“Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih sedang kembali ke wilayahnya. Kuanggap untuk sementara, tugas mereka selesai. Yang aku inginkan, engkau tetap berada di Sumedanglarang,” Raden Yudakara memerintah sambil masih mencemili sisa-sisa daging di sela-sela tulang burung walik panggang.
“Tapi saya susah untuk memberikan alasan perihal korban yang begitu banyak yang diderita oleh anggota pasukan kami. Bayangkanlah Raden, dari seluruh pasukan, hanya saya sendiri yang selamat. Ki Bagus Sura dan Ki Ranu tewas karena luka-lukanya terlambat menerima pengobatan.”
Purbajaya terkejut setengah mati ketika Ki Dita melaporkan hal ini.
“Mengapa engkau begitu takut menghadapi masalah ini padahal jauh sebelumnya engkau telah tahu kalau misi kalian ini akan gagal?” tanya Raden Yudakara menegur tak suka akan ucapan Ki Dita.
“Saya memang tahu kalau misi kami pasti gagal. Tapi yang saya tidak duga, mengapa semua orang musti tewas? Akhirnya saya sendiri pasti musti mempertanggung-jawabkan perkara ini…” keluh Ki Dita.
“Sudahlah. Wajar kalau setiap perjuangan memerlukan pengorbanan. Dan karena pasti akan ada yang korban, kita musti memilih jangan sampai kita sendiri yang jadi korban. Sejauh ini kau kan selamat, bukan?” tanya Raden Yudakara enteng saja. ”Lagi pula, jangan salahkan pasukan siluman bila Ki Bagus Sura dan Ki Ranu tewas. Kesalahan terletak pada mereka sendiri, mengapa punya kepandaian tak seberapa? Kau yang berkepandaian hebat, bukankah tidak mengalami suatu apa dalam pertempuran melawan pasukan siluman itu, bukan?” lanjutnya.
Serasa menggigil tubuh Purbajaya karena menahan amarahnya. Bagaimana tak begitu, Raden Yudakara semakin nyata selalu menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya. Purbajaya sedih dan marah. Ki Bagus Sura, Paman Ranu, bahkan siapa pun, tewas sia-sia karena permainan orang lain. Dan semua musibah ini terpusat kepada perilaku Raden Yudakara.
Yang tak kurang menyebalkannya, orang tua bernama Ki Dita ini. Purbajaya menyangka kalau Ki Dita hanya sekadar anak buah Ki Sanjadirja yang selalu berseteru dengan Ki Bagus Sura. Kenyataan membuktikan kalau Ki Dita malah di Sumedanglarang itu tak ikut ke mana-mana selain kepada Raden Yudakara.
Purbajaya berpikir kalau gerakan Raden Yudakara ini terasa semakin berbahaya karena jaringannya meluas dan ada di mana-mana. Siapakah pengendali utama dalam gerakan ini? Benarkah hanya Raden Yudakara seorang diri? Dan ingat ini, Purbajaya jadi semakin penasaran untuk lebih mengetahui gerakan sesungguhnya. Untuk melampiaskan rasa penasarannya, tidak ada jalan lain selain Purbajaya terus ikut ke mana Raden Yudakara pergi.
“Tidak. Apa pun yang terjadi, engkau harus tetap kembali ke Sumedang.” Suara Raden Yudakara memerintah dengan pasti dan tak boleh dibantah.
Ki Dita menatap, sepertinya mencoba mengajukan penawaran.
“Kau diperlukan di sana guna memata-matai gerakan Kangjeng Pangeran. Dia curiga padaku tapi belum bisa mencari bukti. Namun demikian, aku tak mau perasaan curiga ini semakin menyebar ke sana ke mari. Makanya engkau aku tempatkan di sana. Kau pun bertugas mengikis habis faham-faham yang sekiranya merugikan perjalananku,” kata Raden Yudakara.
Dan akhirnya Ki Dita tak bisa membantah lagi kendati di wajahnya nampak ada keraguan. Malam itu mereka tidur di gua. Tapi Purbajaya hanya tiduran saja. Hatinya penuh rasa gelisah. Dia gelisah memikirkan tindakan Raden Yudakara yang kesemuanya selalu di luar perkiraannya. Sampai malam menjelang pagi, Purbajaya tidak tidur barang sekejap.
Raden Yudakara yang semalaman tidur mendengkur, malah bangun duluan. Serta-merta dia membangunkan Purbajaya yang kepalanya terasa berat dan matanya merah karena kurang tidur.
“Ada apa?” tanya Purbajaya heran. Dia sangka, pasti ada hal-hal yang mengejutkannya lagi.
“Cepat ajak Ki Dita menangkap burung hutan yang seperti tadi malam, atau binatang tangkapan apa saja yang sekiranya bisa kita gunakan sebagai sarapan pagi,” kata Raden Yudakara menarik tangan Purbajaya agar cepat bangun.
Purbajaya mengangguk, demikian pun Ki Dita yang juga telah ikut bangun karena diganggu celoteh pemuda bangsawan itu yang ribut. Dari sini tersirat keyakinan Raden Yudakara. Menyuruh Purbajaya pergi tanpa kawalannya hanya menandakan bahwa dia yakin kalau Purbajaya tak akan pergi memisahkan diri. Tapi Purbajaya memang tidak berniat lari. Selain akan percuma saja, juga karena dia memang ingin terus mengikuti pemuda aneh itu.
Hanya yang dia khawatirkan adalah Ki Dita. Purbajaya disuruh berburu binatang bersama orang itu dan Ki Dita terlihat begitu bersemangat untuk melaksanakan perintah ini. Purbajaya khawatir kalau Ki Dita bergegas menerima perintah itu sebenarnya untuk berurusan dan melakukan perhitungan atas kematian ketiga orang muridnya.
“Cepat berangkat Purba! Ki Dita sudah berangkat duluan!” kata Raden Yudakara kembali memerintah.
Dengan sedikit waswas, Purbajaya akhirnya pergi juga menuju luar gua. Di luar memang sudah dinantikan oleh Ki Dita.
“Mari berangkat. Kau pergi di depan!” Ki Dita berkata dingin semakin hati Purbajaya menjadi waswas.
Purbajaya memang berjalan duluan di muka. Mula-mula berjalan biasa. Namun karena langkah kaki yang menyusulnya dari belakang terdengar cepat, Purbajaya pun jadi mempercepat langkahnya. Begitu Purbajaya mempercepat langkah, Ki Dita pun semakin mempercepat langkah pula. Dan karena ini, maka Purbajaya segera berlari cepat. Ki Dita pun sama berlari cepat. Maka dalam sebentar saja, dua orang itu seperti saling susul. Yang berlari di depan berusaha tak ingin tersusul, sebaliknya yang di belakang seperti berusaha menyusul.
Purbajaya berlari kencang menggunakan ilmu lari napak sancang (berlari cepat meringankan tubuh) yang pernah diajarkan Paman Jayaratu, gurunya. Larinya seperti tak menapak tanah saking cepatnya. Bahkan ketika menginjak rumput, ujung rumput hampir tak bergoyang.
Namun celakanya, Ki Dita pun memiliki ilmu yang sama. Ketika Purbajaya menengok ke belakang, nyatanya Ki Dita tak terpaut begitu jauh jaraknya. Hanya menandakan bahwa ilmu mereka seimbang. Sekarang Purbajaya mencoba menambah tenaganya. Namun Ki Dita pun sama menambah tenaganya. Purbajaya mencoba menaiki lereng bukit, berloncatan dari satu tonjolan batu ke tonjolan batu lainnya, namun Ki Dita pun melakukan hal yang sama.
Sampai pada suatu ketika, Purbajaya terpaksa musti menghentikan langkahnya sebab di depannya jurang menganga lebar. Purbajaya tak tahu seberapa dalam dasar jurang itu. Melihat ke bawah, keadaan gelap oleh tebalnya kabut. Dan karena tak berani meloncat, akhirnya Purbajaya hanya pasrah apa yang akan dilakukan Ki Dita terhadapnya.
“Engkau lihat binatang buruan di bawah sana?” tanya Ki Dita.
Purbajaya undur setindak. Ki Dita nampak tengah bersiap dengan kuda-kuda menyerang.
“Tapi saya susah untuk memberikan alasan perihal korban yang begitu banyak yang diderita oleh anggota pasukan kami. Bayangkanlah Raden, dari seluruh pasukan, hanya saya sendiri yang selamat. Ki Bagus Sura dan Ki Ranu tewas karena luka-lukanya terlambat menerima pengobatan.”
Purbajaya terkejut setengah mati ketika Ki Dita melaporkan hal ini.
“Mengapa engkau begitu takut menghadapi masalah ini padahal jauh sebelumnya engkau telah tahu kalau misi kalian ini akan gagal?” tanya Raden Yudakara menegur tak suka akan ucapan Ki Dita.
“Saya memang tahu kalau misi kami pasti gagal. Tapi yang saya tidak duga, mengapa semua orang musti tewas? Akhirnya saya sendiri pasti musti mempertanggung-jawabkan perkara ini…” keluh Ki Dita.
“Sudahlah. Wajar kalau setiap perjuangan memerlukan pengorbanan. Dan karena pasti akan ada yang korban, kita musti memilih jangan sampai kita sendiri yang jadi korban. Sejauh ini kau kan selamat, bukan?” tanya Raden Yudakara enteng saja. ”Lagi pula, jangan salahkan pasukan siluman bila Ki Bagus Sura dan Ki Ranu tewas. Kesalahan terletak pada mereka sendiri, mengapa punya kepandaian tak seberapa? Kau yang berkepandaian hebat, bukankah tidak mengalami suatu apa dalam pertempuran melawan pasukan siluman itu, bukan?” lanjutnya.
Serasa menggigil tubuh Purbajaya karena menahan amarahnya. Bagaimana tak begitu, Raden Yudakara semakin nyata selalu menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya. Purbajaya sedih dan marah. Ki Bagus Sura, Paman Ranu, bahkan siapa pun, tewas sia-sia karena permainan orang lain. Dan semua musibah ini terpusat kepada perilaku Raden Yudakara.
Yang tak kurang menyebalkannya, orang tua bernama Ki Dita ini. Purbajaya menyangka kalau Ki Dita hanya sekadar anak buah Ki Sanjadirja yang selalu berseteru dengan Ki Bagus Sura. Kenyataan membuktikan kalau Ki Dita malah di Sumedanglarang itu tak ikut ke mana-mana selain kepada Raden Yudakara.
Purbajaya berpikir kalau gerakan Raden Yudakara ini terasa semakin berbahaya karena jaringannya meluas dan ada di mana-mana. Siapakah pengendali utama dalam gerakan ini? Benarkah hanya Raden Yudakara seorang diri? Dan ingat ini, Purbajaya jadi semakin penasaran untuk lebih mengetahui gerakan sesungguhnya. Untuk melampiaskan rasa penasarannya, tidak ada jalan lain selain Purbajaya terus ikut ke mana Raden Yudakara pergi.
“Tidak. Apa pun yang terjadi, engkau harus tetap kembali ke Sumedang.” Suara Raden Yudakara memerintah dengan pasti dan tak boleh dibantah.
Ki Dita menatap, sepertinya mencoba mengajukan penawaran.
“Kau diperlukan di sana guna memata-matai gerakan Kangjeng Pangeran. Dia curiga padaku tapi belum bisa mencari bukti. Namun demikian, aku tak mau perasaan curiga ini semakin menyebar ke sana ke mari. Makanya engkau aku tempatkan di sana. Kau pun bertugas mengikis habis faham-faham yang sekiranya merugikan perjalananku,” kata Raden Yudakara.
Dan akhirnya Ki Dita tak bisa membantah lagi kendati di wajahnya nampak ada keraguan. Malam itu mereka tidur di gua. Tapi Purbajaya hanya tiduran saja. Hatinya penuh rasa gelisah. Dia gelisah memikirkan tindakan Raden Yudakara yang kesemuanya selalu di luar perkiraannya. Sampai malam menjelang pagi, Purbajaya tidak tidur barang sekejap.
Raden Yudakara yang semalaman tidur mendengkur, malah bangun duluan. Serta-merta dia membangunkan Purbajaya yang kepalanya terasa berat dan matanya merah karena kurang tidur.
“Ada apa?” tanya Purbajaya heran. Dia sangka, pasti ada hal-hal yang mengejutkannya lagi.
“Cepat ajak Ki Dita menangkap burung hutan yang seperti tadi malam, atau binatang tangkapan apa saja yang sekiranya bisa kita gunakan sebagai sarapan pagi,” kata Raden Yudakara menarik tangan Purbajaya agar cepat bangun.
Purbajaya mengangguk, demikian pun Ki Dita yang juga telah ikut bangun karena diganggu celoteh pemuda bangsawan itu yang ribut. Dari sini tersirat keyakinan Raden Yudakara. Menyuruh Purbajaya pergi tanpa kawalannya hanya menandakan bahwa dia yakin kalau Purbajaya tak akan pergi memisahkan diri. Tapi Purbajaya memang tidak berniat lari. Selain akan percuma saja, juga karena dia memang ingin terus mengikuti pemuda aneh itu.
Hanya yang dia khawatirkan adalah Ki Dita. Purbajaya disuruh berburu binatang bersama orang itu dan Ki Dita terlihat begitu bersemangat untuk melaksanakan perintah ini. Purbajaya khawatir kalau Ki Dita bergegas menerima perintah itu sebenarnya untuk berurusan dan melakukan perhitungan atas kematian ketiga orang muridnya.
“Cepat berangkat Purba! Ki Dita sudah berangkat duluan!” kata Raden Yudakara kembali memerintah.
Dengan sedikit waswas, Purbajaya akhirnya pergi juga menuju luar gua. Di luar memang sudah dinantikan oleh Ki Dita.
“Mari berangkat. Kau pergi di depan!” Ki Dita berkata dingin semakin hati Purbajaya menjadi waswas.
Purbajaya memang berjalan duluan di muka. Mula-mula berjalan biasa. Namun karena langkah kaki yang menyusulnya dari belakang terdengar cepat, Purbajaya pun jadi mempercepat langkahnya. Begitu Purbajaya mempercepat langkah, Ki Dita pun semakin mempercepat langkah pula. Dan karena ini, maka Purbajaya segera berlari cepat. Ki Dita pun sama berlari cepat. Maka dalam sebentar saja, dua orang itu seperti saling susul. Yang berlari di depan berusaha tak ingin tersusul, sebaliknya yang di belakang seperti berusaha menyusul.
Purbajaya berlari kencang menggunakan ilmu lari napak sancang (berlari cepat meringankan tubuh) yang pernah diajarkan Paman Jayaratu, gurunya. Larinya seperti tak menapak tanah saking cepatnya. Bahkan ketika menginjak rumput, ujung rumput hampir tak bergoyang.
Namun celakanya, Ki Dita pun memiliki ilmu yang sama. Ketika Purbajaya menengok ke belakang, nyatanya Ki Dita tak terpaut begitu jauh jaraknya. Hanya menandakan bahwa ilmu mereka seimbang. Sekarang Purbajaya mencoba menambah tenaganya. Namun Ki Dita pun sama menambah tenaganya. Purbajaya mencoba menaiki lereng bukit, berloncatan dari satu tonjolan batu ke tonjolan batu lainnya, namun Ki Dita pun melakukan hal yang sama.
Sampai pada suatu ketika, Purbajaya terpaksa musti menghentikan langkahnya sebab di depannya jurang menganga lebar. Purbajaya tak tahu seberapa dalam dasar jurang itu. Melihat ke bawah, keadaan gelap oleh tebalnya kabut. Dan karena tak berani meloncat, akhirnya Purbajaya hanya pasrah apa yang akan dilakukan Ki Dita terhadapnya.
“Engkau lihat binatang buruan di bawah sana?” tanya Ki Dita.
Purbajaya undur setindak. Ki Dita nampak tengah bersiap dengan kuda-kuda menyerang.
“Mana saya tahu, dasar jurang tertutup kabut,” ujar Purbajaya sambil sama-sama memasang kuda-kuda untuk bertempur.
“Coba loncatlah kau ke sana!” Ki Dita menyuruh tapi dengan sikap mengancam.
Purbajaya diam mematung tapi dengan urat-urat nadi menegang keras.
“Ayo loncat!” teriak Ki Dita. Dia membuat gerakan seperti akan melakukan pukulan jarak jauh dan Purbajaya pun mencoba membuat gerakan seolah-olah akan menahan serangan jarak jauh itu.
“Ha, kau takut mati, ya…“
“Siapa pun takut mati selama belum bosan hidup,” jawab Purbajaya.
“Kau pandai bicara dan sepertinya hanya engkau sendiri yang masih betah di dunia. Dengarkan anak pengecut, ketiga orang muridku penuh dengan cita-cita tapi dengan entengnya kau pupuskan harapan hidup mereka. Sekarang cobalah kau rasakan, betapa sakitnya orang yang ingin bertahan hidup tapi selalu di bawah ancaman kematian,” kata-kata Ki Dita ini disusul sebuah serangan jarak jauh.
Purbajaya tak berani menahan pukulan ini, melainkan jongkok menghindar. Dahan pohon di belakangnya berkerotokan karena patah. Daunnya rontok beterbangan dan akhirnya melayang ke bawah jurang.
“Saya memang bersalah membunuh muridmu…” gumam Purbajaya sedih.
“Kalau begitu, terimalah hukumannya!” lagi-lagi Ki Dita melakukan serangan. Kali ini Purbajaya meloncat ke atas dan tangannya bergayut pada batang pohon lain.
“Berilah saya kesempatan untuk menjelaskannya!” teriak Purbajaya.
“Apa yang musti dijelaskan?”
“Saya tak sengaja melukai Aditia karena pemuda ini akan membunuh Yaksa. Dengan amat kejamnya Aditia membabat kutung tangan Yaksa. Hati siapa tak teriris melihat kejadian mengerikan ini. Jadi saya marah dan tak bisa tahan emosi,” tutur Purbajaya sebenar-benarnya. Kemudian Purbajaya menerangkan kembali urutan peristiwa itu.
“Aditia marah karena Yaksa tak mau membunuh saya yang diduganya telah bunuh Wista. Padahal engkau sendiri telah menduga kalau Wista dibunuh Raden Yudakara,” kata Purbajaya.
Mendengar penjelasan ini, Ki Dita mengendurkan urat-uratnya. “Ah… lagi-lagi pemuda itu!” keluh Ki Dita akhirnya.
“Mengapa Ki Dita bergabung dengan Raden Yudakara? Saya tadinya berpikir, engkau adalah pengabdi setia di Sumedanglarang,” Purbajaya berkata dengan nada menyesalkan sikap orang tua ini yang ditudingnya sebagai mendua.
“Dan engkau sendiri bagaimana, anak muda?” Ki Dita balik menyindir sehingga membuat sepasang pipi Purbajaya terasa panas.
“Hhhh… Saya terperangkap akal liciknya,” jawab Purbajaya mengeluh.
Mendengar keluhan Purbajaya, Ki Dita pun sama mengeluh.
“Mungkin kita bernasib sama, anak muda. Raden Yudakara itu licin dan cerdik. Aku pun memang masuk perangkapnya…” kata Ki Dita akhirnya.
Ketegangan berakhir setelah kedua orang ini saling mengeluhkan nasibnya yang persis sama. Lalu keduanya duduk di tanah berumput dan saling memaparkan riwayat sampai tergelincir menjadi “anak-buah” Raden Yudakara.
Ki Dita ini sebenarnya seorang pengabdi. Namun kelemahannya, pengabdiannya selalu dipertautkan dengan imbalan.
“Aku ini pengajar kewiraan. Ya, sebenarnya hanya sebagai pengajar belaka dan bukan pengabdi seperti sangkamu. Aku mengajar karena telah mendapatkan berbagai kemudahan di istana. Aku diberi pakaian, aku diberi pangan, aku pun diberinya perumahan,” kata Ki Dita.
Namun, kata Ki Dita, kadang-kadang fungsi dia sebagai pengajar tak bisa berjalan sesuai dengan yang sebenarnya. Menurut aturan, tugas Ki Dita adalah menggembleng para pemuda Sumedanglarang agar menjadi ksatria tangguh. Namun dalam kenyataannya, banyak pemuda pejabat ketangguhannya diragukan tapi lolos menjadi ksatria.
“Mengapa Ki Dita mau membodohi diri sendiri?” tanya Purbajaya.
“Karena dipaksa oleh keinginan orang-orang yang memberiku berbagai kemudahan,” jawab Ki Dita.
“Seperti yang terjadi pada pemuda Wista, misalnya?”
“Ya, begitulah kira-kira. Banyak pejabat keliru dalam menafsirkan kasih sayang kepada keluarga. Karena anak mereka keberadaannya bisa dilihat orang bila menjadi ksatria negri, maka banyak pejabat kasak-kusuk agar putranya lolos dalam pelatihan, bagaimana pun caranya.”
“Bagaimana caranya?”
Ditanya seperti ini, Ki Dita menghela napas. “Ini memang salahku juga. Aku terlalu silau oleh kekayaan.” Nada bicara Ki Dita seperti mengandung penyesalan.
“Para pejabat memberimu kekayaan?”
Ki Dita mengangguk. “Aku butuh kekayaan yang banyak. Keinginan seperti itu terlahir karena di sekelilingku banyak orang yang hidupnya papa menderita. Semakin banyak orang yang papa, semakin tergerak hatiku mengejar harta.”
“Untuk menolong orang-orang papa itu?”
“Bukan. Aku ingin kaya karena aku tak ingin seperti mereka, hidup tak punya masa depan dan tak bisa mengurus keluarga dengan baik. Itulah sebabnya aku ingin kaya. Dan karena peluang menjadi orang berkecukupan hanya bisa dicari lewat melatih kewiraan, maka itu pula yang aku kerjakan.”
“Kendati tidak menghasilkan perwira-perwira tangguh?” potong Purbajaya mengetawakan.
“Ya, aku banyak gagal melahirkan perwira tangguh…” keluh Ki Dita.
“Lantas apa hubungannya dengan keberadaan Raden Yudakara?” tanya Purbajaya lagi.
“Dia kan lama tinggal di seputar benteng karaton.”
“Ya, bahkan sampai berhasil mempersunting Nyimas Yuning Purnama…” sambung Purbajaya. Dan bicara perihal ini hati Purbajaya menjadi sakit.
“Betul. Raden Yudakara pandai mempengaruhi orang. Ki Bagus Sura pun mudah dibujuk sehingga dengan amat mudahnya menyerahkan anak gadisnya. Ini hanya karena iming-iming yang dijanjikan anak bangsawan Carbon itu,” kata Ki Dita. ”Aku pun tergoda iming-iming. Raden Yudakara menjanjikan jabatan dan harta melimpah asalkan… “
“Asalkan apa?”
“Menyelidiki situasi di lingkungan karaton.”
“Apa yang musti diselidiki di sana?”
“Ah, sebenarnya sungguh membahayakan. Dia ingin mendata orang-orang yang tak menyukai Kangjeng Pangeran…”
“Mengapa melakukan ini?”
“Entahlah. Namun Raden Yudakara berkata kalau dirinya sanggup membantu menyelesaikan masalah.”
“Masalah bagi siapa?”
“Tentu, masalah bagi kelompok yang tak menyukai Kangjeng Pangeran,” jawab Ki Dita.
“Membahayakan…”
“Tentu membahayakan. Itulah sebabnya, kini rasa sesal menghantuiku…” jawab Ki Dita dan wajahnya penuh rasa khawatir.
“Tapi engkau terlanjur mau karena iming-iming itu, Ki Dita?”
Ki Dita mengangguk lesu. “Namun sebetulnya, yang menekanku bukan semata karena iming-iming itu.”
“Ada hal lain lagi yang menekanmu?”
“Raden Yudakara tahu kalau aku gila kekayaan dan gemar menerima suap dari pejabat. Maka itu pula yang digunakan Raden Yudakara dalam menekankan keinginannya. Katanya, apa yang jadi kebiasaanku akan ditutup rapat selama aku ikut dirinya. Yang penting, turuti apa yang jadi perintahnya maka kedudukanku aman. Begitu katanya. Kelemahanku sudah dipegang oleh Raden Yudakara. Aku jadi benar takut didepak dari istana. Makanya aku laksanakan keinginannya…”
“Saya tak percaya kalau ada pejabat di bawahnya yang tidak menyukai Kangjeng Pangeran… ” gumam Purbajaya.
“Banyak orang menilai baik buruknya seseorang karena didasarkan pada kepentingannya sendiri. Kita akan menganggap orang lain baik karena telah menguntungkan kita, sebaliknya akan menilai buruk karena orang itu merugikan kita,” kata Ki Dita sambil menatap berkeliling. Hutan lebat ini ternyata sudah tak diselimuti kabut lagi. Burung walik pun mulai terdengar kicaunya di atas dahan pohon carik angin.
“Apakah Ki Sanjadirja masuk kelompok ini?” tanya Purbajaya penuh minat.
“Kau pandai menebak orang,” jawab Ki Dita.
“Bukan karena kecerdikan saya, melainkan karena sudah diketahui betapa Ki Sanjadirja kalah bersaing dengan Ki Bagus Sura dalam mendapatkan perhatian Kangjeng Pangeran,” jawab Purbajaya menepiskan pujian orang.
Dan Ki Dita mengangguk mengiyakan.
“Kau mengabdi pada Ki Sanja pasti atas saran Raden Yudakara.” Purbajaya coba menebak dan ternyata tebakannya ini benar.
“Aku disuruh Raden Yudakara untuk memanas-manasi Ki Sanjadirja agar semakin membenci Kangjeng Pangeran…” jawab Ki Dita polos.
Purbajaya menghela napas panjang. Dan kelakuan Purbajaya ini ternyata diikuti oleh elahan napas Ki Dita juga.
“Saya bingung… ” Purbajaya bergumam.
“Aku pun bingung…” tiru Ki Dita seperti burung beo saja.
Purbajaya menoleh.
“Bayangkanlah Purba, tiga orang pemuda di bawah bimbinganku mati semua. Aku pasti dipecat mereka, padahal aku sudah akan diusulkan sebagai anggota pelatih kewiraan di lingkungan lebih tinggi lagi. Putuslah reputasiku…”
“Yang saya bingungkan soal perilaku Raden Yudakara,” bantah Purbajaya sebab merasa tak punya kesamaan dalam memiliki kebingungan ini. ”Saya bingung, apa pula maksud sebenarnya mengacau dan mengadu-domba pejabat di Sumedanglarang?” tanya Purbajaya seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Aku tak pernah ingin tahu apa keinginan pemuda aneh itu. Yang aku pikirkan sekarang, bagaimana nasibku selanjutnya? Kembali ke Ciguling (ibukota Sumedanglarang) aku tak berani. Namun ikut Raden Yudakara pun aku tak kerasan. Jalan pikirannya aneh-aneh, mungkin terlalu tinggi dan aku tak bisa mengerti maknanya. Padahal keinginanku tak muluk, hanya ingin hidup aman sejahtera hingga akhir hayat. Itu saja,” kata Ki Dita sambil mengeluh dan memukul jidatnya sendiri beberapa kali.
Dalam pandangan Purbajaya, Ki Dita sudah tak tampak sebagai seorang guru kewiraan yang bisa melahirkan generasi bangsa yang tangguh, melainkan tampak hanya berupa seorang pencari upah yang gagal dalam usahanya. Bersyukur ada Raden Yudakara, sebab orang seperti ini bisa terusir dari Sumedanglarang.
Namun dua orang itu tak bisa lama-lama mengobrol sebab tugas berburu binatang harus segera dilakukan. Kalau berlarut-larut tak kembali, khawatir Raden Yudakara lama menunggu dan dia akan curiga.
Itulah sebabnya, baik Purbajaya mau pun Ki Dita, berusaha mengejar binatang buruan. Di daerah itu hanya burung-burung walik yang banyak berkeliaran. Mereka beterbangan atau berloncatan dari dahan ke dahan. Itulah sebabnya, baik Purbajaya mau pun Ki Dita hanya mencoba mengintai mangsa seperti itu saja. Masing-masing siap dengan beberapa kerikil. Dan setiap ada burung menclok, mereka lempar dengan kerikil disertai pengerahan tenaga dalam yang amat kuat. Mereka bersaing mengejar buruannya sebanyak-banyaknya.
“Aku dapat tiga ekor!” teriak Ki Dita gembira.
“Wah… saya hanya dapat dua ekor… ” kata Purbajaya “tak puas” sambil membuang dua ekor burung walik lainnya yang sudah dia dapatkan. Purbajaya tak mau orang tua itu kalah bersaing. Itulah sebabnya lebih baik dia saja yang mengalah.
“Coba lihat tangkapanmu. Wah, hanya dua ekor, kecil-kecil lagi. Tapi biarlah, untuk sarapan pagi cukup segini saja,” kata Ki Dita gembira. Dia pulang duluan menenteng buruannya. Purbajaya mengikuti dari belakangnya.
Di dalam gua, Raden Yudakara sudah siap menunggu. Pemuda itu ketawa renyah ketika melihat Purbajaya dan Ki Dita sama-sama menenteng hasil buruan.
“Cepat buatkan api. Purba, kau giliran mengumpulkan dahan-dahan kaso yang sudah kering.”
Raden Yudakara kerjanya memang hanya memerintah. Tapi ketika makanan sudah terhidang, dia dapat giliran paling awal dalam melahap makanan itu.
“Musti dengan nasi yang ditanak di Rajagaluh…” kata Raden Yudakara yang mulutnya penuh dijejali serpihan daging walik sampai-sampai minyak berlelehan di sudut bibirnya.
Purbajaya pun dapat bagian daging walik ini. Dan ketika makan, teringat Paman Jayaratu. Membakar daging burung walik memang kegemaran Paman Jayaratu. Tapi bersama Paman Jayaratu, memasaknya tidak sederhana seperti ini. Sebaiknya, sesudah daging dikuliti, tubuh burung dilabur bumbu tumbuk campuran bawang putih, bawang merah, merica atau jahe. Kalau ada minyak samin buatan Nagri Parasi bisa lebih bagus. Sambil digarang di atas bara api, daging burung dilabur minyak samin. Maka harumnya daging yang dibakar berpadu dengan harum khas bumbu-bumbu itu, bakal semakin menggoda perut yang lagi lapar.
Pagi ini daging burung hanya dibakar tanpa bumbu atau pun juga tanpa garam barang sejumput. Namun bagi orang yang perutnya lama tak diisi, ini adalah makanan yang amat istimewa. Hanya dalam waktu tidak terlalu lama, semua daging sudah habis dilahap tiga orang. Yang tinggal hanya tulang-belulangnya saja.
“Mari!” ajak Raden Yudakara berjingkat setelah membersihkan mulut dan tangannya.
“Ke mana?” tanya Ki Dita menatap heran.
“Ke mana? Apa kau sangka kita ini sedang pesiar?” Raden Yudakara balik bertanya dengan nada ketus.
Tapi Ki Dita masih tak mau beranjak.
“Kau harus kembali ke Ciguling!” kata Raden Yudakara.
Tapi Ki Dita masih diam.
“Kalau begitu, kau ikut aku langsung ke wilayah barat! Kau takut bertemu orang-orang Sumedanglarang, kan?” tanya Raden Yudakara.
“Benar, Raden.”
“Kau pengecut. Tapi tak mengapa. Ayo ikut saja ke wilayah barat.”
“Saya juga tak mau ikut. Saya ingin di sini saja…” jawab Ki Dita pelan dan menunduk.
“Maksudmu, di dalam gua ini?”
Lagi-lagi Ki Dita tidak menjawab.
“Kalau tak ikut aku, kau tak bisa ke mana-mana,” tutur Raden Yudakara dingin. Kemudian dia tepuk-tepuk bagian belakang pakaiannya yang kotor oleh debu. “Benar kau tak akan ke mana-mana?”
“Tidak Raden…”
“Mau tinggal di sini saja?”
“Mungkin begitu, Raden…”
“Benar?” nada suara Raden Yudakara semakin dingin.
“Saya ini orang kecil, Raden. Ikut dengan orang besar dan pintar sepertimu, saya tak akan mengerti. Jalan pikiranmu terlalu tinggi dan susah dimengerti. Daripada saya pusing sendiri, lebih baik saya tak ikut saja,” kata Ki Dita akhirnya.
“Kau akan mati di sini…” desis Raden Yudakara.
“Tidak. Justru saya akan mati bila terus-terusan ikut Raden…” kata Ki Dita. ”Jauh-jauh hari sebelum kenal engkau, hidup saya tentram. Namun setelah kau hadir, hidup saya kacau. Saya dipaksa untuk menilai orang, untuk bercuriga ke sana ke mari, padahal jauh sebelumnya, mereka baik-baik belaka kepada saya. Jadi, jalan pikiran Radenlah yang meracuni saya…” kata Ki Dita mulai berani sebab Raden Yudakara seperti tetap memaksanya.
Wajah Raden Yudakara merah-padam. Purbajaya tahu kalau pemuda ini paling murka pendapatnya tak diikuti. Dia khawatir, Ki Dita dihadapkan kepada mara-bahaya karena hal ini.
“Jadi, kau tak akan ikut aku, ya?”
“Betul, Raden…”
“Sudah kau putuskan, ya?”
“Coba loncatlah kau ke sana!” Ki Dita menyuruh tapi dengan sikap mengancam.
Purbajaya diam mematung tapi dengan urat-urat nadi menegang keras.
“Ayo loncat!” teriak Ki Dita. Dia membuat gerakan seperti akan melakukan pukulan jarak jauh dan Purbajaya pun mencoba membuat gerakan seolah-olah akan menahan serangan jarak jauh itu.
“Ha, kau takut mati, ya…“
“Siapa pun takut mati selama belum bosan hidup,” jawab Purbajaya.
“Kau pandai bicara dan sepertinya hanya engkau sendiri yang masih betah di dunia. Dengarkan anak pengecut, ketiga orang muridku penuh dengan cita-cita tapi dengan entengnya kau pupuskan harapan hidup mereka. Sekarang cobalah kau rasakan, betapa sakitnya orang yang ingin bertahan hidup tapi selalu di bawah ancaman kematian,” kata-kata Ki Dita ini disusul sebuah serangan jarak jauh.
Purbajaya tak berani menahan pukulan ini, melainkan jongkok menghindar. Dahan pohon di belakangnya berkerotokan karena patah. Daunnya rontok beterbangan dan akhirnya melayang ke bawah jurang.
“Saya memang bersalah membunuh muridmu…” gumam Purbajaya sedih.
“Kalau begitu, terimalah hukumannya!” lagi-lagi Ki Dita melakukan serangan. Kali ini Purbajaya meloncat ke atas dan tangannya bergayut pada batang pohon lain.
“Berilah saya kesempatan untuk menjelaskannya!” teriak Purbajaya.
“Apa yang musti dijelaskan?”
“Saya tak sengaja melukai Aditia karena pemuda ini akan membunuh Yaksa. Dengan amat kejamnya Aditia membabat kutung tangan Yaksa. Hati siapa tak teriris melihat kejadian mengerikan ini. Jadi saya marah dan tak bisa tahan emosi,” tutur Purbajaya sebenar-benarnya. Kemudian Purbajaya menerangkan kembali urutan peristiwa itu.
“Aditia marah karena Yaksa tak mau membunuh saya yang diduganya telah bunuh Wista. Padahal engkau sendiri telah menduga kalau Wista dibunuh Raden Yudakara,” kata Purbajaya.
Mendengar penjelasan ini, Ki Dita mengendurkan urat-uratnya. “Ah… lagi-lagi pemuda itu!” keluh Ki Dita akhirnya.
“Mengapa Ki Dita bergabung dengan Raden Yudakara? Saya tadinya berpikir, engkau adalah pengabdi setia di Sumedanglarang,” Purbajaya berkata dengan nada menyesalkan sikap orang tua ini yang ditudingnya sebagai mendua.
“Dan engkau sendiri bagaimana, anak muda?” Ki Dita balik menyindir sehingga membuat sepasang pipi Purbajaya terasa panas.
“Hhhh… Saya terperangkap akal liciknya,” jawab Purbajaya mengeluh.
Mendengar keluhan Purbajaya, Ki Dita pun sama mengeluh.
“Mungkin kita bernasib sama, anak muda. Raden Yudakara itu licin dan cerdik. Aku pun memang masuk perangkapnya…” kata Ki Dita akhirnya.
Ketegangan berakhir setelah kedua orang ini saling mengeluhkan nasibnya yang persis sama. Lalu keduanya duduk di tanah berumput dan saling memaparkan riwayat sampai tergelincir menjadi “anak-buah” Raden Yudakara.
Ki Dita ini sebenarnya seorang pengabdi. Namun kelemahannya, pengabdiannya selalu dipertautkan dengan imbalan.
“Aku ini pengajar kewiraan. Ya, sebenarnya hanya sebagai pengajar belaka dan bukan pengabdi seperti sangkamu. Aku mengajar karena telah mendapatkan berbagai kemudahan di istana. Aku diberi pakaian, aku diberi pangan, aku pun diberinya perumahan,” kata Ki Dita.
Namun, kata Ki Dita, kadang-kadang fungsi dia sebagai pengajar tak bisa berjalan sesuai dengan yang sebenarnya. Menurut aturan, tugas Ki Dita adalah menggembleng para pemuda Sumedanglarang agar menjadi ksatria tangguh. Namun dalam kenyataannya, banyak pemuda pejabat ketangguhannya diragukan tapi lolos menjadi ksatria.
“Mengapa Ki Dita mau membodohi diri sendiri?” tanya Purbajaya.
“Karena dipaksa oleh keinginan orang-orang yang memberiku berbagai kemudahan,” jawab Ki Dita.
“Seperti yang terjadi pada pemuda Wista, misalnya?”
“Ya, begitulah kira-kira. Banyak pejabat keliru dalam menafsirkan kasih sayang kepada keluarga. Karena anak mereka keberadaannya bisa dilihat orang bila menjadi ksatria negri, maka banyak pejabat kasak-kusuk agar putranya lolos dalam pelatihan, bagaimana pun caranya.”
“Bagaimana caranya?”
Ditanya seperti ini, Ki Dita menghela napas. “Ini memang salahku juga. Aku terlalu silau oleh kekayaan.” Nada bicara Ki Dita seperti mengandung penyesalan.
“Para pejabat memberimu kekayaan?”
Ki Dita mengangguk. “Aku butuh kekayaan yang banyak. Keinginan seperti itu terlahir karena di sekelilingku banyak orang yang hidupnya papa menderita. Semakin banyak orang yang papa, semakin tergerak hatiku mengejar harta.”
“Untuk menolong orang-orang papa itu?”
“Bukan. Aku ingin kaya karena aku tak ingin seperti mereka, hidup tak punya masa depan dan tak bisa mengurus keluarga dengan baik. Itulah sebabnya aku ingin kaya. Dan karena peluang menjadi orang berkecukupan hanya bisa dicari lewat melatih kewiraan, maka itu pula yang aku kerjakan.”
“Kendati tidak menghasilkan perwira-perwira tangguh?” potong Purbajaya mengetawakan.
“Ya, aku banyak gagal melahirkan perwira tangguh…” keluh Ki Dita.
“Lantas apa hubungannya dengan keberadaan Raden Yudakara?” tanya Purbajaya lagi.
“Dia kan lama tinggal di seputar benteng karaton.”
“Ya, bahkan sampai berhasil mempersunting Nyimas Yuning Purnama…” sambung Purbajaya. Dan bicara perihal ini hati Purbajaya menjadi sakit.
“Betul. Raden Yudakara pandai mempengaruhi orang. Ki Bagus Sura pun mudah dibujuk sehingga dengan amat mudahnya menyerahkan anak gadisnya. Ini hanya karena iming-iming yang dijanjikan anak bangsawan Carbon itu,” kata Ki Dita. ”Aku pun tergoda iming-iming. Raden Yudakara menjanjikan jabatan dan harta melimpah asalkan… “
“Asalkan apa?”
“Menyelidiki situasi di lingkungan karaton.”
“Apa yang musti diselidiki di sana?”
“Ah, sebenarnya sungguh membahayakan. Dia ingin mendata orang-orang yang tak menyukai Kangjeng Pangeran…”
“Mengapa melakukan ini?”
“Entahlah. Namun Raden Yudakara berkata kalau dirinya sanggup membantu menyelesaikan masalah.”
“Masalah bagi siapa?”
“Tentu, masalah bagi kelompok yang tak menyukai Kangjeng Pangeran,” jawab Ki Dita.
“Membahayakan…”
“Tentu membahayakan. Itulah sebabnya, kini rasa sesal menghantuiku…” jawab Ki Dita dan wajahnya penuh rasa khawatir.
“Tapi engkau terlanjur mau karena iming-iming itu, Ki Dita?”
Ki Dita mengangguk lesu. “Namun sebetulnya, yang menekanku bukan semata karena iming-iming itu.”
“Ada hal lain lagi yang menekanmu?”
“Raden Yudakara tahu kalau aku gila kekayaan dan gemar menerima suap dari pejabat. Maka itu pula yang digunakan Raden Yudakara dalam menekankan keinginannya. Katanya, apa yang jadi kebiasaanku akan ditutup rapat selama aku ikut dirinya. Yang penting, turuti apa yang jadi perintahnya maka kedudukanku aman. Begitu katanya. Kelemahanku sudah dipegang oleh Raden Yudakara. Aku jadi benar takut didepak dari istana. Makanya aku laksanakan keinginannya…”
“Saya tak percaya kalau ada pejabat di bawahnya yang tidak menyukai Kangjeng Pangeran… ” gumam Purbajaya.
“Banyak orang menilai baik buruknya seseorang karena didasarkan pada kepentingannya sendiri. Kita akan menganggap orang lain baik karena telah menguntungkan kita, sebaliknya akan menilai buruk karena orang itu merugikan kita,” kata Ki Dita sambil menatap berkeliling. Hutan lebat ini ternyata sudah tak diselimuti kabut lagi. Burung walik pun mulai terdengar kicaunya di atas dahan pohon carik angin.
“Apakah Ki Sanjadirja masuk kelompok ini?” tanya Purbajaya penuh minat.
“Kau pandai menebak orang,” jawab Ki Dita.
“Bukan karena kecerdikan saya, melainkan karena sudah diketahui betapa Ki Sanjadirja kalah bersaing dengan Ki Bagus Sura dalam mendapatkan perhatian Kangjeng Pangeran,” jawab Purbajaya menepiskan pujian orang.
Dan Ki Dita mengangguk mengiyakan.
“Kau mengabdi pada Ki Sanja pasti atas saran Raden Yudakara.” Purbajaya coba menebak dan ternyata tebakannya ini benar.
“Aku disuruh Raden Yudakara untuk memanas-manasi Ki Sanjadirja agar semakin membenci Kangjeng Pangeran…” jawab Ki Dita polos.
Purbajaya menghela napas panjang. Dan kelakuan Purbajaya ini ternyata diikuti oleh elahan napas Ki Dita juga.
“Saya bingung… ” Purbajaya bergumam.
“Aku pun bingung…” tiru Ki Dita seperti burung beo saja.
Purbajaya menoleh.
“Bayangkanlah Purba, tiga orang pemuda di bawah bimbinganku mati semua. Aku pasti dipecat mereka, padahal aku sudah akan diusulkan sebagai anggota pelatih kewiraan di lingkungan lebih tinggi lagi. Putuslah reputasiku…”
“Yang saya bingungkan soal perilaku Raden Yudakara,” bantah Purbajaya sebab merasa tak punya kesamaan dalam memiliki kebingungan ini. ”Saya bingung, apa pula maksud sebenarnya mengacau dan mengadu-domba pejabat di Sumedanglarang?” tanya Purbajaya seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Aku tak pernah ingin tahu apa keinginan pemuda aneh itu. Yang aku pikirkan sekarang, bagaimana nasibku selanjutnya? Kembali ke Ciguling (ibukota Sumedanglarang) aku tak berani. Namun ikut Raden Yudakara pun aku tak kerasan. Jalan pikirannya aneh-aneh, mungkin terlalu tinggi dan aku tak bisa mengerti maknanya. Padahal keinginanku tak muluk, hanya ingin hidup aman sejahtera hingga akhir hayat. Itu saja,” kata Ki Dita sambil mengeluh dan memukul jidatnya sendiri beberapa kali.
Dalam pandangan Purbajaya, Ki Dita sudah tak tampak sebagai seorang guru kewiraan yang bisa melahirkan generasi bangsa yang tangguh, melainkan tampak hanya berupa seorang pencari upah yang gagal dalam usahanya. Bersyukur ada Raden Yudakara, sebab orang seperti ini bisa terusir dari Sumedanglarang.
Namun dua orang itu tak bisa lama-lama mengobrol sebab tugas berburu binatang harus segera dilakukan. Kalau berlarut-larut tak kembali, khawatir Raden Yudakara lama menunggu dan dia akan curiga.
Itulah sebabnya, baik Purbajaya mau pun Ki Dita, berusaha mengejar binatang buruan. Di daerah itu hanya burung-burung walik yang banyak berkeliaran. Mereka beterbangan atau berloncatan dari dahan ke dahan. Itulah sebabnya, baik Purbajaya mau pun Ki Dita hanya mencoba mengintai mangsa seperti itu saja. Masing-masing siap dengan beberapa kerikil. Dan setiap ada burung menclok, mereka lempar dengan kerikil disertai pengerahan tenaga dalam yang amat kuat. Mereka bersaing mengejar buruannya sebanyak-banyaknya.
“Aku dapat tiga ekor!” teriak Ki Dita gembira.
“Wah… saya hanya dapat dua ekor… ” kata Purbajaya “tak puas” sambil membuang dua ekor burung walik lainnya yang sudah dia dapatkan. Purbajaya tak mau orang tua itu kalah bersaing. Itulah sebabnya lebih baik dia saja yang mengalah.
“Coba lihat tangkapanmu. Wah, hanya dua ekor, kecil-kecil lagi. Tapi biarlah, untuk sarapan pagi cukup segini saja,” kata Ki Dita gembira. Dia pulang duluan menenteng buruannya. Purbajaya mengikuti dari belakangnya.
Di dalam gua, Raden Yudakara sudah siap menunggu. Pemuda itu ketawa renyah ketika melihat Purbajaya dan Ki Dita sama-sama menenteng hasil buruan.
“Cepat buatkan api. Purba, kau giliran mengumpulkan dahan-dahan kaso yang sudah kering.”
Raden Yudakara kerjanya memang hanya memerintah. Tapi ketika makanan sudah terhidang, dia dapat giliran paling awal dalam melahap makanan itu.
“Musti dengan nasi yang ditanak di Rajagaluh…” kata Raden Yudakara yang mulutnya penuh dijejali serpihan daging walik sampai-sampai minyak berlelehan di sudut bibirnya.
Purbajaya pun dapat bagian daging walik ini. Dan ketika makan, teringat Paman Jayaratu. Membakar daging burung walik memang kegemaran Paman Jayaratu. Tapi bersama Paman Jayaratu, memasaknya tidak sederhana seperti ini. Sebaiknya, sesudah daging dikuliti, tubuh burung dilabur bumbu tumbuk campuran bawang putih, bawang merah, merica atau jahe. Kalau ada minyak samin buatan Nagri Parasi bisa lebih bagus. Sambil digarang di atas bara api, daging burung dilabur minyak samin. Maka harumnya daging yang dibakar berpadu dengan harum khas bumbu-bumbu itu, bakal semakin menggoda perut yang lagi lapar.
Pagi ini daging burung hanya dibakar tanpa bumbu atau pun juga tanpa garam barang sejumput. Namun bagi orang yang perutnya lama tak diisi, ini adalah makanan yang amat istimewa. Hanya dalam waktu tidak terlalu lama, semua daging sudah habis dilahap tiga orang. Yang tinggal hanya tulang-belulangnya saja.
“Mari!” ajak Raden Yudakara berjingkat setelah membersihkan mulut dan tangannya.
“Ke mana?” tanya Ki Dita menatap heran.
“Ke mana? Apa kau sangka kita ini sedang pesiar?” Raden Yudakara balik bertanya dengan nada ketus.
Tapi Ki Dita masih tak mau beranjak.
“Kau harus kembali ke Ciguling!” kata Raden Yudakara.
Tapi Ki Dita masih diam.
“Kalau begitu, kau ikut aku langsung ke wilayah barat! Kau takut bertemu orang-orang Sumedanglarang, kan?” tanya Raden Yudakara.
“Benar, Raden.”
“Kau pengecut. Tapi tak mengapa. Ayo ikut saja ke wilayah barat.”
“Saya juga tak mau ikut. Saya ingin di sini saja…” jawab Ki Dita pelan dan menunduk.
“Maksudmu, di dalam gua ini?”
Lagi-lagi Ki Dita tidak menjawab.
“Kalau tak ikut aku, kau tak bisa ke mana-mana,” tutur Raden Yudakara dingin. Kemudian dia tepuk-tepuk bagian belakang pakaiannya yang kotor oleh debu. “Benar kau tak akan ke mana-mana?”
“Tidak Raden…”
“Mau tinggal di sini saja?”
“Mungkin begitu, Raden…”
“Benar?” nada suara Raden Yudakara semakin dingin.
“Saya ini orang kecil, Raden. Ikut dengan orang besar dan pintar sepertimu, saya tak akan mengerti. Jalan pikiranmu terlalu tinggi dan susah dimengerti. Daripada saya pusing sendiri, lebih baik saya tak ikut saja,” kata Ki Dita akhirnya.
“Kau akan mati di sini…” desis Raden Yudakara.
“Tidak. Justru saya akan mati bila terus-terusan ikut Raden…” kata Ki Dita. ”Jauh-jauh hari sebelum kenal engkau, hidup saya tentram. Namun setelah kau hadir, hidup saya kacau. Saya dipaksa untuk menilai orang, untuk bercuriga ke sana ke mari, padahal jauh sebelumnya, mereka baik-baik belaka kepada saya. Jadi, jalan pikiran Radenlah yang meracuni saya…” kata Ki Dita mulai berani sebab Raden Yudakara seperti tetap memaksanya.
Wajah Raden Yudakara merah-padam. Purbajaya tahu kalau pemuda ini paling murka pendapatnya tak diikuti. Dia khawatir, Ki Dita dihadapkan kepada mara-bahaya karena hal ini.
“Jadi, kau tak akan ikut aku, ya?”
“Betul, Raden…”
“Sudah kau putuskan, ya?”
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment