“Betulkah?”
“Ya, aku pernah melakukan perjalanan seperti itu.”
Berdebar jantung Ginggi mendengarnya. Beberapa baris kalimat sudah bisa diraba kemungkinannya. Dan kalau “ribuan pipit terbang dari timur” sudah bisa dipecahkan, maka seluruh isi surat rahasia bisa dia artikan. Tapi Ginggi benar-benar sudah bisa menduga.
“Ribuan pipit terbang dari timur” siapa lagi kalau bukan pasukan di bawah pimpinan Kandagalante Sunda Sembawa dari wilayah Sagaraherang yang terletak di sebelah timur Pakuan.
Ginggi kembali menyusun surat rahasia itu di dalam benaknya, kemudian mencoba menyusun pemecahannya. Maka “ribuan pipit terbang dari timur” diterjemahkan sebagai pasukan yang akan bergerak dari Sagaraherang.
“Ketika senja jatuh di barat” diartikan Ginggi bahwa pasukan itu akan tiba di barat (Pakuan) di saat senja tiba. Kemudian baris ketiga berbunyi “tiga hari sebelum kuwerabakti” menerangkan bahwa pasukan itu akan mulai bergerak tiga hari sebelum upacara kuwerabakti. Baris keempat berbunyi “pagi hari di Telaga Rena Maha Wijaya” memberitahukan bahwa pagi hari akan diadakan satu kegiatan. Kegiatan itu sudah pasti acara mandi suci seluruh keluarga istana. Raja juga akan mandi suci di telaga itu.
Oh, nanti dulu! Baris surat keempat bukan sekadar pemberitahuan akan upacara mandi suci. Pangeran Jaya Perbangsa tak perlu diberitahu sebab dia sendiri sudah tahu akan upacara itu. Kalimat baris keempat ini lebih berupa perintah untuk melakukan satu gerakan. Mungkin pagi hari waktunya, di saat ada upacara mandi suci di Telaga Rena Maha Wijaya.
Ginggi semakin berdegup jantungnya. Dia ingat perkataan Ki Banaspati di Pulo Parakan Baranangsiang kemarin malam bahwa sebuah gerakan besar akan segera dimulai. Akan ada penyerbuan besar-besaran ke Pakuan di saat upacara penting Kuwerabakti. Pasukan akan datang dengan menyamar sebagai rombongan pengirim seba.
“Benar!”
Pemberontakan akan dimulai empat hari lagi. Barangkali pasukan yang menyamar sebagai pengirim seba akan mulai bergerak esok hari dari Sagaraherang. Ginggi terpaku di ruangan gelap berjeruji ini. Sebentar lagi akan terjadi puncak kemelut di Pakuan. Maka di mana Ginggi akan menempatkan diri dalam situasi ini? Berdiri di fihak Ki Banaspatikah?
Tapi Ginggi kini sudah bisa menilai, Ki Banaspati tidak benar-benar berjuang sesuai amanat Ki Darma. Bahkan orang ini sebenarnya menggunakan perintah guru hanya sebagai dalih saja. Dengan membonceng kepada amanat Ki Darma dia punya tujuan tertentu untuk menjalankan ambisi pribadinya.
Kedoknya semakin terbuka di Pulo Parakan Baranangsiang. Betapa dengan kejamnya dia mencampakkan Ki Bagus Seta setelah tahu bahwa orang itu tak memiliki pengaruh berarti lagi di Pakuan. Ki Banaspati benar-benar berani memperlihatkan sikap sebenarnya sebelum cita-citanya tercapai. Tindakan seperti ini hanya menandakan bahwa dirinya yakin akan keberhasilan usahanya. Mungkin benar sebab Ki Bagus Seta sudah tak mungkin memperbaiki posisinya. Waktu sudah tak ada lagi, sebab Ki Banaspati membuka kartu di saat-saat terakhir, di mana seluruh kekuatan pasukannya sudah mulai bergerak. Ki Banaspati seorang yang berambisi besar, tamak dan licik. Ginggi tak perlu memihak padanya. Dengan kata lain, dia tak akan menjalankan perintah-perintah Ki Banaspati secuil pun !
“Tapi, bagaimana nasib Ki Rangga Guna?” keluhnya.
Jelas, nyawa Ki Rangga Guna jadi taruhannya bila Ginggi berani menghindari perintah-perintah Ki Banaspati.
“Jangan meributkan nyawa seseorang untuk sebuah perjuangan besar,” kata Ki Banaspati tempo hari.
Apakah Ginggi pun akan bercermin pada prinsip Ki Banaspati, merelakan nyawa Ki Rangga Guna demi sesuatu? Sesuatu apa? Perjuangankah? Kalau dia menolak ajakan Ki Banaspati, lantas akan berjuang demi siapakah kini? Untuk kepentingan Pakuan? Untuk kepentingan Raja? Tidak mungkin, sebab selain tak sesuai dengan amanat Ki Darma, juga bertolak belakang dengan hati nuraninya. Sudah jelas Raja itu berjiwa lemah. Mudah diombang-ambing pengaruh dari luar dirinya dan mudah tergoda oleh kehidupan duniawi termasuk kecantikan wanita. Ginggi tak sudi mengabdi kepada Raja yang seperti ini. Dan kalau kesini tak mau dan kesana tak mau, sudah benarkah sikap hidupnya ini? Ingat tembang-tembang prepantun (juru pantun) yang menyindir dan mencerca sikap Ki Darma.
Itulah hukuman bagi yang meragu kesana tak mau kesini tak mau Akhirnya Ki Darma menjadi musuh semua Oh, hai, musuh semua ! Ginggi merenung. Hanya karena kesana tak mau kesini tak mau maka Ki Darma akhirnya menjadi musuh semua orang. Ginggi sedih, mengapa orang tidak diberi kebebasan memilih sikap dan selalu harus mengikatkan diri pada satu kepentingan?
Ketika berada di puncak, di saat suasana sepi tengah malam, Ki Darma selalu bersenandung. Bunyi tembangnya tak pernah berubah, selalu membacakan satu bait syair. Hidup banyak menawarkan sesuatu namun bila salah memilihnya kita adalah orang-orang yang kalah Oh, hai! Orang-orang yang kalah! Ginggi tersenyum pahit bila menyimak syair tembang Ki Darma ini. Memang tak terbatas tawaran terhadap pilihan hidup. Tapi, mencoba tidak memilih sesuatu, sebetulnya adalah sebuah pilihan hidup juga. Mengapa orang dianggap berdosa bila tak mencoba memilih satu kepentingan? Kesana tak mau, kesini tak mau, dosakah itu? Bukankah tidak memilih sesuaupun sebenarnya satu pendirian juga?
Ginggi kembali tersenyum pahit. Sepertinya dia pun akan berpendirian seperti Ki Darma. Kesana tak mau kesini tak mau dan akhirnya dimusuhi semua orang. Tidak apa. Aku hanya taat pada Ki Darma. Ada surat dari Ki Rangga Guna yang kata Ki Banaspati akan membahayakan dirinya. Surat itu menyuruh Ginggi agar tetap berpegang teguh pada amanat Ki Darma. Ginggi ingat betul, Ki Darma berkata agar dia membela rakyat dengan jalan apa saja. Dia disuruh bergabung dengan para murid lainnya, sepanjang mereka pun mentaati perintah Ki Darma. Tapi Ginggi merasa bahwa Ki Banaspati tak seutuhnya menjalankan amanat guru, berarti Ginggi tak pelu ikut bergabung.
“Pada akhirnya kau akan punya keyakinan sendiri dalam menentukan kebenaran. Kalau kau benar-benar telah meyakini satu pilihan, maka kau kerjakanlah!” kata Ki Darma ketika dia berada di Puncak Cakrabuana hampir dua tahun silam. Tak terasa ada lelehan airmata di pipi pemuda itu. Baru sekarang dia sadar, sebenarnya orang yang paling bijaksana adalah Ki Darma. Orang tua ini tidak pernah mengangkat dirinya sebagai murid. Mulanya Ginggi berpikir buruk. Ki Darma tak secara resmi mengangkat dia sebagai murid mungkin karena dia kurang disayang dan kurang dipercaya.
Namun belakangan Ginggi menyadari bahwa perbuatan Ki Darma ini bisa jadi punya maksud tertentu. Ki Darma tak mengangkatnya sebagia murid tapi memberinya berbagai ilmu kepandaian, termasuk kepandaian dalam berpikir dan belajar menimbang-nimbang arti kehidupan. Pemuda itu menduga, Ki Darma membebaskan dirinya dari hubungan guru dan murid agar Ginggi bisa melakukan pilihan. Kalau dia terikat sumpah pada Ki Darma, jelas tak memiliki pilihan hidup lagi sebab segalanya sudah diatur guru. Apa yang diinginkan guru itu harus diturut. Karena ikatani-katan itu Ki Darma akan merasa kecewa kalau pada suatu saat sang murid tak mematuhi apa yang diinginkannya.
Dengan melepaskan ikatan guru-murid, kedua belah fihak akan saling membebaskan diri dari sesuatu yang bernama keharusan. Itulah sebabnya, kendati ada kata “perintah”, tapi di akhir kalimat, Ki Darma menyertakan ucapan, “sepanjang kau merasa yakin atas kebenaran yang aku katakan.”
“Ya, aku pernah melakukan perjalanan seperti itu.”
Berdebar jantung Ginggi mendengarnya. Beberapa baris kalimat sudah bisa diraba kemungkinannya. Dan kalau “ribuan pipit terbang dari timur” sudah bisa dipecahkan, maka seluruh isi surat rahasia bisa dia artikan. Tapi Ginggi benar-benar sudah bisa menduga.
“Ribuan pipit terbang dari timur” siapa lagi kalau bukan pasukan di bawah pimpinan Kandagalante Sunda Sembawa dari wilayah Sagaraherang yang terletak di sebelah timur Pakuan.
Ginggi kembali menyusun surat rahasia itu di dalam benaknya, kemudian mencoba menyusun pemecahannya. Maka “ribuan pipit terbang dari timur” diterjemahkan sebagai pasukan yang akan bergerak dari Sagaraherang.
“Ketika senja jatuh di barat” diartikan Ginggi bahwa pasukan itu akan tiba di barat (Pakuan) di saat senja tiba. Kemudian baris ketiga berbunyi “tiga hari sebelum kuwerabakti” menerangkan bahwa pasukan itu akan mulai bergerak tiga hari sebelum upacara kuwerabakti. Baris keempat berbunyi “pagi hari di Telaga Rena Maha Wijaya” memberitahukan bahwa pagi hari akan diadakan satu kegiatan. Kegiatan itu sudah pasti acara mandi suci seluruh keluarga istana. Raja juga akan mandi suci di telaga itu.
Oh, nanti dulu! Baris surat keempat bukan sekadar pemberitahuan akan upacara mandi suci. Pangeran Jaya Perbangsa tak perlu diberitahu sebab dia sendiri sudah tahu akan upacara itu. Kalimat baris keempat ini lebih berupa perintah untuk melakukan satu gerakan. Mungkin pagi hari waktunya, di saat ada upacara mandi suci di Telaga Rena Maha Wijaya.
Ginggi semakin berdegup jantungnya. Dia ingat perkataan Ki Banaspati di Pulo Parakan Baranangsiang kemarin malam bahwa sebuah gerakan besar akan segera dimulai. Akan ada penyerbuan besar-besaran ke Pakuan di saat upacara penting Kuwerabakti. Pasukan akan datang dengan menyamar sebagai rombongan pengirim seba.
“Benar!”
Pemberontakan akan dimulai empat hari lagi. Barangkali pasukan yang menyamar sebagai pengirim seba akan mulai bergerak esok hari dari Sagaraherang. Ginggi terpaku di ruangan gelap berjeruji ini. Sebentar lagi akan terjadi puncak kemelut di Pakuan. Maka di mana Ginggi akan menempatkan diri dalam situasi ini? Berdiri di fihak Ki Banaspatikah?
Tapi Ginggi kini sudah bisa menilai, Ki Banaspati tidak benar-benar berjuang sesuai amanat Ki Darma. Bahkan orang ini sebenarnya menggunakan perintah guru hanya sebagai dalih saja. Dengan membonceng kepada amanat Ki Darma dia punya tujuan tertentu untuk menjalankan ambisi pribadinya.
Kedoknya semakin terbuka di Pulo Parakan Baranangsiang. Betapa dengan kejamnya dia mencampakkan Ki Bagus Seta setelah tahu bahwa orang itu tak memiliki pengaruh berarti lagi di Pakuan. Ki Banaspati benar-benar berani memperlihatkan sikap sebenarnya sebelum cita-citanya tercapai. Tindakan seperti ini hanya menandakan bahwa dirinya yakin akan keberhasilan usahanya. Mungkin benar sebab Ki Bagus Seta sudah tak mungkin memperbaiki posisinya. Waktu sudah tak ada lagi, sebab Ki Banaspati membuka kartu di saat-saat terakhir, di mana seluruh kekuatan pasukannya sudah mulai bergerak. Ki Banaspati seorang yang berambisi besar, tamak dan licik. Ginggi tak perlu memihak padanya. Dengan kata lain, dia tak akan menjalankan perintah-perintah Ki Banaspati secuil pun !
“Tapi, bagaimana nasib Ki Rangga Guna?” keluhnya.
Jelas, nyawa Ki Rangga Guna jadi taruhannya bila Ginggi berani menghindari perintah-perintah Ki Banaspati.
“Jangan meributkan nyawa seseorang untuk sebuah perjuangan besar,” kata Ki Banaspati tempo hari.
Apakah Ginggi pun akan bercermin pada prinsip Ki Banaspati, merelakan nyawa Ki Rangga Guna demi sesuatu? Sesuatu apa? Perjuangankah? Kalau dia menolak ajakan Ki Banaspati, lantas akan berjuang demi siapakah kini? Untuk kepentingan Pakuan? Untuk kepentingan Raja? Tidak mungkin, sebab selain tak sesuai dengan amanat Ki Darma, juga bertolak belakang dengan hati nuraninya. Sudah jelas Raja itu berjiwa lemah. Mudah diombang-ambing pengaruh dari luar dirinya dan mudah tergoda oleh kehidupan duniawi termasuk kecantikan wanita. Ginggi tak sudi mengabdi kepada Raja yang seperti ini. Dan kalau kesini tak mau dan kesana tak mau, sudah benarkah sikap hidupnya ini? Ingat tembang-tembang prepantun (juru pantun) yang menyindir dan mencerca sikap Ki Darma.
Itulah hukuman bagi yang meragu kesana tak mau kesini tak mau Akhirnya Ki Darma menjadi musuh semua Oh, hai, musuh semua ! Ginggi merenung. Hanya karena kesana tak mau kesini tak mau maka Ki Darma akhirnya menjadi musuh semua orang. Ginggi sedih, mengapa orang tidak diberi kebebasan memilih sikap dan selalu harus mengikatkan diri pada satu kepentingan?
Ketika berada di puncak, di saat suasana sepi tengah malam, Ki Darma selalu bersenandung. Bunyi tembangnya tak pernah berubah, selalu membacakan satu bait syair. Hidup banyak menawarkan sesuatu namun bila salah memilihnya kita adalah orang-orang yang kalah Oh, hai! Orang-orang yang kalah! Ginggi tersenyum pahit bila menyimak syair tembang Ki Darma ini. Memang tak terbatas tawaran terhadap pilihan hidup. Tapi, mencoba tidak memilih sesuatu, sebetulnya adalah sebuah pilihan hidup juga. Mengapa orang dianggap berdosa bila tak mencoba memilih satu kepentingan? Kesana tak mau, kesini tak mau, dosakah itu? Bukankah tidak memilih sesuaupun sebenarnya satu pendirian juga?
Ginggi kembali tersenyum pahit. Sepertinya dia pun akan berpendirian seperti Ki Darma. Kesana tak mau kesini tak mau dan akhirnya dimusuhi semua orang. Tidak apa. Aku hanya taat pada Ki Darma. Ada surat dari Ki Rangga Guna yang kata Ki Banaspati akan membahayakan dirinya. Surat itu menyuruh Ginggi agar tetap berpegang teguh pada amanat Ki Darma. Ginggi ingat betul, Ki Darma berkata agar dia membela rakyat dengan jalan apa saja. Dia disuruh bergabung dengan para murid lainnya, sepanjang mereka pun mentaati perintah Ki Darma. Tapi Ginggi merasa bahwa Ki Banaspati tak seutuhnya menjalankan amanat guru, berarti Ginggi tak pelu ikut bergabung.
“Pada akhirnya kau akan punya keyakinan sendiri dalam menentukan kebenaran. Kalau kau benar-benar telah meyakini satu pilihan, maka kau kerjakanlah!” kata Ki Darma ketika dia berada di Puncak Cakrabuana hampir dua tahun silam. Tak terasa ada lelehan airmata di pipi pemuda itu. Baru sekarang dia sadar, sebenarnya orang yang paling bijaksana adalah Ki Darma. Orang tua ini tidak pernah mengangkat dirinya sebagai murid. Mulanya Ginggi berpikir buruk. Ki Darma tak secara resmi mengangkat dia sebagai murid mungkin karena dia kurang disayang dan kurang dipercaya.
Namun belakangan Ginggi menyadari bahwa perbuatan Ki Darma ini bisa jadi punya maksud tertentu. Ki Darma tak mengangkatnya sebagia murid tapi memberinya berbagai ilmu kepandaian, termasuk kepandaian dalam berpikir dan belajar menimbang-nimbang arti kehidupan. Pemuda itu menduga, Ki Darma membebaskan dirinya dari hubungan guru dan murid agar Ginggi bisa melakukan pilihan. Kalau dia terikat sumpah pada Ki Darma, jelas tak memiliki pilihan hidup lagi sebab segalanya sudah diatur guru. Apa yang diinginkan guru itu harus diturut. Karena ikatani-katan itu Ki Darma akan merasa kecewa kalau pada suatu saat sang murid tak mematuhi apa yang diinginkannya.
Dengan melepaskan ikatan guru-murid, kedua belah fihak akan saling membebaskan diri dari sesuatu yang bernama keharusan. Itulah sebabnya, kendati ada kata “perintah”, tapi di akhir kalimat, Ki Darma menyertakan ucapan, “sepanjang kau merasa yakin atas kebenaran yang aku katakan.”
Ki Darma tak pernah mengajarkan padanya apa itu agama. Barangkali bukan berarti dirinya tak perlu memiliki keyakinan agama. Tapi orang tua itu membebaskan Ginggi untuk belajar menilai dan memilih. Sekarang dunia semakin berkembang dengan hadirnya agama baru. Ki Darma mungkin bermaksud “melahirkan” keberadaan Ginggi apa adanya. Tidak dicekoki oleh keyakinan yang dipeluknya, atau disuruh membenci kehadiran agama baru. Biarkan Ginggi dalam keadaan kosong. Siapa yang harus mengisinya, bukan karena anjuran, pengaruh atau pun perintah orang lain, tapi diserahkan kepada hasil pilihan hatinya sendiri.
“Semakin dewasa orang akan semakin berpikir tentang perlunya sesuatu pandangan hidup. Kau carilah sendiri, sebab bila jalan pikiranmu sudah dewasa kau akan sanggup memilih mana yang terbaik,” kata Ki Darma tempo hari.
Orang tua itu tidak menyuruhnya masuk agama apa pun, segalanya diserahkan pada Ginggi sendiri. Ki Darma hanya membekalinya dengan berbagai pandangan agar kelak Ginggi sanggup memilah-milah sendiri, mana yang benar dan mana yang buruk. Sekarang Ginggi sudah banyak belajar meneliti sikap dan perilaku manusia. Sedikit banyaknya dia sudah bias menarik kesimpulan sendiri untuk dijadikan pedoman, di mana kelak dia harus menempatkan diri.
Benar seperti yang dijanjikan Pangeran Yogascitra, bahwa malam harinya dia akan datang lagi ke sel tahanan. Dia datang bersama Banyak Angga dan Purbajaya.
“Bagaimana, apakah kau sudah siap memberi keterangan tentang surat sandi itu?” tanya Pangeran Yogascitra menatap tajam padanya.
“Saya juga baru menemukan isi sandi itu barusan. Namun ini pun sebagai kira-kira saja. Bila dugaan saya benar, Pangeran harap segera melakukan berbagai tindakan. Tapi bila salah, anggaplah itu keluar dari jalan pikiran orang dungu semata,” kata Ginggi balik menatap pada pangeran itu.
Semua orang mendekatkan wajahnya pada besi jeruji. “Maksudmu, engkau sudah tahu arti sandi surat itu?” yang bertanya heran adalah Purbajaya.
“Tidak. Isinya baru dugaan saja,” gumam Ginggi.
“Sudah bisa menduga isinya berarti sudah tahu kalimat sandi. Dari mana engkau tahu, padahal engkau tak bias membaca?” tanya lagi pemuda itu.
Ginggi tersenyum tipis, “Maafkan saya banyak bohong, saya sebenarnya ada sedikit bisa….” katanya.
“Kau memang banyak membohong sehingga amat membingunkan kami,” kata Banyak Angga. “Ayahanda, kalau dia mengemukakan isi sandi itu, apakah kita akan mempercayainya?” menoleh pada Pangeran Yogascitra.
“Bagaimana nanti saja, yang penting dia mau bicara dulu,” jawab pangeran tua itu pendek. “Cobalah kau katakan Ginggi, apa isi sandi itu…” kata Purbajaya.
“Itu adalah surat pemberitahuan perihal akan adanya pasukan besar dari wilayah timur ke Pakuan ini. Saya menduga, mereka akan menyerang tepat pada peringatan Kuwerabakti!” kata Ginggi.
Semua orang saling pandang, kemudian sama-sama menatap wajah Ginggi. “Mengapa Ki Banaspati mengirim surat padamu?” Tanya Banyak Angga.
“Surat itu bukan untuk saya.”
“Kalau begitu, untuk siapakah surat itu?”
“Saya diutus menyerahkan surat itu pada Pangeran Jaya Perbangsa!” kata Ginggi.
“Apa???” teriak ketiga orang itu berbareng dan Nampak kaget.”Kau maksudkan Pangeran Jaya Perbangsa punya hubungan khusus dengan Ki Banaspati?” tanya Banyak Angga.
“Saya tak berkata begitu…”
“Kau tuduh pangeran muda itu bersekongkol untuk melakukan satu kegiatan rahasia?” tanya Banyak Angga lagi.
“Saya tidak bicara begitu…” jawab Ginggi lagi.
“Ginggi, aku ingin percaya padamu, kumohon kau bicaralah dengan benar…” kata Purbajaya seperti memohon agar Ginggi bertindak dengan kesadaran.
“Apa yang ada dalam hati saya, itulah yang diucapkan. Saya tak menduga atau menuduh sesuatu. Tapi yang jelas saya diperintahkan Ki Banaspati menyerahkan kotak surat kepada Pangeran Jaya Perbangsa. Tapi saya ingin sekali melihat isinya, maka saya coba buka. Namun sebelum berhasil membacanya, ada serangan jarum beracun dari kotak itu dan saya pingsan. Belakangan saya menyadari sudah berada di sini,” kata Ginggi.
“Engkau terpaksa diamankan di sini karena ada surat seperti itu,” kata Purbajaya.
Ginggi menundukkan muka.
“Engkau berkomplot dengan Ki Banaspati?” Tanya Banyak Angga.
“Keinginan Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta memang begitu. Semua harus berkomplot melawan Raja!” Ginggi menjawab begitu.
“Mengapa mereka ingin melawan Raja!” tanya Pangeran Yogascitra.
“Menurut mereka, Raja tak bijaksana dalam mengatur pemerintahan sehingga rakyat sengsara!” jawab Ginggi.
“Merekalah yang membuat rakyat sengsara. Ki Bagus Seta selalu mempengaruhi Raja agar melakukan tindakan keliru!” kata Pangeran Yogascitra.
“Entahlah…Hanya itu yang mereka katakan!” kata Ginggi lagi.
“Kalau begitu semua orang punya pendirian sama untuk menurunkan Raja, Ayahanda…” gumam Banyak Angga.
“Aku tak berniat menggulingkan Raja, sekali pun memang benar aku tak setuju dengan tindak-tanduk Raja. Aku sudah mencoba membujuk Sang Prabu agar mau membatalkan perkawinannya dengan Nyimas Layang Kingkin, tapi beliau malah tersinggung atas sikapku,” kata Pangeran Yogascitra dengan nada penuh sesal.
“Lalu, bagaimana dengan nasib adikku Nyimas Banyak Inten?” tanya lagi Banyak Angga.
Mendengar pertanyaan ini, nampak wajah Pangeran Yogascitra kelabu. Dia menghela napas beberapa kali sebelum melontarkan jawaban.
“Penghargaan Sang Prabu terhadap adikmu menjadi berkurang karena peristiwa Suji Angkara. Sang Prabu bahkan menyuruh agar adikmu dimasukkan ke mandala saja…” gumam pangeran tua itu.
“Apa? Dimasukkan ke mandala?” Pertanyaan ini berbareng dilontarkan oleh Banyak Angga dan Purbajaya.
Wajah Purbajaya bahkan terlihat amat pucat dan bibirnya bergetar.
“Apakah mandala itu?” tanya Ginggi heran.
“Mandala adalah semacam puri para wiku wanita. Setiap gadis yang gagal dalam perkawinan atau kehidupan lahiriah selalu memasuki mandala untuk belajar ilmu batin. Para wanita bangsawan yang ditinggal mati suaminya pun biasanya masuk kemandala…” kata Banyak Angga dengan wajah murung.
“Apakah Nyimas Banyak Inten digolongkan wanita yang gagal dalam kehidupan cinta?” tanya Ginggi.
Tak ada yang menjawab, sehingga suasana amat sunyi.
“Barangkali bagi Sang Prabu lebih terhormat melihat gadis yang dicintanya memasuki mandala ketimbang hidup di luar atau bahkan menjadi selirnya tapi sudah memiliki cacat. Gadis yang dilarikan lelaki lain secara paksa dianggap kehormatannya sudah cacat, apalagi gadis itu tadinya sudah dipilih Raja…” gumam Pangeran Yogascitra seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Pamanda Yogascitra, jangan biarkan Dinda Banyak Inten meninggalkan kehidupan duniawiyah. Dia masih muda. Dia masih penuh harapan dan cita-cita!” kata Purbajaya menggebu.
“Banyak Inten masuk mandala adalah harapan Raja. Tapi harapan Raja adalah perintah juga. Aku tak berani menentang titahnya, apalagi amat berkaitan erat dengan kepentingan dan kehormatannya…” gumam Pangeran Yogascitra dengan nada sendu sehingga kemurungan wajahnya menambah ketuaannya.
“Kalau Pamanda tak berani menentang Raja, untuk urusan ini saya berani ke depan,” kata Purbajaya tegas.
Pangeran Yogascitra menatap pemuda itu dengan penuh selidik.
“Mengapa kau begitu mati-matian membela anakku?” tanyanya.
Tapi yang ditanya malah menunduk membuat hati Ginggi sedikit berdebar karena penuh dugaan.
“Sudahlah…Urusan paling besar yang harus kita hadapi adalah sandi rahasia itu. Ginggi, benarkah isi surat itu maksudnya demikian?” tanya pangeran itu menoleh pada Ginggi.
“Sudah saya katakan tadi, itu hanya dugaan belaka,” jawab Ginggi, “Ribuan pipit terbang dari timur. Itulah pasukan yang kelak akan datang dari arah timur, entah siapa. Ketika senja jatuh di barat, maksudnya pasukan itu akan tiba di wilayah barat dan saya artikan sebagai Pakuan, di senja hari. Tiga hari sebelum Kuwerabakti, saya tafsirkan pasukan akan mulai bergerak dari timur tiga hari sebelum upacara Kuwerabakti, Baris terakhir, pagi hari di Telaga Rena MahaWijaya, saya artikan bahwa saat penyerbuan akan dilakukan di pagi hari, mungkin titik penyerbuan ke telaga itu. Apakah dugaan saya ini benar atau salah, saya sendiri pun tak dapat memastikannya!” kata Ginggi panjang-lebar.
Namun mendengar penjelasan ini, semua orang mendadak pucat wajahnya.
“Bisa jadi dugaanmu benar anak muda,” gumam Pangeran Yogascitra, “Pagi hari pada hari pertama upacara Kuwerabakti adalah mandi suci Sang Prabu beserta seluruh pejabat istana di Telaga Rena Maha Wijaya. Kemungkinan penyerbuan dilakukan di saat semua penghuni istana meninggalkan kadaton (keraton) dan berada di tempat terbuka tanpa perlindungan…” kata Pangeran Yogascitra.
Ginggi pun ingat, telaga di Bukit Badigul Rancamaya itu berada di wilayah jawi khita (benteng luar istana). Kalau seluruh penghuni istana sedang berada di sana, maka penyerbuan itu akan sangat membahayakan keselamatan Raja.
“Kalau begitu, kita harus segera mengambil tindakan,” kata Pangeran Yogascitra.
“Nanti dulu Ayahanda. Kita harus selidiki kebenarannya,” kata Banyak Angga sambil kemudian menoleh ke arah Ginggi. “Ginggi sebetulnya engkau ada di fihak manakah? Di lain fihak diutus Ki Banaspati tapi di lain fihak pula beritahu kami mengenai rencana mereka,” kata Banyak Angga lagi.
Pangeran Yogascitra pun rupanya terpengaruh oleh ucapan pemuda itu, buktinya dia menatap tajam Ginggi.
“Kau berada di fihak mana, anak muda?” tanyanya.
“Saya tak berada di fihak mana pun. Semua peristiwa ini tak ada kepentingannya dengan saya. Tapi kalau saya sekarang beberkan rencana Ki Banaspati atau siapa saja, saya sebenarnya hanya tak ingin terjadi banyak korban. Kalau benar ada rencana penyerbuan besar-besaran ke Pakuan, akan jatuh korban sia-sia. Saya tak ingin melihat perang sebab akan menyengsarakan banyak orang…” kata Ginggi mantap.
Pangeran Yogascitra merenung namun akhirnya mengangguk-angguk. “Pendapatmu benar belaka, anak muda. Perang tak boleh terjadi, apalagi dilakukan sesame orang Pajajaran…” kata pangeran itu.
“Lalu bagaimana tindakan kita, Ayahanda?” Tanya Banyak Angga.
Pangeran Yogascitra berpikir sejenak. Dia menerawang ke langit-langit, lalu menatap Ginggi.
“Kau lanjutkan dulu perintah Ki Banaspati. Serahkan kotak surat pada Pangeran Jaya Perbangsa. Aku ingin teliti, apakah benar dia terlibat pemberontakan?” Pangeran Yogascitra melirik pada putranya, “Kau dan Purbajaya kawal anak muda ini. Datanglah malam ini juga ke puri Jaya Perbangsa. Selagi anak muda itu menyerahkan surat, kau sembunyi di luar, dan kau Ginggi, aku ingin tahu sejauh mana kau ingin bantu aku, maksudku, sejauh mana kau ingin menghindari pertumpahan darah seperti yang aku juga pikirkan. Kalau jalan pikiranmu sama denganku, kau tentu mau membantu,” kata pangeran itu menoleh pada Ginggi.
“Saya siap membantu, Pangeran…” ucap Ginggi mengangguk.
Jagabaya dipanggil dan pintu jeruji dibuka. Ginggi berdiri dan melangkah keluar dari pintu tahanan. Dadanya masih terasa sakit karena luka dan tubuhnya pun lemah lunglai.
“Tubuhmu terserang racun. Tapi itu menolong kecurigaan kami akan keterlibatanmu, Ginggi,” kata Purbajaya di tengah jalan menuju puri Jaya Perbangsa.
“Benar kecurigaan kami berkurang. Kotak itu dipasangi senjata rahasia agar orang yang tak tahu dan berniat membukanya akan mati kena racun. Ini hanya menandakan kau memang tidak terlibat. Tapi aku sendiri masih bingung dengan sikapmu. Sepertinya kau tengah bimbang kau mesti berpihak ke mana,” kata Banyak Angga.
“Dulu saya bimbang, tapi setelah saya teliti kesana kemari, saya sudah bisa ambil keputusan,’ jawab Ginggi.
“Apa keputusanmu?”
“Saya tidak akan ikut kemana-mana,” jawab Ginggi.
“Termasuk membela negara?”
“Ini bukan pertentangan antara negara dan pemberontak, melainkan pertentangan orang-orang yang ingin menguasai negara,” jawab Ginggi.
“Mungkin begitu, tapi apa pun yang terjadi, negara tetap dalam bahaya dan semua orang harus mau mempertahankan negara,” kata Banyak Angga.
“Pendapatmu sama dengan saya. Maka untuk itulah saya pun berusaha mencegah terjadinya pertumpahan darah,” kata Ginggi.
Tiba di depan benteng puri, Banyak Angga dan Purbajaya memisahkan diri. Mereka naik ke benteng lewat jalan samping dan menghindari pertemuan dengan para jagabaya puri tersebut. Sedangkan Ginggi masuk puri secara baik-baik.
“Tapi Juragan Jaya Perbangsa sedang tak ada, Raden…” kata penjaga.
“Beliau sedang ke mana?” tanya Ginggi agak kecewa.
“Juragan dipanggil Sang Prabu malam ini juga. Rupanya ada sesuatu kepentingan mendadak,” ujar jagabaya.
“Begitu pentingkah kehadiranmu malam ini, Raden?” tanyanya kemudian.
Ginggi tak menjawab, sebab hatinya tengah berpikir-pikir tentang maksud pertemuan pangeran itu dengan Sang Prabu. Namun ketika dia sedang termangu, dari jauh ada bunyi suara ketoplak kaki kuda. Ginggi menoleh ke belakang. Yang datang ternyata Pangeran Jaya Perbangsa, berjalan lambat-lambat dan dikawal empat orang prajurit bersenjata dengan obor di tangan masing-masing.
“Siapa itu?” tegur bangsawan muda berkumis tipis ini. “Oh, aku kenal kau. Bukankah engkau calon ksatria dari puri Yogascitra, bukan?” kata pangeran itu dengan nada sedikit mengejek yang Ginggi tak tahu apa maksudnya.
“Ada yang akan saya sampaikan. Dan ini sangat penting. Bolehkah saya masuk?” kata Ginggi.
Pangeran Jaya Perbangsa menatap sejenak, namun kemudian mengangguk kendati penuh hati-hati. Ginggi diterima di sebuah kamar tertutup. Ketika dia baru saja duduk bersila, di atas sirap terdengar sedikit gerakan. Pelahan saja tapi Ginggi tahu ada dua benda berat bertengger di sana. Ginggi khawatir akan kecerobohan dua orang temannya itu. Bagi penilaian Ginggi, gerakan mereka masih kasar. Kalau Pangeran Jaya Perbangsa memiliki kepandaian tinggi, mereka pasti mudah diketahui.
“Ada keperluan apakah Pangeran tua yang setia itu mengutusmu, hei ksatria!” kata Pangeran Jaya Perbangsa masih dengan nada sedikit mengejek.
Namun bagi Ginggi sepertinya orang ini memperlihatkan dirinya bahwa dia tak senang terhadap Pangeran Yogascitra. Dan ini sedikit lebih meyakinkan dirinya pula bahwa bangsawan muda yang gagah ini punya hubungan dengan Ki Banaspati.
“Saya datang ke sini bukan atas suruhan Pangeran Yogascitra,” kata Ginggi pendek.
Namun begitu mendengar penjelasan ini, pangeran muda itu membelalakkan kedua belah matanya.
“Kau…siapa engkau sebenarnya?” tanyanya sedikit heran.
“Namaku Ginggi!” kata lagi pemuda itu pendek tapi matanya tajam menatap Pangeran JayaPerbangsa.
“Maksudku, bukankah engkau orang dari puri Yogascitra?” tanya lagi bangsawan itu.
“Segalanya bisa terjadi, Pangeran. Bukankah Pangeran Yogascitra pun sampai saat ini selalu menganggap Pangeran Jaya Perbangsa sahabat baiknya?” kata Ginggi sedikit menyindir sehingga membuat wajah pangeran muda itu sedikit memerah.
“Ya, segalanya bisa terjadi dalam meniti perjuangan. Kau diutus oleh siapakah dan dalam urusan apakah?” Tanya lagi Pangeran Jaya Perbangsa.
“Ini!”
Ginggi langsung menyerahkan kotak surat yang engselnya sudah kembali terkunci. Pangeran Jaya Perbangsa menerima kotak surat itu. Dan dia terkejut menerimanya.
“Kau utusan Ki Banaspati, anak muda?” tanyanya.
Tapi Ginggi hanya mengangguk pelan. “Perlu dibuka hari ini juga?”
“Terserah Pangeran…” kata Ginggi.
“Semakin dewasa orang akan semakin berpikir tentang perlunya sesuatu pandangan hidup. Kau carilah sendiri, sebab bila jalan pikiranmu sudah dewasa kau akan sanggup memilih mana yang terbaik,” kata Ki Darma tempo hari.
Orang tua itu tidak menyuruhnya masuk agama apa pun, segalanya diserahkan pada Ginggi sendiri. Ki Darma hanya membekalinya dengan berbagai pandangan agar kelak Ginggi sanggup memilah-milah sendiri, mana yang benar dan mana yang buruk. Sekarang Ginggi sudah banyak belajar meneliti sikap dan perilaku manusia. Sedikit banyaknya dia sudah bias menarik kesimpulan sendiri untuk dijadikan pedoman, di mana kelak dia harus menempatkan diri.
Benar seperti yang dijanjikan Pangeran Yogascitra, bahwa malam harinya dia akan datang lagi ke sel tahanan. Dia datang bersama Banyak Angga dan Purbajaya.
“Bagaimana, apakah kau sudah siap memberi keterangan tentang surat sandi itu?” tanya Pangeran Yogascitra menatap tajam padanya.
“Saya juga baru menemukan isi sandi itu barusan. Namun ini pun sebagai kira-kira saja. Bila dugaan saya benar, Pangeran harap segera melakukan berbagai tindakan. Tapi bila salah, anggaplah itu keluar dari jalan pikiran orang dungu semata,” kata Ginggi balik menatap pada pangeran itu.
Semua orang mendekatkan wajahnya pada besi jeruji. “Maksudmu, engkau sudah tahu arti sandi surat itu?” yang bertanya heran adalah Purbajaya.
“Tidak. Isinya baru dugaan saja,” gumam Ginggi.
“Sudah bisa menduga isinya berarti sudah tahu kalimat sandi. Dari mana engkau tahu, padahal engkau tak bias membaca?” tanya lagi pemuda itu.
Ginggi tersenyum tipis, “Maafkan saya banyak bohong, saya sebenarnya ada sedikit bisa….” katanya.
“Kau memang banyak membohong sehingga amat membingunkan kami,” kata Banyak Angga. “Ayahanda, kalau dia mengemukakan isi sandi itu, apakah kita akan mempercayainya?” menoleh pada Pangeran Yogascitra.
“Bagaimana nanti saja, yang penting dia mau bicara dulu,” jawab pangeran tua itu pendek. “Cobalah kau katakan Ginggi, apa isi sandi itu…” kata Purbajaya.
“Itu adalah surat pemberitahuan perihal akan adanya pasukan besar dari wilayah timur ke Pakuan ini. Saya menduga, mereka akan menyerang tepat pada peringatan Kuwerabakti!” kata Ginggi.
Semua orang saling pandang, kemudian sama-sama menatap wajah Ginggi. “Mengapa Ki Banaspati mengirim surat padamu?” Tanya Banyak Angga.
“Surat itu bukan untuk saya.”
“Kalau begitu, untuk siapakah surat itu?”
“Saya diutus menyerahkan surat itu pada Pangeran Jaya Perbangsa!” kata Ginggi.
“Apa???” teriak ketiga orang itu berbareng dan Nampak kaget.”Kau maksudkan Pangeran Jaya Perbangsa punya hubungan khusus dengan Ki Banaspati?” tanya Banyak Angga.
“Saya tak berkata begitu…”
“Kau tuduh pangeran muda itu bersekongkol untuk melakukan satu kegiatan rahasia?” tanya Banyak Angga lagi.
“Saya tidak bicara begitu…” jawab Ginggi lagi.
“Ginggi, aku ingin percaya padamu, kumohon kau bicaralah dengan benar…” kata Purbajaya seperti memohon agar Ginggi bertindak dengan kesadaran.
“Apa yang ada dalam hati saya, itulah yang diucapkan. Saya tak menduga atau menuduh sesuatu. Tapi yang jelas saya diperintahkan Ki Banaspati menyerahkan kotak surat kepada Pangeran Jaya Perbangsa. Tapi saya ingin sekali melihat isinya, maka saya coba buka. Namun sebelum berhasil membacanya, ada serangan jarum beracun dari kotak itu dan saya pingsan. Belakangan saya menyadari sudah berada di sini,” kata Ginggi.
“Engkau terpaksa diamankan di sini karena ada surat seperti itu,” kata Purbajaya.
Ginggi menundukkan muka.
“Engkau berkomplot dengan Ki Banaspati?” Tanya Banyak Angga.
“Keinginan Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta memang begitu. Semua harus berkomplot melawan Raja!” Ginggi menjawab begitu.
“Mengapa mereka ingin melawan Raja!” tanya Pangeran Yogascitra.
“Menurut mereka, Raja tak bijaksana dalam mengatur pemerintahan sehingga rakyat sengsara!” jawab Ginggi.
“Merekalah yang membuat rakyat sengsara. Ki Bagus Seta selalu mempengaruhi Raja agar melakukan tindakan keliru!” kata Pangeran Yogascitra.
“Entahlah…Hanya itu yang mereka katakan!” kata Ginggi lagi.
“Kalau begitu semua orang punya pendirian sama untuk menurunkan Raja, Ayahanda…” gumam Banyak Angga.
“Aku tak berniat menggulingkan Raja, sekali pun memang benar aku tak setuju dengan tindak-tanduk Raja. Aku sudah mencoba membujuk Sang Prabu agar mau membatalkan perkawinannya dengan Nyimas Layang Kingkin, tapi beliau malah tersinggung atas sikapku,” kata Pangeran Yogascitra dengan nada penuh sesal.
“Lalu, bagaimana dengan nasib adikku Nyimas Banyak Inten?” tanya lagi Banyak Angga.
Mendengar pertanyaan ini, nampak wajah Pangeran Yogascitra kelabu. Dia menghela napas beberapa kali sebelum melontarkan jawaban.
“Penghargaan Sang Prabu terhadap adikmu menjadi berkurang karena peristiwa Suji Angkara. Sang Prabu bahkan menyuruh agar adikmu dimasukkan ke mandala saja…” gumam pangeran tua itu.
“Apa? Dimasukkan ke mandala?” Pertanyaan ini berbareng dilontarkan oleh Banyak Angga dan Purbajaya.
Wajah Purbajaya bahkan terlihat amat pucat dan bibirnya bergetar.
“Apakah mandala itu?” tanya Ginggi heran.
“Mandala adalah semacam puri para wiku wanita. Setiap gadis yang gagal dalam perkawinan atau kehidupan lahiriah selalu memasuki mandala untuk belajar ilmu batin. Para wanita bangsawan yang ditinggal mati suaminya pun biasanya masuk kemandala…” kata Banyak Angga dengan wajah murung.
“Apakah Nyimas Banyak Inten digolongkan wanita yang gagal dalam kehidupan cinta?” tanya Ginggi.
Tak ada yang menjawab, sehingga suasana amat sunyi.
“Barangkali bagi Sang Prabu lebih terhormat melihat gadis yang dicintanya memasuki mandala ketimbang hidup di luar atau bahkan menjadi selirnya tapi sudah memiliki cacat. Gadis yang dilarikan lelaki lain secara paksa dianggap kehormatannya sudah cacat, apalagi gadis itu tadinya sudah dipilih Raja…” gumam Pangeran Yogascitra seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Pamanda Yogascitra, jangan biarkan Dinda Banyak Inten meninggalkan kehidupan duniawiyah. Dia masih muda. Dia masih penuh harapan dan cita-cita!” kata Purbajaya menggebu.
“Banyak Inten masuk mandala adalah harapan Raja. Tapi harapan Raja adalah perintah juga. Aku tak berani menentang titahnya, apalagi amat berkaitan erat dengan kepentingan dan kehormatannya…” gumam Pangeran Yogascitra dengan nada sendu sehingga kemurungan wajahnya menambah ketuaannya.
“Kalau Pamanda tak berani menentang Raja, untuk urusan ini saya berani ke depan,” kata Purbajaya tegas.
Pangeran Yogascitra menatap pemuda itu dengan penuh selidik.
“Mengapa kau begitu mati-matian membela anakku?” tanyanya.
Tapi yang ditanya malah menunduk membuat hati Ginggi sedikit berdebar karena penuh dugaan.
“Sudahlah…Urusan paling besar yang harus kita hadapi adalah sandi rahasia itu. Ginggi, benarkah isi surat itu maksudnya demikian?” tanya pangeran itu menoleh pada Ginggi.
“Sudah saya katakan tadi, itu hanya dugaan belaka,” jawab Ginggi, “Ribuan pipit terbang dari timur. Itulah pasukan yang kelak akan datang dari arah timur, entah siapa. Ketika senja jatuh di barat, maksudnya pasukan itu akan tiba di wilayah barat dan saya artikan sebagai Pakuan, di senja hari. Tiga hari sebelum Kuwerabakti, saya tafsirkan pasukan akan mulai bergerak dari timur tiga hari sebelum upacara Kuwerabakti, Baris terakhir, pagi hari di Telaga Rena MahaWijaya, saya artikan bahwa saat penyerbuan akan dilakukan di pagi hari, mungkin titik penyerbuan ke telaga itu. Apakah dugaan saya ini benar atau salah, saya sendiri pun tak dapat memastikannya!” kata Ginggi panjang-lebar.
Namun mendengar penjelasan ini, semua orang mendadak pucat wajahnya.
“Bisa jadi dugaanmu benar anak muda,” gumam Pangeran Yogascitra, “Pagi hari pada hari pertama upacara Kuwerabakti adalah mandi suci Sang Prabu beserta seluruh pejabat istana di Telaga Rena Maha Wijaya. Kemungkinan penyerbuan dilakukan di saat semua penghuni istana meninggalkan kadaton (keraton) dan berada di tempat terbuka tanpa perlindungan…” kata Pangeran Yogascitra.
Ginggi pun ingat, telaga di Bukit Badigul Rancamaya itu berada di wilayah jawi khita (benteng luar istana). Kalau seluruh penghuni istana sedang berada di sana, maka penyerbuan itu akan sangat membahayakan keselamatan Raja.
“Kalau begitu, kita harus segera mengambil tindakan,” kata Pangeran Yogascitra.
“Nanti dulu Ayahanda. Kita harus selidiki kebenarannya,” kata Banyak Angga sambil kemudian menoleh ke arah Ginggi. “Ginggi sebetulnya engkau ada di fihak manakah? Di lain fihak diutus Ki Banaspati tapi di lain fihak pula beritahu kami mengenai rencana mereka,” kata Banyak Angga lagi.
Pangeran Yogascitra pun rupanya terpengaruh oleh ucapan pemuda itu, buktinya dia menatap tajam Ginggi.
“Kau berada di fihak mana, anak muda?” tanyanya.
“Saya tak berada di fihak mana pun. Semua peristiwa ini tak ada kepentingannya dengan saya. Tapi kalau saya sekarang beberkan rencana Ki Banaspati atau siapa saja, saya sebenarnya hanya tak ingin terjadi banyak korban. Kalau benar ada rencana penyerbuan besar-besaran ke Pakuan, akan jatuh korban sia-sia. Saya tak ingin melihat perang sebab akan menyengsarakan banyak orang…” kata Ginggi mantap.
Pangeran Yogascitra merenung namun akhirnya mengangguk-angguk. “Pendapatmu benar belaka, anak muda. Perang tak boleh terjadi, apalagi dilakukan sesame orang Pajajaran…” kata pangeran itu.
“Lalu bagaimana tindakan kita, Ayahanda?” Tanya Banyak Angga.
Pangeran Yogascitra berpikir sejenak. Dia menerawang ke langit-langit, lalu menatap Ginggi.
“Kau lanjutkan dulu perintah Ki Banaspati. Serahkan kotak surat pada Pangeran Jaya Perbangsa. Aku ingin teliti, apakah benar dia terlibat pemberontakan?” Pangeran Yogascitra melirik pada putranya, “Kau dan Purbajaya kawal anak muda ini. Datanglah malam ini juga ke puri Jaya Perbangsa. Selagi anak muda itu menyerahkan surat, kau sembunyi di luar, dan kau Ginggi, aku ingin tahu sejauh mana kau ingin bantu aku, maksudku, sejauh mana kau ingin menghindari pertumpahan darah seperti yang aku juga pikirkan. Kalau jalan pikiranmu sama denganku, kau tentu mau membantu,” kata pangeran itu menoleh pada Ginggi.
“Saya siap membantu, Pangeran…” ucap Ginggi mengangguk.
Jagabaya dipanggil dan pintu jeruji dibuka. Ginggi berdiri dan melangkah keluar dari pintu tahanan. Dadanya masih terasa sakit karena luka dan tubuhnya pun lemah lunglai.
“Tubuhmu terserang racun. Tapi itu menolong kecurigaan kami akan keterlibatanmu, Ginggi,” kata Purbajaya di tengah jalan menuju puri Jaya Perbangsa.
“Benar kecurigaan kami berkurang. Kotak itu dipasangi senjata rahasia agar orang yang tak tahu dan berniat membukanya akan mati kena racun. Ini hanya menandakan kau memang tidak terlibat. Tapi aku sendiri masih bingung dengan sikapmu. Sepertinya kau tengah bimbang kau mesti berpihak ke mana,” kata Banyak Angga.
“Dulu saya bimbang, tapi setelah saya teliti kesana kemari, saya sudah bisa ambil keputusan,’ jawab Ginggi.
“Apa keputusanmu?”
“Saya tidak akan ikut kemana-mana,” jawab Ginggi.
“Termasuk membela negara?”
“Ini bukan pertentangan antara negara dan pemberontak, melainkan pertentangan orang-orang yang ingin menguasai negara,” jawab Ginggi.
“Mungkin begitu, tapi apa pun yang terjadi, negara tetap dalam bahaya dan semua orang harus mau mempertahankan negara,” kata Banyak Angga.
“Pendapatmu sama dengan saya. Maka untuk itulah saya pun berusaha mencegah terjadinya pertumpahan darah,” kata Ginggi.
Tiba di depan benteng puri, Banyak Angga dan Purbajaya memisahkan diri. Mereka naik ke benteng lewat jalan samping dan menghindari pertemuan dengan para jagabaya puri tersebut. Sedangkan Ginggi masuk puri secara baik-baik.
“Tapi Juragan Jaya Perbangsa sedang tak ada, Raden…” kata penjaga.
“Beliau sedang ke mana?” tanya Ginggi agak kecewa.
“Juragan dipanggil Sang Prabu malam ini juga. Rupanya ada sesuatu kepentingan mendadak,” ujar jagabaya.
“Begitu pentingkah kehadiranmu malam ini, Raden?” tanyanya kemudian.
Ginggi tak menjawab, sebab hatinya tengah berpikir-pikir tentang maksud pertemuan pangeran itu dengan Sang Prabu. Namun ketika dia sedang termangu, dari jauh ada bunyi suara ketoplak kaki kuda. Ginggi menoleh ke belakang. Yang datang ternyata Pangeran Jaya Perbangsa, berjalan lambat-lambat dan dikawal empat orang prajurit bersenjata dengan obor di tangan masing-masing.
“Siapa itu?” tegur bangsawan muda berkumis tipis ini. “Oh, aku kenal kau. Bukankah engkau calon ksatria dari puri Yogascitra, bukan?” kata pangeran itu dengan nada sedikit mengejek yang Ginggi tak tahu apa maksudnya.
“Ada yang akan saya sampaikan. Dan ini sangat penting. Bolehkah saya masuk?” kata Ginggi.
Pangeran Jaya Perbangsa menatap sejenak, namun kemudian mengangguk kendati penuh hati-hati. Ginggi diterima di sebuah kamar tertutup. Ketika dia baru saja duduk bersila, di atas sirap terdengar sedikit gerakan. Pelahan saja tapi Ginggi tahu ada dua benda berat bertengger di sana. Ginggi khawatir akan kecerobohan dua orang temannya itu. Bagi penilaian Ginggi, gerakan mereka masih kasar. Kalau Pangeran Jaya Perbangsa memiliki kepandaian tinggi, mereka pasti mudah diketahui.
“Ada keperluan apakah Pangeran tua yang setia itu mengutusmu, hei ksatria!” kata Pangeran Jaya Perbangsa masih dengan nada sedikit mengejek.
Namun bagi Ginggi sepertinya orang ini memperlihatkan dirinya bahwa dia tak senang terhadap Pangeran Yogascitra. Dan ini sedikit lebih meyakinkan dirinya pula bahwa bangsawan muda yang gagah ini punya hubungan dengan Ki Banaspati.
“Saya datang ke sini bukan atas suruhan Pangeran Yogascitra,” kata Ginggi pendek.
Namun begitu mendengar penjelasan ini, pangeran muda itu membelalakkan kedua belah matanya.
“Kau…siapa engkau sebenarnya?” tanyanya sedikit heran.
“Namaku Ginggi!” kata lagi pemuda itu pendek tapi matanya tajam menatap Pangeran JayaPerbangsa.
“Maksudku, bukankah engkau orang dari puri Yogascitra?” tanya lagi bangsawan itu.
“Segalanya bisa terjadi, Pangeran. Bukankah Pangeran Yogascitra pun sampai saat ini selalu menganggap Pangeran Jaya Perbangsa sahabat baiknya?” kata Ginggi sedikit menyindir sehingga membuat wajah pangeran muda itu sedikit memerah.
“Ya, segalanya bisa terjadi dalam meniti perjuangan. Kau diutus oleh siapakah dan dalam urusan apakah?” Tanya lagi Pangeran Jaya Perbangsa.
“Ini!”
Ginggi langsung menyerahkan kotak surat yang engselnya sudah kembali terkunci. Pangeran Jaya Perbangsa menerima kotak surat itu. Dan dia terkejut menerimanya.
“Kau utusan Ki Banaspati, anak muda?” tanyanya.
Tapi Ginggi hanya mengangguk pelan. “Perlu dibuka hari ini juga?”
“Terserah Pangeran…” kata Ginggi.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment