Bangsawan itu berjingkat dulu dan membuka sebuah lemari kayu berukir indah. Dari dalam lemari dia keluarkan semacam baju zirah, yaitu pakaian terbuat dari logam menyerupai sisik-sisik ikan. Ginggi terkejut sekali. Bila begitu rahasia dirinya akan terbongkar. Dengan sedikit berdebar, Ginggi menyaksikan pangeran itu mencoba membuka engsel dengan amat hati-hati. Wajahnya sedikit dijauhkan sepertinya tengah bersiap menjaga kemungkinan.
Namun ketika engsel terbuka dan kepala pangeran itu sigap menghindar dengan cara miringkan wajah ke samping, tidak terjadi sesuatu. Pangeran Jaya Perbangsa menatap penuh selidik pada Ginggi.
“Ada apakah, Pangeran?” tanya Ginggi ingin segera tahu pikiran apa yang terkandung dibenak bangsawan ini. “Ada dua kumungkinan kotak ini memberi tahu padaku. Pertama, kau membohongiku dan kedua kau berkhianat!” kata Pangeran Jaya Perbangsa pendek.
“Mengapa begitu?”
“Ki Banaspati setiap mengirim surat dalam kotak tertutup, selalu dipasangi jebakan. Orang yang sembrono membuka kotak surat akan mati seketika karena serangan senjata rahasia. Sekarang kotak sudah tanpa jebakan. Artinya kotak sudah ada yang buka !” kata Pangeran Jaya Perbangsa.
“Saya yang membuka!” gumam Ginggi pendek.
“Kalau begitu kau harus mati! Kau pengkhianat!” seru bangsawan muda pemarah itu sambil melancarkan pukulan dengan tangan kanan terkepal.
Pukulan itu lurus ke depan mengarah jidat Ginggi. Namun dalam pandangan pemuda itu, gerakannya terlihat lamban dan mudah diikuti mata, sehingga dengan entengnya Ginggi menangkap pergelangan tangan bangsawan itu dengan tangan kirinya. Pangeran Jaya Perbangsa kembali melayangkan pukulan dengan tangan kiri dan ditepis dengan baik oleh tangan kanan Ginggi. Nampak bangsawan itu meringis karena tangkisan Ginggi.
“Aku tangan kanan Ki Banaspati, sudah barang tentu harus tahu segala gerakan yang ada!” kata Ginggi masih memegang pergelangan tangan bangsawan itu sehingga dia kian meringis saja.
“Tapi kau melanggar perintah Ki Banaspati!” kata Pangeran Jaya Perbangsa mencoba melepaskan tangannya tapi tetap tak kuasa.
“Tak ada yang kulanggar. Surat itu sudah sampai di sini seperti apa yang diinginkan Ki Banaspati,’ kata Ginggi.
“Ya, tapi kau membukanya!”
“Ki Banaspati tak melarangku untuk membukanya, sebab kalau aku tak punya kepandaian, biar disuruh buka pun aku tak akan mampu membacanya karena keburu mati!” kata Ginggi sambil merasakan sakitnya di dada yang terasa berdenyut-denyut.
Hatinya sedikit malu ketika bicara begitu, sebab kalau tak segera diobati penghuni puri Yogascitra barangkali nyawanya sudah melayang karena racun dalam jebakan kotak surat itu. Tapi mendengar ucapan Ginggi, Pangeran Jaya Perbangsa sepertinya memaklumi. Buktinya dia tak bertahan lagi memaksakan pendapatnya. Ginggi pun segera melepaskan pegangan tangannya.
“Saya ingin bertanya, bagaimana persiapan di sini dalam menyambut hari penting itu,” tanya Ginggi sesudah Pangeran Jaya Perbangsa membaca dan mengartikan makna sandi surat itu.
Bangsawan itu menatap Ginggi sejenak. Tapi karena Ginggi balik menatap tajam, dia mau juga bicara.
“Semua sudah aku kerjakan sesuai perintah Ki Banaspati, Pakuan harus dikosongkan dari kekuatan perwira…”
Berdebar hati Ginggi mendengarnya. “Itu akan disampaikan pada Ki Banaspati. Tapi coba jelaskan keadaan di Pakuan secara utuh sehingga saya bias melaporkannya dengan sempurna kepada Ki Banaspati,” kata Ginggi.
Seperti seorang bawahan lapor pada atasan, Pangeran Jaya Perbangsa menerangkan persiapan yang dilakukannya di Pakuan. Kata bangsawan ini, semua orang sudah siap menunggu komando. Jadi, bila saatnya tiba, mereka akan membantu bergerak dari dalam.
“Secara kebetulan sekali malam ini aku dipanggil menghadap Sang Prabu. Dalam uraiannya dia ingin minta pendapat pada Pangeran Yogascitra perihal 15 pewira kerajaan yang menuju Puncak Cakrabuana lebih dari dua tahun silam. Ini karena ada pertanyaan dari perwira lainnya, mengapa nasib 15 perwira yang diutus mengejar buronan Ki Darma Tunggara tidak pernah diperhatikan. Kelimabelas perwira itu hingga kini belum kembali dan tak ada khabar beritanya. Beberapa perwira tua ingin tahu, apakah kelimabelas orang rekannya berhasil menangkap Ki Darma atau tidak. Kalau berhasil, mengapa tak pernah pulang dan kalau gagal, apakah mereka tewas atau bagaimana?”
“Teruskan…” kata Ginggi dengan nada suara diusahakan biasa, padahal dadanya bergetar hebat.
“Aku katakan, tak perlu minta pertimbangan Pangeran Yogascitra sebab bangsawan tua itu kalau berpikir terlalu bertele-tele dan rasa hati-hatinya terlalu berlebihan. Jangan biarkan para perwira kerajaan goncang. Limabelas perwira yang hilang harus dicari. Aku sarankan agar dikirim lagi pasukan kecil terdiri dari perwira tangguh. Mereka harus ditugaskan mencari dan menyelidiki perihal raibnya rekan-rekan mereka. Aku beri susunan dan daftar para perwira yang bisa dipercaya melakukan tugas ini. Hahaha ! Sepuluh perwira tangguh siap diberangkatkan besok subuh !” Pangeran Jaya Perbangsa tertawa terbahak-bahak.
“Mengapa mereka harus pergi sekarang juga?” Tanya Ginggi.
“Itulah taktik mengundang harimau keluar sarang, sehingga dengan amannya kita bisa memasuki sarang mereka!” kata Pangeran Jaya Perbangsa bangga dengan jalan pikirannya. “Para perwira yang aku tawarkan pada Sang Prabu adalah perwira-perwira setia pada Raja yang sulit diajak kerja sama. Jadi, biarkan mereka jauh dari Pakuan di saat dayo ini diserbu pasukan dari timur!” kata bangsawan ini.
“Tapi sepuluh perwira itu kemungkinan ketemu di jalan dengan pasukan dari timur!” kata Ginggi.
“Hahaha...! Biarkan saja. Mereka akan berpapasan dan dibantai pasukan. Kekuatan perwira Pakuan akan utuh bila digabung sebab semuanya mahir ilmu pertempuran. Tapi bila dipecah-pecah seperti itu, perlawanan mereka tak ada artinya! Hahaha!” Pangeran Jaya Perbangsa nampak gembira sekali.
“Jalan pikiran Pangeran amat cerdik. Tak percuma Ki Banaspati menugaskanmu di Pakuan. Tapi, apakah para pembantu Ki Banaspati lainnya sama cerdiknya dengan engkau, Pangeran?” tanya Ginggi lagi.
Namun ketika engsel terbuka dan kepala pangeran itu sigap menghindar dengan cara miringkan wajah ke samping, tidak terjadi sesuatu. Pangeran Jaya Perbangsa menatap penuh selidik pada Ginggi.
“Ada apakah, Pangeran?” tanya Ginggi ingin segera tahu pikiran apa yang terkandung dibenak bangsawan ini. “Ada dua kumungkinan kotak ini memberi tahu padaku. Pertama, kau membohongiku dan kedua kau berkhianat!” kata Pangeran Jaya Perbangsa pendek.
“Mengapa begitu?”
“Ki Banaspati setiap mengirim surat dalam kotak tertutup, selalu dipasangi jebakan. Orang yang sembrono membuka kotak surat akan mati seketika karena serangan senjata rahasia. Sekarang kotak sudah tanpa jebakan. Artinya kotak sudah ada yang buka !” kata Pangeran Jaya Perbangsa.
“Saya yang membuka!” gumam Ginggi pendek.
“Kalau begitu kau harus mati! Kau pengkhianat!” seru bangsawan muda pemarah itu sambil melancarkan pukulan dengan tangan kanan terkepal.
Pukulan itu lurus ke depan mengarah jidat Ginggi. Namun dalam pandangan pemuda itu, gerakannya terlihat lamban dan mudah diikuti mata, sehingga dengan entengnya Ginggi menangkap pergelangan tangan bangsawan itu dengan tangan kirinya. Pangeran Jaya Perbangsa kembali melayangkan pukulan dengan tangan kiri dan ditepis dengan baik oleh tangan kanan Ginggi. Nampak bangsawan itu meringis karena tangkisan Ginggi.
“Aku tangan kanan Ki Banaspati, sudah barang tentu harus tahu segala gerakan yang ada!” kata Ginggi masih memegang pergelangan tangan bangsawan itu sehingga dia kian meringis saja.
“Tapi kau melanggar perintah Ki Banaspati!” kata Pangeran Jaya Perbangsa mencoba melepaskan tangannya tapi tetap tak kuasa.
“Tak ada yang kulanggar. Surat itu sudah sampai di sini seperti apa yang diinginkan Ki Banaspati,’ kata Ginggi.
“Ya, tapi kau membukanya!”
“Ki Banaspati tak melarangku untuk membukanya, sebab kalau aku tak punya kepandaian, biar disuruh buka pun aku tak akan mampu membacanya karena keburu mati!” kata Ginggi sambil merasakan sakitnya di dada yang terasa berdenyut-denyut.
Hatinya sedikit malu ketika bicara begitu, sebab kalau tak segera diobati penghuni puri Yogascitra barangkali nyawanya sudah melayang karena racun dalam jebakan kotak surat itu. Tapi mendengar ucapan Ginggi, Pangeran Jaya Perbangsa sepertinya memaklumi. Buktinya dia tak bertahan lagi memaksakan pendapatnya. Ginggi pun segera melepaskan pegangan tangannya.
“Saya ingin bertanya, bagaimana persiapan di sini dalam menyambut hari penting itu,” tanya Ginggi sesudah Pangeran Jaya Perbangsa membaca dan mengartikan makna sandi surat itu.
Bangsawan itu menatap Ginggi sejenak. Tapi karena Ginggi balik menatap tajam, dia mau juga bicara.
“Semua sudah aku kerjakan sesuai perintah Ki Banaspati, Pakuan harus dikosongkan dari kekuatan perwira…”
Berdebar hati Ginggi mendengarnya. “Itu akan disampaikan pada Ki Banaspati. Tapi coba jelaskan keadaan di Pakuan secara utuh sehingga saya bias melaporkannya dengan sempurna kepada Ki Banaspati,” kata Ginggi.
Seperti seorang bawahan lapor pada atasan, Pangeran Jaya Perbangsa menerangkan persiapan yang dilakukannya di Pakuan. Kata bangsawan ini, semua orang sudah siap menunggu komando. Jadi, bila saatnya tiba, mereka akan membantu bergerak dari dalam.
“Secara kebetulan sekali malam ini aku dipanggil menghadap Sang Prabu. Dalam uraiannya dia ingin minta pendapat pada Pangeran Yogascitra perihal 15 pewira kerajaan yang menuju Puncak Cakrabuana lebih dari dua tahun silam. Ini karena ada pertanyaan dari perwira lainnya, mengapa nasib 15 perwira yang diutus mengejar buronan Ki Darma Tunggara tidak pernah diperhatikan. Kelimabelas perwira itu hingga kini belum kembali dan tak ada khabar beritanya. Beberapa perwira tua ingin tahu, apakah kelimabelas orang rekannya berhasil menangkap Ki Darma atau tidak. Kalau berhasil, mengapa tak pernah pulang dan kalau gagal, apakah mereka tewas atau bagaimana?”
“Teruskan…” kata Ginggi dengan nada suara diusahakan biasa, padahal dadanya bergetar hebat.
“Aku katakan, tak perlu minta pertimbangan Pangeran Yogascitra sebab bangsawan tua itu kalau berpikir terlalu bertele-tele dan rasa hati-hatinya terlalu berlebihan. Jangan biarkan para perwira kerajaan goncang. Limabelas perwira yang hilang harus dicari. Aku sarankan agar dikirim lagi pasukan kecil terdiri dari perwira tangguh. Mereka harus ditugaskan mencari dan menyelidiki perihal raibnya rekan-rekan mereka. Aku beri susunan dan daftar para perwira yang bisa dipercaya melakukan tugas ini. Hahaha ! Sepuluh perwira tangguh siap diberangkatkan besok subuh !” Pangeran Jaya Perbangsa tertawa terbahak-bahak.
“Mengapa mereka harus pergi sekarang juga?” Tanya Ginggi.
“Itulah taktik mengundang harimau keluar sarang, sehingga dengan amannya kita bisa memasuki sarang mereka!” kata Pangeran Jaya Perbangsa bangga dengan jalan pikirannya. “Para perwira yang aku tawarkan pada Sang Prabu adalah perwira-perwira setia pada Raja yang sulit diajak kerja sama. Jadi, biarkan mereka jauh dari Pakuan di saat dayo ini diserbu pasukan dari timur!” kata bangsawan ini.
“Tapi sepuluh perwira itu kemungkinan ketemu di jalan dengan pasukan dari timur!” kata Ginggi.
“Hahaha...! Biarkan saja. Mereka akan berpapasan dan dibantai pasukan. Kekuatan perwira Pakuan akan utuh bila digabung sebab semuanya mahir ilmu pertempuran. Tapi bila dipecah-pecah seperti itu, perlawanan mereka tak ada artinya! Hahaha!” Pangeran Jaya Perbangsa nampak gembira sekali.
“Jalan pikiran Pangeran amat cerdik. Tak percuma Ki Banaspati menugaskanmu di Pakuan. Tapi, apakah para pembantu Ki Banaspati lainnya sama cerdiknya dengan engkau, Pangeran?” tanya Ginggi lagi.
“Hahaha...! Semua bisa dipercaya!”
“Saya pun harus mengenali mereka, sebab dalam hari penting saya ada di Pakuan, jangan biarkan saya keliru memilih lawan!” kata Ginggi lagi.
“Nanti kau pun akan tahu…” kata Pangeran Jaya Perbangsa masih tersenyum.
Ginggi sebetulnya penasaran ingin mengorek keterangan lagi. Tapi kalau terlalu mendesak, dikhawatirkan pangeran itu akan curiga.
“Kalau begitu baiklah. Saya mohon diri sebab tidak baik kalau terlalu lama di sini…” gumam Ginggi sambil mohon diri hendak meninggalkan ruangan iu.
Ginggi berjalan keluar puri, mohon diri untuk pulang kepada para jagabaya yang menjaga gerbang. Tapi-tiba di sebuah jalan berbalay, sudah ada dua orang menunggu. Mereka adalah Banyak Angga dan Purbajaya.
“Keparat Jaya Perbangsa…” desis Banyak Angga.
“Ya…begitulah seperti yang kalian dengar tadi,” gumam Ginggi. “Setelah ini, kita bagaimana?” tanyanya kemudian.
“Kita lapor pada Ayahanda!” ajak Banyak Angga.
Semua setuju untuk kembali ke puri Yogascitra. Demi mendengar laporan ini, Pangeran Yogascitra nampak pucat wajahnya.
“Tidak sangka Jaya Perbangsa yang selama ini baik padaku bertindak sehina ini…” gumamnya memendam kesedihan.
“Tapi bukankah hampir semua orang sekarang bertindak begitu?” tanya Ginggi.
Turun naik dada pangeran tua itu ketika Ginggi berkata begitu.
“Kita boleh mengeluarkan panca-Parisuda (kritik dan teguran) seperti apa yang tersirat dalam Kitab Sanghyang Siksakandang Karesian, tapi tak dibenarkan melakukan pemberontakan!” kata Pangeran Yogascitra tegas.
“Tapi Ki Darma Tunggara yang melakukan kritik tetap dianggap memberontak. Sehingga pada akhirnya, apakah itu terang-terangan kepada Raja atau hanya sekadar melontarkan pancaparisuda, kalau membuat Raja marah, tetap akan dituding pengkhianat dan pemberontak. Maaf Pangeran, dalam pertemuan beberapa hari lalu di puri ini, Pangeran bersedia melakukan upaya perbaikan di istana. Itu artinya, Pangeran akan secara langsung berhadapan dengan Sang Prabu. Pangeran akan mengoreksi tindakan Raja. Kalau sudah begitu apa bedanya dengan semua orang, dengan tindakan Ki Darma juga misalnya? Bukankah pada akhirnya Pangeran juga sama-sama memberontak dalam pandangan Sang Prabu?” Tanya Ginggi menggebu.
“Aku tidak akan memberontak!”
“Tapi Ki Darma tetap dituduh memberontak!”
“Aku tak menuduh Ki Darma memberontak!”
“Mengapa sampai sekarang dia tetap dikejar? Mengapa semua prepantun mengolok-olok dan mengejeknya? Mengapa?” tanya Ginggi lagi kian menggebu.
“Ginggi! Ada apa secara tiba-tiba kau seperti membela Ki Darma?” teriak Pangeran Yogascitra.
“Karena saya murid Ki Darma!” Ginggi balik berteriak.
Terhenyak semua orang mendengar pengakuan ini. Pangeran Yogascitra bahkan tak terasa mundur setindak.
“Ya, saya murid Ki Darma!” kata Ginggi lagi.
“Barangkali saya akan ditangkap, sebab kata orang, setiap yang memiliki hubungan dengan Ki Darma akan disamakan kedudukannya sebagai pemberontak juga. Boleh tangkap saya. Tapi sebelumnya akan saya buktikan bahwa saya tidak melakukan pemberontakan, sama seperti apa yang dilakukan Ki Darma belasan tahun silam. Dan Bahkan sama dengan tindakan Pangeran Yogascitra yang melakukan pancaparisuda tapi bukan melawan Raja” kata Ginggi lagi menatap tajam.
Pangeran Yogascitra termenung mendengar kata-kata pemuda itu, demikian pun yang lainnya.
“Aku sudah katakan tadi, tidak pernah menuduh Ki Darma sebagai pemberontak. Tapi harap kau tahu, Sang Prabu Ratu Sakti banyak dikelilingi para pembantunya dan gagasan serta jalan pikirannya bermacam-macam. Kalau ada orang yang merasa tak senang dengan tindak-tanduk Ki Darma, maka rasa tak senangnya itu dipengaruhkannya pada Sang Prabu agar beliau membuat keputusan-keputusan tertentu,” gumam Pangeran Yogascitra dengan nada pemuh sesal.
Ginggi hanya terlihat mematung dengan napas sedikit ditahan-tahannya.
“Kau tanyalah anakku, bagaimana sikapnya terhadap Ki Darma. Dia tak mengenal orang tua gagah itu secara pribadi, sebab Banyak Angga masih terlalu kecil saat itu. Tapi anakku sudah punya pandangan tersendiri pada Ki Darma,” kata Pangeran Yogascitra sambil menoleh pada Banyak Angga yang duduk bersila dengan wajah muram.
“Sekarang ini dunia terbalik. Orang yang menyayangi dengan memberinya kritik dikesampingkan dan dibenci, tapi yang menjilat dan mencari muka dihargai. Saya mempelajari kehidupan Ki Darma sejak mulai beliau sebagai anggota Seribu Pengawal Raja sampai menjadi buronan yang harus dikejar. Tak ada arang tercoreng di wajahnya, sebab apa yang beliau lakukan, semuanya demi nama baik bangsa dan negara. Hanya karena sikap penguasa yang tak senang padanya saja yang menyebabkan dia dicap sebagai pemberontak,” kata Banyak Angga sungguh-sungguh.
“Ki Darma seorang gagah. Dia patriotik sejati. Tapi kedudukan kami lemah sehingga sulit mempengaruhi Raja untuk tidak membencinya…” Purbajaya ikut bicara.
Ginggi sangat terharu dengan sikap-sikap mereka ini. Setidaknya Ginggi tahu, tidak semua orang menuduh buruk terhadap Ki Darma.
“Terima kasih bahwa di puri ini saya mendapatkan kebahagiaan,” kata Ginggi dengan nada bergetar.
“Percayalah pada saya, bahwa saya juga sependapat dengan orang yang ada di sini. Saya benci kekerasan dan saya tak menghendaki adanya pemberontakan,” katanya lagi.
“Baik, kami semua percaya padamu. Karena kau lebih banyak tahu dari pada kami perihal rencana pemberontakan, maka sebaiknya kau bantu kami memecahkan cara dalam mencegah pemberontakan ini,” kata Pangeran Yogascitra.
Ginggi tak menjawab. Tapi karena Pangeran Yogascitra mulai duduk kembali sambil bersila, Ginggi pun ikut bersila.
“Didayo (ibukota) ini saya melihat sudah banyak perbedaan pendapat. Di luar Pakuan lebih parah dari itu, sebab banyak orang tak menyukai Raja,” kata Ginggi, “Saya tidak akan berpihak ke mana pun sebab mana benar mana salah, semuanya sudah bergalau menjadi satu. Tapi satu hal yang akan saya kerjakan di sini, saya akan coba menggagalkan pertumpahan darah. Saya tak ingin beda pendapat di antara orang-orang yang mementingkan kedudukan mengikut sertakan rakyat dan rakyat menjadi korban kepentingan mereka,” kata Ginggi lagi menatap Pangeran Yogascitra.
“Pendapatmu aku hargai, anak muda,” sambut bangsawan itu. “Namun bagaimana caranya agar pertempuran tidak terjadi?” tanyanya kemudian.
Baik Banyak Angga mau pun Purbajaya sama-sama menatap padanya. Ginggi mengerutkan dahi sebab dia pun masih bingung bagaimana caranya mencegah pertempuran.
“Menahan perjalanan mereka sudah tak mungkin sebab hari ini hampir setengah perjalanan mereka lakukan,” gumam Ginggi. “Lebih baik biarkan saja mereka memasuki Pakuan,” lanjutnya.
Semua orang menatap dirinya.
“Tapi kekuatan Pakuan harus tetap utuh. Untuk itu harus ada yang segera menghubungi Raja agar membatalkan pengiriman sepuluh perwira menuju timur. Perkiraan Pangeran Jaya Perbangsa harus kita kuatirkan. Dia yang melahirkan gagasan agar sepuluh perwira andalan meninggalkan Pakuan. Pertama disengaja agar tidak bisa menjaga Pakuan dan keduanya diharapkan sepuluh perwira berpapasan dengan pasukan penyerbu untuk kemudian dibantai,” kata Ginggi merenung lagi. “Adakah yang sanggup menghadap Raja?” tanyanya.
“Kapan kesepuluh perwira akan berangkat tugas?” Tanya Pangeran Yogascitra.
“Saya dengar subuh hari ini mereka akan berangkat,” kata Banyak Angga.
“Ya, benar…subuh ini!” sambung Ginggi.
“Kita tak bisa begitu saja mencegat para perwira agar tak jadi berangkat. Segalanya harus berdasarkan titah Raja. Sedangkan kapan kita bisa menghadap Raja, rasanya tak ada waktu lagi,” Pangeran Yogascitra mengerutkan dahi.
“Bagaimana kalau tak melalui Raja. Kita langsung menghubungi para perwira saja dan kita katakan perihal bahaya penyerbuan ini,” Banyak Angga mengajukan usul.
“Hati-hati. Jangan-jangan ini malah lebih berbahaya. Kau mungkin dengar ucapan Pangeran Jaya Perbangsa tadi, bahwa di Pakuan sudah banyak kaki-tangan Ki Banaspati. Tapi, siapa saja mereka, kita tidak diberi tahu. Kalau kita salah menghubungi, malah kita seolah menyerahkan nyawa pada mereka,” kata Ginggi mengingatkan.
Purbajaya membenarkan ucapan Ginggi ini.
“Jadi bagaimana baiknya?” tanya Banyak Angga bingung.
“Lebih baik kita cegat saja kesepuluh perwira yang sedianya akan melakukan perjalanan ke timur. Kita khabarkan mara-bahaya yang tengah mengancam Pakuan. Saya yakin, mereka mau percaya dan mengurungkan perjalanan. Tapi yang harus menghubungi mereka haruslah Pangeran sendiri,” kata Ginggi.
Pangeran Yogascitra setuju, sebab mungkin para perwira hanya percaya padanya saja.
“Kalau begitu aku harus siap-siap menghubungi mereka,” tutur Pangeran Yogascitra sungguh-sungguh, “Tapi semua pun harus membagi tugas,” lanjutnya.
“Saya akan membayangi Pangeran Jaya Perbangsa,” kata Banyak Angga.
Ginggi menatapnya, khawatir pemuda itu bertindak sembrono.
“Saya hanya akan kembali pada Ki Banaspati untuk menyelidik gerakannya,” tutur Ginggi.
“Akan saya pikirkan apa yang mau saya kerjakan. Saya ingin tahu siapa kaki-tangan Ki Banaspati di Pakuan ini,” gumam Purbajaya.
Percakapan berhenti sampai di situ sebab Pangeran Yogascitra harus sudah bersiap-siap keluar puri. Hari belumlah subuh, tapi pangeran tua ini perlu berkemas mempersiapkan sesuatu. Sedangkan Ginggi segera mohon diri sebab kantuk sudah demikian menyerangnya, apalagi tubuhnya masih terasa lemah karena luka-luka di tubuhnya. Namun ketika pemuda itu tiba di bangunan di mana dia menginap, darahnya berdesir cepat manakala di sudut ruangan ada satu tubuh membayang.
“Ki Banaspati?” gumam Ginggi setengah berdesis saking kagetnya.
Ginggi menahan napas dan mencoba bersiap memusatkan tenaga menjaga kalau-kalau Ki Banaspati melakukan penyerangan. Namun apa yang dikhawatirkan ternyata tak terjadi. Ki Banaspati malah mendekatinya.
“Tiga hari yang akan datang waktu yang baik untuk melakukan tugasmu,” kata Ki Banaspati.
“Tugasku yang mana?” tanya Ginggi berdebar.
“Membunuh Raja!”
“Membunuh Raja?”
“Ya! Sang Prabu akan mandi suci tepat di pagi hari, di Telaga Rena Maha Wijaya. Orang lainnya yang sama-sama harus kau bunuh juga ada di telaga.”
“Pangeran Yogascitra?”
“Benar!”
“Akan begitu banyak pengawal di sana. Aku pasti kesulian melakukan tugas itu!” kata Ginggi.
“Hm! Kau meremehkan gerakanku. Ketahuilah, lebih dari setengah pengawal Raja adalah anak buah Ki Bagus Seta tapi kini sudah berada di bawah komandoku,” kata Ki Banaspati pasti.
Ginggi terkejut mendengarnya.
“Ki Bagus Seta bagaimana?”
“Dia sudah tak bisa diharapkan. Ki Bagus Seta sakit parah!” jawab Ki Banaspati pendek.
Ginggi mengerutkan dahi.
“Dia sudah jadi orang yang tak berguna. Tinggal kita berdua yang masih bisa melaksanakan amanat Ki Guru,” desis Ki Banaspati. “Camkan itu,” sambungnya.
“Tapi apakah pelaksanaan tugasku masih berada di bawah ancamanmu?” tanya Ginggi menatap tajam.
“Ya, sebab nyawamu dan nyawa Ki Rangga Guna masih amat bergantung pada sejauh mana kesetiaanmu pada perjuangan ini!” jawab Ki Banaspati tegas. “Ingat, tiga hari lagi, pagi-pagi di Telaga Rena Maha Wijaya!” desisnya lagi.
Dan Ki Banaspati segera berlalu. Dia meloncat dari jendela, menghilang di kegelapan. Tinggallah Ginggi sendirian, merenung jauh dengan pikiran gundah. Kekuatan Ki Banaspati ternyata sudah benar-benar sempurna. Dia sudah memiliki jaringan dimana-mana, termasuk di sekitar pengawal Raja sendiri. Ginggi harus semakin berhati-hati tinggal di Pakuan ini. Ada dua kekuatan besar akan saling beradu. Satu kekuatan pendukung Raja dan satunya lagi yang akan menggulingkan Raja.
Kedudukan Ginggi seolah ada di tengah dan sedang diperebutkan. Bila salah satu kekuatan tahu dia memilih salah satunya, maka kedudukan Ginggi akan berbahaya. Pangeran Yogascitra kendati ada rasa kecewa terhadap kebijaksanaan Raja namun tak berniat menggulingkannya. Dan Ini Ginggi masukkan sebagai kelompok pendukung Raja.
Namun yang lebih berbahaya adalah kelompok Ki Banaspati. Mereka jelas-jelas niatnya memberontak dan akan merebut kekuasaan. Gerakan ini membahayakan keselamatan rakyat, juga dirinya sendiri, sebab kini Ginggi berada di bawah ancaman mereka. Ki Banaspati kerapkali melakukan penekanan, kalau Ginggi tak mau membantunya, maka selain Ki Rangga Guna akan dibunuh, juga dirinya akan diumumkan sebagai pengikut Ki Darma yang pada akhirnya akan ikut dikejar-kejar juga.
Tapi untuk yang kesekian kalinya Ginggi pun jadi ingat ucapan Ki Banaspati. Bahwa untuk mencapai kepentingan yang lebih besar, nyawa satu orang apalah artinya. Kalau Ginggi harus ikut pendapat ini, Ginggi pun perlu mengorbankan satu orang yaitu Ki Rangga Guna. Tegakah dia membiarkan orang tua itu dibunuh pasukan Sunda Sembawa? Kemudian kalau bertahan menyelamatkan nyawa Ki Rangga Guna, beranikah mengorbankan orang banyak dalam kancah peperangan besar?
Ginggi pusing memikirkannya. Pertimbangan seperti ini sebetulnya tidak diketahui oleh Ki Darma. Kata Ki Darma, terlalu banyak memikirkan untung-rugi pada akhirnya hanya akan melahirkan kerugian saja. Hanya karena tak mau membunuh harimau, maka pada akhirnya Ginggi menjadi mangsa harimau itu sendiri.
“Untuk mencapai satu tujuan yang lebih penting, engkau harus bisa mengeraskan hati untuk membuat satu putusan!” kata Ki Darma ketika di Puncak Cakrabuana.
“Ya, aku memang lemah! Aku berjiwa lemah!” gumamnya seorang diri.
Sampai kokok ayam bersahutan, Ginggi masih gundah-gulana, sehingga pada saat matahari hampir muncul saja dia bisa tidur. Ginggi bangun sesudah matahari agak tinggi. Itu pun karena Purbajaya datang memanggilnya.
“Ada hal yang penting, Raden?” tanya Ginggi mengucak kedua matanya karena masih pedih.
“Ya, ada sesuatu yang amat penting menyangkut dirimu,” kata Purbajaya.
Ginggi memandang pemuda itu penuh perhatian.
“Kau mandilah dulu!” kata lagi Purbajaya.
Ginggi segera pergi membersihkan badan sehingga kesegarannya kembali pulih. Muncul lagi ke ruangan di mana Purbajaya berada dengan menggunakan pakaian santana, yaitu baju kurung warna biru tua terbuat dari kain halus buatan negri Cina. Ornamen warna emas melingkari kain di pergelangan tangannya. Ginggi pun mengenakan ikat kepala dari kain batik hihinggulan, Dia sekarang sudah mengerti cara berpakaian, bagaimana etika di Pakuan ini, dia harus atur.
“Bagaimana, Raden?” tanyanya ketika sudah berada di hadapan Purbajaya.
“Engkau dipanggil menghadap ke balai penghadapan Raja,” kata Purbajaya.
“Maksudmu, aku dipanggil Sang Prabu?” tanya Ginggi heran.
Pemuda di hadapannya mengangguk.
“Ada keperluan apakah?”
“Mungkin berkaitan dengan pengetahuanmu perihal gerakan pasukan dari timur,” jawab Purbajaya.
Ginggi merenung dalam.
“Sepuluh perwira yang akan berangkat ke Puncak Cakrabuana berhasil dibatalkan. Tapi Raja perlu mendapatkan keterangan lebih seksama. Itulah sebabnya kau dipanggil menghadap,” kata pemuda itu dengan nada datar saja.
“Sekarang?”
“Sekarang…”
“Mari,” kata Ginggi. “Tapi sebelumnya, ada sesuatu yang akan aku tanya padamu, Raden, kalau-kalau engkau mengetahuinya…” kata Ginggi menunggu.
“Soal apa?” Purbajaya menoleh.
“Sejauh mana kebencian orang-orang Pakuan terhadap Ki Darma?” tanya Ginggi.
“Saya pun harus mengenali mereka, sebab dalam hari penting saya ada di Pakuan, jangan biarkan saya keliru memilih lawan!” kata Ginggi lagi.
“Nanti kau pun akan tahu…” kata Pangeran Jaya Perbangsa masih tersenyum.
Ginggi sebetulnya penasaran ingin mengorek keterangan lagi. Tapi kalau terlalu mendesak, dikhawatirkan pangeran itu akan curiga.
“Kalau begitu baiklah. Saya mohon diri sebab tidak baik kalau terlalu lama di sini…” gumam Ginggi sambil mohon diri hendak meninggalkan ruangan iu.
Ginggi berjalan keluar puri, mohon diri untuk pulang kepada para jagabaya yang menjaga gerbang. Tapi-tiba di sebuah jalan berbalay, sudah ada dua orang menunggu. Mereka adalah Banyak Angga dan Purbajaya.
“Keparat Jaya Perbangsa…” desis Banyak Angga.
“Ya…begitulah seperti yang kalian dengar tadi,” gumam Ginggi. “Setelah ini, kita bagaimana?” tanyanya kemudian.
“Kita lapor pada Ayahanda!” ajak Banyak Angga.
Semua setuju untuk kembali ke puri Yogascitra. Demi mendengar laporan ini, Pangeran Yogascitra nampak pucat wajahnya.
“Tidak sangka Jaya Perbangsa yang selama ini baik padaku bertindak sehina ini…” gumamnya memendam kesedihan.
“Tapi bukankah hampir semua orang sekarang bertindak begitu?” tanya Ginggi.
Turun naik dada pangeran tua itu ketika Ginggi berkata begitu.
“Kita boleh mengeluarkan panca-Parisuda (kritik dan teguran) seperti apa yang tersirat dalam Kitab Sanghyang Siksakandang Karesian, tapi tak dibenarkan melakukan pemberontakan!” kata Pangeran Yogascitra tegas.
“Tapi Ki Darma Tunggara yang melakukan kritik tetap dianggap memberontak. Sehingga pada akhirnya, apakah itu terang-terangan kepada Raja atau hanya sekadar melontarkan pancaparisuda, kalau membuat Raja marah, tetap akan dituding pengkhianat dan pemberontak. Maaf Pangeran, dalam pertemuan beberapa hari lalu di puri ini, Pangeran bersedia melakukan upaya perbaikan di istana. Itu artinya, Pangeran akan secara langsung berhadapan dengan Sang Prabu. Pangeran akan mengoreksi tindakan Raja. Kalau sudah begitu apa bedanya dengan semua orang, dengan tindakan Ki Darma juga misalnya? Bukankah pada akhirnya Pangeran juga sama-sama memberontak dalam pandangan Sang Prabu?” Tanya Ginggi menggebu.
“Aku tidak akan memberontak!”
“Tapi Ki Darma tetap dituduh memberontak!”
“Aku tak menuduh Ki Darma memberontak!”
“Mengapa sampai sekarang dia tetap dikejar? Mengapa semua prepantun mengolok-olok dan mengejeknya? Mengapa?” tanya Ginggi lagi kian menggebu.
“Ginggi! Ada apa secara tiba-tiba kau seperti membela Ki Darma?” teriak Pangeran Yogascitra.
“Karena saya murid Ki Darma!” Ginggi balik berteriak.
Terhenyak semua orang mendengar pengakuan ini. Pangeran Yogascitra bahkan tak terasa mundur setindak.
“Ya, saya murid Ki Darma!” kata Ginggi lagi.
“Barangkali saya akan ditangkap, sebab kata orang, setiap yang memiliki hubungan dengan Ki Darma akan disamakan kedudukannya sebagai pemberontak juga. Boleh tangkap saya. Tapi sebelumnya akan saya buktikan bahwa saya tidak melakukan pemberontakan, sama seperti apa yang dilakukan Ki Darma belasan tahun silam. Dan Bahkan sama dengan tindakan Pangeran Yogascitra yang melakukan pancaparisuda tapi bukan melawan Raja” kata Ginggi lagi menatap tajam.
Pangeran Yogascitra termenung mendengar kata-kata pemuda itu, demikian pun yang lainnya.
“Aku sudah katakan tadi, tidak pernah menuduh Ki Darma sebagai pemberontak. Tapi harap kau tahu, Sang Prabu Ratu Sakti banyak dikelilingi para pembantunya dan gagasan serta jalan pikirannya bermacam-macam. Kalau ada orang yang merasa tak senang dengan tindak-tanduk Ki Darma, maka rasa tak senangnya itu dipengaruhkannya pada Sang Prabu agar beliau membuat keputusan-keputusan tertentu,” gumam Pangeran Yogascitra dengan nada pemuh sesal.
Ginggi hanya terlihat mematung dengan napas sedikit ditahan-tahannya.
“Kau tanyalah anakku, bagaimana sikapnya terhadap Ki Darma. Dia tak mengenal orang tua gagah itu secara pribadi, sebab Banyak Angga masih terlalu kecil saat itu. Tapi anakku sudah punya pandangan tersendiri pada Ki Darma,” kata Pangeran Yogascitra sambil menoleh pada Banyak Angga yang duduk bersila dengan wajah muram.
“Sekarang ini dunia terbalik. Orang yang menyayangi dengan memberinya kritik dikesampingkan dan dibenci, tapi yang menjilat dan mencari muka dihargai. Saya mempelajari kehidupan Ki Darma sejak mulai beliau sebagai anggota Seribu Pengawal Raja sampai menjadi buronan yang harus dikejar. Tak ada arang tercoreng di wajahnya, sebab apa yang beliau lakukan, semuanya demi nama baik bangsa dan negara. Hanya karena sikap penguasa yang tak senang padanya saja yang menyebabkan dia dicap sebagai pemberontak,” kata Banyak Angga sungguh-sungguh.
“Ki Darma seorang gagah. Dia patriotik sejati. Tapi kedudukan kami lemah sehingga sulit mempengaruhi Raja untuk tidak membencinya…” Purbajaya ikut bicara.
Ginggi sangat terharu dengan sikap-sikap mereka ini. Setidaknya Ginggi tahu, tidak semua orang menuduh buruk terhadap Ki Darma.
“Terima kasih bahwa di puri ini saya mendapatkan kebahagiaan,” kata Ginggi dengan nada bergetar.
“Percayalah pada saya, bahwa saya juga sependapat dengan orang yang ada di sini. Saya benci kekerasan dan saya tak menghendaki adanya pemberontakan,” katanya lagi.
“Baik, kami semua percaya padamu. Karena kau lebih banyak tahu dari pada kami perihal rencana pemberontakan, maka sebaiknya kau bantu kami memecahkan cara dalam mencegah pemberontakan ini,” kata Pangeran Yogascitra.
Ginggi tak menjawab. Tapi karena Pangeran Yogascitra mulai duduk kembali sambil bersila, Ginggi pun ikut bersila.
“Didayo (ibukota) ini saya melihat sudah banyak perbedaan pendapat. Di luar Pakuan lebih parah dari itu, sebab banyak orang tak menyukai Raja,” kata Ginggi, “Saya tidak akan berpihak ke mana pun sebab mana benar mana salah, semuanya sudah bergalau menjadi satu. Tapi satu hal yang akan saya kerjakan di sini, saya akan coba menggagalkan pertumpahan darah. Saya tak ingin beda pendapat di antara orang-orang yang mementingkan kedudukan mengikut sertakan rakyat dan rakyat menjadi korban kepentingan mereka,” kata Ginggi lagi menatap Pangeran Yogascitra.
“Pendapatmu aku hargai, anak muda,” sambut bangsawan itu. “Namun bagaimana caranya agar pertempuran tidak terjadi?” tanyanya kemudian.
Baik Banyak Angga mau pun Purbajaya sama-sama menatap padanya. Ginggi mengerutkan dahi sebab dia pun masih bingung bagaimana caranya mencegah pertempuran.
“Menahan perjalanan mereka sudah tak mungkin sebab hari ini hampir setengah perjalanan mereka lakukan,” gumam Ginggi. “Lebih baik biarkan saja mereka memasuki Pakuan,” lanjutnya.
Semua orang menatap dirinya.
“Tapi kekuatan Pakuan harus tetap utuh. Untuk itu harus ada yang segera menghubungi Raja agar membatalkan pengiriman sepuluh perwira menuju timur. Perkiraan Pangeran Jaya Perbangsa harus kita kuatirkan. Dia yang melahirkan gagasan agar sepuluh perwira andalan meninggalkan Pakuan. Pertama disengaja agar tidak bisa menjaga Pakuan dan keduanya diharapkan sepuluh perwira berpapasan dengan pasukan penyerbu untuk kemudian dibantai,” kata Ginggi merenung lagi. “Adakah yang sanggup menghadap Raja?” tanyanya.
“Kapan kesepuluh perwira akan berangkat tugas?” Tanya Pangeran Yogascitra.
“Saya dengar subuh hari ini mereka akan berangkat,” kata Banyak Angga.
“Ya, benar…subuh ini!” sambung Ginggi.
“Kita tak bisa begitu saja mencegat para perwira agar tak jadi berangkat. Segalanya harus berdasarkan titah Raja. Sedangkan kapan kita bisa menghadap Raja, rasanya tak ada waktu lagi,” Pangeran Yogascitra mengerutkan dahi.
“Bagaimana kalau tak melalui Raja. Kita langsung menghubungi para perwira saja dan kita katakan perihal bahaya penyerbuan ini,” Banyak Angga mengajukan usul.
“Hati-hati. Jangan-jangan ini malah lebih berbahaya. Kau mungkin dengar ucapan Pangeran Jaya Perbangsa tadi, bahwa di Pakuan sudah banyak kaki-tangan Ki Banaspati. Tapi, siapa saja mereka, kita tidak diberi tahu. Kalau kita salah menghubungi, malah kita seolah menyerahkan nyawa pada mereka,” kata Ginggi mengingatkan.
Purbajaya membenarkan ucapan Ginggi ini.
“Jadi bagaimana baiknya?” tanya Banyak Angga bingung.
“Lebih baik kita cegat saja kesepuluh perwira yang sedianya akan melakukan perjalanan ke timur. Kita khabarkan mara-bahaya yang tengah mengancam Pakuan. Saya yakin, mereka mau percaya dan mengurungkan perjalanan. Tapi yang harus menghubungi mereka haruslah Pangeran sendiri,” kata Ginggi.
Pangeran Yogascitra setuju, sebab mungkin para perwira hanya percaya padanya saja.
“Kalau begitu aku harus siap-siap menghubungi mereka,” tutur Pangeran Yogascitra sungguh-sungguh, “Tapi semua pun harus membagi tugas,” lanjutnya.
“Saya akan membayangi Pangeran Jaya Perbangsa,” kata Banyak Angga.
Ginggi menatapnya, khawatir pemuda itu bertindak sembrono.
“Saya hanya akan kembali pada Ki Banaspati untuk menyelidik gerakannya,” tutur Ginggi.
“Akan saya pikirkan apa yang mau saya kerjakan. Saya ingin tahu siapa kaki-tangan Ki Banaspati di Pakuan ini,” gumam Purbajaya.
Percakapan berhenti sampai di situ sebab Pangeran Yogascitra harus sudah bersiap-siap keluar puri. Hari belumlah subuh, tapi pangeran tua ini perlu berkemas mempersiapkan sesuatu. Sedangkan Ginggi segera mohon diri sebab kantuk sudah demikian menyerangnya, apalagi tubuhnya masih terasa lemah karena luka-luka di tubuhnya. Namun ketika pemuda itu tiba di bangunan di mana dia menginap, darahnya berdesir cepat manakala di sudut ruangan ada satu tubuh membayang.
“Ki Banaspati?” gumam Ginggi setengah berdesis saking kagetnya.
Ginggi menahan napas dan mencoba bersiap memusatkan tenaga menjaga kalau-kalau Ki Banaspati melakukan penyerangan. Namun apa yang dikhawatirkan ternyata tak terjadi. Ki Banaspati malah mendekatinya.
“Tiga hari yang akan datang waktu yang baik untuk melakukan tugasmu,” kata Ki Banaspati.
“Tugasku yang mana?” tanya Ginggi berdebar.
“Membunuh Raja!”
“Membunuh Raja?”
“Ya! Sang Prabu akan mandi suci tepat di pagi hari, di Telaga Rena Maha Wijaya. Orang lainnya yang sama-sama harus kau bunuh juga ada di telaga.”
“Pangeran Yogascitra?”
“Benar!”
“Akan begitu banyak pengawal di sana. Aku pasti kesulian melakukan tugas itu!” kata Ginggi.
“Hm! Kau meremehkan gerakanku. Ketahuilah, lebih dari setengah pengawal Raja adalah anak buah Ki Bagus Seta tapi kini sudah berada di bawah komandoku,” kata Ki Banaspati pasti.
Ginggi terkejut mendengarnya.
“Ki Bagus Seta bagaimana?”
“Dia sudah tak bisa diharapkan. Ki Bagus Seta sakit parah!” jawab Ki Banaspati pendek.
Ginggi mengerutkan dahi.
“Dia sudah jadi orang yang tak berguna. Tinggal kita berdua yang masih bisa melaksanakan amanat Ki Guru,” desis Ki Banaspati. “Camkan itu,” sambungnya.
“Tapi apakah pelaksanaan tugasku masih berada di bawah ancamanmu?” tanya Ginggi menatap tajam.
“Ya, sebab nyawamu dan nyawa Ki Rangga Guna masih amat bergantung pada sejauh mana kesetiaanmu pada perjuangan ini!” jawab Ki Banaspati tegas. “Ingat, tiga hari lagi, pagi-pagi di Telaga Rena Maha Wijaya!” desisnya lagi.
Dan Ki Banaspati segera berlalu. Dia meloncat dari jendela, menghilang di kegelapan. Tinggallah Ginggi sendirian, merenung jauh dengan pikiran gundah. Kekuatan Ki Banaspati ternyata sudah benar-benar sempurna. Dia sudah memiliki jaringan dimana-mana, termasuk di sekitar pengawal Raja sendiri. Ginggi harus semakin berhati-hati tinggal di Pakuan ini. Ada dua kekuatan besar akan saling beradu. Satu kekuatan pendukung Raja dan satunya lagi yang akan menggulingkan Raja.
Kedudukan Ginggi seolah ada di tengah dan sedang diperebutkan. Bila salah satu kekuatan tahu dia memilih salah satunya, maka kedudukan Ginggi akan berbahaya. Pangeran Yogascitra kendati ada rasa kecewa terhadap kebijaksanaan Raja namun tak berniat menggulingkannya. Dan Ini Ginggi masukkan sebagai kelompok pendukung Raja.
Namun yang lebih berbahaya adalah kelompok Ki Banaspati. Mereka jelas-jelas niatnya memberontak dan akan merebut kekuasaan. Gerakan ini membahayakan keselamatan rakyat, juga dirinya sendiri, sebab kini Ginggi berada di bawah ancaman mereka. Ki Banaspati kerapkali melakukan penekanan, kalau Ginggi tak mau membantunya, maka selain Ki Rangga Guna akan dibunuh, juga dirinya akan diumumkan sebagai pengikut Ki Darma yang pada akhirnya akan ikut dikejar-kejar juga.
Tapi untuk yang kesekian kalinya Ginggi pun jadi ingat ucapan Ki Banaspati. Bahwa untuk mencapai kepentingan yang lebih besar, nyawa satu orang apalah artinya. Kalau Ginggi harus ikut pendapat ini, Ginggi pun perlu mengorbankan satu orang yaitu Ki Rangga Guna. Tegakah dia membiarkan orang tua itu dibunuh pasukan Sunda Sembawa? Kemudian kalau bertahan menyelamatkan nyawa Ki Rangga Guna, beranikah mengorbankan orang banyak dalam kancah peperangan besar?
Ginggi pusing memikirkannya. Pertimbangan seperti ini sebetulnya tidak diketahui oleh Ki Darma. Kata Ki Darma, terlalu banyak memikirkan untung-rugi pada akhirnya hanya akan melahirkan kerugian saja. Hanya karena tak mau membunuh harimau, maka pada akhirnya Ginggi menjadi mangsa harimau itu sendiri.
“Untuk mencapai satu tujuan yang lebih penting, engkau harus bisa mengeraskan hati untuk membuat satu putusan!” kata Ki Darma ketika di Puncak Cakrabuana.
“Ya, aku memang lemah! Aku berjiwa lemah!” gumamnya seorang diri.
Sampai kokok ayam bersahutan, Ginggi masih gundah-gulana, sehingga pada saat matahari hampir muncul saja dia bisa tidur. Ginggi bangun sesudah matahari agak tinggi. Itu pun karena Purbajaya datang memanggilnya.
“Ada hal yang penting, Raden?” tanya Ginggi mengucak kedua matanya karena masih pedih.
“Ya, ada sesuatu yang amat penting menyangkut dirimu,” kata Purbajaya.
Ginggi memandang pemuda itu penuh perhatian.
“Kau mandilah dulu!” kata lagi Purbajaya.
Ginggi segera pergi membersihkan badan sehingga kesegarannya kembali pulih. Muncul lagi ke ruangan di mana Purbajaya berada dengan menggunakan pakaian santana, yaitu baju kurung warna biru tua terbuat dari kain halus buatan negri Cina. Ornamen warna emas melingkari kain di pergelangan tangannya. Ginggi pun mengenakan ikat kepala dari kain batik hihinggulan, Dia sekarang sudah mengerti cara berpakaian, bagaimana etika di Pakuan ini, dia harus atur.
“Bagaimana, Raden?” tanyanya ketika sudah berada di hadapan Purbajaya.
“Engkau dipanggil menghadap ke balai penghadapan Raja,” kata Purbajaya.
“Maksudmu, aku dipanggil Sang Prabu?” tanya Ginggi heran.
Pemuda di hadapannya mengangguk.
“Ada keperluan apakah?”
“Mungkin berkaitan dengan pengetahuanmu perihal gerakan pasukan dari timur,” jawab Purbajaya.
Ginggi merenung dalam.
“Sepuluh perwira yang akan berangkat ke Puncak Cakrabuana berhasil dibatalkan. Tapi Raja perlu mendapatkan keterangan lebih seksama. Itulah sebabnya kau dipanggil menghadap,” kata pemuda itu dengan nada datar saja.
“Sekarang?”
“Sekarang…”
“Mari,” kata Ginggi. “Tapi sebelumnya, ada sesuatu yang akan aku tanya padamu, Raden, kalau-kalau engkau mengetahuinya…” kata Ginggi menunggu.
“Soal apa?” Purbajaya menoleh.
“Sejauh mana kebencian orang-orang Pakuan terhadap Ki Darma?” tanya Ginggi.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment