Ads

Saturday, January 1, 2022

Kemelut di Cakrabuana 026

Tapi Purbajaya jadi kesal dibuatnya. Minuman keras dan bermain perempuan adalah maksiat. Jadi mengapa dia musti bergabung di sini? Purbajaya melihat berkeliling. Nyatanya semua orang memang larut dalam pesta dengan perilaku dan kebebasan yang berbeda. Purbajaya ingin pergi namun ada juga rasa segan terhadap tuan rumah. Bagaimana pun Ki Sunda Sembawa adalah pejabat dan penguasa di daerah ini. Kalau dia menolak bergabung di tempat ini barangkali akan tak hormat dan menyinggung perasaannya. Itulah sebabnya, kendati amat sebal, Purbajaya tetap bertahan di sana.

Untung saja para penembang sudah datang sehingga Purbajaya punya alasan untuk tetap tinggal. Dan ketika rombongan kesenian telah hadir, ternyata mereka yang tengah berpesta-pora pun mendadak menghentikan kagiatannya dan berbalik memperhatikan rombongan ini.

Beberapa orang nayaga (penabuh gamelan) naik ke panggung bale kambang sambil menenteng tatabeuhan (gamelan) guna mengiringi tembang. Ada yang menjinjing kecapi, rebab, kulanter (gendang ukuran kecil), angklung dan bende (gong ukuran kecil).

Sesudah semuanya siap, maka pergelaran pun dimulai. Sederetan juru kawih yang berwajah cantik-cantik, secara bergiliran melantunkan tembang. Jenis lagunya macam-macam, dari mulai nada anca (pelan) sampai kepada nada gerakan karatagan (cepat bersemangat). Ada lagu yang syairnya memelas penuh kesedihan sampai kepada lagu yang gembira berisi sisindiran dan amat lucu serta mengundang tawa kalau yang mendengar merasa tersindir.

Di saat para juru kawih melantunkan lagu segar, para penonton pun ikut larut melantun. Hanya saja mereka menembang tidak tertib dan tak sesuai dengan ketukan gendang. Penonton ikut menembang dengan nada sumbang seadanya dan terkesan dimain-mainkan karena sambil tertawa-tawa. Para gadis bahkan kerjanya hanya menjerit-jerit kecil karena acap kali tubuhnya digerayangi tangan-tangan jahil.

Malam semakin larut dan jenis kesenian yang ditampilkan pun datang silih berganti. Sebagai acara penutup, maka ditampilkan pertunjukan pantun . Pantun adalah seni bercerita yang dipaparkan dengan lantunan merdu dan diiringi dawai kecapi. Pembawa cerita adalah seorang lelaki tua tunanetra. Dia membawakan cerita perihal kegagahan ksatria Pajajaran.

Ada yang datang ada yang pergi
yang datang membawa napas baru
yang pergi menutup masa lalu
pergilah pergi, datanglah dating
yang pergi dan yang dating
tidak perlu bersilang paham


Purbajaya menyimak pertunjukkan pantun ini dengan seksama dan amat setuju dengan lantunan ki juru pantun yang barusan dilantunkan ini. Purbajaya membayangkan, kalau yang dimaksud dan tengah digambarkan ki juru pantun adalah kehadiran Nagri Carbon untuk menggantikan Pajajaran sebagai simbol kehidupan lama. Tapi lain orang lain penafsiran. Ki Sunda Sembawa malah menafsirkan lain.

“Ya, akulah si pembawa kehidupan baru!” teriaknya parau karena sejak tadi kerjanya berceloteh saja seperti orang mengigau.

“Tapi akulah yang paling sempurna dalam menghembuskan napas pembaharuan!” timpal Raden Yudakara mengangkat wadah tempat tuak tinggi-tinggi sehingga isinya tumpah ke wajahnya.

Ki Sunda Sembawa nampak kaget mendengar teriakan Raden Yudakara ini. Penguasa Sagaraherang ini bahkan menatap tajam ke arah Raden Yudakara dengan penuh curiga. Namun pemuda bangsawan itu menanggapinya dengan tatapan yang sama pula.

“Maksud saya, pembawa kehidupan baru bagi Pajajaran, haruslah orang yang paling sempurna segalanya,” kata Raden Yudakara akhirnya, masih menatap Ki Sunda Sembawa dengan tajam.

“Siapakah itu?” tanya Ki Sunda Sembawa penuh selidik.

“Ya, siapa lagi kalau bukan yang pada hari ini memiliki kekuasaan?” Raden Yudakara menjawab dengan sebuah pertanyaan pula.

“Bukankah itu aku?” tanya lagi Ki Sunda Sembawa menepuk dada sendiri.

Raden Yudakara masih menatap tajam wajah Ki Sunda Sembawa. Sesudah itu dia menyeringai dan diakhiri dengan tawa mengakak. Tangannya menyodorkan tempat tuak ke arah Ki Sunda Sembawa.

“Tuaknya penuh, jadi jangan sampai air tuak muncrat ke mana-mana. Itulah seorang sempurna, sanggup menghimpun seluruh kekuatan tanpa yang dihimpun bercerai-berai!” kata Raden Yudakara menyorongkan tempat tuak agar ditangkap Ki Sunda Sembawa sehingga permukaannya muncrat keluar dan kembali membasahi wajah pemuda itu.

Ki Sunda Sembawa serentak menerima tempat tuak namun dia tak berhasil menjaga air tuak tidak muncrat. Maka giliran wajahnyalah kini yang kena tumpahan. Karena dua-duanya bernasib sama, lantas dua-duanya saling pandang beberapa saat dan saling mengumbar tawa. Purbajaya tak bisa menduga, tawa mereka menyiratkan apa. Apakah punya maksud dan arti yang sama atau masing-masing saling menilai keberadaannya?Maka pertunjukan pun dilanjutkan lagi. Ki juru pantun mendayu-dayu lagi memaparkan kisah-kisah kepahlawanan ksatria Pajajaran.

“Itulah aku! Itulah aku!” teriak Ki Sunda Sembawa keras-keras sambil mengacungkan guci kecil berisi tuak.

Hampir menjelang dini hari, barulah pesta usai. Ki Sunda Sembawa dipapah dari bale kambang oleh dua orang prajurit. Sementara para bawahannya bergeletakan ketiduran di lantai, tidak pria tidak wanita.

Raden Yudakara pun pulang meninggalkan bale kambang dengan dipapah dua orang. “Biarkan aku jalan sendiri! Biarkan aku jalan sendiri! Aku sanggup berdiri tegak tanpa dibantu siapa pun!” teriaknya menepis bantuan orang.

“Biarkan dia jalan sendiri,” kata Purbajaya yang mengawal di belakangnya.

Namun karena tubuh Raden Yudakara beberapa limbung dan hampir masuk kolam, Purbajaya terpaksa memapahnya. Di sepanjang jalan, Raden Yudakara berceloteh sambil sesekali tertawa sendirian.

“Hahaha…! Dasar dungu! Tak akan ada tikus bernyali harimau. Sekali tikus tetap tikus! Heh, atau dia bukan tikus sebab badannya memang gede. Keledai cukuplah. Tubuhnya gede tapi dungunya tak ketulungan. Hahaha…!” celoteh Raden Yukadara tak berketentuan.

Rumah panggung di mana Raden Yudakara istirahat terletak agak terpisah dari yang lainnya, sehingga agak lega ocehan ngawur Raden Yudakara tidak didengar penghuni puri ini. Ya, ocehan pemuda bangsawan ini bisa membuat penghuni puri marah sebab Purbajaya mengerti kalau Raden Yudakara tengah menyumpahi Ki Sunda Sembawa.

Namun dari sini saja sebetulnya Purbajaya sudah harus mengerti, kendati dua orang itu kerabat dekat dan sepertinya bahu-membahu, tapi di hati kecil mereka masing-masing sedang memiliki ambisi tersendiri. Ambisi untuk kepentingan sendiri tapi membonceng kepada kekuatan lain. Ya, betapa tak begitu. Ki Sunda Sembawa membutuhkan pasukan besar dari Carbon, begitu pun yang dilakukan Raden Yudakara. Pasukan selalu dikaitkan dengan pertempuran. Tidakkah kedua orang itu memang punya cita-cita untuk menggempur Pakuan guna kepentingan masing-masing?



Purbajaya berdebar memikirkan hal ini. Benarkah Ki Sunda Sembawa akan membawa pasukan kedayo (ibukota) Pajajaran? Betulkah Pakuan akan diserbu? Siapa yang akan menyerang, jelas bukan Carbon namun mereka terkesan amat membutuhkan bantuan Carbon. Atau dengan kata lain, serbuan ke Pakuan harus dilakukan Carbon sehingga Carbon yang bertanggung-jawab namun mereka berdua yang memetik keuntungannya. Benarkah begitu cita-cita mereka? Mereka? Siapa pula yang dimaksud “mereka” ini? Benarkah hanya Ki Sunda Sembawa dan Raden Yudakara saja?

Bila menyimak percakapan mereka, sepertinya hanya Ki Sunda Sembawa tokoh utamanya. Namun Raden Yudakara pun sepertinya memiliki cita-cita pribadi yang sama pula. Di saat dalam keadaan mabuk berat seperti ini, Raden Yudakara terus mengoceh membuat hati Purbajaya terkejut.

“Hahaha…! Dasar dungu. Cobalah lihat, siapa penguasa sebenarnya. Hahaha…!” celotehnya lagi.

Saking mabuknya, akhirnya Raden Yudakara tak sanggup berdiri lagi. Dia ambruk di tengah jalan. Purbajaya hendak mencoba membangunkan tubuh pemuda itu, ketika secara tiba-tiba ada desiran angin di hadapannya. Dan dengan terkejut Purbajaya melihat ada seseorang berdiri di sana. Dia seorang lelaki tegap, berdiri dengan kaki terpentang lebar.

Purbajaya tak kenal, siapa lelaki ini karena cahaya bulan tak sanggup menerangi wajah orang itu. Hanya yang jelas, dia berpakaian jubah dan sorban kepala, seperti biasa dipakai ulama Carbon.

“Siapa anda?” Purbajaya bertanya sambil siap-siap menjaga kemungkinan yang tak diharapkan.

Raden Purbajaya mencoba tengadah dan coba menyipitkan matanya agar bisa meneliti siapa yang datang.

“Aku Rangga Guna,” jawab lelaki asing itu.

“Rangga Guna? Aku pernah dengar namamu. Kau adalah murid Ki Darma dan seperti gurumu, kau pun dikejar-kejar penguasa Pakuan karena dianggap membangkang dan suka mengkritik Raja,” kata Raden Yudakara dengan suara parau.

Purbajaya terkejut dan mengeluh. Kalau orang ini murid Ki Darma pasti akan mengganggunya.

“Minggirlah, kau pemberontak!” kata Raden Yudakara.

“Tidak disenangi Raja bukan berarti pemberontak sebab aku tetap cinta Pajajaran dan akan membela Pajajaran,” jawab Ki Rangga Guna menegaskan.

Purbajaya semakin bersiap untuk menghadapi hal-hal tak diinginkan.

“Tapi kau sudah ikut agama baru, kan?”

“Betul…“

“Nah, kalau begitu, mari kita hancurkan Pajajaran. Kemudian di atas puing-puingnya kita dirikan kehidupan baru,” kata lagi Raden Yudakara. Kepalanya tak mau diam, mungkin menahan pusing karena mabuk yang berat.

“Tatanan negri Pajajaran sudah bagus. Kerajaan Sunda yang kemudian berlanjut menjadi Pajajaran, telah hidup sejak tahun 669. Kini usianya sudah lebih dari delapan ratus tahun. Tidak mudah sebuah negri bisa berumur ratusan tahun seperti ini, kecuali punya tatanan yang kuat. Kalau pun sekarang sedang sakit, itu karena para pemegang tampuk pemerintahannya sedang sakit. Orang sakit harus disembuhkan dan bukannya dibunuh atau dihancurkan. Kalau kini Pajajaran sedang sakit, maka aku ingin menyembuhkannya dengan tatanan agama baru. Aku ingin agama baru berkembang di Pajajaran dan Pajajaran menjadi besar karena agama baru ini,” kata Ki Rangga Guna panjang-lebar.

Raden Yudakara tidak mengiyakan atau menolaknya. Yang terdengar hanya kekehnya saja.

“Bagus juga jalan pikiranmu. Dan aku akan dukung itu asal engkau pun mendukungku. Kau boleh pertahankan Pajajaran dengan tatanan agama baru, tapi akulah kelak penguasa Pajajaran,” kata Raden Yudakara sambil tertawa-tawa kembali.

“Pajajaran sudah sakit karena banyak diperebutkan orang-orang penuh ambisi. Engkau akan kuhalangi bila berniat menerjang Pajajaran,” kata Ki Ranga Guna dengan suara mengancam.

“Ouw, begitukah? Aku ingin tahu sejauh mana kehebatan ilmu yang dimiliki murid Ki Darma ini,” kata Raden Yudakara sambil bangkit namun dengan limbung.

“Akulah penguasa pembaharuan. Ayo, lawanlah aku!” tantang Raden Yudakara bertolak pinggang.

Namun hanya satu gerakan tangan kiri, angin deras berdesir dan tubuh Raden Yudakara terlontar ke belakang, hampir mencapai empat depa, jatuh berdebuk.

“Pajajaran terlalu besar untukmu. Negri ini tak membutuhkan orang sombong tapi tak punya kepandaian apa-apa,” ejek Ki Rangga Guna. Dan sesudah menatap sebentar, lelaki itu menghilang di balik rimbunnya pohon.

Purbajaya terpana saking kagetnya. Peristiwa ini begitu cepat terjadi sehingga Purbajaya tak bisa berbuat apa-apa. Ki Rangga Guna sungguh hebat. Raden Yudakara yang menurut penilaian Purbajaya memiliki ilmu tinggi, hanya dalam satu gebrakan saja tubuhnya terlontar ke belakang bagaikan daun kering tertiup angin. Melihat ini, Purbajaya bergidik. Kalau muridnya saja demikian tinggi ilmunya, apalagi gurunya. Pantas saja di Cakrabuana Ki Darma tak punya selera untuk ambil bagian dalam perkelahian. Barangkali pertempuran seru antara pasukan Carbon dan pasukan Pajajaran waktu itu, hanya berupa permainan anak kecil belaka dalam pandangan Ki Darma.

Purbajaya memburu tubuh Raden Yudakara dan coba memeriksa kalau-kalau pemuda itu terluka parah. Namun sungguh aneh, tak ada luka sedikit pun di tubuh pemuda itu. Buktinya, Raden Yudakara sudah bangkit sendiri dan tetap tertawa-tawa.

“Sialan Si Rangga Guna. Dia mempermainkan aku di saat aku tak berdaya…” celotehnya sambil disambung oleh kekehnya lagi.

Kembali hati Purbajaya terkejut. Bagaimana mungkin Raden Yudakara tidak menderita luka sedikit pun padahal angin pukulan Ki Rangga Guna begitu keras? Ini bukan tubuh Raden Yudakara yang kuat, melainkan Ki Rangga Guna pandai mengatur tenaga dalam yang dikeluarkannya. Keras tapi tak memukul. Sungguh hebat. Jarang orang memiliki ilmu seperti yang diperagakan Ki Rangga Guna ini.

“Ayo kita tidur, Purba…” kata Raden Yudakara melangkah gontai.

Namun ketika tiba di depan pintu, serta-merta pemuda itu menendang daun pintu dengan amat marahnya dan daun pintu berantakan.

“Sialan kau Rangga Guna! Kau hina aku! Kau rendahkan martabatku!” Raden Yudakara marah-marah dan menendang apa yang bisa dia tendang. Dia memang marah. Namun dalam kemarahannya ini terselip nada kesedihan yang sangat. Mungkin pemuda ini sedih dan kecewa karena dipermalukan Ki Rangga Guna.

“Purba, jawablah! Apakah aku terlalu lemah untuk menguasai Pajajaran?” tanyanya tiba-tiba. Ini mengejutkan Purbajaya sebab dia tak punya persiapan untuk menjawabnya.

“Ayo jawab, kalau tidak, kau akan kubunuh!” teriak pemuda aneh itu.

“Saya belum punya jawaban sebab saya baru kali tahu kalau Raden punya cita-cita besar dalam menguasai Pajajaran,” jawab Purbajaya tak langsung.

“Ya, sekarang kau telah tahu. Jadi apa pendapatmu?” desak pemuda itu.

“Saya belum tahu kekuatan Raden yang sebenarnya,” jawab pula Purbajaya.

“Dasar orang dungu. Dengarkan, kekuatan itu bukan terletak pada kepalan tangan, melainkan pada isi kepala ini. Jangan kau sangka Si Rangga Guna orang pandai hanya karena dalam satu gebrakan melumpuhkanku. Seekor kerbau pun bisa menubruk mati orang sepertimu, namun tak berarti bahwa kerbau itu punya otak dan memiliki kecerdikan. Makanya engkau harus percaya aku. Apa yang aku pikirkan, tak pernah orang lain pikirkan. Itulah kelebihanku,” kata Raden Yudakara percaya diri.

Namun baru saja bicara begitu, pemuda itu segera meraung-raung seperti orang menderita kepedihan yang hebat. Purbajaya hampir sedikit panik melihat perilaku aneh pemuda ini, apalagi Raden Yudakara berteriak-teriak sambil menjambak-jambak rambutnya sendiri. Purbajaya khawatir, orang-orang akan datang kalau mendengar teriakan ini. Namun untunglah, rupanya semua penghuni puri sudah dibius pesta semalam. Semua pulas karena mabuk.

“Sialan kau Rangga Guna edan! Hati-hati kau. Kalau Pajajaran runtuh, maka satu-satunya yang pertama aku bunuh adalah engkau!” teriak Raden Yudakara berkali-kali.

Purbajaya tahu, pukulan Ki Rangga Guna tidak menyakitkan. Namun penghinaannya itulah yang membuat Raden Yudakara terlolong-lolong bagaikan srigala disakiti ini. Setelah mengucapkan sumpah serapah kepada Ki Rangga Guna, Raden Yudakara nampak kecapaian sendiri. Lantas dia duduk termangu di lubang pintu dan matanya menerawang entah ke mana. Sesudah agak lama, dia tertawa-tawa lagi dan bersenandung dengan suara parau dan perlahan.

Kalau tak mendapatkan cahaya matahari
tidak apa cahaya rembulan pun
kalau tak mendapatkan cahaya rembulan
tidak apa tanpa cahaya pun
Hidup susah dicari
dan hidup mudah dicari
yang susah kalau bertahan dengan kejujuran
yang mudah kalau penuh keberanian
Bukan berpikir untuk esok hari
namun berpikirlah esok
sebab yang namanya hidup
adalah hari ini.


Lantunan itu benar-benar parau dan tak punya nada teratur. Kalau orang lain ada yang dengar, mungkin sudah mual menyimaknya. Purbajaya pun sebal. Namun dia sudah terbiasa dengan lantunan gombal tak bertanggung-jawab secara kemanusiaan ini. Ya, inilah karakter Raden Yudakara. Ambisius dan serba oiptimis karena segalanya tak perlu dipertautkan dengan harga diri dan kemanusiaan.

Lantunan yang tak enak didengar itu kian lama terdengar kian lemah sampai akhirnya hilang sama sekali dan tergantikan oleh dengkurnya. Sungguh hebat, pemuda itu sudah terbebas dari penderitaannya karena dengkurnya mudah muncul.

YANG puyeng adalah Purbajaya. Betapa sesudah kejadian tadi, hatinya jadi tak tenang. Pertama kali dikejutkan oleh kenyataan kalau tindak-tanduk Raden Yudakara selama ini sama sekali tak ada kaitannya dengan kepentingan Carbon, atau bahkan dengan ambisi yang dimiliki Pangeran Arya Damar, kecuali pemuda ini hanya ingin memanfaatkan kekuatan orang lain untuk kepentingan ambisinya.

Dia berupaya dengan berbagai akal dan tipu-muslihat agar para pengambil kebijakan di Pakungwati bisa memutuskan untuk mengirimkan pasukan guna menyerang Pakuan. Dan barangkali dia pun terus memanas-manasi mertuanya sendiri, yaitu Pangeran Arya Damar yang ambisius agar melanjutkan tindakannya dalam menyerang Pajajaran.

Hari ini, dia malah memanasi Ki Sunda Sembawa agar merebut kekuasaan dari penguasa Pajajaran kini. Namun apa pun tindakan-tindakannya, kesemuanya pada akhirnya hanya akan diabdikan buat kepentingan dan cita-citanya sendiri. Sungguh berbahaya orang ini, pikir Purbajaya.

Cita-cita apakah ini? Sudah barang tentu cita-cita akan sebuah kepentingan yang menurut Raden Yudakara disebutnya sebagai rencana besar. Dengan ambisinya yang besar, Raden Yudakara ingin menguasai Pajajaran.

Memang betul ini rencana besar, sekaligus juga rencana gila. Raden Yudakara ingin menyaingi ambisi siapa pun yang tengah memiliki ambisi. Kalau Pangeran Arya Damar hanya punya ambisi meruntuhkan Pajajaran secara militer karena kelak dia menginginkan sebuah penghargaan, Pangeran Suwarga hanya ingin menundukkan Pajajaran dengan pendekatan agama, maka Raden Yudakara ingin menguasai Pajajaraan untuk kepentingan sendiri.

Sungguh sebuah keinginan gila. Pemuda ini tengah bermain api. Bunga api memercik, bahayanya akan muncrat kemana-mana. Tapi Raden Yudakara memang berani menantang bahaya. Dan orang yang berani menantang bahaya karena sadar punya kekuatan.

Purbajaya berpikir, bisa jadi benar Raden Yudakara memiliki kekuatan. Paling tidak, dia punya kekuatan untuk mempengaruhi orang. Pangeran Arya Damar bisa tunduk di bawah pengaruhnya. Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih yang para anggotanya rata-rata memiliki kepandaian tinggi pun bisa dia pengaruhi. Atau paling tidak, pemuda itu pun pandai bergayut kepada kekuatan lain.

Sepertinya dia ingin membantu kekuatan lain untuk ikut mendorong cita-cita orang itu, padahal sebetulnya dia tengah berupaya menggiring orang agar bisa dimanfaatkan untuk ambisi pribadinya sendiri. Begitu hebatnya Raden Yudakara mempengaruhi orang, sehingga semuanya bisa dia kendalikan, seperti kerbau dicocok hidungnya.

Purbajaya bingung namun sekaligus juga sebal. Semakin hari semakin kentara, betapa selama banyak mengenal orang, banyak pula perilaku yang dia kenal. Dalam urusan Pajajaran ini saja, Purbajaya jadi mengenal macam-macam ambisi orang. Taruhlah Ki Sunda Sembawa. Hanya karena dia kerabat dekat penguasa Pajajaran, lantas dia tepuk dada sendiri kalau yang paling berhak menguasai Pajajaran adalah dirinya sendiri.

Dia semakin bersemangat untuk mensukseskan ambisinya karena ada pihak lain yang mengaku mau melicinkan jalan ke arah cita-citanya. Maka kenallah Purbajaya dengan nama Ki Banaspati. Namun siapa pula dia? Purbajaya hanya diberi tahu kalau orang ini adalah tokoh penting di Pakuan. Dia adalah pejabat muhara (petugas penarik pajak) di wilayah timur dan punya peranan besar dalam memakmurkan pemerintahan dari hasil penarikan pajak, padahal wilayah timur Pajajaran adalah wilayah rawan karena pengaruh musuhnya (Carbon) demikian terasa.

Kalau Ki Banaspati sanggup melakukan pekerjaan dengan baik, hanya punya arti dia bekerja dengan sungguh-sungguh untuk negara. Tapi mengapa tokoh sepenting ini malah mau membantu pihak lain yang ingin merebut kekuasaan negri?

Purbajaya jadi tak mengerti makna hidup. Dalam mengarungi kehidupan ini, sebenarnya apa yang dimaui orang? Di Carbon negrinya sendiri, acapkali dia melihat ada orang menjelekkan pemerintah karena dia merasa tersisih dan dirugikan kepentingannya oleh pihak penguasa. Orang-orang yang tak puas oleh pergantian agama dari agama lama ke agama baru juga sembunyi di hutan, memisahkan diri dari keramaian dunia, atau memusuhi penguasa yang baru. Mereka mencari bahaya karena berani melawan penguasa.

Untuk hal-hal seperti ini, di mana orang bereaksi berpaling kesetiaannya karena merasa dirugikan, Purbajaya bisa memaklumi. Namun perilaku yang diperlihattkan oleh sebagian orang lagi, sungguh Purbajaya tidak mengerti. Taruhlah contoh sikap yang diperlihatkan oleh Raden Yudakara, Ki Sunda Sembawa atau Ki Banaspati yang Purbajaya belum pernah jumpa itu. Mereka adalah orang-orang yang tengah dipercaya oleh para atasannya dan mereka pun dihargai dengan jabatan tinggi sesuai dengan pekerjaan dan kemampuannya.

Namun kenyataannya, mereka sepertinya tengah gelisah dan selalu berkutat memperjuangkan “nasibnya” dengan melakukan hal-hal bahaya yang bisa merusak reputasinya yang telah ada kini. Kehidupan apalagi yang mereka inginkan, yang menurut penilaian Purbajaya sebetulnya telah mapan ini? Dan ingat mereka, Purbajaya jadi ingat dirinya. Sekarang, di tengah pergolakan ambisi ini, apa sebetulnya yang dikejar olehnya? Keuntungan ataukah bahaya?

Tugasnya memang tak pernah berubah, mencoba menyusup ke wilayah kekuasaan Pajajaran, yaitu Pakuan, seperti apa yang diamanatkan penguasa Carbon. Yang jadi atasannya pun tetap tak berubah, yaitu Raden Yudakara, seperti apa yang diamanatkan pihak penguasa Carbon. Namun benarkah tugasnya ini mulus untuk kepentingan negara, padahal dia curiga atasannya yang bernama Raden Yudakara ini telah membelokkan tujuan negara yang sebenarnya? Inilah mungkin bahaya bagi dirinya.

Belum lagi dia ingat pertemuannya dengan tokoh bernama Ki Rangga Guna. Orang ini mengakui kendati dimusuhi penguasa namun perjuangannya dalam membela Pajajaran tidak akan musnah. Dia akan melawan siapa saja yang diketahui akan mengganggu Pajajaran.

Pertemuan dengan tokoh ini hanya membuktikan bahwa kasak-kusuknya Raden Yudakara atau pun Ki Sunda Sembawa sebenarnya sudah diketahui oleh Ki Rangga Guna. Otomatis, keberadaan Purbajaya pun tak bisa mengelak dari incaran bahaya yang datang dari tokoh ini. Rencana penyusupan ke wilayah pusat kekuasaan Pajajaran paling tidak sudah diketahui oleh Ki Rangga Guna.

“Apakah Ki Rangga Guna akan menggagalkan rencana penyusupanku?” pikirnya seorang diri.

Purbajaya mengeluh. Bahaya memang mengancam dari mana-mana. Dia tak bisa mengelak dari tugas sebagai penyusup karena selalu berada di bawah ancaman Raden Yudakara, namun untuk melanjutkan pergerakan pun sudah diketahui lawan. Ya, akhirnya Purbajaya terperangkap di tengah-tengah. Lari dari tugas, dia sulit sembunyi. Pulang ke Carbon akan dituding sebagai pengkhianat, begitu pun kembali ke Sumedanglarang, akan dipertanyakan perihal korban-korban berjatuhan.

Boleh dikata, dari semua anggota muhibah ke Karatuan Talaga yang tak pernah tiba, semuanya telah tewas dan hanya dia sendiri saja yang selamat. Bagaimana dia bisa bertanggung-jawab, padahal kematian semua anggota muhibah tak berketentuan. Mereka tewas oleh cara-cara yang amat memalukan walau pun macamnya berbeda-beda.

Melarikan diri ke wilayah Pajajaran? Ah, ini pengkhianatan lebih berat lagi. Kendati orang mengatakan dia punya darah Pajajaran namun Purbajaya mengatakan kalau dirinya adalah orang Carbon dan hanya mau mengabdi kepada kepentingan Carbon saja. Carbon adalah tanah airnya dan Paman Jayaratu adalah satu-satunya keluarganya. Tak ada kecintaan lain pada dirinya selain Carbon dan Paman Jayaratu. Walau pun dia sebal kepada Pangeran Arya Damar, juga kepada Raden Yudakara, namun Purbajaya tak menganggap bahwa mereka adalah figurwong grage . Dua orang itu tak mewakili karakter orang Carbon.

Hanya yang menyebalkannya, agar dia bisa menempatkan diri sebagai orang Carbon, maka dia harus selalu dekat kepada Raden Yudakara sebab hanya orang ini saja yang bisa “melindungi” dirinya dari tuduhan sebagai pengkhianat Carbon. Purbajaya pun bahkan memutuskan kalau dirinya tak boleh lepas dari genggaman pemuda aneh itu. Purbajaya menganggap, Raden Yudakara ini misterius dan membahayakan Carbon. Namun karena ini maka Purbajaya jadi ingin lebih tahu, sejauh mana pemuda itu merancang tipu muslihat dalam melicinkan jalan ke arah ambisinya. Kalau ternyata gerakan Raden Yudakara telah amat mendekati titik-titik rawan bagi Carbon, apa pun yang terjadi, Purbajaya harus memutuskan sesuatu demi keselamatan negara.

Namun tak dibantah oleh hatinya, bahwa Purbajaya ikut ke mana Raden Yudakara pergi pun berkenaan pula dengan kepentingan pribadinya sendiri. Benar atau tidak dia keturunan pejabat di wilayah Pajajaran, yang jelas khabar ini amat menggelitik hatinya dan membuatnya merasa penasaran. Ya, siapa pun akan merasa punya keinginan untuk mengetahui siapa orangtuanya. Sementara itu, Raden Yudakara mengaku tahu siapa orangtua Purbajaya. Jadi mau tak mau antara Raden Yudakara dengannya telah terjalin sesuatu yang intinya saling memerlukan.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment