jadi kalau kau lakukan tugas Ki Banaspati hari ini, setengah dari pengawal Raja tidak akan menghambatmu kalau pun tidak kusebut mereka malah membantumu…” kata Purbajaya lagi.

Termenung Ginggi mendengar penjelasan Purbajaya ini.

“Ketidak senangan para pejabat Pakuan kini hampir-hampir meningkat menjadi kebencian karena kekeliruan Raja. Dia tetap bertahan dengan keinginan pribadinya, yaitu akan mengawini Nyimas Layang Kingkin, yang padahal semua orang sudah menganggapnya sebagai wanita larangan,” kata Purbajaya.

“Bukankah Raja sudah tak begitu percaya pada Ki Bagus Seta?” tanya Ginggi.

“Bagi Raja, tak ada hubungannya antara cinta dan politik. Barangkali Raja tak percaya pada Ki Bagus Seta sebagai pejabat, tapi tidak sebagai mertua. Apalagi Ki Bagus Seta sebenarnya pandai dan memikat dalam kata-kata. Raja juga semakin mengukuhkan cita-citanya dalam mempersunting Nyimas Layang Kingkin setelah merasa gagal mendapatkan gadis yang dicintanya, yaitu Nyimas Banyak Inten,” kata Purbajaya.

Dan ketika mengucapkan nama gadis ini, wajahnya nampak kecut dan pahit. Ginggi masih termangu-mangu setelah menyimak apa-apa yang dikatakan pemuda itu. Dia akan berkata sesuatu, tapi sepertinya Purbajaya tahu apa yang ada di benak Ginggi. Dia memberi tanda agar Ginggi tak berkata apa pun.

“Jangan dulu tanya siapa aku sebenarnya…” kata pemuda itu.

Ginggi hanya menghela napas.

“Mari…” ajak Purbajaya, jalan di muka, Ginggi ikut di belakangnya.

Selama hampir setahun berada di Pakuan, baru kali inilah Ginggi akan berkunjung ke pusat pemerintahan. Pemuda itu akan diterima Sang Prabu di Paseban Agung atau Balai Penghadapan Raja. Itu adalah sebuah bangunan bangsal yang cukup besar dan megah. Atapnya terbuat dari kayu sirap hitam mengkilap. Lantainya juga terbuat dari papan-papan kayu jati buatan Borneo, hitam kecoklat-coklatan dan amat halus serta mengkilap juga. Di beberapa bagian sudut, atap itu ditopang tiang-tiang kayu jati gelondongan membentuk pilar berukir indah dan halus buatannya. Pilar-pilar kayu jati sebagai pengusung atap sepertinya menguasai bangunan-bangunan megah di Kadaton Pakuan ini.

Ginggi pernah mendengar bahwa Raja beserta kerabat dekatnya dan termasuk juga permesuri, para selir dan putra-putrinya, tinggal di kadaton megah bernama Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, dibangun oleh Sang Prabu Tarusbawa raja Keraajaan Sunda yang pertama (670-723 Masehi) lebih dari 800 tahun lalu. Istana ini terdiri dari bangunan megah besar berjajar sebanyak lima buah. Semuanya menghadap ke sebuah halaman luas yang ditumbuhi pohon beringin berjumlah tujuh buah. Semua bangunan istana itu atap-atapnya disangga 300 pilar kayu palem indah. Pilar-pilar paling indah digunakan untuk menyangga atap bangunan istana paling besar dan paling megah. Pilar-pilar palem yang menyangganya terbuat dari kayu gelondongan sebesar tong anggur.

Kata Purbajaya, Sang Prabu bersemayam di istana bangunan paling besar ini yang diberi nama Istana Suradipati. Tidak sembarangan orang bisa diterima di bangunan megah itu. Ginggi yang masuk ke kompleks ini dikawal empat orang prajurit dilengkapi senjata tombak di tangan kanan dan perisai baja di tangan kiri, hanya diantar ke bangunan paseban yang letaknya bersebrangan dengan istana berjajar lima itu.

Ginggi dan Purbajaya dipersilakan duduk di ruangan terbuka Paseban Agung, menghadap ke sebelah timur di mana terdapat kursi kayu berukir indah yang masih kosong penghuni.

Ginggi dan Purbajaya cukup lama menunggu. Namun pada suatu saat ada terdengar bunyi gong dipukul lambat-lambat beberapa kali. Ginggi menengok ke selatan. Bukan atap istana dengan latar belakang Puncak Gunung Salak yang tengah ia saksikan, melainkan adanya sebuah iring-iringan kecil yang baru keluar dari sebuah pintu berukir dengan warna emas itu. Ginggi berdebar, ternyata iring-iringan itu duapuluh perwira kerajaan yang berpakaian gagah-gagah tengah mengawal seorang lelaki tampan nan elok.

“Sang Prabu Ratu Sakti…” gumam Ginggi tak terasa.

Inilah untuk yang ketiga-kalinya pemuda itu menatap Raja Pajajaran yang banyak diperbincangkan orang karena tindakan dan kebijaksanaannya banyak mengundang pro dan kontra itu.

Sang Prabu melangkah lambat-lambat namun mantap dan pasti. Ada suara gemerincing merdu ketika Raja tampan berkumis tipis itu melangkahkan kaki. Itu karena gelang-gelang emas yang tersusun di sepasang kakinya bergerak saling beradu ketika kaki itu melangkah. Suara gemerincing kaki Raja pun disambut gemerincing lain. Suaranya kurang begitu nyaring. Dan suara itu keluar dari gelang-gelang perak yang menghiasi kaki-kaki para pengawalnya.

Namun melihat duapuluh pengawal raja yang berjalan di belakang, Ginggi jadi ingat beberapa pengakuan. Ki Banaspati dengan yakinnya mengabarkan padanya bahwa di sekeliling Raja kini sudah berdiri orang-orang yang berada di bawah pengaruhnya. Belakangan Purbajaya pun berkata bahwa hampir separuh dari pengawal Raja yang bertugas hari ini kesetiaannya sudah berpaling dari Raja. Lalu, apakah yang dilakukan Ki Banaspati juga sama dengan apa yang dikatakan Purbajaya?

“Engkau juga bersekutu dengan Ki Banaspati?” Tanya Ginggi tadi pagi sebelum berangkat, tapi Purbajaya menggelengkan kepalanya.

Ini hanya menandakan bahwa pemuda itu tak ada keterkaitan dengan Ki Banaspati. Dan kalau benar begitu, maka apa yang disebut Purbajaya tidak sama dengan apa yang dikatakan Ki Banaspati. Artinya lagi, bahwa para pengawal raja semakin terpecah-pecah. Satu kelompok ikut Ki Banaspati dan satu kelompok lainnya juga sama memalingkan kesetiaannya. Tapi mereka ikut siapa? Apakah Purbajaya juga ikut kelompok kedua ini atau berdiri sendiri? Berkerut alis Ginggi memikirkannya.

Di Pakuan ini terlalu banyak rahasia. Apa yang dilihat mata belum tentu itu yang sedang berlangsung. Bangsawan Soka dan Ki Bagus Seta kendati selalu nampak paling setia dan paling banyak bekerja untuk “memajukan” Pakuan, padahal terbukti, di benak mereka penuh dengan rencana dan tujuan yang bertolak belakang dengan sangkaan Raja. Sekarang Purbajaya, pemuda tampan, jujur dan tidak terlalu banyak tingkah, belakangan diketahui Ginggi seperti tengah memendam hal-hal tertentu.

“Kalau kau mampu, maka di Balai Penghadapan Raja inilah kau laksanakan tugasmu!” kata Purbajaya tadi pagi.

Ini hanya punya arti bahwa pemuda itu setuju Raja dibunuh. Siapa pemuda ini dan dari kelompok manakah? Ancaman pada Raja Sang Ratu Sakti sudah memasuki ruangan paseban.

Purbajaya serentak menyembah takzim. Ginggi pun ikut menyembah hormat, namun selintas dia melihat lirikan Purbajaya ke arahnya. Berdesir lagi darah di urat-urat nadi Ginggi. Lirikan Purbajaya penuh arti. Apakah ini sebuah isyarat agar Ginggi melakukan tugas seperti apa yang dikatakan Ki Banaspati?

Sang Prabu berjalan lambat ke arah kursinya, sedangkan di belakang, duapuluh perwira melangkah rapih dengan jarak hampir tiga tindak di belakang Sang Prabu. Kalau Ginggi mau, dengan satu loncatan dia bisa menerkam dan mencengkram wajah atau leher Sang Prabu. Dalam satu gerakan saja mungkin sudah berhasil membunuh Raja. Mungkin separo dari para perwira benar-benar pengawal setia dan akan balas menyerang. Tapi sudah dipastikan Raja tak akan bisa diselamatkan. Dan Ginggi akan selamat meloloskan diri dengan mudah sebab separo dari para pengawal tidak akan bernafsu membalas perlakuan Ginggi.

Ginggi dan Purbajaya selesai menyembah ketika Sang Prabu sudah duduk dengan tegak di kursi indah berukir itu. Purbajaya nampak menghela napas sambil sedikit melirik ke samping di mana Ginggi duduk bersila.

“Engkaukah yang bernama Ginggi, ksatria tangguh yang akan segera diangkat Pamanda Yogascitra sebagai pembantu utama di purinya?” tanya Sang Prabu dengan suara halus namun nyaring.

“Hamba hanya sekadar pembantu biasa saja, Paduka Raja,” sahut Ginggi dengan suara sedikit bergetar.

Bagaimana tak begitu, sebab apa pun kenyataannya, yang kini tengah duduk dengan anggun di kursi berukir indah itu adalah seorang raja dari sebuah kerajaan besar yang berdiri hampir 900 tahun lamanya.

“Engkau pandai merendah, anak muda. Tapi ada juga orang yang memperlihatkan kesombongan dengan sifat merendah-rendah. Jangan membuat orang tercengang karena kepura-puraan. Kalau kau pandai maka perlihatkanlah kepandaianmu secara wajar agar orang pun bisa menghargai dan menilaimu secara wajar pula,” ujar Sang Prabu dengan nada halus tapi tetap nyaring.

Wajah Ginggi terasa sedikit panas. Tidakkah Sang Prabu menyindirnya, sebab dia memang gemar berpura-pura bodoh?

“Namun Paduka, orang tidak akan dianggap bijaksana bila tidak bisa memerankan orang bodoh dalam satu keadaan,” kata Ginggi sambil kembali menyembah.

Nampak Sang Prabu tersenyum kecil memperlihatkan deretan giginya yang putih dan bersih.

“Dan yang berbahaya adalah orang bodoh yang pura-pura bijaksana dan sok merasa tahu segala perkara,” ujar Sang Prabu kemudian.

“Lebih celaka lagi, ada orang bodoh yang tidak menyadari dirinya bodoh. Orang bodoh yang merasa dirinya pintar dan apalagi berkuasa, maka kekuasaannya hanya akan membahayakan kepentingan orang banyak, Paduka,” kata Ginggi menyela.

Untuk sejenak Sang Prabu menatap sedikit terbelalak dengan ucapan lantang ini. Namun kemudian beliau tertawa renyah sambil sesekali punggung tangan kanannya yang putih halus digunakan menutupi mulutnya yang masih tertawa.

“Hahaha! Engkau seorang pemuda yang berani dan jujur, anak muda. Aku suka sikapmu itu. Tapi hati-hati, perasaan orang tidaklah sama, sebab ada juga yang mudah tersinggung. Kalau yang tersinggung adalah seorang penguasa misalnya, maka alamat celakalah dirimu,” sahut Sang Prabu lagi namun masih dengan nada halus.

“Tapi Paduka, lebih baik tersinggung karena mendengar kata-kata bijak, dari pada terhibur dengan kata-kata palsu. Yang palsu tak bisa dikatakan baik. Dan bila mata-hati dibutakan olehnya, maka rasa bijaksana pun akan hilang dan kehancuran akan menjelang,” kata lagi Ginggi semakin berani berkata-kata.

Sang Prabu masih nampak tersenyum, tapi senyumnya kian menipis, bahkan ada sedikit kerut-kerut di dahinya.

“Serasa aku pernah menyimak kata-kata yang kau ucapkan barusan, anak muda…” gumam Sang Prabu sambil mencubit dan menarik-narik kulit jidatnya seolah tengah menghilangkan rasa pening atau sedang berpikir sesuatu.

Namun sebelum Sang Prabu melanjutkan ucapannya, dari pekarangan paseban datang tergopoh-gopoh beberapa orang. Ketika Ginggi melirik, ternyata yang datang adalah Pangeran Yogascitra, diiringi Banyak Angga dan beberapa perwira kerajaan. Dengan sopan tapi dilakukan dengan tergesa-gesa, Pangeran Yogascitra memasuki ruangan paseban, beringsut dan menyembah.

“Ada apakah Pamanda?” tanya Sang Prabu.

“Ampun beribu ampun Paduka, hamba memang terlalu tua untuk melakukan tindakan cepat. Kita terlambat menangkap Pangeran Jaya Perbangsa…” kata Pangeran Yogscitra sambil tetap menyembah hormat.

“Apakah Jaya Perbangsa berhasil melarikan diri?” Tanya Sang Prabu mengerutkan dahi.

“Tidak melarikan diri. Dia kami dapatkan sudah tergolek kaku di purinya,” ujar Pangeran Yogascitra.

“Mati?” tanya Sang Prabu.

“Begitulah…”

“Bunuh diri?”

“Hamba kira begitu, sebab ada cupu (botol kecil) berisi cairan racun di tangan kanannya,” kata Pangeran Yogascitra.

Sang Prabu mendengus kecil sambil kepalan tangan kanannya menopang dagu. Ginggi melirik meneliti wajah-wajah perwira pengawal Raja. Namun tidak seorang pun berubah mimik. Mereka menunduk tetap bersila dengan tubuh tegak. Ginggi kagum karena mereka bisa menjaga penampilan. Padahal kalau di antara mereka terdapat kaki tangan Ki Banaspati, seharusnya ada perubahan wajah karena terkejut mendengar sekutu Ki Banaspati mati.

“Aku percaya pada Jaya Perbangsa, mengapa dia tega berkhianat padaku?” gumam Sang Prabu.

“Kita harus lebih hati-hati, sebab Pakuan sudah dipenuhi oleh orang yang akan mencelakakan anda, Paduka…” kata Pangeran Yogascitra.

Sang Prabu mengangguk-angguk, “Mengapa ada orang yang ditakdirkan tidak setia kepada Raja, padahal para wiku selalu berkata raja adalah pilihan Sang Rumuhun…” gumam lagi Sang Prabu.

“Raja memang dipilih oleh Sang Rumuhun. Tapi Raja juga bisa didera bermacam-macam godaan. Kalau Raja bias menahan godaan, semuanya akan aman dan tak akan ada lagi orang memalingkan kesetiaan, Paduka…” kata Pangeran Yogascitra.

“Aku tahan akan berbagai godaan. Sejak aku jadi perwira dalam mengawal Ayahanda Ratu Dewata, sudah banyak godaan mendera, tapi aku selalu lolos dari bahaya maut,” kata Sang Prabu.

“Terima kasih bila Paduka sadar akan godaan,” gumam Pangeran Yogascitra.

Sang Prabu menangguk-angguk. Namun bagi Ginggi, ucapan Pangeran Yogascitra terlalu dalam artinya. Bisakah Sang Prabu mafhum akan ucapan yang tersirat di dalamnya?

“Tadinya aku ingin memanggil Jaya Perbangsa ke balai penghadapan raja ini dan mempertemukan dia dengan engkau, Ginggi,” ujar Sang Prabu sambil melirik ke arah Ginggi.

Membuat pemuda itu terkejut setengah mati. Baru sekarang dia tahu bahwa dirinya akan dijadikan sebagai saksi atas perbuatan Pangeran Jaya Perbangsa.

“Sekarang Jaya Perbangsa mati bunuh diri. Hanya menandakan bahwa dia memang bersalah, atau sekurang-kurangnya, ada sesuatu gerakan yang dia tak mau orang lain tahu.

“Tapi menurut Pamanda Yogascitra, tadi malam engkau menghubungi Jaya Perbangsa dan melakukan beberapa percakapan penting. Coba kau terangkan, soal apa yang engkau bicarakan itu?” tanya Sang Prabu menatapnya.

Wajah Ginggi sedikit memucat. Sejenak dia melirik ke arah Pangeran Yogascitra. Pangeran tua ini sudah melapor perihal pertemuannya dengan Pangeran Jaya Perbangsa. Dengan demikian, Raja pun sudah mengetahui bahwa dirinya punya hubungan dengan Ki Banaspati. Tidakkah ini membahayakan dirinya?

“Jangan takut, Pamanda Yogascitra sudah menerangkan perihalmu. Kata Pamanda, mulanya engkau diutus oleh Ki Banaspati untuk mengirimkan surat rahasia pada Jaya Perbangsa. Kau juga pernah ditangkap Pamanda tapi tak terbukti terlibat urusan ini. Karena Pamanda percaya terhadapmu, maka aku pun sebagai penguasa Pajajaran akan percaya kamu juga. Ingat, aku seorang raja dan bertanggung jawab menjaga keutuhan negri. Tapi engkau pun sebagai penghuni negri dan apalagi sebentar lagi akan diangkat menjadi ksatria di Pakuan, harus juga ikut bertanggung-jawab menyelamatkan negri dari kehancuran. Kau katakan sejujurnya tentang apa-apa yang telah engkau ketahui,” ujar Sang Prabu lagi.

Ginggi termenung mendengar keinginan Raja ini. Ini sebuah permintaan berat sebab akan membahayakan keselamatan dirinya. Sekarang, di ruangan paseban yang hanya dihuni beberapa puluh orang, sebenarnya dia telah dihimpit oleh beberapa kekuatan. Sekurang-kurangnya di ruangan paseban ini terdapat tiga kekuatan, yaitu kelompok yang sudah dipengaruhi Ki Banaspati, kelompok yang telah memalingkan kesetiaan terhadap Raja, dan yang terakhir kekuatan Sang Prabu itu sendiri. Belum lagi tentang kehadiran Purbajaya yang jelas-jelas tidak berfihak pada Raja tapi yang Ginggi belum tahu, berada di fihak mana sebetulnya pemuda itu berada.

Ginggi bingung sebab tidak bisa memilih. Bila melaporkan semua yang diketahuinya, berarti sudah memihak kepada Raja dan akan berhadapan dengan kekuatan lainnya, atau dengan tiga kekuatan yang ada di ruangan itu kalau Purbajaya mau Ginggi hitung. Tapi kalau Ginggi bungkam, berarti harus membiarkan banjir darah di Pakuan. Padahal sudah sejak awal dia mengukuhkan sikap untuk tak berfihak kepada siapa pun. Tapi keadaan ini benar-benar menjepitnya. Sebab kendati dia tak mau memihak, tapi Ginggi pun tak mau ada peperangan.

Melihat Ginggi seperti bimbang, dengan alis berkerut Sang Prabu mengulang pertanyaannya untuk kedua kalinya.

“Mengapa engkau diam? Atau, tidakkah penilaian Pamanda Yogascitra keliru?” kata Sang Prabu lagi dan nadanya mulai tak senang.

“Hamba akan uraikan yang hamba ketahui asal dengan sesuatu syarat,” kata Ginggi secara tiba-tiba.

“Apakah persyaratan itu?” tanya Sang Prabu.

“Paduka harus memenuhi keinginan hamba.”

“Ya, sebutkan, apa itu?” kat Sang Prabu lagi tak sabar.

“Paduka harus berjanji untuk dua keputusan!” kata Ginggi.

“Bedebah! Tak biasa aku ditekan seperti ini. Anak muda, apa kedudukanmu di sini?” kata Sang Prabu berang dan wajahnya merah padam.

Ginggi masih duduk bersila dengan tenang. Dia melirik meneliti sikap para perwira yang duduk bersila berderet di kiri kanan Sang Prabu. Ada sebanyak duabelas perwira pengawal yang nampak turut melotot marah melihat kelancangan Ginggi ini. Tapi sepuluh orang lagi, termasuk di antaranya yang duduk di belakang Pangeran Yogascitra berwajah biasa kecuali menatapnya dengan perasaan tegang. Ginggi memutar otak dan mulai dapat menduga, mana perwira yang bersetia dan mana yang sudah dipengaruhi fihak lain.

“Hamba bukan siapa-siapa dan tak mempunyai peran penting di sini. Jadi bila Paduka tak mau memenuhi dua syarat yang hamba ajukan tidak apa dan hamba akan keluar dari ruangan ini,” kata Ginggi menyembah takzim dan akan segera berjingkat.

“Tunggu!” teriak Sang Prabu.

Ginggi kembali duduk tegak dan mencoba menatap Sang Prabu. Ornamen emas yang ada di kiri-kanan susumping (perhiasan kuping) bergoyang-goyang memantulkan cahaya gemerlapan dan mahkota yang juga sama terbuat dari emas bertahtakan zamrud dan mutiara keindahannya tak sanggup menutupi wajah keruh Sang Prabu.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment