Menerima kehadiran gadis ini sebenarnya hati Purbajaya merasa terganggu. Dia ingin menatap benderangnya cahaya bulan sambil mengawasi keceriaan anak-anak muda itu. Hatinya sudah terpuaskan karena pemandangan ini amat indah. Dan merasakan situasi ini, Purbajaya jadi ingat kenangan. Ya, cahaya bulan dan cinta baginya serasa sebuah perpaduan yang tak bisa terpisahkan. Hanya saja, bulan pun jadi kepedihan hatinya sebab dalam cahaya bulan ini cinta tak hadir dalam dirinya.
Sudah tak ada Nyimas Waningyun, sudah tak ada Nyimas Yuning Purnama. Pedih. Namun pedih dalam keindahan. Sebab kepedihan apa pun bila sudah menjadi kenangan, sebenarnya jadi terasa indah. Indah untuk direnungi sendiri tanpa siapa pun mengganggu. Sekarang malah Nyi Sumirah datang mengganggu. Sambil bicara ketus, lagi.
“Ada, Nyai?” tanya Purbajaya mengerutkan dahi.
“Engkau menyinggung perasaan orang lain, Purba…” omel gadis itu masih cemberut.
“Saya? Menyinggung perasaan orang lain? Rasanya saya tak ganggu siapa pun. Dari tadi saya memisahkan diri di sini saja…” jawab Purbajaya heran.
“Nah, itulah yang membuat orang tersinggung. Melamun dan memisahkan diri dari yang lain, hanya membuat kegembiraan orang jadi terganggu. Bukankah itu menyinggung perasaan orang lain yang lagi gembira? Kau lihat petani miskin di daerah pesisir, betapa kemiskinan mereka mengganggu kegembiraan kita. Padahal kita yang hidup berkecukupan inginnya setiap waktu bergembira, tidak menyedih-nyedihkan diri kita sendiri atau pun tidak memelas karena melihat orang lain menderita. Tapi kalau aku sedang makan enak, lantas ada orang miskin lewat, selera makanku jadi berkurang. Dan aku terganggu sebab aku musti memberinya sedekah. Itu pula yang aku rasakan di saat aku lihat kau duduk termenung seorang diri. Serasa menggangggu kegembiraanku,” kata Nyi Sumirah lantang.
“Jangan kau sombong hanya karena hidupmu bahagia, Nyai…” kata Purbajaya tersenyum kecut.
“Bahkan aku rasakan, orang yang lagi menderitalah yang sombong!” tukas gadis itu membuat Purbajaya heran.
“Ya, banyak orang yang menyombongkan diri karena memiliki derita. Dia perlihatkan derita itu kepada semua orang. Dia katakan kepada orang lain kalau dirinyalah yang punya penderitaan dan kepahitan hidup. Itulah sombong, disangkanya orang lain tak punya penderitaan. Kalau kau punya masalah hidup lantas memisahkan diri, apakah kau sangka aku yang senang bergembira dan senang berkumpul dengan orang lain ini tidak punya permasalahan hidup? Sombong sekali engkau…” omel lagi Nyi Sumirah.
“Tapi Nyai…“
“Maksudmu, penderitaanmu lebih besar dan lebih parah dari aku, begitu, ya? Nah, itulah kesombongan orang yang mengaku menderita,” potong gadis itu tak memberi kesempatan Purbajaya berbicara.
“Malah saya tak punya penderitaaan apa pun, Nyai…” Purbajaya memotong kalimat.
“Apalagi begitu, maka engkau semakin sombong juga!” tukas Nyi Sumirah tak memberi hati.
Purbajaya jadi serba salah untuk berdebat dengan gadis ini. “Jadi saya musti bagaimana?” keluh Purbajaya akhirnya.
“Musti bagaimana, musti bagaimna. Ya, bergabunglah dengan kami, perlihatkan seolah-olah kau pun punya kesatuan pendapat dalam hal kegembiraan di bulan purnama ini. Lagi pula kau musti gabung sebab ada seseorang ingin bertemu kau,” kata Nyi Sumirah.
“Seseorang…?”
“Ya. Sayang, ya…“
“Mengapa sayang?”
“Kau saudaraku. Padahal kalau bukan, aku senang bercengkrama denganmu.”
“Oh…“
“Tapi kau bakal punya pasangan. Lihatlah dia datang!” kata Nyi Sumirah menunjuk seseorang yang datang. Seorang gadis.
Dia gadis rupawan. Walau hanya diterangi cahaya bulan, wajah gadis itu cantik. Mungkin kulitnya hitam manis sebab ketika terkena cahaya bulan, wajah itu tak putih pucat.
“Ini dia Nyimas Wulan. Purba, ayo kenalan dengannya!” Nyi Sumirah membetot tangan gadis yang baru datang dan ditempelkannya pada lengan Purbajaya.
Sudah barang tentu Purbajaya melengos sambil tersipu malu. Gadis bernama Nyimas Wulan hanya tersenyum saja. Mungkin merasa lucu melihat Purbajaya tertunduk-tunduk malu.
“Ayo cepat kenalan dengan putri terkasih Juragan Ilun Rosa. Eh, kok seperti tikus takut kucing. Wulan, kenapa diam saja. Tadi kau cari-cari Purbajaya?” Nyi Sumirah terus menggoda keduanya
”Hus, siapa bilang?”
“Nah, mau bohong, ya? Bila Purbajaya tak ada kau suka tanya sana-sini. Sekarang malah pura-pura tak butuh,” kata lagi Nyi Sumirah.
“Ah… bohong itu. Bohong itu!” Nyimas Wulan pura-pura marah menjadikan hati Purbajaya jadi canggung.
“Ah, kehadiran saya jadi mengganggu kalian. Saya mau pulang, ah…” kata Purbajaya berjingkat karena selalu serba salah.
Gadais-gadis Tanjungpura ternyata berani-berani dan amat menantang. Purbajaya tak biasa menghadapinya. Maka dia pilih pergi saja dari tempat itu.
“Hai jangan begitu. Sombong kau, ya?” lagi-lagi Nyi Sumirah mencercanya.
Dan Purbajaya tak jadi pergi. Dia riskan dengan tuduhan sombong kepada dirinya itu. Purbajaya kembali duduk di bale-bale tapi sambil hati tak enak sebab para pemuda di ruangan bale gede sudah terlihat memperhatikan dirinya.
“Saya mau pergi saja,” Purbajaya kembali berjingkat. Dia takut disatroni para pemuda yang tersinggung karena terlihat “dikepung” dua gadis yang sebetulnya tadi tengah bergabung dengan mereka.
Untung saja dalam suasana serba kikuk itu hadir Raden Yudakara. Dengan demikian, keadaan agak berubah sebab pemuda pesolek ini mengambil-alih kendali percakapan. Namun demikian, Purbajaya timbul rasa sebalnya. Sudah pasti, bila pemuda ini berhadapan dengan wanita akan timbul penyakitnya.
“Oh hai, rembulan di atas sana sudah sedemikian indahnya…” Raden Yudakara berpuisi dengan suara mendayu-dayu.
Para gadis yang mendengar buaian merdu ini pasti akan berbunga-bunga hatinya. Tapi tak demikian dengan Purbajaya. Dia sudah hapal betul taktik gombal pemuda hidung belang ini. Sebentar lagi pasti dia akan lanjutkan puisinya seperti ini.”… tapi indahnya rembulan tidak akan sanggup mengalahkan indahnya paras gadis-gadis ini….” hati Purbajaya menduga.
Sudah tak ada Nyimas Waningyun, sudah tak ada Nyimas Yuning Purnama. Pedih. Namun pedih dalam keindahan. Sebab kepedihan apa pun bila sudah menjadi kenangan, sebenarnya jadi terasa indah. Indah untuk direnungi sendiri tanpa siapa pun mengganggu. Sekarang malah Nyi Sumirah datang mengganggu. Sambil bicara ketus, lagi.
“Ada, Nyai?” tanya Purbajaya mengerutkan dahi.
“Engkau menyinggung perasaan orang lain, Purba…” omel gadis itu masih cemberut.
“Saya? Menyinggung perasaan orang lain? Rasanya saya tak ganggu siapa pun. Dari tadi saya memisahkan diri di sini saja…” jawab Purbajaya heran.
“Nah, itulah yang membuat orang tersinggung. Melamun dan memisahkan diri dari yang lain, hanya membuat kegembiraan orang jadi terganggu. Bukankah itu menyinggung perasaan orang lain yang lagi gembira? Kau lihat petani miskin di daerah pesisir, betapa kemiskinan mereka mengganggu kegembiraan kita. Padahal kita yang hidup berkecukupan inginnya setiap waktu bergembira, tidak menyedih-nyedihkan diri kita sendiri atau pun tidak memelas karena melihat orang lain menderita. Tapi kalau aku sedang makan enak, lantas ada orang miskin lewat, selera makanku jadi berkurang. Dan aku terganggu sebab aku musti memberinya sedekah. Itu pula yang aku rasakan di saat aku lihat kau duduk termenung seorang diri. Serasa menggangggu kegembiraanku,” kata Nyi Sumirah lantang.
“Jangan kau sombong hanya karena hidupmu bahagia, Nyai…” kata Purbajaya tersenyum kecut.
“Bahkan aku rasakan, orang yang lagi menderitalah yang sombong!” tukas gadis itu membuat Purbajaya heran.
“Ya, banyak orang yang menyombongkan diri karena memiliki derita. Dia perlihatkan derita itu kepada semua orang. Dia katakan kepada orang lain kalau dirinyalah yang punya penderitaan dan kepahitan hidup. Itulah sombong, disangkanya orang lain tak punya penderitaan. Kalau kau punya masalah hidup lantas memisahkan diri, apakah kau sangka aku yang senang bergembira dan senang berkumpul dengan orang lain ini tidak punya permasalahan hidup? Sombong sekali engkau…” omel lagi Nyi Sumirah.
“Tapi Nyai…“
“Maksudmu, penderitaanmu lebih besar dan lebih parah dari aku, begitu, ya? Nah, itulah kesombongan orang yang mengaku menderita,” potong gadis itu tak memberi kesempatan Purbajaya berbicara.
“Malah saya tak punya penderitaaan apa pun, Nyai…” Purbajaya memotong kalimat.
“Apalagi begitu, maka engkau semakin sombong juga!” tukas Nyi Sumirah tak memberi hati.
Purbajaya jadi serba salah untuk berdebat dengan gadis ini. “Jadi saya musti bagaimana?” keluh Purbajaya akhirnya.
“Musti bagaimana, musti bagaimna. Ya, bergabunglah dengan kami, perlihatkan seolah-olah kau pun punya kesatuan pendapat dalam hal kegembiraan di bulan purnama ini. Lagi pula kau musti gabung sebab ada seseorang ingin bertemu kau,” kata Nyi Sumirah.
“Seseorang…?”
“Ya. Sayang, ya…“
“Mengapa sayang?”
“Kau saudaraku. Padahal kalau bukan, aku senang bercengkrama denganmu.”
“Oh…“
“Tapi kau bakal punya pasangan. Lihatlah dia datang!” kata Nyi Sumirah menunjuk seseorang yang datang. Seorang gadis.
Dia gadis rupawan. Walau hanya diterangi cahaya bulan, wajah gadis itu cantik. Mungkin kulitnya hitam manis sebab ketika terkena cahaya bulan, wajah itu tak putih pucat.
“Ini dia Nyimas Wulan. Purba, ayo kenalan dengannya!” Nyi Sumirah membetot tangan gadis yang baru datang dan ditempelkannya pada lengan Purbajaya.
Sudah barang tentu Purbajaya melengos sambil tersipu malu. Gadis bernama Nyimas Wulan hanya tersenyum saja. Mungkin merasa lucu melihat Purbajaya tertunduk-tunduk malu.
“Ayo cepat kenalan dengan putri terkasih Juragan Ilun Rosa. Eh, kok seperti tikus takut kucing. Wulan, kenapa diam saja. Tadi kau cari-cari Purbajaya?” Nyi Sumirah terus menggoda keduanya
”Hus, siapa bilang?”
“Nah, mau bohong, ya? Bila Purbajaya tak ada kau suka tanya sana-sini. Sekarang malah pura-pura tak butuh,” kata lagi Nyi Sumirah.
“Ah… bohong itu. Bohong itu!” Nyimas Wulan pura-pura marah menjadikan hati Purbajaya jadi canggung.
“Ah, kehadiran saya jadi mengganggu kalian. Saya mau pulang, ah…” kata Purbajaya berjingkat karena selalu serba salah.
Gadais-gadis Tanjungpura ternyata berani-berani dan amat menantang. Purbajaya tak biasa menghadapinya. Maka dia pilih pergi saja dari tempat itu.
“Hai jangan begitu. Sombong kau, ya?” lagi-lagi Nyi Sumirah mencercanya.
Dan Purbajaya tak jadi pergi. Dia riskan dengan tuduhan sombong kepada dirinya itu. Purbajaya kembali duduk di bale-bale tapi sambil hati tak enak sebab para pemuda di ruangan bale gede sudah terlihat memperhatikan dirinya.
“Saya mau pergi saja,” Purbajaya kembali berjingkat. Dia takut disatroni para pemuda yang tersinggung karena terlihat “dikepung” dua gadis yang sebetulnya tadi tengah bergabung dengan mereka.
Untung saja dalam suasana serba kikuk itu hadir Raden Yudakara. Dengan demikian, keadaan agak berubah sebab pemuda pesolek ini mengambil-alih kendali percakapan. Namun demikian, Purbajaya timbul rasa sebalnya. Sudah pasti, bila pemuda ini berhadapan dengan wanita akan timbul penyakitnya.
“Oh hai, rembulan di atas sana sudah sedemikian indahnya…” Raden Yudakara berpuisi dengan suara mendayu-dayu.
Para gadis yang mendengar buaian merdu ini pasti akan berbunga-bunga hatinya. Tapi tak demikian dengan Purbajaya. Dia sudah hapal betul taktik gombal pemuda hidung belang ini. Sebentar lagi pasti dia akan lanjutkan puisinya seperti ini.”… tapi indahnya rembulan tidak akan sanggup mengalahkan indahnya paras gadis-gadis ini….” hati Purbajaya menduga.
Dan benar saja, Raden Yudakara berpuisi seperti itu.
”…. tapi indahnya rembulan tidak sanggup mengalahkan keelokan paras gadis-gadis ini…” Raden Yudakara melantun dan mendayu. Dan Purbajaya melengoskan wajahnya ke samping.
“Tak sangka Ki Jayasena pandai menyembunyikan bunga-bunga indah di taman rumahnya…” sambung Raden Yudakara.
Kalimat indah ini pun jadi terasa sebal sebab bukan satu kali saja dia berkilah seperti ini. Mungkin dulu Pangeran Arya Damar terpikat sampai menyerahkan Nyimas Waningyun pun karena mendengar puisi gombal ini.
“Nyimas Wulan tidak tumbuh di taman pekarangan ayahanda, sebab dia adalah putri tunggal Juragan Ilun Rosa,” Nyi Sumirah menegaskan kalau di taman rumahnya bunga indah hanya dirinya seorang.
“Oh, ya? Nyatanya banyak pemilik halaman pandai menyemai bunga indah. Aku belum kenal Juragan Ilun Rosa. Namun wahai gadis berparas elok seelok rembulan, engkau semerbak, tubuhmu bertabur bintang. Kalau saja engkau belum dihinggapi kumbang…“
“Hei, bukankah itu ucapanmu tadi malam padaku, Raden?” Nyi Sumirah mendelik marah.
“Oh, ya?”
“Oh,ya,oh,ya. Yang benar saja. Sebetulnya siapakah gadis yang engka puja, engkau puji dan engkau cintai itu? Aku ataukah yang lain-lainnya?” Nyi Sumirah berkata lantang sepertinya semua orang yang ada di situ bisa mendengarnya.
Keduanya bersilang pendapat. Maka sebelum mendengar lebih jauh pertengkaran ini, Purbajaya segera meninggalkan tempat itu. Dia semakin sebal kepada Raden Yudakara, sekaligus sebal pula kepada dirinya sendiri. Hanya karena kemampuannya yang terbatas saja maka selama ini dia tak bisa melepaskan diri dari kungkungan pemuda bangsawan aneh itu.
Tak dinyana, ketika dia berjalan sendirian, ada gerakan orang yang sepertinya mengikutinya dari belakangnya. Purbajaya cepat menengok ke belakang, ”Nyimas Wulan… ” katanya perlahan. Apakah gadis itu tengah mengikuti dirinya?
“Nyimas, kau mengikutiku?” tanya Purbajaya heran.
“Tidak, saya mau pulang…” jawab gadis itu.
“Pulang? Purnama belum lagi sirna, pesta belum lagi usai dan teman-temanmu masih bergelimang kegembiraan, maka alangkah anehnya bila engkau malah memilih pulang,” kata Purbajaya “menegur” gadis itu yang pulang duluan.
“Kau sendiri pun tak suka hura-hura. Kau bahkan angkuh dan sombong!” tukas gadis itu.
“Angkuh dan sombong?” Purbajaya melengak.
Sudah dua orang gadis Tanjungpura yang menuduh dia berlaku sombong. Tadi Nyi Sumirah dan sekarang Nyimas Wulan. Karena heran, Purbajaya menghentikan langkahnya sehingga akhirnya mereka berdua bisa jalan berdampingan. Bulan semakin benderang dan malam semakin indah.
“Saya tak mau diganggu Raden Yudakara, makanya lekas pulang,” ujar gadis itu.
“Sendirian begini?”
“Mengapa tidak? Tak ada yang sudi mengantar saya pulang…” jawab gadis itu.
“Banyak gadis merasa bahagia disanjung Raden Yudakara, mengapa kau tidak? Padahal nampaknya Raden Yudakara menyenangimu dan kau pasti akan diantar pulang,” kata Purbajaya menguji gadis itu.
Karena jalanan agak berbatu, Purbajaya mencoba memegang tangan gadis itu untuk membimbing mencari jalan agak rata. Dan gadis itu balik memegang tanpa sungkan dan ragu.
“Gadis memang perlu disanjung. Tapi bila berlebihan seperti itu saya tak senang. Seorang gadis bahkan tak bakalan senang bila sanjungan dan pujian malah dibagi ke mana-mana,” kata Nyimas Wulan.
Dan Purbajaya mengangguk-angguk puas karena pemuda hidung belang itu dicerca gadis ini.
“Tapi saya pun tak menyenangi pemuda angkuh dan sombong,” kata gadis itu lagi melanjutkan.
Purbajaya merandek. “Akukah itu?” tanyanya menuding hidungnya sendiri.
“Ya, mengapa tidak? Engkau pria sombong tak mau menegur gadis. Masa musti gadis duluan menegurmu?” tanya Nyimas Wulan.
“Aku berbuat seperti itu karena takut menyinggung perasaan orang lain,” jawab Purbajaya.
Dia tahu, beberapa pemuda Tanjungpura yang tengah berkumpul di sana sudah memperhatikan dirinya dengan penuh curiga dan perasaan tak senang ketika Purbajaya dikerubuti dua orang gadis sekaligus. Purbajaya musti hapal pengalaman, banyak pemuda benci dirinya karena disenangi gadis.
“Tapi saya malah tersinggung sikapmu. Sepertinya saya tak ada harganya di matamu,” kata Nyimas Wulan dengan nada ketus namun manja.
Purbajaya melongo. Dia tak bisa mengerti kalau kelakuannya yang jujur dan sopan malah menyinggung perasaan gadis.
“Jadi, musti bagaimana?” tanyanya.
“Ya, gabung-gabunglah secara wajar. Kalau orang lain bersenda-gurau, maka ikutlah bersenda-gurau jangan seenaknya memisahkan diri.”
“Kalau orang lain merayu wanita?”
“Ya… Ah, kau ini dungu amat, sih?” Nyimas Wulan mencubit lengan Purbajaya keras sekali sehingga pemuda itu berteriak kesakitaan.
“Hai, lelaki malah teriak-teriak kesakitan. Bagaimana kalau ada orang lari ke sini mau menolongmu, apakah kau tega kalau saya dituding mengganggu dan menganiaya pria?” tanya gadis itu pura-pura cemas. Kepalanya celingukan ke sana ke mari sepertinya benar takut ada orang lain mendatangi tempat ini.
Wajah Purbajaya bersemu merah namun dengan tawa ceria. Baru kali ini dia tertawa karena melihat seorang gadis melucu.
“Gadis-gadis Tanjungpura gemar mengganggu pria, ya?” tanyanya.
“Ih, maunya!” sergah Nyimas Wulan sambil bersiap hendak mencubit lengan Purbajaya.
Namun pemuda ini kali ini sudah siap-siap karena sudah menduganya. Maka dua pasang tangan saling berkutat. Yang satu hendak mencubit, lainnya hendak menghalau. Lantas keduanya terawa-tawa gembira.
Mereka berdua baru bertemu, baru berkenalan. Tapi dua-duanya sudah saling akrab. Melangkah pun sudah saling bergandengan tangan. Aneh rasanya. Purbajaya pun tak mengerti, mengapa ini bisa terjadi. Mungkin karena rasa akrab yang diberikan gadis itu, atau bisa juga karena naluri kelelakian Purbajaya yang haus akan kasih-sayang seorang gadis. Ketika secara berani gadis itu mengecup pangkal lengannya, pemuda itu pun dengan tak ragu berani membalasnya. Purbajaya diantar pulang ke pekarangan rumahnya namun gadis itu akan masuk rumah secara sembunyi-sembunyi saja.
“Engkau sudah terbiasa keluar-masuk rumahmu secara sembunyi, Nyimas?” tanya Purbajaya heran.
“Siapa bilang?”
“Kalau begitu, mengapa tak berani jalan belakang?” tanya Purbajaya lagi.
“Saya pergi ke rumah Nyi Sumirah bersama sepupuku, Sedabanga. Sekarang malah pulang diantar lelaki asing. Coba, berani tidak engkau berhadapan dengan ayahandaku yang pemberang, sementara kau sudah berani pegang-pegang tangan saya?” tanya gadis itu sambil melihat pergelangan tangannya yang dipegang erat Purbajaya.
Purbajaya terkejut dan langsung melepaskan tangan gadis itu dengan wajah terasa merah karena malu.
“Nah, takut, ya? Jadi apalagi kalau musti ketemu muka,” Nyimas Wulan menakut-nakuti.
“Lantas, mengapa kau tak pulang bersama sepupumu itu?”
“Dia mabuk berat. Jangankan bisa jalan, duduk saja sudah oleng. Makanya saya pulang sendirian saja. Tapi, apakah engkau menyesal telah mengantar saya pulang?” katanya gadis itu.
“Ah… Bukan itu maksudku, Nyimas…”
“Kalau begitu, maukah kau mengantarku lagi?” Nyimas Wulan terus mendesak dengan pertanyaan susulan.
“Apakah engkau akan terus-terusan pulang malam, Nyimas?”
“Uh… Baru segini saja sudah ngeluh. Apalagi kalau diperintah bertempur memperebutkan saya!” omel gadis itu cemberut. ”Yang benar saja, mana ada gadis keluyuran tiap malam?” lanjutnya ketus.
“Habis pertanyaanmu tadi, Nyimas…?” Purbajaya gagap karena gadis ini aneh-aneh saja bicaranya.
“Dasar dungu. Sekali waktu kan bisa saja ada lagi keramaian. Kalau bulan lagi purnama, anak-anak di sini gemar bergembira. Para orang tua pun gemar berpesta-pora, apalagi kalau bulan purnama seusai panen, pesta selalu diadakan meriah,” kata Nyimas Wulan. “Makanya tak aneh bila kami keluar malam.”
“Kami?”
“Ya, karena ayahandaku pun sama menyenangi kegembiraan. Seperti malam ini, ayahanda pasti minum-minum tuak di kedai,” jawab gadis itu membuat Purbajaya agak tertegun.
“Sudahlah, cepat kau pulang. Bila ketahuan orang yang lagi tugur (meronda), kau pasti ditangkap dan digebuki,” kata gadis itu mendorong tubuh Purbajaya agar lekas pergi.
Namun sebelumnya, ada kecupan manis dari bibir gadis itu membuat Purbajaya kelabakan karena malu sendiri.
“Eh, malah diam? Awas, kepergok tugur kau pasti dipaksa menikahiku!” celoteh gadis itu menahan tawa dan mencoba menakuti Purbajaya sepertinya urusan menikah amat ditakuti kaum lelaki.
Purbajaya mengangguk dan berniat undur diri ketika secara tiba-tiba gadis itu kembali menciumnya. Hanya sejenak saja namun cukup membuat tubuh Purbajaya menggigil seperti menderita panas dingin mendadak.
Purbajaya pulang sendirian menuju rumah Ki Jayasena dengan perasaan tak berketentuan. Ini adalah kejadian luar biasa dan baru kali ini dialami dalam hidupnya. Bersama gadis seperti Nyimas Waningyun dan apalagi bersama Nyimas Yuning Purnama tak mudah cium-mencium. Namun bersama gadis Tanjungpura ini, kok segalanya berjalan serba cepat?
Ketika tiba di pelataran rumah, keramaian pesta bulan purnama sudah usai. Yang terlihat duduk sendirian di bale gede adalah Ki Jayasena sepertinya menunggu seseorang. Nyatanya yang ditunggu adalah Purbajaya.
“Kau baru pulang, Purba?” tanya Ki Jayasena dengan suara dingin menatap tajam.
“Saya baru saja mengantar Nyimas Wulan…” jawab Purbajaya. Perasaannya tak enak.
“Maksudmu mengantarkan putri Juragan Ilun Rosa?” tanya Ki Jayasena.
“Begitu menurut penuturan putrimu…“
“Juragan Ilun Rosa adalah kerabat dekat Kandagalante Subangwara, penguasa Tanjungpura kini,” kata Ki Jayasena.
Purbajaya menatap tajam karena tak tahu apa hubungannya dengan ini. Lalu Ki Jayasena mengajak Purbajaya duduk di sana.
“Dengarkan, Ki Subangwara adalah musuh keluargamu,” desis Ki Jayasena.
“Bukankah ayahanda tewas dalam peperangan melawan Carbon?” tanya Purbajaya heran.
“Memang benar. Tapi yang menyengsarakan hidup keluargamu bukan peperangan. Mati dalam peperangan ketika mempertahankan negara adalah kebanggaan. Yang disesalkan, ayahandamu adalah pejabat yang tak disukai penguasa Pakuan.”
“Berdosakah ayahanda kepada negara?”
“Tidak disukai penguasa bukan karena berdosa. Fitnah dan persaingan tak sehat sesama pejabat pun bisa membuat pejabat lainnya terpuruk. Kandagalante Sura Manggala, ayahandamu, amat setia kepada negara namun difitnah pesaingnya bernama Ki Subangwara. Tanjungpura ini wilayah rawan karena amat berdempetan dengan wilayah yang sudah dikuasai Carbon. Subangwara melapor ke Pakuan dan mengabarkan seolah-olah ayahandamu sedikit demi sedikit memasukkan pengaruh Carbon ke wilayah Tanjungpura,” kata Ki Jayasena.
“Terbuktikah tuduhan itu?”
“Yang jelas, semua orang tahu kalau ayahandamu telah mempertahankan keberadaan negri sampai titik darah penghabisan. Namun karena kuatnya pengaruh fitnah, kematian ayahandamu tidak mempengaruhi penilaian Raja terhadap pengorbanan ayahandamu. Ini yang amat disesalkan. Terbukti atau tidak, aku sebagai kerabat Ki Sura Manggala amat benci kepada Ki Subangwara. Lihatlah, betapa jabatan yang dia miliki sekarang berlumur darah ayahandamu,” kata Ki Jayasena geram dan mengepalkan tinjunya. ”Aku akan hancurkan Si Subangwara ini!” teriaknya parau.
“Melawan pejabat Pakuan berarti memberontak terhadap negara,” guman Purbajaya namun hatinya sedikit menyelidik isi hati Ki Jayasena.
“Mengapa musti takut dituduh melawan penguasa? Pakuan sedang menjelang kehancuran sebab sudah banyak negara bawahannya yang telah melepaskan diri,” tutur Ki Jayasena.
“Maksud Paman, apakah Paman pun punya cita-cita memisahkan diri dari Pakuan?” tanya Purbajaya.
“Ya, mengapa tidak? Tapi bunuh dulu Si Subangwara, baru memisahkan diri!” kata Ki Jayasena bersemangat.
Tapi Purbajaya mendengarnya dengan elahan napas panjang.
“Engkau merupakan keturunan langsung Ki Sura Manggala. Kau harus punya semangat tinggi dalam membalas dendam.”
“Saya datang ke sini bukan untuk membalas dendam…” gumam Purbajaya.
“Ya, aku tahu, kau punya tugas lebih berat ketimbang hanya sekadar balas-dendam. Namun dua-duanya sebenarnya amat bersinggungan. Bila kau bekerja satu kali maka akan menghasilkan dua keuntungan,” kata Ki Jayasena mengobarkan semangat kebencian. “Ki Subangwara adalah musuh pribadimu tapi juga musuh negrimu, Carbon. Maka kalau kau bunuh Ki Subangwara, maka berarti kau bela negrimu juga,” lanjut Ki Jayasena tetap mengobarkan kebencian.
“Ayahanda mati terhormat karena membela negri. Itu sudah amat membanggakan,” tutur Purbajaya.
Dan untuk ke sekian kalinya, Ki Jayasena mengerutkan keningnya karena merasa heran akan sikap Purbajaya.
“Engkau tidak merasa sakit hati atas perlakuan Ki Subangwara yang biadab?” tanya Ki Jayasena.
Dan Purbajaya menggelengkan kepalanya.
Ki Jayasena melenggak heran dan menatap Purbajaya lama sekali.
“Tentu sakit hati tapi tak bisa dijadikan alasan untuk membunuh Ki Subangwara begitu saja,” jawab Purbajaya. Tokh ayahanda tetap tak bisa dibuktikan sebagai pengkhianat. Kalau benar ayahanda kena fitnah, kebenaran akan datang sendiri, yang bersalah akan kena hukumannya. Karena pada suatu saat saya musti berhadapan, maka itu sebagai prajurit Carbon yang membela negrinya dan bukan hanya karena urusan pribadi,” kata Purbajaya lagi.
“Bagus kalau begitu. Maka bunuhlah Kandagalante Subangwara karena dia adalah pentolan Pajajaran dan Pajajaran adalah musuh negaramu,” kata lagi Ki Jayasena tetap mendesak.
“Benar, dia musuh negri saya. Tapi musuh tak selamanya musti dibunuh.”
“Ah… kau ini!” Ki Jayasena kecewa melihat sikap Purbajaya. ”Mengapa kau bilang musuh tak perlu dibunuh?” tanyanya heran.
“Kalau ada cara lain dalam menundukkan musuh, mengapa pembunuhan musti dilakukan?” Purbajaya balik bertanya.
“Musuh yang dikalahkan tanpa dibunuh hanya akan menanamkan rasa kebencian dan balas dendam. Dan bibit-bibit seperti ini kalau dibiarkan berkembang, selanjutnya hanya akan merepotkan saja,” Ki Jayasena berkilah.
Purbajaya menghela napas mendengar pendapat Ki Jayasena yang keras ini. “Jangan artikan istilah musuh ini seperti yang kita kemukakan di saat hati kita dipengaruhi kemarahan dan kebencian. Seperti halnya kita memandang suatu penyakit di tubuh kita, kalau kita mau menghilangkan penyakit itu, bukannya dengan cara menghancurkan tubuh ini, melainkan berpikir bagaimana agar penyakit itu bisa diberantas akan tetapi tubuh kita tetap sehat tak kurang suatu apa. Kita pun suatu saat akan melihat orang lain berlaku jahat. Janganlah bunuh orang itu sebab kejahatan itu ada pada jalan pikirannya. Maka usahakanlah agar orang itu menghilangkan pikiran jahatnya. Kalau berhasil, kejahatan akan lenyap tanpa kita melakukan pembunuhan sesama manusia,” kata Purbajaya berpanjang-lebar.
“Tak sangka Ki Jayasena pandai menyembunyikan bunga-bunga indah di taman rumahnya…” sambung Raden Yudakara.
Kalimat indah ini pun jadi terasa sebal sebab bukan satu kali saja dia berkilah seperti ini. Mungkin dulu Pangeran Arya Damar terpikat sampai menyerahkan Nyimas Waningyun pun karena mendengar puisi gombal ini.
“Nyimas Wulan tidak tumbuh di taman pekarangan ayahanda, sebab dia adalah putri tunggal Juragan Ilun Rosa,” Nyi Sumirah menegaskan kalau di taman rumahnya bunga indah hanya dirinya seorang.
“Oh, ya? Nyatanya banyak pemilik halaman pandai menyemai bunga indah. Aku belum kenal Juragan Ilun Rosa. Namun wahai gadis berparas elok seelok rembulan, engkau semerbak, tubuhmu bertabur bintang. Kalau saja engkau belum dihinggapi kumbang…“
“Hei, bukankah itu ucapanmu tadi malam padaku, Raden?” Nyi Sumirah mendelik marah.
“Oh, ya?”
“Oh,ya,oh,ya. Yang benar saja. Sebetulnya siapakah gadis yang engka puja, engkau puji dan engkau cintai itu? Aku ataukah yang lain-lainnya?” Nyi Sumirah berkata lantang sepertinya semua orang yang ada di situ bisa mendengarnya.
Keduanya bersilang pendapat. Maka sebelum mendengar lebih jauh pertengkaran ini, Purbajaya segera meninggalkan tempat itu. Dia semakin sebal kepada Raden Yudakara, sekaligus sebal pula kepada dirinya sendiri. Hanya karena kemampuannya yang terbatas saja maka selama ini dia tak bisa melepaskan diri dari kungkungan pemuda bangsawan aneh itu.
Tak dinyana, ketika dia berjalan sendirian, ada gerakan orang yang sepertinya mengikutinya dari belakangnya. Purbajaya cepat menengok ke belakang, ”Nyimas Wulan… ” katanya perlahan. Apakah gadis itu tengah mengikuti dirinya?
“Nyimas, kau mengikutiku?” tanya Purbajaya heran.
“Tidak, saya mau pulang…” jawab gadis itu.
“Pulang? Purnama belum lagi sirna, pesta belum lagi usai dan teman-temanmu masih bergelimang kegembiraan, maka alangkah anehnya bila engkau malah memilih pulang,” kata Purbajaya “menegur” gadis itu yang pulang duluan.
“Kau sendiri pun tak suka hura-hura. Kau bahkan angkuh dan sombong!” tukas gadis itu.
“Angkuh dan sombong?” Purbajaya melengak.
Sudah dua orang gadis Tanjungpura yang menuduh dia berlaku sombong. Tadi Nyi Sumirah dan sekarang Nyimas Wulan. Karena heran, Purbajaya menghentikan langkahnya sehingga akhirnya mereka berdua bisa jalan berdampingan. Bulan semakin benderang dan malam semakin indah.
“Saya tak mau diganggu Raden Yudakara, makanya lekas pulang,” ujar gadis itu.
“Sendirian begini?”
“Mengapa tidak? Tak ada yang sudi mengantar saya pulang…” jawab gadis itu.
“Banyak gadis merasa bahagia disanjung Raden Yudakara, mengapa kau tidak? Padahal nampaknya Raden Yudakara menyenangimu dan kau pasti akan diantar pulang,” kata Purbajaya menguji gadis itu.
Karena jalanan agak berbatu, Purbajaya mencoba memegang tangan gadis itu untuk membimbing mencari jalan agak rata. Dan gadis itu balik memegang tanpa sungkan dan ragu.
“Gadis memang perlu disanjung. Tapi bila berlebihan seperti itu saya tak senang. Seorang gadis bahkan tak bakalan senang bila sanjungan dan pujian malah dibagi ke mana-mana,” kata Nyimas Wulan.
Dan Purbajaya mengangguk-angguk puas karena pemuda hidung belang itu dicerca gadis ini.
“Tapi saya pun tak menyenangi pemuda angkuh dan sombong,” kata gadis itu lagi melanjutkan.
Purbajaya merandek. “Akukah itu?” tanyanya menuding hidungnya sendiri.
“Ya, mengapa tidak? Engkau pria sombong tak mau menegur gadis. Masa musti gadis duluan menegurmu?” tanya Nyimas Wulan.
“Aku berbuat seperti itu karena takut menyinggung perasaan orang lain,” jawab Purbajaya.
Dia tahu, beberapa pemuda Tanjungpura yang tengah berkumpul di sana sudah memperhatikan dirinya dengan penuh curiga dan perasaan tak senang ketika Purbajaya dikerubuti dua orang gadis sekaligus. Purbajaya musti hapal pengalaman, banyak pemuda benci dirinya karena disenangi gadis.
“Tapi saya malah tersinggung sikapmu. Sepertinya saya tak ada harganya di matamu,” kata Nyimas Wulan dengan nada ketus namun manja.
Purbajaya melongo. Dia tak bisa mengerti kalau kelakuannya yang jujur dan sopan malah menyinggung perasaan gadis.
“Jadi, musti bagaimana?” tanyanya.
“Ya, gabung-gabunglah secara wajar. Kalau orang lain bersenda-gurau, maka ikutlah bersenda-gurau jangan seenaknya memisahkan diri.”
“Kalau orang lain merayu wanita?”
“Ya… Ah, kau ini dungu amat, sih?” Nyimas Wulan mencubit lengan Purbajaya keras sekali sehingga pemuda itu berteriak kesakitaan.
“Hai, lelaki malah teriak-teriak kesakitan. Bagaimana kalau ada orang lari ke sini mau menolongmu, apakah kau tega kalau saya dituding mengganggu dan menganiaya pria?” tanya gadis itu pura-pura cemas. Kepalanya celingukan ke sana ke mari sepertinya benar takut ada orang lain mendatangi tempat ini.
Wajah Purbajaya bersemu merah namun dengan tawa ceria. Baru kali ini dia tertawa karena melihat seorang gadis melucu.
“Gadis-gadis Tanjungpura gemar mengganggu pria, ya?” tanyanya.
“Ih, maunya!” sergah Nyimas Wulan sambil bersiap hendak mencubit lengan Purbajaya.
Namun pemuda ini kali ini sudah siap-siap karena sudah menduganya. Maka dua pasang tangan saling berkutat. Yang satu hendak mencubit, lainnya hendak menghalau. Lantas keduanya terawa-tawa gembira.
Mereka berdua baru bertemu, baru berkenalan. Tapi dua-duanya sudah saling akrab. Melangkah pun sudah saling bergandengan tangan. Aneh rasanya. Purbajaya pun tak mengerti, mengapa ini bisa terjadi. Mungkin karena rasa akrab yang diberikan gadis itu, atau bisa juga karena naluri kelelakian Purbajaya yang haus akan kasih-sayang seorang gadis. Ketika secara berani gadis itu mengecup pangkal lengannya, pemuda itu pun dengan tak ragu berani membalasnya. Purbajaya diantar pulang ke pekarangan rumahnya namun gadis itu akan masuk rumah secara sembunyi-sembunyi saja.
“Engkau sudah terbiasa keluar-masuk rumahmu secara sembunyi, Nyimas?” tanya Purbajaya heran.
“Siapa bilang?”
“Kalau begitu, mengapa tak berani jalan belakang?” tanya Purbajaya lagi.
“Saya pergi ke rumah Nyi Sumirah bersama sepupuku, Sedabanga. Sekarang malah pulang diantar lelaki asing. Coba, berani tidak engkau berhadapan dengan ayahandaku yang pemberang, sementara kau sudah berani pegang-pegang tangan saya?” tanya gadis itu sambil melihat pergelangan tangannya yang dipegang erat Purbajaya.
Purbajaya terkejut dan langsung melepaskan tangan gadis itu dengan wajah terasa merah karena malu.
“Nah, takut, ya? Jadi apalagi kalau musti ketemu muka,” Nyimas Wulan menakut-nakuti.
“Lantas, mengapa kau tak pulang bersama sepupumu itu?”
“Dia mabuk berat. Jangankan bisa jalan, duduk saja sudah oleng. Makanya saya pulang sendirian saja. Tapi, apakah engkau menyesal telah mengantar saya pulang?” katanya gadis itu.
“Ah… Bukan itu maksudku, Nyimas…”
“Kalau begitu, maukah kau mengantarku lagi?” Nyimas Wulan terus mendesak dengan pertanyaan susulan.
“Apakah engkau akan terus-terusan pulang malam, Nyimas?”
“Uh… Baru segini saja sudah ngeluh. Apalagi kalau diperintah bertempur memperebutkan saya!” omel gadis itu cemberut. ”Yang benar saja, mana ada gadis keluyuran tiap malam?” lanjutnya ketus.
“Habis pertanyaanmu tadi, Nyimas…?” Purbajaya gagap karena gadis ini aneh-aneh saja bicaranya.
“Dasar dungu. Sekali waktu kan bisa saja ada lagi keramaian. Kalau bulan lagi purnama, anak-anak di sini gemar bergembira. Para orang tua pun gemar berpesta-pora, apalagi kalau bulan purnama seusai panen, pesta selalu diadakan meriah,” kata Nyimas Wulan. “Makanya tak aneh bila kami keluar malam.”
“Kami?”
“Ya, karena ayahandaku pun sama menyenangi kegembiraan. Seperti malam ini, ayahanda pasti minum-minum tuak di kedai,” jawab gadis itu membuat Purbajaya agak tertegun.
“Sudahlah, cepat kau pulang. Bila ketahuan orang yang lagi tugur (meronda), kau pasti ditangkap dan digebuki,” kata gadis itu mendorong tubuh Purbajaya agar lekas pergi.
Namun sebelumnya, ada kecupan manis dari bibir gadis itu membuat Purbajaya kelabakan karena malu sendiri.
“Eh, malah diam? Awas, kepergok tugur kau pasti dipaksa menikahiku!” celoteh gadis itu menahan tawa dan mencoba menakuti Purbajaya sepertinya urusan menikah amat ditakuti kaum lelaki.
Purbajaya mengangguk dan berniat undur diri ketika secara tiba-tiba gadis itu kembali menciumnya. Hanya sejenak saja namun cukup membuat tubuh Purbajaya menggigil seperti menderita panas dingin mendadak.
Purbajaya pulang sendirian menuju rumah Ki Jayasena dengan perasaan tak berketentuan. Ini adalah kejadian luar biasa dan baru kali ini dialami dalam hidupnya. Bersama gadis seperti Nyimas Waningyun dan apalagi bersama Nyimas Yuning Purnama tak mudah cium-mencium. Namun bersama gadis Tanjungpura ini, kok segalanya berjalan serba cepat?
Ketika tiba di pelataran rumah, keramaian pesta bulan purnama sudah usai. Yang terlihat duduk sendirian di bale gede adalah Ki Jayasena sepertinya menunggu seseorang. Nyatanya yang ditunggu adalah Purbajaya.
“Kau baru pulang, Purba?” tanya Ki Jayasena dengan suara dingin menatap tajam.
“Saya baru saja mengantar Nyimas Wulan…” jawab Purbajaya. Perasaannya tak enak.
“Maksudmu mengantarkan putri Juragan Ilun Rosa?” tanya Ki Jayasena.
“Begitu menurut penuturan putrimu…“
“Juragan Ilun Rosa adalah kerabat dekat Kandagalante Subangwara, penguasa Tanjungpura kini,” kata Ki Jayasena.
Purbajaya menatap tajam karena tak tahu apa hubungannya dengan ini. Lalu Ki Jayasena mengajak Purbajaya duduk di sana.
“Dengarkan, Ki Subangwara adalah musuh keluargamu,” desis Ki Jayasena.
“Bukankah ayahanda tewas dalam peperangan melawan Carbon?” tanya Purbajaya heran.
“Memang benar. Tapi yang menyengsarakan hidup keluargamu bukan peperangan. Mati dalam peperangan ketika mempertahankan negara adalah kebanggaan. Yang disesalkan, ayahandamu adalah pejabat yang tak disukai penguasa Pakuan.”
“Berdosakah ayahanda kepada negara?”
“Tidak disukai penguasa bukan karena berdosa. Fitnah dan persaingan tak sehat sesama pejabat pun bisa membuat pejabat lainnya terpuruk. Kandagalante Sura Manggala, ayahandamu, amat setia kepada negara namun difitnah pesaingnya bernama Ki Subangwara. Tanjungpura ini wilayah rawan karena amat berdempetan dengan wilayah yang sudah dikuasai Carbon. Subangwara melapor ke Pakuan dan mengabarkan seolah-olah ayahandamu sedikit demi sedikit memasukkan pengaruh Carbon ke wilayah Tanjungpura,” kata Ki Jayasena.
“Terbuktikah tuduhan itu?”
“Yang jelas, semua orang tahu kalau ayahandamu telah mempertahankan keberadaan negri sampai titik darah penghabisan. Namun karena kuatnya pengaruh fitnah, kematian ayahandamu tidak mempengaruhi penilaian Raja terhadap pengorbanan ayahandamu. Ini yang amat disesalkan. Terbukti atau tidak, aku sebagai kerabat Ki Sura Manggala amat benci kepada Ki Subangwara. Lihatlah, betapa jabatan yang dia miliki sekarang berlumur darah ayahandamu,” kata Ki Jayasena geram dan mengepalkan tinjunya. ”Aku akan hancurkan Si Subangwara ini!” teriaknya parau.
“Melawan pejabat Pakuan berarti memberontak terhadap negara,” guman Purbajaya namun hatinya sedikit menyelidik isi hati Ki Jayasena.
“Mengapa musti takut dituduh melawan penguasa? Pakuan sedang menjelang kehancuran sebab sudah banyak negara bawahannya yang telah melepaskan diri,” tutur Ki Jayasena.
“Maksud Paman, apakah Paman pun punya cita-cita memisahkan diri dari Pakuan?” tanya Purbajaya.
“Ya, mengapa tidak? Tapi bunuh dulu Si Subangwara, baru memisahkan diri!” kata Ki Jayasena bersemangat.
Tapi Purbajaya mendengarnya dengan elahan napas panjang.
“Engkau merupakan keturunan langsung Ki Sura Manggala. Kau harus punya semangat tinggi dalam membalas dendam.”
“Saya datang ke sini bukan untuk membalas dendam…” gumam Purbajaya.
“Ya, aku tahu, kau punya tugas lebih berat ketimbang hanya sekadar balas-dendam. Namun dua-duanya sebenarnya amat bersinggungan. Bila kau bekerja satu kali maka akan menghasilkan dua keuntungan,” kata Ki Jayasena mengobarkan semangat kebencian. “Ki Subangwara adalah musuh pribadimu tapi juga musuh negrimu, Carbon. Maka kalau kau bunuh Ki Subangwara, maka berarti kau bela negrimu juga,” lanjut Ki Jayasena tetap mengobarkan kebencian.
“Ayahanda mati terhormat karena membela negri. Itu sudah amat membanggakan,” tutur Purbajaya.
Dan untuk ke sekian kalinya, Ki Jayasena mengerutkan keningnya karena merasa heran akan sikap Purbajaya.
“Engkau tidak merasa sakit hati atas perlakuan Ki Subangwara yang biadab?” tanya Ki Jayasena.
Dan Purbajaya menggelengkan kepalanya.
Ki Jayasena melenggak heran dan menatap Purbajaya lama sekali.
“Tentu sakit hati tapi tak bisa dijadikan alasan untuk membunuh Ki Subangwara begitu saja,” jawab Purbajaya. Tokh ayahanda tetap tak bisa dibuktikan sebagai pengkhianat. Kalau benar ayahanda kena fitnah, kebenaran akan datang sendiri, yang bersalah akan kena hukumannya. Karena pada suatu saat saya musti berhadapan, maka itu sebagai prajurit Carbon yang membela negrinya dan bukan hanya karena urusan pribadi,” kata Purbajaya lagi.
“Bagus kalau begitu. Maka bunuhlah Kandagalante Subangwara karena dia adalah pentolan Pajajaran dan Pajajaran adalah musuh negaramu,” kata lagi Ki Jayasena tetap mendesak.
“Benar, dia musuh negri saya. Tapi musuh tak selamanya musti dibunuh.”
“Ah… kau ini!” Ki Jayasena kecewa melihat sikap Purbajaya. ”Mengapa kau bilang musuh tak perlu dibunuh?” tanyanya heran.
“Kalau ada cara lain dalam menundukkan musuh, mengapa pembunuhan musti dilakukan?” Purbajaya balik bertanya.
“Musuh yang dikalahkan tanpa dibunuh hanya akan menanamkan rasa kebencian dan balas dendam. Dan bibit-bibit seperti ini kalau dibiarkan berkembang, selanjutnya hanya akan merepotkan saja,” Ki Jayasena berkilah.
Purbajaya menghela napas mendengar pendapat Ki Jayasena yang keras ini. “Jangan artikan istilah musuh ini seperti yang kita kemukakan di saat hati kita dipengaruhi kemarahan dan kebencian. Seperti halnya kita memandang suatu penyakit di tubuh kita, kalau kita mau menghilangkan penyakit itu, bukannya dengan cara menghancurkan tubuh ini, melainkan berpikir bagaimana agar penyakit itu bisa diberantas akan tetapi tubuh kita tetap sehat tak kurang suatu apa. Kita pun suatu saat akan melihat orang lain berlaku jahat. Janganlah bunuh orang itu sebab kejahatan itu ada pada jalan pikirannya. Maka usahakanlah agar orang itu menghilangkan pikiran jahatnya. Kalau berhasil, kejahatan akan lenyap tanpa kita melakukan pembunuhan sesama manusia,” kata Purbajaya berpanjang-lebar.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment