“Nyimas…?” gumam Ginggi sambil menoleh ke belakang.
Dia tak percaya gadis itu bilang begitu. Tapi gadis itu memang memohon kepadanya. Nyimas Banyak Inten segera membenahi pakaiannya yang awut-awutan dan duduk bersimpuh di bawah kakinya. Kaki Ginggi. Gadis itu menangis sesenggukan sambil mencoba memeluk kaki Ginggi.
“Jangan bunuh dia… Jangan bunuh dia…!” keluh gadis itu di antara sela-sela tangisnya.
Serasa sesak dada Ginggi melihat kenyataan ini. Serasa sesak dadanya ketika sepasang tangan gadis itu memeluk kakinya untuk memohon ampun. Nyimas Banyak Inten mohon pengampunan bagi Suji Angkara pemuda laknat itu? Ginggi menggigil tubuhnya melihat kenyataan ini.
“Mari Nyimas kita pergi. Kita pergi jauh entah ke mana. Kita tinggalkan tempat ini!” kata Suji Angkara masih terhuyung lemah.
Ketika hendak berdiri tegak, dia jatuh lagi dan segera dipapah Nyimas Banyak Inten. Sungguh meremukkan hati Ginggi yang menyaksikannya. Tapi sementara itu dari tepi sungai berlarian banyak orang dengan obor di tangan. Suasana gugusan pulau mendadak menjadi terang benderang. Semuanya mendatangi pesanggrahan.
“Itu dia penjahat Suji Angkara!” teriak Purbajaya.
Serentak belasan prajurit mengepung tempat itu. Dan Suji Angkara menjadi sasaran penyerbuan pasukan bersenjata lengkap. Suji meloncat keluar tapi sambil jatuh terhuyung. Sementara itu pihak penyerbu dengan beringas mencecarnya dengan berbagai senjata tajam. Pemuda itu berkelit dan bergulingan kesana-kemari. Beberapa serangan senjata tajam bisa dia hindari, tapi beberapa lainnya mengenai tubuhnya secara bertubi-tubi. Pemuda itu mengeluh setiap kali ada tusukan pedang yang melukai tubuhnya.
Yang membikin hati Ginggi kian memelas, ketika setiap Suji Angkara mengeluh setiap itu pula terdengar jerit dan tangis Nyimas Banyak Inten. Suara tangisan baru berhenti ketika gadis itu pingsan sambil sepasang tangannya kembali masih memeluki kaki Ginggi yang berdiri kaku di sana.
Ginggi pulang dari Pulo Parakan Baranangsiang bersama rombongan yang dipimpin Purbajaya dan Banyak Angga. Rombongan itu mengusung dua tubuh. Satu tubuh Nyimas Banyak Inten yang pingsan karena sedih dan kedua adalah tubuh Suji Angkara yang sudah tak bernyawa karena cecaran pedang para prajurit.
Di tengah jalan Purbajaya baru membeberkan siapa Suji Angkara dan apa saja tindakan-tindakannya selama ini. Secara rinci pemuda itu membeberkan keburukan-keburukan Suji Angkara dari sejak peristiwa di Tanjungpura hingga peristiwa hari ini.
“Perusuh yang mengacau puri kita beberapa waktu lalu adalah Suji Angkara. Tapi celakanya kita semua tak menduga bahkan menganggap pemuda itu sebagai pahlawan,” kata Purbajaya.
“Sayang kita baru tahu kejahatannya sesudah terlambat,” gumam Banyak Angga.
“Sebetulnya Ginggi tahu sejak awal…” jawab Purbajaya.
Banyak Angga menoleh pada Ginggi, tapi Ginggi diam saja. Setibanya di puri Yogascitra, Ginggi disambut secara terhormat.
“Sebetulnya sudah jauh hari aku ragu, seorang badega sepertimu tindak-tanduknya lain,” ujar Pangeran Yogascitra.
“Saya tidak biasa memperlihatkan diri, Juragan…” kata Ginggi menyembah hormat.
Pangeran Yogascitra mengangkat bahu Ginggi agar tak memberi hormat berlebihan.
“Tinggallah di sini. Engkau kuangkat sebagai ksatria di puri Yogascitra …” kata Pangeran Yogascitra.
Ginggi hanya menunduk lesu, tidak tergambar kegembiraan barang sedikit pun. Tapi wajah muram Ginggi tidak terperhatikan semua orang, sebab semuanya tengah dipenuhi rasa syukur bahwa nasib Nyimas Banyak Inten lolos dari aib yang menghinakan.
Keesokan harinya Pakuan geger sebab Pangeran Yogascitra melaporkan kejadian semalam pada Raja. Ki Bagus Seta dipanggil ke istana untuk diminta penjelasan mengenai tindak-tanduk putranya yang dianggapnya merendahkan derajat kaum bangsawan.
“Tapi Ki Bagus Seta berkelit dari tanggungjawabnya. Dia mengatakan tindakan anak tirinya tak ada kaitannya dengan dirinya dan dia tak tahu menahu tentang semua ini,” kata Banyak Angga yang ikut menghadiri pemanggilan Ki Bagus Seta di paseban istana.
Ginggi menilai, kemungkinan pandangan Raja terhadap Ki Bagus Seta akan mulai berubah sesudah kejadian yang menyangkut putranya ini. Dan bila benar begitu, kedudukannya akan semakin terdesak, paling tidak pengaruh-pengaruhnya yang selama ini demikian besar di kalangan istana. Dan tidak berlebihan kalau akhir-akhir ini Raja mulai menaruh kepercayaan terhadap Pangeran Yogascitra.
Menurut beberapa kalangan yang berada di puri Yogascitra, bangsawan ini punya kekerabatan yang erat dengan Raja terdahulu yaitu Sang Prabu Dewatabuwana atau lebih dikenal lagi dengan julukan Prabu Ratu Dewata, yaitu ayahanda Prabu Ratu sakti Sang Mangabatan yang berkuasa sekarang.
Pangeran Yogascitra adalah pengabdi setia dan pejabat puhawang (akhli kelautan) yang baik, seperti ayahandanya yang menjadi pejabat yang sama sejak kepemimpinan Sang Ratu Jaya Dewata, atau Sri Baduga Maharaja dan lebih populer lagi dengan julukan Prabu Siliwangi (1482-1521 Masehi).
Puhawang adalah petugas yang akhli dalam ilmu teluk dan kelautan. Dan semasa kepemimpinan Sri Baduga Maharaja, pejabat puhawang amat berperan sehingga Pajajaran jaya di lautan dan menguasai banyak pelabuhan laut dan muara.
Sekarang sesudah Pajajaran didesak mundur ke pedalaman oleh kekuatan negara agama baru, peranan puhawang sepertinya kurang berarti sebab negri pedalaman ini sudah tak memiliki kekuatan di pesisir. Kendati begitu Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan tetap mempertahankan lembaga puhawang, sebab Raja yang penuh ambisi ini tetap bercita-cita mengembalikan kejayaan Pajajaran seperti zaman kakek-buyutnya, yaitu Sri Baduga Maharaja. Tapi belakangan terbetik keputusan bahwa Sang Prabu akan menghapus lembaga puhawang dan berniat mengangkat Pangeran Yogascitra sebagai penasihat, hanya membuktikan bahwa Raja sudah mulai putus asa dalam mempertahankan cita-citanya menguasai wilayah pesisir dan lautan.
Diangkatnya seorang penasihat juga memperlihatkan bahwa Raja sudah mulai bimbang dalam menentukan berbagai keputusan. Hari-hari sebelumnya, tidak terpikirkan bagi Raja untuk memilih seorang penasihat khusus, sebab selama ini para pembantu dekatnya saja yang selama ini dia gunakan sebagai masukan dalam mencari gagasan mengendalikan kerajaan.
Namun sesudah ada beberapa kegagalan dalam cara memimpin, sepertinya Raja mulai berpikir bahwa tak semua masukan yang diberikan para pembantu dekatnya benar-benar bermanfaat bagi dirinya. Itulah sebabnya, Raja memikirkan satu orang penasihat dan merencanakan memilih Pangeran Yogascitra sebagai pejabat paling senior dan yang kesetiaannya tak diragukan lagi.
Dia tak percaya gadis itu bilang begitu. Tapi gadis itu memang memohon kepadanya. Nyimas Banyak Inten segera membenahi pakaiannya yang awut-awutan dan duduk bersimpuh di bawah kakinya. Kaki Ginggi. Gadis itu menangis sesenggukan sambil mencoba memeluk kaki Ginggi.
“Jangan bunuh dia… Jangan bunuh dia…!” keluh gadis itu di antara sela-sela tangisnya.
Serasa sesak dada Ginggi melihat kenyataan ini. Serasa sesak dadanya ketika sepasang tangan gadis itu memeluk kakinya untuk memohon ampun. Nyimas Banyak Inten mohon pengampunan bagi Suji Angkara pemuda laknat itu? Ginggi menggigil tubuhnya melihat kenyataan ini.
“Mari Nyimas kita pergi. Kita pergi jauh entah ke mana. Kita tinggalkan tempat ini!” kata Suji Angkara masih terhuyung lemah.
Ketika hendak berdiri tegak, dia jatuh lagi dan segera dipapah Nyimas Banyak Inten. Sungguh meremukkan hati Ginggi yang menyaksikannya. Tapi sementara itu dari tepi sungai berlarian banyak orang dengan obor di tangan. Suasana gugusan pulau mendadak menjadi terang benderang. Semuanya mendatangi pesanggrahan.
“Itu dia penjahat Suji Angkara!” teriak Purbajaya.
Serentak belasan prajurit mengepung tempat itu. Dan Suji Angkara menjadi sasaran penyerbuan pasukan bersenjata lengkap. Suji meloncat keluar tapi sambil jatuh terhuyung. Sementara itu pihak penyerbu dengan beringas mencecarnya dengan berbagai senjata tajam. Pemuda itu berkelit dan bergulingan kesana-kemari. Beberapa serangan senjata tajam bisa dia hindari, tapi beberapa lainnya mengenai tubuhnya secara bertubi-tubi. Pemuda itu mengeluh setiap kali ada tusukan pedang yang melukai tubuhnya.
Yang membikin hati Ginggi kian memelas, ketika setiap Suji Angkara mengeluh setiap itu pula terdengar jerit dan tangis Nyimas Banyak Inten. Suara tangisan baru berhenti ketika gadis itu pingsan sambil sepasang tangannya kembali masih memeluki kaki Ginggi yang berdiri kaku di sana.
Ginggi pulang dari Pulo Parakan Baranangsiang bersama rombongan yang dipimpin Purbajaya dan Banyak Angga. Rombongan itu mengusung dua tubuh. Satu tubuh Nyimas Banyak Inten yang pingsan karena sedih dan kedua adalah tubuh Suji Angkara yang sudah tak bernyawa karena cecaran pedang para prajurit.
Di tengah jalan Purbajaya baru membeberkan siapa Suji Angkara dan apa saja tindakan-tindakannya selama ini. Secara rinci pemuda itu membeberkan keburukan-keburukan Suji Angkara dari sejak peristiwa di Tanjungpura hingga peristiwa hari ini.
“Perusuh yang mengacau puri kita beberapa waktu lalu adalah Suji Angkara. Tapi celakanya kita semua tak menduga bahkan menganggap pemuda itu sebagai pahlawan,” kata Purbajaya.
“Sayang kita baru tahu kejahatannya sesudah terlambat,” gumam Banyak Angga.
“Sebetulnya Ginggi tahu sejak awal…” jawab Purbajaya.
Banyak Angga menoleh pada Ginggi, tapi Ginggi diam saja. Setibanya di puri Yogascitra, Ginggi disambut secara terhormat.
“Sebetulnya sudah jauh hari aku ragu, seorang badega sepertimu tindak-tanduknya lain,” ujar Pangeran Yogascitra.
“Saya tidak biasa memperlihatkan diri, Juragan…” kata Ginggi menyembah hormat.
Pangeran Yogascitra mengangkat bahu Ginggi agar tak memberi hormat berlebihan.
“Tinggallah di sini. Engkau kuangkat sebagai ksatria di puri Yogascitra …” kata Pangeran Yogascitra.
Ginggi hanya menunduk lesu, tidak tergambar kegembiraan barang sedikit pun. Tapi wajah muram Ginggi tidak terperhatikan semua orang, sebab semuanya tengah dipenuhi rasa syukur bahwa nasib Nyimas Banyak Inten lolos dari aib yang menghinakan.
Keesokan harinya Pakuan geger sebab Pangeran Yogascitra melaporkan kejadian semalam pada Raja. Ki Bagus Seta dipanggil ke istana untuk diminta penjelasan mengenai tindak-tanduk putranya yang dianggapnya merendahkan derajat kaum bangsawan.
“Tapi Ki Bagus Seta berkelit dari tanggungjawabnya. Dia mengatakan tindakan anak tirinya tak ada kaitannya dengan dirinya dan dia tak tahu menahu tentang semua ini,” kata Banyak Angga yang ikut menghadiri pemanggilan Ki Bagus Seta di paseban istana.
Ginggi menilai, kemungkinan pandangan Raja terhadap Ki Bagus Seta akan mulai berubah sesudah kejadian yang menyangkut putranya ini. Dan bila benar begitu, kedudukannya akan semakin terdesak, paling tidak pengaruh-pengaruhnya yang selama ini demikian besar di kalangan istana. Dan tidak berlebihan kalau akhir-akhir ini Raja mulai menaruh kepercayaan terhadap Pangeran Yogascitra.
Menurut beberapa kalangan yang berada di puri Yogascitra, bangsawan ini punya kekerabatan yang erat dengan Raja terdahulu yaitu Sang Prabu Dewatabuwana atau lebih dikenal lagi dengan julukan Prabu Ratu Dewata, yaitu ayahanda Prabu Ratu sakti Sang Mangabatan yang berkuasa sekarang.
Pangeran Yogascitra adalah pengabdi setia dan pejabat puhawang (akhli kelautan) yang baik, seperti ayahandanya yang menjadi pejabat yang sama sejak kepemimpinan Sang Ratu Jaya Dewata, atau Sri Baduga Maharaja dan lebih populer lagi dengan julukan Prabu Siliwangi (1482-1521 Masehi).
Puhawang adalah petugas yang akhli dalam ilmu teluk dan kelautan. Dan semasa kepemimpinan Sri Baduga Maharaja, pejabat puhawang amat berperan sehingga Pajajaran jaya di lautan dan menguasai banyak pelabuhan laut dan muara.
Sekarang sesudah Pajajaran didesak mundur ke pedalaman oleh kekuatan negara agama baru, peranan puhawang sepertinya kurang berarti sebab negri pedalaman ini sudah tak memiliki kekuatan di pesisir. Kendati begitu Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan tetap mempertahankan lembaga puhawang, sebab Raja yang penuh ambisi ini tetap bercita-cita mengembalikan kejayaan Pajajaran seperti zaman kakek-buyutnya, yaitu Sri Baduga Maharaja. Tapi belakangan terbetik keputusan bahwa Sang Prabu akan menghapus lembaga puhawang dan berniat mengangkat Pangeran Yogascitra sebagai penasihat, hanya membuktikan bahwa Raja sudah mulai putus asa dalam mempertahankan cita-citanya menguasai wilayah pesisir dan lautan.
Diangkatnya seorang penasihat juga memperlihatkan bahwa Raja sudah mulai bimbang dalam menentukan berbagai keputusan. Hari-hari sebelumnya, tidak terpikirkan bagi Raja untuk memilih seorang penasihat khusus, sebab selama ini para pembantu dekatnya saja yang selama ini dia gunakan sebagai masukan dalam mencari gagasan mengendalikan kerajaan.
Namun sesudah ada beberapa kegagalan dalam cara memimpin, sepertinya Raja mulai berpikir bahwa tak semua masukan yang diberikan para pembantu dekatnya benar-benar bermanfaat bagi dirinya. Itulah sebabnya, Raja memikirkan satu orang penasihat dan merencanakan memilih Pangeran Yogascitra sebagai pejabat paling senior dan yang kesetiaannya tak diragukan lagi.
Pada suatu hari di paseban puri Yogascitra diadakan pertemuan. Hari itu ke puri datang Purohita Ragasuci. Seperti yang sudah Ginggi ketahui, hubungan Purohita dengan Pangeran Yogascitra demikian eratnya bagaikan kakak dengan adik. Ini seperti sebuah pertemuan amat penting, sebab para pejabat lain pun, kecuali Bangsawan Soka, Bangsawan Bagus Seta dan Ki Banaspati, sama-sama hadir dalam pertemuan itu.
Ginggi diberitahu oleh Banyak Angga bahwa dirinya pun diundang hadir. Sudah barang tentu pemuda itu heran dibuatnya, mengapa ada sebuah pertemuan penting mesti dihadiri olehnya pula?
“Kau jangan selalu merendahkan diri, Ginggi,” kata Banyak Angga, “Kedudukanmu di puri ini bukan badega, melainkan seorang calon ksatria. Kepandaianmu sudah tak diragukan dan kau pantas menjadi ksatria puri Yogascitra,” kata pemuda tampan itu sungguh-sungguh.
“Pantaskah saya diangkat ksatria padahal saya seorang badega puri Bangsawan Bagus Seta?” tanya Ginggi mengerutkan dahi.
“Engkau bukan badega sesungguhnya, sebab menurut keterangan Purbajaya, engkau tinggal di sana karena melakukan penyelidikan semata. Dan karena ini pula kami sepakat untuk mengangkatmu sebagai ksatria, karena kami tahu persis, engkau bukanlah benar-benar orang puri Bagus Seta,” kata lagi Banyak Angga. “Tapi selama dua hari kau berada di sini, wajahmu nampak murung, ada apakah sebenarnya, Ginggi?” tanya pemuda itu menatap wajahnya.
Mendengar pertanyaan seperti itu, Ginggi hanya tersenyum tipis. “Malah saya yang merasa heran, sebab wajahmulah yang nampak murung, Raden…” Ginggi balik menatap dan menghindari pertanyaan pemuda itu dengan balik bertanya.
Giliran Banyak Angga yang tersenyum tipis, bahkan terlihat pahit. “Aku tak bisa berbohong padamu sebab kaulah paling tahu apa penyebabnya…” gumam pemuda itu datar.
“Nyimas Layang Kingkinkah?” tanya Ginggi.
Banyak Angga tidak mengiyakan, namun pandangannya menerawang jauh, hampa dan lesu. Ginggi menghela napas karenanya.
“Aku sebenarnya pasrah dengan keadaan. Melawan keinginan Raja berarti mencari kesulitan hidup. Hanya yang aku ingin tahu, bagaimana perasaan Dinda Kingkin menghadapi masalah ini…” gumam pemuda itu.
Hanya bergumam saja. Tapi Ginggi merasa bahwa Banyak Angga memerlukan sebuah penjelasan darinya.
“Surat yang aku kirimkan padanya tak pernah dia jawab. Barangkali engkau tahu penyebabnya?” tanya pemuda itu menoleh.
Ginggi kembali menghela napas. Banyak yang dia ketahui sebenarnya, tapi bagaimana cara menjelaskannya?
“Ketika surat datang darimu, Nyimas Layang Kingkin sudah berniat membalasnya…” kata Ginggi menghibur.
Tapi berita yang disampaikannya sebenarnya memang begitu. Ketika menerima surat yang diserahkan Ginggi, gadis itu sudah akan memberikan jawaban, hanya entah mengapa dibatalkan.
“Ya… pasti Dinda Kingkin akan menulis balasan. Tapi dia tak memiliki kesempatan sebab kalau ayahandanya tahu, dia pasti ditegur. Memang amat berbahaya bagi calon istri Raja diketahui masih suka berkirim surat dengan lelaki lain,” kata Banyak Angga.
Ginggi tak mengiyakan tapi juga tak membantahnya.
“Kasihan dia. Nyimas tak bisa melawan keinginan Raja…” keluh pemuda itu.
Ginggi menunduk, sebab sebetulnya Banyak Anggalah yang mesti dikasihani. Tapi Ginggi tak berniat membeberkan perasaan hati gadis itu yang sebenar-benarnya. Kalau disampaikan, khawatir pemuda itu sakit hati dan mengurangi penghargaan akan cintanya. Biarkanlah orang memiliki kenangan tentang cinta dan bukan kebencian.
Ginggi tak mau mengatakan bahwa Nyimas Layang Kingkin sepertinya lebih menghargai ambisi ketimbang rasa cinta. Kalau hal ini disampaikan pada Banyak Angga hanya akan membuat hati pemuda itu hancur luluh. Begitu pun yang Ginggi usahakan pada Purbajaya. Ginggi memberi pesan agar sifat-sifat jahat Suji Angkara jangan disampaikan secara utuh terhadap Nyimas Banyak Inten. Ginggi menilai, gadis itu sebenarnya terperangkap cintanya Suji Angkara. Pemuda itu tampan, licin dan pandai merayu. Gadis polos dan jujur seperti Nyimas Banyak Inten akan mudah percaya. Barangkali cintanya pada Suji Angkara adalah yang pertama. Ginggi tak tega menghinakan perasaan gadis itu bila harus membeberkan rahasia pemuda yang dianggapnya “pahlawan” itu.
“Nyimas Banyak Inten mungkin merasa hancur melihat Suji Angkara tewas di hadapannya. Mungkin dia menganggap, kesalahan pemuda itu hanya melakukan kenekadan menculik dirinya. Tapi kalau kita katakan hal sebenarnya tentang pemuda itu, maka akan lebih hancur lagi hatinya,” kata Ginggi pada Purbajaya waktu itu.
“Sebetulnya aku tak setuju pendapatmu,” kata Purbajaya, “Seharusnya semua keburukan Suji Angkara disampaikan saja. Tapi aku ingin hargai usaha-usahamu dalam menyelamatkan gadis itu, maka aku turuti keinginanmu,” tutur Purbajaya tersenyum tipis.
Ginggi juga tersenyum karena dia tahu, Purbajaya tak puas dengan keinginan dirinya. “Saya tak rela Nyimas Banyak Inten memendam kebencian. Masih mendingan kecewa karena cinta ketimbang kebencian karena hal yang sama,” kata Ginggi menyebutkan alasannya.
Purbajaya merenung sejenak, kemudian bergumam pendek, “Kalau hal itu dianggap lebih baik, ya, terserah kau…”
Dalam pertemuan di paseban puri Yogascitra, Ginggi duduk sejajar dengan para ksatria lainnya. Sebetulnya pemuda itu merasa tak enak hati, duduk sama tinggi dengan sesama ksatria Pakuan. Tapi Pangeran Yogascitra memaksanya agar dia duduk di deretan para pemuda gagah itu.
Banyak orang memang di paseban itu. Semuanya para bangsawan dan pejabat penting semata, Sepertinya seluruh bangsawan Pakuan berkumpul di sini. Ginggi pernah mendapatkan penjelasan dari Purbajaya, para bangsawan dan pejabat sebanyak ini biasanya hanya berkumpul di paseban istana kerajaan bila menghadapi urusan-urusan maha-penting.
Jadi bila kini mereka berkumpul, hanya menandakan bahwa pertemuan ini benar-benar akan membahas sesuatu yang amat penting. Tapi mengapa pertemuan tidak dilakukan di balai penghadapan Raja saja? Adakah pertemuan para pejabat ini tak ingin diketahui Raja?
Sebagai tuan rumah, Pangeran Yogascitra duduk di depan di sebuah kursi jati berukir indah. Di sampingnya ada Purohita Ragasuci, sama-sama duduk di sebuah kursi berukir. Ada belasan pejabat dan bangsawan duduk di deretan sebelah kanan, sedangkan di sebelah kiri kaum muda terdiri dari para ksatria, termasuk Ginggi. Pangeran Yogascitra membuka acara dengan membeberkan beberapa maksud. Salah satu hal yang dikemukakan Pangeran itu adalah sesuatu yang amat mengejutkan Ginggi.
“Puri Yogascitra akan mengangkat seorang pemuda bernama Ginggi untuk kami jadikan ksatria,” kata Pangeran Yogascitra.
Semua hadirin menoleh pada Ginggi sehingga membuat pemuda itu malu karena jadi pusat perhatian semua orang. Pangeran Yogascitra menerangkan bahwa merasa perlu memberikan penghargaan dengan mengangkat Ginggi sebagai ksatria karena jasa, tindak-tanduk dan kepandaiannya sesuai untuk tingkat derajat sebagai ksatria. Pangeran itu membeberkan kepahlawanan Ginggi yang berhasil membongkar kejahatan Suji Angkara.
“Dengan usaha-usaha yang dilakukan Ginggi, martabat dan nama baik para bangsawan Pakuan dapat terselamatkan. Bayangkanlah selama ini kita menaruh hormat kepada Suji Angkara. Padahal kelakuan sebenarnya dari pemuda itu, jauh dari tindak-tanduk seorang bangsawan. Kalau Ginggi tidak membongkarnya, barangkali selama itu pula kita terlena dibuatnya,” kata Pangeran Yogascitra.
“Kami akan mencari hari baik untuk menyelenggarakan upacara ngawastu (pelantikan) pemuda Ginggi. Kami ingin melantiknya di kuil utama, dihadiri para wiku istana dan pelantikan dilakukan oleh Purohita Ragasuci. Ginggi, kau berikan hormat pada Purohita agar secepatnya mencari hari baik untuk upacara pelantikanmu,” kata Pangeran Yogascitra menoleh pada Ginggi.
Dengan tersipu dan serba-salah, Ginggi menyembah takzim ke arah Purohita Ragasuci yang dengan sorot penuh wibawa menatap dirinya. Selanjutnya Pangeran Yogascitra melanjutkan pembicaraan ke hal-hal lainnya. Menurutnya, para bangsawan dan pejabat istana tengah dihadapkan pada beberapa masalah. Masalah ini sedikitnya telah membuat gejolak-gejolak yang bila tak segera diselesaikan dikhawatirkan akan membahayakan sendi-sendi kekuatan negara.
“Bagi yang akan bicara perihal penyebab gejolak, silakan, kami memberi waktu,” kata Pangeran Yogascitra.
Seorang pejabat berpakaian bedahan lima beludru hitam dengan ornamen indah warna kuning emas memberi tanda ingin bicara.
“Silakan Pangeran Sutaarga berbicara,” kata Pangeran Yogascitra memberi izin.
Pangeran yang bernama Sutaarga ini membeberkan beberapa situasi yang dianggapnya bisa membahayakan keberadaan negara. Situasi yang paling rawan yang tengah di hadapi Pakuan adalah semakin banyaknya negara-negara kecil yang dulu ada di bawah Pakuan sekarang berani memalingkan muka. Sudah tak bisa dipungkiri lagi kalau negara-negara kecil di wilayah timur melepaskan diri dari kekuasaan Pajajaran karena merasa lebih dekat kepada pengaruh Cirebon. Tapi kata pangeran ini, banyak juga negara-negara kecil yang melepaskan diri bukan karena pengaruh kekuatan negara lain, tapi karena ketidak setujuan dengan kebijaksanaan Pakuan.
“Dengan demikian kita mendapatkan kenyataan bahwa banyak negara kecil memisahkan diri bukan saja karena pengaruhnya telah direbut kekuasaan negara baru, melainkan karena tidak setuju dengan kebijaksanaan Pakuan. Ini perlu menjadi perhatian dari semua pejabat agar kita sama-sama mengajukan masalah ini pada Sang Prabu,” kata Pangeran Sutaarga.
Selesai bangsawan ini mengemukakan pendapatnya, muncul lagi pendapat lain.
“Silakan Pangeran Jayaperbangsa mengemukakan pendapatnya,” kata Pangeran Yogascitra melirik pada bangsawan berpakaian gagah dengan bendo corak batik hihinggulan ornamen emas.
“Maafkan bila ucapan saya menyinggung perasaan semua orang, termasuk juga perasaan Pangeran Yogascitra,” kata bangsawan berwajah putih dengan kumis tipis indah ini.
Sebelum melanjutkan pembicaraannya, dia melirik ke segala arah dan terakhir pandangannya hinggap ke mata Pangeran Yogscitra.
“Silakan berbicara apa adanya. Hal-hal menyakitkan tak selamanya membahayakan. Obat yang terasa pahit pun sebenarnya menyehatkan,” kata Pangeran Yogascitra dengan sedikit senyum.
Pangeran Jaya Perbangsa mengangguk hormat tanda setuju dengan ucapan tuan rumah.
“Kemelut-kemelut di Pajajaran ini sebetulnya tidak terlepas dari sikap kebijaksanaan Sang Prabu yang saya anggap kurang berkenan di banyak hati dan perasaan,” katanya. “Sang Prabu mudah terombang-ambing oleh pengaruh-pengaruh yang datang dari luar dirinya. Tidak mengapa bila pengaruh yang datang dari luar adalah hal-hal baik dan bermanfaat bagi kemajuan dan kebesaran negara. Tapi bila pengaruh itu hanya membuat kemelut berkepanjangan, maka ini adalah sebuah kehancuran!” kata bangsawan ini. “Saya ingin mengajak saudara sekalian untuk memikirkan, bagaimana caranya agar Sang Prabu tidak tergelincir ke jurang kekeliruan,” kata bangsawan ini dengan suara berapi-api.
Mendengar pendapat Pangeran Jaya Perbangsa, semua hadirin saling pandang, sesudah itu akhirnya semua menatap ke arah Pangeran Yogascitra. Bangsawan ini tidak segera tampil untuk berbicara, melainkan menoleh pada Purohita Ragasuci. Sang Purohita yang berwajah sabar dan penuh wibawa ini segera berdehem, sebagai tanda bahwa dirinya akan mengemukakan pendapat.
“Semua yang barusan dikemukakan sebetulnya sudah jadi pembicaraan kita semua,” kata Purohita, “Sang Prabu, apa pun beliau kemampuannya, sebenarnya hanyalah manusia biasa yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan beliau adalah semangat dan cita-citanya yang begitu tinggi dalam upaya mengembalikan kejayaan Pajajaran ke puncak kejayaan seperti zamannya Sri Baduga Maharaja. Namun kekurangannya, beliau terlalu percaya kepada gagasan-gagasan yang datang dari orang-orang yang ingin berusaha dekat dengannya. Dalam memimpin negara, Raja hanyalah dibutuhkan titahnya, sebab itu yang menjadi komando utama. Tapi titah itu harus datang setelah mendapatkan berbagai saran dan masukan dari para pembantu dekatnya. Raja akan mengeluarkan titah yang bijaksana kalau dia mendapatkan saran atau masukan dari para pembantunya dengan gagasan-gagasan yang bijaksana. Tapi titah Raja juga bisa jadi malapetaka kalau terlahir dari kebijaksanaan yang salah. Itulah sebabnya dalam memimpin negara, dibutuhkan para pembantu yang selain cakap juga jujur dalam menyodorkan saran dan gagasan. Apakah kita memiliki Raja yang baik atau sebaliknya, itu semua juga berpulang pada kita semua selaku pembantunya. Bila kita menginginkan Raja berlaku adil, bijaksana dan jujur, mari kita bantu Sang Prabu dengan jalan pikiran kita yang bijaksana dan penuh kejujuran pula,” kata Purohita Ragasuci.
“Selama ini kami berusaha membantu Raja agar memiliki kebijaksanaan yang adil dan jujur. Tapi di Pakuan banyak sekali pejabat yang mencoba mendekati Sang Prabu, mencoba memberi pengaruh yang semua didasarkan demi kepentingan pribadi mereka semata,” sanggah seorang bangsawan lainnya.
“Banyak pejabat yang paling berambisi mencari kedudukan bahkan yang paling bersemangat mendekati Sang Prabu. Sehingga akibatnya, pejabat yang benar-benar ingin membela negara tapi tak mau menjilat, sedikit demi sedikit tersisih oleh mereka,” kata yang lain.
“Saya selaku Purohita selalu berdoa dan berusaha selalu memberi nasihat pada Sang Prabu bahwa tak selamanya orang yang selalu ingin dekat dengan Raja adalah orang-orang yang ingin membantunya. Dan nampaknya Sang Prabu sudah mulai mendengar saran saya. Sebagai bukti, beliau mau mengangkat Pangeran Yogascitra sebagai penasihatnya. Pangeran Yogascitra adalah pejabat setia sejak zaman Sang Prabu Ratu Dewata, namun tak pernah berusaha menjilat Raja untuk mendapatkan pujian atau kenaikan pangkat. Saya anjurkan pada Sang Prabu agar sudi memperhatikan dan mempercayai pembantu yang selalu setia tapi tanpa memiliki pamrih kepentingan pribadi, dan nampaknya beliau mulai mengerti,” kata Purohita Ragasuci panjang-lebar.
“Tapi Purohita, bagaimana halnya dengan rencana-rencana Sang Prabu dalam merencanakan perkawinannya dengan putri Bangsawan Bagus Seta?” tanya seseorang.
Dan pertanyaan ini seolah-olah mengingatkan yang lainnya untuk bertanya hal yang serupa.
“Adalah pantang bagi Raja-raja Pajajaran mengawini perempuan larangan. Nyimas Layang Kingkin yang saya ketahui sudah bertunangan dengan Raden Banyak Angga. Mengapa sekarang hendak dipersunting Raja?”
“Ya, Sang Prabu telah melanggar aturan moral. Kalau hal ini berlangsung, hanya akan menjadi aib bagi Pajajaran!” kata lagi yang lainnya.
“Turunkan Raja!” kata Pangeran Jayaperbangsa keras.
Pertemuan ini hampir jadi hiruk-pikuk karena adanya silang pendapat. Bukan terjadi pro dan kontra menilai tindakan dan perbuatan Sang Prabu, melainkan terdapat perbedaan dalam menimbang keputusan. Para bangsawan muda cenderung ingin melakukan tindakan tegas dengan mengganti Raja, sedangkan bangsawan tua lebih memilih cara-cara bijaksana.
Pangeran Yogascitra berujar, bahwa pendapat Purohita Ragasuci benar, kebijaksanaan Raja banyak dipengaruhi oleh saran dan gagasan para pembantu dekatnya. Kalau para pembanru Raja di istana sanggup berbuat jujur dan mendorong Raja dalam memberikan titah dan keputusan demi kepentingan negara dan rakyat, maka Raja pun akan terpengaruh baik.
“Berupaya mengganti Raja sama dengan pemberontakan. Adalah pantang bagi bangsawan tulen melakukan pemberontakan, sebab itu adalah perbuatan pengkhianatan yang amat hina!” kata Pangeran Yogascitra.
“Tapi pengabdian saya selama ini bukan kepada Raja, melainkan kepada Pajajaran. Kalau saya tak setuju dengan cara kepemimpinan Raja yang satu bukan berarti berkhianat terhadap bangsa dan negara!” cetus bangsawan muda lainnya.
“Kita juga sama. Saya pun hanya mengabdi kepada Pajajaran. Tapi Raja adalah pilihan Hyang (Yang Maha Kuasa). Hanya keputusan Hyang yang sanggup menurunkan atau mengangkat Raja. Kendati kita berusaha menyingkirkan Raja, kalau Hyang tak berkenan maka kedudukan Raja akan selalu kuat,” kata Purohita Ragasuci.
“Saya sebagi pendeta istana tidak menganjurkan kalian menggeserkan kedudukan Raja. Kita semua tahu, kemelut berkepanjangan ini, di samping kita ditekan oleh kekuatan negara baru, juga karena kelemahan Raja dalam memilih keputusan. Raja sedang sakit. Dan yang sakit bukan dijatuhkan, melainkan disembuhkan. Para bangsawan yang benar-benar setia tanpa pamrih pribadilah yang akan menjadi pengobat orang sakit,” kata orang tua bijaksana ini.
Para bangsawan muda agak sedikit reda mendapatkan pandangan dari Purohita, Tapi sesudah itu hampir semua hadirin mendesak agar secepat mungkin berupaya “mengobati” sakitnya Sang Prabu. Butir-butir pendapat yang paling keras yang dituntut oleh para bangsawan muda beserta para ksatria Pakuan dalam upaya mengubah keadaan adalah pertama membendung pengaruh para pejabat yang terlalu banyak berpikir untuk kepentingan pribadi dan yang kedua mencegah Raja melakukan tindakan yang bisa dikategorikan sebagai melanggar aturan moral.
“Kita semua harus sama-sama berusaha mencegah perkawinan Sang Prabu dengan wanita larangan, Nyimas Layang Kingkin termasuk wanita larangan dan ditabukan bagi Raja untuk mengawininya, sebab putri KI Bagus Seta itu sedianya sudah dipertunangkan dengan Raden Banyak Angga,” kata Pangeran Jaya Perbangsa.
“Purohita bersama Pangeran Yogascitra sebagai calon penasihat Raja harus segera menghadap Raja untuk mengemukakan hasil pertemuan ini,” kata yang lainnya.
Mendengar usulan ini, Pangeran Yogascitra menunduk dan menghela napas. “Sungguh berat, terutama mengenai urusan perjodohan, sebab sedikitnya akan melibatkan keluarga kami. Bila Sang Prabu salah tanggap, bisa diartikan usulan ini sebagai perjuangan pribadi fihak keluarga kami dalam upaya mempertahankan hak, sebab memang benar, pertunangan itu, kami masih memiliki hak, kami tak pernah memutuskan, sebab fihak Bagus Seta yang secara sefihak memutuskan pertunangan…” kata Pangeran Yogascitra sedikit mengeluh.
Ginggi melirik dengan sudut matanya, nampak Banyak Angga tertunduk dengan wajah muram.
“Kita semua berbicara atas nama kepentingan Pajajaran,” Pangeran Sutaarga bicara.
“Ya… saya mengerti dan akan saya coba kerjakan,” sahut Pangeran Yogascitra pendek tapi membuat semua orang lega.
Dan akhirnya pertemuan pun selesailah. Ginggi bisa melihat adanya rasa puas pada semua orang, terutama setelah mendapatkan kenyataan bahwa Pangeran Yogascitra dan Purohita Ragasuci bersedia menjadi juru bicara mereka dalam mengajukan hasil pertemuan ini pada Raja.
Ginggi diberitahu oleh Banyak Angga bahwa dirinya pun diundang hadir. Sudah barang tentu pemuda itu heran dibuatnya, mengapa ada sebuah pertemuan penting mesti dihadiri olehnya pula?
“Kau jangan selalu merendahkan diri, Ginggi,” kata Banyak Angga, “Kedudukanmu di puri ini bukan badega, melainkan seorang calon ksatria. Kepandaianmu sudah tak diragukan dan kau pantas menjadi ksatria puri Yogascitra,” kata pemuda tampan itu sungguh-sungguh.
“Pantaskah saya diangkat ksatria padahal saya seorang badega puri Bangsawan Bagus Seta?” tanya Ginggi mengerutkan dahi.
“Engkau bukan badega sesungguhnya, sebab menurut keterangan Purbajaya, engkau tinggal di sana karena melakukan penyelidikan semata. Dan karena ini pula kami sepakat untuk mengangkatmu sebagai ksatria, karena kami tahu persis, engkau bukanlah benar-benar orang puri Bagus Seta,” kata lagi Banyak Angga. “Tapi selama dua hari kau berada di sini, wajahmu nampak murung, ada apakah sebenarnya, Ginggi?” tanya pemuda itu menatap wajahnya.
Mendengar pertanyaan seperti itu, Ginggi hanya tersenyum tipis. “Malah saya yang merasa heran, sebab wajahmulah yang nampak murung, Raden…” Ginggi balik menatap dan menghindari pertanyaan pemuda itu dengan balik bertanya.
Giliran Banyak Angga yang tersenyum tipis, bahkan terlihat pahit. “Aku tak bisa berbohong padamu sebab kaulah paling tahu apa penyebabnya…” gumam pemuda itu datar.
“Nyimas Layang Kingkinkah?” tanya Ginggi.
Banyak Angga tidak mengiyakan, namun pandangannya menerawang jauh, hampa dan lesu. Ginggi menghela napas karenanya.
“Aku sebenarnya pasrah dengan keadaan. Melawan keinginan Raja berarti mencari kesulitan hidup. Hanya yang aku ingin tahu, bagaimana perasaan Dinda Kingkin menghadapi masalah ini…” gumam pemuda itu.
Hanya bergumam saja. Tapi Ginggi merasa bahwa Banyak Angga memerlukan sebuah penjelasan darinya.
“Surat yang aku kirimkan padanya tak pernah dia jawab. Barangkali engkau tahu penyebabnya?” tanya pemuda itu menoleh.
Ginggi kembali menghela napas. Banyak yang dia ketahui sebenarnya, tapi bagaimana cara menjelaskannya?
“Ketika surat datang darimu, Nyimas Layang Kingkin sudah berniat membalasnya…” kata Ginggi menghibur.
Tapi berita yang disampaikannya sebenarnya memang begitu. Ketika menerima surat yang diserahkan Ginggi, gadis itu sudah akan memberikan jawaban, hanya entah mengapa dibatalkan.
“Ya… pasti Dinda Kingkin akan menulis balasan. Tapi dia tak memiliki kesempatan sebab kalau ayahandanya tahu, dia pasti ditegur. Memang amat berbahaya bagi calon istri Raja diketahui masih suka berkirim surat dengan lelaki lain,” kata Banyak Angga.
Ginggi tak mengiyakan tapi juga tak membantahnya.
“Kasihan dia. Nyimas tak bisa melawan keinginan Raja…” keluh pemuda itu.
Ginggi menunduk, sebab sebetulnya Banyak Anggalah yang mesti dikasihani. Tapi Ginggi tak berniat membeberkan perasaan hati gadis itu yang sebenar-benarnya. Kalau disampaikan, khawatir pemuda itu sakit hati dan mengurangi penghargaan akan cintanya. Biarkanlah orang memiliki kenangan tentang cinta dan bukan kebencian.
Ginggi tak mau mengatakan bahwa Nyimas Layang Kingkin sepertinya lebih menghargai ambisi ketimbang rasa cinta. Kalau hal ini disampaikan pada Banyak Angga hanya akan membuat hati pemuda itu hancur luluh. Begitu pun yang Ginggi usahakan pada Purbajaya. Ginggi memberi pesan agar sifat-sifat jahat Suji Angkara jangan disampaikan secara utuh terhadap Nyimas Banyak Inten. Ginggi menilai, gadis itu sebenarnya terperangkap cintanya Suji Angkara. Pemuda itu tampan, licin dan pandai merayu. Gadis polos dan jujur seperti Nyimas Banyak Inten akan mudah percaya. Barangkali cintanya pada Suji Angkara adalah yang pertama. Ginggi tak tega menghinakan perasaan gadis itu bila harus membeberkan rahasia pemuda yang dianggapnya “pahlawan” itu.
“Nyimas Banyak Inten mungkin merasa hancur melihat Suji Angkara tewas di hadapannya. Mungkin dia menganggap, kesalahan pemuda itu hanya melakukan kenekadan menculik dirinya. Tapi kalau kita katakan hal sebenarnya tentang pemuda itu, maka akan lebih hancur lagi hatinya,” kata Ginggi pada Purbajaya waktu itu.
“Sebetulnya aku tak setuju pendapatmu,” kata Purbajaya, “Seharusnya semua keburukan Suji Angkara disampaikan saja. Tapi aku ingin hargai usaha-usahamu dalam menyelamatkan gadis itu, maka aku turuti keinginanmu,” tutur Purbajaya tersenyum tipis.
Ginggi juga tersenyum karena dia tahu, Purbajaya tak puas dengan keinginan dirinya. “Saya tak rela Nyimas Banyak Inten memendam kebencian. Masih mendingan kecewa karena cinta ketimbang kebencian karena hal yang sama,” kata Ginggi menyebutkan alasannya.
Purbajaya merenung sejenak, kemudian bergumam pendek, “Kalau hal itu dianggap lebih baik, ya, terserah kau…”
Dalam pertemuan di paseban puri Yogascitra, Ginggi duduk sejajar dengan para ksatria lainnya. Sebetulnya pemuda itu merasa tak enak hati, duduk sama tinggi dengan sesama ksatria Pakuan. Tapi Pangeran Yogascitra memaksanya agar dia duduk di deretan para pemuda gagah itu.
Banyak orang memang di paseban itu. Semuanya para bangsawan dan pejabat penting semata, Sepertinya seluruh bangsawan Pakuan berkumpul di sini. Ginggi pernah mendapatkan penjelasan dari Purbajaya, para bangsawan dan pejabat sebanyak ini biasanya hanya berkumpul di paseban istana kerajaan bila menghadapi urusan-urusan maha-penting.
Jadi bila kini mereka berkumpul, hanya menandakan bahwa pertemuan ini benar-benar akan membahas sesuatu yang amat penting. Tapi mengapa pertemuan tidak dilakukan di balai penghadapan Raja saja? Adakah pertemuan para pejabat ini tak ingin diketahui Raja?
Sebagai tuan rumah, Pangeran Yogascitra duduk di depan di sebuah kursi jati berukir indah. Di sampingnya ada Purohita Ragasuci, sama-sama duduk di sebuah kursi berukir. Ada belasan pejabat dan bangsawan duduk di deretan sebelah kanan, sedangkan di sebelah kiri kaum muda terdiri dari para ksatria, termasuk Ginggi. Pangeran Yogascitra membuka acara dengan membeberkan beberapa maksud. Salah satu hal yang dikemukakan Pangeran itu adalah sesuatu yang amat mengejutkan Ginggi.
“Puri Yogascitra akan mengangkat seorang pemuda bernama Ginggi untuk kami jadikan ksatria,” kata Pangeran Yogascitra.
Semua hadirin menoleh pada Ginggi sehingga membuat pemuda itu malu karena jadi pusat perhatian semua orang. Pangeran Yogascitra menerangkan bahwa merasa perlu memberikan penghargaan dengan mengangkat Ginggi sebagai ksatria karena jasa, tindak-tanduk dan kepandaiannya sesuai untuk tingkat derajat sebagai ksatria. Pangeran itu membeberkan kepahlawanan Ginggi yang berhasil membongkar kejahatan Suji Angkara.
“Dengan usaha-usaha yang dilakukan Ginggi, martabat dan nama baik para bangsawan Pakuan dapat terselamatkan. Bayangkanlah selama ini kita menaruh hormat kepada Suji Angkara. Padahal kelakuan sebenarnya dari pemuda itu, jauh dari tindak-tanduk seorang bangsawan. Kalau Ginggi tidak membongkarnya, barangkali selama itu pula kita terlena dibuatnya,” kata Pangeran Yogascitra.
“Kami akan mencari hari baik untuk menyelenggarakan upacara ngawastu (pelantikan) pemuda Ginggi. Kami ingin melantiknya di kuil utama, dihadiri para wiku istana dan pelantikan dilakukan oleh Purohita Ragasuci. Ginggi, kau berikan hormat pada Purohita agar secepatnya mencari hari baik untuk upacara pelantikanmu,” kata Pangeran Yogascitra menoleh pada Ginggi.
Dengan tersipu dan serba-salah, Ginggi menyembah takzim ke arah Purohita Ragasuci yang dengan sorot penuh wibawa menatap dirinya. Selanjutnya Pangeran Yogascitra melanjutkan pembicaraan ke hal-hal lainnya. Menurutnya, para bangsawan dan pejabat istana tengah dihadapkan pada beberapa masalah. Masalah ini sedikitnya telah membuat gejolak-gejolak yang bila tak segera diselesaikan dikhawatirkan akan membahayakan sendi-sendi kekuatan negara.
“Bagi yang akan bicara perihal penyebab gejolak, silakan, kami memberi waktu,” kata Pangeran Yogascitra.
Seorang pejabat berpakaian bedahan lima beludru hitam dengan ornamen indah warna kuning emas memberi tanda ingin bicara.
“Silakan Pangeran Sutaarga berbicara,” kata Pangeran Yogascitra memberi izin.
Pangeran yang bernama Sutaarga ini membeberkan beberapa situasi yang dianggapnya bisa membahayakan keberadaan negara. Situasi yang paling rawan yang tengah di hadapi Pakuan adalah semakin banyaknya negara-negara kecil yang dulu ada di bawah Pakuan sekarang berani memalingkan muka. Sudah tak bisa dipungkiri lagi kalau negara-negara kecil di wilayah timur melepaskan diri dari kekuasaan Pajajaran karena merasa lebih dekat kepada pengaruh Cirebon. Tapi kata pangeran ini, banyak juga negara-negara kecil yang melepaskan diri bukan karena pengaruh kekuatan negara lain, tapi karena ketidak setujuan dengan kebijaksanaan Pakuan.
“Dengan demikian kita mendapatkan kenyataan bahwa banyak negara kecil memisahkan diri bukan saja karena pengaruhnya telah direbut kekuasaan negara baru, melainkan karena tidak setuju dengan kebijaksanaan Pakuan. Ini perlu menjadi perhatian dari semua pejabat agar kita sama-sama mengajukan masalah ini pada Sang Prabu,” kata Pangeran Sutaarga.
Selesai bangsawan ini mengemukakan pendapatnya, muncul lagi pendapat lain.
“Silakan Pangeran Jayaperbangsa mengemukakan pendapatnya,” kata Pangeran Yogascitra melirik pada bangsawan berpakaian gagah dengan bendo corak batik hihinggulan ornamen emas.
“Maafkan bila ucapan saya menyinggung perasaan semua orang, termasuk juga perasaan Pangeran Yogascitra,” kata bangsawan berwajah putih dengan kumis tipis indah ini.
Sebelum melanjutkan pembicaraannya, dia melirik ke segala arah dan terakhir pandangannya hinggap ke mata Pangeran Yogscitra.
“Silakan berbicara apa adanya. Hal-hal menyakitkan tak selamanya membahayakan. Obat yang terasa pahit pun sebenarnya menyehatkan,” kata Pangeran Yogascitra dengan sedikit senyum.
Pangeran Jaya Perbangsa mengangguk hormat tanda setuju dengan ucapan tuan rumah.
“Kemelut-kemelut di Pajajaran ini sebetulnya tidak terlepas dari sikap kebijaksanaan Sang Prabu yang saya anggap kurang berkenan di banyak hati dan perasaan,” katanya. “Sang Prabu mudah terombang-ambing oleh pengaruh-pengaruh yang datang dari luar dirinya. Tidak mengapa bila pengaruh yang datang dari luar adalah hal-hal baik dan bermanfaat bagi kemajuan dan kebesaran negara. Tapi bila pengaruh itu hanya membuat kemelut berkepanjangan, maka ini adalah sebuah kehancuran!” kata bangsawan ini. “Saya ingin mengajak saudara sekalian untuk memikirkan, bagaimana caranya agar Sang Prabu tidak tergelincir ke jurang kekeliruan,” kata bangsawan ini dengan suara berapi-api.
Mendengar pendapat Pangeran Jaya Perbangsa, semua hadirin saling pandang, sesudah itu akhirnya semua menatap ke arah Pangeran Yogascitra. Bangsawan ini tidak segera tampil untuk berbicara, melainkan menoleh pada Purohita Ragasuci. Sang Purohita yang berwajah sabar dan penuh wibawa ini segera berdehem, sebagai tanda bahwa dirinya akan mengemukakan pendapat.
“Semua yang barusan dikemukakan sebetulnya sudah jadi pembicaraan kita semua,” kata Purohita, “Sang Prabu, apa pun beliau kemampuannya, sebenarnya hanyalah manusia biasa yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan beliau adalah semangat dan cita-citanya yang begitu tinggi dalam upaya mengembalikan kejayaan Pajajaran ke puncak kejayaan seperti zamannya Sri Baduga Maharaja. Namun kekurangannya, beliau terlalu percaya kepada gagasan-gagasan yang datang dari orang-orang yang ingin berusaha dekat dengannya. Dalam memimpin negara, Raja hanyalah dibutuhkan titahnya, sebab itu yang menjadi komando utama. Tapi titah itu harus datang setelah mendapatkan berbagai saran dan masukan dari para pembantu dekatnya. Raja akan mengeluarkan titah yang bijaksana kalau dia mendapatkan saran atau masukan dari para pembantunya dengan gagasan-gagasan yang bijaksana. Tapi titah Raja juga bisa jadi malapetaka kalau terlahir dari kebijaksanaan yang salah. Itulah sebabnya dalam memimpin negara, dibutuhkan para pembantu yang selain cakap juga jujur dalam menyodorkan saran dan gagasan. Apakah kita memiliki Raja yang baik atau sebaliknya, itu semua juga berpulang pada kita semua selaku pembantunya. Bila kita menginginkan Raja berlaku adil, bijaksana dan jujur, mari kita bantu Sang Prabu dengan jalan pikiran kita yang bijaksana dan penuh kejujuran pula,” kata Purohita Ragasuci.
“Selama ini kami berusaha membantu Raja agar memiliki kebijaksanaan yang adil dan jujur. Tapi di Pakuan banyak sekali pejabat yang mencoba mendekati Sang Prabu, mencoba memberi pengaruh yang semua didasarkan demi kepentingan pribadi mereka semata,” sanggah seorang bangsawan lainnya.
“Banyak pejabat yang paling berambisi mencari kedudukan bahkan yang paling bersemangat mendekati Sang Prabu. Sehingga akibatnya, pejabat yang benar-benar ingin membela negara tapi tak mau menjilat, sedikit demi sedikit tersisih oleh mereka,” kata yang lain.
“Saya selaku Purohita selalu berdoa dan berusaha selalu memberi nasihat pada Sang Prabu bahwa tak selamanya orang yang selalu ingin dekat dengan Raja adalah orang-orang yang ingin membantunya. Dan nampaknya Sang Prabu sudah mulai mendengar saran saya. Sebagai bukti, beliau mau mengangkat Pangeran Yogascitra sebagai penasihatnya. Pangeran Yogascitra adalah pejabat setia sejak zaman Sang Prabu Ratu Dewata, namun tak pernah berusaha menjilat Raja untuk mendapatkan pujian atau kenaikan pangkat. Saya anjurkan pada Sang Prabu agar sudi memperhatikan dan mempercayai pembantu yang selalu setia tapi tanpa memiliki pamrih kepentingan pribadi, dan nampaknya beliau mulai mengerti,” kata Purohita Ragasuci panjang-lebar.
“Tapi Purohita, bagaimana halnya dengan rencana-rencana Sang Prabu dalam merencanakan perkawinannya dengan putri Bangsawan Bagus Seta?” tanya seseorang.
Dan pertanyaan ini seolah-olah mengingatkan yang lainnya untuk bertanya hal yang serupa.
“Adalah pantang bagi Raja-raja Pajajaran mengawini perempuan larangan. Nyimas Layang Kingkin yang saya ketahui sudah bertunangan dengan Raden Banyak Angga. Mengapa sekarang hendak dipersunting Raja?”
“Ya, Sang Prabu telah melanggar aturan moral. Kalau hal ini berlangsung, hanya akan menjadi aib bagi Pajajaran!” kata lagi yang lainnya.
“Turunkan Raja!” kata Pangeran Jayaperbangsa keras.
Pertemuan ini hampir jadi hiruk-pikuk karena adanya silang pendapat. Bukan terjadi pro dan kontra menilai tindakan dan perbuatan Sang Prabu, melainkan terdapat perbedaan dalam menimbang keputusan. Para bangsawan muda cenderung ingin melakukan tindakan tegas dengan mengganti Raja, sedangkan bangsawan tua lebih memilih cara-cara bijaksana.
Pangeran Yogascitra berujar, bahwa pendapat Purohita Ragasuci benar, kebijaksanaan Raja banyak dipengaruhi oleh saran dan gagasan para pembantu dekatnya. Kalau para pembanru Raja di istana sanggup berbuat jujur dan mendorong Raja dalam memberikan titah dan keputusan demi kepentingan negara dan rakyat, maka Raja pun akan terpengaruh baik.
“Berupaya mengganti Raja sama dengan pemberontakan. Adalah pantang bagi bangsawan tulen melakukan pemberontakan, sebab itu adalah perbuatan pengkhianatan yang amat hina!” kata Pangeran Yogascitra.
“Tapi pengabdian saya selama ini bukan kepada Raja, melainkan kepada Pajajaran. Kalau saya tak setuju dengan cara kepemimpinan Raja yang satu bukan berarti berkhianat terhadap bangsa dan negara!” cetus bangsawan muda lainnya.
“Kita juga sama. Saya pun hanya mengabdi kepada Pajajaran. Tapi Raja adalah pilihan Hyang (Yang Maha Kuasa). Hanya keputusan Hyang yang sanggup menurunkan atau mengangkat Raja. Kendati kita berusaha menyingkirkan Raja, kalau Hyang tak berkenan maka kedudukan Raja akan selalu kuat,” kata Purohita Ragasuci.
“Saya sebagi pendeta istana tidak menganjurkan kalian menggeserkan kedudukan Raja. Kita semua tahu, kemelut berkepanjangan ini, di samping kita ditekan oleh kekuatan negara baru, juga karena kelemahan Raja dalam memilih keputusan. Raja sedang sakit. Dan yang sakit bukan dijatuhkan, melainkan disembuhkan. Para bangsawan yang benar-benar setia tanpa pamrih pribadilah yang akan menjadi pengobat orang sakit,” kata orang tua bijaksana ini.
Para bangsawan muda agak sedikit reda mendapatkan pandangan dari Purohita, Tapi sesudah itu hampir semua hadirin mendesak agar secepat mungkin berupaya “mengobati” sakitnya Sang Prabu. Butir-butir pendapat yang paling keras yang dituntut oleh para bangsawan muda beserta para ksatria Pakuan dalam upaya mengubah keadaan adalah pertama membendung pengaruh para pejabat yang terlalu banyak berpikir untuk kepentingan pribadi dan yang kedua mencegah Raja melakukan tindakan yang bisa dikategorikan sebagai melanggar aturan moral.
“Kita semua harus sama-sama berusaha mencegah perkawinan Sang Prabu dengan wanita larangan, Nyimas Layang Kingkin termasuk wanita larangan dan ditabukan bagi Raja untuk mengawininya, sebab putri KI Bagus Seta itu sedianya sudah dipertunangkan dengan Raden Banyak Angga,” kata Pangeran Jaya Perbangsa.
“Purohita bersama Pangeran Yogascitra sebagai calon penasihat Raja harus segera menghadap Raja untuk mengemukakan hasil pertemuan ini,” kata yang lainnya.
Mendengar usulan ini, Pangeran Yogascitra menunduk dan menghela napas. “Sungguh berat, terutama mengenai urusan perjodohan, sebab sedikitnya akan melibatkan keluarga kami. Bila Sang Prabu salah tanggap, bisa diartikan usulan ini sebagai perjuangan pribadi fihak keluarga kami dalam upaya mempertahankan hak, sebab memang benar, pertunangan itu, kami masih memiliki hak, kami tak pernah memutuskan, sebab fihak Bagus Seta yang secara sefihak memutuskan pertunangan…” kata Pangeran Yogascitra sedikit mengeluh.
Ginggi melirik dengan sudut matanya, nampak Banyak Angga tertunduk dengan wajah muram.
“Kita semua berbicara atas nama kepentingan Pajajaran,” Pangeran Sutaarga bicara.
“Ya… saya mengerti dan akan saya coba kerjakan,” sahut Pangeran Yogascitra pendek tapi membuat semua orang lega.
Dan akhirnya pertemuan pun selesailah. Ginggi bisa melihat adanya rasa puas pada semua orang, terutama setelah mendapatkan kenyataan bahwa Pangeran Yogascitra dan Purohita Ragasuci bersedia menjadi juru bicara mereka dalam mengajukan hasil pertemuan ini pada Raja.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment