“Sudah saya putuskan, Raden…”
“Baik kalau bagitu. Tinggallah kau di sini!” teriak Raden Yudakara.
Dan dengan kecepatan sulit diduga, pemuda itu melakukan pukulan jarak jauh dengan amat dahsyatnya. Saking dahsyatnya, suara angin berciutan dan batu-batu di dalam gua berguguran.
Purbajaya hanya sanggup berdiri mematung dengan mulut melongo. Dia sudah punya firasat kalau Raden Yudakara akan mencelakai Ki Dita, namun gerakan dahsyat yang dilakukan pemuda itu sama sekali tak bisa diduganya. Dengan amat pedihnya, Purbajaya hanya bisa menyaksikan, betapa tubuh Ki Dita yang tak pernah mempersiapkan diri terlontar keras dan berdebuk di dinding gua. Tubuh itu meloso ke bawah, kemudian tertimpa reruntuhan batuan gua. Tak ada gerakan sesuatu dari tubuh Ki Dita selain sebelah tangannya tersembul tak berdaya dari sela-sela gundukan bebatuan.
Purbajaya berhenti dari keterpanaannya dan segera menghambur ke arah reruntuhan batu kemudian mencoba menolong tubuh Ki Dita yang tertimbun di bawahnya.
“Sudahlah, dia sudah tewas…” kata Raden Yudakara dengan nada biasa seolah-olah itu bukan peristiwa penting dan mencekam.
Purbajaya coba memeriksa nadi di tangan Ki Dita yang menyembul ke atas. Benar saja, sudah tak ada denyut nadi.
“Kau membunuhnya, Raden…” desis Purbajaya.
“Dia yang minta…” jawab Raden Yudakara enteng saja.
“Kau kejam. Kau tanpa perasaan sehingga nyawa begitu tak berarti bagimu!” Purbajaya mengecamnya.
Dikecam seperti ini wajah Raden Yudakara merah-padam kembali. Tapi Purbajaya tak takut. Paling-paling dia dibunuhnya. Mengapa takut dibunuh, tokh selama ini mati-hidupnya telah ada di tangan pemuda kejam ini. Tapi Raden Yudakara tak memukulnya, melainkan hanya menjambak bajunya di bagian dada dan mengangkat tubuh Purbajaya tinggi-tinggi.
“Dengarkan kau manusia dungu. Justru aku melakukan hal ini karena aku menghargai nyawa. Tapi nyawa siapakah? Apa kau pikir kita musti menghargai nyawa orang lain ketimbang nyawa kita sendiri? Aku bunuh orang itu karena kalau dibiarkan maka nyawa kita yang terancam. Dia sudah tahu perjalanan dan rencana kita. Kalau dia memisahkan diri dari kita tentu hanya untuk menghalangi jalan kita saja.”
“Aku tak paham jalan pikiranmu!”
“Memang tidak akan paham sebab orang kecil sepertimu tak akan mengerti jalan pikiran orang besar sepertiku. Kau orang kecil dan bodoh hanya mampu berpikir akan masalah-masalah kecil saja dan tidak akan memahami masalah-masalah besar yang tengah aku pikirkan.”
“Tapi perkara nyawa bukanlah urusan kecil!” bantah Purbajaya dengan dada sakit karena keberadaan dirinya dihina seperti ini.
“Itulah sebabnya aku bunuh orang dungu itu sebab kalau kubiarkan lepas, akan banyak nyawa melayang. Keselematanku, keselamatan kau dan keselamatan banyak nyawa lainnya,” kata Raden Yudakara.
“Siapa yang lainnya?”
“Siapa? Tentu adalah mereka yang sepaham dengan kita,” tukas Raden Yudakara lagi dengan tegas. ”Sudahlah. Kau memang dungu. Dengarkan, selama dunia berkembang, maka selama itu pula akan selalu terdapat perbedaan pendapat di antara manusia. Bila semua orang telah sama-sama memiliki keinginan untuk berkembang, maka akan bersaing dengan yang lainnya dan terjadilah pertikaian. Kau harus pahami itu. Hanya orang bodoh dan tanpa keinginan yang sanggup melahirkan kedamaian tapi kedamaian sepi tak berarti. Dan aku tak mau itu. Aku tak mau jadi orang mati hanya karena mendambakan kedamaian. Tapi aku harus jadi orang nomor satu kendati dunia dalam keadaan apa pun. Dan untuk menjadi orang nomor satu, aku harus berjuang, apa pun perjuanganku!” Raden Yudakara berkata lantang dan mengejutkan.
Kalau saat itu ada guruh mengguntur, maka hanya suara pemuda ambisius itu saja yang paling keras suaranya. Barangkali burung dan binatang hutan pun hanya akan takut mendengar suara Raden Yudakara ketimbang suara halilintar di siang hari bolong.
“Cita-citamu akan mengancam keselamatan orang lain,” gumam Purbajaya parau karena bulu-kuduk berdiri mendengar isi hati pemuda aneh ini.
“Aku bukan orang sadis sebab aku pun butuh teman. Namun terus-terang, aku tak bisa menyelamatkan banyak nyawa di tengah-tengah persaingan dalam saling menekan dan saling mengalahkan. Kalau pun akan menyelamatkan nyawa, maka itu adalah nyawa kita sendiri, atau nyawa orang-orang yang membantu kita dan bukan nyawa orang-orang yang memusuhi atau menyaingi kita,” kata lagi pemuda itu.
Purbajaya hanya termangu-mangu.
“Nah, ini perkataanku yang terakhir. Kalau kau banyak bertanya dan apalagi banyak mendebat lagi, maka kuanggap kau bukan orang sehaluan denganku,” desis Raden Yukadara dengan suara dingin. Sesudah itu, pemuda ini keluar dari gua lebih dahulu dan meninggalkan Purbajaya yang masih termangu.
Dengan perasaan tak berketentuan, Purbajaya pun bangun dari duduknya dan ikut keluar gua. Jasad Ki Dita dibiarkan terkubur bebatuan gua karena Raden Yudakara tak memberi waktu untuk merawat jasad itu.
Purbajaya memang harus ikut ke mana pemuda itu pergi. Bukan dia takut mati oleh ancaman Raden Yudakara, tapi semakin lama meneliti perilaku pemuda itu, maka semakin besar juga rasa penasaran di hati Purbajaya. Kalau benar Raden Yudakara orang jahat, biarlah Purbajaya tahu secara keseluruhan, sampai di mana kejahatan pemuda itu. Purbajaya merasa kalau Raden Yudakara ini bukan hanya bekerja sebagai mata-mata saja. Menjadi mata-mata hanyalah sebuah perangkat untuk menutupi kegiatan sesungguhnya. Kepada siapa dia menutupi identitas sebenarnya?
Raden Yudakara terus membawanya ke utara. Purbajaya di sepanjang jalan tidak bertanya lagi sebab Purbajaya tahu kalau pemuda bangsawan ini akan menuju wilayah Pajajaran.
“Kita akan singgah di wilayah kandagalante (pejabat setingkat wedana kini) Sagaraherang,” kata Raden Yudakara menebasi tetumbuhan yang menghalangi jalan dengan ranting kayu.
Selama melakukan perjalanan, Raden Yudakara memang tak mau lewat jalan pedati yang banyak dilalui umum, melainkan memotong-motong belukar atau bahkan ngarai. Kentara sekali bahwa di wilayah yang berdekatan dengan Ciguling (ibukota Sumedanglarang), dia tak berani menampakkan diri. Pusat kota Sumedanglarang tidak mereka lewati.
Sagaraherang adalah daerah yang terletak di dataran rendah sebelah utara Sumedanglarang. Bila di wilayah Sumedanglarang mereka harus berjalan turun-naik bukit dan meniti jurang terjal, maka ketika memasuki wilayah Sagaraherang, jalanan mulai rata. Di daerah ini, kalau mau sembunyi dari pandangan umum sebetulnya agak sulit sebab dataran rendah ini banyak terdiri dari padang alang-alang terbuka dan juga rawa. Satu dua memang terlihat bukit dengan pepohonan dataran rendah namun jumlahnya tidak banyak.
“Baik kalau bagitu. Tinggallah kau di sini!” teriak Raden Yudakara.
Dan dengan kecepatan sulit diduga, pemuda itu melakukan pukulan jarak jauh dengan amat dahsyatnya. Saking dahsyatnya, suara angin berciutan dan batu-batu di dalam gua berguguran.
Purbajaya hanya sanggup berdiri mematung dengan mulut melongo. Dia sudah punya firasat kalau Raden Yudakara akan mencelakai Ki Dita, namun gerakan dahsyat yang dilakukan pemuda itu sama sekali tak bisa diduganya. Dengan amat pedihnya, Purbajaya hanya bisa menyaksikan, betapa tubuh Ki Dita yang tak pernah mempersiapkan diri terlontar keras dan berdebuk di dinding gua. Tubuh itu meloso ke bawah, kemudian tertimpa reruntuhan batuan gua. Tak ada gerakan sesuatu dari tubuh Ki Dita selain sebelah tangannya tersembul tak berdaya dari sela-sela gundukan bebatuan.
Purbajaya berhenti dari keterpanaannya dan segera menghambur ke arah reruntuhan batu kemudian mencoba menolong tubuh Ki Dita yang tertimbun di bawahnya.
“Sudahlah, dia sudah tewas…” kata Raden Yudakara dengan nada biasa seolah-olah itu bukan peristiwa penting dan mencekam.
Purbajaya coba memeriksa nadi di tangan Ki Dita yang menyembul ke atas. Benar saja, sudah tak ada denyut nadi.
“Kau membunuhnya, Raden…” desis Purbajaya.
“Dia yang minta…” jawab Raden Yudakara enteng saja.
“Kau kejam. Kau tanpa perasaan sehingga nyawa begitu tak berarti bagimu!” Purbajaya mengecamnya.
Dikecam seperti ini wajah Raden Yudakara merah-padam kembali. Tapi Purbajaya tak takut. Paling-paling dia dibunuhnya. Mengapa takut dibunuh, tokh selama ini mati-hidupnya telah ada di tangan pemuda kejam ini. Tapi Raden Yudakara tak memukulnya, melainkan hanya menjambak bajunya di bagian dada dan mengangkat tubuh Purbajaya tinggi-tinggi.
“Dengarkan kau manusia dungu. Justru aku melakukan hal ini karena aku menghargai nyawa. Tapi nyawa siapakah? Apa kau pikir kita musti menghargai nyawa orang lain ketimbang nyawa kita sendiri? Aku bunuh orang itu karena kalau dibiarkan maka nyawa kita yang terancam. Dia sudah tahu perjalanan dan rencana kita. Kalau dia memisahkan diri dari kita tentu hanya untuk menghalangi jalan kita saja.”
“Aku tak paham jalan pikiranmu!”
“Memang tidak akan paham sebab orang kecil sepertimu tak akan mengerti jalan pikiran orang besar sepertiku. Kau orang kecil dan bodoh hanya mampu berpikir akan masalah-masalah kecil saja dan tidak akan memahami masalah-masalah besar yang tengah aku pikirkan.”
“Tapi perkara nyawa bukanlah urusan kecil!” bantah Purbajaya dengan dada sakit karena keberadaan dirinya dihina seperti ini.
“Itulah sebabnya aku bunuh orang dungu itu sebab kalau kubiarkan lepas, akan banyak nyawa melayang. Keselematanku, keselamatan kau dan keselamatan banyak nyawa lainnya,” kata Raden Yudakara.
“Siapa yang lainnya?”
“Siapa? Tentu adalah mereka yang sepaham dengan kita,” tukas Raden Yudakara lagi dengan tegas. ”Sudahlah. Kau memang dungu. Dengarkan, selama dunia berkembang, maka selama itu pula akan selalu terdapat perbedaan pendapat di antara manusia. Bila semua orang telah sama-sama memiliki keinginan untuk berkembang, maka akan bersaing dengan yang lainnya dan terjadilah pertikaian. Kau harus pahami itu. Hanya orang bodoh dan tanpa keinginan yang sanggup melahirkan kedamaian tapi kedamaian sepi tak berarti. Dan aku tak mau itu. Aku tak mau jadi orang mati hanya karena mendambakan kedamaian. Tapi aku harus jadi orang nomor satu kendati dunia dalam keadaan apa pun. Dan untuk menjadi orang nomor satu, aku harus berjuang, apa pun perjuanganku!” Raden Yudakara berkata lantang dan mengejutkan.
Kalau saat itu ada guruh mengguntur, maka hanya suara pemuda ambisius itu saja yang paling keras suaranya. Barangkali burung dan binatang hutan pun hanya akan takut mendengar suara Raden Yudakara ketimbang suara halilintar di siang hari bolong.
“Cita-citamu akan mengancam keselamatan orang lain,” gumam Purbajaya parau karena bulu-kuduk berdiri mendengar isi hati pemuda aneh ini.
“Aku bukan orang sadis sebab aku pun butuh teman. Namun terus-terang, aku tak bisa menyelamatkan banyak nyawa di tengah-tengah persaingan dalam saling menekan dan saling mengalahkan. Kalau pun akan menyelamatkan nyawa, maka itu adalah nyawa kita sendiri, atau nyawa orang-orang yang membantu kita dan bukan nyawa orang-orang yang memusuhi atau menyaingi kita,” kata lagi pemuda itu.
Purbajaya hanya termangu-mangu.
“Nah, ini perkataanku yang terakhir. Kalau kau banyak bertanya dan apalagi banyak mendebat lagi, maka kuanggap kau bukan orang sehaluan denganku,” desis Raden Yukadara dengan suara dingin. Sesudah itu, pemuda ini keluar dari gua lebih dahulu dan meninggalkan Purbajaya yang masih termangu.
Dengan perasaan tak berketentuan, Purbajaya pun bangun dari duduknya dan ikut keluar gua. Jasad Ki Dita dibiarkan terkubur bebatuan gua karena Raden Yudakara tak memberi waktu untuk merawat jasad itu.
Purbajaya memang harus ikut ke mana pemuda itu pergi. Bukan dia takut mati oleh ancaman Raden Yudakara, tapi semakin lama meneliti perilaku pemuda itu, maka semakin besar juga rasa penasaran di hati Purbajaya. Kalau benar Raden Yudakara orang jahat, biarlah Purbajaya tahu secara keseluruhan, sampai di mana kejahatan pemuda itu. Purbajaya merasa kalau Raden Yudakara ini bukan hanya bekerja sebagai mata-mata saja. Menjadi mata-mata hanyalah sebuah perangkat untuk menutupi kegiatan sesungguhnya. Kepada siapa dia menutupi identitas sebenarnya?
Raden Yudakara terus membawanya ke utara. Purbajaya di sepanjang jalan tidak bertanya lagi sebab Purbajaya tahu kalau pemuda bangsawan ini akan menuju wilayah Pajajaran.
“Kita akan singgah di wilayah kandagalante (pejabat setingkat wedana kini) Sagaraherang,” kata Raden Yudakara menebasi tetumbuhan yang menghalangi jalan dengan ranting kayu.
Selama melakukan perjalanan, Raden Yudakara memang tak mau lewat jalan pedati yang banyak dilalui umum, melainkan memotong-motong belukar atau bahkan ngarai. Kentara sekali bahwa di wilayah yang berdekatan dengan Ciguling (ibukota Sumedanglarang), dia tak berani menampakkan diri. Pusat kota Sumedanglarang tidak mereka lewati.
Sagaraherang adalah daerah yang terletak di dataran rendah sebelah utara Sumedanglarang. Bila di wilayah Sumedanglarang mereka harus berjalan turun-naik bukit dan meniti jurang terjal, maka ketika memasuki wilayah Sagaraherang, jalanan mulai rata. Di daerah ini, kalau mau sembunyi dari pandangan umum sebetulnya agak sulit sebab dataran rendah ini banyak terdiri dari padang alang-alang terbuka dan juga rawa. Satu dua memang terlihat bukit dengan pepohonan dataran rendah namun jumlahnya tidak banyak.
Sagaraherang adalah wilayah yang masih dikuasai Pajajaran. Namun demikian, pengaruh dari pusat kekuasaan sudah terasa lemah. Wilayah ini malah sudah begitu dekat dengan pesisir utara, padahal pesisir utara hampir semuanya dikuasai Nagri Carbon. Sebagai daerah perbatasan, kontak penduduk dari dua wilayah mudah dilakukan.
Seperti apa kata Raden Yudakara, orang kecil memang tak bisa berpikir besar. Namun karena ini pula, jalan pikiran orang kecil ternyata bisa bebas dari kemelut besar hanya karena secara lugu telah mengartikan nilai kehidupan secara sederhana saja. Buktinya, dua penduduk dari dua wilayah berlainan paham ini. Secara politis antara Carbon dan Pajajaran ini bermusuhan. Tapi, apalah arti perbedaan politik bagi orang yang tak mengerti politik. Sebab yang sebenarnya dipahami oleh mereka hanyalah bagaimana agar bisa bertahan hidup sesuai kemampuan.
Penduduk dari dua negri berlainan paham ini satu sama lain sebetulnya tetap saling memerlukan. Penduduk pedalaman (Pajajaran), amat memerlukan garam, ikan asin atau barang-barang hasil produksi orang pesisir bahkan kain halus buatan negri sebrang seperti kain satin buatan Campa atau kain sutra buatan Cina. Sebaliknya penduduk pesisir memerlukan hasil bumi dari wilayah pedalaman, seperti kapas, asam, berbagai rempah-rempah atau bahkan anggur agar kelak oleh orang pesisir bisa dijual lagi ke negri sebrang. Oleh sebab itu politik bagi orang awam dan kaum pedagang tak diperhatikan benar sebab mereka tetap saling membutuhkan.
Di pinggiran wilayah Sagaraherang bahkan amat sulit membedakan, mana orang Carbon dan mana orang Pajajaran. Logat bahasa mereka malah seperti campur-aduk. Tak mengapa orang Pajajaran logatnya jadi “kecarbon-carbonan” karena kental dan baur oleh perdagangan. Jenis pakaian yang digunakan pun sudah bercampur-baur. Ada orang Sagaraherang tapi sudah terbiasa menggunakan bendo citak atau baju takwa padahal itu biasa digunakan oleh orang Demak atau pun Carbon. Orang Pajajaran di wilayah ini adat-istiadatnya memang terpengaruh oleh orang Carbon.
Namun kesederhanaan perilaku penduduk ini suka dimanfaatkan oleh “orang pintar” yang mengaku tahu politik. Hubungan perdagangan dari kedua penduduk ini dimanfaatkan untuk kepentingan penyamaran dan penyelundupan dengan kepentingan politik pula. Kerap terjadi orang Pajajarana memasuki Carbon melalui perbatasan ini atau pun sebaliknya orang Carbon memasuki wilayah Pajajaran dengan maksud untuk kepentingan politik.
Sesudah tiba di wilayah Sagaraherang, Raden Yudakara tak mengajak Purbajaya untuk main sembunyi lagi. Mereka berdua malah kembali menyusuri jalan pedati yang ramai digunakan lalu-lintas perdagangan. Apalagi sesudah memasuki lawang-kori (gerbang) kota, di mana orang yang hilir-mudik semakin banyak pula. Kata Raden Yudakara, keberadaan Purbajaya sudah tak diketahui sebagai orang Carbon lagi.
“Kau hanya perlu menyelaraskan bahasa yang dipakai saja. Ini adalah wilayah Sunda dan tak banyak orang menggunakan bahasa Demak,” kata Raden Yudakara sambil menyebutkan bahwa di wilayah Pajajaran Purbajaya harus belajar bahasa setempat.
“Sedikit-sedikit saya sudah dilatih bahasa Pajajaran oleh Paman Jayaratu…” jawab Purbajaya.
“Itu malah lebih bagus!” Raden Yudakara mengacungkan jempol memuji.
Kini Purbajaya dibawa menghadap kepada penguasa wilayah itu. “Jangan sungkan. Kandagalante Sunda Sembawa adalah kerabat dekatku,” kata Raden Yudakara.
“Oh… ” Purbajaya hanya bergumam.
“Betul. Sementara, Ki Sunda Sembawa pun punya kekerabatan yang erat dengan penguasa Pajajaran sekarang. Dengan demikian, kalau ditelusuri, sebetulnya aku pun masih kerabat Pajajaran juga. Tapi jangan cemas, Ki Sunda Sembawa adalah tetap teman sendiri,” kata Raden Yudakara.
Purbajaya termangu. “Teman sendiri” punya arti khusus. Secara politis, apakah Ki Sunda Sembawa pun sudah memihak Carbon? Purbajaya tersenyum kecut, sekaligus dia pun tak mengerti, mengapa ini terjadi?
Purbajaya pernah menerima penjelasan dari Paman Jayaratu, antara Pajajaran dan Carbon sebenarnya punya kaitan kekerabatan yang amat erat. Kangjeng Pangeran Cakrabuana pendiri Nagri Carbon (asal kata dari caruban, artinya negri bermacam-macam bangsa), adalah salah seorang putra Prabu Sri Baduga Maharaja penguasa Pajajaran. Pangeran Cakrabuana dulunya bernama Walangsungsang.
Sementara itu, penguasa Nagri Carbon kini yaitu Sang Susuhunan Jati adalah cucu dari Sri Baduga Maharaja, dan punya kekerabatan uwak kepada Kangjeng Pangeran Cakrabuana. Sang Susuhunan Jati ditunjuk sebagai penguasa Carbon pun oleh Kangjeng Pangeran Cakrabuana. Namun kekerabatan yang kental ini tidak lantas membangun sebuah persaudaraan dan persahabatan antar negri. Oleh keyakinan berbeda, kedua negri malah menjadi seteru.
Kalau benar Kandagalante Sunda Sembawa kini menjadi “orang sendiri”, padahal dia jelas-jelas orang Pajajaran, maka semakin kecut hati Purbajaya. Betapa karena urusan keyakinan sesama kerabat menjadi saling seteru dan saling ingin menjatuhkan. Atau tidakkah karena keadaan seperti ini maka dikipasi dan dimanfaatkan oleh orang-orang yang ingin cari keuntungan? Purbajaya melihat perbuatan Pangeran Arya Damar dan Raden Yudakara sebagai kelompok yang memperkeruh keadaan karena memiliki ambisi tertentu dari kekeruhan ini.
“Bila kau kusebutkan sebagai anak buahku, maka Ki Sunda Sembawa tak akan ragu-ragu menyambutmu sebab kau akan dianggap sebagai orang sendiri baginya,” kata Raden Yudakara membuyarkan lamunan Purbjaya. ”Kau pasti akan gembira. Setiap kedatangan tamu Ki Sunda Sembawa selalu mengadakan pesta penyambutan. Dia senang foya-foya,” sambung pemuda itu sambil tertawa-tawa seolah tengah membayangkan hal yang amat menyenangkan baginya.
Memasuki sebuah kompleks rumah-rumah besar dari kayu berukir dan genting sirap musti melalui pintu jaga dulu. Ada dua orang jagabaya mencegat dan memeriksa. Namun setelah mereka tahu yang datang adalah Raden Yudakara mereka terbungkuk-bungkuk menghormatnya. Dengan tergopoh-gopoh salah seorang dari mereka bahkan mengantarkan Raden Yudakara dan Purbajaya menghadap Ki Sunda Sembawa.
Kediaman Ki Sunda Sembawa adalah bangunan rumah panggung paling besar yang posisinya ada di tengah, dikelilingi bangunan lain yang ukurannya lebih kecil berjumlah empat buah. Rumah yang berdiri kokoh di tengah ini punya beranda besar. Masih berupa panggung dengan lantai papan kayu jati berwarna coklat kehitam-hitaman dan amat halus serta mengkilap.
Raden Yudakara dipersilakan duduk di hamparan alketip beludru buatan Nagri Campa, sementara Purbajaya pun duduk di belakangnya.
“Saya akan sampaikan perihal kedatangan Raden berdua…” kata penjaga sambil pergi dengan tergopoh-gopoh pula.
Dan Raden Yudakara serta Purbajaya perlu menunggu waktu agak lama pula untuk menerima sambutan tuan rumah. Ketika pintu kayu berderit terbuka, muncullah Ki Sunda Sembawa. Usianya barangkali sekitar limapuluhan. Tubuhnya tidak terlalu tinggi namun berpostur tegap dengan kumis melintang tipis di bawah hidungnya yang sedikit mancung.
Yang membuat hati Purbajaya tertarik, Ki Sunda Sembawa datang menyambut tamu sambil menggunakan jenis pakaian yang biasa digunakan oleh bangsawan Istana Pakungwati, Carbon. Ki Sunda Sembawa memakai pakaian jenis bedahan lima dan kainnya jelas bukan buatan negri sendiri. Purbajaya tahu kalau jenis kain ini sering diturunkan di Pelabuhan Muhara Jati, Carbon, melalui kapal-kapal jung bangsa asing.
Lelaki gagah ini pun menggunakan tutup kepala dari jenis bendo citak dengan ornamen logam warna emas sebagai penghiasnya. Bila ornamen itu bergoyang-goyang, maka ada pantulan cahaya berkeredip dengan amat indahnya.
Ki Sunda Sembawa tertawa renyah ketika menerima penghormatan baik dari Raden Yudakara mau pun dari Purbajaya.
“Siapa pemuda tampan ini, Yuda?” tanya pejabat itu menunjuk ke arah Purbajaya.
“Dia Purbajaya, anak buah saya…” jawab Raden Yudakara hormat.
“Datang dari Carbon?” Ki Sunda Sembawa penuh selidik.
“Benar. Tapi masih orang sendiri,” jawab lagi Raden Yudakara. ”Kendati Pajajaran baginya adalah negrinya juga,” sambungnya melirik ke arah Purbajaya.
Ki Sunda Sembawa mengerutkan alis.
“Anak ini punya kekerabatan erat dengan penguasa wilayah Tanjungpura yang lama.”
Hati Purbajaya tak enak, mengapa seluruh riwayat hidupnya musti diceritakan di sini.
“Bagus. Semua orang yang merasa berhak atas tanah kelahirannya musti merasa memiliki negri ini. Baguslah engkau mau bergabung dengan kami, anak muda…” kata Ki Sunda Sembawa.
Dan lagi-lagi ucapan ini amat membingungkan Purbajaya. Mengapa tak begitu. Tadi Ki Sunda Sembawa menatapnya dengan penuh curiga ketika Raden Yudakara mengenalkan dirinya sebagai orang Carbon. Namun ketika disusul dengan pernyataan tambahan sebagai “orang sendiri” barulah Ki Sunda Sembawa terlihat lega. Ini hanya membuktikan bahwa kendati Raden Yudakara mengabarkan bahwa Ki Sunda Sembawa pun sudah berkiblat ke Carbon, namun musti diperjelas lagi “Carbon yang mana”.
Dan lagi-lagi Ki Sunda Sembawa mengerutkan alis manakala dikatakan Purbajaya pun sebagai orang Pajajaran juga. Namun sesudah tahu dari mana Purbajaya “berasal” maka pejabat itu pun kembali lega. Dengan demikian, Purbajaya pun dapat kesimpulan bahwa kendati Ki Sunda Sembawa pejabat Pajajaran, namun nama “Pajajaran” bisa bermacam-macam baginya. Ya, amat membingungkan tapi sekaligus juga membuat Purbajaya semakin merasa penasaran. Purbajaya merasa, betapa pemuda bernama Raden Yudakara ini semakin banyak mengandung misteri.
Ki Sunda Sembawa dan Raden Yudakara saling bertutur-sapa namun tidak secuil pun membicarakan hal-hal khusus. Begitu yang mereka lakukan sampai hari menjelang senja. Tapi manakala kembali dari sembahyang magrib, dia mendengar obrolan yang amat menarik perhatiannya. Purbajaya musti menyelinap dulu di balik pepohonan rimbun sebelum dia bisa menyimak apa yang diobrolkan mereka.
“Apakah Paman sudah menyiapkan segalanya sedemikian rapi?” terdengar pertanyaan Raden Yudakara.
“Aku sudah menempatkan orang-orangku di lingkungan Karaton Pakuan, Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Boleh dikata, satu dari sepuluh pejabat Pakuan adalah orang-orangku. Kita sedang melatih pasukan di sini. Namun jumlahnya masih kurang, perlu dibantu pasukan Carbon.” Ini adalah jawaban dari Ki Sunda Sembawa.
“Jangan khawatir. Pada saatnya nanti, saya kerahkan Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih,” jawab Raden Yudakara.
Mendengar jawaban ini, ada elahan napas terdengar. Purbajaya yakin, itu adalah elahan napas Ki Sunda Sembawa.
“Ada apa, Paman?” tanya Raden Yudakara.
“Kau ini membingungkan, Yuda. Katanya pasukan itu kau pengaruhi agar membenci Carbon dan mencintai Pajajaran. Sekarang, bagaimana mungkin mau kau belokkan lagi untuk melawan Pajajaran?” tanya Ki Sunda Sembawa.
“Ah, mereka orang-orang dungu yang mudah dihasut. Mereka hanyalah orang-orang yang mendambakan kehidupan masa lalu. Saya memang pengaruhi mereka karena Pajajaran bagi mereka adalah sisa masa lalu. Namun harus diingat, kerinduan mereka sebenarnya hanya kepada ratunya saja, yaitu Nyi Rambut Kasih. Jadi kalau kelak saya katakan bahwa Pajajaran pun tidak pernah membela ketika Sindangkasih digempur Carbon, maka otomatis mereka akan membenci Pajajaran. Mudah, kan?” jawab Raden Yudakara sambil tertawa. Ki Sunda Sembawa pun sama tertawa.
“Hanya yang saya masih kesal,” sambung Raden Yudakara, ”Tindakan Pangeran Suwarga sebagai Manggala atau Hulu-jurit (panglima perang) Nagri Carbon bertele-tele. Kendati sudah saya hembuskan bahwa Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih yang mengacau Sumedang dan Talaga kekuatannya dipasok dari Pajajaran, namun pejabat pikun dan kurang tenaga itu tetap tak mau mengerahkan kekuatannya untuk menyerang Pajajaran. Ini tentu menjengkelkan. Sebab bila pasukan resmi Carbon tetap tak mau menyerbu Pakuan, maka hanya punya arti bahwa kita bekerja sendirian,” kata Raden Yudakara.
“Hm… Bila benar begitu, maka tugas kita menjadi berat dalam menghimpun jumlah pasukan. Beruntung ada Ki Banaspati yang membantu,” kata Ki Sunda Sembawa.
“Ki Bnaspati, siapakah dia?” suara Raden Yudakara bernada heran.
“Dia adalah pembantu dekat Bangsawan Soka, pejabat muhara (pejabat urusan pajak) untuk wilayah timur Pajajaran.”
“Apakah dia pun orang sendiri?”
“Lebih dari itu sebab bahkan aku pun memiliki ide dan rasa semangat dalam mengambil hak di Pajajaran karena dia juga. Betapa dia tak henti-hentinya memberikan pengertian kalau aku sebenarnya paling berhak dalam menerima warisan kekuasaan negri ini. Kalau aku mau mengambil apa yang sudah jadi hakku, maka dia bersedia membantu apa saja. Katanya, sebagai petugas muhara, maka segala kekuatan dana sebenarnya ada padanya. Ini amat menguntungkan bagi kita,” kata Ki Sunda Sembawa dengan nada ceria.
Hanya saja ucapan gembira ini tak ditanggapi oleh suara Raden Yudakara. Kalau pemuda itu berperilaku begini, maka Purbajaya hapal, Raden Yudakara pasti tak berkenan mendengar pernyataan Ki Sunda Sembawa ini. Purbajaya tak bisa lama-lama sembunyi di rumpun dedaunan. Dan bila dia tak mau dicuriga, maka Purbajaya harus segera bergabung kembali dengan mereka.
Ketika Purbajaya muncul, maka obrolan penting pun selesai. Amat memberikan kesan bahwa obrolan barusan bersifat rahasia.
“Kalian lelah tentu harus beristirahat dengan nyaman dan penuh kegembiraan di sini,” kata Ki Sunda Sembawa sambil kemudian berteriak menyuruh para pembantunya datang ke tempat itu.
Maka tak berapa lama kemudian, dua orang pelayan, dua-duanya wanita muda usia dan berwajah cantik datang mendekat dan dengan amat hormatnya duduk bersimpuh.
“Hari ini kita kedatangan tamu penting, lekas sampaikan pada yang lain agar nanti malam menyiapkan segala sesuatunya dibale-kambang (bangunan panggung tempat bersantai terletak mengambang di tengah kolam). Amah, datangkan juru-kawih (akhli menembang) yang terbaik ke tempat kita,” kata Ki Sunda Sembawa memerintah.
Pelayan yang muda-muda dan ranum-ranum itu segera mengundurkan diri.
“Kalian harus percaya, betapa gadis Sagaraherang molek-molek,” kata Ki Sunda Sembawa tertawa renyah ketika dilihatnya mata Raden Yudakara tak pernah lepas menatap kedua orang pelayan itu.
Dengan tak malu-malu, Raden Yudakara tertawa ceria dengan mata berbinar-binar karena senangnya. Sepertinya dia tahu kalau dirinya dijanjikan sesuatu yang amat didambakan hatinya oleh tuan rumah. Dan benar saja, sesudah Purbajaya sembahyang isya, dia diundang menghadiri acara pesta di bale kambang.
Sebetulnya Purbajaya tak mau bergabung dengan mereka. Lagi pula badannya terasa lelah karena perjalanan tiada henti dari wilayah Sumedanglarang. Namun Purbajaya pun merasa tak enak bila menolak ajakan ini, padahal sudah jelas, pesta diadakan hanya karena menyambut kedatangan mereka berdua semata. Hanya yang membuat Purbajaya waswas, karena penguasa wilayah ini “menjanjikan” wanita cantik. Pesta apakah ini sehingga Ki Sunda Sembawa perlu bicara soal wanita cantik?
Namun diputuskan juga untuk beranjak dari kamarnya. Purbajaya diantar oleh seorang prajurit yang berbekal pelita minyak kelapa. Bale kambang terletak agak terpisah dari semua bangunan. Letaknya pun agak berada di bagian bawah.
Ketika Purbajaya dipandu menuruni trap tanah berbalay kerikil, bangunan bale kambang sudah terlihat jelas karena di dalam ruangan terbuka dan hanya diberi atap ijuk ini terlihat cahaya benderang karena pelita dipasang di berbagai sudut dan jumlahnya cukup banyak. Ada lantera besar dipasang tergantung di tengah ruangan. Cahayanya amat menerangi ruangan bale kambang.
Ketika Purbajaya masuk, di sana sudah banyak orang, pria dan wanita duduk bercampur-baur tak ada batas tertentu. Hampir semuanya larut dalam kegembiraan, padahal sepertinya acara belum dimulai kalau yang dimaksud di sini adalah pesta penyelenggaraan pertunjukan kesenian seperti apa yang dikatakan Ki Sunda Sembawa tadi sore.
Ki Sunda Sembawa pun sudah nampak larut dalam kegembiraan. Dia bersila di tengah dan dikelilingi beberapa orang gadis cantik dan masih berusia muda-muda pula. Dua gadis yang duduk menghimpitnya dari kiri dan kanan, terkekeh-kekeh genit dan menggeliat-geliat kegelian dalam duduknya karena tangan-tangan Ki Sunda Sembawa ngelayap ke sana ke mari. Sementara dua orang gadis lainnya sibuk memijiti bagian-bagian tubuh pejabat itu.
Sementara Raden Yudakara di sudut lainnya tak kalah “gesit”nya dalam mengerjai tubuh wanita-wanita molek ini. Dia malah garang dan cabul. Dua gadis dikiri-kanannya dikempit erat dan dua-duanya secara bergantian dia cium pipinya. Kalau ada gadis pelayan yang lewat untuk membagikan minuman, dia jawil pantatnya, dagunya bahkan buah dadanya. Anehnya, diperlakukan tak sopan seperti itu, para gadis malah tertawa senang. Memang ada sikap pura-pura marah dengan cemberut dan bahkan mencubit tangan Raden Yudakara, namun amat terlihat itu hanyalah marah manja saja.
Purbajaya melihat betapa sebetulnya Raden Yudakara tengah mabuk berat karena minuman tuak. Kepalanya oleng ke sana ke mari dan kulit wajahnya merah. Ketika Purbajaya baru tiba, dia disambut tawa renyah Ki Sunda Sembawa.
“Ah, anak muda ini, ke mana sajakah? Ayo jangan sungkan, ini semua untuk kalian semata. Di saat bulan purnama, di saat langit demikian cerah, kita berpesta sepuasnya!” kata Ki Sunda Sembawa yang nampak sudah mulai oleng pula.
Purbajaya hendak berjingkan untuk mengambil tempat duduk agak terpisah dengan mereka, namun tangan pemuda itu ditarik oleh Ki Sunda Sembawa.
“Hai, ayo layani pemuda ini dengan baik,” katanya menyodorkan tangan Purbajaya kepada seorang gadis.
Sesudah tangan Purbajaya digenggam gadis itu, Ki Sunda Sembawa terkekeh dan menepuk pantat gadis itu agar pergi membawa Purbajaya. Purbajaya akan melepaskan tangannya yang digenggam erat oleh gadis cantik ini.
“Ayo, apa yang Kakang mau?” tanya gadis itu menjawil dagu Purbajaya.
“Saya… saya hanya mau nonton pergelaran kesenian saja, Nyai…” Purbajaya gagap dan panik karena perlakuan gadis itu. Dan untuk ke sekian kalinya dia terpaksa menepis tangan gadis itu karena akan berbuat mesum.
“Wah… ini kan sudah pergelaran, Kakang!” kata gadis itu. Lagi-lagi pipi Purbajaya dijawilnya.
Seperti apa kata Raden Yudakara, orang kecil memang tak bisa berpikir besar. Namun karena ini pula, jalan pikiran orang kecil ternyata bisa bebas dari kemelut besar hanya karena secara lugu telah mengartikan nilai kehidupan secara sederhana saja. Buktinya, dua penduduk dari dua wilayah berlainan paham ini. Secara politis antara Carbon dan Pajajaran ini bermusuhan. Tapi, apalah arti perbedaan politik bagi orang yang tak mengerti politik. Sebab yang sebenarnya dipahami oleh mereka hanyalah bagaimana agar bisa bertahan hidup sesuai kemampuan.
Penduduk dari dua negri berlainan paham ini satu sama lain sebetulnya tetap saling memerlukan. Penduduk pedalaman (Pajajaran), amat memerlukan garam, ikan asin atau barang-barang hasil produksi orang pesisir bahkan kain halus buatan negri sebrang seperti kain satin buatan Campa atau kain sutra buatan Cina. Sebaliknya penduduk pesisir memerlukan hasil bumi dari wilayah pedalaman, seperti kapas, asam, berbagai rempah-rempah atau bahkan anggur agar kelak oleh orang pesisir bisa dijual lagi ke negri sebrang. Oleh sebab itu politik bagi orang awam dan kaum pedagang tak diperhatikan benar sebab mereka tetap saling membutuhkan.
Di pinggiran wilayah Sagaraherang bahkan amat sulit membedakan, mana orang Carbon dan mana orang Pajajaran. Logat bahasa mereka malah seperti campur-aduk. Tak mengapa orang Pajajaran logatnya jadi “kecarbon-carbonan” karena kental dan baur oleh perdagangan. Jenis pakaian yang digunakan pun sudah bercampur-baur. Ada orang Sagaraherang tapi sudah terbiasa menggunakan bendo citak atau baju takwa padahal itu biasa digunakan oleh orang Demak atau pun Carbon. Orang Pajajaran di wilayah ini adat-istiadatnya memang terpengaruh oleh orang Carbon.
Namun kesederhanaan perilaku penduduk ini suka dimanfaatkan oleh “orang pintar” yang mengaku tahu politik. Hubungan perdagangan dari kedua penduduk ini dimanfaatkan untuk kepentingan penyamaran dan penyelundupan dengan kepentingan politik pula. Kerap terjadi orang Pajajarana memasuki Carbon melalui perbatasan ini atau pun sebaliknya orang Carbon memasuki wilayah Pajajaran dengan maksud untuk kepentingan politik.
Sesudah tiba di wilayah Sagaraherang, Raden Yudakara tak mengajak Purbajaya untuk main sembunyi lagi. Mereka berdua malah kembali menyusuri jalan pedati yang ramai digunakan lalu-lintas perdagangan. Apalagi sesudah memasuki lawang-kori (gerbang) kota, di mana orang yang hilir-mudik semakin banyak pula. Kata Raden Yudakara, keberadaan Purbajaya sudah tak diketahui sebagai orang Carbon lagi.
“Kau hanya perlu menyelaraskan bahasa yang dipakai saja. Ini adalah wilayah Sunda dan tak banyak orang menggunakan bahasa Demak,” kata Raden Yudakara sambil menyebutkan bahwa di wilayah Pajajaran Purbajaya harus belajar bahasa setempat.
“Sedikit-sedikit saya sudah dilatih bahasa Pajajaran oleh Paman Jayaratu…” jawab Purbajaya.
“Itu malah lebih bagus!” Raden Yudakara mengacungkan jempol memuji.
Kini Purbajaya dibawa menghadap kepada penguasa wilayah itu. “Jangan sungkan. Kandagalante Sunda Sembawa adalah kerabat dekatku,” kata Raden Yudakara.
“Oh… ” Purbajaya hanya bergumam.
“Betul. Sementara, Ki Sunda Sembawa pun punya kekerabatan yang erat dengan penguasa Pajajaran sekarang. Dengan demikian, kalau ditelusuri, sebetulnya aku pun masih kerabat Pajajaran juga. Tapi jangan cemas, Ki Sunda Sembawa adalah tetap teman sendiri,” kata Raden Yudakara.
Purbajaya termangu. “Teman sendiri” punya arti khusus. Secara politis, apakah Ki Sunda Sembawa pun sudah memihak Carbon? Purbajaya tersenyum kecut, sekaligus dia pun tak mengerti, mengapa ini terjadi?
Purbajaya pernah menerima penjelasan dari Paman Jayaratu, antara Pajajaran dan Carbon sebenarnya punya kaitan kekerabatan yang amat erat. Kangjeng Pangeran Cakrabuana pendiri Nagri Carbon (asal kata dari caruban, artinya negri bermacam-macam bangsa), adalah salah seorang putra Prabu Sri Baduga Maharaja penguasa Pajajaran. Pangeran Cakrabuana dulunya bernama Walangsungsang.
Sementara itu, penguasa Nagri Carbon kini yaitu Sang Susuhunan Jati adalah cucu dari Sri Baduga Maharaja, dan punya kekerabatan uwak kepada Kangjeng Pangeran Cakrabuana. Sang Susuhunan Jati ditunjuk sebagai penguasa Carbon pun oleh Kangjeng Pangeran Cakrabuana. Namun kekerabatan yang kental ini tidak lantas membangun sebuah persaudaraan dan persahabatan antar negri. Oleh keyakinan berbeda, kedua negri malah menjadi seteru.
Kalau benar Kandagalante Sunda Sembawa kini menjadi “orang sendiri”, padahal dia jelas-jelas orang Pajajaran, maka semakin kecut hati Purbajaya. Betapa karena urusan keyakinan sesama kerabat menjadi saling seteru dan saling ingin menjatuhkan. Atau tidakkah karena keadaan seperti ini maka dikipasi dan dimanfaatkan oleh orang-orang yang ingin cari keuntungan? Purbajaya melihat perbuatan Pangeran Arya Damar dan Raden Yudakara sebagai kelompok yang memperkeruh keadaan karena memiliki ambisi tertentu dari kekeruhan ini.
“Bila kau kusebutkan sebagai anak buahku, maka Ki Sunda Sembawa tak akan ragu-ragu menyambutmu sebab kau akan dianggap sebagai orang sendiri baginya,” kata Raden Yudakara membuyarkan lamunan Purbjaya. ”Kau pasti akan gembira. Setiap kedatangan tamu Ki Sunda Sembawa selalu mengadakan pesta penyambutan. Dia senang foya-foya,” sambung pemuda itu sambil tertawa-tawa seolah tengah membayangkan hal yang amat menyenangkan baginya.
Memasuki sebuah kompleks rumah-rumah besar dari kayu berukir dan genting sirap musti melalui pintu jaga dulu. Ada dua orang jagabaya mencegat dan memeriksa. Namun setelah mereka tahu yang datang adalah Raden Yudakara mereka terbungkuk-bungkuk menghormatnya. Dengan tergopoh-gopoh salah seorang dari mereka bahkan mengantarkan Raden Yudakara dan Purbajaya menghadap Ki Sunda Sembawa.
Kediaman Ki Sunda Sembawa adalah bangunan rumah panggung paling besar yang posisinya ada di tengah, dikelilingi bangunan lain yang ukurannya lebih kecil berjumlah empat buah. Rumah yang berdiri kokoh di tengah ini punya beranda besar. Masih berupa panggung dengan lantai papan kayu jati berwarna coklat kehitam-hitaman dan amat halus serta mengkilap.
Raden Yudakara dipersilakan duduk di hamparan alketip beludru buatan Nagri Campa, sementara Purbajaya pun duduk di belakangnya.
“Saya akan sampaikan perihal kedatangan Raden berdua…” kata penjaga sambil pergi dengan tergopoh-gopoh pula.
Dan Raden Yudakara serta Purbajaya perlu menunggu waktu agak lama pula untuk menerima sambutan tuan rumah. Ketika pintu kayu berderit terbuka, muncullah Ki Sunda Sembawa. Usianya barangkali sekitar limapuluhan. Tubuhnya tidak terlalu tinggi namun berpostur tegap dengan kumis melintang tipis di bawah hidungnya yang sedikit mancung.
Yang membuat hati Purbajaya tertarik, Ki Sunda Sembawa datang menyambut tamu sambil menggunakan jenis pakaian yang biasa digunakan oleh bangsawan Istana Pakungwati, Carbon. Ki Sunda Sembawa memakai pakaian jenis bedahan lima dan kainnya jelas bukan buatan negri sendiri. Purbajaya tahu kalau jenis kain ini sering diturunkan di Pelabuhan Muhara Jati, Carbon, melalui kapal-kapal jung bangsa asing.
Lelaki gagah ini pun menggunakan tutup kepala dari jenis bendo citak dengan ornamen logam warna emas sebagai penghiasnya. Bila ornamen itu bergoyang-goyang, maka ada pantulan cahaya berkeredip dengan amat indahnya.
Ki Sunda Sembawa tertawa renyah ketika menerima penghormatan baik dari Raden Yudakara mau pun dari Purbajaya.
“Siapa pemuda tampan ini, Yuda?” tanya pejabat itu menunjuk ke arah Purbajaya.
“Dia Purbajaya, anak buah saya…” jawab Raden Yudakara hormat.
“Datang dari Carbon?” Ki Sunda Sembawa penuh selidik.
“Benar. Tapi masih orang sendiri,” jawab lagi Raden Yudakara. ”Kendati Pajajaran baginya adalah negrinya juga,” sambungnya melirik ke arah Purbajaya.
Ki Sunda Sembawa mengerutkan alis.
“Anak ini punya kekerabatan erat dengan penguasa wilayah Tanjungpura yang lama.”
Hati Purbajaya tak enak, mengapa seluruh riwayat hidupnya musti diceritakan di sini.
“Bagus. Semua orang yang merasa berhak atas tanah kelahirannya musti merasa memiliki negri ini. Baguslah engkau mau bergabung dengan kami, anak muda…” kata Ki Sunda Sembawa.
Dan lagi-lagi ucapan ini amat membingungkan Purbajaya. Mengapa tak begitu. Tadi Ki Sunda Sembawa menatapnya dengan penuh curiga ketika Raden Yudakara mengenalkan dirinya sebagai orang Carbon. Namun ketika disusul dengan pernyataan tambahan sebagai “orang sendiri” barulah Ki Sunda Sembawa terlihat lega. Ini hanya membuktikan bahwa kendati Raden Yudakara mengabarkan bahwa Ki Sunda Sembawa pun sudah berkiblat ke Carbon, namun musti diperjelas lagi “Carbon yang mana”.
Dan lagi-lagi Ki Sunda Sembawa mengerutkan alis manakala dikatakan Purbajaya pun sebagai orang Pajajaran juga. Namun sesudah tahu dari mana Purbajaya “berasal” maka pejabat itu pun kembali lega. Dengan demikian, Purbajaya pun dapat kesimpulan bahwa kendati Ki Sunda Sembawa pejabat Pajajaran, namun nama “Pajajaran” bisa bermacam-macam baginya. Ya, amat membingungkan tapi sekaligus juga membuat Purbajaya semakin merasa penasaran. Purbajaya merasa, betapa pemuda bernama Raden Yudakara ini semakin banyak mengandung misteri.
Ki Sunda Sembawa dan Raden Yudakara saling bertutur-sapa namun tidak secuil pun membicarakan hal-hal khusus. Begitu yang mereka lakukan sampai hari menjelang senja. Tapi manakala kembali dari sembahyang magrib, dia mendengar obrolan yang amat menarik perhatiannya. Purbajaya musti menyelinap dulu di balik pepohonan rimbun sebelum dia bisa menyimak apa yang diobrolkan mereka.
“Apakah Paman sudah menyiapkan segalanya sedemikian rapi?” terdengar pertanyaan Raden Yudakara.
“Aku sudah menempatkan orang-orangku di lingkungan Karaton Pakuan, Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Boleh dikata, satu dari sepuluh pejabat Pakuan adalah orang-orangku. Kita sedang melatih pasukan di sini. Namun jumlahnya masih kurang, perlu dibantu pasukan Carbon.” Ini adalah jawaban dari Ki Sunda Sembawa.
“Jangan khawatir. Pada saatnya nanti, saya kerahkan Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih,” jawab Raden Yudakara.
Mendengar jawaban ini, ada elahan napas terdengar. Purbajaya yakin, itu adalah elahan napas Ki Sunda Sembawa.
“Ada apa, Paman?” tanya Raden Yudakara.
“Kau ini membingungkan, Yuda. Katanya pasukan itu kau pengaruhi agar membenci Carbon dan mencintai Pajajaran. Sekarang, bagaimana mungkin mau kau belokkan lagi untuk melawan Pajajaran?” tanya Ki Sunda Sembawa.
“Ah, mereka orang-orang dungu yang mudah dihasut. Mereka hanyalah orang-orang yang mendambakan kehidupan masa lalu. Saya memang pengaruhi mereka karena Pajajaran bagi mereka adalah sisa masa lalu. Namun harus diingat, kerinduan mereka sebenarnya hanya kepada ratunya saja, yaitu Nyi Rambut Kasih. Jadi kalau kelak saya katakan bahwa Pajajaran pun tidak pernah membela ketika Sindangkasih digempur Carbon, maka otomatis mereka akan membenci Pajajaran. Mudah, kan?” jawab Raden Yudakara sambil tertawa. Ki Sunda Sembawa pun sama tertawa.
“Hanya yang saya masih kesal,” sambung Raden Yudakara, ”Tindakan Pangeran Suwarga sebagai Manggala atau Hulu-jurit (panglima perang) Nagri Carbon bertele-tele. Kendati sudah saya hembuskan bahwa Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih yang mengacau Sumedang dan Talaga kekuatannya dipasok dari Pajajaran, namun pejabat pikun dan kurang tenaga itu tetap tak mau mengerahkan kekuatannya untuk menyerang Pajajaran. Ini tentu menjengkelkan. Sebab bila pasukan resmi Carbon tetap tak mau menyerbu Pakuan, maka hanya punya arti bahwa kita bekerja sendirian,” kata Raden Yudakara.
“Hm… Bila benar begitu, maka tugas kita menjadi berat dalam menghimpun jumlah pasukan. Beruntung ada Ki Banaspati yang membantu,” kata Ki Sunda Sembawa.
“Ki Bnaspati, siapakah dia?” suara Raden Yudakara bernada heran.
“Dia adalah pembantu dekat Bangsawan Soka, pejabat muhara (pejabat urusan pajak) untuk wilayah timur Pajajaran.”
“Apakah dia pun orang sendiri?”
“Lebih dari itu sebab bahkan aku pun memiliki ide dan rasa semangat dalam mengambil hak di Pajajaran karena dia juga. Betapa dia tak henti-hentinya memberikan pengertian kalau aku sebenarnya paling berhak dalam menerima warisan kekuasaan negri ini. Kalau aku mau mengambil apa yang sudah jadi hakku, maka dia bersedia membantu apa saja. Katanya, sebagai petugas muhara, maka segala kekuatan dana sebenarnya ada padanya. Ini amat menguntungkan bagi kita,” kata Ki Sunda Sembawa dengan nada ceria.
Hanya saja ucapan gembira ini tak ditanggapi oleh suara Raden Yudakara. Kalau pemuda itu berperilaku begini, maka Purbajaya hapal, Raden Yudakara pasti tak berkenan mendengar pernyataan Ki Sunda Sembawa ini. Purbajaya tak bisa lama-lama sembunyi di rumpun dedaunan. Dan bila dia tak mau dicuriga, maka Purbajaya harus segera bergabung kembali dengan mereka.
Ketika Purbajaya muncul, maka obrolan penting pun selesai. Amat memberikan kesan bahwa obrolan barusan bersifat rahasia.
“Kalian lelah tentu harus beristirahat dengan nyaman dan penuh kegembiraan di sini,” kata Ki Sunda Sembawa sambil kemudian berteriak menyuruh para pembantunya datang ke tempat itu.
Maka tak berapa lama kemudian, dua orang pelayan, dua-duanya wanita muda usia dan berwajah cantik datang mendekat dan dengan amat hormatnya duduk bersimpuh.
“Hari ini kita kedatangan tamu penting, lekas sampaikan pada yang lain agar nanti malam menyiapkan segala sesuatunya dibale-kambang (bangunan panggung tempat bersantai terletak mengambang di tengah kolam). Amah, datangkan juru-kawih (akhli menembang) yang terbaik ke tempat kita,” kata Ki Sunda Sembawa memerintah.
Pelayan yang muda-muda dan ranum-ranum itu segera mengundurkan diri.
“Kalian harus percaya, betapa gadis Sagaraherang molek-molek,” kata Ki Sunda Sembawa tertawa renyah ketika dilihatnya mata Raden Yudakara tak pernah lepas menatap kedua orang pelayan itu.
Dengan tak malu-malu, Raden Yudakara tertawa ceria dengan mata berbinar-binar karena senangnya. Sepertinya dia tahu kalau dirinya dijanjikan sesuatu yang amat didambakan hatinya oleh tuan rumah. Dan benar saja, sesudah Purbajaya sembahyang isya, dia diundang menghadiri acara pesta di bale kambang.
Sebetulnya Purbajaya tak mau bergabung dengan mereka. Lagi pula badannya terasa lelah karena perjalanan tiada henti dari wilayah Sumedanglarang. Namun Purbajaya pun merasa tak enak bila menolak ajakan ini, padahal sudah jelas, pesta diadakan hanya karena menyambut kedatangan mereka berdua semata. Hanya yang membuat Purbajaya waswas, karena penguasa wilayah ini “menjanjikan” wanita cantik. Pesta apakah ini sehingga Ki Sunda Sembawa perlu bicara soal wanita cantik?
Namun diputuskan juga untuk beranjak dari kamarnya. Purbajaya diantar oleh seorang prajurit yang berbekal pelita minyak kelapa. Bale kambang terletak agak terpisah dari semua bangunan. Letaknya pun agak berada di bagian bawah.
Ketika Purbajaya dipandu menuruni trap tanah berbalay kerikil, bangunan bale kambang sudah terlihat jelas karena di dalam ruangan terbuka dan hanya diberi atap ijuk ini terlihat cahaya benderang karena pelita dipasang di berbagai sudut dan jumlahnya cukup banyak. Ada lantera besar dipasang tergantung di tengah ruangan. Cahayanya amat menerangi ruangan bale kambang.
Ketika Purbajaya masuk, di sana sudah banyak orang, pria dan wanita duduk bercampur-baur tak ada batas tertentu. Hampir semuanya larut dalam kegembiraan, padahal sepertinya acara belum dimulai kalau yang dimaksud di sini adalah pesta penyelenggaraan pertunjukan kesenian seperti apa yang dikatakan Ki Sunda Sembawa tadi sore.
Ki Sunda Sembawa pun sudah nampak larut dalam kegembiraan. Dia bersila di tengah dan dikelilingi beberapa orang gadis cantik dan masih berusia muda-muda pula. Dua gadis yang duduk menghimpitnya dari kiri dan kanan, terkekeh-kekeh genit dan menggeliat-geliat kegelian dalam duduknya karena tangan-tangan Ki Sunda Sembawa ngelayap ke sana ke mari. Sementara dua orang gadis lainnya sibuk memijiti bagian-bagian tubuh pejabat itu.
Sementara Raden Yudakara di sudut lainnya tak kalah “gesit”nya dalam mengerjai tubuh wanita-wanita molek ini. Dia malah garang dan cabul. Dua gadis dikiri-kanannya dikempit erat dan dua-duanya secara bergantian dia cium pipinya. Kalau ada gadis pelayan yang lewat untuk membagikan minuman, dia jawil pantatnya, dagunya bahkan buah dadanya. Anehnya, diperlakukan tak sopan seperti itu, para gadis malah tertawa senang. Memang ada sikap pura-pura marah dengan cemberut dan bahkan mencubit tangan Raden Yudakara, namun amat terlihat itu hanyalah marah manja saja.
Purbajaya melihat betapa sebetulnya Raden Yudakara tengah mabuk berat karena minuman tuak. Kepalanya oleng ke sana ke mari dan kulit wajahnya merah. Ketika Purbajaya baru tiba, dia disambut tawa renyah Ki Sunda Sembawa.
“Ah, anak muda ini, ke mana sajakah? Ayo jangan sungkan, ini semua untuk kalian semata. Di saat bulan purnama, di saat langit demikian cerah, kita berpesta sepuasnya!” kata Ki Sunda Sembawa yang nampak sudah mulai oleng pula.
Purbajaya hendak berjingkan untuk mengambil tempat duduk agak terpisah dengan mereka, namun tangan pemuda itu ditarik oleh Ki Sunda Sembawa.
“Hai, ayo layani pemuda ini dengan baik,” katanya menyodorkan tangan Purbajaya kepada seorang gadis.
Sesudah tangan Purbajaya digenggam gadis itu, Ki Sunda Sembawa terkekeh dan menepuk pantat gadis itu agar pergi membawa Purbajaya. Purbajaya akan melepaskan tangannya yang digenggam erat oleh gadis cantik ini.
“Ayo, apa yang Kakang mau?” tanya gadis itu menjawil dagu Purbajaya.
“Saya… saya hanya mau nonton pergelaran kesenian saja, Nyai…” Purbajaya gagap dan panik karena perlakuan gadis itu. Dan untuk ke sekian kalinya dia terpaksa menepis tangan gadis itu karena akan berbuat mesum.
“Wah… ini kan sudah pergelaran, Kakang!” kata gadis itu. Lagi-lagi pipi Purbajaya dijawilnya.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment