Ads

Tuesday, December 28, 2021

Kemelut di Cakrabuana 022

Dengan perasaan tegang, Purbajaya mencoba mendekati tempat itu. Tapi untuk mendekatinya musti merambah bukit kecil sebab cahaya itu sepertinya datang dari sebuah lereng bukit. Dan ketika dia mendekati daerah itu, semakin nyata kalau di sana ada orang tengah menyalakan api unggun.

Purbajaya berpikir kalau anggota pasukan siluman ini amat melecehkannya. Betapa tidak. Gerakan mereka selalu dilakukan secara misterius dan main sembunyi. Datang dan pergi tak pernah orang tahu kapan dan di mana. Namun kali ini mereka tak memperlihatkan kebiasaan itu. Menyalakan api unggun di tengah malam hanya menandakan bahwa mereka tak takut siapa pun.

Namun kendati lawan demikian tangguh, Purbajaya akan tetap berusaha. Keputusannya sudah bulat untuk merebut kembali kotak surat daun lontar yang sempat dirampas pasukan siluman. Dia harus melaksanakan amanat Ki Bagus Sura yang tetap menginginkan keberadaan Raden Yudakara yang penuh misteri terkuak dan diberitakan kepada penguasa Karatuan Talaga.

Kini Purbajaya semakin mendekati cahaya api. Dan dari jarak pandang tak begitu jauh lagi, Purbajaya melihat bahwa di sebuah hamparan tanah miring perbukitan belasan orang tengah berkumpul mengelilingi api unggun. Ya, melihat jenis pakaian mereka yang menggunakan kain serba hitam dengan ikat kepala hitam hampir menutupi jidatnya, bisa dipastikan kalau mereka adalah anggota Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih.

Api menjilati kayu bakar dan semakin lama semakin membuat cahaya semakin benderang juga. Kini bunga api malah beterbangan ke udara karena api sengaja disulut semakin besar, sepertinya mereka sengaja hendak membikin suasana jadi terang agar yang tengah mengintip bisa leluasa melihat mereka. Apakah ada orang yang ditunggu? Rasanya benar, sebab walau pun mereka duduk berkumpul, namun cara duduknya seperti membentuk kuda-kuda, siap melakukan gerakan sesuatu yang mendadak.

“Ah, yang datang bukan pimpinan kita. Tapi hai, Ki Silah (Saudara) yang sembunyi di semak, silahkan hadir ke sini untuk sama-sama menghangatkan tubuh,” kata seseorang dari anggota pasukan siluman.

Purbajaya amat terkejut. Dia mau bangun dari tempat sembunyinya sambil celingukan ke sana ke mari. Dengan pipi terasa panas karena malu diketahui musuh, Purbajaya akan segera berdiri, ketika tiba-tiba dari rimbunan pohon di arah sana keburu ada orang lain yang berdiri dan kemudian meloncat mendekati tempat di mana anggota pasukan siluman berada.

Purbajaya bernapas lega. Ternyata yang kepergok ngintip bukan dirinya, melainkan orang lain. Hanya saja Purbajaya jadi terkejut sebab yang barusan loncat adalah Ki Sudireja. Dia heran, orang tua itu begitu tangguh tapi ternyata ceroboh sehingga diketahui lawan kalau dia tengah mengintip.

“Lho, malah Ki Sudireja yang datang. Tak apa. Mari ke sini. Malam sungguh dingin dan membuat tulang serasa ngilu,” kata orang dari pasukan siluman.

“Jangan banyak basa-basi. Aku hanya inginkan anak bernama Pragola kembali ke tanganku,” kata Ki Sudireja tak menerima sambutan hangat.

“Ah, anak itu masih terlalu kecil. Anak usia tujuh tahun jangan kau bawa-bawa ke dalam urusan akal-akalan (politik),” jawab anggota pasukan siluman sambil menambah kayu bakar di bara api.

“Mau dibawa ke mana anak itu, aku yang bertanggung-jawab, sebab akulah yang tengah dan akan membesarkannya,” jawab Ki Sudireja kaku.

“Sikap mau menang sendiri seperti ini amat berbahaya. Apa kau tak merasa khawatir kalau anak itu kelak selamanya berada dalam mara-bahaya?”

“Justru bila anak itu berada di dalam kungkungan kalian maka anak itu akan berada di dalam bahaya. Kalian hidup dalam kurungan mimpi. Entah setan apa yang mempengaruhi kalian sehingga kalian tak menghargai hidup masa kini,” kata Ki Sudireja tandas.

“Jangan mengolok-olok. Semua orang punya keyakinan dan semua orang hanya beranggapan, keyakinan dirinyalah yang benar dan baik.”

“Memang benar. Tapi sejauh mana keyakinan itu punya arti? Benarkah selama ini engkau mendapatkan wangsit (amanat) dari Nyi Rambut Kasih? Siapa di antara kalian yang pernah bertemu dengan putri Sindangkasih yang telah menghilang puluhan tahun silam itu?” tanya Ki Sudireja.

Tidak ada yang menjawab.

“Kalian telah diracuni oleh jalan pikiran sendiri,” cerca Ki Sudireja lagi.

“Tidak. Kami punya pemimpin.”

“Kalau begitu, pimpinan kaliannlah yang meracuni!”

“Diam! Kau tak punya hak menilai pemimpin kami. Orang yang jauh dan tak mengenal seseorang tak mungkin bisa menilai baik buruknya seseorang itu. Sudahlah, nyawamu di tangan kami. Hanya karena pemimpin tak menginginkan kau mati maka nasibmu baik hingga kini. Tempo hari kami kehilangan tiga orang anggota hanya karena pemimpin kami tak menyukai kami menganiayamu. Sekarang pergilah sebelum pemimpin kami berubah pikiran!” kata seorang anggota pasukan siluman bertubuh tinggi besar berkulit hitam legam dan yang rupanya pemimpin dari mereka. ”Pergilah, kami jamin anak itu selamat tak kurang suatu apa,” katanya lagi.

“Di mana anak itu?”

“Di wilayah Sindangkasih.”

“Aku ingin bertemu pimpinan kalian!”

“Tidak bisa. Cepatlah pergi, kami tak mau kehilangan nyawa anggota kami lagi. Hanya satu kesalahan saja, maka pemimpin kami tak tanggung-tanggung membunuh kami seperti tempo hari!” kata si tinggi besar dan itu membuat hati Purbajaya terkejut setengah mati.

“PERGILAH cepat!” untuk ke sekian kalinya anggota pasukan siluman mengusir Ki Sudireja.

Dan rupanya orang tua setengah baya itu pun tahu diri. Sesudah mendengus sebentar, Ki Sudireja meloncat pergi dan menghilang di kegelapan malam. Purbajaya pun sebetulnya setuju Ki Sudireja pergi sebab pengalaman tempo hari ketika dia melawan anggota pasukan siluman, terlihat amat payah dikeroyok dengan ketat oleh lawan. Dan kalau saja Raden Yudakara tidak menolongnya dengan menyambit tiga orang anggota pasukan siluman, mudah diduga kalau Ki Sudireja akan kalah dan bahkan mungkin tewas.

Tapi ingat sampai di sini, wajah Purbajaya kembali pucat saking terkejutnya. Tapi anggota pasukan siluman berkata kalau pemimpin mereka telah menewaskan tiga orang dari mereka karena pemimpin tak setuju Ki Sudireja dianiaya. Sudah gilakah jalan pikiran Purbajaya kalau kali ini dia menduga Raden Yudakara adalah pemimpin anggota Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih?

“Hai, engkau yang jongkok di semak, cepat ke sini!” tiba-tiba terdengar teriakan dari si tinggi besar dan amat mengejutkan Purbajaya.

Kembali Purbajaya celingukan. Mudah-mudahan saja kejadiannya seperti tadi, yaitu orang-orang itu bukan memanggil dirinya. Tapi setelah ditunggu lama, tak ada orang lain muncul dari semak. Dengan demikian, kini Purbajaya yakin kalau dirinyalah yang barusan dipanggil. Dengan perlahan Purbajaya keluar dari semak. Semua orang menatap dirinya dengan penuh ejekan.



“Sebetulnya sejak tadi engkau aku panggil tapi yang datang malah orang lain. Kenapa dari tadi kau ngintip kami?” tanya si tinggi besar berkacak pinggang.

Purbajaya tersipu malu. Jadi benar mereka orang hebat. Ketika dia baru datang pun sebetulnya mereka sudah tahu kehadirannya. Itulah sebabnya api unggun semakin dinyalakan. Namun barangkali Ki Sudireja tadi salah menyangka. Disangkanya, kedatangan dirinya telah diketahui lawan sehingga dia langsung terjun memperlihatkan diri.

“Dia dari kelompok Ki Bagus Sura!” teriak salah seorang dari mereka menudingkan telunjuknya.

“Ya, aku pun tahu. Tapi yang aku bingungkan, mengapa pula pemuda bodoh ini menguntit kita?” tanya si tinggi besar masih berkacak pinggang.

“Kalian pasti sudah tahu maksud kedatanganku!” jawab Purbajaya tandas. Urat-urat di tubuhnya menegang, siap menghadapi hal-hal yang tak diinginkan.

“Bahkan kami tak tahu. Engkau bersusah-payah menguntit kami, ada apakah?” tanya si tinggi besar mengerutkan dahi.

“Serahkan peti surat daun lontar milik Ki Bagus Sura!” tangan kanan Purbajaya menyodorkan tangan kanan ke depan seolah-olah menyuruh agar barang yang dimintanya segera dikembalikan padanya.

“Heh, berani-beraninya. Engkau tak punya kepentingan khusus mengenai ini. Pergilah sana!” telunjuk si tinggi besar mengarah ke tempat jauh sepertinya memang menyuruh Purbajaya pergi jauh dan jangan mengganggu mereka.

“Secara pribadi mungkin benar aku tak punya kepentingan. Namun aku adalah anggota misi Sumedanglarang, harus menyelamatkan benda yang jadi tugas kami untuk dijaga agar tiba dengan selamat kepada orang yang berhak kami serahkan. Cepat serahkan surat itu!” bentak Purbajaya namun hanya disambut gelak ketawa mereka.

Purbajaya marah dan terhina, orang bicara serius malah diketawain. Sepertinya Purbajaya hanyalah anak-anak di mata mereka.

“Kalian mungkin orang hebat dan aku tak bisa kalahkan kalian. Tapi tugas harus aku kerjakan. Mati dalam tugas bukan sesuatu yang dosa buatku!” kata Purbajaya.

Dan serentak dengan itu Purbajaya melakukan serangan tajam. Serangan ini tak main-main. Dia mengeluarkan seluruh tenaga dan kemampuannya karena tahu lawan orang-orang hebat semua. Namun hanya satu kali gerakann saja, semua serangan bisa digagalkan si tinggi besar.

“Engkau pemberani dan setia kepada tugas. Kami butuh orang sepertimu, maka bergabunglah, anak muda,” kata si tinggi besar masih memainkan jurus-jurus menghindar karena Purbajaya tetap melakukan serangan.

“Keluarkan surat daun lontar dan serahkan padaku!” teriak Purbajaya tak menggubris tawaran si tinggi besar.

Si tinggi besar tertawa. Lantas dari endong (kantung kain) yang dari tadi tersandang di bahunya, dia mengeluarkan sesuatu dan diangkatnya tinggi-tinggi.

“Inikah yang engkau maksud, anak muda?”

Purbajaya menatap susunan daun lontar yang tersusun rapi dan diikat benang sutra warna merah. Dia memang tak tahu, apa benda itu yang dimaksud sebab sebelumnya dia pun tak pernah melihatnya.

“Isinya tidak akan kau mengerti kecuali hanya mengacaukan keadaan saja,” kata si tinggi besar masih mengacungkan susunan daun lontar tinggi-tinggi.

“Kumengerti atau tidak, kewajibanku hanya menyelamatkan benda itu! Cepat serahkan!” kata Purbajaya sambil kembali menyerang dan untuk ke sekian kalinya serangannya lolos begitu saja karena gerakan hindar si tinggi besar demikian gesit dan ringan.

“Sudah kuangkat tinggi-tinggi benda ini. Kewajibanmu ringan saja, yaitu hanya menggapainya. Mari anak muda, semua orang perlu berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya,” kata si tinggi besar menantang.

Ini adalah tantangan terbuka. Mereka tak mau memberikan benda itu secara cuma-cuma kecuali dengan sebuah ujian. Purbajaya mengerti, anggota pasukan siluman terus mengujinya dan tidak berniat mencelakakan dirinya. Dan ini amat menguntungkan Purbajaya sebab dengan demikian dia bisa leluasa melakukan serangan tanpa khawatir dirinya terluka oleh serangan balik dari pihak lawan.

Melihat benda yang diincarnya diangkat tinggi-tinggi, maka Purbajaya segera meloncat bagaikan macan hendak menangkap mangsa. Tangan kanan Purbajaya segera mencakar ke depan mengarah wajah lawan sementara kaki kiri lurus menendang menyerang ulu hati.

Namun lawan sepertinya sudah tahu kalau gerakan yang diperagakan Purbajaya hanyalah sebuah pancingan. Sebab gerakan appun yang dilakukan, pada intinya tetap mengincar benda yang diangkat tinggi-tinggi. Oleh sebab itu, ketika serangan kaki kiri datang meluncur, tubuh lawan hanya mundur satu tindak. Dan selanjutnya dia balik menyerang tangan kanan Purbajaya melalui “patukan” tangan kirinya.

Purbajaya tak mau tangan kanannya diserang dengan totokan. Kalau totokan itu tepat mengarah urat nadi, maka bisa diduga tangan kanan Purbajaya akan mendadak lumpuh. Sebagai gantinya, tangan kanan dia tarik kembali dan tangan kiri menyorong ke depan dengan telapak tangan dibuka lebar. Namun demikian, serangan ini terpaksa harus ditarik kembali sebab tangan kiri si tinggi besar terus nyelonong dan berubah sebagai pukulan telak mengarah dada.

Purbajaya tak punya niat untuk menangkis serangan ini sebab dia tahu tenaga si tinggi besar amat bagus. Untuk itu dia harus menghindar dengan cara bersalto ke belakang beberapa kali dan jatuh di tempat agak jauh dengan kaki menapak lebih dahulu.

Purbajaya tak menghentikan gerakan. Maka ketika baru saja kakinya menginjak tanah, segera dia totolkan kembali untuk melesat ke depan dan mencoba merebut daun lontar. Si tinggi besar seperti agak terkesima melihat gerakan Purbajaya ini. Biasanya bila orang baru saja bersalto tidak akan buru-buru membuat serangan baru sebab yang dia lakukan adalah memperbaiki kedudukan kakinya dulu. Namun yang dilakukan Purbajaya adalah lain dari kebiasaan. Itulah memang yang diajarkan Paman jayaratu, yaitu mencoba mengubah kebiasaan sehingga orang tak menduga.

Si tinggi besar yang terkejut tidak melakukan gaya hindar lagi, melainkan langsung memapaki serangan Purbajaya dengan serangan pula. Untunglah, serangan lawan sudah diduga sebelumnya. Maka karena Purbajaya tetap tak mau mengadu tenaga, untuk kedua kalinya dia bersalto di udara. Kali ini putaran saltonya maju mengarah lawan dan Purbajaya mencoba bersalto melampaui tubuh lawan. Sambil demikian, tangan kanan Purbajaya melakukan gerakan dalam upaya merebut daun lontar di udara. Namun gerakan dan isi hati Purbajaya sudah ditebak lawan. Maka dengan entengnya si tinggi besar melengos ke samping dan tangkapan tangan purbajaya luput dari sasaran.

Purbajaya kecewa dan putus asa. Dia marah oleh kemampuannya yang terbatas. Padahal hanya dengan tangan kiri saja si tinggi besar demikian enaknya menghindar dan menyerang Purbajaya sebab tangan kanannya sejak tadi hanya mengacung ke udara memegang ikatan surat daun lontar.

Dalam keadaan terhina begini, Purbajaya jadi teringat gurunya, Paman Jayaratu. Orang tua ini dikenal sebagai bekas perwira Carbon yang handal, disegani baik oleh lawan mau pun oleh kawan. Sebagai bukti, Ki Darma saja yang dikenal hebat di Pajajaran, akhirnya tak memilih Paman Jayaratu sebagai seteru untuk selama-lamanya. Kini kedua orang tua itu malah hidup damai di puncak Cakrabuana karena bila bermusuhan terus maka satu sama lain tak pernah saling mengalahkan.

Yang menyedihkan dari semua ini, mengapa Purbajaya yang katanya murid terkasih Paman Jayaratu malah secuil pun tidak memiliki ilmu sehebat seperti gurunya? Dan inilah akibatnya. Menghadapi lawan yang punya kepandaian, pemuda ini menjadi bulan-bulanan. Kalau saja lawan bertindak kejam, maka sudah sejak tadi dia akan kalah.

Yang membuat Purbajaya menghargainya, biar pun lawan terkesan sombong namun sedikit pun dia tak bermaksud melukainya. Kendati Purbajaya dijadikan mainan seperti tikus dipermainkan kucing, namun sejauh ini tubuhnya selamat tak kurang suatu apa selain rasa malu yang menyesak di dada dan membuat wajahnya terasa panas saking jengkel dan malunya.

Ini adalah untuk yang kedua kalinya Purbajaya bertempur menghadapi anggota pasukan siluman. Dan melihat cara-cara mereka bertempur, sebetulnya mereka tidak memiliki jurus-jurus keras dan kejam. Kalau saja baik Paman Ranu, Ki Bagus Sura mau pun Ki Dita mengalami luka, itu karena tingkat kepandaian mereka lebih rendah ketimbang kebolehan yang diperagakan anggota pasukan siluman.

Anggota pasukan siluman memang tidak kejam. Namun demikian, Purbajaya tidak perlu memberi hati kepada mereka. Apalagi perbuatan mereka telah menimbulkan keresahan bagi yang lain. Purbajaya ingin sekali menghentikan aksi-aksi mereka. Tapi apa daya, kemampuannya demikian rendah. Sekarang pun dia begitu susah-payah hanya untuk berusaha merebut sebuah benda yang diacung-acungkan dengan santainya oleh lawan dan tanpa lawan bermaksud menempurnya.

Untung sekali, ketika dia dijadikan mainan oleh anggota pasukan siluman, tiba-tiba muncul Raden Yudakara. Dengan kehadirannya, siapa tahu akan mengubah keadaan kendati di dalam hatinya teringat kembali akan kecurigaannya.

“Raden… bantulah saya!” kata Purbajaya sedikit menguji dan meneliti apa yang akan dilakukan pemuda itu kelak.

Namun sambil demikian, Purbajaya pun ada sedikit heran. Raden Yudakara yang tadi tidur mendengkur nyatanya secara cepat bisa menemukan tempat ini juga.

“Ada apa, Purba?” tanya pemuda itu mengerutkan dahi namun ada sedikit senyum di bibirnya.

“Tolonglah… rebutlah…” Dan kata-kata ini tak terselesaikan sebab hatinya pun jadi ingat akan kecurigaannya. Mana mungkin Raden Yudakara mau membantunya sementara Purbajaya menduga, pemuda ini pun punya kepentingan dengan surat daun lontar itu.

“Apa yang engkau inginkan dari orang-orang ini, Purba? Hai, coba kau perlihatkan padaku, benda apa yang barusan kau acung-acungkan itu?” tanya Raden Yudakara kepada si tinggi besar.

Dan sungguh menakjubkan, dengan serta-merta benda itu dilemparkan oleh si tinggi besar kepada Raden Yudakara yang menangkapnya dengan tenang.

“Inikah yang engkau perlukan, Purba?” tanya Raden Yudakara. Dan ikatan surat daun lontar itu diangkatnya tinggi-tinggi, persis seperti si tinggi besar mempermainkan dirinya.

Serasa berhenti degup jantung Purbajaya karena rasa curiganya semakin kuat.

“Talaga sudah tak begitu jauh dari sini, sayang surat ini tidak akan pernah sampai, Purba…” gumam Raden Yudakara.

Dan dengan entengnya pemuda itu melemparkan ikatan surat daun lontar ke atas gundukan api unggun yang apinya kian membesar. Hanya dalam waktu tak begitu lama, surat yang diburu dan menimbulkan banyak korban ini berubah menjadi abu.

Untuk sejenak Purbajaya termangu. Namun sesudah itu rasa terkejutnya muncul kembali. Benar dugaannya, Raden Yudakara punya hubungan dekat dengan anggota pasukan siluman. Dan, Ya Tuhan, hubungan itu demikian dekatnya. Purbajaya ingat akan perkataan anggota pasukan siluman kepada Ki Sudireja bahwa tiga orang anngotanya tewas karena sang pemimpin tidak senang Ki Sudireja diganggu pasukan siluman. Sementara itu Purbajaya tahu persis bahwa yang membunuh tiga orang anggota pasukan siluman adalah Raden Yudakara.

“Saya tak menyangka, Radenlah yang mengendalikan semua ini…” gumam Purbaya mengusap wajahnya sendiri. Nada suara Purbajaya terdengar bergetar. Getaran itu terjadi karena didorong oleh perasaan kesal, marah dan juga terkejut.

Sejak dulu dia memang telah merasa kalau pemuda bangsawan itu banyak diselimuti kabut misteri. Tindak-tanduk Raden Yudakara selalu terlihat ganjil dan terkesan banyak memendam rahasia.

“Terlalu banyak memikirkan urusan orang lain tak ada gunanya bagimu. Bukankah dulu di puncak Cakrabuana aku pernah bilang bahwa urusan-urusan besar tak akan mampu dicerna oleh orang sekecil kamu? Tugasmu bukan berpikir, melainkan hanya mentaati saja,” kata Raden Yudakara masih dengan senyum tipisnya.

Sakit rasanya dikatakan begini oleh Raden Yudakara. Serasa benar, dirinya tak ada harganya.

“Engkau tak bisa ke mana-mana, kecuali ikut bersamaku, Purba…” kilah Raden Yudakara lagi.

“Mengapa Raden menahanku, padahal engkau barusan bilang kalau saya ini orang tak berarti?” kata Purbajaya setengah kesal.

“Bersamaku kelak engkau akan banyak membuka mata. Tentu, kau pun akan mendapatkan tahu lebih rinci lagi, siapa dirimu sebenarnya.”

“Saya tahu kalau saya adalah anak penguasa wilayah Tanjungpura dan keluarga saya dibantai oleh pasukan Pangeran Arya Damar. Dengan demikian, saya tidak akan kembali lagi ke Carbon. Tak punya manfaatnya bagi saya mengabdi kepada orang yang membunuh kedua orangtua saya!” kata Purbajaya dengan ketus.

“Kau tak bisa meninggalkan Carbon begitu saja, sebab kalau begitu kau akan dikejar. Ingat, kau punya dosa. Di puncak Cakrabuana kau bersama Ki Jayaratu menempur empat perwira pembantu utama Pangeran Arya Damar. Kalau berita ini sampai ke Carbon, maka secara resmi kau akan dituding pengkhianat. Apa pun yang dilakukan pasukan itu di Cakrabuana, yang jelas itu adalah pasukan resmi yang dikirim pemerintah,” kata Raden Yudakara lagi.

Purbajaya teringat lagi kejadian hampir setahun lalu. Betapa dia dan Paman Jayaratu menempur pasukan Carbon karena Paman Jayaratu tak setuju pasukan itu menyerang puncak Cakrabuana.

Ucapan Raden Yudakara benar, dia akan dicap pemberontak dan pengkhianat kalau berita ini sampai ke Carbon. Dan kalau urusan lama ini diungkit, hanya punya arti bahwa Raden Yudakara ingin menekan Purbajaya dengan kejadian setahun yang lalu itu.

“Saya tak mau dituding pengkhianat, namun saya pun tak mau ikut engkau, Raden…” kata Purbajaya.

“Tidak bisa! Engkau harus ikut aku!”

“Mengapa harus ikut engkau?”

“Karena kalau menolak kau akan kulaporkan sebagai pengkhianat. Sementara bila ikut aku, aku punya rencana besar di Pakuan. Dan itu semua perlu bantuanmu. Ingat, kau adalah keluarga bangsawan di Tanjungpura, wilayah Pajajaran.”

“Terus terang saya muak dengan rencana-rencanamu, Raden. Apa yang engkau rencanakan, sepertinya hanya membuat kekacauan semata. Lihatlah Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih yang engkau ciptakan, betapa hanya menghasilkan keresahan di lingkungan persahabatan Sumedanglaranga dan Talaga. Saya tak mengerti, mengapa kau ciptakan suana seperti ini?” tanya Purbajaya tak habis mengerti.

“Hahaha! Dengarkan, anak muda ini mempertanyakan kehadiran kalian. Adakah di antara kalian yang ingin menjawabnya?” tanya Raden Yudakara menatap berkeliling.

“Kaimi adalah keturunan Karatuan Sindangkasih yang merasa simpati kepada kesedihan dan rasa sakit hati Kangjeng Nyimas Rambut Kasih. Putri itu adalah orang yang terasing, terdesak dan terhempas dari dunianya. Mengapa kami sebagai keturunannya tidak merasa sakit hati?” kata seseorang dari anggota pasukan siluman Nyi Rambut Kasih lantang.

Aneh sekali, kendati lantang tapi nada bicaranya seperti menahan tangis dan haru. Bahkan akhirnya semua anggota menangis sesenggukan. Purbajaya merasa bulu romanya berdiri. Demikian fanatiknya mereka terhadap junjungannya yang bernama Nyimas Rambut Kasih. Padahal melihat usia mereka yang paling tinggi rata-rata sekitar tigapuluh tahun, mereka takkan pernah mengenal tokoh Karatuan Sindangkasih itu secara dekat, tokh Nyimas Rambut Kasih telah menghilang tak tentu rimbanya lebih dari enampuluh tahun silam.

“Junjungan kalian puluhan tahun silam, benar memimpin Karatuan Sindangkasih. Namun setelah Nagri Carbon berkembang, beliau menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan baru mulai muncul untuk menggantikan kehidupan lama. Beliau rela melepaskan zaman yang dimilikinya untuk diberikannya kepada zaman baru,” kata Purbajaya mencoba menyadarkan anggota pasukan siluman.

“Kangjeng Putri adalah wanita yang arif. Beliau tidak meminta apa yang beliau mau dan tidak menolak apa yang beliau tak suka. Segala sesuatu terpulang kepada kita yang memperlakukannya. Apakah kita meminta sesuatu kepada beliau sesuai dengan kelayakan atau tidak? Itulah yang kami sakitkan. Orang melakukan perubahan tanpa menilai apakah orang lain suka atau tidak akan perubahan itu,” kata lagi anggota pasukan siluman.

“Sudah, hentikan pertikaian. Sebab yang akan kita kerjakan kelak, bukan mengira-ngira perihal jalan pikiran junjungan kalian, melainkan untuk merencanakan bagaimana perjalanan hidup kita kelak menjadi lebih baik,” Raden Yudakara menengahi. ”Sekarang kalian boleh pergi. Tunggulah aku di tempat biasa…” Raden Yudakara berkata sambil membalikkan tubuh membelakangi anggota pasukan siluman.

Seperti sudah mengerti melihat sikap ini, sepertinya benar, ini adalah perintah untuk segera angkat kaki. Buktinya tanpa bertanya itu-ini, semua anggota pasukan segera berloncatan meninggalkan tempat ini.

Tinggallah Raden Yudakara berdua dengan Purbajaya.

“Engkau mempengaruhi mereka agar punya keyakinan seperti itu?” tanya Purbajaya.

“Hahahaha. Engkau cukup pandai, Purba…“

“Tidak perlu sambil ketawa. Tapi kau terangkanlah Raden, mengapa hal itu musti dilakukan?” tanya Purbajaya namun dengan nada masih ketus.

“Masih ingatkah ucapan para pembantu Pangeran Arya Damar kepada Ki Jayaratu di puncak Cakrabuana?”

“Apa itu?” Purbajaya mengingat-ingat.

“Bahwa untuk melahirkan pahlawan maka ciptakanlah kemelut dan engkau pun akan muncul!” kata Raden Yudakara.

“Apa keuntungan Raden menciptakan kemelut di sini?”

“Panageran Arya Damar butuh permasalahan agar punya alasan menggempur Pajajaran. Maka aku ciptakan Pasukan Nyi Rambut Kasih, dibentuk dari orang-orang Sindangkasih yang tetap rindu akan masa lalu. Orang-orang yang berkutat dengan masa lalu, pasti akan membenci masa kini.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment