Ads

Sunday, December 26, 2021

Kemelut di Cakrabuana 018

“Tidak apa. Kuda hilang dan kita jalan kaki, ini adalah bagian dari pelatihan,” kata Ki Dita menengahi.

“Tapi apakah lukanya Aditia dan Yaksa pun bagian dari pelatihan, Ki Guru?” Wista penasaran.

Aditia memang luka memar di punggung karena bantingan Ki Sudireja ke batang pohon. Yaksa malah lebih parah lagi. Sebelum dia dibanting ke batang pohon seperti Aditia, dia telah banyak luka bacokan ketika melawan komplotan perampok.

Menerima pertanyaan yang lebih terasa sebagai rasa penasaran dari Wista, Ki Dita hanya menghela napas.

“Aku anggap itu sebagai pelatihan juga, sebab kehidupan penuh bahaya bagi seorang ksatria di masa-masa mendatang pasti lebih besar lagi dari hanya ketimbang diganggu perampok,” jawab Ki Dita akhirnya.

“Kehilangan kuda malah tak berarti apa-apa ketimbang kehilangan nyawa,” Ki Bagus Sura ikut menimpali.

“Dan kau harus membiasakan diri bisa berjalan kaki sebab perjalanan di masa-masa mendatang pun tak selamanya menggunakan kuda,” kata Ki Dita lagi.

“Saya tak cemaskan saya pribadi. Tapi lihatlah dua orang sahabat saya, mereka kepayahan,” Wista memberi alasan. Dan alasan ini memang tepat. Dibawa berjalan jauh seperti ini, Aditia dan Yaksa nampak kepayahan.

Namun demikian, Ki Dita perlu meneliti. ”Bagaimana, apa kalian kuat melanjutkan perjalanan?” tanyanya kepada Aditia dan Yaksa.

“Sebetulnya saya kuat tapi… ya, cukup menderita,” jawab Yaksa.

“Saya pun kuat tapi amat payah…” Aditia ikut mengeluh.

“Kalau begitu, kalian berdua tidak perlu ikut,” kata Ki Dita.

“Kalau kami tak perlu ikut, musti tunggu di mana?” tanya Aditia. Rupanya dia pun tak senang kalau kemampuannya dilecehkan.

“Kita ini tengah mengikuti jejak orang yang berjalan di muka. Kalau kita berjalan lamban seperti kalian, orang yang kita buru akan semakin jauh jaraknya dari kita yang di belakang ini,” kata lagi Ki Dita.

“Saya mungkin bisa berjalan cepat,” jawab Yaksa.

“Saya pun mungkin bisa,” Aditia tak mau kalah.

“Bagus kalau begitu,” jawab Ki Dita sambil mengajak yang lain untuk berjalan cepat.

Semua orang mempercepat langkahnya. Baru beberapa ratus depa saja, Aditia dan Yaksa sudah kepayahan. Begitu pun Wista yang tak menderita luka, keringatnya sudah banyak membanjir di sekujur tubuhnya. Napasnya pun terdengar ngos-ngosan dan dari mulut serta hidungnya keluar uap putih seperti ular naga dalam dongeng.

Karena jarak ketiga orang itu semakin lama semakin terpisah jauh dari kelompok yang berjalan cepat di depannya, Purbajaya memilih berjalan paling belakang saja. Dia tak percaya kalau Aditia atau Yaksa bisa mengimbangi langkah orang yang berjalan cepat di depan. Baik Ki Bagus Sura atau pun Ki Dita adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian, begitu pun Paman Ranu. Dengan demikian, kemampuan berjalan kaki ketiga orang itu pasti bagus. Aditia dan Yaksa walau pun diberi kesehatan, belum tentu bisa mengimbanginyaa. Dalam waktu yang singkat, ketiga orang tua itu sudah jauh dan tak terlihat ketika jalan mulai berkelok-kelok.

“Kalau salah satu dari kalian ada yang capek, saya sanggup menggendong,” kata Purbajaya yang jalan di belakang.

“Cih, memangnya aku anak kecil?” Yaksa mendelik dengan suara ketus. Ketika mendengus, ada uap putih keluar dari hidungnya, lucu sekali kelihatannya.

“Saya tak mempersoalkan anak kecil atau bukan. Orang dewasa kan bisa capek?” jawab Purbajaya.

Yaksa tak mau menimpali.

“Barangkali engkau yang sudah capek, Aditia?” Giliran Aditia yang ditawari.

Namun Aditia menjawab pun tidak. Dia hanya palingkan wajah dengan cepat.

“Kau ke sana ke mari mau jual jasa, bagaimana bisa gendong semua orang?” tanya Wista tiba-tiba.

“Tentu tak sekaligus semua. Kan aku bisa gendong satu-satu. Sampai ke satu tempat di depan, orang pertama saya turunkan, lantas lari lagi ke belakang untuk menggendong ke dua dan seterusnya.”

“Kau katakan, orang kedua dan seterusnya? Maksudmu, aku pun mau kau gendong, Purba?” tanya Wista bergairah.

“Mengapa tidak? Kan aku tadi hanya menawari, kalau ada yang capek dan bukan kalau ada yang luka,” jawab Purbajaya.

Mata Wista berbinar tapi Aditia dan Yaksa malah kian cemberut juga. “Apa aku kelihatannya capek, Purba?” tanya Wista ragu-ragu.

Purbajaya meneliti. Ada keringat deras di wajah Wista, ada uap putih semakin tebal di hidung Wista, karena oleh dirinya sengaja dikembang-kempiskan napasnya. Lantas Purbajaya berkata.

”Menurut hasil pemeriksaanku, kau memang seperti capek. Tapi mungkin aku salah duga. Kalau aku salah menuding nanti aku disemprot kemarahan lagi,” kata Purbajaya bergurau.

“Tidak, aku memang capek, Purba…” Wista merengek, membuat sebal kedua temannya.

“Wista, jangan banyak bicara dengan pemuda pembual dan pemogoran ini,” teriak Aditia tak bisa menahan rasa kesalnya.

“Aku hanya menguji si dungu ini saja. Dia kan menyangka kalau aku tak punya kemampuan apa-apa. Lihatlah, aku punya ilmu lari cepat dan bisa mengejar guruku!” teriak Wista. Dan mulutnya menghitung sampai tiga. Pada hitungan yang ketiga, Wista pun melesat lari.

Purbajaya pun ikut lari di belakang Wista. Namun baru saja beberapa saat, napas pemuda itu ngos-ngosan dan uap putih keluar lebih banyak dari hidung dan mulutnya. Sebentar saja dia pun sudah berhenti berlari dan duduk meloso bersandarkan sebuah batu terjal.

“Aku sebenarnya tak bisa ilmu lari cepar, Purba…“

“Mungkin gurumu tidak sungguh-sungguh memberimu ilmu lari cepat,” hibur Purbajaya.

“Memang belum diajarkan, sih…”

“Sepulang dari muhibah ini, pasti dia memberikannya.”



“Mengapa kau begitu yakin?”

“Loh, semua guru akan memberikan apa yang terbaik buat muridnya,” jawab Wista.

“Ah, Ki Guru hanya lebih mementingkan pembayaran yang tinggi saja, sementara aku tak dilatih dengan benar,” keluh Wista.

“Ah, masa iya?”

“Kau tak tahu, dari ayahku dia dapatkan rumah kediaman yang pantas. Dia pun diberi kuda yang baik, bahan makanan berlimpah, pakaian dari negri lain, bahkan saban bulan ada kiriman uang logam Negri Parasi. Coba, kurang apa ayahku? Sementara aku, begini-begini saja,” Wista memberengut.

Purbajaya tersenyum. Mungkin benar omongan Wista mungkin tidak. Biasanya orang yang ingin menutupi kelemahan dirinya suka menjelekkan orang lain, sehingga terkesan kelemahan dirinya itu karena kesalahan orang lain.

“Mari kita berangkat lagi. Coba lihat, dua sahabatmu sudah bisa menyusulmu” ajak Purbajaya menarik tubuh Wista supaya berdiri.

“Aduh… kakiku terkilir, Purba!”

“Wah, celaka!”

“Aku pasti tak bisa jalan, Purba…“

“Wah… wah!”

“Jangan wahwah-wihwih saja! Cepat gendong aku!” desak Wista dan kedua tangannya sudah merangkul punggung Purbajaya. Terpaksa Purbajaya menggendong pemuda cengeng ini.

“Kau tak biasa jalan jauh rupanya,” kata Purbajaya sambil menggendong Wista.

“Itu lantaran kesalahan kedua orang tuaku. Sejak kecil aku disuruh diam di rumah melulu. Jauh sedikit aku dicari ke mana-mana,” jawab Wista.

“Kasihan…”

“Lho, apa aku ini orang papa sehingga musti kau kasihani?” Wista tersinggung.

“Maksudku, kau musti dikasihani sebab hidup hanya menerima rasa manja orang tua.”

“Diberi kemanjaan tandanya disayangi orang-tua. Itulah hidup beruntung. Kau kuat berjalan jauh, apa kau tidak pernah menerima kasih-sayang orang-tua Purba?”

Selintas ucapan Wista ini lucu. Namun bagi Purbajaya terasa amat pahit. Benar ucapan Wista, Purbajaya tak pernah menerima kasih sayang orang tua. Jangankan kasih-sayang, diberi kesempatan bertemu muka pun tidak. Purbajaya sedih. Dan untuk menekan rasa sedihnya, dia berlari cepat, cepat sekali. Sampai-sampai Aditia dan Yaksa pun tertinggal semakin jauh. Sampai-sampai tubuh Wista pun seperti menggigil tanda dia memang kedinginan karena adanya angin kencang menerpa tubuhnya.

“Tenagamu hebat, Purba,” Wista memuji sejujurnya sambil kedua tangannya berpegang erat pada bahu Purbajaya.

“Gurumu pasti sakti sekali,” kata Wista lagi.

“Tapi gurumu pun hebat,” jawab Purbajaya.

“Aku malu, masa guruku hebat aku sendiri letoy begini,” keluh Wista.

“Aku dilatih Ki Guru sudah lama. Kau pun lama kelamaan akan memiliki kepandaian hebat. Mungkin kelak bisa melebihiku. Dan itu bergantung kepada keteguhan usahamu, Wista,” kata lagi Purbajaya.

Wista ingin terus mengajaknya bicara namun Purbajaya malah memberikan tanda agar pemuda itu menutup mulutnya. Berbarenngan dengan itu, Purbajaya menghentikan lari cepatnya.

“Ada apa?” tanya Wista heran.

“Ada pertempuran…“

“Di mana?” Wista celingukan ke kiri dan ke kanan.

“Saya baru dengar suaranya saja,” jawab Purbajaya miringkan kepalanya dan matanya terpejam.

“Aku tak dengar suara apa-apa…” potong Wista ikut miringkan kepala.

“Ada… Ada kudengar dan tidak tidak begitu jauh,” kata Purbajaya lagi sambil menurunkan tubuh Wista dari gendongannya.

“Wista, kau tunggu di sini,” kata lagi Purbajaya.

“Ah, aku pilih ikut saja!”

“Kau akan terlibat pertempuran, padahal hari-hari belakangan ini kau terus-terusan bertempur,” kata Purbajaya. ”Itu tak baik bagi kesehatanmu,” sambung Purbajaya tapi bicaranya cukup serius.

Namun Wista memberengut sepertinya tak suka Purbajaya berkata begitu.

“Saya harus cepat-cepat membantu mereka. Saya rasa gurumu dan Ki Bagus Sura dikeroyok orang,” tutur Purbajaya.

“Apalagi begitu, aku harus bela guruku!” desak Wista.

Purbajaya tersenyum. Mungkin baru kali ini Wista merasakan, bahwa keberanian itu suatu kebanggaan. Oleh sebab itu, Purbajaya tak menahannya. Dia mengangguk mengiyakan dan setelah itu dia melesat pergi menuju suara yang didengarnya. Dia inginkan, semakin cepat meninggalkan Wista bakal semakin cepat pula tak memberikan peluang bagi pemuda itu untuk melibatkan diri dalam pertempuran. Purbajaya yakin Ki Bagus Sura, Ki Dita dan Paman Ranu tengah menghadapi lawan-lawan berat. Kalau Wista yang kepandaiannya belum seberapa ikut terjun, khawatir akan jadi gangguan saja.

Tempat di mana pertempuran terjadi memang tak begitu jauh. Kalau tadi tidak terlihat, karena jalan pedati banyak kelokan. Dan ketika tiba di tempat pertempuran, memang benar Ki Bagus Sura, Ki Dita dan Paman Ranu tengah dikeroyok belasan orang. Yang amat aneh, Ki Bagus Sura dan Paman Ranu mendapatkan tekanan berat sebab dikeroyok lawan dengan jumlah lebih besar ketimbang pengeroyokan terhadap Ki Dita. Purbajaya agak sedikit lega ketika Ki Sudireja pun ada di sana dan sama menghadapi para pengeroyok.

Siapakah yang tengah dihadapi Ki Bagus Sura? Tidakkah mereka anggota Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih? Purbajaya lebih mendekatkan dugaannya ke arah itu. Belasan orang yang dilawan Ki Bagus Sura kepandaiannya rata-rata tinggi dan memiliki gerakan aneh yang tak biasa dilakukan oleh akhli-akhli yang telah dikenal di Negri Carbon, misalnya.

Gerakan mereka aneh dan sedikit ganas dan sepertinya tak memberikan peluang bagi lawan untuk balas menyerang. Mereka melakukan pengereyokan dengan membentuk kerja sama yang amat baik, saling menutup dan saling memberi peluang agar teman bisa melakukan serangan dengan baik. Mereka bahkan bisa membentuk sebuah formasi tempur yang baik sehingga kepungan rapat yang mereka lakukan sulit ditembus baik oleh Ki Bagus Sura mau pun oleh Paman Ranu. Hanya Ki Sudireja seorang yang sanggup mengimbangi gempuran para pengeroyok. Kendati dia tak bisa balas menyerang namun serangan lawan bisa dihambat.

Ki Dita pun sama dikepung. Namun jumlah pengepungnya tak begitu banyak dan mereka tidak membentuk formasi tempur khusus. Ini adalah pertempuran “tak adil”. Masa Ki Bagus Sura dan Paman Ranu begitu ketat menghadapi perlawanan, sementara Ki Dita santai-santai saja. Sepertinya kelompok penghadang ini hanya akan menitik beratkan perhatiannya untuk menyerang Ki Bagus Sura dan Paman Ranu saja.

Purbajaya tidak bisa banyak berpikir sebab dia harus segera menerjunkan diri ke kancah pertempuran untuk membantu Ki Bagus Sura. Orang tua ini sudah nampak kepayahan. Di sana-sini sudah terlihat luka berdarah karena goresan senjata tajam. Paman Ranu bahkan lebih parah lagi. Bahu kanannya banyak mengucurkan darah karena tertusuk pedang.

Purbajaya harus berhati-hati sebab baik gerakannya mau pun tenaga dalamnya, para pengeroyok terlihat hebat. Dalam satu gebrakan saja Purbajaya hampir terluka oleh tusukan pedang dua orang lawannya yang melakukan serangan hampir berbareng. Mereka melakukan serangan dari dua jurusan, masing-masing mengarah kepada bagian tubuh yang lemah.

Purbajaya agak sulit untuk memastikan serangan lawan sebab dia baru saja meloncat ke dalam arena. Menerima serangan secepat itu, seharusnya tubuh Purbajaya mundur dengan jalan menotolkan ujung kaki menjauh ke belakang. Namun usaha seperti itu akan percuma saja. Selain ketika tadi meloncat ke tengah arena tubuhnya doyong ke depan juga karena serangan lawan dari depan demikian cepatnya.

Satu-satunya cara dalam memecahkan serangan ini bukan dengan menghindarinya, melainkan dengan menyampoknya. Oleh sebab itu Purbajaya segera melakukan tindakan cepat. Ketika serangan pedang meluncur mengarah mata, Purbajaya mengangkat tangan kanannya. Bukan untuk merebutnya, melainkan untuk menyampok punggung pedang keras-keras dari atas mengarah ke bawah.

Si Penyerang seperti terkejut menerima perlawanan seperti ini. Dan kesempatan ini digunakan oleh Purbajaya untuk kian menekan lawan. Tenaga tangkisan dan sampokan dilakukannya sepenuh tenaga. Menerima sampokan amat keras ini, batang pedang meluncur ke depan, tersampok ke bawah dan membentur pedang temannya yang juga tengah meluncur mengarah perut Purbajaya. Akibat benturan dua logam keras, bunga api berpijar ke sana ke mari.

Purbajaya lolos dari serangan dua lawannya. Namun demikian dia tak bisa bernapas lega sebab serangan baru mulai muncul kembali. Maka pertempuran semakin seru sebab Purbajaya mendapatkan keroyokan yang ketat pula.

Namun kehadiran Purbajaya agak mengubah keadaan. Pihaknya sudah terlihat tidak terlalu tertekan lagi. Namun demikian, Ki Bagus Sura dan Paman Ranu yang dibantu Purbajaya sudah terlihat semakin payah. Paman Ranu yang selama di perjalanan tidak terlalu banyak bicara dan kerjanya hanya mematuhi majikan, kini bahkan sudah tergolek lemah di atas tanah dan darah di bahu kanannya terus-terusan mengucur deras. Di mulutnya pun terlihat lelehan darah segar. Mungkin dia pun terluka dalam cukup hebat.

Nasib yang tak lebih baik dari itu pun melanda Ki Bagus Sura. Dia terluka parah di bahu bagian kirinya sehingga dalam gerakannya nampak kaku dan mulutnya selalu meringis menahan sakit.

Sementara Ki Dita pun ada terlihat berdarah. Namun dia hanya luka ringan, yaitu goresan ujung pedang di tangan. Gerakannya masih cepat sehingga lawan tak punya kesempatan melakukan serangan berbahaya. Pada akhirnya, Purbajaya hanya bahu-membahu dengan Ki Sudireja saja. Dua orang itu bisa bekerja-sama saling menutup dan saling membantu melakukan serangan sehingga lawan nampak tertekan dan kepayahan juga.

Purbajaya menyukai gaya permainan Ki Sudireja. Tak dinyana, dalam menghadapi pengeroyokan lawan, Ki Sudireja bisa memadukan gerakannya dengan gerakan Purbajaya. Dan Ki Sudireja pun nampak puas dengan penampilan Purbajaya. Kendati ada sedikit tetesan darah, namun mulut Ki Sudireja tersenyum. Sedikit demi sedikit dua orang itu bisa menekan para pengeroyoknya.

“Mundur!” terdengar aba-aba dari salah seorang pengeroyok.

“Jangan lari, serahkan dulu anak itu!” teriak Ki Sudireja.

“Anak itu dari keluarga Pajajaran. Jangan racuni dia!” jawab dari angggota pasukan itu.

“Dungu!” dengus Ki Sudireja kesal.

“Kalian pun harus mengembalikan surat daun lontar…” kata Ki Bagus Sura dengan suara kepayahan.

“Surat ada di tangan kami tapi tak boleh tiba di Talaga!” seru salah seorang dari mereka sambil kembali memberikan aba-aba dan akhirnya semua berloncatan menuju hutan yang gelap. Mereka hanya meninggalkan satu orang yang tergeletak lemah dan tengah ditodong dengan ujung pedang oleh Ki Sudireja.

Purbajaya bersyukur ada salah seorang dari anggota pasukan siluman yang bisa ditangkap. Dengan demikian dia bisa mengorek keterangan yang diperlukan. Namun demikian, ada tersembul rasa aneh. Mengapa pasukan misterius yang serba tersembunyi meninggalkan begitu saja temannya yang luka, bukankah ini sama artinya memberi peluang agar komplotan itu terbuka kedoknya?

Bertepatan dengan menghilangnya pasukan siluman ke hutan lebat, tiba pula tiga orang murid Ki Dita. Mereka serta-merta mencabut senjata masing-masing dan dilayangkannya ke arah tubuh anggota pasukan siluman yang tengah ditodong senjata oleh Ki Sudireja.

Purbajaya terkejut dengan peristiwa mendadak ini. Namun Ki Sudireja dengan entengnya menepis ketiga hujan serangan itu. Pedang dan golok beterbangan ke udara disertai pekikan kesakitan dari para pemegangnya. Namun sambil meringis memegangi pergelangan tangan masing-masing, ketiga orang pemuda itu lantas menghambur hendak menyerang Ki Sudireja.

“Kau menahan kami membunuh penjahat ini, berarti kau pun komplotan mereka juga,” kata Aditia berang dan menyerang Ki Sudireja.

Namun hanya dengan menggerakkan tangan kirinya saja, Aditia terlempar ke belakang. Beruntung kali ini di sana tidak terdapat batang pohon yang dekat dengan jatuhnya tubuh Aditia. Yaksa dan Wista akan segera bergerak tapi giliran Purbajaya yang menahan mereka.

“Tak perlu melakukan pembunuhan,” kata Purbajaya.

“Purbajaya musti dibunuh!” teriak Aditia yang sudah bangun kembali.

“Kurasa mereka bukan penjahat…” gumam Purbajaya.

“Mereka adalah kelompok yang berbeda pendapat dengan kita, dengan penguasa di negri kita” ujar Aditia lagi.

“Tapi berbeda pendapat bukan berarti jahat, bukan?” tanya Purbajaya.

“Pendapatmu aneh dan kacau, Purba. Aku hanya mau bilang kalau pasukan siluman ini pengacau dan pengganggu ketertiban. Mereka pun amat meresahkan masyarakat. Kalau kita katakan mereka itu berbeda pendapat dengan kita, maka itulah kejahatan sebab karena mereka beda pendapat dengan kita maka kita menjadi resah,” tutur Aditia lagi.

“Keresahan karena beda pendapat bisa kita redam dengan cara memberikan penjelasan sebaik mungkin sehingga mereka akhirnya mengerti bahwa tujuan kita baik. Bila mereka sudah tahu makna perjuangan kita, rasanya mereka tak akan terus-terusan mengganggu kita,” kata Purbajaya.

Pertikaian pendapat tak berlanjut sebab secara tiba-tiba tawanan segera bangkit dan menghambur ke depan menubrukkan tubuhnya ke mata pedang yang ditodongkan Ki Sudireja. Semua orang tercengang dan tak bisa menggagalkan peristiwa ini. Maka tak ayal tubuh tawanan itu terpanggang batang pedang. Dia pun tewas seketika.

Purbajaya baru mengerti, mengapa teman-temannya membiarkan dia tertinggal seorang diri. Rupanya semua anggota pasukan siluman sudah sepakat, kalau peluang untuk kabur sudah tak ada, maka mereka akan bunuh diri, sehingga kerahasiaan pasukan tetap terjamin.

“Purba… ” tiba-tiba terdengar Ki Bagus Sura memanggil lemah. Dia terlihat telentang di tanah dengan darah bersimbah di beberapa bagian tubuhnya.

Purbajaya memeriksa. Sebetulnya tidak ada luka yang membahayakan. Namun darah yang keluar cukup banyak sehingga Ki Bagus Sura begitu lemah.

“Purba… Aku gagal mengemban tugas…” katanya lemah.

“Perihal surat daun lontar itukah?”

“Benar. Itu surat amat penting dan harus sampai ke Talaga. Isinya, perihal keberadaan Raden Yudakara. Ah… aku tak bisa menyampaikannya…” keluh Ki Bagus Sura. Nampak ada lelehan air mata di pipinya.

“Saya bersedia menyelamatkan surat itu,” kata Purbajaya.

Dia amat tertarik sebab isi surat dikhabarkan memperbincangkan perihal keberadaan Raden Yudakara. Purbajaya pun mengatakan kesanggupannya karena ingin menenangkan hati Ki Bagus Sura. Namun demikian, wajah Ki Bagus Sura tetap kelabu. Dan Purbajaya sadar, sebenarnya Ki Bagus Sura tidak percaya kalau Purbajaya bisa melaksanakan tugas ini dengan baik. Bukankah sudah terbukti, dengan orang sebanyak ini pun upaya merebut surat dari tangan perampasnya sungguh sulit dilakukan? Apakah dayanya Purbajaya seorang sehingga berkata sanggup untuk melakukan tugas seberat itu?

“Aditia, kau ke sini…” kata Ki Dita sesudah mendengar percakapan ini.

Aditia memang sempat terluka karena benturan di punggungnya. Tapi bila dibandingkan dengan yang lain, dia termasuk utuh.

“Ada apa, Ki Guru?” jawabnya sesudah menghampiri.

“Kau, Yaksa dan kemudian Wista harus temani Purbajaya mengejar surat daun lontar yang kini dikuasai pasukan siluman. Camkan, barang berharga itu harus bisa diselamatkan,” kata Ki Dita bernada perintah.

“Tanpa Purbajaya, saya pun bisa bergerak sendiri!” jawab Aditia angkuh.

“Diam kau, dan hilangkan sikap sombongmu itu!” teriak Ki Dita jengkel. ”Hanya karena keangkuhanmu dan tak bisa tahan emosi maka kita jadi begini,” kata Ki Dita lagi dengan nada kecewa

“Mengapa saya yang disalahkan?” Aditia memberengut.

“Kau serta-merta menyerang Ki Sudireja dan kemudian kau luka. Akibat lukamu, kau tak bisa bantu kami dengan baik. Untuk berjalan cepat menuju ke sini saja kau kedodoran.” cerca Ki Dita lagi.

“Saya beberapa kali melakukan pertempuran sudah barang tentu banyak luka. Tapi coba Ki Guru lihat Si Purbajaya ini, kapan dia berupaya mempertahankan keberadaan pasukan kita? Sedangkan musuh sudah dikuasai kita pun dia malah halang-halangi kita untuk menumpasnya. Tak masuk akal. Saya cenderung curiga kalau orang ini bersekongkol dengan musuh atau bisa juga pembelot,” jawab Aditia belok menekan Purbajaya.

“Huh, malu aku memberikan ilmu tempur yang mengandalkan kehalusan budi. Perangaimu kasar dan tak mungkin lulus dalam menjalankan pelatihan ini. Aneh sekali, mengapa perangai halus hanya terlihat pada diri Si Purba dan dia kebetulan bukan muridku?” keluh Ki Dita pada akhirnya. Terlihat dia menjambak rambutnya sendiri saking kesalnya.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment