Ads

Sunday, November 28, 2021

Kidung Senja Jatuh di Pajajaran 038

“Untuk keselamatanmu di Pakuan, maka selamanya kau terikat padaku. Kau laksanakan perintah-perintahku dan kau bisa hidup dengan aman…” kata Ki Banaspati lagi.

Kemudian dia menoleh pada Ki Bagus Seta. “Bagus Seta, kini kendali aku yang pegang, sebab ternyata kau bodoh dan beberapa kali mengalami kegagalan saja!” katanya.

Ki Bagus Seta berdiri tapi dengan tubuh terbungkuk. Mungkin karena luka di dadanya masih terasa sakit.

“Tidak. Aku yang pegang kendali, sebab kau terlalu kasar, Banaspati!” kata Ki Bagus Seta.

“Di sini kekuasaan dan pengaruhmu sudah lumpuh. Bangsawan Soka yang kau banggakan dan kau gunakan untuk tempat berlindung sudah tak berguna lagi. Sedangkan selama ini kau di sini hanya mengandalkan orang itu!”

“Kita semua memang mengandalkan Bangsawan Soka!”

“Tidak! Aku mengandalkan diriku sendiri!” potong Ki Banaspati.

“Kekuatanmu apa sehingga berani berkata begitu?” Tanya Ki Bagus Seta.

Ditanya seperti itu, Ki Banaspati malah tertawa terkekeh-kekeh kemudian berubah menjadi tawa mengakak ketika melihat Ki Bagus Seta mengerutkan alis.

“Ginggi, kau terangkanlah apa kekuatanku sesungguhnya. Jangan katakan aku selama ini berlindung pada pengaruh pejabat tinggi bernama Ki Bagus Seta!” kata Ki Banaspati sambil menoleh pada Ginggi.

Ki Bagus Seta sama menoleh pada pemuda itu dengan wajah amat heran. “Kalian punya persekongkolan lain selain denganku?” tanya Ki Bagus seta.

Ginggi tak menjawab sesuatu.

“Hahaha...! Katakanlah apa yang kau ketahui, Ginggi!” kata Ki Banaspati dan sepertinya mencoba memanas-manasi rasa penasaran Ki Bagus Seta, menyebabkan dia nampak marah sekali sambil menatap ke kiri dan ke kanan.

“Kau katakanlah, anak muda, jangan permainkan aku pula!” teriak Ki Bagus Seta pada Ginggi.

“Ki Banaspati telah menyusun pasukan di wilayah timur!” kata Ginggi.

“Aku sudah tahu itu. Pasukan di wilayah timur sengaja dibentuk untuk dipakai melawan Raja. Pasukan itu akan dipimpin Kandagalante Sunda Sembawa yang berambisi menggantikan Raja!” kata Ki Bagus Seta.

“Ya, lanjutkan pengetahuanmu itu sampai mana?” Tanya Ki Banaspati masih terkekeh-kekeh.

“Sunda Sembawa hanya dijadikan penggerak saja, sebab kau Banaspati yang sebetulnya memegang kendali. Kemudian di Pakuan, aku yang memegang kendali dengan menyulut Bangsawan Soka untuk berambisi menjadi penasihat Raja…”

“Ya, engkau di Pakuan punya satu orang saja yang pengaruhnya sudah buruk. Sedangkan aku di luar Pakuan punya ribuan pasukan yang kesemuanya ada di bawah pengaruhku!” potong Ki Banaspati.

“Apa maksudmu dengan bicara seperti itu?” tanya Ki Bagus Seta menatap tajam.

“Maksudku, akulah yang paling kuat di Pajajaran ini dan bukan engkau!” kata Ki Banaspati.

“Terangkan maksudmu yang sebenarnya!” desis Ki Bagus Seta.

“Maksudku yang sebenarnya, bahwa akulah kelak yang akan menjadi raja di Pakuan!” kata Ki Banaspati mantap.

Tubuh Ki Bagus Seta seperti tersentak ke belakang ketika mendengar pernyataan ini. Ginggi merasa heran menyaksikannya. Bukan heran oleh ambisi Ki Banaspati sebab sejak dulu dia telah tahu. Tapi pemuda itu amat heran mengapa Ki Bagus Seta terlihat kagetnya mendengar perkataan Ki Banaspati seperti itu. Apakah sebelumnya memang tidak tahu akan cita-cita Ki Banaspati seperti itu?

“Engkau… engkau mengkhianati aku, Banaspati! Bukan engkau, akulah kelak yang harus jadi raja!” desis Ki Bagus Seta.

“Hahaha...! memang benar para wiku istana kerapkali berbicara bahwa yang jadi raja teu mudu pinter tapi mudung arti jeung kaharti (tidak harus pintar tapi harus mengerti dan harus dimengerti). Namun engkau selain bodoh juga tak mengerti dan sulit dimengerti orang lain. Kau tak cocok jadi raja karena bodoh. Kau juga tak cocok karena tak pernah mengerti keadaan. Gerakanmu yang bodoh hanya membuat orang bercuriga saja pada kegiatan kita. Itulah sebabnya. Kau urungkanlah cita-citamu untuk menjadi raja, sebab akulah yang lebih cocok menduduki jabatan paling tinggi seperti itu!” kata Ki Banaspati.

Ginggi menyaksikan, betapa menggigilnya tubuh Ki Bagus Seta setelah mendengar penjelasan seperti itu. Juga pemuda itu sekaligus mulai mengetahui bahwa Ki Bagus Seta pun punya ambisi sama untuk menjadi raja.

“Sudah tiga orang yang dirinya punya keinginan untuk menjadi raja,” gumam Ginggi tak sadar.

“Hahaha...! Bukan hanya tiga orang, tapi empat orang Ginggi. Sebab selain Sunda Sembawa, Bagus Seta dan aku, Bangsawan Soka pun punya keinginan seperti!” kata Ki Banaspati.

“Bangsawan Soka keinginannya terbatas. Dia hanya berjuang untuk jabatan penasihat saja!” potong Ki Bagus Seta.

“Bangsawan Soka tak setuju cara-cara kepemimpinan Ratu Sakti. Dia juga suka mengejek kemampuan Raja yang sekarang. Sedangkan dia orang angkuh. Mustahil dia ingin jadi penasihat raja bodoh. Dia inginkan lebih dari itu. Kau akan dimanfaatkan. Dia juga akan memanfaatkan aku sambil sebelumnya mendorong Raja mengeluarkan keputusan agar aku disetujui membangun kekuatan di wilayah timur. Aku tahu maksud buruknya. Kekuatan yang aku miliki kelak akan dia pinta untuk mendukung cita-citanya! Hahaha...! Tidak! Akal bulusnya sudah aku ketahui seluruhnya dan aku tidak akan terkecoh!” kata Ki Banaspati.

“Engkau jangan serakah Banaspati. Akulah yang lebih pantas menjadi raja sebab aku pulalah yang pertama kali memasuki lingkungan istana. Kau tidak akan berarti apa-apa tanpa bantuanku!” seru Ki Bagus Seta dengan suara menggigil menahan kemarahan.

Sedangkan Ki Banaspati hanya tertawa-tawa saja dengan nada penuh ejekan. Ki Bagus Seta semakin panas dengan sikap-sikap sombong Ki Banaspati. Dia akan bergerak memburu ke depan, namun sebentar kemudian jatuh terjerembab karena tubuhnya limbung.

“Hahaha...! Jangan melawanku Bagus Seta. Tenagamu habis dan tubuhmu luka dalam karena kau memaksa berhadapaan dengan pembantu utamaku. Pilihlah, kau hidup sejahtera di bawah kepemimpinanku, atau kau mati malam ini juga!” kata Ki Banaspati dengan nada sungguh-sungguh dan penuh ancaman.

Aneh sekali, mendengar ancaman ini, Ki Bagus Seta langsung menjatuhkan dirinya seperti karung goni. Orang yang sehari-harinya gagah dan angkuh itu, kini menangis sesenggukan karena ancaman saudara seperguruannya.

“Kau pulanglah ke purimu dan tunggulah perintah-perintahku. Pergerakan besar akan segera dimulai!” kata Ki Banaspati.



Ki Bagus Seta dalam keadaan berlutut menatap tajam Ki Banaspati sambil berlinang airmata.

“Kau harus berpikir matang, Bagus Seta. Cita-cita kita adalah melaksanakaan amanat Ki Darma dalam membela kepentingan rakyat Pajajaran. Sekarang kau harus yakin, akulah yang akan bisa memimpin Pakuan sehingga kehidupan rakyat terjamin. Kalau kau membantuku, berarti kau murid setia Ki Darma dan dosa-dosamu karena memerintahkan pasukan perwira kerajaan menyerbu Puncak Cakrabuana terampuni,” kata Ki Banaspati.

Ki Bagus Seta menyeka airmatanya. Namun setelah itu dia bangun berdiri dan berjalan terhuyung-huyung meninggalkan Pulo dan menyebrangi Cihaliwung dengan menggunakan perahu yang tadi digunakan Ki Banaspati. Sepeninggal Ki Bagus Seta, tinggallah Ginggi berdua dengan Ki Banaspati.

“Saat-saat penting telah hampir tiba, hari-hari ini kau akan banyak pekerjaan, Ginggi!” kata Ki Banaspati.

Dia keluarkan kembali kotak surat yang ada di dalam bungkusannya, kemudian diserahkan pada Ginggi.

“Apa ini?” tanya Ginggi.

“Isinya surat maha rahasia. Kau serahkan pada Pangeran Jaya Perbangsa!” kata Ki Banaspati.

“Pangeran Jaya Perbangsa…?” gumam Ginggi.

“Ya, apakah kau tak kenal Pangeran Jaya Perbangsa?” tanya Ki Banaspati.

“Aku mengenalnya…dia termasuk sahabat baik Pangeran Yogascitra,” gumam Ginggi.

Mendengar gumaman pemuda itu. Ki Banaspati tertawa renyah tapi Ginggi tak tahu arti tawanya itu.

“Ya, kau serahkan secara rahasia pada pangeran itu. Hati-hati, jangan sampai ada yang tahu bahwa kau menyerahkan kotak ini,” kata Ki Banaspati. “Mati hukumanmu bila kau tak berhasil menyerahkan ini pada orang yang aku maksud!” katanya lagi dengan nada datar.

Ginggi tak mengangguk atau pun menggelengkan kepala. Dia hanya menerima kotak itu saja dengan kedua belah tangan sedikit bergetar karena perasaannya yang sangat tegang. Ki Banaspati menatap sejenak, kemudian membalikkan tubuh dan berjalan menuruni tepi sungai. Namun sebelum jauh benar, dia berbalik lagi.

“Hati-hati, kau harus taati aku kalau tak ingin nyawa Rangga Guna melayang. Kalau kau langgar, di samping kau bunuh diri, juga sebetulnya kaulah yang membunuh Rangga Guna. Kau juga akan menjadi orang berdosa pada Ki Guru sebab kau kacaukan pergerakan yang diinginkan Ki Guru. camkan kata-kataku!” kata Ki Banaspati.

Setelah puas meyakinkan kata-katanya ini, dia segera meloncat dan berlari menggunakan ilmu Napak Sancang di atas permukaan air. Tinggallah Ginggi sendirian di Pulo Parakan Baranangsiang yang sunyi dan dingin ini. Sambil termenung dengan alis berkerut pemuda itu menimbang-nimbang isi kotak kayu tersebut.

Ginggi masih duduk sendirian di bangunan pesanggrahan Pulo Parakan Baranangsiang. Udara semakin dingin karena malam sudah demikian larut. Dan bila melihat bulan sabit sudah hilang dari pandangan sejak tadi, dari sebrang sungai, sayup-sayup terdengar pula suara ayam berkokok. Hanya menandakan bahwa waktu subuh hari akan segera menjelang.

Ginggi harus cepat kembali ke puri Yogascitra. Kalau ketahuan dia keluyuran tanpa sepengetahuan penghuni puri itu, hanya akan membuat masalah baru. Tapi sebelum dia kembali, ingin sekali membaca surat yang kini ada di tangannya. Surat itu masih tersimpan di dalam kotak terkunci rapat. Kata Ki Banaspati harus diserahkan kepada Pangeran Jaya Perbangsa. Ginggi mengerutkan alis. Punya hubungan apa pangeran ini dengan Ki Banaspati?

Apakah Pangeran Jaya Perbangsa sudah masuk ke dalam persekongkolan dengan Ki Banaspati? Ginggi tidak tahu tindak-tanduk pangeran muda ini. Dua hari yang lalu ketika ada pertemuan di puri Yogascitra, Pangeran Jaya Perbangsa ikut hadir. Dia diundang sebab seperti apa kata Purbajaya, pangeran ini termasuk kawan dekat Pangeran Yogascitra. Dalam pertemuan itu, Pangeran Jaya Perbangsa termasuk orang yang banyak bicara yang pada pokoknya menggambarkan ketidak setujuan dia dalam menyimak perilaku Raja. Tidak tanggung-tanggung, bahkan dia berkata dengan suara keras meminta agar semua orang sepakat menurunkan Raja dari tahtanya.

Tak ada yang ganjil dan tak ada yang aneh, sebab pada umumnya semua yang hadir pada pertemuan itu memperbincangkan perihal ketidak setujuannya terhadap perilaku dan kebijaksanaan Raja.

“Tak ada yang ganjil…Tak ada yang ganjil…!” gumam pemuda itu sendirian.

Ya, memang tak ada yang ganjil, sebab semua orang sama-sama tak setuju dengan sikap Raja. Ki Banaspati juga susah-payah menghimpun kekuatan karena tak setuju dengan sikap Raja. Berpikir sampai di sini, pemuda itu menahan napasnya. Pangeran Jaya Perbangsa bersuara lantang agar semua orang bertindak menurunkan Raja dari kekuasaan. Ini juga keinginan Ki Banaspati. Tidakkah Pangeran Jaya Perbangsa dikendalikan oleh Ki Banaspati?

Makin berkerut dahi Ginggi karena berpikir keras. Sudah dia ketahui memang semua orang tidak setuju terhadap Raja. Tapi dia perlu memilah-milahnya. Ada kelompok yang sekadar tak menyenangi sikap Raja tapi tanpa punya tujuan-tujuan tertentu. Dan ada juga kelompok yang sama-sama tak menyenangi Raja tapi sambil punya tujuan khusus. Ki Banaspati jelas termasuk kelompok kedua ini. Kemudian, mungkinkah dia berusaha mengendalikan beberapa pangeran yang ada di Pakuan untuk memperbesar api kemelut?

Bisa saja begitu, semakin kacau suasana di Pakuan, semakin bagus menurut pertimbangan Ki Banaspati. Pangeran Jaya Perbangsa suaranya paling lantang mengajak semua orang meruntuhkan Raja. Kalau dikatakan dia mengajak semua orang untuk memberontak, bisa benar-benar persis. Dan Ki Banaspati menyusun kekuatan untuk memberontak. Akan lebih bagus bagi Ki Banaspati bila sebelum pasukan dari timur dikerahkan menyerang Pakuan, di dayo (ibukota) itu sendiri sudah ada yang saling gebuk, barangkali Ki Banaspati tinggal hanya menunggu waktu saja. Sesudah dua kekuatan di Pakuan saling gebuk sendiri dan pemenangnya dalam keadaan lemah, giliran pasukan Ki Banaspati yang bergerak untuk meraih kemenangan. Ginggi memang sudah melihat situasi di Pakuan. Kekuatan di sana cenderung sudah terpecah-pecah.

Ada kelompok yang sudah meragukan kepemimpinan Raja, tapi ada juga yang tetap bertahan dengan keputusan-keputusan Raja. Ginggi kini mulai bisa meraba, Pangeran Jaya Perbangsa yang selalu bersuara lantang, dikendalikan Ki Banaspati agar menyulut dan memanasi para penentang Raja untuk mengadakan keributan berupa pemberontakan. Satu-satunya bukti untuk memperjelas dugaannya ini, Ginggi harus membuka kotak dan membaca surat yang harus dia serahkan kepada Pangeran Jaya Perbangsa.

Suasana gelap di tempat yang terpencil ini tak memungkinkan dirinya untuk membaca surat itu. Ilmu Sorot Kalong (melihat di tempat gelap) yang dia miliki tak akan membantu penuh. Jadi pemuda itu harus segera kembali ke puri Yogascitra. Dan dia pun segera meninggalkan tempat itu, berlari menuju puri Yogascitra yang kini sudah menjadi tempat tinggalnya.

Dengan amat hati-hati pemuda itu meloncati benteng puri menyelinap ke bangunan yang jadi tempat tinggalnya. Masuk ke ruangan tidurnya, dia segera menyalakan pelita. Keremangan berubah menjadi benderang. Ginggi meneliti kotak surat itu. Berukir indah dan halus buatannya. Tapi tutup kotaknya dikunci oleh semacam engsel. Ginggi perlu membuka engsel itu agar tutup kotak bisa terkuak. Dengan serampangan tangan pemuda itu membedol ujung engsel. Dan begitu tutup kotak terbuka, terdengar suara halus bersiutan. Ada cahaya-cahaya kecil berkeredipan mengarah pada wajah dan dadanya.

Ginggi terkejut setengah mati sebab tak menduga bakal ada benda kecil tajam melesat keluar. Dia hanya sanggup miringkan wajah ke kanan tapi tak keburu melontarkan tubuhnya ke belakang. Akibatnya, tiga batang jarum halus bersarang di dadanya dan rasanya sakit serta-merta membuat tulang ngilu. Ginggi mencabuti ketiga batang jarum itu. Tapi rasa sakit di tubuhnya kian menghebat. Dengan mata berkunang-kunang dan rasa sakit yang hebat, dia mengerahkan tenaga dalamnya, dipusatkannya pada bagian dada. Dia sadar, jarum itu beracun dan Ginggi perlu menahan aliran darah di bagian dada agar tak menyebar ke seluruh bagian tubuhnya. Tindakan pengamanan ini rasanya kurang cukup dan dia khawatir racun masih bias menyebar. Oleh sebab itulah Ginggi mencari benda tajam.

Kebetulan di sebuah laci terdapat peso pengot (pisau amat tajam ujungnya, biasa digunakan pula untuk menorah tulisan di atas daun nipah). Pisau tajam itu dia gunakan untuk menoreh tiga luka di dadanya agar darah bisa keluar lebih banyak dari luka itu. Namun sebelum pekerjaannya selesai, matanya semakin berkunang dan kepalanya terasa pening. Akhirnya kegelapan menyelimuti dirinya dan Ginggi tak ingat apa-apa lagi.

Dia baru sadar dari pingsannya ketika suhu badannya terasa panas. Banyak keringat membasahi jidatnya dan kerongkongannya terasa kering. Dia ingin sekali minum. Tanpa membuka mata, pemuda itu meraba-raba ke pinggir kiri. Dia ingat, di sisi pembaringan sebelah kiri ada meja yang di antaranya diisi berbagai minuman. Tapi tangan itu meraba tempat kosong. Ginggi juga rasakan, udara amat pengap, padahal setahu dirinya, tempat tinggalnya di puri Yogascitra terasa harum semerbak oleh berbagai wewangian.

Ginggi mencoba membuka matanya. Suasana hanya remang-remang saja karena peningnya. Pelipisnya terasa berdenyut. Tapi setelah terbiasa dengan pandangan matanya, mendadak hatinya terkejut. Betapa tak begitu sebab di sisi kirinya dia lihat jeruji besi. Dia tidur telentang di sebuah balai-balai kasar di sebuah kamar ukuran kecil dengan lubang berjeruji besi. Penjarakah ini? Ginggi bangun serentak, tapi kemudian jatuh telentang kembali karena dadanya terasa pedih dan berdenyut. Dirabanya dada itu, ternyata sudah diberi bebat. Mengapa aku ada di dalam penjara, pikirnya? Terdengar suara langkah mendekat. Ginggi menoleh ke kiri. Ada dua jagabaya tengah menatapnya. Salah seorang kemudian berlalu dan sayup-sayup terdengar suaranya,

“Tawanan sudah siuman, Raden…” katanya.

Kemudian terdengar langkah mendekat lagi. Kini ada dua orang lagi yang datang.

“Raden Purbajaya…!” seru Ginggi pelahan.

Nampak alis Purbajaya berkerut melihatnya.

“Mengapa aku ada di sini?” tanyannya lagi namun sambil mengeluh pendek karena ada rasa sakit di dadanya.

“Engkau dipenjara, Ginggi…” kata Purbajaya pendek.

“Apa dosaku?”

“Nanti engkau akan diperiksa Pangeran Yogascitra!” gumam Purbajaya seperti penuh sesal.

Tak berapa lama kemudian terdengar beberapa langkah mendatang. Kemudian Ginggi lihat Pangeran Yogascitra disertai Banyak Angga. Pangeran tua berwajah sabar itu menatap Ginggi dengan alis sedikit berkerut. Ginggi mencoba hendak bangkit namun dirasakan tubuhnya sakit-sakit.

“Kau terluka karena racun. Sudahlah tak perlu bangun. Aku hanya inginkan penjelasanmu, anak muda…” kata Pangeran Yogascitra datar.

Ginggi mau bicara, tapi Pangeran Yogascitra memperlihatkan kotak surat beserta isinya. Ginggi terkejut melihat isi surat itu. Jadi, karena benda itu dia dijebloskan ke penjara.

“Saya belum sempat membaca isinya, Pangeran…” jawab Ginggi sejujurnya.

“Sudah aku baca isinya tapi aku tak mengerti sebab itu kata sandi. Barangkali kau pasti bisa mengartikannya,” kata pangeran itu.

Ginggi menerima susunan daun nipah dan mencoba membeberkannya.

Ribuan pipit terbang dari timur
ketika senja jatuh di barat
tiga hari sebelum kuwerabakti
pagi hari di Telaga Rena Maha Wijaya

Banaspati


“Saya tak bisa membaca, Pangeran…” gumam Ginggi setelah meneliti susunan huruf Palawa di atas daun nipah itu.

Pangeran Yogascitra menatap penuh selidik. “Benar, dia tak bisa baca-tulis, Pamanda…” kata Purbajaya.

Bukan sekadar membela, tapi Ginggi memang pernah mengatakan tak pernah belajar baca-tulis ketika Purbajaya memberinya sebuah kitab pelajaran agama lama.

“Tapi setidaknya engkau masih punya hubungan dengan Banaspati, anak muda…” kata Pangeran Yogascitra.

Ginggi bingung mau menjawab bagaimana, dikatakan punya hubungan, sebetulnya juga tidak, sebab selama ini Ginggi tak senang terhadap orang itu. Tapi dikatakan tak punya hubungan, ya…kotak surat itu amat membuktikan bahwa ada satu hubungan antara dia dengan Ki Banaspati.

“Engkau membingungkan kami. Kedudukanmu sebetulnya ada di mana. Suatu saat kau membela kami, tapi di saat lain kau erat dengan mereka. Ketahuilah, Ki Bagus Seta sudah dicurigai beberapa pejabat istana karena penyelewengan pajak negara. Dan otomatis, Ki Banaspati pun dicurigai sebab dia tangan kanan Ki Bagus Seta. Aku menyesalkan sikapmu yang ternyata masih memiliki hubungan dengan kelompok mereka. Padahal aku sudah menyukaimu, anak muda…” kata Pangeran Yogascitra.

“Tapi perasaan pribadi aku kesampingkan karena kepentingan negara lebih diutamakan. Kau harus menjelaskan mengapa ada surat sandi di tanganmu. Ada rencana apakah Ki Banaspati sehingga perlu mengirim surat rahasia padamu?” tanya Pangeran Yogascitra.

Semua mata memandang tajam padanya ketika pertanyaan itu diajukan. Ginggi sulit untuk menjawab. Sebetulnya bisa saja dia katakan bahwa surat itu dari Ki Banaspati untuk Pangeran Jaya Perbangsa. Tapi, apakah Pangeran Yogascitra percaya akan penjelasan ini? Surat itu tak ditujukan langsung pada Pangeran Jaya Perbangsa. Jadi kepada setiap pemegang surat bisa ditudingkan bahwa itu surat dari Ki Banaspati untuk dirinya.

“Aku harap engkau menjelaskannya padaku. Sebab bila peristiwa ini bocor ke istana, kau akan jadi tawanan istana dan nasibmu akan lebih buruk lagi. Kau harus tahu Sang Prabu sangat kejam terhadap orang yang bersalah,” kata Pangeran Yogascitra menegaskan.

“Jangan…” Ginggi mencegah.

“Nah, kalau kau takut dipindahkan ke istana, terangkanlah dengan baik, apa isi surat itu!” kata lagi Pangeran Yogascitra.

Pangeran itu salah mengerti, kata Ginggi dalam hatinya. Yang dia maksud jangan adalah surat itu jangan dulu sampai ke istana, takut keburu diketahui oleh Pangeran Jaya Perbangsa. Ginggi tak mau surat itu sampai ke tangan pangeran muda yang berperangai keras itu.

“Pangeran, sebaiknya urusan itu diselesaikan di sini saja. Beri saya waktu untuk menjelaskannya…” kata Ginggi.

“Nanti malam aku akan mengunjungimu lagi…” gumam Pangeran Yogascitra. Setelah menatapnya, bangsawan itu segera berlalu.

“Engkau mengecewakan aku, Ginggi…” gumam Purbajaya sedangkan Banyak Angga hanya menatap saja.

Mereka kemudian meninggalkan tempat itu. Kini Ginggi sendirian di kamar tahanan berjeruji itu. Dia masih bingung bagaimana harus membebaskan dirinya dari tudingan ini. Tapi Ginggi harus mengesampingkan dulu urusan ini. Yang harus dia pikirkan adalah teka-teki surat rahasia itu. Apa makna surat yang sedianya harus diserahkan kepada Pangeran Jaya Perbangsa ini?

Ribuan pipit terbang dari timur
ketika senja jatuh di barat
tiga hari sebelum kuwerabakti
pagi hari di Telaga Rena Maha Wijaya


Ginggi mengerutkan dahinya beberapa kali. Dia harus memecahkan sandi ini. Menjelang senja hari ada jagabaya menyodorkan makanan. Pemuda itu amat berterima kasih sebab sejak malam hari dia belum makan apa pun. Sekarang ada makanan yang cukup baik dan menyehatkan untuk dimakan. Tapi sebelum dia mencicipi makanan itu, dia teringat sesuatu.

“Paman, tolong beritahu aku, kapan upacara Kuwerabakti dimulai?” tanyanya pada jagabaya.

Yang ditanya sejenak mengernyitkan dahi. Kemudian dia menepuk jidatnya sendiri. “Oh, sampai aku melupakan kegiatan penting ini. Empat hari lagi kalau tak salah, pesta panen 49 hari akan segera dimulai,” jawab jagabaya.

“Apa-apa sajakah upacara paling penting dalam Kuwerabakti, Paman?”

“Ya, banyak sekali. Sehari sebelum Kuwerabakti, rombongan seba dari seluruh wilayah Pajajaran akan datang senja hari di Pakuan. besoknya pagi-pagi akan ada upacara mandi suci di Telaga Rena Maha Wijaya, kemudian dilanjutkan dengan upacara nadran (ziarah) ke Bukit Rancamaya, mengenang moksa Sang Prabu Siliwangi alias Sri Baduga Maharaja di Bukit Badigul,” kata penjaga.

“Siapa saja yang mandi suci di pagi hari itu?”

“Seluruh penghuni istana, dari mulai Sang Prabu hingga permeisuri dan para selir serta kaum wiku dan pendeta agung, semua mandi suci di Telaga Rena Maha Wijaya. Tapi, ada apakah engkau, sepertinya ingin sekali engkau datang menghadiri? Sayang anak muda, kedudukanmu seperti ini…” kata jagabaya menyayangkan nasib Ginggi.

Ginggi sendiri tidak menyimak ucapan terakhir jagabaya ini, sebab dia lebih terpaku memikirkan ucapan jagabaya sebelumnya. Surat rahasia itu sepertinya punya hubungan erat dengan kegiatan Kuwerabakti, Ginggi berpikir keras, mencoba mencari maksud surat tersebut. Sehari sebelum Kuwerabakti, rombongan seba dari semua wilayah akan datang sore hari. Dari mana sajakah rombongan seba itu?

“Paman, kalau kita melakukan perjalanan tanpa henti dari wilayah Kandagalante Sagaraherang, kira-kira akan makan waktu berapa lama?” tanya Ginggi kemudian.

Jagabaya yang sedianya akan berlalu mendadak berhenti lagi. Dia mengernyitkan dahi terpengaruh oleh pertanyaan Ginggi.

“Bila dilakukan tanpa tergesa-gesa, mungkin makan waktu selama tiga hari. Kira-kira senja hari rombongan baru bisa memasuki dayo (ibukota),” jawab jagabaya.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment