“Aditia kurang periksa,” omel Wista.
“Kau malah dungu. Kenapa dari tadi kerjanya diam saja? Kenapa hanya ikut-ikutan pendapat orang lain saja? Dasar orang bodoh, dibawa masuk jurang pun pasti mau!” Aditia menghardik dengan berangnya.
“Kau angkuh dan juga bodoh. Maka yang paling duluan masuk jurang tentu engkau!” Wista balas menghardik.
Hampir saja dua orang itu saling getok kalau saja Yaksa tak melerainya. “Diamlah. Kenapa jadi saling cakar begini. Hemat tenaga kalian. Kalau sebelum ketemu lawan sudah gontok-gontokan begini, maka nanti tenaga kita tinggal sisanya saja dan mudah digerus lawan,” kata Yaksa kesal.
“Jangankan untuk menghadapi perkelahian, sedangkan untuk sekadar melangkah saja, kaki pun sudah demikian payah,” jawab Wista memegangi pahanya. ”Perutku pun bahkan sudah lapar. Sejak kemarin belum diisi,” keluhnya lagi.
Purbajaya melihat ke atas. Suasana sudah mulai gelap. Mungkin senja telah menjelang.
“Kita harus berjalan cepat, jangan sampai kemalaman di hutan belukar,” kata Purbajaya.
Aditia dan Yaksa tidak menjawab. Tapi langkahnya dipercepat mengikuti gerak langkah Purbajaya. Maka Wista pun terpaksa ikut jalan cepat pula. Hanya beberapa ratus langkah saja Wista sudah jatuh berdebuk. Dia bahkan mogok berdiri.
“Aku sudah tak kuat lagi…” keluhnya seperti putus asa.
Agar tidak kemalaman di dalam hutan lebat, terpaksa Purbajaya “bertugas” kembali menggendong Wista. Aditia mengomel dan mencerca Wista namun yang dicerca pura-pura tak mendengar.
Tiba di tepi jalan pedati, malam sudah menjelang. Tidak terlihat bulan atau pun bintang. Yang melayang di angkasa malah gumpalan awan pekat pertanda hari mau hujan.
“Kita musti segera mencari tempat untuk berlindung,” kata Purbajaya sambil menurunkan tubuh Wista.
“Di mana mencari tempat berlindung? Aku tak mau tidur dalam hujan,” Wista merengek manja. Tubuh pemuda itu menggigil entah kenapa.
“Ya, kita cari tempat berlindung yang baik…”
“Tapi di mana itu? Cepat, aku ingin sekali tidur!” Wista mendesak dengan nada marah dan kesal.
“Engkau membuatku panik, padahal aku tak henti-hentinya mencari,” Purbajaya pun akhirnya jadi kesal juga.
“Engkau musti tanggung jawab sebab gara-garamu juga kami jadi begini!” Wista membentak saking tak sabarnya.
“Mengapa begitu?”
“Kau dulu tak membantu dengan baik ketika terjadi pertempuran, jadinya semua luka, bahkan surat daun lontar pun dirampas lawan.” tuding Wista.
Purbajaya mau marah tapi tak jadi. Sebagai upaya dalam melampiaskan kekesalannya, Wista dia gendong lagi. Purbajaya kelayaban ke sana ke mari sambil mencari tempat berlindung. Hujan mulai turun.
Untunglah ada pohon besar dan batangnya bolong saking tuanya. Maka tubuh Wista dia masukkan ke lubang pohon. Purbajaya sendiri sembunyi di balik batang pohon lainnya namun tak begitu jauh dari tempat di mana Wista duduk bersandar. Hujan sudah turun dan makin lama semakin besar seperti air bah dikucurkan dari langit saja laiknya.
Purbajaya hanya bersandar di batang pohon. Kalau agak terlindung, itu karena dedaunan demikian rimbunnya. Dia tak tahu, di mana Aditia dan Wista berlindung. Purbajaya tak berniat mencari mereka. Terus-terang, hatinya kesal dan kecewa. Murid-murid Ki Dita semuanya tak ada yang benar. Mereka manja dan pemberang dan sepertinya tak kerasan dengan suasana yang penuh derita. Dia sangsi, kalau mereka jadi pejabat tapi tak tahan uji, bisakah kelak mengurus negri dengan baik? Purbajaya menghela napas kalau memikirkan ini semua.
Ketika dalam hujan begini, dia malah jadi teringat teman-teman lainnya yang ditinggalkan. Paman Ranu tergolek di tanah dengan darah bersimbah dari tiap bagian tubuhnya. Entah bagaimana nasib orang tua ini. Waktu itu Paman Ranu tak bergerak. Mungkin pingsan mungkin tewas.
Nasib Ki Bagus Sura pun tidak lebih baik dari bawahannya. Ketika ditinggalkan olehnya, Ki Bagus Sura pun menderita luka-luka yang parah di sana-sini. Ya, mereka semua menderita luka. Yang agak baikan hanya Ki Dita saja. Tapi dalam hujan deras begini, bagaimana mereka bisa saling tolong-menolong dan saling melindungi? Bisakah Ki Bagus Sura dan Ki Dita saling membela?
Menyakitkan memang. Orang baru bisa saling memperhatikan kalau memiliki persamaan nasib dalam penderitaan. Padahal jauh sebelumnya, dua orang tokoh tua itu saling menjauh, saling berdiam diri dan terkadang saling tak memiliki kesesuaian paham. Itu semua karena dipisahkan oleh kepentingan kelompoknya masing-masing. Ki Dita anak buah Ki Sanjadirja, sementara antara Ki Bagus Sura dan Ki Sanja tak punya kesesuaian paham selamanya.
Ki Dita mungkin saja tak punya kepentingan khusus. Namun seperti apa yang ditudingkan Ki Bagus Sura, anjing mana yang tak setia tuannya. Itulah barangkali yang terjadi pada Ki Dita.
Tapi dalam penderitaan yang sama dan di saat sang anjing jauh dari tuannya, Purbajaya berdoa, muga-muga Ki Dita menemukan kembali jati diri kemanusiaannya dan mau berkorban untuk saling tolong-menolong dengan orang yang sebelumnya dianggap seteru. Mungkin Ki Bagus Sura dan Ki Dita bisa baikan sebab punya penderitaan sama. Namun bagaimana pula dengan keadaan di sini? Maka sungguh aneh, kalau di saat sama-sama menderita, di antara mereka tak bisa bersatu.
Aditia dan Yaksa benci Purbajaya. Namun dua orang itu pun kadang-kadang benci Wista. Wista baru baikan padanya kalau dilayani dengan baik. Sementara kalau ada “layanan” Purbajaya yang dianggap mengecewakannya, dengan mudahnya Wista benci Purbajaya.
Kalau Purbajaya tak bisa menjaga kesabarannya, sudah sejak lama ketiga orang itu dilabraknya. Namun Purbajaya tak bisa begitu. Dia sekarang ini tengah berusaha ingin menjaga nama baik wong grage. Orang Carbon, teristimewa kaum pemudanya, oleh orang Sumedanglarang tengah disorot berhubung dengan tingkah Raden Yudakara yang dianggapnya memalukan. Jadi kalau Purbajaya pun bersikap ugal-ugalan, maka orang akan mudah menuding bahwa semua orang Carbon sombong dan tukang ugal-ugalan.
Terhadap Aditia, bahkan Purbajaya harus menjaga citra. Aditia sudah punya modal kebencian terhadap dirinya karena urusan wanita. Pemuda itu habis-habisan mencintai Nyimas Yuning Purnama, namun belakangan, sesudah dinikahi dan diceraikan Raden Yudakara, gadis itu malah mencintai Purbajaya. Kalah dua kali oleh “orang Carbon” maka membuat kebencian pada diri Aditia susah padam. Itulah sebabnya, Aditia selalu menghina dan merendahkannya. Jadi kalau sikap ini dia layani, maka permusuhan akan semakin menjadi-jadi. Perlukah Purbajaya berterus-terang kalau sebenarnya Nyimas Yuning tak benar-benar mencintainya?
“Kau malah dungu. Kenapa dari tadi kerjanya diam saja? Kenapa hanya ikut-ikutan pendapat orang lain saja? Dasar orang bodoh, dibawa masuk jurang pun pasti mau!” Aditia menghardik dengan berangnya.
“Kau angkuh dan juga bodoh. Maka yang paling duluan masuk jurang tentu engkau!” Wista balas menghardik.
Hampir saja dua orang itu saling getok kalau saja Yaksa tak melerainya. “Diamlah. Kenapa jadi saling cakar begini. Hemat tenaga kalian. Kalau sebelum ketemu lawan sudah gontok-gontokan begini, maka nanti tenaga kita tinggal sisanya saja dan mudah digerus lawan,” kata Yaksa kesal.
“Jangankan untuk menghadapi perkelahian, sedangkan untuk sekadar melangkah saja, kaki pun sudah demikian payah,” jawab Wista memegangi pahanya. ”Perutku pun bahkan sudah lapar. Sejak kemarin belum diisi,” keluhnya lagi.
Purbajaya melihat ke atas. Suasana sudah mulai gelap. Mungkin senja telah menjelang.
“Kita harus berjalan cepat, jangan sampai kemalaman di hutan belukar,” kata Purbajaya.
Aditia dan Yaksa tidak menjawab. Tapi langkahnya dipercepat mengikuti gerak langkah Purbajaya. Maka Wista pun terpaksa ikut jalan cepat pula. Hanya beberapa ratus langkah saja Wista sudah jatuh berdebuk. Dia bahkan mogok berdiri.
“Aku sudah tak kuat lagi…” keluhnya seperti putus asa.
Agar tidak kemalaman di dalam hutan lebat, terpaksa Purbajaya “bertugas” kembali menggendong Wista. Aditia mengomel dan mencerca Wista namun yang dicerca pura-pura tak mendengar.
Tiba di tepi jalan pedati, malam sudah menjelang. Tidak terlihat bulan atau pun bintang. Yang melayang di angkasa malah gumpalan awan pekat pertanda hari mau hujan.
“Kita musti segera mencari tempat untuk berlindung,” kata Purbajaya sambil menurunkan tubuh Wista.
“Di mana mencari tempat berlindung? Aku tak mau tidur dalam hujan,” Wista merengek manja. Tubuh pemuda itu menggigil entah kenapa.
“Ya, kita cari tempat berlindung yang baik…”
“Tapi di mana itu? Cepat, aku ingin sekali tidur!” Wista mendesak dengan nada marah dan kesal.
“Engkau membuatku panik, padahal aku tak henti-hentinya mencari,” Purbajaya pun akhirnya jadi kesal juga.
“Engkau musti tanggung jawab sebab gara-garamu juga kami jadi begini!” Wista membentak saking tak sabarnya.
“Mengapa begitu?”
“Kau dulu tak membantu dengan baik ketika terjadi pertempuran, jadinya semua luka, bahkan surat daun lontar pun dirampas lawan.” tuding Wista.
Purbajaya mau marah tapi tak jadi. Sebagai upaya dalam melampiaskan kekesalannya, Wista dia gendong lagi. Purbajaya kelayaban ke sana ke mari sambil mencari tempat berlindung. Hujan mulai turun.
Untunglah ada pohon besar dan batangnya bolong saking tuanya. Maka tubuh Wista dia masukkan ke lubang pohon. Purbajaya sendiri sembunyi di balik batang pohon lainnya namun tak begitu jauh dari tempat di mana Wista duduk bersandar. Hujan sudah turun dan makin lama semakin besar seperti air bah dikucurkan dari langit saja laiknya.
Purbajaya hanya bersandar di batang pohon. Kalau agak terlindung, itu karena dedaunan demikian rimbunnya. Dia tak tahu, di mana Aditia dan Wista berlindung. Purbajaya tak berniat mencari mereka. Terus-terang, hatinya kesal dan kecewa. Murid-murid Ki Dita semuanya tak ada yang benar. Mereka manja dan pemberang dan sepertinya tak kerasan dengan suasana yang penuh derita. Dia sangsi, kalau mereka jadi pejabat tapi tak tahan uji, bisakah kelak mengurus negri dengan baik? Purbajaya menghela napas kalau memikirkan ini semua.
Ketika dalam hujan begini, dia malah jadi teringat teman-teman lainnya yang ditinggalkan. Paman Ranu tergolek di tanah dengan darah bersimbah dari tiap bagian tubuhnya. Entah bagaimana nasib orang tua ini. Waktu itu Paman Ranu tak bergerak. Mungkin pingsan mungkin tewas.
Nasib Ki Bagus Sura pun tidak lebih baik dari bawahannya. Ketika ditinggalkan olehnya, Ki Bagus Sura pun menderita luka-luka yang parah di sana-sini. Ya, mereka semua menderita luka. Yang agak baikan hanya Ki Dita saja. Tapi dalam hujan deras begini, bagaimana mereka bisa saling tolong-menolong dan saling melindungi? Bisakah Ki Bagus Sura dan Ki Dita saling membela?
Menyakitkan memang. Orang baru bisa saling memperhatikan kalau memiliki persamaan nasib dalam penderitaan. Padahal jauh sebelumnya, dua orang tokoh tua itu saling menjauh, saling berdiam diri dan terkadang saling tak memiliki kesesuaian paham. Itu semua karena dipisahkan oleh kepentingan kelompoknya masing-masing. Ki Dita anak buah Ki Sanjadirja, sementara antara Ki Bagus Sura dan Ki Sanja tak punya kesesuaian paham selamanya.
Ki Dita mungkin saja tak punya kepentingan khusus. Namun seperti apa yang ditudingkan Ki Bagus Sura, anjing mana yang tak setia tuannya. Itulah barangkali yang terjadi pada Ki Dita.
Tapi dalam penderitaan yang sama dan di saat sang anjing jauh dari tuannya, Purbajaya berdoa, muga-muga Ki Dita menemukan kembali jati diri kemanusiaannya dan mau berkorban untuk saling tolong-menolong dengan orang yang sebelumnya dianggap seteru. Mungkin Ki Bagus Sura dan Ki Dita bisa baikan sebab punya penderitaan sama. Namun bagaimana pula dengan keadaan di sini? Maka sungguh aneh, kalau di saat sama-sama menderita, di antara mereka tak bisa bersatu.
Aditia dan Yaksa benci Purbajaya. Namun dua orang itu pun kadang-kadang benci Wista. Wista baru baikan padanya kalau dilayani dengan baik. Sementara kalau ada “layanan” Purbajaya yang dianggap mengecewakannya, dengan mudahnya Wista benci Purbajaya.
Kalau Purbajaya tak bisa menjaga kesabarannya, sudah sejak lama ketiga orang itu dilabraknya. Namun Purbajaya tak bisa begitu. Dia sekarang ini tengah berusaha ingin menjaga nama baik wong grage. Orang Carbon, teristimewa kaum pemudanya, oleh orang Sumedanglarang tengah disorot berhubung dengan tingkah Raden Yudakara yang dianggapnya memalukan. Jadi kalau Purbajaya pun bersikap ugal-ugalan, maka orang akan mudah menuding bahwa semua orang Carbon sombong dan tukang ugal-ugalan.
Terhadap Aditia, bahkan Purbajaya harus menjaga citra. Aditia sudah punya modal kebencian terhadap dirinya karena urusan wanita. Pemuda itu habis-habisan mencintai Nyimas Yuning Purnama, namun belakangan, sesudah dinikahi dan diceraikan Raden Yudakara, gadis itu malah mencintai Purbajaya. Kalah dua kali oleh “orang Carbon” maka membuat kebencian pada diri Aditia susah padam. Itulah sebabnya, Aditia selalu menghina dan merendahkannya. Jadi kalau sikap ini dia layani, maka permusuhan akan semakin menjadi-jadi. Perlukah Purbajaya berterus-terang kalau sebenarnya Nyimas Yuning tak benar-benar mencintainya?
Susah untuk meyakinkannya sebab gadis itu telah “mengaku cinta” di hadapan banyak orang dan bahkan Ki Bagus Sura sebagai ayahandanya pun telah dengan senang hati menjodohkannya. Gadis itu telah mempermainkan banyak orang, pikir Purbajaya. Ya, termasuk dirinya pun telah dipermainkan gadis itu.
Purbajaya memang mengerti. Kalau malam itu Nyimas Yuning langsung mengaku cinta, padahal beberapa saat sebelumnya di kala berduaan saja dia malah menolak perjodohan, maksudnya hanya menolong keadaan. Namun yang Purbajaya tak mengerti, belakangan pun gadis itu tetap mengaku kalau dirinya siap dijodohkan dengan Purbajaya.
Purbajaya bingung dengan pernyataan gadis ini. Benar-benarkah gadis itu mencintai dirinya, atau hanya karena taat orangtua? Maukah Purbajaya menerima kesediaan gadis itu untuk dinikahinya hanya karena alasan tak mau membangkang kepada keinginan orangtua? Purbajaya tak bisa mengambil keputusan. Kebimbangan dirinya pun berkenaan pula dengan tingkah Aditia. Aditia benci dirinya karena “berdosa” menerima cinta Nyimas Yuning Purnama. Cinta-kasih itu indah tapi bisa menimbulkan kebencian bagi pihak-pihak yang dirugikan. Aditia contohnya.
Sudah dua kali Purbajaya dibenci oleh pemuda yang “kalah cinta”. Dulu ketika di Carbon Raden Ranggasena begitu benci dia karena Nyimas Waningyun mencintai Purbajaya ketimbang Ranggasena. Peristiwa kedua kalinya melanda lagi. Kini yang mengajak perang adalah Aditia karena cintanya kedodoran.
Kalau dia jadi Aditia, barangkali dia pun akan sakit hati dan merasa rendah. Bagaimana tak begitu. Ketika Nyimas Yuning masih perawan, cinta Aditia sudah ditawarkan namun Nyimas Yuning menolak dengan alasan belum mau menikah. Belakangan gadis itu malah dipersunting pemuda bangsawan Carbon, yaitu Raden Yudakara. Ketika Nyimas Yuning diceraikan dan jadi janda, dan ketika Aditia datang lagi melamar, lagi-lagi gadis itu menolak dengan alasan tidak akan punya suami lagi. Tapi ketika hadir Purbajaya, serta-merta gadis itu mengaku mau bersuamikan Purbajaya. Itulah hinaan yang tak terkira bagi derajat Aditia. Celakanya, Nyimas Yuning dan Aditia yang berperang, malah Purbajaya yang kena pukulnya.
Purbajaya tidak mau menjadikan dirinya sebagai “musuh baru” bagi Aditia. Maka itulah sebabnya, selama ini dia banyak mengalah kendati pemuda itu terus-terusan menghina dan melecehkannya. Dalam hujan begini, Purbajaya susah tidur. Selain pikirannya kalut, air hujan pun banyak menerpa. Baru sesudah hujan reda, Purbajaya bisa memejamkan matanya. Dia tidur bersandar di batang pohon.
Hanya saja di saat dia tidur nyenyak, dia dikejutkan oleh beberapa pukulan dari benda keras yang mengarah kepalanya. Purbajaya tak sangggup menerka, dalam mimpikah kejadian ini atau memang benar-benar di alam nyata? Dia susah berpikir karena kesadarannya hilang kembali.
Manakala matahari memancarkan sinarnya, baru dia siuman. Tapi pandangannya serasa berkunang-kunang dan kepalanya berat serta nyeri. Ketika Purbajaya hendak bangkit, rasanya sulit sekali. Belakangan baru dia sadar kalau tubuhnya diikat oleh semacam serat batang pohon yang amat alot dan kuat. Siapakah yang mengikat dirinya?
Purbajaya mencoba untuk membuka matanya lagi. Kini samar-samar terlihat dua bayangan tubuh berdiri di hadapannya. Sesudah matanya dikejap-kejapkan dan telah terbiasa menatap, baru dia tahu kalau yang berdiri adalah Aditia dan Yaksa.
“Mengapa aku ini?” tanya Purbajaya heran dan mencoba melepas tali yang melilit erat di tubuhnya.
“Engkau kami ikat,” kata Aditia dengan suara dingin dan wajahnya amat pucat.
“Ya, mengapa…?”
“Engkau telah membunuh Wista!” desis Aditia.
“Apa?” Purbajaya membelalakkan mata.
Dia menatap sekeliling mencari Wista. Tubuh Wista terlihat terbaring tak bergerak. Tempatnya sudah berpindah, tidak lagi bersandar di lobang batang pohon.
“Ya, Wista mati. Aditia menyangka, kau yang bunuh dia,” kata Yaksa penuh selidik.
Namun Purbajaya balik menatap dalam-dalam kepada pemuda ini. Sebetulnya di sepasang mata Yaksa terlihat sorot mata keraguan. Ketika Purbajaya terus menatap, Yaksa akhirnya memalingkan wajah dan pura-pura menatap ke arah lain.
“Kalau aku tak cegah, mustinya kau tadi sudah tewas di tangan Wista. Tapi aku cegah agar kau punya kesempatan untuk mengaku dosa,” kata Aditia.
Ketika Aditia bicara begitu, Yaksa menoleh sepertinya tak senang temannya bicara begitu.
”Benarkah kau bunuh Wista?” tanya Yaksa serius.
Purbajaya menggelengkan kepala dan terasa sakit sekali. Dia menduga, salah seorang dari mereka, atau malah kedua-duanya, telah memukuli dia ketika tengah tidur lelap.
“Aku tak bunuh Wista…” gumam Purbajaya kembali menatap tubuh terbujur kaku.
“Nyatanya Wista mati!” bentak Aditia.
“Ketika Wista dalam gendonganku, tubuhnya menggigil seperti demam sepertinya dia menderita sakit,” Purbajaya mengingat-ingat.
“Mungkin sakitnya benar. Tapi kematiannya bukan karena sakit tapi olehmu!” desak Aditia tetap berang.
“Mengapa aku musti bunuh Wista?” tanya Purbajaya.
“Mengapa? Tentu saja banyak alasannya. Kau kan tak menyukai kami. Tadi malam aku tahu Si Wista mengomel padamu dan kau pun marah-marah sama Wista. Dengan demikian, kebencianmu pada kami cukup digunakan sebagai alasanmu membunuh Wista. Mungkin kau sudah rencanakan untuk melenyapkan kami satu-persatu,” tuding Aditia. ”Benar, kan?” tanyanya minta dukungan pendapat kepada Yaksa.
“Pikiranku tak sekejam itu…” bantah Purbajaya mengerutkan alis karena berpikir keras.
“Yaksa, cabut senjatamu, bunuhlah si bedebah ini!” Aditia memerintah kepada temannya.
Tapi Yaksa malah menatap Aditia.
“Ayo, cabut Yaksa!”
“Tidakkah sebaiknya dia kita serahkan dan adili di hadapan bale watangan (pengadilan) saja, Aditia?” Yaksa berpendapat.
“Penjahat hina seperti ini hanya akan merepotkan kita semua. Kita banyak pekerjaan. Maka supaya urusan cepat beres, kita bunuh saja dia. Ayo cabut pedangmu dan tusukkan pada lambungnya, pada lehernya, matanya, atau pada bagian tubuhnya yang mana saja. Yang penting bangsat kecil ini musti mati. Bangkainya jangan dikubur tapi cincang dan sebarkan ke segala arah agar habis dimakan binatang hutan!” Aditia bicara nyeroscos dan sorot matanya bagaikan sepasang mata iblis yang sarat dengan kebencian.
Purbajaya khawatir. Memang terlihat ada hawa kebencian pada diri pemuda ini. Untung saja Yaksa terlihat ragu. Dia masih diam terpaku padahal terus ditekan Aditia agar mencabut senjatanya. Karena Yaksa tak mau mencabut pedangnya, maka pedang Yaksa yang masih di pinggangnya secara paksa dicabut Aditia dan digenggamkan kepada pemiliknya.
“Ayo bunuh si bedebah dan nanti akan aku laporkan kau berjasa membunuh seorang pengkhianat. Kau pasti akan segera lulus menjadi ksatria dan barangkali juga akan diangkat menjadi perwira keraton,” kata Aditia tetap memaksa.
“Mengapa tidak engkau saja yang lakukan? Bukankah kau sendiri yang katakan bahwa Si Purba yang bunuh teman kita?” Yaksa berteriak kesal karena dipaksa-paksa terus.
Demi mendengar bantahan ini, terlihat wajah Aditia merah-padam. Purbajaya menduga, pemuda angkuh ini amat tersinggung oleh penolakan Yaksa. Purbajaya tahu, di sepanjang jalan Aditia selalu menempatkan diri sebagai pemimpin. Kerjanya memerintah dan memberikan pengarahan kepada yang lainnya. Sekarang dia amat marah karena perintahnya dibantah keras oleh Yaksa. Dan sungguh mengagetkan, Yaksa yang membangkang secara tiba-tiba diserang oleh Aditia.
“Aditia, ada apa ini, ada apa ini?” Yaksa berteriak kaget sambil mundur.
Aditia tak memberinya kesempatan. Pemuda ini malah merebut kembali pedangnya yang tadi secara paksa digenggamkan ke tangan Yaksa.
“Engkau manusia dungu! Pembelot! Pengkhianat!” teriak Aditia gusar.
“He, kau memakiku demikian?” Yaksa mendelik.
“Karena engkau pengecut melebihi tikus! Kau pembelot seperti bangau. Dan kau pun dungu serta pemalas seperti buaya!”
“Setan!” teriak Yaksa semakin mendelik marah. ”Aku tahu, kau paksa aku bunuh Si Purba agar kelak dosanya kau timpakan kepadaku. Kau ingin bunuh Si Purba dengan pinjam tangan orang lain. Cih! Aku tak mau itu. Aku bahkan tak mau berteman dengan orang bodoh dan pecundang!”
Dimaki habis-habisan seperti ini, kemarahan Aditia sudah tak bisa ditahan lagi. Dan akhirnya dengan cara yang membabi-buta dia menyerang Yaksa dengan pedangnya. Gerakannya ganas dan tak memperlihatkan jurus-jurus halus yang pernah diajarkan Ki Dita. Tujuannya jelas untuk membunuh temannya sendiri.
“He, kau mau bunuh aku, ya? Mau bunuh aku, ya?” Yaksa berkelit ke sana ke mari.
Dan kalau ada kesempatan, dia balas menyerang dengan pukulan. Namun karena serangan Aditia begitu ganas, Yaksa pun akhirnya terpaksa mencabut pedangnya sendiri. Maka terjadilah pertarungan dua murid Ki Dita, hanya disaksikan Purbajaya yang duduk tak berdaya karena tali yang mengikatnya.
“Kau mau bunuh aku?” teriak lagi Yaksa sambil menangkis sabetan pedang sehingga bunga api berpijar karena dua logam baja saling berbenturan.
“Ya, akan kuhabisi nyawamu! Kau calon ksatria cengeng dan malas dan tak patut untuk bekerja di Sumedanglarang!” cerca Aditia masih sambil memainkan gerakan ganas.
“Kalau begitu, Wista pun kau yang bunuh. Bukankah kau yang kerapkali mengumpat dan mengejek Wista yang cengeng, manja dan bodoh? Ya, kau yang sebenarnya sebal kepada Wista. Kau takut Wista yang lulus uji karena ayahanda anak itu lebih banyak memberikan upah ketimbang ayahandamu yang kikir itu! Pasti kau yang bunuh Wista!” teriak Yaksa dan pedangnya mulai menyerang lawan.
Maka semakin marah pula Aditia karena caci-maki pedas ini. Dan daya serangannya kian ditambah. Aditia bahkan tidak berpikir untuk menangkis kecuali menyerang dan menyerang. Sehingga suatu saat dia berteriak kesakitan karena bahu kirinya tertusuk pedang Yaksa. Namun luka ini seperti tak dirasakan. Serangan Aditia semakin gencar. Dia mungkin marah dan terhina. Yaksa yang sebetulnya masih menderita luka, mengapa bisa mendahului serangan yang membuat dia luka, sementara serangan pedang yang dilancarkan dirinya belum berhasil menerobos masuk.
Namun ketika pertempuran berlangsung agak lama, ternyata tenaga Yaksa yang lebih dahulu terkuras habis. Bisa saja ini terjadi karena luka-luka Yaksa yang sebetulnya belum sembuh.
Kini Yaksa mulai terdesak hebat. Luka baru dari tusukan dan sabetan pedang Aditia membuat sekujur tubuh Yaksa banyak dipenuhi darah segar. Sementara itu, Yaksa sendiri sudah tak mampu balas menyerang. Jangankan untuk menyerang, bahkan hanya sekadar untuk menangkis saja dia sudah tak mampu. Kalau keadaan dibiarkan berlarut-larut begini, Yaksa lambat-laun akan lumat oleh cecaran pedang Aditia yang demikian ganasnya.
“Aditi, jangan bunuh teman sendiri!” teriak Purbajaya beberapa kali.
Namun mana Aditia mau mendengar. Hatinya barangkali sudah kerasukan setan dan hawa membunuh sudah lekat di napasnya. Suatu ketika kedudukan Yaksa amat membahayakan. Tubuhnya jatuh terjengkang dan tangan kanannya yang pegang pedang tertindih oleh pinggangnya.
Untuk menahan gerak laju pedang Aditia yang dibacokkan mengarah kepala, Yaksa hanya memiliki tangan kiri yang masih leluasa. Maka satu-satunya cara dalam menyelamatkan kepala, hanya dilakukan dengan jalan menangkis pedang oleh tangan kiri. Maka akibatnya sungguh fatal. Hanya dalam sekejap potongan tangan kiri Yaksa terlontar ketika terbabat kutung oleh gerakan ganas pedang Aditia. Yaksa melolong-lolong kesakitan. Namun Aditia masih terus mencecarnya.
Purbajaya marah melihat keadaan ini. Dia berusaha sekuat tenaga untuk melepas tali. Namun usaha ini sia-sia, padahal di hadapannya tengah berlangsung dua orang bodoh tengah berebut nyawa. Ketika serangan Aditia datang kembali dan pedangnya kali ini mengarah dada, Purbajaya kembali mencoba mengerahkan tenaga untuk memutuskan tali. Usaha ini hampir sia-sia ketika di belakangnya ada suara seseorang.
“Ayo larilah kalau kau mampu mencegah adegan ini!” kata suara itu. Dan bret-bret, tali yang mengikat Purbajaya putus di beberapa bagian.
Purbajaya tak sempat melihat siapa yang datang memutuskan tali sedemikian mudahnya. Yang dia pikirkan ketika itu hanyalah bagaimana caranya menggagalkan serangan tusukan Aditia agar nyawa Yaksa tertolong. Purbajaya menotolkan ujung jari kaki keras-keras, maka tubuhnya melesat bagaikan terbang mendekati dua orang yang tengah bertempur. Tusukan pedang Aditia hampir tiba di dada Yaksa. Purbajaya tak bisa menangkis pedang begitu saja, kecuali menendangnya keras-keras.
Pedang terlontar keras dan gagangnya menyambar jidat Aditia. Tuk! Gagang pedang itu tepat mengarah jidat. Saking kerasnya tenaga lontaran, tubuh Aditia pun terjengkang ke belakang. Punggungnya berdebuk jatuh di tanah dan Aditia telentang tak bisa bangun lagi.
Purbajaya terkejut. Dia memburu tubuh Aditia dan memeriksanya. Wajah Purbajaya pucat-pasi dan tubuhnya mendadak lemas ketika dilihatnya jidat Aditia retak dan ada lelehan darah keluar dari luka retak itu. Purbajaya pun memeriksa jantung Aditia. Ternyata benar sangkaannya, Aditia tewas.
Dengan perasaan tak keruan, Purbajaya beralih perhatiannya untuk memeriksa tubuh Yaksa. Pemuda ini belum mati namun nasibnya sudah amat mengkhawatirkan. Seluruh tubuh Yaksa bermandikan darah dan tangan kirinya kutung. Potongan tangan itu terpisah agak jauh dari tubuhnya. Yaksa mengerang menahan sakit yang hebat. Mengenaskan sekali.
“Yaksa… Yaksa…“
“Purba…” terdengar jawaban kendati agak lemah. Yaksa masih memiliki kesadarannya.
“Yaksa… aku telah bunuh Aditia.”
“Syukurlah… terima kasih…”
“Jangan begitu. Aku tak sengaja lakukan itu. Yang aku maksudkan hanya untuk menolongmu. Tak sangka gerakanku terlalu ganas sehingga menewaskannya…” Purbajaya panik.
“Terima kasih… Terima kasih….” suara Yaksa semakin lemah juga.
“Kau pun harus percaya, aku tak bunuh Wista!”
“Terim…ma… terr.. terima kasihhh….”
“Yaksa! Yaksa!” Purbajaya mengguncang-guncangkan tubuh pemuda itu namun Yaksa sudah diam tak bergerak.
“Sudahlah, dia sudah mati. Mari kita pergi!” terdengar lagi suara di belakang Purbajaya. Pemuda ini menengok ke belakang. Raden Yudakara!
Untuk sementara Purbajaya bengong. Dia terkejut sekali. Bagaimana tidak begitu. Korban berjatuhan. Dan ini semua untuk mengejar surat rahasia yang khabarnya berisi perihal keberadaan pemuda bangsawan aneh ini. Sekarang, Raden Yudakara malah berdiri di hadapannya. Mengapa pula pemuda ini secara tiba-tiba bisa berada di sini?
“Raden…” Purbajaya bergumam dengan nada dingin.
“Hahaha…! Engkau masih ingat aku. Ini hanya punya arti, kau masih memiliki kesetiaan tinggi padaku,” tutur pemuda tampan itu.
Purbajaya tidak mengomentari pujian ini sebab hatinya tak berketentuan. Panik, bingung dan marah, bergumul menjadi satu. Di sekitarnya, tiga mayat bergelimpangan. Semuanya mati sia-sia karena sebab-sebab yang tak tentu. Mula-mula Wista diketahui mati dan Purbajaya yang dituding pembunuhnya. Belakangan Aditia dan Yaksa malah jadi saling bunuh hanya karena mempertentangkan bagaimana caranya memperlakukan Purbajaya. Sekarang dua orang pemuda itu tewas mengenaskan. Salah seorang dari mereka malah mati oleh Purbajaya sendiri. Mengenaskan, sekaligus juga amat menyebalkan.
Kemarahan membuat orang tak bisa berpikir waras. Aditia dipenuhi kebencian sehingga semua orang jadi sasaran kemarahan tidak pula temannya sendiri. Purbajaya pun tak bisa mengendalikan pikirannya karena dipenuhi hawa amarah. Betapa dia membunuh orang padahal itu terjadi tanpa dipikirkan jauh sebelumnya. Purbajaya membunuh mungkin karena ada dendam terselubung. Betapa tidak, bukankah selama ini Aditia selalu merendahkan dan menghina Purbajaya? Mungkin pikirannya tak bermaksud membunuh namun nalurinya sudah demikian. Naluri keluar dari dasar pikiran yang terpendam dan tersembunyi dan bisa keluar begitu saja kalau hati serta kesadaran berkurang. Ya, itulah dendam dan akan menimbulkan sesal setelah kesadaran pulih kembali.
“Mari kita pergi dari sini!” kembali Raden Yudakara mengajaknya berangkat.
“Pergi? Ke mana…?”
“Pergi ke mana? Kewajibanmu hanyalah ikut aku dan bukan bertanya seperti itu,” kata pemuda bangsawan itu tandas.
Purbajaya bimbang. Betul, kewajibannya belum lepas sebab dulu dia ditugaskan untuk ikut Raden Yudakara. Tapi itu sudah setahun lalu. Dia kini malah sedang jadi “utusan” Karatuan Sumedanglarang. Tugasnya tentu amat bertolak belakang dengan keinginan Raden Yudakara. Bukankah tugas yang diberikan Ki Bagus Sura kepadanya adalah menyelamatkan surat daun lontar yang isinya mengabarkan perihal pemuda ini?
“Kalau kau tak ikut aku, maka kau akan jadi buruan pasukan Sumedanglarang!” kata Raden Yudakara.
“Mengapa begitu?”
“Bukankah engkau telah membunuh salah seorang dari mereka? Barusan bahkan aku dengar, kau dituding membunuh yang satunya lagi. Siapa yang akan buktikan kalau kau tak bersalah dalam hal ini?” tanya Raden Yudakara.
Purbajaya diam membisu. Ucapan Raden Yudakara masuk akal dan amat merisaukan Purbajaya.
“Lantas apa bedanya bila saya ikut engkau, Raden?” tanyanya kemudian.
Purbajaya memang mengerti. Kalau malam itu Nyimas Yuning langsung mengaku cinta, padahal beberapa saat sebelumnya di kala berduaan saja dia malah menolak perjodohan, maksudnya hanya menolong keadaan. Namun yang Purbajaya tak mengerti, belakangan pun gadis itu tetap mengaku kalau dirinya siap dijodohkan dengan Purbajaya.
Purbajaya bingung dengan pernyataan gadis ini. Benar-benarkah gadis itu mencintai dirinya, atau hanya karena taat orangtua? Maukah Purbajaya menerima kesediaan gadis itu untuk dinikahinya hanya karena alasan tak mau membangkang kepada keinginan orangtua? Purbajaya tak bisa mengambil keputusan. Kebimbangan dirinya pun berkenaan pula dengan tingkah Aditia. Aditia benci dirinya karena “berdosa” menerima cinta Nyimas Yuning Purnama. Cinta-kasih itu indah tapi bisa menimbulkan kebencian bagi pihak-pihak yang dirugikan. Aditia contohnya.
Sudah dua kali Purbajaya dibenci oleh pemuda yang “kalah cinta”. Dulu ketika di Carbon Raden Ranggasena begitu benci dia karena Nyimas Waningyun mencintai Purbajaya ketimbang Ranggasena. Peristiwa kedua kalinya melanda lagi. Kini yang mengajak perang adalah Aditia karena cintanya kedodoran.
Kalau dia jadi Aditia, barangkali dia pun akan sakit hati dan merasa rendah. Bagaimana tak begitu. Ketika Nyimas Yuning masih perawan, cinta Aditia sudah ditawarkan namun Nyimas Yuning menolak dengan alasan belum mau menikah. Belakangan gadis itu malah dipersunting pemuda bangsawan Carbon, yaitu Raden Yudakara. Ketika Nyimas Yuning diceraikan dan jadi janda, dan ketika Aditia datang lagi melamar, lagi-lagi gadis itu menolak dengan alasan tidak akan punya suami lagi. Tapi ketika hadir Purbajaya, serta-merta gadis itu mengaku mau bersuamikan Purbajaya. Itulah hinaan yang tak terkira bagi derajat Aditia. Celakanya, Nyimas Yuning dan Aditia yang berperang, malah Purbajaya yang kena pukulnya.
Purbajaya tidak mau menjadikan dirinya sebagai “musuh baru” bagi Aditia. Maka itulah sebabnya, selama ini dia banyak mengalah kendati pemuda itu terus-terusan menghina dan melecehkannya. Dalam hujan begini, Purbajaya susah tidur. Selain pikirannya kalut, air hujan pun banyak menerpa. Baru sesudah hujan reda, Purbajaya bisa memejamkan matanya. Dia tidur bersandar di batang pohon.
Hanya saja di saat dia tidur nyenyak, dia dikejutkan oleh beberapa pukulan dari benda keras yang mengarah kepalanya. Purbajaya tak sangggup menerka, dalam mimpikah kejadian ini atau memang benar-benar di alam nyata? Dia susah berpikir karena kesadarannya hilang kembali.
Manakala matahari memancarkan sinarnya, baru dia siuman. Tapi pandangannya serasa berkunang-kunang dan kepalanya berat serta nyeri. Ketika Purbajaya hendak bangkit, rasanya sulit sekali. Belakangan baru dia sadar kalau tubuhnya diikat oleh semacam serat batang pohon yang amat alot dan kuat. Siapakah yang mengikat dirinya?
Purbajaya mencoba untuk membuka matanya lagi. Kini samar-samar terlihat dua bayangan tubuh berdiri di hadapannya. Sesudah matanya dikejap-kejapkan dan telah terbiasa menatap, baru dia tahu kalau yang berdiri adalah Aditia dan Yaksa.
“Mengapa aku ini?” tanya Purbajaya heran dan mencoba melepas tali yang melilit erat di tubuhnya.
“Engkau kami ikat,” kata Aditia dengan suara dingin dan wajahnya amat pucat.
“Ya, mengapa…?”
“Engkau telah membunuh Wista!” desis Aditia.
“Apa?” Purbajaya membelalakkan mata.
Dia menatap sekeliling mencari Wista. Tubuh Wista terlihat terbaring tak bergerak. Tempatnya sudah berpindah, tidak lagi bersandar di lobang batang pohon.
“Ya, Wista mati. Aditia menyangka, kau yang bunuh dia,” kata Yaksa penuh selidik.
Namun Purbajaya balik menatap dalam-dalam kepada pemuda ini. Sebetulnya di sepasang mata Yaksa terlihat sorot mata keraguan. Ketika Purbajaya terus menatap, Yaksa akhirnya memalingkan wajah dan pura-pura menatap ke arah lain.
“Kalau aku tak cegah, mustinya kau tadi sudah tewas di tangan Wista. Tapi aku cegah agar kau punya kesempatan untuk mengaku dosa,” kata Aditia.
Ketika Aditia bicara begitu, Yaksa menoleh sepertinya tak senang temannya bicara begitu.
”Benarkah kau bunuh Wista?” tanya Yaksa serius.
Purbajaya menggelengkan kepala dan terasa sakit sekali. Dia menduga, salah seorang dari mereka, atau malah kedua-duanya, telah memukuli dia ketika tengah tidur lelap.
“Aku tak bunuh Wista…” gumam Purbajaya kembali menatap tubuh terbujur kaku.
“Nyatanya Wista mati!” bentak Aditia.
“Ketika Wista dalam gendonganku, tubuhnya menggigil seperti demam sepertinya dia menderita sakit,” Purbajaya mengingat-ingat.
“Mungkin sakitnya benar. Tapi kematiannya bukan karena sakit tapi olehmu!” desak Aditia tetap berang.
“Mengapa aku musti bunuh Wista?” tanya Purbajaya.
“Mengapa? Tentu saja banyak alasannya. Kau kan tak menyukai kami. Tadi malam aku tahu Si Wista mengomel padamu dan kau pun marah-marah sama Wista. Dengan demikian, kebencianmu pada kami cukup digunakan sebagai alasanmu membunuh Wista. Mungkin kau sudah rencanakan untuk melenyapkan kami satu-persatu,” tuding Aditia. ”Benar, kan?” tanyanya minta dukungan pendapat kepada Yaksa.
“Pikiranku tak sekejam itu…” bantah Purbajaya mengerutkan alis karena berpikir keras.
“Yaksa, cabut senjatamu, bunuhlah si bedebah ini!” Aditia memerintah kepada temannya.
Tapi Yaksa malah menatap Aditia.
“Ayo, cabut Yaksa!”
“Tidakkah sebaiknya dia kita serahkan dan adili di hadapan bale watangan (pengadilan) saja, Aditia?” Yaksa berpendapat.
“Penjahat hina seperti ini hanya akan merepotkan kita semua. Kita banyak pekerjaan. Maka supaya urusan cepat beres, kita bunuh saja dia. Ayo cabut pedangmu dan tusukkan pada lambungnya, pada lehernya, matanya, atau pada bagian tubuhnya yang mana saja. Yang penting bangsat kecil ini musti mati. Bangkainya jangan dikubur tapi cincang dan sebarkan ke segala arah agar habis dimakan binatang hutan!” Aditia bicara nyeroscos dan sorot matanya bagaikan sepasang mata iblis yang sarat dengan kebencian.
Purbajaya khawatir. Memang terlihat ada hawa kebencian pada diri pemuda ini. Untung saja Yaksa terlihat ragu. Dia masih diam terpaku padahal terus ditekan Aditia agar mencabut senjatanya. Karena Yaksa tak mau mencabut pedangnya, maka pedang Yaksa yang masih di pinggangnya secara paksa dicabut Aditia dan digenggamkan kepada pemiliknya.
“Ayo bunuh si bedebah dan nanti akan aku laporkan kau berjasa membunuh seorang pengkhianat. Kau pasti akan segera lulus menjadi ksatria dan barangkali juga akan diangkat menjadi perwira keraton,” kata Aditia tetap memaksa.
“Mengapa tidak engkau saja yang lakukan? Bukankah kau sendiri yang katakan bahwa Si Purba yang bunuh teman kita?” Yaksa berteriak kesal karena dipaksa-paksa terus.
Demi mendengar bantahan ini, terlihat wajah Aditia merah-padam. Purbajaya menduga, pemuda angkuh ini amat tersinggung oleh penolakan Yaksa. Purbajaya tahu, di sepanjang jalan Aditia selalu menempatkan diri sebagai pemimpin. Kerjanya memerintah dan memberikan pengarahan kepada yang lainnya. Sekarang dia amat marah karena perintahnya dibantah keras oleh Yaksa. Dan sungguh mengagetkan, Yaksa yang membangkang secara tiba-tiba diserang oleh Aditia.
“Aditia, ada apa ini, ada apa ini?” Yaksa berteriak kaget sambil mundur.
Aditia tak memberinya kesempatan. Pemuda ini malah merebut kembali pedangnya yang tadi secara paksa digenggamkan ke tangan Yaksa.
“Engkau manusia dungu! Pembelot! Pengkhianat!” teriak Aditia gusar.
“He, kau memakiku demikian?” Yaksa mendelik.
“Karena engkau pengecut melebihi tikus! Kau pembelot seperti bangau. Dan kau pun dungu serta pemalas seperti buaya!”
“Setan!” teriak Yaksa semakin mendelik marah. ”Aku tahu, kau paksa aku bunuh Si Purba agar kelak dosanya kau timpakan kepadaku. Kau ingin bunuh Si Purba dengan pinjam tangan orang lain. Cih! Aku tak mau itu. Aku bahkan tak mau berteman dengan orang bodoh dan pecundang!”
Dimaki habis-habisan seperti ini, kemarahan Aditia sudah tak bisa ditahan lagi. Dan akhirnya dengan cara yang membabi-buta dia menyerang Yaksa dengan pedangnya. Gerakannya ganas dan tak memperlihatkan jurus-jurus halus yang pernah diajarkan Ki Dita. Tujuannya jelas untuk membunuh temannya sendiri.
“He, kau mau bunuh aku, ya? Mau bunuh aku, ya?” Yaksa berkelit ke sana ke mari.
Dan kalau ada kesempatan, dia balas menyerang dengan pukulan. Namun karena serangan Aditia begitu ganas, Yaksa pun akhirnya terpaksa mencabut pedangnya sendiri. Maka terjadilah pertarungan dua murid Ki Dita, hanya disaksikan Purbajaya yang duduk tak berdaya karena tali yang mengikatnya.
“Kau mau bunuh aku?” teriak lagi Yaksa sambil menangkis sabetan pedang sehingga bunga api berpijar karena dua logam baja saling berbenturan.
“Ya, akan kuhabisi nyawamu! Kau calon ksatria cengeng dan malas dan tak patut untuk bekerja di Sumedanglarang!” cerca Aditia masih sambil memainkan gerakan ganas.
“Kalau begitu, Wista pun kau yang bunuh. Bukankah kau yang kerapkali mengumpat dan mengejek Wista yang cengeng, manja dan bodoh? Ya, kau yang sebenarnya sebal kepada Wista. Kau takut Wista yang lulus uji karena ayahanda anak itu lebih banyak memberikan upah ketimbang ayahandamu yang kikir itu! Pasti kau yang bunuh Wista!” teriak Yaksa dan pedangnya mulai menyerang lawan.
Maka semakin marah pula Aditia karena caci-maki pedas ini. Dan daya serangannya kian ditambah. Aditia bahkan tidak berpikir untuk menangkis kecuali menyerang dan menyerang. Sehingga suatu saat dia berteriak kesakitan karena bahu kirinya tertusuk pedang Yaksa. Namun luka ini seperti tak dirasakan. Serangan Aditia semakin gencar. Dia mungkin marah dan terhina. Yaksa yang sebetulnya masih menderita luka, mengapa bisa mendahului serangan yang membuat dia luka, sementara serangan pedang yang dilancarkan dirinya belum berhasil menerobos masuk.
Namun ketika pertempuran berlangsung agak lama, ternyata tenaga Yaksa yang lebih dahulu terkuras habis. Bisa saja ini terjadi karena luka-luka Yaksa yang sebetulnya belum sembuh.
Kini Yaksa mulai terdesak hebat. Luka baru dari tusukan dan sabetan pedang Aditia membuat sekujur tubuh Yaksa banyak dipenuhi darah segar. Sementara itu, Yaksa sendiri sudah tak mampu balas menyerang. Jangankan untuk menyerang, bahkan hanya sekadar untuk menangkis saja dia sudah tak mampu. Kalau keadaan dibiarkan berlarut-larut begini, Yaksa lambat-laun akan lumat oleh cecaran pedang Aditia yang demikian ganasnya.
“Aditi, jangan bunuh teman sendiri!” teriak Purbajaya beberapa kali.
Namun mana Aditia mau mendengar. Hatinya barangkali sudah kerasukan setan dan hawa membunuh sudah lekat di napasnya. Suatu ketika kedudukan Yaksa amat membahayakan. Tubuhnya jatuh terjengkang dan tangan kanannya yang pegang pedang tertindih oleh pinggangnya.
Untuk menahan gerak laju pedang Aditia yang dibacokkan mengarah kepala, Yaksa hanya memiliki tangan kiri yang masih leluasa. Maka satu-satunya cara dalam menyelamatkan kepala, hanya dilakukan dengan jalan menangkis pedang oleh tangan kiri. Maka akibatnya sungguh fatal. Hanya dalam sekejap potongan tangan kiri Yaksa terlontar ketika terbabat kutung oleh gerakan ganas pedang Aditia. Yaksa melolong-lolong kesakitan. Namun Aditia masih terus mencecarnya.
Purbajaya marah melihat keadaan ini. Dia berusaha sekuat tenaga untuk melepas tali. Namun usaha ini sia-sia, padahal di hadapannya tengah berlangsung dua orang bodoh tengah berebut nyawa. Ketika serangan Aditia datang kembali dan pedangnya kali ini mengarah dada, Purbajaya kembali mencoba mengerahkan tenaga untuk memutuskan tali. Usaha ini hampir sia-sia ketika di belakangnya ada suara seseorang.
“Ayo larilah kalau kau mampu mencegah adegan ini!” kata suara itu. Dan bret-bret, tali yang mengikat Purbajaya putus di beberapa bagian.
Purbajaya tak sempat melihat siapa yang datang memutuskan tali sedemikian mudahnya. Yang dia pikirkan ketika itu hanyalah bagaimana caranya menggagalkan serangan tusukan Aditia agar nyawa Yaksa tertolong. Purbajaya menotolkan ujung jari kaki keras-keras, maka tubuhnya melesat bagaikan terbang mendekati dua orang yang tengah bertempur. Tusukan pedang Aditia hampir tiba di dada Yaksa. Purbajaya tak bisa menangkis pedang begitu saja, kecuali menendangnya keras-keras.
Pedang terlontar keras dan gagangnya menyambar jidat Aditia. Tuk! Gagang pedang itu tepat mengarah jidat. Saking kerasnya tenaga lontaran, tubuh Aditia pun terjengkang ke belakang. Punggungnya berdebuk jatuh di tanah dan Aditia telentang tak bisa bangun lagi.
Purbajaya terkejut. Dia memburu tubuh Aditia dan memeriksanya. Wajah Purbajaya pucat-pasi dan tubuhnya mendadak lemas ketika dilihatnya jidat Aditia retak dan ada lelehan darah keluar dari luka retak itu. Purbajaya pun memeriksa jantung Aditia. Ternyata benar sangkaannya, Aditia tewas.
Dengan perasaan tak keruan, Purbajaya beralih perhatiannya untuk memeriksa tubuh Yaksa. Pemuda ini belum mati namun nasibnya sudah amat mengkhawatirkan. Seluruh tubuh Yaksa bermandikan darah dan tangan kirinya kutung. Potongan tangan itu terpisah agak jauh dari tubuhnya. Yaksa mengerang menahan sakit yang hebat. Mengenaskan sekali.
“Yaksa… Yaksa…“
“Purba…” terdengar jawaban kendati agak lemah. Yaksa masih memiliki kesadarannya.
“Yaksa… aku telah bunuh Aditia.”
“Syukurlah… terima kasih…”
“Jangan begitu. Aku tak sengaja lakukan itu. Yang aku maksudkan hanya untuk menolongmu. Tak sangka gerakanku terlalu ganas sehingga menewaskannya…” Purbajaya panik.
“Terima kasih… Terima kasih….” suara Yaksa semakin lemah juga.
“Kau pun harus percaya, aku tak bunuh Wista!”
“Terim…ma… terr.. terima kasihhh….”
“Yaksa! Yaksa!” Purbajaya mengguncang-guncangkan tubuh pemuda itu namun Yaksa sudah diam tak bergerak.
“Sudahlah, dia sudah mati. Mari kita pergi!” terdengar lagi suara di belakang Purbajaya. Pemuda ini menengok ke belakang. Raden Yudakara!
Untuk sementara Purbajaya bengong. Dia terkejut sekali. Bagaimana tidak begitu. Korban berjatuhan. Dan ini semua untuk mengejar surat rahasia yang khabarnya berisi perihal keberadaan pemuda bangsawan aneh ini. Sekarang, Raden Yudakara malah berdiri di hadapannya. Mengapa pula pemuda ini secara tiba-tiba bisa berada di sini?
“Raden…” Purbajaya bergumam dengan nada dingin.
“Hahaha…! Engkau masih ingat aku. Ini hanya punya arti, kau masih memiliki kesetiaan tinggi padaku,” tutur pemuda tampan itu.
Purbajaya tidak mengomentari pujian ini sebab hatinya tak berketentuan. Panik, bingung dan marah, bergumul menjadi satu. Di sekitarnya, tiga mayat bergelimpangan. Semuanya mati sia-sia karena sebab-sebab yang tak tentu. Mula-mula Wista diketahui mati dan Purbajaya yang dituding pembunuhnya. Belakangan Aditia dan Yaksa malah jadi saling bunuh hanya karena mempertentangkan bagaimana caranya memperlakukan Purbajaya. Sekarang dua orang pemuda itu tewas mengenaskan. Salah seorang dari mereka malah mati oleh Purbajaya sendiri. Mengenaskan, sekaligus juga amat menyebalkan.
Kemarahan membuat orang tak bisa berpikir waras. Aditia dipenuhi kebencian sehingga semua orang jadi sasaran kemarahan tidak pula temannya sendiri. Purbajaya pun tak bisa mengendalikan pikirannya karena dipenuhi hawa amarah. Betapa dia membunuh orang padahal itu terjadi tanpa dipikirkan jauh sebelumnya. Purbajaya membunuh mungkin karena ada dendam terselubung. Betapa tidak, bukankah selama ini Aditia selalu merendahkan dan menghina Purbajaya? Mungkin pikirannya tak bermaksud membunuh namun nalurinya sudah demikian. Naluri keluar dari dasar pikiran yang terpendam dan tersembunyi dan bisa keluar begitu saja kalau hati serta kesadaran berkurang. Ya, itulah dendam dan akan menimbulkan sesal setelah kesadaran pulih kembali.
“Mari kita pergi dari sini!” kembali Raden Yudakara mengajaknya berangkat.
“Pergi? Ke mana…?”
“Pergi ke mana? Kewajibanmu hanyalah ikut aku dan bukan bertanya seperti itu,” kata pemuda bangsawan itu tandas.
Purbajaya bimbang. Betul, kewajibannya belum lepas sebab dulu dia ditugaskan untuk ikut Raden Yudakara. Tapi itu sudah setahun lalu. Dia kini malah sedang jadi “utusan” Karatuan Sumedanglarang. Tugasnya tentu amat bertolak belakang dengan keinginan Raden Yudakara. Bukankah tugas yang diberikan Ki Bagus Sura kepadanya adalah menyelamatkan surat daun lontar yang isinya mengabarkan perihal pemuda ini?
“Kalau kau tak ikut aku, maka kau akan jadi buruan pasukan Sumedanglarang!” kata Raden Yudakara.
“Mengapa begitu?”
“Bukankah engkau telah membunuh salah seorang dari mereka? Barusan bahkan aku dengar, kau dituding membunuh yang satunya lagi. Siapa yang akan buktikan kalau kau tak bersalah dalam hal ini?” tanya Raden Yudakara.
Purbajaya diam membisu. Ucapan Raden Yudakara masuk akal dan amat merisaukan Purbajaya.
“Lantas apa bedanya bila saya ikut engkau, Raden?” tanyanya kemudian.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment