Purbajaya perlu Raden Yudakara karena berkaitan dengan penelusuran keluarga, sementara Raden Yudakara butuh tenaga Purbajaya untuk melicinkan kepentingan politiknya.
PURBAJAYA tak sempat tidur sebab pagi sudah menjelang. Baru saja dia menyelesaikan sembahyanag subuh, seorang prajurit Sagaraherang telah mengetuk daun pintu kamarnya.
Prajurit itu mengabarkan kalau Raden Yudakara telah bersiap akan pergi dan mengajak Purbajaya agar berkemas. Benar saja, Raden Yudakara telah siap-siap. Kali ini dua ekor kuda gagah telah disiapkan Ki Sunda Sembawa.
“Aku harap kalian tidak mengalami gangguan di Pakuan nanti,” kata Ki Sunda Sembawa mengantarkan sampai halaman rumah.
Raden Yudakara diberi bekal uang logam sepundi banyaknya. Lain daripada itu, Ki Sunda Sembawa pun membekali sebuah ikatan daun lontar yang diikat pita sutra warna merah.
“Surat apakah ini, Paman?” tanya Raden Yudakarta menerima sambil alis berkerut.
“Ini adalah surat untuk mempertemukan engkau dengan Ki Banaspati. Pejabat ini tak sembarangan terima tamu. Tapi bila dibekali surat dariku, dia akan mementingkannya. Kekuatanmu dan pengaruhmu di Pakuan akan berlipat kalau mau berkenalan dengan Ki Banaspati,” tutur Ki Sunda Sembawa bangga dengan nama itu.
Walau dengan sedikit kerut di dahinya, Raden Yudakara menerima lipatan daun lontar dengan penuh hormat.
“Hati-hatilah…” untuk ke sekian kalinya pejabat Sagaraherang ini memberikan amanatnya.
“Tentu, saya akan hati-hati, Paman…” jawab pemuda itu.
Keduanya saling pandang dengan penuh arti. Namun Purbajaya tak memahami arti makna ini. Bisa saja dua-duanya saling memberikan pengertian sama, namun bisa juga masing-masing berbicara dengan maksud sendiri-sendiri. Apalagi isi hati Raden Yudakara susah diduga. Apa yang dikatakan, belum tentu itu yang dimaksud.
Keyakinan Purbajaya terbukti tak lama kemudian. Setelah kuda mereka mencongklang agak jauh dari wilayah kota, serta-merta Raden Yudakara menghancur luluhkan bekal surat yang diberikan Ki Sunda Sembawa.
“Mengapa kau hancurkan, Raden? Bukankah dengan surat itu perjalanan kita di Pakuan agak lebih lancar?” tanya Purbajaya tapi dengan nada biasa karena sudah tak heran akan keganjilan jalan pikiran Raden Yudakara.
“Ah, aku benci orang bernama Ki Banaspati. Siapa pun dia, aku tak mau tunduk di bawah pengaruhnya.”
Purbajaya termangu-mangu. Jelas di sini, apa pun yang terjadi, Raden Yudakara hanya inginkan dialah nomor satu. Bukan dia yang memohon pada orang lain, melainkan, orang lainlah yang harus tunduk kepadanya. Raden Yudakara mungkin punya firasat kalau Ki Banaspati bukan sekadar bertindak sebagai pemberi semangat semata, melainkan jauh lebih dalam dari itu. Barangkali Raden Yudakara menganggap kalau kehadiran Ki Banaspati tak ubahnya sebagai pesaing yang membahayakan kedudukannya.
Perjalanan menggunakan kuda tentu jauh lebih cepat ketimbang dengan berjalan kaki. Tenaga pun bisa dihemat dengan baik. Oleh karena itu, perjalanan menuju wilayah Tanjungpura tidak terlalu sulit dan tidak pula terasa lelah. Apalagi dari Sagalaherang menuju Tanjungpura, perjalanan selalu melalui dataran rendah dan tidak banyak lewat pegunungan. Hanya saja jalanan pedati di wilayah ini terdiri dari tanah merah dan berdebu bila kemarau seperti ini. Kalau kaki-kaki kuda berlari agak cepat, maka akan menimbulkan debu-debu yang beterbangan di belakangnya.
Ketika memasuki kampung di mana ada orang lalu-lalang, Raden Yudakara tidak mau mengurangi kecepatan lari kuda. Maka tak ayal terdengar sumpah-serapah karena debu beterbangan ke wajah pejalan kaki. Purbajaya merasa tak enak hati. Namun dia pun terpaksa ikut memacu kuda cepat-cepat takut jalannya tertinggal.
Di sepanjang jalan Raden Yudakara tak banyak berceloteh. Kerjanya memacu kuda keras-keras seperti orang dikejar setan. Mungkin ada sesuatu yang diburu, mungkin juga kesal karena ingatannya tentang Ki Banaspati.
Tidak makan waktu sampai dua hari, kuda yang dipacu cepat sudah tiba di wilayah kerajaan kecil bernama Karawang. Sementara Tanjungpura sendiri berupa wilayah yang dipimpin oleh seorang kandagalante (pejabat setingkat wedana kini).
Tanjungpura ini memiliki wilayah yang luas. Ke sebelah barat dibatasi Sungai Citarum dan ke utara berupa lautan perhumaan. Dulu sebelum wilayah pesisir dikuasai Carbon, maka pesisir dan laut pun adalah wilayahnya juga. Namun kini, Tanjungpura hanya punya lautan huma saja dan akan berubah jadi payau dan rawa di saat musim penghujan.
Dulu ketika Tanjungpura masih memiliki wilayah seutuhnya, sungai Citarum benar-benar menjadi wilayah perdagangan air yang amat maju. Hasil dari wilayah selatan (pegunungan) dibawa berlayar sampai ke Ujung Karawang dan dijual atau ditukar dengan barang dagangan milik bangsa asing seperti Portegis, Cina, Campa (Kamboja), Madagaskar, Parasi (Parsi, Iran kini) atau negri-negri sebrang seputar Nusantara. Atau sebaliknya, kaum pedagang di wilayah pesisir mengangkut hasil pesisir untuk ditukar dengan hasil dari wilayah selatan.
Sekarang pelayaran di sungai Citarum tidak dilakukan secara utuh. Derasnya dan lancarnya alunan sungai Citarum seperti terputus dan tak sampai menuju wilayah Ujung Karawang karena garis politik telah memisahkannya.
Sampai sekarang, wilayah Tanjungpura tetap menjadi wilayah “panas” sebab selalu terjadi tarik-menarik pengaruh antara Carbon dan Pakuan. Hal ini terjadi karena Tanjungpura berada di daerah utara yang potensil untuk jalur ekonomi internasional. Pajajaran tetap bertekad agar wilayah ini tetap berada di bawah pengaruhnya. Sementara Carbon pun berupaya agar sedikit-sedikit pengaruh yang sudah masuk di wilayah pesisir bisa semakin merembes ke wilayah pedalaman (selatan). Tanjungpura dan Karawang strategis karena arus sungai Citarum itulah.
Sementara sungai lebar itu kini dianggap benteng alam bagi wilayah Pakuan. Bila Citarum seutuhnya bisa dikuasai Carbon, maka satu “benteng” bisa ditembus. Sungai Citarum adalah jalur lalu-lintas menuju pedalaman. Kalau sungai ini dikuasai Carbon, artinya wilayah pedalaman Pajajaran bisa dikuasai. Padahal tak mudah menguasai wilayah pedalaman di wilayah barat ini. Itulah sebabnya, Purbajaya dikirim menyelusup ke wilayah barat. Tugasnya adalah membantu para penyelusup yang lainnya agar ikut “membobol” wilayah-wilayah pedalaman ini.
Namun ketika memasuki wilayah ini, tidak terlihat hal-hal istimewa. Di pasar orang sibuk dengan urusan ekonomi. Mereka mengadakan tukar-menukar barang atau mengadakan transaksi jual-beli bagi pedagang besar yang memiliki persediaan uang logam, baik uang logam Portegis, Cina atau negri-negri lain.
Penduduk yang bukan pedagang pun tidak terlihat risau dalam melakukan kegiatan lainnya. Nelayan dengan senangnya mengambil ikan di rawa atau di sungai, petani pun damai menanam padi di huma. Mungkin hanya masyarakat yang kenal politik saja yang risau. Mereka menjalani hidup ini dengan penuh was-was dan curiga. Setiap saat mereka musti bercuriga kepada siapa saja. Bisa bercuriga kepada pedagang yang datang dari pesisir, bisa juga bercuriga kepada nelayan yang mengarungi sungai Citarum, dan menyangka mereka adalah bekerja ganda sebagai mata-mata.
PURBAJAYA tak sempat tidur sebab pagi sudah menjelang. Baru saja dia menyelesaikan sembahyanag subuh, seorang prajurit Sagaraherang telah mengetuk daun pintu kamarnya.
Prajurit itu mengabarkan kalau Raden Yudakara telah bersiap akan pergi dan mengajak Purbajaya agar berkemas. Benar saja, Raden Yudakara telah siap-siap. Kali ini dua ekor kuda gagah telah disiapkan Ki Sunda Sembawa.
“Aku harap kalian tidak mengalami gangguan di Pakuan nanti,” kata Ki Sunda Sembawa mengantarkan sampai halaman rumah.
Raden Yudakara diberi bekal uang logam sepundi banyaknya. Lain daripada itu, Ki Sunda Sembawa pun membekali sebuah ikatan daun lontar yang diikat pita sutra warna merah.
“Surat apakah ini, Paman?” tanya Raden Yudakarta menerima sambil alis berkerut.
“Ini adalah surat untuk mempertemukan engkau dengan Ki Banaspati. Pejabat ini tak sembarangan terima tamu. Tapi bila dibekali surat dariku, dia akan mementingkannya. Kekuatanmu dan pengaruhmu di Pakuan akan berlipat kalau mau berkenalan dengan Ki Banaspati,” tutur Ki Sunda Sembawa bangga dengan nama itu.
Walau dengan sedikit kerut di dahinya, Raden Yudakara menerima lipatan daun lontar dengan penuh hormat.
“Hati-hatilah…” untuk ke sekian kalinya pejabat Sagaraherang ini memberikan amanatnya.
“Tentu, saya akan hati-hati, Paman…” jawab pemuda itu.
Keduanya saling pandang dengan penuh arti. Namun Purbajaya tak memahami arti makna ini. Bisa saja dua-duanya saling memberikan pengertian sama, namun bisa juga masing-masing berbicara dengan maksud sendiri-sendiri. Apalagi isi hati Raden Yudakara susah diduga. Apa yang dikatakan, belum tentu itu yang dimaksud.
Keyakinan Purbajaya terbukti tak lama kemudian. Setelah kuda mereka mencongklang agak jauh dari wilayah kota, serta-merta Raden Yudakara menghancur luluhkan bekal surat yang diberikan Ki Sunda Sembawa.
“Mengapa kau hancurkan, Raden? Bukankah dengan surat itu perjalanan kita di Pakuan agak lebih lancar?” tanya Purbajaya tapi dengan nada biasa karena sudah tak heran akan keganjilan jalan pikiran Raden Yudakara.
“Ah, aku benci orang bernama Ki Banaspati. Siapa pun dia, aku tak mau tunduk di bawah pengaruhnya.”
Purbajaya termangu-mangu. Jelas di sini, apa pun yang terjadi, Raden Yudakara hanya inginkan dialah nomor satu. Bukan dia yang memohon pada orang lain, melainkan, orang lainlah yang harus tunduk kepadanya. Raden Yudakara mungkin punya firasat kalau Ki Banaspati bukan sekadar bertindak sebagai pemberi semangat semata, melainkan jauh lebih dalam dari itu. Barangkali Raden Yudakara menganggap kalau kehadiran Ki Banaspati tak ubahnya sebagai pesaing yang membahayakan kedudukannya.
Perjalanan menggunakan kuda tentu jauh lebih cepat ketimbang dengan berjalan kaki. Tenaga pun bisa dihemat dengan baik. Oleh karena itu, perjalanan menuju wilayah Tanjungpura tidak terlalu sulit dan tidak pula terasa lelah. Apalagi dari Sagalaherang menuju Tanjungpura, perjalanan selalu melalui dataran rendah dan tidak banyak lewat pegunungan. Hanya saja jalanan pedati di wilayah ini terdiri dari tanah merah dan berdebu bila kemarau seperti ini. Kalau kaki-kaki kuda berlari agak cepat, maka akan menimbulkan debu-debu yang beterbangan di belakangnya.
Ketika memasuki kampung di mana ada orang lalu-lalang, Raden Yudakara tidak mau mengurangi kecepatan lari kuda. Maka tak ayal terdengar sumpah-serapah karena debu beterbangan ke wajah pejalan kaki. Purbajaya merasa tak enak hati. Namun dia pun terpaksa ikut memacu kuda cepat-cepat takut jalannya tertinggal.
Di sepanjang jalan Raden Yudakara tak banyak berceloteh. Kerjanya memacu kuda keras-keras seperti orang dikejar setan. Mungkin ada sesuatu yang diburu, mungkin juga kesal karena ingatannya tentang Ki Banaspati.
Tidak makan waktu sampai dua hari, kuda yang dipacu cepat sudah tiba di wilayah kerajaan kecil bernama Karawang. Sementara Tanjungpura sendiri berupa wilayah yang dipimpin oleh seorang kandagalante (pejabat setingkat wedana kini).
Tanjungpura ini memiliki wilayah yang luas. Ke sebelah barat dibatasi Sungai Citarum dan ke utara berupa lautan perhumaan. Dulu sebelum wilayah pesisir dikuasai Carbon, maka pesisir dan laut pun adalah wilayahnya juga. Namun kini, Tanjungpura hanya punya lautan huma saja dan akan berubah jadi payau dan rawa di saat musim penghujan.
Dulu ketika Tanjungpura masih memiliki wilayah seutuhnya, sungai Citarum benar-benar menjadi wilayah perdagangan air yang amat maju. Hasil dari wilayah selatan (pegunungan) dibawa berlayar sampai ke Ujung Karawang dan dijual atau ditukar dengan barang dagangan milik bangsa asing seperti Portegis, Cina, Campa (Kamboja), Madagaskar, Parasi (Parsi, Iran kini) atau negri-negri sebrang seputar Nusantara. Atau sebaliknya, kaum pedagang di wilayah pesisir mengangkut hasil pesisir untuk ditukar dengan hasil dari wilayah selatan.
Sekarang pelayaran di sungai Citarum tidak dilakukan secara utuh. Derasnya dan lancarnya alunan sungai Citarum seperti terputus dan tak sampai menuju wilayah Ujung Karawang karena garis politik telah memisahkannya.
Sampai sekarang, wilayah Tanjungpura tetap menjadi wilayah “panas” sebab selalu terjadi tarik-menarik pengaruh antara Carbon dan Pakuan. Hal ini terjadi karena Tanjungpura berada di daerah utara yang potensil untuk jalur ekonomi internasional. Pajajaran tetap bertekad agar wilayah ini tetap berada di bawah pengaruhnya. Sementara Carbon pun berupaya agar sedikit-sedikit pengaruh yang sudah masuk di wilayah pesisir bisa semakin merembes ke wilayah pedalaman (selatan). Tanjungpura dan Karawang strategis karena arus sungai Citarum itulah.
Sementara sungai lebar itu kini dianggap benteng alam bagi wilayah Pakuan. Bila Citarum seutuhnya bisa dikuasai Carbon, maka satu “benteng” bisa ditembus. Sungai Citarum adalah jalur lalu-lintas menuju pedalaman. Kalau sungai ini dikuasai Carbon, artinya wilayah pedalaman Pajajaran bisa dikuasai. Padahal tak mudah menguasai wilayah pedalaman di wilayah barat ini. Itulah sebabnya, Purbajaya dikirim menyelusup ke wilayah barat. Tugasnya adalah membantu para penyelusup yang lainnya agar ikut “membobol” wilayah-wilayah pedalaman ini.
Namun ketika memasuki wilayah ini, tidak terlihat hal-hal istimewa. Di pasar orang sibuk dengan urusan ekonomi. Mereka mengadakan tukar-menukar barang atau mengadakan transaksi jual-beli bagi pedagang besar yang memiliki persediaan uang logam, baik uang logam Portegis, Cina atau negri-negri lain.
Penduduk yang bukan pedagang pun tidak terlihat risau dalam melakukan kegiatan lainnya. Nelayan dengan senangnya mengambil ikan di rawa atau di sungai, petani pun damai menanam padi di huma. Mungkin hanya masyarakat yang kenal politik saja yang risau. Mereka menjalani hidup ini dengan penuh was-was dan curiga. Setiap saat mereka musti bercuriga kepada siapa saja. Bisa bercuriga kepada pedagang yang datang dari pesisir, bisa juga bercuriga kepada nelayan yang mengarungi sungai Citarum, dan menyangka mereka adalah bekerja ganda sebagai mata-mata.
Mereka bercuriga ke sana ke mari karena sadar Tanjungpura dan Karawang seluruhnya sedang dijadikan ajang rebutan pengaruh antara yang tengah mempertahankan dengan yang ingin merebut. Sementara karena wilayah ini amat berdampingan dengan wilayah batas, maka sulit dibedakan, mana yang benar-benar penduduk asli dan mana yang datang dari wilayah utara. Mana orang-orang utara yang benar-benar pedagang dan mana pula yang hanya datang karena urusan politik.
Penguasa Tanjungpura tidak bisa bekerja pukul rata, misalnya orang utara tak boleh masuk selatan atau pun sebaliknya. Karena mereka butuh perdagangan, maka hal-hal yang bersifat ekonomi lebih dipentingkan. Dan karena hal ini, nampaknya orang-orang Pajajaran tidak bersikap atau berupaya membuat pencegahan, melainkan hanya melakukan tindakan bagi yang terbukti membuat kekisruhan politik saja.
Tentu saja ini amat menguntungkan Purbajaya yang datang ke wilayah ini tidak secara khusus. Apalagi bagi Raden Yudakara yang dikenal sebagai pemuda tukang melancong dan terbiasa keluar-masuk wilayah ini. Beberapa pedagang besar yang sempat dia temui di pasar bahkan ada mengenal Raden Yudakara sebagai kemenakan dari pejabat Sagaraherang.
Namun demikian, Purbajaya harus tetap hati-hati. Tokh bagi dirinya, Pajajaran adalah wilayah yang baru dikenalnya. Kalau tak perlu benar, dia jarang bicara.
“Engkau akan kuperkenalkan dengan salah seorang kerabatmu, Purba…” kata Raden Yudakara sambil membelokkan arah kuda menuju ke jalan simpang lebih kecil. Jalanan itu penuh bebatuan bercampur tanah merah.
Berdebar hati Purbajaya. Ini memang janji Raden Yudakara, bahwa bila Purbajaya ikut padanya, maka akan diperkenalkan kepada kerabat-kerabatnya. Siapakah yang jadi kerabatnya itu? Hubungan keluarga sebagai apa dengannya? Purbajaya begitu bergairah untuk segera mengetahuinya.
“Engkau akan bertemu dengan paman misanmu sendiri…” kata Raden Yudakara seperti ingin membantu rasa penasaran di hati Purbajaya.
“Maksud Raden, adik ayahandaku?”
“Ya, tidak persis begitu. Namun Ki Jayasena benar-benar merupakan kerabat dekatmu yang tersisa oleh…“
“Maksud Raden yang tersisa oleh peperangan antara Carbon dan Pajajaran, bukan?” sambung Purbajaya karena Raden Yudakara terlihat ragu-ragu membicarakannya.
“Benar. Tapi maafkan mertuaku…” gumam Raden Yudakara tersenyum pahit.
Purbajaya menerimanya dengan senyum kecut.
“Tidak ada urusan pribadi di sini. Mertuaku Pangeran Arya Damar berjuang melaksanakan misi negara dan ayahandamu berjuang membela serta mempertahankan negri. Kesalahannya mungkin terletak pada siapa kalah dan siapa menang saja,” Raden Yudakara mencoba meluruskan persoalan.
Namun Purbajaya masih tersenyum kecut. Bukan saja karena urusan peperangan yang melibatkan dua negri yang telah menewaskan ayahanda dan keluarganya, namun juga karena mendengar sebutan “mertua” yang diucapkan Raden Yudakara untuk Pangeran Arya Damar. Dia tersenyum kecut sebab dengan demikian, Raden Yudakara hanya mengingatkan perihal keculasannya kepada Purbajaya dalam urusan Nyimas Waningyun. Ya, bukankah pemuda pecumbu gadis ini telah “merebut” cinta Nyimas Waningyun dari genggaman Purbajaya?
Purbajaya berpikir, betapa sebenarnya Raden Yudakara tak pernah memiliki perasaan bersalah terhadap tindakan apa pun yang sebenarnya bisa melukai hati orang. Purbajaya khawatir, kalau orang-orang yang hanya bergelut dengan urusan dan kepentingannya sendiri bisa menguasai dunia, maka isi dunia akan kacau oleh peperangan dan ketidak-adilan. Kalau orang seperti Raden Yudakara diberi keleluasaan berkuasa maka kemelut akan terus terjadi sebab dia selalu tak pernah punya rasa bersalah atas tindakan-tindakan yang merugikan orang lain.
“Singkirkan perasaan pribadimu. Engkau adalah milik negara, maka hanya negara yang harus engkau pikirkan, Purba…” kata Raden Yudakara memecahkan lamunan Purbajaya.
Purbajaya tersenyum kecil. Aneh rasanya, orang seperti Raden Yudakara bisa memberi “petuah” sebagus ini. Namun berbareng dengan pujian ini, hatinya pun merasa bergidik. Begitulah mungkin orang yang tak pernah introspeksi kepada perilakunya sendiri. Karena tak pernah sadar akan kekeliruannya, maka dia tak akan malu-malu memberikan nasihat kepada orang lain sepertinya dirinya orang benar dan tak pernah cacat perilakunya.
Purbajaya bergidik sebab orang seperti ini hanya melihat keluar saja. Hanya orang lain yang terlihat banyak kekurangan dan banyak salah sehingga olehnya perlu dikoreksi dan perlu dinasihati, sementara dirinya dibiarkan lolos berbuat kesalahan karena dia tak merasakannya.
“Mari kita lanjutkan perjalanan, saya sudah terlalu kangen untuk bersua dengan satu-satunya kerabat saya, Raden…” kata Purbajaya karena hatinya kesal dengan “nasihat” Raden Yudakara ini.
“Jalannya ke arah sini, Purba…” kata Raden Yudakara membedal tali kekang kudanya. Dia memang belok ke simpang lainnya lagi.
“Kau nanti bisa bicara banyak. Kau akan tahu, siapa ayahandamu,” kata Raden Yudakara di tengah perjalanan.
Berjalan beberapa lama melewati tanah luas beralang-alang, maka tibalah di sebuah perkampungan kecil. Disebut kecil karena hanya terdiri dari beberapa rumah saja. Namun yang mencolok, dari kelompok rumah ini ada satu yang terlihat besar dan bagus. Rumah panggung cukup tinggi disangga kayu-kayu jati pilihan. Atapnya dari rumbia. Di depan ada beranda luas terbuka dan di tengahnya dipasang meja setinggi setengah depa. Purbjaya menduga, rumah besar ini milik Ki Jayasena yang disebut-sebut sebagai kerabatnya.
Untuk masuk ke perkampungan ini musti lewat lawang kori (gerbang) yang kalau malam mungkin ditutup rapat untuk menjaga diri dari gangguan binatang buas atau pun orang jahat. Siang hari ini gerbang terkuak lebar sehingga Raden Yudakara dan Purbajaya leluasa memasuki halaman. Di sana segera disambut seseorang.
“Kami mau bertemu Ki Jayasena,” kata Raden Yudakara.
“Kebetulan beliau ada di rumah. Mari saya antarkan,” kata orang itu hormat sekali.
Purbajaya mau ikut di belakang ketika tiba-tiba Raden Yudakara mencegahnya.
“Engkau tinggal dulu di sini, Purba,” kata pemuda itu amat mengherankan Purbajaya.
Dia berpikir, mengapa pertemuan dengan kerabatnya musti ditunda dulu. Padahal tak ada salahnya langsung dipertemukan saja. Sementara Purbajaya berpikir begitu, Raden Yudakara sudah memasuki halaman rumah besar itu.
“Engkau bisa duduk menunggu dibale besar, anak muda,” kata penghuni yang akan mengantar Raden Yudakara.
Purbajaya yang sudah menambatkan kudanya segera menuju tempat yang sudah ditunjukkan, yaitu sebuah bangunan berupa paseban terletak di tengah tanah terbuka. Orang itu tak berapa lama kemudian sudah datang dan menemani Purbajaya.
“Engkau datang dari mana, anak muda?” tanyanya.
Tindak-tanduknya tak begitu menghormat seperti tadi. Barangkali dia sadar kalau yang perlu dihormat hanya Raden Yudakara saja. Purbajaya mungkin dianggapnya badega (pelayan) Raden Yudakara, makanya disuruh tunggu di luar saja.
“Saya dari wilayah Sagaraherang,” jawab Purbajaya singkat.
“Dia tadi majikanmu, ya?”
“Benar…“
“Dia pejabat di Sagaraherang, ya?”
“Mana saya tahu?”
“Lho?”
“Saya belum begitu lama mengabdi padanya. Lagi pula, masa seorang badega berani tanya ini-itu sama majikan?” Purbajaya berkata ketus karena jengkel ditanyai saja. Dia memang lagi jengkel. Rasanya tersinggung oleh perlakuan Raden Yudakara yang tak segera mempertemukan dirinya dengan Ki Jayasena, kerabatnya.
“Bekerjalah lebih lama pada majikanmu agar kau mendapatkan kemajuan,” kata orang itu akhirnya.
Purbajaya menoleh. “Bagaimana bisa bicara begitu, engkau kan belum kenal majikan saya?” Purbajaya heran dibuatnya.
“Aku hanya bisa duga saja, setiap yang berhubungan dengan Juragan Jayasena, pasti orang penting. Jadi aku pikir, yang bekerja pada orang penting, suatu saat hidupnya terangkat juga,” jawab orang itu.
“Saya ini kerabat majikanmu,” kata Purbajaya untuk menghapus rasa penasaran orang itu.
Tapi diberitahu perihal ini, orang ini malah semakin penasaran. Matanya terlihat membelalak. Tahu rasa, kini kau harus membungkukkan punggungmu padaku, pikir Purbajaya. Namun nyatanya, orang itu tak mengubah sikap, kecuali rasa herannya itu.
“Kok aneh, Juragan selama ini tak pernah bilang punya kerabat dari Sagaraherang atau dari mana pun juga. Lagi pula, kalau kau benar kerabat Juragan Jayasena, mengapa tak lantas masuk saja ke rumah beliau?” tanya orang ini menyangsikan sekali, membuat mulut Purbajaya cemberut karena tak dipercaya orang. Kermbali hati Purbajaya jengkel. Mau menerangkan, ceritanya bakal panjang. Lagi pula tak ada untungnya bicara pada orang ini.
“Aku putra penguasa Tanjungpura!” tandas Purbajaya agar orang itu jadi segan padanya. Namun kembali Purbajaya kecele. Ketika Purbajaya mengatakan hal ini, orang itu malah ketawa.
“Jangan ngaco kamu. Keluarga dari penguasa Tanjungpura tak mungkin keluyuran ke sini. Juragan Jayasena tak menyukai Kandagalante Subangwara,” kata orang itu ketawa lepas.
“Dulu, dulu!” potong Purbajaya.
Orang itu sejenak menatap, tak mengerti ucapan Purbajaya.
“Maksud saya, saya ini anak kandagalante yang dulu.”
“Dulu yang mana? Sejak dulu sudah belasan yang jadi penguasa wilayah ini,” giliran orang itu yang jengkel karena Purbajaya dianggapnya bicara ngawur.
“Dulu ada kandagalante yang tewas saat diserbu pasukan Carbon? Nah, kau ingat, kan? Apalagi penguasa yang tewas itu adalah kerabat Ki Jayasena!” tandas Purbajaya jengkel.
“Kerabat?”
Keheranan orang itu tak bisa tuntas sebab Raden Yudakara keburu datang bersama seorang lelaki setengah baya berpakaian jenis santana (golongan masyarakat pertengahan). Yang membuat Purbajaya heran, lelaki itu datang sambil air mata deras bercucuran. Nampak sekali dia ingin dilihat orang kalau dirinya tengah menangis.
“Di mana kemenakanku? Di mana dia?” katanya tergopoh-gopoh mendekati Purbajaya.
“Oh, engkaukah Purbajaya? Benar, engkau rupanya kemenakanku!”
Purbajaya tak sempat menghindar ketika orang tua itu menubruk dan memeluk dirinya erat-erat.
“Kau kemenakanku, kasihan nasibmu buruk. Oh, nasibmu buruk…” lelaki itu menepuk-nepuk punggung Purbajaya.
“Dia Ki Jayasena, pamanmu sendiri, Purba. Berbaktilah kepadanya…” ujar Raden Yudakara tersenyum tipis.
Ada sedikit ganjil memang. Namun apa pun, rasa haru ternyata menyelinap juga ke sanubari Purbajaya. Betapa tidak. Selama belasan tahun dia hidup, baru kali ini ada orang mengaku kerabatnya. Lantas Purbajaya digandeng dibawa ke rumah besar. Itu adalah rumah yang tadi dikunjungi Raden Yudakara.
“Ini adalah peristiwa yang mengagetkan semua orang. Maafkan aku kalau kau tak langsung dibawa serta. Aku perlu menjelaskan secara rinci dan hati-hati agar tak mengagetkan dan juga agar kita dipercaya,” kata Raden Yudakara seolah bisa menebak keheranan di hati Purbajaya.
“Memang tadinya sulit dipercaya. Aku sudah mengira kalau semua handai taulanku tewas dalam penyerbuan itu. Tak diduga masih tersisa kau. Maafkan aku. Kalau tak ada jasa Raden Yudakara, tak nanti kita bisa bertemu…” kata Ki Jayasena duduk dekat-dekat bersama Purbajaya.
Malamnya Purbajaya dijamu besar-besaran. Berbagai makanan dan minuman disediakan sebanyak-banyaknya. Malam itu seisi kampung diundang hadir. Dan Purbajaya diperkenalkan sebagai keturunan satu-satunya dari Kandagalante Sura Manggala yang tewas dalam peperangan melawan Carbon, belasan tahun silam.
“Namun itu adalah peristiwa lama dan anak muda ini tak akan mengutak-atiknya lagi,” kata Ki Jayasena.
Ucapan ini menyiratkan maksud kalau masalah permusuhan dengan Carbon jangan dibesar-besarkan. Begitu arti ucapan yang tertangkap oleh Purbajaya. Ki Jayasena ingin masalah dengan Carbon ditutup sampai di situ. Sebab kalau dibesar-besarkan, berarti Purbajaya punya niat “balas dendam” kepada Carbon. Dan kalau Ki Jayasena bicara begitu, hanya mengisyaratkan bahwa dirinya telah berkiblat pula ke Carbon.
Purbajaya tak berarti harus gembira dengan pernyataan ini. Pamannya ini sudah jadi orang Carbon, atau sekurang-kurangnya dia adalah orang Pajajaran yang hatinya telah berpaling ke Carbon. Namun siapakah yang mempengaruhinya? Purbajaya bisa tegar menerima kenyataan ini karena sejak kecil dia hidup dan dibesarkan dengan jiwa Carbon. Namun Ki Jayasena tetap berdiri sebagai orang Pajajaran. Amat mengherankan, kematian seorang saudara tidak menimbulkan kebencian kepada si penyebabnya bahkan sebaliknya dengan entengnya berpihak kepada lawan.
Purbajaya menduga kalau yang mempengaruhi Ki Jayasena ini adalah Raden Yudakara. Dan kalau benar begini, Purbajaya pun harus hati-hati. Ki Jayasena boleh jadi “saudara” tapi dalam politik tidak. Purbajaya merasa kalau Ki Jayasena walau pun berkata “Carbon” namun bukan berarti bekerja untuk kepentingan Carbon. Purbajaya yakin begitu karena melihat siapa yang berdiri di belakang Ki Jayasena ini.
Kebenarannya memang belum tentu begitu sebab Purbajaya baru menduga-duga saja. Namun demikian, Purbajaya akan menyelidikinya. Bila belakangan diketahui Ki Jayasena terseret pengaruh Raden Yudakara maka Purbajaya harus memperingatkannya.
PURBAJAYA masih sangsi akan kenyataan ini. Benarkah Ki Jayasena ini pamannya? Dia belum sepenuhnya percaya. Sikap Ki Jayasena mencurigakan. Purbajaya pernah memergoki Ki Jayasena marah habis-habisan kepada orang yang pernah ngobrol dengan Purbajaya di saat Purbajaya menunggu saat pertemuan dengannya. Purbajaya teringat, waktu itu pembantu Ki Jayasena heran ketika Purbajaya mengaku kerabat penghuni di sini.
Bahkan ketika disebutkan bahwa Ki Jayasena adalah kerabat ayahanda Purbajaya, pembantu itu pun heran. Sepertinya pembantu itu menyangsikan ucapannya ini. Dan Ki Jayasena memarahi pembantu itu karena masalah ini.
“Kalau kau banyak bicara lagi, kau akan kubunuh!” desis Ki Jayasena kepada pembantunya.
Purbajaya penasaran melihat peristiwa ini. Maka dia memutuskan untuk menemui pembantu itu. Namun sudah beberapa hari si pembantu tak kelihatan batang-hidungnya. Bahkan sepertinya orang itu lenyap ditelan bumi karena Purbajaya tidak bisa menemukan di mana dia berada. Purbajaya coba tanya sana-sini, tidak seorang pun berkata pernah kenal pembantu itu.
“Siapa sih namanya?” tanya seorang pembantu yang sempat Purbajaya tanyai.
Ditanya begini Purbajaya garuk-garuk kepala. Dia memang tak sempat mengetahui nama orang itu.
“Dia bertubuh gemuk, kumisnya jarang dan sudah beruban,” kata Purbajaya menjelaskan. Namun yang ditanya hanya mengerutkan alis.
“Juragan Jayasena banyak memiliki pembantu. Kadang-kadang kerja belum begitu lama, sudah minta berhenti. Dengan begitu, kami tak sempat lama berkenalan dengan sesama pembantu,” kata orang itu membuat Purbajaya kecewa.
Akhirnya pencarian dihentikan. Dia tanya sana-sini secara diam-diam karena tak mau dicurigai Ki Jayasena. Namun karena mengambil cara seperti itu, maka upaya pencarian semakin sulit. Pembantu yang dia cari, hilang misterius.
Namun ini bukan berarti Purbajaya putus asa. Hilangnya si gemuk berkumis jarang itu bahkan semakin menambah kecurigaan di hatinya. Rasanya seisi kampung ini bersikap aneh. Masa ada seorang pembantu yang hilang, seorang pun tak pernah mempertanyakannya.
Ki Jayasena punya seorang anak gadis bernama Nyi Sumirah. Gadis ini sudah tak memiliki ibu karena sejak kecil telah ditinggal mati. Yang kaya dimiliki oleh gadis itu malah ibu tirinya. Kata penghuni di sini, bulan lalu Ki Jayasena baru saja melangsungkan pernikahan dengan gadis yang usianya sebaya putrinya. Herannya, Nyi Sumirah sendiri belum mau menikah. Usianya sudah cukup, sekitar tujuhbelasan. Padahal di tempat itu, banyak anak gadis usia dini sudah cerai-kawin beberapa kali.
Dalam beberapa hari saja, Purbajaya sudah kenal baik kepada Nyi Sumirah. Ternyata dia adalah gadis manja. Setiap hari kerjanya hanya ingin dilayani oleh inang pengasuhnya saja. Tak pernah mengerjakan pekerjaan yang bersifat kewanitaan kecuali bermain-main saja.
Nyi Sumirah pun banyak temannya, baik sesama wanita mau pun kaum pria. Dan nampaknya hubungan di antara mereka terlalu akrab dan hampir tak ada batasnya. Kalau bulan lagi purnama, katanya anak-anak muda di sini senang bergerombol saling bercengkrama.
Malam ini bulan lagi purnama. Purbajaya bisa menyaksikan, betapa di bangunan bernama bale gede banyak berkumpul pasangan remaja. Mereka mengobrol atau saling membuat lelucon dan yang pria menggoda yang wanita. Maka sebentar-sebentar terdengar kekeh dan tawa cekikikan. Ada juga selingan suara jeritan kecil wanita karena mungkin digoda pria.
Purbajaya tidak mau melibatkan diri ke sana. Terbayang kembali peristiwa buruk ribut-ribut sesama pemuda karena rebutan perhatian gadis. Itulah sebabnya, Purbajaya hanya menyaksikan saja dari tempat agak jauh. Namun ketika dia tengah duduk-duduk di bale-bale dikejutkan oleh kedatangan seseorang. Ternyata Nyi Sumirah yang datang.
“Mengapa engkau memisahkan diri di sini?” tanya gadis itu dengan suara ketus.
Penguasa Tanjungpura tidak bisa bekerja pukul rata, misalnya orang utara tak boleh masuk selatan atau pun sebaliknya. Karena mereka butuh perdagangan, maka hal-hal yang bersifat ekonomi lebih dipentingkan. Dan karena hal ini, nampaknya orang-orang Pajajaran tidak bersikap atau berupaya membuat pencegahan, melainkan hanya melakukan tindakan bagi yang terbukti membuat kekisruhan politik saja.
Tentu saja ini amat menguntungkan Purbajaya yang datang ke wilayah ini tidak secara khusus. Apalagi bagi Raden Yudakara yang dikenal sebagai pemuda tukang melancong dan terbiasa keluar-masuk wilayah ini. Beberapa pedagang besar yang sempat dia temui di pasar bahkan ada mengenal Raden Yudakara sebagai kemenakan dari pejabat Sagaraherang.
Namun demikian, Purbajaya harus tetap hati-hati. Tokh bagi dirinya, Pajajaran adalah wilayah yang baru dikenalnya. Kalau tak perlu benar, dia jarang bicara.
“Engkau akan kuperkenalkan dengan salah seorang kerabatmu, Purba…” kata Raden Yudakara sambil membelokkan arah kuda menuju ke jalan simpang lebih kecil. Jalanan itu penuh bebatuan bercampur tanah merah.
Berdebar hati Purbajaya. Ini memang janji Raden Yudakara, bahwa bila Purbajaya ikut padanya, maka akan diperkenalkan kepada kerabat-kerabatnya. Siapakah yang jadi kerabatnya itu? Hubungan keluarga sebagai apa dengannya? Purbajaya begitu bergairah untuk segera mengetahuinya.
“Engkau akan bertemu dengan paman misanmu sendiri…” kata Raden Yudakara seperti ingin membantu rasa penasaran di hati Purbajaya.
“Maksud Raden, adik ayahandaku?”
“Ya, tidak persis begitu. Namun Ki Jayasena benar-benar merupakan kerabat dekatmu yang tersisa oleh…“
“Maksud Raden yang tersisa oleh peperangan antara Carbon dan Pajajaran, bukan?” sambung Purbajaya karena Raden Yudakara terlihat ragu-ragu membicarakannya.
“Benar. Tapi maafkan mertuaku…” gumam Raden Yudakara tersenyum pahit.
Purbajaya menerimanya dengan senyum kecut.
“Tidak ada urusan pribadi di sini. Mertuaku Pangeran Arya Damar berjuang melaksanakan misi negara dan ayahandamu berjuang membela serta mempertahankan negri. Kesalahannya mungkin terletak pada siapa kalah dan siapa menang saja,” Raden Yudakara mencoba meluruskan persoalan.
Namun Purbajaya masih tersenyum kecut. Bukan saja karena urusan peperangan yang melibatkan dua negri yang telah menewaskan ayahanda dan keluarganya, namun juga karena mendengar sebutan “mertua” yang diucapkan Raden Yudakara untuk Pangeran Arya Damar. Dia tersenyum kecut sebab dengan demikian, Raden Yudakara hanya mengingatkan perihal keculasannya kepada Purbajaya dalam urusan Nyimas Waningyun. Ya, bukankah pemuda pecumbu gadis ini telah “merebut” cinta Nyimas Waningyun dari genggaman Purbajaya?
Purbajaya berpikir, betapa sebenarnya Raden Yudakara tak pernah memiliki perasaan bersalah terhadap tindakan apa pun yang sebenarnya bisa melukai hati orang. Purbajaya khawatir, kalau orang-orang yang hanya bergelut dengan urusan dan kepentingannya sendiri bisa menguasai dunia, maka isi dunia akan kacau oleh peperangan dan ketidak-adilan. Kalau orang seperti Raden Yudakara diberi keleluasaan berkuasa maka kemelut akan terus terjadi sebab dia selalu tak pernah punya rasa bersalah atas tindakan-tindakan yang merugikan orang lain.
“Singkirkan perasaan pribadimu. Engkau adalah milik negara, maka hanya negara yang harus engkau pikirkan, Purba…” kata Raden Yudakara memecahkan lamunan Purbajaya.
Purbajaya tersenyum kecil. Aneh rasanya, orang seperti Raden Yudakara bisa memberi “petuah” sebagus ini. Namun berbareng dengan pujian ini, hatinya pun merasa bergidik. Begitulah mungkin orang yang tak pernah introspeksi kepada perilakunya sendiri. Karena tak pernah sadar akan kekeliruannya, maka dia tak akan malu-malu memberikan nasihat kepada orang lain sepertinya dirinya orang benar dan tak pernah cacat perilakunya.
Purbajaya bergidik sebab orang seperti ini hanya melihat keluar saja. Hanya orang lain yang terlihat banyak kekurangan dan banyak salah sehingga olehnya perlu dikoreksi dan perlu dinasihati, sementara dirinya dibiarkan lolos berbuat kesalahan karena dia tak merasakannya.
“Mari kita lanjutkan perjalanan, saya sudah terlalu kangen untuk bersua dengan satu-satunya kerabat saya, Raden…” kata Purbajaya karena hatinya kesal dengan “nasihat” Raden Yudakara ini.
“Jalannya ke arah sini, Purba…” kata Raden Yudakara membedal tali kekang kudanya. Dia memang belok ke simpang lainnya lagi.
“Kau nanti bisa bicara banyak. Kau akan tahu, siapa ayahandamu,” kata Raden Yudakara di tengah perjalanan.
Berjalan beberapa lama melewati tanah luas beralang-alang, maka tibalah di sebuah perkampungan kecil. Disebut kecil karena hanya terdiri dari beberapa rumah saja. Namun yang mencolok, dari kelompok rumah ini ada satu yang terlihat besar dan bagus. Rumah panggung cukup tinggi disangga kayu-kayu jati pilihan. Atapnya dari rumbia. Di depan ada beranda luas terbuka dan di tengahnya dipasang meja setinggi setengah depa. Purbjaya menduga, rumah besar ini milik Ki Jayasena yang disebut-sebut sebagai kerabatnya.
Untuk masuk ke perkampungan ini musti lewat lawang kori (gerbang) yang kalau malam mungkin ditutup rapat untuk menjaga diri dari gangguan binatang buas atau pun orang jahat. Siang hari ini gerbang terkuak lebar sehingga Raden Yudakara dan Purbajaya leluasa memasuki halaman. Di sana segera disambut seseorang.
“Kami mau bertemu Ki Jayasena,” kata Raden Yudakara.
“Kebetulan beliau ada di rumah. Mari saya antarkan,” kata orang itu hormat sekali.
Purbajaya mau ikut di belakang ketika tiba-tiba Raden Yudakara mencegahnya.
“Engkau tinggal dulu di sini, Purba,” kata pemuda itu amat mengherankan Purbajaya.
Dia berpikir, mengapa pertemuan dengan kerabatnya musti ditunda dulu. Padahal tak ada salahnya langsung dipertemukan saja. Sementara Purbajaya berpikir begitu, Raden Yudakara sudah memasuki halaman rumah besar itu.
“Engkau bisa duduk menunggu dibale besar, anak muda,” kata penghuni yang akan mengantar Raden Yudakara.
Purbajaya yang sudah menambatkan kudanya segera menuju tempat yang sudah ditunjukkan, yaitu sebuah bangunan berupa paseban terletak di tengah tanah terbuka. Orang itu tak berapa lama kemudian sudah datang dan menemani Purbajaya.
“Engkau datang dari mana, anak muda?” tanyanya.
Tindak-tanduknya tak begitu menghormat seperti tadi. Barangkali dia sadar kalau yang perlu dihormat hanya Raden Yudakara saja. Purbajaya mungkin dianggapnya badega (pelayan) Raden Yudakara, makanya disuruh tunggu di luar saja.
“Saya dari wilayah Sagaraherang,” jawab Purbajaya singkat.
“Dia tadi majikanmu, ya?”
“Benar…“
“Dia pejabat di Sagaraherang, ya?”
“Mana saya tahu?”
“Lho?”
“Saya belum begitu lama mengabdi padanya. Lagi pula, masa seorang badega berani tanya ini-itu sama majikan?” Purbajaya berkata ketus karena jengkel ditanyai saja. Dia memang lagi jengkel. Rasanya tersinggung oleh perlakuan Raden Yudakara yang tak segera mempertemukan dirinya dengan Ki Jayasena, kerabatnya.
“Bekerjalah lebih lama pada majikanmu agar kau mendapatkan kemajuan,” kata orang itu akhirnya.
Purbajaya menoleh. “Bagaimana bisa bicara begitu, engkau kan belum kenal majikan saya?” Purbajaya heran dibuatnya.
“Aku hanya bisa duga saja, setiap yang berhubungan dengan Juragan Jayasena, pasti orang penting. Jadi aku pikir, yang bekerja pada orang penting, suatu saat hidupnya terangkat juga,” jawab orang itu.
“Saya ini kerabat majikanmu,” kata Purbajaya untuk menghapus rasa penasaran orang itu.
Tapi diberitahu perihal ini, orang ini malah semakin penasaran. Matanya terlihat membelalak. Tahu rasa, kini kau harus membungkukkan punggungmu padaku, pikir Purbajaya. Namun nyatanya, orang itu tak mengubah sikap, kecuali rasa herannya itu.
“Kok aneh, Juragan selama ini tak pernah bilang punya kerabat dari Sagaraherang atau dari mana pun juga. Lagi pula, kalau kau benar kerabat Juragan Jayasena, mengapa tak lantas masuk saja ke rumah beliau?” tanya orang ini menyangsikan sekali, membuat mulut Purbajaya cemberut karena tak dipercaya orang. Kermbali hati Purbajaya jengkel. Mau menerangkan, ceritanya bakal panjang. Lagi pula tak ada untungnya bicara pada orang ini.
“Aku putra penguasa Tanjungpura!” tandas Purbajaya agar orang itu jadi segan padanya. Namun kembali Purbajaya kecele. Ketika Purbajaya mengatakan hal ini, orang itu malah ketawa.
“Jangan ngaco kamu. Keluarga dari penguasa Tanjungpura tak mungkin keluyuran ke sini. Juragan Jayasena tak menyukai Kandagalante Subangwara,” kata orang itu ketawa lepas.
“Dulu, dulu!” potong Purbajaya.
Orang itu sejenak menatap, tak mengerti ucapan Purbajaya.
“Maksud saya, saya ini anak kandagalante yang dulu.”
“Dulu yang mana? Sejak dulu sudah belasan yang jadi penguasa wilayah ini,” giliran orang itu yang jengkel karena Purbajaya dianggapnya bicara ngawur.
“Dulu ada kandagalante yang tewas saat diserbu pasukan Carbon? Nah, kau ingat, kan? Apalagi penguasa yang tewas itu adalah kerabat Ki Jayasena!” tandas Purbajaya jengkel.
“Kerabat?”
Keheranan orang itu tak bisa tuntas sebab Raden Yudakara keburu datang bersama seorang lelaki setengah baya berpakaian jenis santana (golongan masyarakat pertengahan). Yang membuat Purbajaya heran, lelaki itu datang sambil air mata deras bercucuran. Nampak sekali dia ingin dilihat orang kalau dirinya tengah menangis.
“Di mana kemenakanku? Di mana dia?” katanya tergopoh-gopoh mendekati Purbajaya.
“Oh, engkaukah Purbajaya? Benar, engkau rupanya kemenakanku!”
Purbajaya tak sempat menghindar ketika orang tua itu menubruk dan memeluk dirinya erat-erat.
“Kau kemenakanku, kasihan nasibmu buruk. Oh, nasibmu buruk…” lelaki itu menepuk-nepuk punggung Purbajaya.
“Dia Ki Jayasena, pamanmu sendiri, Purba. Berbaktilah kepadanya…” ujar Raden Yudakara tersenyum tipis.
Ada sedikit ganjil memang. Namun apa pun, rasa haru ternyata menyelinap juga ke sanubari Purbajaya. Betapa tidak. Selama belasan tahun dia hidup, baru kali ini ada orang mengaku kerabatnya. Lantas Purbajaya digandeng dibawa ke rumah besar. Itu adalah rumah yang tadi dikunjungi Raden Yudakara.
“Ini adalah peristiwa yang mengagetkan semua orang. Maafkan aku kalau kau tak langsung dibawa serta. Aku perlu menjelaskan secara rinci dan hati-hati agar tak mengagetkan dan juga agar kita dipercaya,” kata Raden Yudakara seolah bisa menebak keheranan di hati Purbajaya.
“Memang tadinya sulit dipercaya. Aku sudah mengira kalau semua handai taulanku tewas dalam penyerbuan itu. Tak diduga masih tersisa kau. Maafkan aku. Kalau tak ada jasa Raden Yudakara, tak nanti kita bisa bertemu…” kata Ki Jayasena duduk dekat-dekat bersama Purbajaya.
Malamnya Purbajaya dijamu besar-besaran. Berbagai makanan dan minuman disediakan sebanyak-banyaknya. Malam itu seisi kampung diundang hadir. Dan Purbajaya diperkenalkan sebagai keturunan satu-satunya dari Kandagalante Sura Manggala yang tewas dalam peperangan melawan Carbon, belasan tahun silam.
“Namun itu adalah peristiwa lama dan anak muda ini tak akan mengutak-atiknya lagi,” kata Ki Jayasena.
Ucapan ini menyiratkan maksud kalau masalah permusuhan dengan Carbon jangan dibesar-besarkan. Begitu arti ucapan yang tertangkap oleh Purbajaya. Ki Jayasena ingin masalah dengan Carbon ditutup sampai di situ. Sebab kalau dibesar-besarkan, berarti Purbajaya punya niat “balas dendam” kepada Carbon. Dan kalau Ki Jayasena bicara begitu, hanya mengisyaratkan bahwa dirinya telah berkiblat pula ke Carbon.
Purbajaya tak berarti harus gembira dengan pernyataan ini. Pamannya ini sudah jadi orang Carbon, atau sekurang-kurangnya dia adalah orang Pajajaran yang hatinya telah berpaling ke Carbon. Namun siapakah yang mempengaruhinya? Purbajaya bisa tegar menerima kenyataan ini karena sejak kecil dia hidup dan dibesarkan dengan jiwa Carbon. Namun Ki Jayasena tetap berdiri sebagai orang Pajajaran. Amat mengherankan, kematian seorang saudara tidak menimbulkan kebencian kepada si penyebabnya bahkan sebaliknya dengan entengnya berpihak kepada lawan.
Purbajaya menduga kalau yang mempengaruhi Ki Jayasena ini adalah Raden Yudakara. Dan kalau benar begini, Purbajaya pun harus hati-hati. Ki Jayasena boleh jadi “saudara” tapi dalam politik tidak. Purbajaya merasa kalau Ki Jayasena walau pun berkata “Carbon” namun bukan berarti bekerja untuk kepentingan Carbon. Purbajaya yakin begitu karena melihat siapa yang berdiri di belakang Ki Jayasena ini.
Kebenarannya memang belum tentu begitu sebab Purbajaya baru menduga-duga saja. Namun demikian, Purbajaya akan menyelidikinya. Bila belakangan diketahui Ki Jayasena terseret pengaruh Raden Yudakara maka Purbajaya harus memperingatkannya.
PURBAJAYA masih sangsi akan kenyataan ini. Benarkah Ki Jayasena ini pamannya? Dia belum sepenuhnya percaya. Sikap Ki Jayasena mencurigakan. Purbajaya pernah memergoki Ki Jayasena marah habis-habisan kepada orang yang pernah ngobrol dengan Purbajaya di saat Purbajaya menunggu saat pertemuan dengannya. Purbajaya teringat, waktu itu pembantu Ki Jayasena heran ketika Purbajaya mengaku kerabat penghuni di sini.
Bahkan ketika disebutkan bahwa Ki Jayasena adalah kerabat ayahanda Purbajaya, pembantu itu pun heran. Sepertinya pembantu itu menyangsikan ucapannya ini. Dan Ki Jayasena memarahi pembantu itu karena masalah ini.
“Kalau kau banyak bicara lagi, kau akan kubunuh!” desis Ki Jayasena kepada pembantunya.
Purbajaya penasaran melihat peristiwa ini. Maka dia memutuskan untuk menemui pembantu itu. Namun sudah beberapa hari si pembantu tak kelihatan batang-hidungnya. Bahkan sepertinya orang itu lenyap ditelan bumi karena Purbajaya tidak bisa menemukan di mana dia berada. Purbajaya coba tanya sana-sini, tidak seorang pun berkata pernah kenal pembantu itu.
“Siapa sih namanya?” tanya seorang pembantu yang sempat Purbajaya tanyai.
Ditanya begini Purbajaya garuk-garuk kepala. Dia memang tak sempat mengetahui nama orang itu.
“Dia bertubuh gemuk, kumisnya jarang dan sudah beruban,” kata Purbajaya menjelaskan. Namun yang ditanya hanya mengerutkan alis.
“Juragan Jayasena banyak memiliki pembantu. Kadang-kadang kerja belum begitu lama, sudah minta berhenti. Dengan begitu, kami tak sempat lama berkenalan dengan sesama pembantu,” kata orang itu membuat Purbajaya kecewa.
Akhirnya pencarian dihentikan. Dia tanya sana-sini secara diam-diam karena tak mau dicurigai Ki Jayasena. Namun karena mengambil cara seperti itu, maka upaya pencarian semakin sulit. Pembantu yang dia cari, hilang misterius.
Namun ini bukan berarti Purbajaya putus asa. Hilangnya si gemuk berkumis jarang itu bahkan semakin menambah kecurigaan di hatinya. Rasanya seisi kampung ini bersikap aneh. Masa ada seorang pembantu yang hilang, seorang pun tak pernah mempertanyakannya.
Ki Jayasena punya seorang anak gadis bernama Nyi Sumirah. Gadis ini sudah tak memiliki ibu karena sejak kecil telah ditinggal mati. Yang kaya dimiliki oleh gadis itu malah ibu tirinya. Kata penghuni di sini, bulan lalu Ki Jayasena baru saja melangsungkan pernikahan dengan gadis yang usianya sebaya putrinya. Herannya, Nyi Sumirah sendiri belum mau menikah. Usianya sudah cukup, sekitar tujuhbelasan. Padahal di tempat itu, banyak anak gadis usia dini sudah cerai-kawin beberapa kali.
Dalam beberapa hari saja, Purbajaya sudah kenal baik kepada Nyi Sumirah. Ternyata dia adalah gadis manja. Setiap hari kerjanya hanya ingin dilayani oleh inang pengasuhnya saja. Tak pernah mengerjakan pekerjaan yang bersifat kewanitaan kecuali bermain-main saja.
Nyi Sumirah pun banyak temannya, baik sesama wanita mau pun kaum pria. Dan nampaknya hubungan di antara mereka terlalu akrab dan hampir tak ada batasnya. Kalau bulan lagi purnama, katanya anak-anak muda di sini senang bergerombol saling bercengkrama.
Malam ini bulan lagi purnama. Purbajaya bisa menyaksikan, betapa di bangunan bernama bale gede banyak berkumpul pasangan remaja. Mereka mengobrol atau saling membuat lelucon dan yang pria menggoda yang wanita. Maka sebentar-sebentar terdengar kekeh dan tawa cekikikan. Ada juga selingan suara jeritan kecil wanita karena mungkin digoda pria.
Purbajaya tidak mau melibatkan diri ke sana. Terbayang kembali peristiwa buruk ribut-ribut sesama pemuda karena rebutan perhatian gadis. Itulah sebabnya, Purbajaya hanya menyaksikan saja dari tempat agak jauh. Namun ketika dia tengah duduk-duduk di bale-bale dikejutkan oleh kedatangan seseorang. Ternyata Nyi Sumirah yang datang.
“Mengapa engkau memisahkan diri di sini?” tanya gadis itu dengan suara ketus.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment