“Orang-orang Sindangkasih pasti membenci Carbon, Sumedanglarang atau Talaga dan akan berpihak kepada Pajajaran. Inilah sebuah masalah. Tidak salahkah bukan, kalau aku bertindak pula sebagai pahlawan dalam menyelamatkan situasi?” tutur Raden Yudakara dengan senyum dikulum namun membuat Purbajaya semakin sebal mendengarnya.
“Engkau dan Pangeran Arya Damar setali tiga uang!” teriak Purbajaya jengkel dan berjingkat meninggalkan tempat itu.
Namaun belum lagi beranjak, Purbajaya sudah dijegal Raden Yudakara. Tangan kiri Purbajaya ditarik keras sehingga tubuh Purbajaya terjengkang ke belakang. Sebelum tubuhnya jatuh, dia segera salto. Akibatnya, pegangan tangan Raden Yudakara lepas karena terpelintir gerakan salto. Purbajaya beberapa kali bersalto agar segera menjauh dari pemuda jahat itu. Namun Raden Yudakara terus mengejar, bahkan kini mengirimkan pukulan-pukulan keras. Dan akhirnya terjadilah perkelahian seru.
Sudah lama Purbajaya ingin menguji sejauh mana kepandaian pemuda yang banyak memiliki akal licik ini. Dulu pertandingan lari ke puncak Cakrabuana dan rasanya Purbajaya bisa memenangkan lomba itu. Namun adu tenaga seperti itu tidak menjamin bahwa dalam pertempuran pun Purbajaya bakal unggul. Bahkan Purbajaya musti berhati-hati. Kalau Raden Yudakara sanggup memimpin pasukan siluman yang semua anggotanya hebat-hebat, barangkali pemuda bangsawan itu kini semakin memiliki kepandaian hebat. Purbajaya ingat, dari jarak cukup jauh, Raden Yudakara sanggup melukai tiga orang anggota pasukan siluman hanya dengan lemparan batu kerikil.
Purbajaya melawan Raden Yudakara dengan semangat tinggi dan hati tenang. Dia tidak khawatir Raden Yudakara akan mencelakai atau bahkan membunuhnya. Keyakinan ini didasarkan pada perkataan pemuda bangsawan itu sendiri yang amat memerlukan agar Purbajaya tetap berada di sampingnya. Dengan demikian, keadaan ini akan menjamin keselamatan dirinya.
Purbajaya lebih dahulu berinisiatif melakukan serangan. Berbagai jurus dan tipu daya yang pernah dipelajari dari Paman Jayaratu dia kerahkan untuk melumpuhkan Raden Yudakara. Untuk sementara, pemuda bangsawan itu kelabakan. Mungkin dia tak menduga kalau Purbajaya langsung menyerangnya dengan mati-matian. Namun sesudah pertarungan berlangsung cukup lama, akhirnya Raden Yudakara bisa mengimbangi permainan. Bahkan semakin pertarungan berlangsung, suasana jadi semakin berbalik, giliran Purbajaya semakin terdesak. Mungkin setelah beberapa bertanding, Raden Yudakara bisa mempelajari jurus-jurus yang dipergunakan Purbajaya.
Yang membuat Purbajaya tidak menjadi kalah dalam pertarungan ini, karena Raden Yudakara memang tidak berniat mencelakakannya. Ini sesuai dengan dugaan Purbajaya bahwa pemuda bangsawan itu amat memerlukan dirinya.
Namun demikian, Purbajaya tak mau berterimakasih karena “kebaikan” ini. Dia sudah tak mau lagi ikut Raden Yudakara. Purbajaya tetap berpendapat kalau pemuda bangsawan ini tindak-tanduknya penuh misteri dan membahayakan. Sama bahayanya dengan Pangeran Arya Damar, atau bahkan juga lebih. Ini karena Raden Yudakara pekerjaannya sebagai mata-mata dan punya dua sisi seperti apa kata Paman Jayaratu. Pemuda ini sekali waktu berada di Carbon namun sekali waktu berada di Pajajaran. Siapa yang benar-benar tahu bahwa dia bekerja untuk kepentingan Carbon? Bagaimana kalau yang terjadi itu malah sebaliknya?
Tanda-tanda ke arah itu memang belum didapat. Namun demikian Purbajaya mendapatkan kalau gerakan-gerakan yang dibuat oleh pemuda ini bisa membahayakan keberadaan Carbon. Sebagai contoh, Raden Yudakara telah menciptakan sebuah keresahan. Dia menghimpun orang dari Sindangkasih agar memiliki fanatisme kepada leluhurnya. Oleh Raden Yudakara diciptakan image seolah-olah Nyimas Rambut Kasih, penguasa Karatuan Sindangkasih memendam rasa sakit hati kepada perubahan zaman yang dihembuskan oleh Carbon. Raden Yudakara telah membangkitkan rasa permusuhan orang Sindangkasih kepada Carbon dan sekutunya.
Orang-orang yang tergabung ke dalam Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih, menjauhi Carbon dan mendekatkan diri kepada Pajajaran dan membuat kekacauan serta meresahkan masyarakat di wilayah kekuasaan Carbon. Dengan adanya situasi demikian, Raden Yudakara sepertinya berharap akan ada kebijakan lain dari penguasa Carbon dalam menangani “kekacauan yang ditimbulkan oleh sekelompok simpatisan kehidupan masa lalu”.
Semakin resah keadaan semakin diharapkan adanya kebijakan baru dalam menindas lawan. Dan para penganut garis keras seperti Pangeran Arya Damar misalnya, akan punya peluang untuk memilih jalan keras dalam menguasai situasi. Banyak yang berlomba untuk menyelesaikan dan meredam situasi ini sebab bila berhasil tentu dia akan keluar sebagai pahlawan. Begitu kira-kira yanga dicita-citakan oleh Raden Yudakara.
Kendati surat daun lontar yang sedianya dikirim oleh penguasa Sumedanglarang untuk Kangjeng Sunan Parung di Talaga tidak pernah diketahui apa isinya, namun Purbajaya bisa menduga, surat itu pasti memperbincangkan perihal ini. Orang-orang di Sumedanglarang tentu sudah mencium kegiatan Raden Yudakara yang dianggapnya membahayakan ketentraman.
Menduga ke arah itu, menyebabkan Purbajaya semakin sebal kepada pemuda bangsawan itu. Itulah sebabnya, hari ini dia bertekad melepaskan diri dari belenggu yang mengikatnya. Purbajaya sudah tak mau ikut Raden Yudakara, apa pun yang diamanatkan Paman Jayaratu.
Namun Purbajaya harus berjuang mati-matian untuk bisa melepas genggaman pemuda bangsawan ini. Raden Yudakara memang berilmu tinggi. Gerakannya cepat dan ganas. Jurus-jurus yang dia keluarkan diarahkan untuk membunuh. Namun kalau saja Purbajaya sejauh ini tidak terluka, itu karena dugaannya tadi, yaitu Raden Yudakara membutuhkan Purbajaya.
Karena hal ini, maka pertempuran menjadi alot. Purbajaya tak bisa mengalahkan, namun Raden Yudakara sebaliknya tak mau melumpuhkan. Sampai matahari muncul dari timur dan kabut tebal mulai hilang, pertempuran tidak juga selesai.
“Berhentilah, engkau tak bisa mengalahkan aku!” teriak Raden Yudakara menangkis beberapa pukulan Purbajaya.
“Tapi kau pun tidak bisa membunuhku!” Purbajaya balas teriak. Keringat sudah bersimbah di seluruh tubuh.
“Ya. Karena itu, hentikanlah perlawananmu, sebab kita hanya akan menghabiskan tenaga sia-sia. Ingatlah, perjalanan kita masih jauh!” kata Raden Yudakara.
“Aku tidak akan ke mana-mana!” jawab Purbajaya sambil menjatuhkan diri saking lelahnya.
“Tidak. Kau akan ke wilayah Pajajaran!”
“Tidak mau!”
“Coba sekali lagi, pilihlah hai manusia dungu,” teriak Raden Yudakara dengan bertolak pinggang dan sepasang matanya menyorot tajam ke arah Purbajaya, “Bila kau pergi ke Pajajaraan, kau akan jadi manusia terhormat, sebaliknya bila kau tak ke mana-mana, hukumanlah ganjarannya. Kau akan dicap pemberontak dan pengkhianat. Itu adalah derajat paling rendah yang terdapat pada diri manusia. Apa kau sanggup bertanggung-jawab kepada gurumu?” sambung Raden Yudakara.
Purbajaya menatap tajam kepada Raden Yudakara.
“Sekali lagi kutegaskan, hidupmu tergantung padaku. Begitu pun derajatmu. Hanya aku yang tahu pengkhianatanmu di Cakrabuana. Jadi dengan amat mudah aku bisa mencampakkanmu. Namun sebaliknya, aku pun dengan mudah mengangkat derajatmu bila kau tetap ikut aku, sesuai yang diperintahkan Carbon.”
Purbajaya menjadi bimbang mendengar perkataan Raden Yudakara ini. Kalau tadi dia bertekad memisahkan diri, kini malah timbul keraguan. Memang benar omongan pemuda bangsawan itu, posisi Purbajaya tergencet. Kalau dia memisahkan diri dari Raden Yudakara, semua orang akan mudah menuduhnya sebagai pengkhianat.
“Engkau dan Pangeran Arya Damar setali tiga uang!” teriak Purbajaya jengkel dan berjingkat meninggalkan tempat itu.
Namaun belum lagi beranjak, Purbajaya sudah dijegal Raden Yudakara. Tangan kiri Purbajaya ditarik keras sehingga tubuh Purbajaya terjengkang ke belakang. Sebelum tubuhnya jatuh, dia segera salto. Akibatnya, pegangan tangan Raden Yudakara lepas karena terpelintir gerakan salto. Purbajaya beberapa kali bersalto agar segera menjauh dari pemuda jahat itu. Namun Raden Yudakara terus mengejar, bahkan kini mengirimkan pukulan-pukulan keras. Dan akhirnya terjadilah perkelahian seru.
Sudah lama Purbajaya ingin menguji sejauh mana kepandaian pemuda yang banyak memiliki akal licik ini. Dulu pertandingan lari ke puncak Cakrabuana dan rasanya Purbajaya bisa memenangkan lomba itu. Namun adu tenaga seperti itu tidak menjamin bahwa dalam pertempuran pun Purbajaya bakal unggul. Bahkan Purbajaya musti berhati-hati. Kalau Raden Yudakara sanggup memimpin pasukan siluman yang semua anggotanya hebat-hebat, barangkali pemuda bangsawan itu kini semakin memiliki kepandaian hebat. Purbajaya ingat, dari jarak cukup jauh, Raden Yudakara sanggup melukai tiga orang anggota pasukan siluman hanya dengan lemparan batu kerikil.
Purbajaya melawan Raden Yudakara dengan semangat tinggi dan hati tenang. Dia tidak khawatir Raden Yudakara akan mencelakai atau bahkan membunuhnya. Keyakinan ini didasarkan pada perkataan pemuda bangsawan itu sendiri yang amat memerlukan agar Purbajaya tetap berada di sampingnya. Dengan demikian, keadaan ini akan menjamin keselamatan dirinya.
Purbajaya lebih dahulu berinisiatif melakukan serangan. Berbagai jurus dan tipu daya yang pernah dipelajari dari Paman Jayaratu dia kerahkan untuk melumpuhkan Raden Yudakara. Untuk sementara, pemuda bangsawan itu kelabakan. Mungkin dia tak menduga kalau Purbajaya langsung menyerangnya dengan mati-matian. Namun sesudah pertarungan berlangsung cukup lama, akhirnya Raden Yudakara bisa mengimbangi permainan. Bahkan semakin pertarungan berlangsung, suasana jadi semakin berbalik, giliran Purbajaya semakin terdesak. Mungkin setelah beberapa bertanding, Raden Yudakara bisa mempelajari jurus-jurus yang dipergunakan Purbajaya.
Yang membuat Purbajaya tidak menjadi kalah dalam pertarungan ini, karena Raden Yudakara memang tidak berniat mencelakakannya. Ini sesuai dengan dugaan Purbajaya bahwa pemuda bangsawan itu amat memerlukan dirinya.
Namun demikian, Purbajaya tak mau berterimakasih karena “kebaikan” ini. Dia sudah tak mau lagi ikut Raden Yudakara. Purbajaya tetap berpendapat kalau pemuda bangsawan ini tindak-tanduknya penuh misteri dan membahayakan. Sama bahayanya dengan Pangeran Arya Damar, atau bahkan juga lebih. Ini karena Raden Yudakara pekerjaannya sebagai mata-mata dan punya dua sisi seperti apa kata Paman Jayaratu. Pemuda ini sekali waktu berada di Carbon namun sekali waktu berada di Pajajaran. Siapa yang benar-benar tahu bahwa dia bekerja untuk kepentingan Carbon? Bagaimana kalau yang terjadi itu malah sebaliknya?
Tanda-tanda ke arah itu memang belum didapat. Namun demikian Purbajaya mendapatkan kalau gerakan-gerakan yang dibuat oleh pemuda ini bisa membahayakan keberadaan Carbon. Sebagai contoh, Raden Yudakara telah menciptakan sebuah keresahan. Dia menghimpun orang dari Sindangkasih agar memiliki fanatisme kepada leluhurnya. Oleh Raden Yudakara diciptakan image seolah-olah Nyimas Rambut Kasih, penguasa Karatuan Sindangkasih memendam rasa sakit hati kepada perubahan zaman yang dihembuskan oleh Carbon. Raden Yudakara telah membangkitkan rasa permusuhan orang Sindangkasih kepada Carbon dan sekutunya.
Orang-orang yang tergabung ke dalam Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih, menjauhi Carbon dan mendekatkan diri kepada Pajajaran dan membuat kekacauan serta meresahkan masyarakat di wilayah kekuasaan Carbon. Dengan adanya situasi demikian, Raden Yudakara sepertinya berharap akan ada kebijakan lain dari penguasa Carbon dalam menangani “kekacauan yang ditimbulkan oleh sekelompok simpatisan kehidupan masa lalu”.
Semakin resah keadaan semakin diharapkan adanya kebijakan baru dalam menindas lawan. Dan para penganut garis keras seperti Pangeran Arya Damar misalnya, akan punya peluang untuk memilih jalan keras dalam menguasai situasi. Banyak yang berlomba untuk menyelesaikan dan meredam situasi ini sebab bila berhasil tentu dia akan keluar sebagai pahlawan. Begitu kira-kira yanga dicita-citakan oleh Raden Yudakara.
Kendati surat daun lontar yang sedianya dikirim oleh penguasa Sumedanglarang untuk Kangjeng Sunan Parung di Talaga tidak pernah diketahui apa isinya, namun Purbajaya bisa menduga, surat itu pasti memperbincangkan perihal ini. Orang-orang di Sumedanglarang tentu sudah mencium kegiatan Raden Yudakara yang dianggapnya membahayakan ketentraman.
Menduga ke arah itu, menyebabkan Purbajaya semakin sebal kepada pemuda bangsawan itu. Itulah sebabnya, hari ini dia bertekad melepaskan diri dari belenggu yang mengikatnya. Purbajaya sudah tak mau ikut Raden Yudakara, apa pun yang diamanatkan Paman Jayaratu.
Namun Purbajaya harus berjuang mati-matian untuk bisa melepas genggaman pemuda bangsawan ini. Raden Yudakara memang berilmu tinggi. Gerakannya cepat dan ganas. Jurus-jurus yang dia keluarkan diarahkan untuk membunuh. Namun kalau saja Purbajaya sejauh ini tidak terluka, itu karena dugaannya tadi, yaitu Raden Yudakara membutuhkan Purbajaya.
Karena hal ini, maka pertempuran menjadi alot. Purbajaya tak bisa mengalahkan, namun Raden Yudakara sebaliknya tak mau melumpuhkan. Sampai matahari muncul dari timur dan kabut tebal mulai hilang, pertempuran tidak juga selesai.
“Berhentilah, engkau tak bisa mengalahkan aku!” teriak Raden Yudakara menangkis beberapa pukulan Purbajaya.
“Tapi kau pun tidak bisa membunuhku!” Purbajaya balas teriak. Keringat sudah bersimbah di seluruh tubuh.
“Ya. Karena itu, hentikanlah perlawananmu, sebab kita hanya akan menghabiskan tenaga sia-sia. Ingatlah, perjalanan kita masih jauh!” kata Raden Yudakara.
“Aku tidak akan ke mana-mana!” jawab Purbajaya sambil menjatuhkan diri saking lelahnya.
“Tidak. Kau akan ke wilayah Pajajaran!”
“Tidak mau!”
“Coba sekali lagi, pilihlah hai manusia dungu,” teriak Raden Yudakara dengan bertolak pinggang dan sepasang matanya menyorot tajam ke arah Purbajaya, “Bila kau pergi ke Pajajaraan, kau akan jadi manusia terhormat, sebaliknya bila kau tak ke mana-mana, hukumanlah ganjarannya. Kau akan dicap pemberontak dan pengkhianat. Itu adalah derajat paling rendah yang terdapat pada diri manusia. Apa kau sanggup bertanggung-jawab kepada gurumu?” sambung Raden Yudakara.
Purbajaya menatap tajam kepada Raden Yudakara.
“Sekali lagi kutegaskan, hidupmu tergantung padaku. Begitu pun derajatmu. Hanya aku yang tahu pengkhianatanmu di Cakrabuana. Jadi dengan amat mudah aku bisa mencampakkanmu. Namun sebaliknya, aku pun dengan mudah mengangkat derajatmu bila kau tetap ikut aku, sesuai yang diperintahkan Carbon.”
Purbajaya menjadi bimbang mendengar perkataan Raden Yudakara ini. Kalau tadi dia bertekad memisahkan diri, kini malah timbul keraguan. Memang benar omongan pemuda bangsawan itu, posisi Purbajaya tergencet. Kalau dia memisahkan diri dari Raden Yudakara, semua orang akan mudah menuduhnya sebagai pengkhianat.
Tanpa dilaporkan perihal peristiwa di Cakrabuana pun, kalau Purbajaya tak ikut Raden Yudakara, ini sudah pengkhianatan sebab dianggapnya melanggar perintah negara. Kalau dia tetap menolak ikut Raden Yudakara, dia mungkin terlunta-lunta sebab tak mungkin kembali ke Carbon, Sumedanglarang atau ke mana pun. Pulang ke Sumedanglarang pasti akan dihadang pertanyaan mengenai tewasnya tiga calon ksatria itu. Kalau Ki Bagus Sura masih hidup, Purbajaya pasti tak tahu bagaimana musti bertanggung-jawab. Amanat dan keinginan orang tua itu, tidak satu pun yang bisa dikerjakan dengan baik. Satu-satunya jalan terbaik, tentu hanya ikut ke mana Raden Yudakara pergi.
“Bagaiamana…?” tanya Raden Yudakara.
Tanpa menjawab sepatah pun, Purbajaya bangun dari duduknya. Namun demikian Raden Yudakara sepertinya mengerti akan pilihan Purbajaya. Buktinya dia segera berjalan duluan. Dia yakin betul bahwa Purbajaya akan mengikutinya dari belakang.
DENGAN amat lesunya Purbajaya melangkah di belakang Raden Yudakara. Sementara pemuda bangsawan itu kelihatannya kalem-kalem saja. Dia sepertinya tak mau tahu atau pura-pura tak tahu kalau selama ini Purbajaya enggan ikut bersamanya. Raden Yudakara tak mau tahu kalau selama dalam perjalanan Purbajaya membisu seribu-bahasa.
Sementara itu, Raden Yudakara hahah-heheh selama di perjalanan. Sesekali terdengar bersenandung. Senandungnya memang merdu dan enak didengar kendati isi lantunannya Purbajaya tak suka.
Kalau tidak mendapatkan cahaya matahari
tidak apa cahaya rembulan pun
Kalau tidak ada cahaya rembulan
tidak apa tanpa cahaya pun
Hidup susah dicari dan hidup mudah dicari
yang susah kalau bertahan dengan kejujuran
yang mudah kalau penuh keberanian
Bukan berpikir untuk hari esok
tapi berpikirlah esok
sebab yang namanya hidup
adalah hari ini!
“Hmm… Tak bertanggung-jawab!” Purbajaya mencemooh.
Dan Raden Yudakara menghentikan langkahnya sejenak. Lantunan nyanyiannya pun mendadak berhenti.
“Mengapa tak bertanggung-jawab?” tanyanya melirik ke belakang.
“Orang yang hanya berpikir tentang hari ini saja dan sambil menolak kejujuran adalah kejahatan!” Purbajaya hanya bicara seperti kepada dirinya. Balas memandang kepada Raden Yudakara pun dia tidak.
“Hahaha…! Hidup ini persaingan. Bersaing sesama lawan hanya berpikir tentang bagaimana caranya agar hanya kita yang memetik kemenangan. Jangan katakan tipu-muslihat sebagai kejahatan sebab itu hanyalah sebuah perangkat dalam mencapai kemenangan,” kata Raden Yudakara sambil tersenyum renyah menatap matahari pagi yang menyongsong di kanannya.
Purbajaya tak bersemangat untuk menyimak pendapat serakah ini. Yang paling tak bersemangat, perjalanan kali ini akan kembali menuju ke utara. Mungkin akan kembali merambah wilayah Sumedanglarang. Sebab seperti yang telah dikatakan Raden Yudakara, mereka akan melakukan perjalanan ke barat, ke wilayah Pajajaran, untuk menjalankan “misi negara” seperti versi yang dikemukakannya.
Bagaimana Purbajaya tidak akan merasa lesu. Perjalanan kali ini serasa penuh tekanan. Ada pemaksaan kehendak dari Raden Yudakara. Pemuda itu menekan Purbajaya dengan berbagai kesulitan. Dan memang tekanan itu sungguh tepat. Purbajaya tak bisa tidak musti ikut keinginan pemuda aneh itu. Kalau dia tak mau maka tak akan ada jalan kembali. Pulang ke Carbon akan dimintai pertanggung-jawaban mengenai peristiwa di Cakrabuana. Begitu pun kalau dia kembali ke Sumedanglarang, sama-sama akan dihadang oleh pertanyaan mengenai peristiwa terbunuhnya tiga orang calon ksatria murid Ki Dita.
Satu-satunya lubang yang bisa menyelamatkan dirinya adalah melanjutkan misi penyusupan ke wilayah Pajajaran. Bila dia mentaati kehendak Raden Yudakara maka dia dijanjikan menerima perlindungan dari pemuda itu.
Maka walau pun dengan terpaksa, tentu saja pada akhirnya Purbajaya memilih ikut kehendak Raden Yudakara. Memang serasa terpaksa sebab gerakan-gerakan pemuda itu dalam melaksanakan misi Carbon telah mendomplengkan cita-citanya sendiri. Purbajaya malah menilai, keamanan sudah menjadi rawan karena kepentingan-kepentingan pribadi ini.
Kemunculan Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih misalnya, jelas-jelas direkayasa guna mendukung kepentingan tertentu dengan memanfaatkan dan mengipasi tuntutan sebagian kecil orang-orang Sindangkasih. Ini yang amat membahayakan sebab dengan demikian terjadi adu-domba di antara kelompok-kelompok yang sebenarnya tidak perlu bertikai.
Ini sungguh menyebalkan. Kalau saja Purbajaya tak tertarik dengan sebuah urusan, mungkin dia lebih memilih mati ketimbang melibatkan diri ke dalam kancah politik jahat ini.
Ya, di hati Purbajaya ada juga sedikit rasa penasaran. Dia ingin menguak kabut misteri yang menyelimuti dirinya. Orang mengatakan kalau dirinya adalah anak seorang kandagalante (pejabat setingkat wedana masa kini) di wilayah Tanjungpura (daerah Karawang). Benarkah kedua orangtuanya terbunuh dalam pertempuran antara pasukan Carbon dan Pajajaran? Benar atau tidak, yang jelas hati kecilnya memendam rasa penasaran yang sangat. Dengan adanya misi ke wilayah Pajajaran, maka sedikit banyaknya Purbajaya akan bisa menyilidiki perihal keberadaan dirinya. Itulah sebabnya, biar pun sebal dia ikut juga.
Namun yang hatinya tak enak, perjalanan menuju utara ini akan mengingatkan dirinya kepada peristiwa terbunuhnya tiga orang calon ksatria Sumedanglarang. Bagaimana dia mempertanggung-jawabkan kejadian ini kepada Ki Dita sebagai guru mereka? Bagaimana pula musti bertanggung-jawab kepada orangtua mereka dan kepada penguasa Sumedanglarang, tokh bagaimana pun ketiga orang calon ksatria itu tengah melaksanakan tugas negara.
Perasaan tak enak lainnya menderanya pula bila dia ingat Ki Bagus Sura. Jelas, dia telah gagal melaksanakan keinginan orang tua itu. Purbajaya tak bisa menyelamatkan surat daun lontar dan Purbajaya pun tak bisa melaksanakan keinginan orang tua itu agar dia menikahi Nyimas Yuning Purnama. Jangankan bisa memepertanggung-jawabkan amanat orang tua itu, sekadar ingin merawat luka Ki Bagus Sura saja dia tak bisa. Memalukan sekali! Bila akan menuju wilayah Pajajaran musti lewat Sumedanglarang, hati Purbajaya memang berat sekali.
Namun, berani pulakah Raden Yudakara lewat Ciguling (wilayah ibu kota Sumedanglarang)? Purbajaya pun sangsi kalau pemuda itu berani menampakkan diri di pusat keramaian sebab Raden Yudakara diduga punya masalah juga. Malah bisa saja masalah yang dia hadapi di Sumedanglarang lebih berat ketimbang masalah yang dialami Purbajaya.
Bagaimana pun Raden Yudakara jelas sudah dicurigai pihak penguasa Sumedanglarang. Walau pun tidak sampai ditangkap, mungkin pemuda itu akan ditolak masuk bila diketahui keluyuran di Ciguling. Bila demikian halnya, maka Purbajaya menduga kalau pemuda itu tak akan membawanya ke pusat ibu kota Sumedanglarang. Dan itu artinya harus menyisir jalan yang lebih berat untuk menghindari jalan pedati yang banyak dilalui umum.
Purbajaya mengeluh. Tidak melalui jalanan umum berarti cari penyakit lagi. Dia sudah bosan musti bertemu lagi dengan kelompok orang jahat dan bertempur dengan mereka. Purbajaya merasa kalau kelak akan kembali dihadang penjahat di daerah sunyi dan terpencil.
Benar perkiraan Purbajaya, Raden Yudakara tak membawanya ke jalan besar, melainkan memotong ke arah jalan setapak yang sunyi dan lebat oleh pepohonan. Raden Yudakara sungguh berani, padahal cuaca sudah mulai mendung oleh kabut tebal karena senja telah mulai jatuh. Keberanian ini cukup mengundang pujian di hati Purbajaya. Hanya orang yang memiliki keyakinan kuatlah yang tidak pernah ragu-ragu dalam setiap tindak-tanduknya.
Kalau mengingat akan hal ini, sebetulnya Purbajaya boleh merasa malu kepada Raden Yudakara. Perilaku antara dia dan pemuda bangsawan itu sungguh jauh berbeda. Raden Yudakara serba optimis dan penuh keyakinan dalam menghadapi persoalan apa pun, sementara dirinya selalu banyak pertimbangan. Apakah memang benar orang yang terlalu berkutat dengan pertimbangan sulit maju sementara yang punya keberanian akan mudah menggapai cita-cita, Purbajaya tak bisa memastikannya.
Hanya yang jelas, dirinya telah banyak gagal hanya karena terlalu banyak perasaan dan pertimbangan, sementara Raden Yudakara banyak menerima kesuksesan hanya karena mengandalkan keberanian dan rasa optimisnya.
Namun demikian, Purbajaya tak percaya kalau kesuksesan yang diraih oleh Raden Yudakara mewakili kebenaran. Ambillah contoh keberhasilan pemuda bangsawan itu dalam mempersunting Nyimas Waningyun. Dia memang berhasil. Namun keberhasilan ini tidak dilalui oleh perbuatan yang mengatas-namakan kebenaran. Dia bisa merebut sukses tapi tidak terhormat.
Baginya yang penting adalah menang, bagaimana pun caranya. Rupanya begitu pula yang dilakukan kepada diri Nyimas Yuning Purnama. Gadis yang jujur dan baik hati ini tidak merasa perlu berhati-hati kepada keteguhan seorang lelaki bernama Raden Yudakara. Disangkanya, pemuda bangsawan berwajah tampan ini memiliki hati yang tampan pula.
Mengapa seseorang yang berhati jujur musti mencurigai orang lain, begitu kebiasaan berpikir orang Pajajaran. Mungkin cara berpikir seperti ini pula yang dipunyai oleh Nyimas Yuning yang lugu dan jujur itu. Dan mungkin itu pula kiat kesuksesan Raden Yudakara, dia memanfaatkan kejujuran dan kepercayaan yang diberikan orang lain untuk kepentingan dan keuntungannya sendiri. Pemuda itu menenggak kesuksesan dari pengorbanan dan kejujuran orang lain.
Berjalan di tengah hutan lebat di saat senja menjelang memang perlu keberanian. Bukan saja binatang buas yang akan menghadang namun juga orang jahat. Tapi sesudah agak lama merambah hutan dan malam pun tiba, mereka berdua tidak mendapatkan gangguan yang berarti kecuali kegelapan dan tebalnya kabut dingin. Berjalan di kabut yang pekat, kedua orang itu harus bertindak amat hati-hati sebab jalan setapak di hutan pegunungan ini meniti tepian jurang.
Sungguh Purbajaya tak mengerti akan sikap pemuda bangsawan ini. Menurut hemat Purbajaya, sebaiknya perjalanan dihentikan guna beristirahat dan dilanjutkan esok harinya. Namun kelihatannya Raden Yudakara sengaja melakukan perjalanan malam guna mengejar waktu. Apa yang dia kejar, sungguh Purbajaya tak tahu. Purbajaya menghentikan lamunannya ketika secara tiba-tiba Raden Yudakara memberi aba-aba agar Purbajaya menghentikan langkahnya.
“Di sini dia rupanya…” gumam Raden Yudakara.
“Ada apa?” tanya Purbajaya heran.
“Lihat cahaya di mulut gua itu…” Raden Yudakara menunjuk sambil bicara pelan.
“Memang itu cahaya api,” jawab Purbajaya ikut bicara pelan.
“Kau pergilah sana, cari tahu!” perintah pemuda itu.
Purbajaya tercenung sebentar. Raden Yudakara memang cerdik. Untuk hal-hal yang membahayakan, dia tak mau semberono menantang maut dan diserahkannya kepada orang lain. Dan dengan hati dongkol, Purbajaya terpaksa mentaati perintah ini. Dia berjingkat akan segera pergi ketika tangannya ditarik kembali oleh Raden Yudakara.
“Kau hati-hatilah. Tugasmu hanya mengintip siapa di dalam. Sudah itu kau kembali lagi ke sini,” perintahnya lagi.
Dan Purbajaya berindap-indap kembali mendekati mulut gua. Itu adalah gua batu, namun banyak ditumbuhi semak pohon paku dan terlihat rimbun sekali. Hanya karena cahaya api saja Purbajaya bisa melihat di mana arah mulut gua. Purbajaya terus bergerak dengan amat hati-hati. Dia khawatir kalau yang ada di dalam gua adalah orang jahat berkepandaian tinggi.
Dan sebentar kemudian dia sudah ada di mulut gua. Purbajaya berhenti sebentar untuk mengatur pernapasan dan sekalian menunggu, apakah penghuni gua mengetahui kedatangannya atau tidak? Setelah yakin bahwa tak ada gerakan mencurigakan dari dalam gua, Purbajaya segera melanjutkan pengintaiannya. Sungguh hati Purbajaya terkejut ketika dia tahu siapa yang ada di dalam gua.
“Ki Dita…” bisiknya pelan sekali.
Purbajaya jadi heran, mengapa Ki Dita berada di sini. Seorang diri lagi. Lantas ke mana Ki Bagus Sura dan Paman Ranu? Namun tentu saja, untuk langsung memasuki gua dan menemui Ki Dita dia tak berani. Di samping Raden Yudakara tak memerintahkan demikian, juga karena terselip perasaan curiga. Jangan-jangan Raden Yudakara berjalan di gelap malam secara terburu-buru adalah untuk bertemu dengan Ki Dita. Karena pertimbangan inilah maka Purbajaya secepatnya kembali menemui Raden Yudakara. Dan sungguh mencengangkan, ketika Purbajaya melapor siapa yang ada di dalam gua, Raden Yudakara gembira.
“Sudah aku duga, dia menunggu kita di sini…” gumamnya. Kemudian serta-merta dia meloncat dari tempat sembunyi dan menuju arah gua.
Purbajaya pun mengikutinya dari belakang dengan perasaan ingin tahu.
Ki Dita yang tengah duduk di dalam terlihat bersila mengatur pernapasan. Dia terkejut sekali ketika secara tiba-tiba ada yang datang. Namun setelah tahu yang datang adalah Raden Yudakara, wajah orang tua itu terlihat tegang.
“Raden…“
“Betul, ini aku.”
Untuk kedua kalinya Purbajaya terkejut. Nyatanya antara Raden Yudakara dan Ki Dita sudah saling kenal.
“Kau telah melaksanakan tugas dengan baik, Dita,” kata Raden Yudakara gembira. Namun yang dipuji nampak murung.
“Tapi engkau keterlaluan, Raden. Mengapa ketiga orang murid saya engkau bunuh?” keluh Ki Dita menunduk.
“Aku hanya bunuh satu. Satunya dibunuh Si Purba ini,” Raden Yudakara menunjuk hidung Purbajaya. Nada bicaranya enteng saja sepertinya ini hanya urusan bunuh membunuh hewan piaraan.
Demi mendengar ucapan Raden Yudakara, Ki Dita celingukan seperti tengah mencari seseorang. Rupanya Ki Dita tak melihat kalau yang datang adalah dua orang sebab Purbajaya berdiri di belakang tubuh Raden Yudakara. Dan wajah Ki Dita beringas ketika pandangan matanya beradu dengan mata Purbajaya. Dia cepat berdiri dan menghambur ke arah di mana Purbajaya berdiri.
“Dia anak buah Ki Bagus Sura, tak sangka membunuh muridku!” teriak Ki Dita menyerang Purbajaya.
Sudah barang tentu Purbajaya gelagapan diserang mendadak seperti ini. Namun ketika Ki Dita melayangkan pukulan, tangan kanan orang tua itu segera tertahan oleh cekalan ketat tangan Raden Yudakara. Cekalan itu disertai tenaga dalam. Buktinya, Ki Dita nampak menyeringai karena kesakitan.
Purbajaya mengeluh di dalam hatinya. Ternyata kepandaian Raden Yudakara berada di atas tingkat kepandaian Ki Dita. Padahal kalau dirinya bertanding melawan Ki Dita, belum tentu dia memenangkannya.
“Jangan serang dia. Si Purba bukan anak buah Ki Bagus Sura!” teriak Raden Yudakara.
“Tapi dia telah bunuh murid saya!” teriak pula Ki Dita penasaran.
“Maksudmu, engkau pun kelak akan membunuhku? Ingat, aku pun telah bunuh muridmu!” kata Raden Yudakara.
Dikatakan begini, Ki Dita menjatuhkan tubuhnya dan meloso tak bertenaga. Dia menutupi wajahnya, sedih dan kesal.
“Ada memar biru di leher Wista. Saya hapal, Radenlah itu yang berbuat. Anak itu tak berdosa, mengapa musti dibunuh?” keluh Ki Dita.
“Gara-garanya Si Purba ini. Kalau tidak terjadi kejadian seperti itu, Si Purba ini tak nanti mau bergabung lagi denganku. Dia hampir jadi pengkhianat. Makanya aku ciptakan masalah agar Si Purba punya keterkaitan dan ditekan oleh masalah itu.”
Ki Dita melongo, apalagi Purbajaya.
“Sudahlah. Ketiga muridmu adalah orang tiada guna. Kerjanya hanya membesar-besarkan masalah kecil. Tak pantas untuk jadi abdi negara. Kalau ikut kita, mungkin hanya mengganggu gerakan kita saja,” kata Raden Yudakara.
Namun Ki Dita masih terlihat tak puas.
“Aku malah punya masalah dengan Si Aditia. Anak ini kerjanya menjelek-jelekkan aku. Hampir saja aku tak bisa menikahi Nyimas Yuning karena gangguan pemuda brengsek itu. Coba, apakah kau merasa terhormat memiliki murid manja dan tak hormat kepada orang yang semestinya dihormat dan disegani?” tanya Raden Yudakara. Lantas pemuda ini ikut duduk dan segera mengambil daging burung walik yang terpanggang di atas api unggun. Daging burung itu dimakannya sendiri dengan lahapnya tanpa menawari yang lainnya.
Perut Purbajaya keruyukan ketika melihat Raden Yudakara makan dengan lahapnya. Sejak kemarin siang mereka berdua memang belum makan apa-apa.
“Ketiga orang murid saya memang bodoh-bodoh. Dan mereka sungguh tak tahu apa-apa perihal kegiatan kita ini…” gumam Ki Dita masih murung.
“Justru karena tak tahu apa-apa maka kemungkinan mengganggu kita semakin mudah. Sementara kalau mereka kita libatkan… Ah, orang-orang itu memang dungu, kekanak-kanakan dan selalu membesar-besarkan masalah sepele saja. Aku benci anak-anak. Mereka rewel dan manja. Aku malah heran, engkau yang setangguh ini hanya memiliki murid-murid sampah seperti itu…” omel Raden Yudakara.
“Saya sebetulnya hanya pekerja biasa, Raden. Ketiga orang itu anak-anak bangsawan semata dan pengaruh orangtua mereka lumayan. Saya hanya diberi kemudahan, makanan, pakaian dan perumahan yang layak, sesudah itu saya tak bisa apa-apa untuk menolak keinginan para pejabat itu,” kata Ki Dita dengan pandangan mata sayu tak bersemangat.
Hanya dikomentari oleh Raden Yudakara dengan dengus ejekan.
“Selanjutnya saya musti bagaimana?, Raden?” tanya Ki Dita setelah lama berdiam diri.
“Bagaiamana…?” tanya Raden Yudakara.
Tanpa menjawab sepatah pun, Purbajaya bangun dari duduknya. Namun demikian Raden Yudakara sepertinya mengerti akan pilihan Purbajaya. Buktinya dia segera berjalan duluan. Dia yakin betul bahwa Purbajaya akan mengikutinya dari belakang.
DENGAN amat lesunya Purbajaya melangkah di belakang Raden Yudakara. Sementara pemuda bangsawan itu kelihatannya kalem-kalem saja. Dia sepertinya tak mau tahu atau pura-pura tak tahu kalau selama ini Purbajaya enggan ikut bersamanya. Raden Yudakara tak mau tahu kalau selama dalam perjalanan Purbajaya membisu seribu-bahasa.
Sementara itu, Raden Yudakara hahah-heheh selama di perjalanan. Sesekali terdengar bersenandung. Senandungnya memang merdu dan enak didengar kendati isi lantunannya Purbajaya tak suka.
Kalau tidak mendapatkan cahaya matahari
tidak apa cahaya rembulan pun
Kalau tidak ada cahaya rembulan
tidak apa tanpa cahaya pun
Hidup susah dicari dan hidup mudah dicari
yang susah kalau bertahan dengan kejujuran
yang mudah kalau penuh keberanian
Bukan berpikir untuk hari esok
tapi berpikirlah esok
sebab yang namanya hidup
adalah hari ini!
“Hmm… Tak bertanggung-jawab!” Purbajaya mencemooh.
Dan Raden Yudakara menghentikan langkahnya sejenak. Lantunan nyanyiannya pun mendadak berhenti.
“Mengapa tak bertanggung-jawab?” tanyanya melirik ke belakang.
“Orang yang hanya berpikir tentang hari ini saja dan sambil menolak kejujuran adalah kejahatan!” Purbajaya hanya bicara seperti kepada dirinya. Balas memandang kepada Raden Yudakara pun dia tidak.
“Hahaha…! Hidup ini persaingan. Bersaing sesama lawan hanya berpikir tentang bagaimana caranya agar hanya kita yang memetik kemenangan. Jangan katakan tipu-muslihat sebagai kejahatan sebab itu hanyalah sebuah perangkat dalam mencapai kemenangan,” kata Raden Yudakara sambil tersenyum renyah menatap matahari pagi yang menyongsong di kanannya.
Purbajaya tak bersemangat untuk menyimak pendapat serakah ini. Yang paling tak bersemangat, perjalanan kali ini akan kembali menuju ke utara. Mungkin akan kembali merambah wilayah Sumedanglarang. Sebab seperti yang telah dikatakan Raden Yudakara, mereka akan melakukan perjalanan ke barat, ke wilayah Pajajaran, untuk menjalankan “misi negara” seperti versi yang dikemukakannya.
Bagaimana Purbajaya tidak akan merasa lesu. Perjalanan kali ini serasa penuh tekanan. Ada pemaksaan kehendak dari Raden Yudakara. Pemuda itu menekan Purbajaya dengan berbagai kesulitan. Dan memang tekanan itu sungguh tepat. Purbajaya tak bisa tidak musti ikut keinginan pemuda aneh itu. Kalau dia tak mau maka tak akan ada jalan kembali. Pulang ke Carbon akan dimintai pertanggung-jawaban mengenai peristiwa di Cakrabuana. Begitu pun kalau dia kembali ke Sumedanglarang, sama-sama akan dihadang oleh pertanyaan mengenai peristiwa terbunuhnya tiga orang calon ksatria murid Ki Dita.
Satu-satunya lubang yang bisa menyelamatkan dirinya adalah melanjutkan misi penyusupan ke wilayah Pajajaran. Bila dia mentaati kehendak Raden Yudakara maka dia dijanjikan menerima perlindungan dari pemuda itu.
Maka walau pun dengan terpaksa, tentu saja pada akhirnya Purbajaya memilih ikut kehendak Raden Yudakara. Memang serasa terpaksa sebab gerakan-gerakan pemuda itu dalam melaksanakan misi Carbon telah mendomplengkan cita-citanya sendiri. Purbajaya malah menilai, keamanan sudah menjadi rawan karena kepentingan-kepentingan pribadi ini.
Kemunculan Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih misalnya, jelas-jelas direkayasa guna mendukung kepentingan tertentu dengan memanfaatkan dan mengipasi tuntutan sebagian kecil orang-orang Sindangkasih. Ini yang amat membahayakan sebab dengan demikian terjadi adu-domba di antara kelompok-kelompok yang sebenarnya tidak perlu bertikai.
Ini sungguh menyebalkan. Kalau saja Purbajaya tak tertarik dengan sebuah urusan, mungkin dia lebih memilih mati ketimbang melibatkan diri ke dalam kancah politik jahat ini.
Ya, di hati Purbajaya ada juga sedikit rasa penasaran. Dia ingin menguak kabut misteri yang menyelimuti dirinya. Orang mengatakan kalau dirinya adalah anak seorang kandagalante (pejabat setingkat wedana masa kini) di wilayah Tanjungpura (daerah Karawang). Benarkah kedua orangtuanya terbunuh dalam pertempuran antara pasukan Carbon dan Pajajaran? Benar atau tidak, yang jelas hati kecilnya memendam rasa penasaran yang sangat. Dengan adanya misi ke wilayah Pajajaran, maka sedikit banyaknya Purbajaya akan bisa menyilidiki perihal keberadaan dirinya. Itulah sebabnya, biar pun sebal dia ikut juga.
Namun yang hatinya tak enak, perjalanan menuju utara ini akan mengingatkan dirinya kepada peristiwa terbunuhnya tiga orang calon ksatria Sumedanglarang. Bagaimana dia mempertanggung-jawabkan kejadian ini kepada Ki Dita sebagai guru mereka? Bagaimana pula musti bertanggung-jawab kepada orangtua mereka dan kepada penguasa Sumedanglarang, tokh bagaimana pun ketiga orang calon ksatria itu tengah melaksanakan tugas negara.
Perasaan tak enak lainnya menderanya pula bila dia ingat Ki Bagus Sura. Jelas, dia telah gagal melaksanakan keinginan orang tua itu. Purbajaya tak bisa menyelamatkan surat daun lontar dan Purbajaya pun tak bisa melaksanakan keinginan orang tua itu agar dia menikahi Nyimas Yuning Purnama. Jangankan bisa memepertanggung-jawabkan amanat orang tua itu, sekadar ingin merawat luka Ki Bagus Sura saja dia tak bisa. Memalukan sekali! Bila akan menuju wilayah Pajajaran musti lewat Sumedanglarang, hati Purbajaya memang berat sekali.
Namun, berani pulakah Raden Yudakara lewat Ciguling (wilayah ibu kota Sumedanglarang)? Purbajaya pun sangsi kalau pemuda itu berani menampakkan diri di pusat keramaian sebab Raden Yudakara diduga punya masalah juga. Malah bisa saja masalah yang dia hadapi di Sumedanglarang lebih berat ketimbang masalah yang dialami Purbajaya.
Bagaimana pun Raden Yudakara jelas sudah dicurigai pihak penguasa Sumedanglarang. Walau pun tidak sampai ditangkap, mungkin pemuda itu akan ditolak masuk bila diketahui keluyuran di Ciguling. Bila demikian halnya, maka Purbajaya menduga kalau pemuda itu tak akan membawanya ke pusat ibu kota Sumedanglarang. Dan itu artinya harus menyisir jalan yang lebih berat untuk menghindari jalan pedati yang banyak dilalui umum.
Purbajaya mengeluh. Tidak melalui jalanan umum berarti cari penyakit lagi. Dia sudah bosan musti bertemu lagi dengan kelompok orang jahat dan bertempur dengan mereka. Purbajaya merasa kalau kelak akan kembali dihadang penjahat di daerah sunyi dan terpencil.
Benar perkiraan Purbajaya, Raden Yudakara tak membawanya ke jalan besar, melainkan memotong ke arah jalan setapak yang sunyi dan lebat oleh pepohonan. Raden Yudakara sungguh berani, padahal cuaca sudah mulai mendung oleh kabut tebal karena senja telah mulai jatuh. Keberanian ini cukup mengundang pujian di hati Purbajaya. Hanya orang yang memiliki keyakinan kuatlah yang tidak pernah ragu-ragu dalam setiap tindak-tanduknya.
Kalau mengingat akan hal ini, sebetulnya Purbajaya boleh merasa malu kepada Raden Yudakara. Perilaku antara dia dan pemuda bangsawan itu sungguh jauh berbeda. Raden Yudakara serba optimis dan penuh keyakinan dalam menghadapi persoalan apa pun, sementara dirinya selalu banyak pertimbangan. Apakah memang benar orang yang terlalu berkutat dengan pertimbangan sulit maju sementara yang punya keberanian akan mudah menggapai cita-cita, Purbajaya tak bisa memastikannya.
Hanya yang jelas, dirinya telah banyak gagal hanya karena terlalu banyak perasaan dan pertimbangan, sementara Raden Yudakara banyak menerima kesuksesan hanya karena mengandalkan keberanian dan rasa optimisnya.
Namun demikian, Purbajaya tak percaya kalau kesuksesan yang diraih oleh Raden Yudakara mewakili kebenaran. Ambillah contoh keberhasilan pemuda bangsawan itu dalam mempersunting Nyimas Waningyun. Dia memang berhasil. Namun keberhasilan ini tidak dilalui oleh perbuatan yang mengatas-namakan kebenaran. Dia bisa merebut sukses tapi tidak terhormat.
Baginya yang penting adalah menang, bagaimana pun caranya. Rupanya begitu pula yang dilakukan kepada diri Nyimas Yuning Purnama. Gadis yang jujur dan baik hati ini tidak merasa perlu berhati-hati kepada keteguhan seorang lelaki bernama Raden Yudakara. Disangkanya, pemuda bangsawan berwajah tampan ini memiliki hati yang tampan pula.
Mengapa seseorang yang berhati jujur musti mencurigai orang lain, begitu kebiasaan berpikir orang Pajajaran. Mungkin cara berpikir seperti ini pula yang dipunyai oleh Nyimas Yuning yang lugu dan jujur itu. Dan mungkin itu pula kiat kesuksesan Raden Yudakara, dia memanfaatkan kejujuran dan kepercayaan yang diberikan orang lain untuk kepentingan dan keuntungannya sendiri. Pemuda itu menenggak kesuksesan dari pengorbanan dan kejujuran orang lain.
Berjalan di tengah hutan lebat di saat senja menjelang memang perlu keberanian. Bukan saja binatang buas yang akan menghadang namun juga orang jahat. Tapi sesudah agak lama merambah hutan dan malam pun tiba, mereka berdua tidak mendapatkan gangguan yang berarti kecuali kegelapan dan tebalnya kabut dingin. Berjalan di kabut yang pekat, kedua orang itu harus bertindak amat hati-hati sebab jalan setapak di hutan pegunungan ini meniti tepian jurang.
Sungguh Purbajaya tak mengerti akan sikap pemuda bangsawan ini. Menurut hemat Purbajaya, sebaiknya perjalanan dihentikan guna beristirahat dan dilanjutkan esok harinya. Namun kelihatannya Raden Yudakara sengaja melakukan perjalanan malam guna mengejar waktu. Apa yang dia kejar, sungguh Purbajaya tak tahu. Purbajaya menghentikan lamunannya ketika secara tiba-tiba Raden Yudakara memberi aba-aba agar Purbajaya menghentikan langkahnya.
“Di sini dia rupanya…” gumam Raden Yudakara.
“Ada apa?” tanya Purbajaya heran.
“Lihat cahaya di mulut gua itu…” Raden Yudakara menunjuk sambil bicara pelan.
“Memang itu cahaya api,” jawab Purbajaya ikut bicara pelan.
“Kau pergilah sana, cari tahu!” perintah pemuda itu.
Purbajaya tercenung sebentar. Raden Yudakara memang cerdik. Untuk hal-hal yang membahayakan, dia tak mau semberono menantang maut dan diserahkannya kepada orang lain. Dan dengan hati dongkol, Purbajaya terpaksa mentaati perintah ini. Dia berjingkat akan segera pergi ketika tangannya ditarik kembali oleh Raden Yudakara.
“Kau hati-hatilah. Tugasmu hanya mengintip siapa di dalam. Sudah itu kau kembali lagi ke sini,” perintahnya lagi.
Dan Purbajaya berindap-indap kembali mendekati mulut gua. Itu adalah gua batu, namun banyak ditumbuhi semak pohon paku dan terlihat rimbun sekali. Hanya karena cahaya api saja Purbajaya bisa melihat di mana arah mulut gua. Purbajaya terus bergerak dengan amat hati-hati. Dia khawatir kalau yang ada di dalam gua adalah orang jahat berkepandaian tinggi.
Dan sebentar kemudian dia sudah ada di mulut gua. Purbajaya berhenti sebentar untuk mengatur pernapasan dan sekalian menunggu, apakah penghuni gua mengetahui kedatangannya atau tidak? Setelah yakin bahwa tak ada gerakan mencurigakan dari dalam gua, Purbajaya segera melanjutkan pengintaiannya. Sungguh hati Purbajaya terkejut ketika dia tahu siapa yang ada di dalam gua.
“Ki Dita…” bisiknya pelan sekali.
Purbajaya jadi heran, mengapa Ki Dita berada di sini. Seorang diri lagi. Lantas ke mana Ki Bagus Sura dan Paman Ranu? Namun tentu saja, untuk langsung memasuki gua dan menemui Ki Dita dia tak berani. Di samping Raden Yudakara tak memerintahkan demikian, juga karena terselip perasaan curiga. Jangan-jangan Raden Yudakara berjalan di gelap malam secara terburu-buru adalah untuk bertemu dengan Ki Dita. Karena pertimbangan inilah maka Purbajaya secepatnya kembali menemui Raden Yudakara. Dan sungguh mencengangkan, ketika Purbajaya melapor siapa yang ada di dalam gua, Raden Yudakara gembira.
“Sudah aku duga, dia menunggu kita di sini…” gumamnya. Kemudian serta-merta dia meloncat dari tempat sembunyi dan menuju arah gua.
Purbajaya pun mengikutinya dari belakang dengan perasaan ingin tahu.
Ki Dita yang tengah duduk di dalam terlihat bersila mengatur pernapasan. Dia terkejut sekali ketika secara tiba-tiba ada yang datang. Namun setelah tahu yang datang adalah Raden Yudakara, wajah orang tua itu terlihat tegang.
“Raden…“
“Betul, ini aku.”
Untuk kedua kalinya Purbajaya terkejut. Nyatanya antara Raden Yudakara dan Ki Dita sudah saling kenal.
“Kau telah melaksanakan tugas dengan baik, Dita,” kata Raden Yudakara gembira. Namun yang dipuji nampak murung.
“Tapi engkau keterlaluan, Raden. Mengapa ketiga orang murid saya engkau bunuh?” keluh Ki Dita menunduk.
“Aku hanya bunuh satu. Satunya dibunuh Si Purba ini,” Raden Yudakara menunjuk hidung Purbajaya. Nada bicaranya enteng saja sepertinya ini hanya urusan bunuh membunuh hewan piaraan.
Demi mendengar ucapan Raden Yudakara, Ki Dita celingukan seperti tengah mencari seseorang. Rupanya Ki Dita tak melihat kalau yang datang adalah dua orang sebab Purbajaya berdiri di belakang tubuh Raden Yudakara. Dan wajah Ki Dita beringas ketika pandangan matanya beradu dengan mata Purbajaya. Dia cepat berdiri dan menghambur ke arah di mana Purbajaya berdiri.
“Dia anak buah Ki Bagus Sura, tak sangka membunuh muridku!” teriak Ki Dita menyerang Purbajaya.
Sudah barang tentu Purbajaya gelagapan diserang mendadak seperti ini. Namun ketika Ki Dita melayangkan pukulan, tangan kanan orang tua itu segera tertahan oleh cekalan ketat tangan Raden Yudakara. Cekalan itu disertai tenaga dalam. Buktinya, Ki Dita nampak menyeringai karena kesakitan.
Purbajaya mengeluh di dalam hatinya. Ternyata kepandaian Raden Yudakara berada di atas tingkat kepandaian Ki Dita. Padahal kalau dirinya bertanding melawan Ki Dita, belum tentu dia memenangkannya.
“Jangan serang dia. Si Purba bukan anak buah Ki Bagus Sura!” teriak Raden Yudakara.
“Tapi dia telah bunuh murid saya!” teriak pula Ki Dita penasaran.
“Maksudmu, engkau pun kelak akan membunuhku? Ingat, aku pun telah bunuh muridmu!” kata Raden Yudakara.
Dikatakan begini, Ki Dita menjatuhkan tubuhnya dan meloso tak bertenaga. Dia menutupi wajahnya, sedih dan kesal.
“Ada memar biru di leher Wista. Saya hapal, Radenlah itu yang berbuat. Anak itu tak berdosa, mengapa musti dibunuh?” keluh Ki Dita.
“Gara-garanya Si Purba ini. Kalau tidak terjadi kejadian seperti itu, Si Purba ini tak nanti mau bergabung lagi denganku. Dia hampir jadi pengkhianat. Makanya aku ciptakan masalah agar Si Purba punya keterkaitan dan ditekan oleh masalah itu.”
Ki Dita melongo, apalagi Purbajaya.
“Sudahlah. Ketiga muridmu adalah orang tiada guna. Kerjanya hanya membesar-besarkan masalah kecil. Tak pantas untuk jadi abdi negara. Kalau ikut kita, mungkin hanya mengganggu gerakan kita saja,” kata Raden Yudakara.
Namun Ki Dita masih terlihat tak puas.
“Aku malah punya masalah dengan Si Aditia. Anak ini kerjanya menjelek-jelekkan aku. Hampir saja aku tak bisa menikahi Nyimas Yuning karena gangguan pemuda brengsek itu. Coba, apakah kau merasa terhormat memiliki murid manja dan tak hormat kepada orang yang semestinya dihormat dan disegani?” tanya Raden Yudakara. Lantas pemuda ini ikut duduk dan segera mengambil daging burung walik yang terpanggang di atas api unggun. Daging burung itu dimakannya sendiri dengan lahapnya tanpa menawari yang lainnya.
Perut Purbajaya keruyukan ketika melihat Raden Yudakara makan dengan lahapnya. Sejak kemarin siang mereka berdua memang belum makan apa-apa.
“Ketiga orang murid saya memang bodoh-bodoh. Dan mereka sungguh tak tahu apa-apa perihal kegiatan kita ini…” gumam Ki Dita masih murung.
“Justru karena tak tahu apa-apa maka kemungkinan mengganggu kita semakin mudah. Sementara kalau mereka kita libatkan… Ah, orang-orang itu memang dungu, kekanak-kanakan dan selalu membesar-besarkan masalah sepele saja. Aku benci anak-anak. Mereka rewel dan manja. Aku malah heran, engkau yang setangguh ini hanya memiliki murid-murid sampah seperti itu…” omel Raden Yudakara.
“Saya sebetulnya hanya pekerja biasa, Raden. Ketiga orang itu anak-anak bangsawan semata dan pengaruh orangtua mereka lumayan. Saya hanya diberi kemudahan, makanan, pakaian dan perumahan yang layak, sesudah itu saya tak bisa apa-apa untuk menolak keinginan para pejabat itu,” kata Ki Dita dengan pandangan mata sayu tak bersemangat.
Hanya dikomentari oleh Raden Yudakara dengan dengus ejekan.
“Selanjutnya saya musti bagaimana?, Raden?” tanya Ki Dita setelah lama berdiam diri.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment