“Jelas ada bedanya. Dari peristiwa apa pun yang sekiranya bisa mencoreng namamu, aku bisa melindunginya. Bukankah kau tak pernah lupa kalau kau mencelakakan para pembantu dekat Pangeran Arya Damar di puncak Cakrabuana hampir setahun lalu? Kau tak bisa pulang ke Carbon tanpaku sebab di sana kau pasti dihadang berita kalau kau jadi pengkhianat dan melawan pasukanmu sendiri,” kata lagi Raden Yudakara.
Purbajaya mengeluh. Peristiwa di puncak Cakrabuana telah amat merugikannya sebab dia bertikai dengan empat perwira bawahan Pangeran Arya Damar. Kini dia sadar kalau dirinya ditekan Raden Yudakara. Artinya, apa pun terjadi, Purbajaya musti ikut lagi pemuda aneh ini kalau dirinya tak mau ditekan seperti itu.
“Saya musti menguburkan ketiga jasad ini dulu…” kata Purbajaya.
Dan tanpa meminta persetujuan, Purbajaya menggali kuburan bagi tiga jasad teman-teman seperjalanannya. Hampir setengah hari waktu dihabiskan untuk mengerjakan ini.
“Mari…” ajak lagi Raden Yudakara setelah Purbajaya selesai mengubur jasad.
Dengan tubuh lesu Purbajaya terpaksa ikut pemuda bangsawan itu. Di sepanjang perjalanan Purbajaya diam seribu-bahasa. Beberapa hari lamanya mereka melakukan perjalanan entah ke mana. Purbajaya tak mau tanya dan sebaliknya Raden Yudakara tak cerita.
Namun yang lebih aneh dari itu, pemuda bangsawan ini secuil pun tidak bertanya perihal apa yang dilakukan Purbajaya selama ini. Tentu terasa aneh, padahal mereka berpisah lebih dari sepuluh bulan lamanya. Kalau Raden Yudakara mengatakan Purbajaya masih diakui sebagai bawahannya, sudah barang tentu pemuda ini musti menegur atau bertanya ke mana saja Purbajaya selama ini.
Aneh juga, Raden Yudakara tak bertanya mengapa Purbajaya ditemukan dalam keadaan terikat. Raden Yudakara pun tak bertanya, apa hubungannya antara Purbajaya dan ketiga orang pemuda yang tewas itu. Kalau tak bertanya ada dua kemungkinan. Pertama dia tak merasa tertarik. Dan yang kedua dia sudah tahu. Sudah tahu? Dari mana Raden Yudakara tahu perjalanan Purbajaya selama ini? Apakah memang dia menguntit terus? Purbajaya tak sanggup berpikir lagi.
Ya, ini jadi teka-teki hati Purbajaya. Apalagi Raden Yudakara selama di perjalanan tak berbicara hal-hal yang penting. Sampai pada suatu saat dia dikejutkan oleh suara orang bertempur.
“Ada pertempuran…” kata Raden Yudakara menahan langkah.
Purbajaya pun sama menahan langkah.
“Mari kita lihat mereka!” Raden Yukadara meloncat lebih dahulu. Lari-lari kecil ke arah di mana suara pertempuran berada.
Dan Purbajaya memuji, kepandaian Raden Yudakara telah benar-benar hebat. Dia bisa berlari sambil mendengarkan suara senjata beradu yang sebetulnya amat terdengar sayup-sayup saja. Bagi pendengaran orang biasa suara sekecil ini tidak akan tertangkap telinga.
Sampai pada suatu saat, di depannya terlihat orang bertempur. Pertempuran berlangsung di sebuah dataran agak rendah, sementara dia berdua mengintai dari tanah yang tinggi, agak tersembunyi karena banyak pepohonan. Purbajaya mengintip dari sela-sela dahan dan dia terkejut. Ternyata yang bertempur adalah Ki Sudireja, tengah dikeroyok anggota pasukan siluman.
Purbajaya hampir saja ikut terjun untuk membantu Ki Sudireja kalau saja tak ingat ada Raden Yudakara di sampingnya. Kalau dia ikut membantu Ki Sudireja tentu akan amat mengherankan Raden Yudakara. Setidaknya, pemuda itu akan bertanya mengapa melawan pasukan siluman. Tapi kalau dia membiarkan Ki Sudireja dikeroyok, dia khawatir orang itu akan celaka. Sepintas dia saksikan, Ki Sudireja didesak hebat dan tak punya kesempatan untuk meloloskan diri. Dan semakin pertempuran berlangsung, semakin payah keadaan Ki Sudireja. Mungkin hanya tinggal menunggu waktu saja, kapan Ki Sudireja akan ambruk.
Untuk ke sekian kalinya, kengerian akan melanda hati Purbajaya. Barangkali sebentar lagi akan terjadi pembunuhan baru. Memang bukan dia yang melakukan. Tapi ini pun sama saja sebab dia sepertinya akan membiarkan pembunuhan terjadi.
Tapi sesuatu yang tak dia duga malah terjadi. Raden Yudakara serta-merta melontarkan beberapa butir kerikil dengan pengerahan tenaga dalam yang hebat. Batu-batu kecil itu telak menghantam tiga anggota pasukan siluman yang hendak menusukkan senjata mereka, sementara tubuh Ki Sudireja tak berdaya dalam keadaan telentang. Ketika butir-butir kerikil itu mengenai sasaran, ketiga orang anggota pasukan siluman menjerit ngeri dan langsung meloso di tanah. Mendapatkan kesempatan yang baik ini, walau pun terlihat wajahnya keheranan namun Ki Sudireja segera meloncat pergi dari tempat itu. Yang aneh, anggota pasukan siluman tidak mengejar Ki Sudireja, melainkan berdiri terpaku. Sesudah itu anggota pasukan pun menghilang dari tempat itu.
“Mari kita lanjutkan perjalanan…” ajak Raden Yudakara seperti tak pernah terjadi apa-apa.
“Ada tiga orang terluka, bagaimana?”
“Ah biarkan saja…” jawab Raden Yudakara pendek seraya berjingkat pergi.
Mereka terus berjalan dan Raden Yudakara tak membicarakan peristiwa itu. Tentu, ini pun sebuah keanehan bagi Purbajaya. Mengapa pemuda itu menolong Ki Sudireja? Apakah dia sudah mengenal orang tua setengah baya itu? Purbajaya memang tak mau bertanya perihal ini. Namun kendati begitu, hatinya tetap bertekad akan menyelidiki semua keganjilan ini.
Belakangan Purbajaya bisa mengambil kesimpulan kendati masih samar, bahwa Raden Yudakara sepertinya tengah mengikuti anggota pasukan siluman. Bisa dibuktikan, di mana ada kejadian yang melibatkan anggota pasukan siluman, Raden Yudakara dan Purbajaya bisa memergokinya. Hanya saja bila pasukan siluman terlihat mengganggu para saudagar dan merebut hartanya, Raden Yudakara tak mau ambil pusing. Dan selama ini, pemuda itu hanya bersikap mengawasi saja apa yang dilakukan anggota pasukan siluman tanpa mau mengganggunya.
Tentu saja tindak-tanduk seperti ini pun diperhatikan oleh Purbajaya. Raden Yudakara yang memilah-milah permasalahan yang menyangkut tindak-tanduk anggota pasukan siluman jadi perhatian khusus pula.
Purbajaya ingat perkataan Ki Bagus Sura bahwa isi surat daun lontar ada berbicara mengenai keberadaan Raden Yudakara. Dan bila Ki Bagus Sura demikian tak senangnya kepada Raden Yudakara, hanya menandakan bahwa isi surat bukan mengenai hal-hal baik mengenai pemuda misterius ini.
Tidakkah Raden Yudakara tahu bahwa anggota pasukan memegang surat yang merugikan dirinya? Dari mana pula dia bisa tahu perihal ini? Dan apa pula keinginan anggota pasukan siluman sehingga susah-payah mempertahankan surat daun lontar yang sedianya musti dikirimkan ke penguasa Talaga? Purbajaya tak bisa menebak teka-teki ini.
“Bila begitu halnya, aku harus tetap ikut pemuda ini…” katanya di dalam hati.
Purbajaya mengeluh. Peristiwa di puncak Cakrabuana telah amat merugikannya sebab dia bertikai dengan empat perwira bawahan Pangeran Arya Damar. Kini dia sadar kalau dirinya ditekan Raden Yudakara. Artinya, apa pun terjadi, Purbajaya musti ikut lagi pemuda aneh ini kalau dirinya tak mau ditekan seperti itu.
“Saya musti menguburkan ketiga jasad ini dulu…” kata Purbajaya.
Dan tanpa meminta persetujuan, Purbajaya menggali kuburan bagi tiga jasad teman-teman seperjalanannya. Hampir setengah hari waktu dihabiskan untuk mengerjakan ini.
“Mari…” ajak lagi Raden Yudakara setelah Purbajaya selesai mengubur jasad.
Dengan tubuh lesu Purbajaya terpaksa ikut pemuda bangsawan itu. Di sepanjang perjalanan Purbajaya diam seribu-bahasa. Beberapa hari lamanya mereka melakukan perjalanan entah ke mana. Purbajaya tak mau tanya dan sebaliknya Raden Yudakara tak cerita.
Namun yang lebih aneh dari itu, pemuda bangsawan ini secuil pun tidak bertanya perihal apa yang dilakukan Purbajaya selama ini. Tentu terasa aneh, padahal mereka berpisah lebih dari sepuluh bulan lamanya. Kalau Raden Yudakara mengatakan Purbajaya masih diakui sebagai bawahannya, sudah barang tentu pemuda ini musti menegur atau bertanya ke mana saja Purbajaya selama ini.
Aneh juga, Raden Yudakara tak bertanya mengapa Purbajaya ditemukan dalam keadaan terikat. Raden Yudakara pun tak bertanya, apa hubungannya antara Purbajaya dan ketiga orang pemuda yang tewas itu. Kalau tak bertanya ada dua kemungkinan. Pertama dia tak merasa tertarik. Dan yang kedua dia sudah tahu. Sudah tahu? Dari mana Raden Yudakara tahu perjalanan Purbajaya selama ini? Apakah memang dia menguntit terus? Purbajaya tak sanggup berpikir lagi.
Ya, ini jadi teka-teki hati Purbajaya. Apalagi Raden Yudakara selama di perjalanan tak berbicara hal-hal yang penting. Sampai pada suatu saat dia dikejutkan oleh suara orang bertempur.
“Ada pertempuran…” kata Raden Yudakara menahan langkah.
Purbajaya pun sama menahan langkah.
“Mari kita lihat mereka!” Raden Yukadara meloncat lebih dahulu. Lari-lari kecil ke arah di mana suara pertempuran berada.
Dan Purbajaya memuji, kepandaian Raden Yudakara telah benar-benar hebat. Dia bisa berlari sambil mendengarkan suara senjata beradu yang sebetulnya amat terdengar sayup-sayup saja. Bagi pendengaran orang biasa suara sekecil ini tidak akan tertangkap telinga.
Sampai pada suatu saat, di depannya terlihat orang bertempur. Pertempuran berlangsung di sebuah dataran agak rendah, sementara dia berdua mengintai dari tanah yang tinggi, agak tersembunyi karena banyak pepohonan. Purbajaya mengintip dari sela-sela dahan dan dia terkejut. Ternyata yang bertempur adalah Ki Sudireja, tengah dikeroyok anggota pasukan siluman.
Purbajaya hampir saja ikut terjun untuk membantu Ki Sudireja kalau saja tak ingat ada Raden Yudakara di sampingnya. Kalau dia ikut membantu Ki Sudireja tentu akan amat mengherankan Raden Yudakara. Setidaknya, pemuda itu akan bertanya mengapa melawan pasukan siluman. Tapi kalau dia membiarkan Ki Sudireja dikeroyok, dia khawatir orang itu akan celaka. Sepintas dia saksikan, Ki Sudireja didesak hebat dan tak punya kesempatan untuk meloloskan diri. Dan semakin pertempuran berlangsung, semakin payah keadaan Ki Sudireja. Mungkin hanya tinggal menunggu waktu saja, kapan Ki Sudireja akan ambruk.
Untuk ke sekian kalinya, kengerian akan melanda hati Purbajaya. Barangkali sebentar lagi akan terjadi pembunuhan baru. Memang bukan dia yang melakukan. Tapi ini pun sama saja sebab dia sepertinya akan membiarkan pembunuhan terjadi.
Tapi sesuatu yang tak dia duga malah terjadi. Raden Yudakara serta-merta melontarkan beberapa butir kerikil dengan pengerahan tenaga dalam yang hebat. Batu-batu kecil itu telak menghantam tiga anggota pasukan siluman yang hendak menusukkan senjata mereka, sementara tubuh Ki Sudireja tak berdaya dalam keadaan telentang. Ketika butir-butir kerikil itu mengenai sasaran, ketiga orang anggota pasukan siluman menjerit ngeri dan langsung meloso di tanah. Mendapatkan kesempatan yang baik ini, walau pun terlihat wajahnya keheranan namun Ki Sudireja segera meloncat pergi dari tempat itu. Yang aneh, anggota pasukan siluman tidak mengejar Ki Sudireja, melainkan berdiri terpaku. Sesudah itu anggota pasukan pun menghilang dari tempat itu.
“Mari kita lanjutkan perjalanan…” ajak Raden Yudakara seperti tak pernah terjadi apa-apa.
“Ada tiga orang terluka, bagaimana?”
“Ah biarkan saja…” jawab Raden Yudakara pendek seraya berjingkat pergi.
Mereka terus berjalan dan Raden Yudakara tak membicarakan peristiwa itu. Tentu, ini pun sebuah keanehan bagi Purbajaya. Mengapa pemuda itu menolong Ki Sudireja? Apakah dia sudah mengenal orang tua setengah baya itu? Purbajaya memang tak mau bertanya perihal ini. Namun kendati begitu, hatinya tetap bertekad akan menyelidiki semua keganjilan ini.
Belakangan Purbajaya bisa mengambil kesimpulan kendati masih samar, bahwa Raden Yudakara sepertinya tengah mengikuti anggota pasukan siluman. Bisa dibuktikan, di mana ada kejadian yang melibatkan anggota pasukan siluman, Raden Yudakara dan Purbajaya bisa memergokinya. Hanya saja bila pasukan siluman terlihat mengganggu para saudagar dan merebut hartanya, Raden Yudakara tak mau ambil pusing. Dan selama ini, pemuda itu hanya bersikap mengawasi saja apa yang dilakukan anggota pasukan siluman tanpa mau mengganggunya.
Tentu saja tindak-tanduk seperti ini pun diperhatikan oleh Purbajaya. Raden Yudakara yang memilah-milah permasalahan yang menyangkut tindak-tanduk anggota pasukan siluman jadi perhatian khusus pula.
Purbajaya ingat perkataan Ki Bagus Sura bahwa isi surat daun lontar ada berbicara mengenai keberadaan Raden Yudakara. Dan bila Ki Bagus Sura demikian tak senangnya kepada Raden Yudakara, hanya menandakan bahwa isi surat bukan mengenai hal-hal baik mengenai pemuda misterius ini.
Tidakkah Raden Yudakara tahu bahwa anggota pasukan memegang surat yang merugikan dirinya? Dari mana pula dia bisa tahu perihal ini? Dan apa pula keinginan anggota pasukan siluman sehingga susah-payah mempertahankan surat daun lontar yang sedianya musti dikirimkan ke penguasa Talaga? Purbajaya tak bisa menebak teka-teki ini.
“Bila begitu halnya, aku harus tetap ikut pemuda ini…” katanya di dalam hati.
Ya, bila dia terus ikut Raden Yudakara, maka diharapkan sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Dengan mengikuti pemuda ini, Purbajaya bisa terus menyelidiki, apa yang sebenarnya tengah dilakukan Raden Yudakara. Bahkan dengan mengikuti Raden Yudakara, Purbajaya pun bisa menguak tabir yang menyelimuti keberadaan Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih. Dia bisa mendompleng kepentingan ini kepada usaha Raden Yudakara yang terus-terusan menguntit anggota pasukan tersebut. Dengan demikian, Purbajaya diharap bisa menjalankan apa yang diamanatkan Ki Bagus Sura.
Hanya saja yang membuat Purbajaya sedih adalah keinginan orang tua itu agar dia mau merawat dan melindungi putrinya, Nyimas Yuning Purnama. Purbajaya amat menyesal kalau dirinya tak akan sanggup melaksanakan amanat yang satu ini. Ini karena Purbajaya akan terus-terusan ikut Raden Yudakara dan akan memakan waktu tak terbatas. Entah bisa selesai entah tidak. Raden Yudakara tetap menganggap bahwa Purbajaya adalah petugas yang tengah berupaya menyelusup ke wilayah Pajajaran.
Dan alasan yang tak kalah rumitnya, Purbajaya tetap “ingin” berjanji kalau antara dia dan gadis itu “sepakat” untuk tidak saling mencinta seperti apa yang dipercakapkan ketika hanya berduaan saja. Sementara ketika gadis itu bicara lain dan amat kebalikan dengan ketika berbicara di hadapan umum, Purbajaya akan tetap menganggap itu ucapan bohong belaka karena hendak menolong keadaan dari tekanan fitnah Aditia. Tapi bagaimana dengan ucapan yang ketiga yang sepertinya Nyimas Yuning jadi mandah menerima perjodohan ini?
Ah, ini hanya ucapan seorang anak yang tak mau menolak keinginan orang tua saja. Dan kalau pun Nyimas Yuning menerima perjodohan ini, hal ini bukan untuk dirinya tapi untuk orangtuanya semata. Dan kalau benar begitu, maka jelas Purbajaya tak mau. Bukan begitu caranya seorang pria dan wanita menempuh perjalanan sebagai suami-istri. Tapi benar pulakah gadis itu tak mencintai Purbajaya?
Ada sepasang mata jernih tapi dengan sorot yang amat sayu. Hati dan perasaan Purbajaya terguncang dan ada getar berahi meresap ke dadanya. Namun aneh, manakala getaran itu ditelusuri, getaran tak diakuinya sebagai getaran.
Nyimas Yuning Purnama bisa jadi benar tak sepenuhnya mencintai Purbajaya. Tapi bagaimana dengan dirinya sendiri? Apakah Purbajaya merasakan kalau dia mencintai gadis itu? Ah, aku pun harus “sama” mengaku kalau aku pun “tidak” mencintainya, pikir Purbajaya. Aku takut dengan yang namanya cinta sebab cinta selalu membawa nestapa, katanya di dalam hatinya.
Ya, betapa menyakitkan cinta itu. Aditia tersiksa batinnya sebab selama dia melihat Purbajaya berduaan dengan Nyimas Yuning rasa bencinya bergolak memecah dadanya. Betapa tidak nyaman perasaan hati Raden Ranggasena. Setiap saat dia harus berseteru dengan Purbajaya karena selalu kalah bertarung dalam memperebutkan perhatian Nyimas Waningyun. Lantas, Purbajaya sendiri pun memendam kesedihan yang dalam ketika perasaan cintanya kepada Nyimas Waningyun begitu saja dirampas oleh Raden Yudakara.
Sungguh tak berperasaan hati pemuda bangsawan itu. Purbajaya mengeluh dan meminta tolong kepadanya, agar ikut mememikirkan perasaan cintanya kepada Nyimas Waningyun. Namun yang terjadi belakangan, malah Raden Yudakara sendiri yang mempersunting gadis itu.
Betapa sakitnya punya kekasih direbut orang. Betapa sakitnya. Oh, betapa sakitnya! Jadi amat beralasan bila Aditia membenci Purbajaya habis-habisan. Sungguh bisa dimengerti bila Raden Ranggasena dari Carbon begitu memusuhinya. Sementara Purbajaya sendiri, tidak ingin punya musuh dan tidak ingin memiliki dendam hanya karena urusan cinta-kasih. Itulah sebabnya, sesedih apa pun karena cinta, Purbajaya tak mau terikat oleh yang namanya cinta.
Ketika suatu malam sebelum berangkat tugas, baik di Carbon mau pun di Sumedanglarang, Purbajaya selalu dilepas oleh tatapan mata indah seorang gadis. Baik Nyimas Waningyun mau pun Nyimas Yuning Purnama, keduanya sama-sama melepas Purbajaya dengan menyembunyikan sebuah perasaan berat bernama cinta. Namun Purbajaya mencoba menulikan telinga dan membutakan mata, agar langkahnya tidak terhambat dan agar wajahnya tak berpaling ke belakang untuk menguak kenangan.
Segala masalah dilewatkan begitu saja, hanya menghasilkan hilangnya dendam dan benci di hati. Itulah sebabnya, Purbajaya sanggup mengikuti ke mana Raden Yudakara pergi. Tanpa perasaan dendam di hati, maka penyelidikan bisa berjalan dengan lancar. Paling tidak, Purbajaya bisa mencari kebenaran tanpa memperhitungkan kepentingan pribadi.
Itu pula sebabnya, berhari-hari Purbajaya bersama Raden Yudakara, tidak secuil pun dia bertanya perihal Nyimas Waningyun. Dia tak ingin tahu, mengapa pemuda bangsawan yang “dititipi amanat” malah memakan isi kebun yang musti dijaganya. Purbajaya tak bertanya sebab kalau bertanya hanya akan menguak luka lama saja. Satu-satunya kepentingan Purbajaya mengikuti Raden Yudakara, hanyalah untuk menyelidiki misteri yang menyelimuti pemuda bangsawan itu.
ADA satu masalah lagi yang jadi teka-teki hati Purbajaya. Kematian pemuda Wista membuat hatinya penasaran. Ketika jasad pemuda itu mau dia kuburkan, di leher mayat Wista terdapat luka memar. Ini hanya menandakan, pemuda itu tewas karena dibunuh orang. Ada orang membunuh Wista dengan sebuah pukulan telak di leher. Siapa yang membunuh pemuda itu?
Aditia memang menuduh Purbajaya yang bunuh Wista hanya karena alasan dialah yang tidurnya dekat dengan Wista. Namun Purbajaya pun bisa menuduh kalau Aditialah yang bunuh Wista dan tanggung-jawabnya ditimpakan kepada Purbajaya. Purbajaya bergidik sendiri kalau dugaannya sampai sejauh itu. Benarkah Aditia yang bunuh Wista?
Hal ini memang amat memungkinkan. Aditia mungkin marah kepada Wista yang mulai akrab dengan Purbajaya, padahal Aditia punya keinginan semua teman-temannya memusuhi Purbajaya. Bisa saja kebencian Aditia kepada Wista semakin berlipat setelah Wista kerapkali menyalahkan tindakan Aditia yang dianggapnya ceroboh dan sebaliknya jadi memuji-muji Purbajaya karena Wista banyak menerima bantuan.
Menurut perkiraan Purbajaya, Aditia punya orang yang bisa dikambing-hitamkan dalam upaya melenyapkan nyawa Wista, yaitu dirinya. Waktu itu Wista banyak mengomel kepada Purbajaya dan kemudian Purbajaya balik membalas dengan omelan pula karena Wista manja dan cengeng. Maka “pertengkaran” ini digunakan Aditia sebagai peluang dalam membunuh Wista sebab kelak yang akan dituduhnya adalah Purbajaya. Oleh sebab itu, siang harinya setelah Wista mati, Purbajaya langsung dituduh sebagai pembunuh Wista.
Akan halnya Yaksa yang akhirnya dibunuh Aditia, mungkin pemuda ini pun akhirnya jadi sasaran kemarahan Aditia karena ragu-ragu dan bimbang saat diperintah untuk balik membunuh Purbajaya. Apalagi kemarahan Aditia semakin memuncak ketika Yaksa malah balik menuding kalau Aditia mungkin pembunuh sebenarnya. Aditia marah merasa dikhianati oleh kedua orang temannya, padahal menurut hemat dia, kedua orang temannya musti bantu dia dalam membenci Purbajaya habis-habisan.
Kalau benar Aditia membunuh dua temannya, maka jelaslah sudah, alasan utamanya adalah kecewa karena sikap dua temannya yang plin-plan dalam memusuhi Purbajaya. Baik Wista mau pun Yaksa dianggapnya sudah tak mendukung lagi dan ini amat tak disukai Aditia.
Namun benar atau tidak sangkaan ini, yang jelas, peristiwa ini telah menyeret Purbajaya ke jurang kesulitan. Bagaimana tak begitu, secara tak sengaja dia telah terlibat pembunuhan. Aditia telah terbunuh hanya karena Purbajaya tak bisa menahan emosi. Bagaimana kelak dia musti mempertanggung-jawabkan perkara ini kepada Ki Dita, kepada Ki Bagus Sura, bahkan kepada penguasa Sumedanglarang? Semuanya akan menuntut dia dan mungkin akan menghukumnya.
Purbajaya jadi susah untuk menemui mereka sebab Purbajaya tak punya apa yang musti jadi bahan yang bisa menjelaskannya. Ki Dita pasti akan marah besar dan akan mudah saja menuding kalau ketiga muridnya dia yang bunuh sebab selama ini antara ketiga orang muridnya dengan Purbajaya tidak punya kecocokan. Ki Bagus Sura memang benar tak menyukai ketiga orang murid Ki Dita. Namun dalam menghadapi urusan ini, orang tua itu akan menderita kesulitan dalam membela Purbajaya. Barangkali dia pun akan ikut terseret oleh masalah ini mengingat antara Ki Bagus Sura dengan para orangtua ketiga orang muda itu tidak pernah akur pula.
Hubungan Ki Bagus Sura dengan ketiga orangtua anak muda yang tewas itu akan semakin memburuk jua. Jelas, urusan ini akan membuat posisi Ki Bagus Sura menjadi terganggu.
Buruk, memang buruk. Dan ini terjadi hanya karena Purbajaya tak bisa menahan diri. Memang benar kata Paman Jayaratu, orang cepat marah hanya akan merugikan dunia. Ah… Kalau saja aku tak bunuh Aditia, keluhnya.
Tidak! Aku tak bunuh dia, bantah hatinya lagi. Paling tidak, aku tak bermaksud membunuhnya. Yang membuat dia terbunuh karena keberingasannya saja, bantah hati Purbajaya lagi. Ya, sebab kalau pun dia tak bunuh Aditia, urusan belum tentu beres. Aditia akan tetap bertahan pada fitnahnya dan akan tetap menuduh Purbajaya sebagai pembunuh Wista. Mungkin kematian Yaksa pun akan ditimpakan kepadanya dengan alasan bahwa cekcoknya Yaksa dengan Aditia karena memperkarakan Purbajaya.
“Ah… Aku tak bisa kembali ke Sumedanglarang…” keluh Purbajaya.
Dan ingat Sumedanglarang jadi ingat Nyimas Yuning Purnama. Hatinya kembali menjadi sedih. Sudah semakin jelas kini kalau dirinya tak mungkin bertemu lagi dengan gadis bermata sayu itu. Atau paling tidak, dia sudah tak mungkin bisa melaksanakan apa yang jadi harapan Ki Bagus Sura agar Purbajaya mau merawat dan melindungi kehidupan gadis itu.
“Aku tak bisa berbuat apa-apa…” keluhnya lagi berkali-kali.
Yang bisa dia lakukan kini hanyalah ikut ke mana Raden Yudakara pergi. Mungkin ini menyebalkan sebab harus selalu berdekatan dengan orang yang tidak dia sukai. Mungkin ini membuatnya muak sebab harus selalu bersama-sama dengan orang yang selamanya harus dia curigai.
Terus-terusan mencurigai seseorang bagi Purbajaya merupakan sebuah siksaan. Namun suka atau tidak suka, pemuda pesolek yang romantis atau bahkan gila perempuan ini harus terus dikuntit. Pertama karena pertalian amanat Ki Bagus Sura agar terus menyelidiki Raden Yudakara kalau surat daun lontar milik negara tidak bisa diselamatkan dan kedua karena memang Purbajaya kini di bawah tekanan pemuda ini. Ya, halus atau tidak ucapan Raden Yudakara, maksudnya tetap satu, bahwa pemuda itu mengisyaratkan agar Purbajaya ikut dia. Perbuatan Purbajaya yang membunuh Aditia secara tak sengaja, dijadikannya sebuah tekanan agar Purbajaya tetap berada di samping Raden Yudakara.
Purbajaya tak tahu, mengapa pemuda aneh itu tidak mau melepaskannya. Apa yang diharapkan Raden Yudakara darinya? Padahal dia tahu, berdekatan satu sama lain tidak saling cocok. Raden Yudakara selalu banyak bicara, sementara Purbajaya tidak. Raden Yudakara semberono dan gila wanita, sedang Purbajaya selalu bertindak hati-hati dalam hal apa pun, termasuk urusan cinta.
Sama sekali tidak ada kecocokan. Tapi mengapa Raden Yudakara selalu ingin dekat dengannya? Mungkinkah benar pemuda bangsawan ini membutuhkan tenaga Purbajaya untuk melakukan penyusupan ke Pajajaran dengan mengandalkan keakhlian dirinya sebagai puhawang (akhli kelautan) atau hanya karena ada tekanan dari pihak luar agar Raden Yudakara “menjaga” Purbajaya?
Purbajaya ingat, Pangeran Arya Damar pun sama seperti begitu “memerlukan”nya dan dia harus ikut misi penyusupan ke Pajajaran. Benar-benarkah amat diperlukannya, sementara Paman Jayaratu sendiri menekankan agar misi yang dianggap gila ini dibatalkan saja?
Segalanya masih misteri baginya. Namun justru agar misteri ini bisa terungkap, maka Purbajaya mau tak mau musti ikut ke mana Raden Yudakara pergi. Dengan perkataan lain, biarkan dirinya dimanfaatkan oleh pemuda aneh ini sehingga dia bisa tahu, misi apa yang sebenarnya tengah mereka lakukan. Satu misteri telah bisa ditelusuri sekali pun masih samar-samar. Raden Yudakara ternyata selalu menguntit ke mana pasukan siluman bergerak.
Melihat hal ini, Purbajaya mencoba menarik kesimpulan. Pertama, pemuda itu berusaha menguntit jejak pasukan siluman karena sama merasa penasaran kepada kemisteriusan pasukan itu. Dan kesimpulan yang kedua, Raden Yudakara pun sama menginginkan surat daun lontar itu. Bila kesimpulan kedua yang benar, maka bisa dipastikan, Raden Yudakara sudah tahu kalau surat daun lontar itu isinya membahayakan kedudukannya.
Tentu saja bila dilihat sepintas, baik Purbajaya mau pun Raden Yudakara sepertinya punya keinginan yang sama yaitu ingin merebut surat daun lontar yang kini dikuasai oleh Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih. Namun motif dari keduanya tentu jauh berbeda. Purbajaya ingin surat daun lontar yang dikirimkan Kangjeng Pangeran Santri dari Sumedanglarang harus sampai ke tangan Kangjeng Sunan Parung di Karatuan Talaga. Sementara Raden Yudakara malah punya tujuan sebaliknya. Surat daun lontar tidak boleh sampai. Ini hanya perkiraan-perkiraan semata sebab hal sebenarnya belum diketahui persis dan baru bisa diketahui bila Purbajaya terus mengikuti dan meneliti tindak-tanduk pemuda aneh ini.
Yang jelas, baik Purbajaya mau pun Raden Yudakara sekarang ini sama-sama tengah menguntit pasukan siluman secara diam-diam tapi kalau surat daun lontar lepas dari genggaman pasukan misterius itu, maka giliran Purbajaya dan Raden Yudakaralah yang bersaing memperebutkannya.
PERJALANAN kedua orang itu akhirnya tiba di persimpangan jalan pedati. Jalan yang lurus ke selatan akan mengarah ke Gunung Cakrabuana dan yang ke timur akan menuju Karatuan Talaga.
Purbajaya jadi terkenang kepada peristiwa sepuluh bulan atau setahun yang silam. Waktu itu pun Purbajaya melakukan perjalanan menuju kaki Gunung Cakrabuana. Bedanya, dulu lewat timur melalui Karatuan Rajagaluh sementara sekarang datang dari sebelah utara. Dulu berangkat dari Carbon, sekarang datang dari wilayah Ciguling (ibu kota Karatuan Sumedanglarang).
Purbajaya pun jadi terkenang akan gurunya. Ingin sekali dia naik ke puncak dan menemui Paman Jayaratu. Barangkali Purbajaya akan memaksa agar dirinya diterima orang tua itu dan tetap tinggal bersamanya hingga akhir hayat. Kalau ingat ini, Purbajaya merasa kalau Paman Jayaratu bertindak tak adil. Dengan alasan masih muda, Purbajaya diperintahkan melakukan pengembaraan agar banyak menerima pahit-getirnya pengalaman hidup, sementara Paman Jayaratu yang sudah tua tinggal menyepi di tempat sunyi dan mengasingkan diri dari kemelut dunia.
Ya, ini tak adil. Mengapa orang tua boleh menjauhkan diri dari kemelut sementara dirinya yang masih muda malah “sengaja” disuruh mendekatkan diri kepada berbagai permasalahan dunia? Apakah anak muda tidak sah menjadi manusia kalau belum merasakan pahit-getirnya kehidupan? Purbajaya ingin bahagia, tetapi mengapa harus melalui kepahitan dulu?
Padahal yang dimaksud kebahagiaan oleh Purbajaya tidak banyak. Dia tak ingin jadi orang terkenal, tak ingin jabatan atau pun kekayaan. Yang dia inginkan adalah hidup yang tentram. Dan ketentraman baginya adalah bila bisa menjauhkan diri dari berbagai permasalahan dunia, menjauhkan diri dari perbedaan pendapat dan menjauhkan diri dari persaingan hidup. Selama bersama Paman Jayaratu di wilayah Carbon, hal itu sudah pernah dirasakan. Purbajaya tak pernah punya masalah sebab Paman Jayaratu tidak pernah memberinya masalah.
Masalah mulai hadir ke hadapannya setelah dia banyak berjumpa dengan orang lain yang punya kehendak lain dan pandangan hidup berbeda. Maka di sanalah kemelut terjadi dan di sanalah ketentraman hidupnya terganggu. Jadi menurutnya, Paman Jayaratu kejam karena telah menjauhkan dirinya sehingga Purbajaya terlontar ke kehidupan ramai yang begitu banyak ragamnya dan amat memusingkannya.
Menurut kata hatinya, pendapat Paman Jayaratu itu salah. Orang tua itu mengatakan bahwa nilai kehidupan yang sempurna adalah bila memiliki wawasan dan pengalaman yang luas. Itu salah. Menurut Purbajaya, pengetahuan dan pengalaman hanya menambah kesulitan belaka. Karena punya pengetahuan jadi punya keinginan. Dan karena punya pengalaman jadi punya penderitaan. Padahal selama bersama Paman Jayaratu, dia tak punya keinginan. O, Paman Jayaratu lupa, hanya karena manusia punya keinginan maka akan berhadapan dengan kesulitan dan penderitaan.
Sekarang, mengunjungi Paman Jayaratu rasanya mustahil. Raden Yudakara tidak akan mengajaknya ke puncak. Bagi pemuda bangsawan itu, puncak Cakrabuana baginya adalah mimpi buruk. Betapa tidak, dia yang bertugas memerangi Ki Darma malah sembunyi manakala terjadi pertempuran antara pasukan Carbon dan pasukan Pajajaran. Betapa memalukan ini. Dan agar serasa tak diingatkan kepada peristiwa ini, maka bisa ditebak kalau pemuda bangsawan ini tidak berniat singgah di Cakrabuana.
Nama Paman Jayaratu dan Ki Darma bagi Raden Yudakara bukanlah nama yang boleh diakrabi. Pemuda itu tak akan cocok untuk bergaul dengan kedua orang tua bijaksana itu. Lagi pula, tujuan Raden Yudakara adalah menguntit ke mana pasukan siluman bergerak. Kalau yang dikuntitnya menuju wilayah Cakrabuana, barangkali baru dia mau. Dan kenyataannya, yang dikuntit tidak menuju ke wilayah gunung, melainkan lurus ke timur, sepertinya mau menuju ke Bantarujeg atau ke Talaga. Tapi benarkah mereka mau menuju ke sana?
Entah ini perjalanan yang menguntungkan atau tidak bagi Purbajaya. Bisa disebut menguntungkan sebab Talaga sudah tak begitu jauh lagi. Dengan demikian, kepada penguasa Talaga Purbajaya bisa segera menyampaikan hal-hal yang mencurigakan yang dikerjakan Raden Yudakara. Namun juga bisa disebut tidak menguntungkan sebab sampai dengan hari ini, Purbajaya belum bisa merebut kembali surat daun lontar dari genggaman pasukan siluman.
Tanpa bukti surat ini, berita apa pun sulit dipercaya kebenarannya. Apalagi Purbajaya tidak memiliki identitas apa-apa yang bisa diperlihatkan kepada penguasa Talaga. Orang Talaga takkan berani begitu saja ikut mencurigai Raden Yudakara yang jadi kepercayaan Carbon selama ini. Dan waktu semakin sempit, sementara kesempatan untuk mendapatkan kembali surat daun lontar itu belum juga ada.
Malam itu mereka berdua kemalaman di sebuah hutan. Untuk menjaga diri dari bahaya binatang buas, Raden Yudakara mengajak Purbajaya tidur di dahan pohon. Masing-masing memilih dahan pohon yang sekiranya enak dan nyaman untuk dibuat tempat tidur. Purbajaya sengaja memilih dahan yang jaraknya tak terlalu dekat dengan dahan yang dipilih oleh Raden Yudakara.
Sudah diputuskan di dalam hatinya, malam ini Purbajaya akan menyelinap pergi dengan tujuan mencari pasukan siluman seorang diri. Purbajaya menduga, bila Raden Yudakara mengajaknya beristirahat, pertanda kelompok yang tengah dibuntutinya berada di dekat-dekat situ. Purbajaya sudah memperhitungkan, di saat pemuda itu tertidur pulas, maka di situlah dia akan meninggalkannya.
Tengah malam di saat cuaca dingin berkabut, sudah terdengar dengkur keras pemuda bangsawan itu. Purbajaya sebetulnya sedikit iri, orang seperti itu oleh Tuhan diberi kemudahan untuk menikmati tidur dalam keadaan apa pun. Kata orang, yang mudah tidur dan tidurnya mendengkur bebas hanya menandakan bahwa orang itu tidak punya permasalahan berat dalam hidupnya. Sementara Purbajaya sendiri kalau mau tidur susahnya bukan main. Mata mengantuk tetapi pikiran jalan. Yang dipikirkan kebanyakan yang ruwet-ruwet saja. Nanti kalau capek dan kalau malam hampir berganti pagi, baru bisa tidur saking lelahnya.
Malam ini, Purbajaya pun tidak tidur barang sekejap. Makanya dia tahu persis kalau Raden Yudakara sudah mendengkur aman. Oleh sebab itu, dia pun segera melorot turun dari dahan dengan amat hati-hati. Begitu hati-hatinya sampai-sampai upaya menuruni batang pohon itu demikian makan waktu lama. Purbajaya tak ingin ada gerakan walau sedikit. Jangan ada binatang serangga yang tengah bunyi mendadak berhenti karena gerakan asing. Kalau serangga malam berhenti berbunyi, Raden Yudakara pasti curiga.
Tapi walau dengan susah-payah, akhirnya Purbajaya bisa juga melorot turun. Dan sambil tak mengurangi kehati-hatian, Purbajaya meninggalkan tempat itu. Pergi ke mana? Tentu pergi ke daerah agak tinggi dari hutan itu. Kendati malam terbungkus kabut, namun samar-samar Purbajaya sebenarnya sudah sejak tadi bisa melihat adanya sebuah cahaya. Samar-samar dan amat tipis sekali. Tapi kalau diamati dengan baik, cahaya yang bagaikan setitik kunang-kunang itu bisa diyakini sebagai cahaya api. Kunang-kunang akan bercahaya kuning kehijau-hijauan sementara cahaya api kemerah-merahan. Purbajaya menduga itu adalah cahaya api unggun.
Memasang api unggun di saat malam gelap berkabut dengan cuaca begitu dingin memang amat cocok. Namun, siapakah yang memasang api di tengah hutan begini? Tadi siang Purbajaya meneliti kalau di sini tidak terdapat perkampungan penduduk, tidak juga ada petani yang menjaga huma. Satu-satunya perkiraan Purbajaya, yang memasang api unggun di malam berkabut ini tentulah anggota pasukan siluman.
Hanya saja yang membuat Purbajaya sedih adalah keinginan orang tua itu agar dia mau merawat dan melindungi putrinya, Nyimas Yuning Purnama. Purbajaya amat menyesal kalau dirinya tak akan sanggup melaksanakan amanat yang satu ini. Ini karena Purbajaya akan terus-terusan ikut Raden Yudakara dan akan memakan waktu tak terbatas. Entah bisa selesai entah tidak. Raden Yudakara tetap menganggap bahwa Purbajaya adalah petugas yang tengah berupaya menyelusup ke wilayah Pajajaran.
Dan alasan yang tak kalah rumitnya, Purbajaya tetap “ingin” berjanji kalau antara dia dan gadis itu “sepakat” untuk tidak saling mencinta seperti apa yang dipercakapkan ketika hanya berduaan saja. Sementara ketika gadis itu bicara lain dan amat kebalikan dengan ketika berbicara di hadapan umum, Purbajaya akan tetap menganggap itu ucapan bohong belaka karena hendak menolong keadaan dari tekanan fitnah Aditia. Tapi bagaimana dengan ucapan yang ketiga yang sepertinya Nyimas Yuning jadi mandah menerima perjodohan ini?
Ah, ini hanya ucapan seorang anak yang tak mau menolak keinginan orang tua saja. Dan kalau pun Nyimas Yuning menerima perjodohan ini, hal ini bukan untuk dirinya tapi untuk orangtuanya semata. Dan kalau benar begitu, maka jelas Purbajaya tak mau. Bukan begitu caranya seorang pria dan wanita menempuh perjalanan sebagai suami-istri. Tapi benar pulakah gadis itu tak mencintai Purbajaya?
Ada sepasang mata jernih tapi dengan sorot yang amat sayu. Hati dan perasaan Purbajaya terguncang dan ada getar berahi meresap ke dadanya. Namun aneh, manakala getaran itu ditelusuri, getaran tak diakuinya sebagai getaran.
Nyimas Yuning Purnama bisa jadi benar tak sepenuhnya mencintai Purbajaya. Tapi bagaimana dengan dirinya sendiri? Apakah Purbajaya merasakan kalau dia mencintai gadis itu? Ah, aku pun harus “sama” mengaku kalau aku pun “tidak” mencintainya, pikir Purbajaya. Aku takut dengan yang namanya cinta sebab cinta selalu membawa nestapa, katanya di dalam hatinya.
Ya, betapa menyakitkan cinta itu. Aditia tersiksa batinnya sebab selama dia melihat Purbajaya berduaan dengan Nyimas Yuning rasa bencinya bergolak memecah dadanya. Betapa tidak nyaman perasaan hati Raden Ranggasena. Setiap saat dia harus berseteru dengan Purbajaya karena selalu kalah bertarung dalam memperebutkan perhatian Nyimas Waningyun. Lantas, Purbajaya sendiri pun memendam kesedihan yang dalam ketika perasaan cintanya kepada Nyimas Waningyun begitu saja dirampas oleh Raden Yudakara.
Sungguh tak berperasaan hati pemuda bangsawan itu. Purbajaya mengeluh dan meminta tolong kepadanya, agar ikut mememikirkan perasaan cintanya kepada Nyimas Waningyun. Namun yang terjadi belakangan, malah Raden Yudakara sendiri yang mempersunting gadis itu.
Betapa sakitnya punya kekasih direbut orang. Betapa sakitnya. Oh, betapa sakitnya! Jadi amat beralasan bila Aditia membenci Purbajaya habis-habisan. Sungguh bisa dimengerti bila Raden Ranggasena dari Carbon begitu memusuhinya. Sementara Purbajaya sendiri, tidak ingin punya musuh dan tidak ingin memiliki dendam hanya karena urusan cinta-kasih. Itulah sebabnya, sesedih apa pun karena cinta, Purbajaya tak mau terikat oleh yang namanya cinta.
Ketika suatu malam sebelum berangkat tugas, baik di Carbon mau pun di Sumedanglarang, Purbajaya selalu dilepas oleh tatapan mata indah seorang gadis. Baik Nyimas Waningyun mau pun Nyimas Yuning Purnama, keduanya sama-sama melepas Purbajaya dengan menyembunyikan sebuah perasaan berat bernama cinta. Namun Purbajaya mencoba menulikan telinga dan membutakan mata, agar langkahnya tidak terhambat dan agar wajahnya tak berpaling ke belakang untuk menguak kenangan.
Segala masalah dilewatkan begitu saja, hanya menghasilkan hilangnya dendam dan benci di hati. Itulah sebabnya, Purbajaya sanggup mengikuti ke mana Raden Yudakara pergi. Tanpa perasaan dendam di hati, maka penyelidikan bisa berjalan dengan lancar. Paling tidak, Purbajaya bisa mencari kebenaran tanpa memperhitungkan kepentingan pribadi.
Itu pula sebabnya, berhari-hari Purbajaya bersama Raden Yudakara, tidak secuil pun dia bertanya perihal Nyimas Waningyun. Dia tak ingin tahu, mengapa pemuda bangsawan yang “dititipi amanat” malah memakan isi kebun yang musti dijaganya. Purbajaya tak bertanya sebab kalau bertanya hanya akan menguak luka lama saja. Satu-satunya kepentingan Purbajaya mengikuti Raden Yudakara, hanyalah untuk menyelidiki misteri yang menyelimuti pemuda bangsawan itu.
ADA satu masalah lagi yang jadi teka-teki hati Purbajaya. Kematian pemuda Wista membuat hatinya penasaran. Ketika jasad pemuda itu mau dia kuburkan, di leher mayat Wista terdapat luka memar. Ini hanya menandakan, pemuda itu tewas karena dibunuh orang. Ada orang membunuh Wista dengan sebuah pukulan telak di leher. Siapa yang membunuh pemuda itu?
Aditia memang menuduh Purbajaya yang bunuh Wista hanya karena alasan dialah yang tidurnya dekat dengan Wista. Namun Purbajaya pun bisa menuduh kalau Aditialah yang bunuh Wista dan tanggung-jawabnya ditimpakan kepada Purbajaya. Purbajaya bergidik sendiri kalau dugaannya sampai sejauh itu. Benarkah Aditia yang bunuh Wista?
Hal ini memang amat memungkinkan. Aditia mungkin marah kepada Wista yang mulai akrab dengan Purbajaya, padahal Aditia punya keinginan semua teman-temannya memusuhi Purbajaya. Bisa saja kebencian Aditia kepada Wista semakin berlipat setelah Wista kerapkali menyalahkan tindakan Aditia yang dianggapnya ceroboh dan sebaliknya jadi memuji-muji Purbajaya karena Wista banyak menerima bantuan.
Menurut perkiraan Purbajaya, Aditia punya orang yang bisa dikambing-hitamkan dalam upaya melenyapkan nyawa Wista, yaitu dirinya. Waktu itu Wista banyak mengomel kepada Purbajaya dan kemudian Purbajaya balik membalas dengan omelan pula karena Wista manja dan cengeng. Maka “pertengkaran” ini digunakan Aditia sebagai peluang dalam membunuh Wista sebab kelak yang akan dituduhnya adalah Purbajaya. Oleh sebab itu, siang harinya setelah Wista mati, Purbajaya langsung dituduh sebagai pembunuh Wista.
Akan halnya Yaksa yang akhirnya dibunuh Aditia, mungkin pemuda ini pun akhirnya jadi sasaran kemarahan Aditia karena ragu-ragu dan bimbang saat diperintah untuk balik membunuh Purbajaya. Apalagi kemarahan Aditia semakin memuncak ketika Yaksa malah balik menuding kalau Aditia mungkin pembunuh sebenarnya. Aditia marah merasa dikhianati oleh kedua orang temannya, padahal menurut hemat dia, kedua orang temannya musti bantu dia dalam membenci Purbajaya habis-habisan.
Kalau benar Aditia membunuh dua temannya, maka jelaslah sudah, alasan utamanya adalah kecewa karena sikap dua temannya yang plin-plan dalam memusuhi Purbajaya. Baik Wista mau pun Yaksa dianggapnya sudah tak mendukung lagi dan ini amat tak disukai Aditia.
Namun benar atau tidak sangkaan ini, yang jelas, peristiwa ini telah menyeret Purbajaya ke jurang kesulitan. Bagaimana tak begitu, secara tak sengaja dia telah terlibat pembunuhan. Aditia telah terbunuh hanya karena Purbajaya tak bisa menahan emosi. Bagaimana kelak dia musti mempertanggung-jawabkan perkara ini kepada Ki Dita, kepada Ki Bagus Sura, bahkan kepada penguasa Sumedanglarang? Semuanya akan menuntut dia dan mungkin akan menghukumnya.
Purbajaya jadi susah untuk menemui mereka sebab Purbajaya tak punya apa yang musti jadi bahan yang bisa menjelaskannya. Ki Dita pasti akan marah besar dan akan mudah saja menuding kalau ketiga muridnya dia yang bunuh sebab selama ini antara ketiga orang muridnya dengan Purbajaya tidak punya kecocokan. Ki Bagus Sura memang benar tak menyukai ketiga orang murid Ki Dita. Namun dalam menghadapi urusan ini, orang tua itu akan menderita kesulitan dalam membela Purbajaya. Barangkali dia pun akan ikut terseret oleh masalah ini mengingat antara Ki Bagus Sura dengan para orangtua ketiga orang muda itu tidak pernah akur pula.
Hubungan Ki Bagus Sura dengan ketiga orangtua anak muda yang tewas itu akan semakin memburuk jua. Jelas, urusan ini akan membuat posisi Ki Bagus Sura menjadi terganggu.
Buruk, memang buruk. Dan ini terjadi hanya karena Purbajaya tak bisa menahan diri. Memang benar kata Paman Jayaratu, orang cepat marah hanya akan merugikan dunia. Ah… Kalau saja aku tak bunuh Aditia, keluhnya.
Tidak! Aku tak bunuh dia, bantah hatinya lagi. Paling tidak, aku tak bermaksud membunuhnya. Yang membuat dia terbunuh karena keberingasannya saja, bantah hati Purbajaya lagi. Ya, sebab kalau pun dia tak bunuh Aditia, urusan belum tentu beres. Aditia akan tetap bertahan pada fitnahnya dan akan tetap menuduh Purbajaya sebagai pembunuh Wista. Mungkin kematian Yaksa pun akan ditimpakan kepadanya dengan alasan bahwa cekcoknya Yaksa dengan Aditia karena memperkarakan Purbajaya.
“Ah… Aku tak bisa kembali ke Sumedanglarang…” keluh Purbajaya.
Dan ingat Sumedanglarang jadi ingat Nyimas Yuning Purnama. Hatinya kembali menjadi sedih. Sudah semakin jelas kini kalau dirinya tak mungkin bertemu lagi dengan gadis bermata sayu itu. Atau paling tidak, dia sudah tak mungkin bisa melaksanakan apa yang jadi harapan Ki Bagus Sura agar Purbajaya mau merawat dan melindungi kehidupan gadis itu.
“Aku tak bisa berbuat apa-apa…” keluhnya lagi berkali-kali.
Yang bisa dia lakukan kini hanyalah ikut ke mana Raden Yudakara pergi. Mungkin ini menyebalkan sebab harus selalu berdekatan dengan orang yang tidak dia sukai. Mungkin ini membuatnya muak sebab harus selalu bersama-sama dengan orang yang selamanya harus dia curigai.
Terus-terusan mencurigai seseorang bagi Purbajaya merupakan sebuah siksaan. Namun suka atau tidak suka, pemuda pesolek yang romantis atau bahkan gila perempuan ini harus terus dikuntit. Pertama karena pertalian amanat Ki Bagus Sura agar terus menyelidiki Raden Yudakara kalau surat daun lontar milik negara tidak bisa diselamatkan dan kedua karena memang Purbajaya kini di bawah tekanan pemuda ini. Ya, halus atau tidak ucapan Raden Yudakara, maksudnya tetap satu, bahwa pemuda itu mengisyaratkan agar Purbajaya ikut dia. Perbuatan Purbajaya yang membunuh Aditia secara tak sengaja, dijadikannya sebuah tekanan agar Purbajaya tetap berada di samping Raden Yudakara.
Purbajaya tak tahu, mengapa pemuda aneh itu tidak mau melepaskannya. Apa yang diharapkan Raden Yudakara darinya? Padahal dia tahu, berdekatan satu sama lain tidak saling cocok. Raden Yudakara selalu banyak bicara, sementara Purbajaya tidak. Raden Yudakara semberono dan gila wanita, sedang Purbajaya selalu bertindak hati-hati dalam hal apa pun, termasuk urusan cinta.
Sama sekali tidak ada kecocokan. Tapi mengapa Raden Yudakara selalu ingin dekat dengannya? Mungkinkah benar pemuda bangsawan ini membutuhkan tenaga Purbajaya untuk melakukan penyusupan ke Pajajaran dengan mengandalkan keakhlian dirinya sebagai puhawang (akhli kelautan) atau hanya karena ada tekanan dari pihak luar agar Raden Yudakara “menjaga” Purbajaya?
Purbajaya ingat, Pangeran Arya Damar pun sama seperti begitu “memerlukan”nya dan dia harus ikut misi penyusupan ke Pajajaran. Benar-benarkah amat diperlukannya, sementara Paman Jayaratu sendiri menekankan agar misi yang dianggap gila ini dibatalkan saja?
Segalanya masih misteri baginya. Namun justru agar misteri ini bisa terungkap, maka Purbajaya mau tak mau musti ikut ke mana Raden Yudakara pergi. Dengan perkataan lain, biarkan dirinya dimanfaatkan oleh pemuda aneh ini sehingga dia bisa tahu, misi apa yang sebenarnya tengah mereka lakukan. Satu misteri telah bisa ditelusuri sekali pun masih samar-samar. Raden Yudakara ternyata selalu menguntit ke mana pasukan siluman bergerak.
Melihat hal ini, Purbajaya mencoba menarik kesimpulan. Pertama, pemuda itu berusaha menguntit jejak pasukan siluman karena sama merasa penasaran kepada kemisteriusan pasukan itu. Dan kesimpulan yang kedua, Raden Yudakara pun sama menginginkan surat daun lontar itu. Bila kesimpulan kedua yang benar, maka bisa dipastikan, Raden Yudakara sudah tahu kalau surat daun lontar itu isinya membahayakan kedudukannya.
Tentu saja bila dilihat sepintas, baik Purbajaya mau pun Raden Yudakara sepertinya punya keinginan yang sama yaitu ingin merebut surat daun lontar yang kini dikuasai oleh Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih. Namun motif dari keduanya tentu jauh berbeda. Purbajaya ingin surat daun lontar yang dikirimkan Kangjeng Pangeran Santri dari Sumedanglarang harus sampai ke tangan Kangjeng Sunan Parung di Karatuan Talaga. Sementara Raden Yudakara malah punya tujuan sebaliknya. Surat daun lontar tidak boleh sampai. Ini hanya perkiraan-perkiraan semata sebab hal sebenarnya belum diketahui persis dan baru bisa diketahui bila Purbajaya terus mengikuti dan meneliti tindak-tanduk pemuda aneh ini.
Yang jelas, baik Purbajaya mau pun Raden Yudakara sekarang ini sama-sama tengah menguntit pasukan siluman secara diam-diam tapi kalau surat daun lontar lepas dari genggaman pasukan misterius itu, maka giliran Purbajaya dan Raden Yudakaralah yang bersaing memperebutkannya.
PERJALANAN kedua orang itu akhirnya tiba di persimpangan jalan pedati. Jalan yang lurus ke selatan akan mengarah ke Gunung Cakrabuana dan yang ke timur akan menuju Karatuan Talaga.
Purbajaya jadi terkenang kepada peristiwa sepuluh bulan atau setahun yang silam. Waktu itu pun Purbajaya melakukan perjalanan menuju kaki Gunung Cakrabuana. Bedanya, dulu lewat timur melalui Karatuan Rajagaluh sementara sekarang datang dari sebelah utara. Dulu berangkat dari Carbon, sekarang datang dari wilayah Ciguling (ibu kota Karatuan Sumedanglarang).
Purbajaya pun jadi terkenang akan gurunya. Ingin sekali dia naik ke puncak dan menemui Paman Jayaratu. Barangkali Purbajaya akan memaksa agar dirinya diterima orang tua itu dan tetap tinggal bersamanya hingga akhir hayat. Kalau ingat ini, Purbajaya merasa kalau Paman Jayaratu bertindak tak adil. Dengan alasan masih muda, Purbajaya diperintahkan melakukan pengembaraan agar banyak menerima pahit-getirnya pengalaman hidup, sementara Paman Jayaratu yang sudah tua tinggal menyepi di tempat sunyi dan mengasingkan diri dari kemelut dunia.
Ya, ini tak adil. Mengapa orang tua boleh menjauhkan diri dari kemelut sementara dirinya yang masih muda malah “sengaja” disuruh mendekatkan diri kepada berbagai permasalahan dunia? Apakah anak muda tidak sah menjadi manusia kalau belum merasakan pahit-getirnya kehidupan? Purbajaya ingin bahagia, tetapi mengapa harus melalui kepahitan dulu?
Padahal yang dimaksud kebahagiaan oleh Purbajaya tidak banyak. Dia tak ingin jadi orang terkenal, tak ingin jabatan atau pun kekayaan. Yang dia inginkan adalah hidup yang tentram. Dan ketentraman baginya adalah bila bisa menjauhkan diri dari berbagai permasalahan dunia, menjauhkan diri dari perbedaan pendapat dan menjauhkan diri dari persaingan hidup. Selama bersama Paman Jayaratu di wilayah Carbon, hal itu sudah pernah dirasakan. Purbajaya tak pernah punya masalah sebab Paman Jayaratu tidak pernah memberinya masalah.
Masalah mulai hadir ke hadapannya setelah dia banyak berjumpa dengan orang lain yang punya kehendak lain dan pandangan hidup berbeda. Maka di sanalah kemelut terjadi dan di sanalah ketentraman hidupnya terganggu. Jadi menurutnya, Paman Jayaratu kejam karena telah menjauhkan dirinya sehingga Purbajaya terlontar ke kehidupan ramai yang begitu banyak ragamnya dan amat memusingkannya.
Menurut kata hatinya, pendapat Paman Jayaratu itu salah. Orang tua itu mengatakan bahwa nilai kehidupan yang sempurna adalah bila memiliki wawasan dan pengalaman yang luas. Itu salah. Menurut Purbajaya, pengetahuan dan pengalaman hanya menambah kesulitan belaka. Karena punya pengetahuan jadi punya keinginan. Dan karena punya pengalaman jadi punya penderitaan. Padahal selama bersama Paman Jayaratu, dia tak punya keinginan. O, Paman Jayaratu lupa, hanya karena manusia punya keinginan maka akan berhadapan dengan kesulitan dan penderitaan.
Sekarang, mengunjungi Paman Jayaratu rasanya mustahil. Raden Yudakara tidak akan mengajaknya ke puncak. Bagi pemuda bangsawan itu, puncak Cakrabuana baginya adalah mimpi buruk. Betapa tidak, dia yang bertugas memerangi Ki Darma malah sembunyi manakala terjadi pertempuran antara pasukan Carbon dan pasukan Pajajaran. Betapa memalukan ini. Dan agar serasa tak diingatkan kepada peristiwa ini, maka bisa ditebak kalau pemuda bangsawan ini tidak berniat singgah di Cakrabuana.
Nama Paman Jayaratu dan Ki Darma bagi Raden Yudakara bukanlah nama yang boleh diakrabi. Pemuda itu tak akan cocok untuk bergaul dengan kedua orang tua bijaksana itu. Lagi pula, tujuan Raden Yudakara adalah menguntit ke mana pasukan siluman bergerak. Kalau yang dikuntitnya menuju wilayah Cakrabuana, barangkali baru dia mau. Dan kenyataannya, yang dikuntit tidak menuju ke wilayah gunung, melainkan lurus ke timur, sepertinya mau menuju ke Bantarujeg atau ke Talaga. Tapi benarkah mereka mau menuju ke sana?
Entah ini perjalanan yang menguntungkan atau tidak bagi Purbajaya. Bisa disebut menguntungkan sebab Talaga sudah tak begitu jauh lagi. Dengan demikian, kepada penguasa Talaga Purbajaya bisa segera menyampaikan hal-hal yang mencurigakan yang dikerjakan Raden Yudakara. Namun juga bisa disebut tidak menguntungkan sebab sampai dengan hari ini, Purbajaya belum bisa merebut kembali surat daun lontar dari genggaman pasukan siluman.
Tanpa bukti surat ini, berita apa pun sulit dipercaya kebenarannya. Apalagi Purbajaya tidak memiliki identitas apa-apa yang bisa diperlihatkan kepada penguasa Talaga. Orang Talaga takkan berani begitu saja ikut mencurigai Raden Yudakara yang jadi kepercayaan Carbon selama ini. Dan waktu semakin sempit, sementara kesempatan untuk mendapatkan kembali surat daun lontar itu belum juga ada.
Malam itu mereka berdua kemalaman di sebuah hutan. Untuk menjaga diri dari bahaya binatang buas, Raden Yudakara mengajak Purbajaya tidur di dahan pohon. Masing-masing memilih dahan pohon yang sekiranya enak dan nyaman untuk dibuat tempat tidur. Purbajaya sengaja memilih dahan yang jaraknya tak terlalu dekat dengan dahan yang dipilih oleh Raden Yudakara.
Sudah diputuskan di dalam hatinya, malam ini Purbajaya akan menyelinap pergi dengan tujuan mencari pasukan siluman seorang diri. Purbajaya menduga, bila Raden Yudakara mengajaknya beristirahat, pertanda kelompok yang tengah dibuntutinya berada di dekat-dekat situ. Purbajaya sudah memperhitungkan, di saat pemuda itu tertidur pulas, maka di situlah dia akan meninggalkannya.
Tengah malam di saat cuaca dingin berkabut, sudah terdengar dengkur keras pemuda bangsawan itu. Purbajaya sebetulnya sedikit iri, orang seperti itu oleh Tuhan diberi kemudahan untuk menikmati tidur dalam keadaan apa pun. Kata orang, yang mudah tidur dan tidurnya mendengkur bebas hanya menandakan bahwa orang itu tidak punya permasalahan berat dalam hidupnya. Sementara Purbajaya sendiri kalau mau tidur susahnya bukan main. Mata mengantuk tetapi pikiran jalan. Yang dipikirkan kebanyakan yang ruwet-ruwet saja. Nanti kalau capek dan kalau malam hampir berganti pagi, baru bisa tidur saking lelahnya.
Malam ini, Purbajaya pun tidak tidur barang sekejap. Makanya dia tahu persis kalau Raden Yudakara sudah mendengkur aman. Oleh sebab itu, dia pun segera melorot turun dari dahan dengan amat hati-hati. Begitu hati-hatinya sampai-sampai upaya menuruni batang pohon itu demikian makan waktu lama. Purbajaya tak ingin ada gerakan walau sedikit. Jangan ada binatang serangga yang tengah bunyi mendadak berhenti karena gerakan asing. Kalau serangga malam berhenti berbunyi, Raden Yudakara pasti curiga.
Tapi walau dengan susah-payah, akhirnya Purbajaya bisa juga melorot turun. Dan sambil tak mengurangi kehati-hatian, Purbajaya meninggalkan tempat itu. Pergi ke mana? Tentu pergi ke daerah agak tinggi dari hutan itu. Kendati malam terbungkus kabut, namun samar-samar Purbajaya sebenarnya sudah sejak tadi bisa melihat adanya sebuah cahaya. Samar-samar dan amat tipis sekali. Tapi kalau diamati dengan baik, cahaya yang bagaikan setitik kunang-kunang itu bisa diyakini sebagai cahaya api. Kunang-kunang akan bercahaya kuning kehijau-hijauan sementara cahaya api kemerah-merahan. Purbajaya menduga itu adalah cahaya api unggun.
Memasang api unggun di saat malam gelap berkabut dengan cuaca begitu dingin memang amat cocok. Namun, siapakah yang memasang api di tengah hutan begini? Tadi siang Purbajaya meneliti kalau di sini tidak terdapat perkampungan penduduk, tidak juga ada petani yang menjaga huma. Satu-satunya perkiraan Purbajaya, yang memasang api unggun di malam berkabut ini tentulah anggota pasukan siluman.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment