Malam itu, malam ketiga bagi Ginggi tinggal di puri Yogascitra. Selama itu pikirannya bergalau kacau. Apa sebenarnya tujuannya tinggal di sini, dia sendiri pun tak tahu. Bila dia masih memikirkan “tugas” yang dibebankan Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta, sepertinya dia bisa mentaati mereka, yaitu berhasil mengenyahkan Suji Angkara kendati bukan dia yang bunuh. Sepertinya Ginggi pun bisa menyusup ke puri Yogascitra bagaikan apa yang diharap Ki Banaspati. Padahal dia bisa masuk bahkan tiba-tiba dianggap pahlawan oleh keluarga Yogascitra, segalanya hanya serba kebetulan saja. Ginggi dianggap berharga dan memiliki jasa oleh keluarga itu karena dianggap telah berhasil menjauhkan aib yang hampir menimpa Nyimas Banyak Inten. Padahal dia mengagalkan niat jahat Suji Angkara lebih condong membela kepentingan dirinya sendiri ketimbang untuk kepentingan keluarga Pangeran Yogascitra.
Barangkali pengalaman pahit kembali menimpa dirinya dalam urusan cinta-kasih. Dulu Ginggi merasa mencintai Nyi Santimi. Tapi kenyataan membuktikan, gadis dari Desa Cae itu telah ditunangkan pada orang lain. Dan Ginggi berlaku nekad. Hanya karena cintanya ingin terpuaskan, dia berani mati melakukan perbuatan buruk, bercinta dengan Nyi Santimi secara gelap.
Sekarang rasa cintanya beralih kepada seorang putri bangsawan. Dan gilanya lagi, tak tanggung-tanggung mesti bersaing dengan orang-orang yang kedudukan serta derajatnya lebih tinggi. Siapa yang tak berani mati bersaing memperebutkan cinta dengan seorang raja? Beranikah dia melawan raja? Jangankan harus berhadapan dengan orang yang derajatnya demikian tinggi, sekadar melawan cintanya Suji Angkara saja, dia sudah tak mampu. Kalau belakangan Suji Angkara bisa dia kalahkan, itu bukan dengan cintanya, melainkan karena dicabut secara paksa. Secara tak langsung Ginggi telah memisahkan cinta mereka, ya cinta antara Nyimas Banyak Inten dengan Suji Angkara!
Boleh saja Ginggi bilang bahwa Suji Angkara orang jahat, manusia cabul, pengkhianat licik dan lain sebagainya. Tapi urusan cinta tak pernah dipertalikan dengan keburukan atau pun kebaikan. Asalkan kedua belah fihak saling merasakan cocok, maka cinta akan berlaku.
Nyi Santimi begitu mencintainya, sehingga bersamanya mau saja melakukan sebagaimana layaknya suami-istri. Nyi Santimi tak pernah menilai, apakah Ginggi laki-laki baik atau sebaliknya. Kalu dia seorang laki-laki baik, mengapa serampangan mengajak hubungan badan. Kalau Nyi Santimi berpikiran jernih, bisa saja dia menilai Ginggi lelaki cabul dan hidung belang, sebab seorang lelaki yang mudah mengajak kencan begitu saja, tak mungkin hanya melakukan pada satu wanita. Tapi karena Nyi Santimi telah dibutakan oleh cinta, dia tak punya waktu menilai Ginggi.
Apa yang dilakukan pemuda itu serasa wajar-wajar saja bagi seorang gadis yang lagi dimabuk asmara. Begitu pun rupanya yang dirasakan Nyimas Banyak Inten. Dia tidak pernah menilai keberadaan Suji Angkara. Yang dilihatnya, dia adalah pemuda tampan, ramah dan baik budi. Sebab memang begitu yang ditampilkan pemuda itu padanya. Perasaan cintanya bersemi, apalagi sesudah pemuda itu jadi “pahlawan” mengusir penjahat yang hendak memperkosa dirinya. Rasa cinta gadis itu karena “pembelaan” Suji Angkara semakin menggebu. Nyimas Banyak Inten bahkan tak melihat satu hal ganjil ketika Suji Angkara coba melarikannya. Mungkin gadis itu berpikir, karena cinta pemuda itu begitu menggebu terhadap dirinya, sehingga dia nekad membawa gadis itu secara diam-diam setelah tahu gadis itu akan dipersunting Raja.
Ya, itu wajar-wajar saja. Suji Angkara berjuang mendapatkan cintanya kendati menantang bahaya dan Nyimas Banyak Inten menyambut serta menghargai kebesaran cinta pemuda itu. Inilah yang menyakitkan Ginggi. Pahit sekali rasanya. Dia serasa berjuang menolong gadis itu dari peristiwa aib, tapi si gadis merasa dijauhkan cintanya. Itulah sebabnya, tiga hari tinggal di puri Yogascitra, kendati dia dipuji dan dihormat oleh seisi puri, tidak sedikit pun merasa bangga. Hatinya serasa beku, atau juga sakit, apalagi setelah kejadian di Pulo Parakan Baranangsiang tiga malam lalu, Nyimas Banyak Inten tidak pernah keluar dari purinya. Hanya para dayang saja yang mengabarkan bahwa gadis bangsawan itu tengah menderita sakit.
Malam itu Ginggi tidur di sebuah bangunan terpisah. Bukan lagi sebuah gudang seperti di puri Bagus Seta, atau sebuah kamar sempit di sudut istal kuda ketika berada di puri Suji Angkara, melainkan tinggal di sebuah bangunan yang cukup indah dan nyaman. Banyak bunga dipasang di sudut kamar tidurnya dan menyebarkan bau semerbak. Di sudut dekat pembaringan, selain dipasang penerangan dari lampu minyak kelapa, juga ada tempat menyimpan buah-buahan. Banyak jenis buah-buahan di sana, dari mulai buah rambutan hingga mangga, dari buah dukuh hingga sarikaya. Ginggi tinggal mengambilnya saja bila mau.
Seharusnya Ginggi berbahagia, sebab orang lain akan amat mendambakan kedudukan seperti ini. Menjadi ksatria yang bekerja di sebuah puri, siapa tak mau? Sekali pun kelak pekerjaannya adalah dalam bidang keamanan, tapi dia berada beberapa tingkat di atas jagabaya, atau masih lebih atas lagi dari sekadar prajurit. Kalau bekerja dalam bidang kemiliteran, maka dia akan jadi perwira. Kalau kesetiaan terhadap Raja sudah diperlihatkan, maka akan sangat mudah diangkat ke dalam seribu pasukaan pengawal raja, sebuah pasukan elit yang sejak zaman Sri Baduga Maharaja, bahkan sejak zaman Prabu Wangi yang gugur di Bubat semasa Kerajaan Sunda hampir 200 tahun silam dipertahankan keberadaannya.
Kepandaian tinggi Ginggi sudah punya, tinggal melengkapinya dengan ilmu strategi kemiliteran saja untuk bisa memasuki jabatan perwira kerajaan. Ginggi tinggal menunggu hari baik saja, kapan dia akan dilantik di kuil agung sebagai ksatria. Barangkali kelak dia akan bergelar bangsawan juga dan orang akan menyapanya sebagai raden atau juragan, sebuah gelar kebanggaan bagi orang-orang Pakuan.
Tapi aneh sekali, Ginggi tak merasakan satu kebanggaan. Pangkat dan jabatan seperti tak membuatnya bergairah. Dia malah sedih dengan segalanya. Untuk apa semua ini? Lalu, apa pula sebenarnya tujuan hidupnya? Ginggi jadi teringat lagi pada Ki Darma. Ginggi mengingat-ingat lagi omongan Ki Darma. Sudah benarkah dia kini bila dipertalikan dengan amanat Ki Darma?
“Kau belalah rakyat dari kesengsaraannya,” kata-kata Ki Darma ini selalu terngiang-ngiang di telinganya.
Mudah diucapkan sulit dikerjakan. Ki Banaspati benar, membela rakyat jangan berupa satuan-satuan kecil sebab tak mungkin berarti. Tapi buatlah sebuah gerakan yang bisa mengakibatkan perubahan tatanan. Seperti apa gerakan itu? Seperti yang kini dikerjakan oleh Ki Banaspatikah? Ginggi menggelengkan kepala. Dia tak pernah faham apa yang dikerjakan Ki Banaspati. Dalam melaksanakan perjuangannya, murid Ki Darma ini selalu menggunakan berbagai cara, termasuk pula mengorbankan rakyat sendiri yang sebetulnya tengah dibelanya seperti penafsirannya.
Berupaya membentuk pasukan gelap yang tugasnya di antaranya menjegal dan merampok iring-iringan seba (pajak) adalah sesuatu yang Ginggi anggap ganjil. Begitu pun tindakan Ki Bagus Seta yang dalam melaksanakan amanat Ki Darma dia menyelundup menjadi pejabat di Pakuan tapi melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ganjil bila dihubungkan dengan amanat Ki Darma. Ki Darma mengeluh akan kebijaksanaan Raja yang memberati rakyat dengan pajak tinggi. Tapi belakangan Ginggi mendapatkan kenyataan, sebenarnya kebijaksanaan pajak tinggi yang menjadi titah Raja bermula dari gagasan Ki Bagus Seta sebagai pejabat muhara, Memang Ki Bagus Seta ada menerangkan, bahwa itu merupakan taktik agar dirinya dipercaya bekerja di Pakuan.
Katanya untuk menanamkan pengaruh, pertama kali harus berusaha menanamkan kepercayaan terhadap Raja. Raja yang berambisi mengembalikan kejayaan Negara seperti masa silam, membutuhkan banyak dana. Dana harus diambil dari dalam negri sebab dari luar seperti perdagangan antar pulau sudah tak mungkin dilakukan sesudah semua pelabuhan milik Pajajaran direbut Banten dan Cirebon.
“Raja yang sudah punya dasar keperluan seperti itu, kalau disodori gagasan yang sejalan dengan jalan pikirannya, maka akan segera menyambut baik dan kita akan dipercaya sebagai pembantu yang tahu memikirkan kebutuhan. Itulah cara untuk menanamkan pengaruh,” kata Ki Bagus Seta.
Katanya bila pengaruh sudah mulai kokoh menguasai sendi kehidupan di pemerintahan, maka selanjutnya akan sangat mudah untuk menyusun tatanan baru.
Barangkali pengalaman pahit kembali menimpa dirinya dalam urusan cinta-kasih. Dulu Ginggi merasa mencintai Nyi Santimi. Tapi kenyataan membuktikan, gadis dari Desa Cae itu telah ditunangkan pada orang lain. Dan Ginggi berlaku nekad. Hanya karena cintanya ingin terpuaskan, dia berani mati melakukan perbuatan buruk, bercinta dengan Nyi Santimi secara gelap.
Sekarang rasa cintanya beralih kepada seorang putri bangsawan. Dan gilanya lagi, tak tanggung-tanggung mesti bersaing dengan orang-orang yang kedudukan serta derajatnya lebih tinggi. Siapa yang tak berani mati bersaing memperebutkan cinta dengan seorang raja? Beranikah dia melawan raja? Jangankan harus berhadapan dengan orang yang derajatnya demikian tinggi, sekadar melawan cintanya Suji Angkara saja, dia sudah tak mampu. Kalau belakangan Suji Angkara bisa dia kalahkan, itu bukan dengan cintanya, melainkan karena dicabut secara paksa. Secara tak langsung Ginggi telah memisahkan cinta mereka, ya cinta antara Nyimas Banyak Inten dengan Suji Angkara!
Boleh saja Ginggi bilang bahwa Suji Angkara orang jahat, manusia cabul, pengkhianat licik dan lain sebagainya. Tapi urusan cinta tak pernah dipertalikan dengan keburukan atau pun kebaikan. Asalkan kedua belah fihak saling merasakan cocok, maka cinta akan berlaku.
Nyi Santimi begitu mencintainya, sehingga bersamanya mau saja melakukan sebagaimana layaknya suami-istri. Nyi Santimi tak pernah menilai, apakah Ginggi laki-laki baik atau sebaliknya. Kalu dia seorang laki-laki baik, mengapa serampangan mengajak hubungan badan. Kalau Nyi Santimi berpikiran jernih, bisa saja dia menilai Ginggi lelaki cabul dan hidung belang, sebab seorang lelaki yang mudah mengajak kencan begitu saja, tak mungkin hanya melakukan pada satu wanita. Tapi karena Nyi Santimi telah dibutakan oleh cinta, dia tak punya waktu menilai Ginggi.
Apa yang dilakukan pemuda itu serasa wajar-wajar saja bagi seorang gadis yang lagi dimabuk asmara. Begitu pun rupanya yang dirasakan Nyimas Banyak Inten. Dia tidak pernah menilai keberadaan Suji Angkara. Yang dilihatnya, dia adalah pemuda tampan, ramah dan baik budi. Sebab memang begitu yang ditampilkan pemuda itu padanya. Perasaan cintanya bersemi, apalagi sesudah pemuda itu jadi “pahlawan” mengusir penjahat yang hendak memperkosa dirinya. Rasa cinta gadis itu karena “pembelaan” Suji Angkara semakin menggebu. Nyimas Banyak Inten bahkan tak melihat satu hal ganjil ketika Suji Angkara coba melarikannya. Mungkin gadis itu berpikir, karena cinta pemuda itu begitu menggebu terhadap dirinya, sehingga dia nekad membawa gadis itu secara diam-diam setelah tahu gadis itu akan dipersunting Raja.
Ya, itu wajar-wajar saja. Suji Angkara berjuang mendapatkan cintanya kendati menantang bahaya dan Nyimas Banyak Inten menyambut serta menghargai kebesaran cinta pemuda itu. Inilah yang menyakitkan Ginggi. Pahit sekali rasanya. Dia serasa berjuang menolong gadis itu dari peristiwa aib, tapi si gadis merasa dijauhkan cintanya. Itulah sebabnya, tiga hari tinggal di puri Yogascitra, kendati dia dipuji dan dihormat oleh seisi puri, tidak sedikit pun merasa bangga. Hatinya serasa beku, atau juga sakit, apalagi setelah kejadian di Pulo Parakan Baranangsiang tiga malam lalu, Nyimas Banyak Inten tidak pernah keluar dari purinya. Hanya para dayang saja yang mengabarkan bahwa gadis bangsawan itu tengah menderita sakit.
Malam itu Ginggi tidur di sebuah bangunan terpisah. Bukan lagi sebuah gudang seperti di puri Bagus Seta, atau sebuah kamar sempit di sudut istal kuda ketika berada di puri Suji Angkara, melainkan tinggal di sebuah bangunan yang cukup indah dan nyaman. Banyak bunga dipasang di sudut kamar tidurnya dan menyebarkan bau semerbak. Di sudut dekat pembaringan, selain dipasang penerangan dari lampu minyak kelapa, juga ada tempat menyimpan buah-buahan. Banyak jenis buah-buahan di sana, dari mulai buah rambutan hingga mangga, dari buah dukuh hingga sarikaya. Ginggi tinggal mengambilnya saja bila mau.
Seharusnya Ginggi berbahagia, sebab orang lain akan amat mendambakan kedudukan seperti ini. Menjadi ksatria yang bekerja di sebuah puri, siapa tak mau? Sekali pun kelak pekerjaannya adalah dalam bidang keamanan, tapi dia berada beberapa tingkat di atas jagabaya, atau masih lebih atas lagi dari sekadar prajurit. Kalau bekerja dalam bidang kemiliteran, maka dia akan jadi perwira. Kalau kesetiaan terhadap Raja sudah diperlihatkan, maka akan sangat mudah diangkat ke dalam seribu pasukaan pengawal raja, sebuah pasukan elit yang sejak zaman Sri Baduga Maharaja, bahkan sejak zaman Prabu Wangi yang gugur di Bubat semasa Kerajaan Sunda hampir 200 tahun silam dipertahankan keberadaannya.
Kepandaian tinggi Ginggi sudah punya, tinggal melengkapinya dengan ilmu strategi kemiliteran saja untuk bisa memasuki jabatan perwira kerajaan. Ginggi tinggal menunggu hari baik saja, kapan dia akan dilantik di kuil agung sebagai ksatria. Barangkali kelak dia akan bergelar bangsawan juga dan orang akan menyapanya sebagai raden atau juragan, sebuah gelar kebanggaan bagi orang-orang Pakuan.
Tapi aneh sekali, Ginggi tak merasakan satu kebanggaan. Pangkat dan jabatan seperti tak membuatnya bergairah. Dia malah sedih dengan segalanya. Untuk apa semua ini? Lalu, apa pula sebenarnya tujuan hidupnya? Ginggi jadi teringat lagi pada Ki Darma. Ginggi mengingat-ingat lagi omongan Ki Darma. Sudah benarkah dia kini bila dipertalikan dengan amanat Ki Darma?
“Kau belalah rakyat dari kesengsaraannya,” kata-kata Ki Darma ini selalu terngiang-ngiang di telinganya.
Mudah diucapkan sulit dikerjakan. Ki Banaspati benar, membela rakyat jangan berupa satuan-satuan kecil sebab tak mungkin berarti. Tapi buatlah sebuah gerakan yang bisa mengakibatkan perubahan tatanan. Seperti apa gerakan itu? Seperti yang kini dikerjakan oleh Ki Banaspatikah? Ginggi menggelengkan kepala. Dia tak pernah faham apa yang dikerjakan Ki Banaspati. Dalam melaksanakan perjuangannya, murid Ki Darma ini selalu menggunakan berbagai cara, termasuk pula mengorbankan rakyat sendiri yang sebetulnya tengah dibelanya seperti penafsirannya.
Berupaya membentuk pasukan gelap yang tugasnya di antaranya menjegal dan merampok iring-iringan seba (pajak) adalah sesuatu yang Ginggi anggap ganjil. Begitu pun tindakan Ki Bagus Seta yang dalam melaksanakan amanat Ki Darma dia menyelundup menjadi pejabat di Pakuan tapi melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ganjil bila dihubungkan dengan amanat Ki Darma. Ki Darma mengeluh akan kebijaksanaan Raja yang memberati rakyat dengan pajak tinggi. Tapi belakangan Ginggi mendapatkan kenyataan, sebenarnya kebijaksanaan pajak tinggi yang menjadi titah Raja bermula dari gagasan Ki Bagus Seta sebagai pejabat muhara, Memang Ki Bagus Seta ada menerangkan, bahwa itu merupakan taktik agar dirinya dipercaya bekerja di Pakuan.
Katanya untuk menanamkan pengaruh, pertama kali harus berusaha menanamkan kepercayaan terhadap Raja. Raja yang berambisi mengembalikan kejayaan Negara seperti masa silam, membutuhkan banyak dana. Dana harus diambil dari dalam negri sebab dari luar seperti perdagangan antar pulau sudah tak mungkin dilakukan sesudah semua pelabuhan milik Pajajaran direbut Banten dan Cirebon.
“Raja yang sudah punya dasar keperluan seperti itu, kalau disodori gagasan yang sejalan dengan jalan pikirannya, maka akan segera menyambut baik dan kita akan dipercaya sebagai pembantu yang tahu memikirkan kebutuhan. Itulah cara untuk menanamkan pengaruh,” kata Ki Bagus Seta.
Katanya bila pengaruh sudah mulai kokoh menguasai sendi kehidupan di pemerintahan, maka selanjutnya akan sangat mudah untuk menyusun tatanan baru.
“Pada saat itulah perjuangan sebenarnya kita lakukan. Kita rombak negara, campakkan yang buruk dan yang tak cocok lalu kita tegakkan sendi-sendi yang terbaik yang bisa membuat rakyat sejahtera!” kata Ki Bagus Seta ketika itu.
Sudah benarkah gaya perjuangan yang dilakukan Ki Bagus Seta dan kelompoknya? Entahlah. Yang jelas, dalam upaya menjaga nama baik negara juga banyak dikemukakan oleh fihak lain dengan cara yang berbeda. Purohita Ragasuci dan Pangeran Yogascitra pun sebenarnya merasakan bahwa tatanan negara sedang tak sehat dan perlu perbaikan. Tapi cara memperbaiki keadaan yang mereka inginkan tidak melalui cara-cara perombakan. Mereka bilang tak perlu merombak, apalagi merusak.
“Raja belum melakukan tapa di nagara dengan baik. Seorang Raja harus teuas peureup leuleus usap (tegas tapi punya rasa kasih sayang). Ini belum sempurna dilaksanakan oleh Raja. Raja harus teuas peureup (tegas) saja sehingga akibatnya hanya menyakiti orang yang ditegasi saja. Raja juga mudah tergoda kehidupan lahiriah. Menyenangi kekayaan dan mudah jatuh cinta pada wanita cantik. Ini sebetulnya kurang sehat bagi kehidupan bernegara. Raja sedang menderita sakit dan harus segera disembuhkan agar bisa kembali memimpin dengan baik,” kata lagi Purohita Ragasuci.
Ucapan-ucapan ini hanya menegaskan pada semua orang bahwa dalam mengembalikan keberadaan negara yang dibanggakan rakyat beserta seluruh isinya, tidak perlu diadakan perombakan, tidak perlu menggusur Raja dan tidak perlu melakukan pemberontakan.
“Pemberontakan adalah perbuatan hina bagi orang-orang Pajajaran!” kata Pangeran Yogascitra ketika pertemuan di purinya hari kemarin.
Jelas banyak perbedaan dalam mempertahankan keberadaan negara. Ginggi mau ikut ke mana, dia sendiri pun tak tahu. Itulah sebabnya, baik ketika berada di puri Ki Bagus Seta mau pun kini sesudah berada di puri Yogascitra, Ginggi merasa tidak betah, sebab semua percakapan dan cara berpikir mereka tentang kehidupan bernegara, pemuda ini tidak faham sama sekali. Terlalu banyak yang dipikirkannya, sampai-sampai Ginggi tak bisa tidur padahal kantuk sudah amat hebat menyerangnya.
Ketika dia hampir memejamkan mata karena rasa pedih pada kelopaknya, pemuda itu malah mendengar suara berkeresekan yang amat mencurigakan dirinya. Itu bukan suara kaki kucing atau kelepak sayap burung malam, tapi seperti benda yang lebih berat hingga di atas atap sirap. Ginggi semakin menajamkan telinganya menggunakan ilmu dengar Hiliwir Sumping, Bunyi keresekan itu semakin meyakinkan dirinya bahwa itu langkah kaki seseorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Siapakah dia? Untuk meyakinkannya, Ginggi segera meniup pelita sehingga ruangan menjadi gelap.
Rupanya orang yang berjalan di atas atap pun merasakan bahwa lampu tiba-tiba gelap, sehingga Ginggi segera mendengar ada gerakan angin yang menandakan orang itu meloncat turun dari atas atap. Ginggi tak membuang waktu, segera membuka jendela dan loncat lewat lubang jendela. Bulan sudah bersinar kurang dari setengahnya tapi cukup terang untuk melihat gerakan orang yang melarikan diri dari tempat itu. Ginggi segera mengejarnya. Ternyata orang misterius itu berlari menuju tepi benteng. Ginggi pun terus membuntutinya. Ketika bayangan itu meloncati benteng, Ginggi pun segera meloncat mengejar. Kini terjadi kejar-mengejar di antara keduanya.
Ginggi belum tahu, siapa bayangan misterius itu. Hanya yang membikin pemuda itu heran, bayangan itu seperti membimbingnya ke suatu tempat. Ginggi terus mengikutinya. Bayangan itu telah menyebrangi Sungai Cipakancilan. Berlari cepat lagi menuju arah timur. Dan nampaknya orang itu membawanya ke tepi Sungai Cihaliwung. Sesudah tiba di tepiannya, dia berlari menyusuri sungai, menuju arah utara. Dia melewati Leuwi Kamala Wijaya, masih terus ke utara. Tibalah di tempat tambatan perahu yang menyambungkan tepian itu dengan gugusan delta Pulo Parakan Baranangsiang. Bayangan itu tidak menaiki perahu, melainkan meloncat ke permukaan sungai dan berlari menggunakan ilmu Napak Sancang, yaitu ilmu meringankan tubuh untuk berlari cepat di atas permukaan air.
Ginggi berhenti sejenak di tepi sungai, pertama merasa heran mengapa orang misterius itu membawanya ke tempat itu. Yang kedua, dia juga heran, sebab sejak tadi sebenarnya ada orang lain berlari di belakangnya. Siapa pula orang di belakangnya, pemuda itu pun sama tak mengenalinya. Namun yang jelas, orang yang di belakang memang berupaya mengejar dirinya. Adakah hubungan orang yang dikejarnya dengan orang yang kini berada di belakangnya?
“Biar aku buktikan nanti …” gumamnya seorang diri.
Sesudah berpikir begitu, Ginggi segera melompat ke tengah sungai dan berlari Napak Sancang menuju gugusan delta Pulo Parakan Baranangsiang. Ginggi mendarat di gugusan delta tengah Sungai Cihaliwung dan segera mendapatkan seorang lelaki berdiri bertolak pinggang sambil sepasang kaki terpentang lebar. Laki-laki itu memang sengaja menantinya di depanpesanggrahan,
“Ki Bagus Seta?” tanya Ginggi heran.
Sebagai jawabannya, Ki Bagus Seta mendengus.
“Ada apa malam-malam mengajakku ke sini?” Tanya Ginggi lagi.
“Aku ingin melihat di mana tempat anakku dibunuh …” gumam Ki Bagus Seta dengan suara dingin. Kain penutup pinggangnya nampak berkibar-kibar karena tertiup angina malam.
“Bukan aku yang bunuh…” kata Ginggi sedikit terkesiap dengan ucapan Ki Bagus Seta.
“Ya aku tahu. Orang-orang puri Yogascitra yang melakukannya. Tapi mereka tak berarti apa-apa bagiku. Kalau aku mau, malam ini juga bisa kubantai semuanya sampai habis. Yang aku perlukan hanya engkau,” kata Ki Bagus Seta lagi dengan suara berdesis.
“Aku tak membunuh putramu …” kata Ginggi mundur setindak.
“Tapi kau yang memberi peluang sehingga memudahkan orang-orang Yogascitra membantai anakku. Kau lumpuhkan anakku sehingga tak berdaya dan menjadi bulan-bulanan mereka. Kalau kau tak memukul Suji Angkara, setidaknya anakku masih bisa melawan atau bahkan menyelamatkan diri,” kata lagi Ki Bagus Seta.
Serasa lumpuh sendi-sendi tulang Ginggi disudutkan seperti ini. Kalau dipikir, memang benar, Suji Angkara begitu saja dibantai oleh para prajurit dengan amat mudahnya karena sudah terlebih dahulu dibuat lumpuh olehnya dan tak sanggup mengadakan perlawanan lagi. Dengan kata lain, yang membunuh pemuda itu sebetulnya dirinyalah.
Ki Bagus Seta mungkin benar tak begitu suka pada anak tirinya karena selalu bercuriga pada kegiatannya. Tapi sebagai orang tua, tentu dia merasa sakit hati melihat anak tirinya mati secara mengenaskan. Ginggi memang melihat jasad Suji Angkara. Dia mati dengan tubuh hampir hancur karena banyak tusukan benda tajam bersarang. Ginggi hanya menunduk, sebab dia ikut merasakan kehancuran hati seorang ayah ditinggal mati anaknya, kendati sekadar anak tiri. Ya, mengapa tidak begitu, sebab Suji Angkara pernah menjadi tangan kanannya dalam mengawasi kegiatan pengiriman seba di wilayah timur.
“Harus kau akui, engkaulah pembunuh anakku!” kata lagi Ki Bagus Seta.
“Bisa dikatakan, memang begitu …” gumam Ginggi masih menunduk.
“Bagus kalau kau sudah akui!” bentak Ki Bagus Seta sambil menghambur ke depan dengan gerakan cepat sekali.
Barangkali benar Ginggi mengaku ikut terlibat dalam pembunuhan. Tapi untuk disalahkan begitu saja dia tak terima. Apalagi sekarang harus mandah menerima hukuman. Maka ketika Ki Bagus Seta menghambur melancarkan pukulan deras, Ginggi segera menghindar ke samping sehingga pukulan Ki Bagus Seta mengenai tempat kosong.
Ginggi sudah pernah berhadapan dengan Ki Bagus Seta di ruangan paseban purinya. Dalam pertandingan di paseban keduanya saling melancarkan angin pukulan dan kedua-duanya terlontar menabrak dinding di belakangnya. Ginggi tak tahu, sejauh mana kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Ki Bagus Seta. Apakah pukulan yang dilontarkan Ki Bagus Seta waktu itu dilakukan sepenuhnya atau tidak. Ginggi sendiri waktu itu hanya hanya melontarkan tigaperempat bagian saja sebab berkhawatir pukulan itu mencelakakan baik pada dirinya mau pun pada lawan.
Barangkali sekarang akan diketahui, siapa dari kedua murid Ki Darma yang memiliki angin pukulan paling baik. Dan adu tenaga dalam nampaknya akan segera dilakukan, sebab Ki Bagus Seta segera mendoyongkan tubuhnya ke depan seperti kodok hendak meloncat. Hanya bedanya, sepasang tangannya dibuka lebar dan siap sedia mendorong ke depan.
Ginggi pun terpaksa harus melayaninya. Tidak sekadar bertahan, mungkin akan sama melakukan serangan juga. Kalau hanya bertahan, Ginggi takut tak akan kuat, mengingat Ki Bagus Seta akan melakukan serangan sungguh-sungguh karena rasa ingin membalas dendam atas kematian anak tirinya. Bagaimana agar tenaga dalam yang keluar dari tubuhnya semakin deras, Ginggi mengingat-ingat apa yang pernah dikatakan Ki Rangga Guna.
Bila diterjemahkan melalui bahasa ilmiah masa kini, maka Ki Rangga Guna mengatakan bahwa pengembangan tenaga dalam merupakan pelampiasan penggunaan system sumber daya tubuh (biolistrik). Di dalam tubuh manusia sebenarnya terdapat satu triliyun sel. Antara satu sel dengan sel yang lainnya ada suatu gaya yang memancar keluar (dalam ilmu bela diri masa kini yang diteliti secara ilmiah rasional pancaran tenaga ini disebut sebagai gaya elektromagnetik-pen). Bagi orang biasa yang tak pernah melatihnya, pancaran gaya ini keluar tidak teratur sehingga kekuatannya tidak terbukti secara khas. Oleh orang yang gemar melatih diri, pancaran gaya ini bisa dihimpun menjadi satu dan membentuk satu kekuatan yang maha hebat. Apakah orang sanggup menghimpun sebanyak-banyaknya dari jutaan sel energi ini, bergantung sejauh mana melakukan latihan.
Ginggi tak pernah mengaku seorang yang ulet. Apalagi ketika berada di bawah bimbingan Ki Darma. Orang itu selalu memaksa agar Ginggi berlatih keras. Tapi bila Ginggi sudah ogah-ogahan, Ki Darma selalu membiarkannya seenak perut Ginggi. Namun kendati begitu, belakangan dia sadar akan perlunya ilmu kedigjayaan setelah berhadapan dengan Ki Rangga Wisesa. Kalau saja tidak ditolong Ki Rangga Guna, barangkali nyawanya sudah lama melayang. Ketika sudah bersama Ki Rangga Guna saja Ginggi mau berlatih keras. Di samping memperdalam kembali apa-apa yang sudah diberikan oleh Ki Darma, Ginggi pun sungguh-sungguh menerima gemblengan ilmu-ilmu aneh Ki Rangga Guna yang katanya didapat dari negri sebrang.
Ketika Ki Bagus Seta mendorong sepasang telapak tangannya ke depan, terasa ada hawa panas menerjang ke arah dada Ginggi. Pemuda itu pun segera menghimpun tenaganya, jauh lebih besar ketika tenaga yang dipancarkan di ruang paseban itu. Dan dua tenaga besar berhawa panas beradu keras. Akibatnya terdengar ledakan keras yang diikuti kilatan-kilatan api. Tubuh Ginggi limbung ke belakang dengan dada terasa sesak dan berat. Matanya pun terasa berkunang-kunang, sehingga bila ada serangan susulan, sudah tak mungkin berkelit.
Tapi Ginggi heran, sehingga perlu membuka matanya, mengapa serangan susulan tak pernah dilakukan. Dan di keremangan cahaya bulan pemuda itu melihat tubuh Ki Bagus Seta telentang di tangga bangunan pasanggrahan, hampir enam depa darinya. Ginggi terkejut karena tubuh itu seperti tak bergerak. Sambil tubuh sedikit limbung, Ginggi mencoba mendekati tubuh Ki Bagus Seta yang telentang dengan kaki mengarah padanya. Ginggi khawatir kalau-kalau orang tua setengah baya itu mati karena benturan tenaga dalam yang saling dikerahkan dengan kekuatan penuh. Kalau benar demikian, dia akan berdosa telah kembali membunuh orang.
Namun satu depa sebelum dia sampai ke tubuh telentang itu, secara kilat Ki Bagus Seta bangun sambil membuat lentingan tubuhnya. Sedangkan sepasang tangannya mengembang melakukan pukulan ke arah dada pemuda itu. Ginggi tidak menduga sehingga tidak punya kesempatan untuk menangkisnya. Pukulan itu langsung menuju dadanya. Maka karena tak mungkin ditangkis atau dikelit, pemuda itu membusungkan dadanya, memusatkan inti tenaga di seputar dadanya sehingga jutaan sel elektromagnetik berkumpul di sana. Sel-sel yang memiliki daya tolak ini kalau pertahanannya betul-betul sempurna, akan mendatangkan daya yang kekuatannya sebanding dengan tenaga yang datangnya dari luar. Kian besar tenaga yang datang menyerang maka akan kuat pula daya lontarannya.
Meneliti angin pukulan yang dilancarkan Ki Bagus Seta sepertinya tidak mengandung kekuatan penuh. Mungkin Ki Bagus Seta ragu-ragu melontarkannya, mungkin pula karena dia sudah luka dalam ketika terjadi adu-tenaga tadi. Ginggi lega hatinya, sebab dengan keterbatasan tenaga itu, akan terbatas pula akibatnya. Pukulan sepasang tangan Ki Bagus Seta menerobos masuk ke dada bidang Ginggi.
“Duk!”
Pukulan itu menerpa keras sehingga tubuh pemuda itu terlontar ke belakang. Tapi bersamaan dengan itu terdengar pula jeritan keras keluar dari mulut Ki Bagus Seta. Tubuh orang tua itu terpental jauh sekali, berguling-guling masuk ke rimbunan semak-belukar.
“Hebat!” kata-kata ini keluar dari mulut Ki Banaspati yang tahu-tahu sudah berada di sana.
Tapi Ginggi yang masih telentang karena pukulan tadi, tak begitu heran melihat Ki Banaspati di sana secara tiba-tiba. Sejak dari tadi sebenarnya dia telah dikuntit orang. Baru belakangan ini Ginggi tahu bahwa yang menguntitnya adalah Ki Banaspati.
“Kau hebat Ginggi! Sudah lebih dari pantas untuk menjadi pembantu utamaku kelak!” katanya berdiri menatap pemuda itu bangun.
Dengan seluruh tubuh terasa sakit-sakit dan dada sesak, Ginggi hanya menatap Ki Banaspati dengan heran. Heran, mengapa orang ini malah memuji dirinya ketimbang cepat-cepat menolong Ki Bagus Seta yang Ginggi duga menderita luka berat karena peristiwa barusan.
“Coba kau periksa Ki Bagus Seta …” kata Ginggi dengan tarikan napas memburu karena sesak.
“Bagus Seta hatinya masih dipengaruhi urusan pribadi. Tidak cocok untuk melakukan perjuangan besar seperti yang tengah kita lakukan,” gumam Ki Banasapti datar.
“Tapi dia perlu kita tolong …” kata Ginggi.
“Mengapa kau membunuhnya kalau harus ditolong?” tanya Ki Banaspati enteng saja.
“Aku tak membunuhnya. Dia yang menyerangku. Tapi aku tak mau bunuh dia …” kata Ginggi dengan dada masih terasa sesak.
Ginggi kemudian terhuyung-huyung menuju semak-semak untuk mencari tubuh Ki Bagus Seta. Tapi sebelum Ginggi mencarinya, Ki Bagus Seta nampak keluar dari semak dan bergerak menggunakan gerakan tangan. Ginggi menarik tubuh Ki Bagus Seta menjauhi semak. Sesudah berhasil diangkat, Ki Bagus Seta disuruhnya bersila untuk mengatur pernapasan. Ginggi juga menyeka darah yang meleleh dari sudut bibir Ki Bagus Seta.
“Engkau hebat, anak muda…” gumam Ki Bagus Seta, dikomentari oleh kekeh tawa Ki Banaspati.
“Engkau bodoh Bagus Seta. Sudah aku katakan, bertempur dengan kawan sendiri hanya membuat rugi tujuan kita!” kata Ki Banaspati.
Yang diomeli diam saja sebab perhatiannya tengah terpusat dalam pengaturan napas.
“Anakku mati…” gumamnya kemudian.
“Memang sudah diputuskan. Suji Angkara harus mati sebab hanya akan menghalangi perjuangan kita. Kalau kau terganggu oleh urusan percintaan, anak itu sebetulnya sudah akan melapor tentang kegiatan kita,” kata Ki Banaspati. “Tapi sayang sekali, seharusnya Ginggi bunuh pemuda itu sesudah Suji Angkara membunuh Pangeran Yogascitra. Sekarang Yogascitra masih hidup. Kau yang harus bertugas membunuhnya, Ginggi…” lanjut pula Ki Banaspati.
Ginggi diam mematung. “Engkau amat berpeluang membunuh bangsawan itu sebab kau sudah dipercaya penuh olehnya. Berita mengenai engkau akan dilatik menjadi ksatria puri Yogascitra sudah tersebar di Pakuan. itu amat baik!” kata Ki Banaspati lagi.
“Bagaimana kalau anak muda ini tak membunuh Yogascitra bahkan menyebrang memihak mereka?” Tanya Ki Bagus Seta tiba-tiba.
“Tidak mungkin sebab Ginggi sudah terlanjur menyayangi Rangga Guna yang kita tawan. Kalau tak dibebaskan, Ki Rangga Guna akan menjadi mayat begitu saja. Kalau Ginggi tak mau menjalankan perintah kita, artinya Ginggi telah biarkan Rangga Gunai mati. Bukan oleh kita tapi oleh surat ini,” kata Ki Banaspati sambil membuka buntalan kecil yang sejak tadi diikatkannya pada sabuk kainnya.
Bungkusan itu dibuka. Di dalamnya ternyata ada satu kotak surat dan ada satu kumpulan daun nipah. Ki Banaspati hanya membuka ikatan daun nipahnya saja.
“Apakah itu?” tanya Ginggi ingin tahu.
“Itulah surat yang ditulis sebelum Rangga Guna tertangkap di Sagaraherang. Adakah surat itu untukmu?” kata Ki Bagus Seta.
“Begitu pentingkah surat itu untukku?” tanya Ginggi lagi menyipitkan sebelah matanya.
“Ya, penting sekali karena nyawamu ada di dalam sini,” kata Ki Banaspati mengangkat lembaran daun nipah yang diikat benang putih itu.
“Bacakan, apa isinya!” kata Ginggi.
“Coba serahkan surat itu padanya, Banaspati!” kata Ki Bagus Seta.
“Percuma memperlihatkan surat itu secara langsung, dia tak bisa baca-tulis!” kata Ki Banaspati.
Ginggi sebetulnya ingin sekali membaca langsung, apa isi surat yang katanya amat berkaitan erat dengan nyawanya. Tapi dia ingin mempertahankan pendapat orang lain bahwa dirinya tak bisa baca-tulis. Dulu Ki Darma memang memerintahkan dirinya untuk pura-pura tak mengenal tulisan, sebab suatu hari sifat kepura-puraan itu akan berguna.
“Ini, aku bacakan!” kata Ki Banaspati membeberkan susunan daun nipah, mendekatkannya pada kedua matanya karena cahaya bulan sepotong samar-samar saja cahayanya.
“Teruskan perjuanganmu sesuai perintah Ki Darma!” kata Ki Banaspati membaca surat daun nipah. Kemudian dibacanya pula penandatangan surat itu, sebagai Ki Rangga Guna tertuju kepada Ginggi.
“Surat itu tak punya arti khusus dan tak membahayakan diriku,” kata Ginggi.
Ki Banaspati terkekeh-kekeh. “Kalau surat ini sampai ke tangan orang-orang Pakuan, kau akan dikejar dan diburu sebab punya kaitan erat dengan Ki Darma!” katanya.
“Aku juga bisa katakan bahwa kalian punya hubungan erat,” jawab Ginggi.
“Hahaha...! Hanya engkau yang bisa dibuktikan. Kami bertahun-tahun sudah berada di sini dan tak ada orang yang tahu. Ki Darma sudah mati, kemudian Rangga Guna pun nyawanya ada di tangan kami dan kata-katamu tak akan dipercaya orang,” Ki Banaspati tertawa lagi.
Ginggi tetap terpaku dan hatinya membenarkan kesulitan ini, bila surat dari Ki Rangga Guna disampaikan kepada orang-orang Pakuan.
Sudah benarkah gaya perjuangan yang dilakukan Ki Bagus Seta dan kelompoknya? Entahlah. Yang jelas, dalam upaya menjaga nama baik negara juga banyak dikemukakan oleh fihak lain dengan cara yang berbeda. Purohita Ragasuci dan Pangeran Yogascitra pun sebenarnya merasakan bahwa tatanan negara sedang tak sehat dan perlu perbaikan. Tapi cara memperbaiki keadaan yang mereka inginkan tidak melalui cara-cara perombakan. Mereka bilang tak perlu merombak, apalagi merusak.
“Raja belum melakukan tapa di nagara dengan baik. Seorang Raja harus teuas peureup leuleus usap (tegas tapi punya rasa kasih sayang). Ini belum sempurna dilaksanakan oleh Raja. Raja harus teuas peureup (tegas) saja sehingga akibatnya hanya menyakiti orang yang ditegasi saja. Raja juga mudah tergoda kehidupan lahiriah. Menyenangi kekayaan dan mudah jatuh cinta pada wanita cantik. Ini sebetulnya kurang sehat bagi kehidupan bernegara. Raja sedang menderita sakit dan harus segera disembuhkan agar bisa kembali memimpin dengan baik,” kata lagi Purohita Ragasuci.
Ucapan-ucapan ini hanya menegaskan pada semua orang bahwa dalam mengembalikan keberadaan negara yang dibanggakan rakyat beserta seluruh isinya, tidak perlu diadakan perombakan, tidak perlu menggusur Raja dan tidak perlu melakukan pemberontakan.
“Pemberontakan adalah perbuatan hina bagi orang-orang Pajajaran!” kata Pangeran Yogascitra ketika pertemuan di purinya hari kemarin.
Jelas banyak perbedaan dalam mempertahankan keberadaan negara. Ginggi mau ikut ke mana, dia sendiri pun tak tahu. Itulah sebabnya, baik ketika berada di puri Ki Bagus Seta mau pun kini sesudah berada di puri Yogascitra, Ginggi merasa tidak betah, sebab semua percakapan dan cara berpikir mereka tentang kehidupan bernegara, pemuda ini tidak faham sama sekali. Terlalu banyak yang dipikirkannya, sampai-sampai Ginggi tak bisa tidur padahal kantuk sudah amat hebat menyerangnya.
Ketika dia hampir memejamkan mata karena rasa pedih pada kelopaknya, pemuda itu malah mendengar suara berkeresekan yang amat mencurigakan dirinya. Itu bukan suara kaki kucing atau kelepak sayap burung malam, tapi seperti benda yang lebih berat hingga di atas atap sirap. Ginggi semakin menajamkan telinganya menggunakan ilmu dengar Hiliwir Sumping, Bunyi keresekan itu semakin meyakinkan dirinya bahwa itu langkah kaki seseorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Siapakah dia? Untuk meyakinkannya, Ginggi segera meniup pelita sehingga ruangan menjadi gelap.
Rupanya orang yang berjalan di atas atap pun merasakan bahwa lampu tiba-tiba gelap, sehingga Ginggi segera mendengar ada gerakan angin yang menandakan orang itu meloncat turun dari atas atap. Ginggi tak membuang waktu, segera membuka jendela dan loncat lewat lubang jendela. Bulan sudah bersinar kurang dari setengahnya tapi cukup terang untuk melihat gerakan orang yang melarikan diri dari tempat itu. Ginggi segera mengejarnya. Ternyata orang misterius itu berlari menuju tepi benteng. Ginggi pun terus membuntutinya. Ketika bayangan itu meloncati benteng, Ginggi pun segera meloncat mengejar. Kini terjadi kejar-mengejar di antara keduanya.
Ginggi belum tahu, siapa bayangan misterius itu. Hanya yang membikin pemuda itu heran, bayangan itu seperti membimbingnya ke suatu tempat. Ginggi terus mengikutinya. Bayangan itu telah menyebrangi Sungai Cipakancilan. Berlari cepat lagi menuju arah timur. Dan nampaknya orang itu membawanya ke tepi Sungai Cihaliwung. Sesudah tiba di tepiannya, dia berlari menyusuri sungai, menuju arah utara. Dia melewati Leuwi Kamala Wijaya, masih terus ke utara. Tibalah di tempat tambatan perahu yang menyambungkan tepian itu dengan gugusan delta Pulo Parakan Baranangsiang. Bayangan itu tidak menaiki perahu, melainkan meloncat ke permukaan sungai dan berlari menggunakan ilmu Napak Sancang, yaitu ilmu meringankan tubuh untuk berlari cepat di atas permukaan air.
Ginggi berhenti sejenak di tepi sungai, pertama merasa heran mengapa orang misterius itu membawanya ke tempat itu. Yang kedua, dia juga heran, sebab sejak tadi sebenarnya ada orang lain berlari di belakangnya. Siapa pula orang di belakangnya, pemuda itu pun sama tak mengenalinya. Namun yang jelas, orang yang di belakang memang berupaya mengejar dirinya. Adakah hubungan orang yang dikejarnya dengan orang yang kini berada di belakangnya?
“Biar aku buktikan nanti …” gumamnya seorang diri.
Sesudah berpikir begitu, Ginggi segera melompat ke tengah sungai dan berlari Napak Sancang menuju gugusan delta Pulo Parakan Baranangsiang. Ginggi mendarat di gugusan delta tengah Sungai Cihaliwung dan segera mendapatkan seorang lelaki berdiri bertolak pinggang sambil sepasang kaki terpentang lebar. Laki-laki itu memang sengaja menantinya di depanpesanggrahan,
“Ki Bagus Seta?” tanya Ginggi heran.
Sebagai jawabannya, Ki Bagus Seta mendengus.
“Ada apa malam-malam mengajakku ke sini?” Tanya Ginggi lagi.
“Aku ingin melihat di mana tempat anakku dibunuh …” gumam Ki Bagus Seta dengan suara dingin. Kain penutup pinggangnya nampak berkibar-kibar karena tertiup angina malam.
“Bukan aku yang bunuh…” kata Ginggi sedikit terkesiap dengan ucapan Ki Bagus Seta.
“Ya aku tahu. Orang-orang puri Yogascitra yang melakukannya. Tapi mereka tak berarti apa-apa bagiku. Kalau aku mau, malam ini juga bisa kubantai semuanya sampai habis. Yang aku perlukan hanya engkau,” kata Ki Bagus Seta lagi dengan suara berdesis.
“Aku tak membunuh putramu …” kata Ginggi mundur setindak.
“Tapi kau yang memberi peluang sehingga memudahkan orang-orang Yogascitra membantai anakku. Kau lumpuhkan anakku sehingga tak berdaya dan menjadi bulan-bulanan mereka. Kalau kau tak memukul Suji Angkara, setidaknya anakku masih bisa melawan atau bahkan menyelamatkan diri,” kata lagi Ki Bagus Seta.
Serasa lumpuh sendi-sendi tulang Ginggi disudutkan seperti ini. Kalau dipikir, memang benar, Suji Angkara begitu saja dibantai oleh para prajurit dengan amat mudahnya karena sudah terlebih dahulu dibuat lumpuh olehnya dan tak sanggup mengadakan perlawanan lagi. Dengan kata lain, yang membunuh pemuda itu sebetulnya dirinyalah.
Ki Bagus Seta mungkin benar tak begitu suka pada anak tirinya karena selalu bercuriga pada kegiatannya. Tapi sebagai orang tua, tentu dia merasa sakit hati melihat anak tirinya mati secara mengenaskan. Ginggi memang melihat jasad Suji Angkara. Dia mati dengan tubuh hampir hancur karena banyak tusukan benda tajam bersarang. Ginggi hanya menunduk, sebab dia ikut merasakan kehancuran hati seorang ayah ditinggal mati anaknya, kendati sekadar anak tiri. Ya, mengapa tidak begitu, sebab Suji Angkara pernah menjadi tangan kanannya dalam mengawasi kegiatan pengiriman seba di wilayah timur.
“Harus kau akui, engkaulah pembunuh anakku!” kata lagi Ki Bagus Seta.
“Bisa dikatakan, memang begitu …” gumam Ginggi masih menunduk.
“Bagus kalau kau sudah akui!” bentak Ki Bagus Seta sambil menghambur ke depan dengan gerakan cepat sekali.
Barangkali benar Ginggi mengaku ikut terlibat dalam pembunuhan. Tapi untuk disalahkan begitu saja dia tak terima. Apalagi sekarang harus mandah menerima hukuman. Maka ketika Ki Bagus Seta menghambur melancarkan pukulan deras, Ginggi segera menghindar ke samping sehingga pukulan Ki Bagus Seta mengenai tempat kosong.
Ginggi sudah pernah berhadapan dengan Ki Bagus Seta di ruangan paseban purinya. Dalam pertandingan di paseban keduanya saling melancarkan angin pukulan dan kedua-duanya terlontar menabrak dinding di belakangnya. Ginggi tak tahu, sejauh mana kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Ki Bagus Seta. Apakah pukulan yang dilontarkan Ki Bagus Seta waktu itu dilakukan sepenuhnya atau tidak. Ginggi sendiri waktu itu hanya hanya melontarkan tigaperempat bagian saja sebab berkhawatir pukulan itu mencelakakan baik pada dirinya mau pun pada lawan.
Barangkali sekarang akan diketahui, siapa dari kedua murid Ki Darma yang memiliki angin pukulan paling baik. Dan adu tenaga dalam nampaknya akan segera dilakukan, sebab Ki Bagus Seta segera mendoyongkan tubuhnya ke depan seperti kodok hendak meloncat. Hanya bedanya, sepasang tangannya dibuka lebar dan siap sedia mendorong ke depan.
Ginggi pun terpaksa harus melayaninya. Tidak sekadar bertahan, mungkin akan sama melakukan serangan juga. Kalau hanya bertahan, Ginggi takut tak akan kuat, mengingat Ki Bagus Seta akan melakukan serangan sungguh-sungguh karena rasa ingin membalas dendam atas kematian anak tirinya. Bagaimana agar tenaga dalam yang keluar dari tubuhnya semakin deras, Ginggi mengingat-ingat apa yang pernah dikatakan Ki Rangga Guna.
Bila diterjemahkan melalui bahasa ilmiah masa kini, maka Ki Rangga Guna mengatakan bahwa pengembangan tenaga dalam merupakan pelampiasan penggunaan system sumber daya tubuh (biolistrik). Di dalam tubuh manusia sebenarnya terdapat satu triliyun sel. Antara satu sel dengan sel yang lainnya ada suatu gaya yang memancar keluar (dalam ilmu bela diri masa kini yang diteliti secara ilmiah rasional pancaran tenaga ini disebut sebagai gaya elektromagnetik-pen). Bagi orang biasa yang tak pernah melatihnya, pancaran gaya ini keluar tidak teratur sehingga kekuatannya tidak terbukti secara khas. Oleh orang yang gemar melatih diri, pancaran gaya ini bisa dihimpun menjadi satu dan membentuk satu kekuatan yang maha hebat. Apakah orang sanggup menghimpun sebanyak-banyaknya dari jutaan sel energi ini, bergantung sejauh mana melakukan latihan.
Ginggi tak pernah mengaku seorang yang ulet. Apalagi ketika berada di bawah bimbingan Ki Darma. Orang itu selalu memaksa agar Ginggi berlatih keras. Tapi bila Ginggi sudah ogah-ogahan, Ki Darma selalu membiarkannya seenak perut Ginggi. Namun kendati begitu, belakangan dia sadar akan perlunya ilmu kedigjayaan setelah berhadapan dengan Ki Rangga Wisesa. Kalau saja tidak ditolong Ki Rangga Guna, barangkali nyawanya sudah lama melayang. Ketika sudah bersama Ki Rangga Guna saja Ginggi mau berlatih keras. Di samping memperdalam kembali apa-apa yang sudah diberikan oleh Ki Darma, Ginggi pun sungguh-sungguh menerima gemblengan ilmu-ilmu aneh Ki Rangga Guna yang katanya didapat dari negri sebrang.
Ketika Ki Bagus Seta mendorong sepasang telapak tangannya ke depan, terasa ada hawa panas menerjang ke arah dada Ginggi. Pemuda itu pun segera menghimpun tenaganya, jauh lebih besar ketika tenaga yang dipancarkan di ruang paseban itu. Dan dua tenaga besar berhawa panas beradu keras. Akibatnya terdengar ledakan keras yang diikuti kilatan-kilatan api. Tubuh Ginggi limbung ke belakang dengan dada terasa sesak dan berat. Matanya pun terasa berkunang-kunang, sehingga bila ada serangan susulan, sudah tak mungkin berkelit.
Tapi Ginggi heran, sehingga perlu membuka matanya, mengapa serangan susulan tak pernah dilakukan. Dan di keremangan cahaya bulan pemuda itu melihat tubuh Ki Bagus Seta telentang di tangga bangunan pasanggrahan, hampir enam depa darinya. Ginggi terkejut karena tubuh itu seperti tak bergerak. Sambil tubuh sedikit limbung, Ginggi mencoba mendekati tubuh Ki Bagus Seta yang telentang dengan kaki mengarah padanya. Ginggi khawatir kalau-kalau orang tua setengah baya itu mati karena benturan tenaga dalam yang saling dikerahkan dengan kekuatan penuh. Kalau benar demikian, dia akan berdosa telah kembali membunuh orang.
Namun satu depa sebelum dia sampai ke tubuh telentang itu, secara kilat Ki Bagus Seta bangun sambil membuat lentingan tubuhnya. Sedangkan sepasang tangannya mengembang melakukan pukulan ke arah dada pemuda itu. Ginggi tidak menduga sehingga tidak punya kesempatan untuk menangkisnya. Pukulan itu langsung menuju dadanya. Maka karena tak mungkin ditangkis atau dikelit, pemuda itu membusungkan dadanya, memusatkan inti tenaga di seputar dadanya sehingga jutaan sel elektromagnetik berkumpul di sana. Sel-sel yang memiliki daya tolak ini kalau pertahanannya betul-betul sempurna, akan mendatangkan daya yang kekuatannya sebanding dengan tenaga yang datangnya dari luar. Kian besar tenaga yang datang menyerang maka akan kuat pula daya lontarannya.
Meneliti angin pukulan yang dilancarkan Ki Bagus Seta sepertinya tidak mengandung kekuatan penuh. Mungkin Ki Bagus Seta ragu-ragu melontarkannya, mungkin pula karena dia sudah luka dalam ketika terjadi adu-tenaga tadi. Ginggi lega hatinya, sebab dengan keterbatasan tenaga itu, akan terbatas pula akibatnya. Pukulan sepasang tangan Ki Bagus Seta menerobos masuk ke dada bidang Ginggi.
“Duk!”
Pukulan itu menerpa keras sehingga tubuh pemuda itu terlontar ke belakang. Tapi bersamaan dengan itu terdengar pula jeritan keras keluar dari mulut Ki Bagus Seta. Tubuh orang tua itu terpental jauh sekali, berguling-guling masuk ke rimbunan semak-belukar.
“Hebat!” kata-kata ini keluar dari mulut Ki Banaspati yang tahu-tahu sudah berada di sana.
Tapi Ginggi yang masih telentang karena pukulan tadi, tak begitu heran melihat Ki Banaspati di sana secara tiba-tiba. Sejak dari tadi sebenarnya dia telah dikuntit orang. Baru belakangan ini Ginggi tahu bahwa yang menguntitnya adalah Ki Banaspati.
“Kau hebat Ginggi! Sudah lebih dari pantas untuk menjadi pembantu utamaku kelak!” katanya berdiri menatap pemuda itu bangun.
Dengan seluruh tubuh terasa sakit-sakit dan dada sesak, Ginggi hanya menatap Ki Banaspati dengan heran. Heran, mengapa orang ini malah memuji dirinya ketimbang cepat-cepat menolong Ki Bagus Seta yang Ginggi duga menderita luka berat karena peristiwa barusan.
“Coba kau periksa Ki Bagus Seta …” kata Ginggi dengan tarikan napas memburu karena sesak.
“Bagus Seta hatinya masih dipengaruhi urusan pribadi. Tidak cocok untuk melakukan perjuangan besar seperti yang tengah kita lakukan,” gumam Ki Banasapti datar.
“Tapi dia perlu kita tolong …” kata Ginggi.
“Mengapa kau membunuhnya kalau harus ditolong?” tanya Ki Banaspati enteng saja.
“Aku tak membunuhnya. Dia yang menyerangku. Tapi aku tak mau bunuh dia …” kata Ginggi dengan dada masih terasa sesak.
Ginggi kemudian terhuyung-huyung menuju semak-semak untuk mencari tubuh Ki Bagus Seta. Tapi sebelum Ginggi mencarinya, Ki Bagus Seta nampak keluar dari semak dan bergerak menggunakan gerakan tangan. Ginggi menarik tubuh Ki Bagus Seta menjauhi semak. Sesudah berhasil diangkat, Ki Bagus Seta disuruhnya bersila untuk mengatur pernapasan. Ginggi juga menyeka darah yang meleleh dari sudut bibir Ki Bagus Seta.
“Engkau hebat, anak muda…” gumam Ki Bagus Seta, dikomentari oleh kekeh tawa Ki Banaspati.
“Engkau bodoh Bagus Seta. Sudah aku katakan, bertempur dengan kawan sendiri hanya membuat rugi tujuan kita!” kata Ki Banaspati.
Yang diomeli diam saja sebab perhatiannya tengah terpusat dalam pengaturan napas.
“Anakku mati…” gumamnya kemudian.
“Memang sudah diputuskan. Suji Angkara harus mati sebab hanya akan menghalangi perjuangan kita. Kalau kau terganggu oleh urusan percintaan, anak itu sebetulnya sudah akan melapor tentang kegiatan kita,” kata Ki Banaspati. “Tapi sayang sekali, seharusnya Ginggi bunuh pemuda itu sesudah Suji Angkara membunuh Pangeran Yogascitra. Sekarang Yogascitra masih hidup. Kau yang harus bertugas membunuhnya, Ginggi…” lanjut pula Ki Banaspati.
Ginggi diam mematung. “Engkau amat berpeluang membunuh bangsawan itu sebab kau sudah dipercaya penuh olehnya. Berita mengenai engkau akan dilatik menjadi ksatria puri Yogascitra sudah tersebar di Pakuan. itu amat baik!” kata Ki Banaspati lagi.
“Bagaimana kalau anak muda ini tak membunuh Yogascitra bahkan menyebrang memihak mereka?” Tanya Ki Bagus Seta tiba-tiba.
“Tidak mungkin sebab Ginggi sudah terlanjur menyayangi Rangga Guna yang kita tawan. Kalau tak dibebaskan, Ki Rangga Guna akan menjadi mayat begitu saja. Kalau Ginggi tak mau menjalankan perintah kita, artinya Ginggi telah biarkan Rangga Gunai mati. Bukan oleh kita tapi oleh surat ini,” kata Ki Banaspati sambil membuka buntalan kecil yang sejak tadi diikatkannya pada sabuk kainnya.
Bungkusan itu dibuka. Di dalamnya ternyata ada satu kotak surat dan ada satu kumpulan daun nipah. Ki Banaspati hanya membuka ikatan daun nipahnya saja.
“Apakah itu?” tanya Ginggi ingin tahu.
“Itulah surat yang ditulis sebelum Rangga Guna tertangkap di Sagaraherang. Adakah surat itu untukmu?” kata Ki Bagus Seta.
“Begitu pentingkah surat itu untukku?” tanya Ginggi lagi menyipitkan sebelah matanya.
“Ya, penting sekali karena nyawamu ada di dalam sini,” kata Ki Banaspati mengangkat lembaran daun nipah yang diikat benang putih itu.
“Bacakan, apa isinya!” kata Ginggi.
“Coba serahkan surat itu padanya, Banaspati!” kata Ki Bagus Seta.
“Percuma memperlihatkan surat itu secara langsung, dia tak bisa baca-tulis!” kata Ki Banaspati.
Ginggi sebetulnya ingin sekali membaca langsung, apa isi surat yang katanya amat berkaitan erat dengan nyawanya. Tapi dia ingin mempertahankan pendapat orang lain bahwa dirinya tak bisa baca-tulis. Dulu Ki Darma memang memerintahkan dirinya untuk pura-pura tak mengenal tulisan, sebab suatu hari sifat kepura-puraan itu akan berguna.
“Ini, aku bacakan!” kata Ki Banaspati membeberkan susunan daun nipah, mendekatkannya pada kedua matanya karena cahaya bulan sepotong samar-samar saja cahayanya.
“Teruskan perjuanganmu sesuai perintah Ki Darma!” kata Ki Banaspati membaca surat daun nipah. Kemudian dibacanya pula penandatangan surat itu, sebagai Ki Rangga Guna tertuju kepada Ginggi.
“Surat itu tak punya arti khusus dan tak membahayakan diriku,” kata Ginggi.
Ki Banaspati terkekeh-kekeh. “Kalau surat ini sampai ke tangan orang-orang Pakuan, kau akan dikejar dan diburu sebab punya kaitan erat dengan Ki Darma!” katanya.
“Aku juga bisa katakan bahwa kalian punya hubungan erat,” jawab Ginggi.
“Hahaha...! Hanya engkau yang bisa dibuktikan. Kami bertahun-tahun sudah berada di sini dan tak ada orang yang tahu. Ki Darma sudah mati, kemudian Rangga Guna pun nyawanya ada di tangan kami dan kata-katamu tak akan dipercaya orang,” Ki Banaspati tertawa lagi.
Ginggi tetap terpaku dan hatinya membenarkan kesulitan ini, bila surat dari Ki Rangga Guna disampaikan kepada orang-orang Pakuan.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment