Demi mendengar perkataan Purbajaya ini, Ki Jayasena nampak tersinggung.
“Kau anak muda bau kencur sudah berani mengguruiku sebagai orang tuamu, anak tolol!” kata Ki Jayasena ketus. ”Dari mana kau dapatkan jalan pikiran yang kacau-balau ini?” lanjutnya menahan kemarahan.
“Ampunkan saya, Paman…” jawab Purbajaya sabar. ”Saya dibesarkan di Carbon. Sudah barang tentu saya mendapatkan jalan pikiran ini dari Carbon. Begitulah kebiasaan berpikir orang-orang Carbon…” kata lagi Purbajaya.
“Tapi Raden Yudakara tidak berpikir ganjil seperti itu,” potong Ki Jayasena geram.
Purbajaya kembali hanya menghela napas panjang. Ada banyak perkataan dan pendapat untuk melawan omongan Ki Jayasena namun Purbajaya tidak mau melakukannya. Dia sadar kalau Ki Jayasena yang disebutkan orang sebagai pamannya sendiri ini sebenarnya sudah kena cekok jalan pikiran Raden Yudakara ketimbang apa yang sebenarnya dititahkan oleh penguasa Carbon.
“Harap kau camkan, engkau dibawa ke sini oleh Raden Yudakara karena akan diperbantukan ke padaku untuk melawan Ki Subangwara dan bukannya berkilah atau bahkan menolak apa yang diperintahkan olehku. Jangan pula kau kacaukan jalan pikiranku dengan paham-paham baru yang terasa ganjil dan kacau ini,” kata Ki Jayasena sebal.
“Akan saya pikirkan dalam-dalam, Paman…” jawab Purbajaya merendah. Dan setelah menyembah hormat, Purbajaya mohon diri untuk segera beristirahat.
Purbajaya tak berkata benar, sebab sebetulnya dia ingin melihat apa yang akan dilakukan kemudian oleh Ki Jayasena. Purbajaya merasa, barusan telah terjadi silang pendapat yang keras antara Ki Jayasena dan dirinya. Barangkali Ki Jayasena akan segera melaporkan kejadian ini kepada Raden Yudakara. Purbajaya tak perduli. Tokh selama ini Raden Yudakara telah tahu kalau Purbajaya selalu punya pendapat beda dengannya.
Namun demikian, Purbajaya pun sebenarnya ingin meneliti keberadaan Ki Jayasena secara utuh. Sejak berada di tempat ini hatinya bimbang sebab ada firasat mengatakan kalau Ki Jayasena perlu diragukan keberadaannya yang diakui orang lain sebagai pamannya itu. Ingat ini, maka dia pun segera berjingkat mengikuti ke mana Ki Jayasena berlalu.
Benar dugaannya, Ki Jayasena mencari-cari Raden Yudakara. Namun setelah yang dicari tak ketemu, dia segera mengunjungi rumah panggung yang biasa didiami Nyi Sumirah.
Ketika Ki Jayasena mengetuk-ngetuk daun pintu kamar putrinya, maka terdengar suara lelaki berdehem. Tak berapa lama kemudian, dari balik daun pintu nongol kepala Raden Yudakara dengan mimik wajah memberengut. Mungkin kesal karena merasa diganggu.
“Ada apa?”
“Ada yang perlu saya sampaikan, Raden…” jawab Ki Jayasena hormat sekali.
“Soal apa?”
“Soal Si Purbajaya, Raden…”
"Lagi-lagi anak itu. Sebentar, aku berpakaian dulu…” Raden Yudakara kembali menutupkan daun pintu.
Di dalam rumah terdengar rengekan manja dari suara wanita yang enggan ditinggal pergi. Dan Purbajaya hapal betul kalau itu suara Nyi Sumirah.
“Ah, perempuan tahu apa. Nanti aku balik lagi ke sini! Sampai pagi aku layani kau!” kata Raden Yudakara yang didengar jelas oleh Purbajaya yang sembunyi di rumpun pekarangan.
Raden Yudakara keluar lagi sudah berpakaian lengkap. “Kita bicara di bale gede saja…” kata Raden Yudakara masih terdengar bernada kesal karena diganggu.
Dua orang itu lantas pergi menuju bale gede yang terletak di tengah perkampungan. Terpaksa Purbajaya berindap-indap mengikuti mereka. Dua orang itu duduk bersila di ruangan bale gede. Saling berhadapan dan saling berbicara. Ki Jayasena “melaporkan” ikhwal Purbajaya kepada Raden Yudakara.
“Saya sulit mengendalikan anak itu, Raden…” kata Ki Jayasena bingung.
“Ah, dasar engkau dungu, Sena…” gumam Raden Yudakara.
“Dia terus membangkang kepada pendapat saya…” kata lagi Ki Jayasena kesal. ”Apa sebaiknya kita enyahkan saja si bedebah ini?” tanyanya gemas.
“Jangan.”
“Habis dia menolak terus keinginan saya.”
“Engkau kurang wibawa, tak bisa memperlihatkan kalau kau sebenarnya pamannya sendiri.”
“Bagaimana saya bisa pura-pura memperlihatkan kasih-sayang padanya, sementara saya amat benci pada ayahnya. Bahkan saya pula penyebab kematian ayahandanya…” ucapan Ki Jayasena amat mengejutkan Purbajaya yang lagi sembunyi mengintip pembicaraan mereka.
“Plak!”
Terdengar suara tamparan karena tangan kanan Raden Yudakara hinggap di pipi Ki Jayasena.
“Otakmu dungu, hanya berpikir melulu untuk kepentingan sendiri saja,” serapah Raden Yudakara. ”Kau bunuh Ki Sura Manggala dengan harapan kau gantikan kedudukannya. Tapi yang dipercaya oleh penguasa Pakuan malah Ki Subangwara bukannya kau. Kau benci Ki Subangwara, lantas kebencian ini mau kau timpakan kepada Purbajaya dan kau mau pinjam tangan anak muda itu untuk balaskan dendammu itu, begitu, kan?”
“Tapi itu pun keinginanmu juga, Raden…” jawab Ki Jayasena balik menuduh.
“Memang. Tapi aku tak berpikir tentang balas dendam. Dan yang tengah aku pikirkan pun tidak melulu perihal keinginan kecil sepertimu. Kandagalante, jabatan apa itu, tidak seujung kuku pun bila dibandingkan dengan cita-citaku. Dan kau yang hanya butuh sesuatu yang kecil-kecil saja, amat memualkan sebab telah menggangu rencana-rencana besarku,” kata Raden Yudakara memarahi habis-habisan Ki Jayasena.
“Jadi, musti bagaimana saya berbuat?”
“Musti bagaimana, musti bagaimana… Huh, dasar dungu!” omel Raden Yudakara. ”Apa yang anak muda itu katakan padamu?” ujarnya lagi.
“Purbajaya menolak membunuh Ki Subangwara,” jawab Ki Jayasena. ”Yang lebih menyebalkan dari itu, dia malah mendekati Nyimas Wulan putri Juragan Ilun Rosa,” sambung lagi Ki Jayasena dengan nada sebal.
“Siapa Ilun Rosa?”
“Dia kerabat dekat Kandagalante Subangwara, Raden…“
“Hm… Si Purbajaya bodoh dalam bercinta. Tapi biarkanlah dia bercinta dulu, sehingga pemuda dungu itu semakin dekat juga kepada Ki Subangwara. Dari sana kita akan tentukan kemudian,” guman Raden Yudakara dengan nada dingin.
“Ampunkan saya, Paman…” jawab Purbajaya sabar. ”Saya dibesarkan di Carbon. Sudah barang tentu saya mendapatkan jalan pikiran ini dari Carbon. Begitulah kebiasaan berpikir orang-orang Carbon…” kata lagi Purbajaya.
“Tapi Raden Yudakara tidak berpikir ganjil seperti itu,” potong Ki Jayasena geram.
Purbajaya kembali hanya menghela napas panjang. Ada banyak perkataan dan pendapat untuk melawan omongan Ki Jayasena namun Purbajaya tidak mau melakukannya. Dia sadar kalau Ki Jayasena yang disebutkan orang sebagai pamannya sendiri ini sebenarnya sudah kena cekok jalan pikiran Raden Yudakara ketimbang apa yang sebenarnya dititahkan oleh penguasa Carbon.
“Harap kau camkan, engkau dibawa ke sini oleh Raden Yudakara karena akan diperbantukan ke padaku untuk melawan Ki Subangwara dan bukannya berkilah atau bahkan menolak apa yang diperintahkan olehku. Jangan pula kau kacaukan jalan pikiranku dengan paham-paham baru yang terasa ganjil dan kacau ini,” kata Ki Jayasena sebal.
“Akan saya pikirkan dalam-dalam, Paman…” jawab Purbajaya merendah. Dan setelah menyembah hormat, Purbajaya mohon diri untuk segera beristirahat.
Purbajaya tak berkata benar, sebab sebetulnya dia ingin melihat apa yang akan dilakukan kemudian oleh Ki Jayasena. Purbajaya merasa, barusan telah terjadi silang pendapat yang keras antara Ki Jayasena dan dirinya. Barangkali Ki Jayasena akan segera melaporkan kejadian ini kepada Raden Yudakara. Purbajaya tak perduli. Tokh selama ini Raden Yudakara telah tahu kalau Purbajaya selalu punya pendapat beda dengannya.
Namun demikian, Purbajaya pun sebenarnya ingin meneliti keberadaan Ki Jayasena secara utuh. Sejak berada di tempat ini hatinya bimbang sebab ada firasat mengatakan kalau Ki Jayasena perlu diragukan keberadaannya yang diakui orang lain sebagai pamannya itu. Ingat ini, maka dia pun segera berjingkat mengikuti ke mana Ki Jayasena berlalu.
Benar dugaannya, Ki Jayasena mencari-cari Raden Yudakara. Namun setelah yang dicari tak ketemu, dia segera mengunjungi rumah panggung yang biasa didiami Nyi Sumirah.
Ketika Ki Jayasena mengetuk-ngetuk daun pintu kamar putrinya, maka terdengar suara lelaki berdehem. Tak berapa lama kemudian, dari balik daun pintu nongol kepala Raden Yudakara dengan mimik wajah memberengut. Mungkin kesal karena merasa diganggu.
“Ada apa?”
“Ada yang perlu saya sampaikan, Raden…” jawab Ki Jayasena hormat sekali.
“Soal apa?”
“Soal Si Purbajaya, Raden…”
"Lagi-lagi anak itu. Sebentar, aku berpakaian dulu…” Raden Yudakara kembali menutupkan daun pintu.
Di dalam rumah terdengar rengekan manja dari suara wanita yang enggan ditinggal pergi. Dan Purbajaya hapal betul kalau itu suara Nyi Sumirah.
“Ah, perempuan tahu apa. Nanti aku balik lagi ke sini! Sampai pagi aku layani kau!” kata Raden Yudakara yang didengar jelas oleh Purbajaya yang sembunyi di rumpun pekarangan.
Raden Yudakara keluar lagi sudah berpakaian lengkap. “Kita bicara di bale gede saja…” kata Raden Yudakara masih terdengar bernada kesal karena diganggu.
Dua orang itu lantas pergi menuju bale gede yang terletak di tengah perkampungan. Terpaksa Purbajaya berindap-indap mengikuti mereka. Dua orang itu duduk bersila di ruangan bale gede. Saling berhadapan dan saling berbicara. Ki Jayasena “melaporkan” ikhwal Purbajaya kepada Raden Yudakara.
“Saya sulit mengendalikan anak itu, Raden…” kata Ki Jayasena bingung.
“Ah, dasar engkau dungu, Sena…” gumam Raden Yudakara.
“Dia terus membangkang kepada pendapat saya…” kata lagi Ki Jayasena kesal. ”Apa sebaiknya kita enyahkan saja si bedebah ini?” tanyanya gemas.
“Jangan.”
“Habis dia menolak terus keinginan saya.”
“Engkau kurang wibawa, tak bisa memperlihatkan kalau kau sebenarnya pamannya sendiri.”
“Bagaimana saya bisa pura-pura memperlihatkan kasih-sayang padanya, sementara saya amat benci pada ayahnya. Bahkan saya pula penyebab kematian ayahandanya…” ucapan Ki Jayasena amat mengejutkan Purbajaya yang lagi sembunyi mengintip pembicaraan mereka.
“Plak!”
Terdengar suara tamparan karena tangan kanan Raden Yudakara hinggap di pipi Ki Jayasena.
“Otakmu dungu, hanya berpikir melulu untuk kepentingan sendiri saja,” serapah Raden Yudakara. ”Kau bunuh Ki Sura Manggala dengan harapan kau gantikan kedudukannya. Tapi yang dipercaya oleh penguasa Pakuan malah Ki Subangwara bukannya kau. Kau benci Ki Subangwara, lantas kebencian ini mau kau timpakan kepada Purbajaya dan kau mau pinjam tangan anak muda itu untuk balaskan dendammu itu, begitu, kan?”
“Tapi itu pun keinginanmu juga, Raden…” jawab Ki Jayasena balik menuduh.
“Memang. Tapi aku tak berpikir tentang balas dendam. Dan yang tengah aku pikirkan pun tidak melulu perihal keinginan kecil sepertimu. Kandagalante, jabatan apa itu, tidak seujung kuku pun bila dibandingkan dengan cita-citaku. Dan kau yang hanya butuh sesuatu yang kecil-kecil saja, amat memualkan sebab telah menggangu rencana-rencana besarku,” kata Raden Yudakara memarahi habis-habisan Ki Jayasena.
“Jadi, musti bagaimana saya berbuat?”
“Musti bagaimana, musti bagaimana… Huh, dasar dungu!” omel Raden Yudakara. ”Apa yang anak muda itu katakan padamu?” ujarnya lagi.
“Purbajaya menolak membunuh Ki Subangwara,” jawab Ki Jayasena. ”Yang lebih menyebalkan dari itu, dia malah mendekati Nyimas Wulan putri Juragan Ilun Rosa,” sambung lagi Ki Jayasena dengan nada sebal.
“Siapa Ilun Rosa?”
“Dia kerabat dekat Kandagalante Subangwara, Raden…“
“Hm… Si Purbajaya bodoh dalam bercinta. Tapi biarkanlah dia bercinta dulu, sehingga pemuda dungu itu semakin dekat juga kepada Ki Subangwara. Dari sana kita akan tentukan kemudian,” guman Raden Yudakara dengan nada dingin.
“Kalau itu keinginanmu, Raden….” suara Ki Jayasena terdengar lesu, sepertinya dia tak rela Purbajaya “diberi” kesempatan bercinta dengan Nyimas Wulan.
“Kau seperti kecewa mendengar anak gadis Ilun Rosa jatuh ke haribaan Si Purbajaya. Apakah kau pun berminat terhadap gadis molek itu?” tanya Raden Yudakara sinis.
Ki Jayasena tidak mengemukakan jawaban apa pun. Malah yang terdengar adalah kekeh Raden Yudakara.
“Dasar bandot…” ejek Raden Yudakara.
***
MALAM itu Purbajaya tidak bisa tidur. Percakapan Raden Yudakara dan Ki Jayasena membuat dirinya merasa sebal namun sekaligus juga telah memecahkan salah satu misteri di wilayah Tanjungpura ini. Benar, dia adalah putra dari penguasa Tanjungpura yang lama dan tewas dalam pertempuran melawan Carbon. Namun penyebab kematian ayahandanya tidak berdiri sendiri.
Ayahandanya tidak tewas semata oleh penyerangan namun juga oleh semacam reka perdaya orang atau kelompok yang tak menyukai keberadaan ayahandanya. Ayahanda Purbajaya adalah korban perebutan pengaruh dan kekuasaan di wilayah ini. Kalau mendengar obrolan mereka, Purbajaya bisa memastikan bahwa Ki Jayasena punya peranan kuat dalam kematian ayahandanya.
Kalau saja Purbajaya tak bertahan dengan pendapatnya, kalau saja dia tak dengar percakapan mereka, niscaya dia akan terlibat ke dalam kancah permasalahan dan kepentingan orang lain namun diatas-namakan sebagai masalah dirinya. Sungguh keji Ki Jayasena.
Dia melakukan kejahatan dengan menipu orang lain. Pertama dia menipu Purbajaya seolah-olah dia adalah satu-satunya kerabatnya dan penipuan yang kedua, mengipasi kebencian sehingga seolah-olah Ki Subangwara merupakan pelaku dan penyebab utama kematian ayahandanya. Amat beruntung Purbajaya mendengar percakapan mereka sebab kalau tak begitu, maka dia akan terjerumus ke jurang kejahatan pula dengan mengobarkan dendam membunuh Ki Subangwara seperti apa yang dikehendaki Ki Jayasena.
Ya, Purbajaya paham dengan tujuan Ki Jayasena ini. Namun Purbajaya belum bisa menguak teka-teki mengenai siasat yang tercetus dari benak Raden Yudakara. Katanya dia sengaja akan membiarkan Purbajaya bercinta dengan putri Juragan Ilun Rosa agar semakin mendekati Ki Subangwara. Kalau benar Purbajaya akhirnya bisa dekat dengan penguasa Tanjungpura ini, apa pula yang hendak dikerjakan pemuda aneh dan berbahaya ini?
Purbajaya belum bisa menebak siasat yang tengah dibangun Raden Yudakara. Namun yang sudah bisa dia tebak, apa pun yang tengah mereka rancang, tujuannya tetap akan berbuat kejahatan dengan memanfaatkan dirinya. Untuk itu, di samping dia harus tetap menyelidiki, Purbajaya pun harus semakin hati-hati berhadapan dengan mereka ini.
Tapi masalah dan berbagai godaan terus datang silih berganti. Purbajaya sudah memutuskan di dalam hatinya untuk tidak melibatkan perasaan cinta. Sudah dia putuskan untuk tidak melayani perilaku panas yang dilakukan Nyimas Wulan. Di samping sebenarnya dia tak memiliki perasaan apa-apa kepada gadis itu, dia pun tak mau hubungan dirinya dengan Nyimas Wulan dimanfaatkan orang untuk kepentingan hal-hal yang membahayakan.
Terus-terang, dia memuji, betapa gadis Tanjungpura ini elok-elok. Tapi udara panas wilayah pesisir yang setiap saat menerpa, telah membuat kaum wanita di wilayah ini berperilaku panas pula. Gadis-gadis di sini mudah bergelora. Mudah diganggu dan juga mudah mengganggu. Mereka pemberani kalau tak disebut sebagai tak tahu malu.
Lihat saja Nyi Sumirah, dengan tak canggung pernah berkata bersedia bercinta dengan Purbajaya kalau saja tak terikat sebagai “saudara”. Belakangan Nyi Sumirah kecewa karena pertalian saudara ini dan dengan mudahnya memindahkan perasaan cintanya kepada Raden Yudakara.
Yang tak kurang menyebalkan adalah sikap kaum lelakinya. Betapa Ki Jayasena si bandot tua ini gemar gonta-ganti perempuan. Berapakali dia menikah bukan hitungan sebab perempuan yang tak dia nikahi namun diperlakukan sebagai istrinya jumlahnya sudah tak terhitung lagi. Sebalnya, bandot ini pun sepertinya tak mau kenyang.
Buktinya, hari-hari ini dia tengah mabuk kepayang karena seleranya lagi mengarah kepada Nyimas Wulan. Sekurang-kurangnya itu yang dituduhkan Raden Yudakara malam itu. Tuduhan ini mungkin benar sebab dua orang itu perilakunya setali tiga uang. Kedua-duanya sama-sama doyan perempuan. Yang sama-sama doyan perempuan akan mudah saling tebak kalau sesamanya sedang jatuh cinta.
Tapi, bagaimana pula dengan perilaku Nyimas Wulan anak keluarga kerabat bangsawan Tanjungpura ini? Samakah dia dengan gadis-gadis lainnya, yaitu mudah terperangkap gelora cinta?
Purbajaya memang ada sedikit bangga sebab malam itu Nyimas Wulan menjauhkan diri dari arena bale-gede di mana yang sibuk berpesta-pora. Apalagi Nyimas Wulan berkata, meninggalkan tempat itu karena tak mau diganggu dan dirayu Raden Yudakara. Purbajaya bangga sebab gadis itu mengaku terus-terang kalau dirinya hanya mau menerima Purbajaya saja. Siapa takkan bangga mendapat kenyataan seperti ini.
Namun demikian, pemuda ini tetap saja mencurigai kalau Nyimas Wulan pun mudah berperilaku “panas” pula, sama seperti yang lainnya. Masa baru bertemu sekali saja, gadis itu sudah tak canggung-canggung mengecup dirinya. Tentu saja, lelaki mana yang tak senang dikecup seorang gadis. Tapi kalau dipikir-pikir, bisa saja “kecup-mengecup” telah “biasa” dilakukan gadis itu. Dan kalau ingat ini, Purbajaya jadi mengeluh. Susah memang mendapatkan cinta sejati kalau yang dimaksud cinta hanya berbicara perihal berahi saja.
“Aku perlu hati-hati… perlu hati-hati,” bisiknya di dalam hatinya.
Namun kenyataan yang terjadi tak demikian. Ketika berjauhan, Purbajaya boleh berjanji akan mengekang diri. Di saat terjadi lagi pertemuan rahasia, cinta berahi tak bisa dibendung. Di saat itu pula cinta berahi bergalau ramai. Segalanya serba panas. Udara Tanjungpura juga berahi gadis-gadisnya. Dan Purbajaya tak bisa menolaknya. Ketaatan kepada agama hampir tersisihkan karena tak pernah ada yang mengingatkan. Di lingkungan tempatnya kini, jarang-jarang melihat orang melakukan shalat menghadap Tuhan.
Yang membuat Purbajaya mau melayani rayuan gadis ini, karena Nyimas Wulan mengaku hanya mencintai Purbajaya satu-satunya dan mengaku hanya ingin punya teman hidup Purbajaya satu-satunya.
Purbajaya menghargai gadis itu karena Nyimas Wulan punya harapan. Sementara itu, dirinya menghargai harapan orang lain dan tidak mau melihat harapan itu terputus di tengah jalan. Purbajaya harus melindungi harapan Nyimas Wulan dan jangan sampai harapan gadis itu hancur-luluh oleh lelaki tak bertanggung-jawab. Namun ketika gadis itu bicara perkawinan, Purbajaya menolak dan minta waktu.
“Belum saatnya, belum saatnya, Nyimas…” kata Purbajaya berbisik.
“Mengapa?” tanya gadis itu lirih dan manja sambil berteduh di dada Purbajaya yang bidang.
Ya, mengapa? Purbajaya tak bisa menjawab dengan tegas. Banyak pertimbangan yang dia pikirkan. Menikahi gadis ini memang sudah jadi kewajibannya. Namun dia teringat lagi akan ucapan Raden Yudakara yang katanya akan sengaja membiarkan dia bercinta dan semakin mendekatkan diri kepada Nyimas Wulan agar kelak bisa dekat kepada penguasa Tanjungpura.
Ini yang mengkhawatirkannya. Dia takut, perilaku dalam mengencani gadis itu dijadikan oleh Raden Yudakara sebagai upaya dalam melaksanakan rencana-rencana jahatnya.
Itulah sebabnya, kendati dengan Nyimas Wulan tetap dekat, tapi sejauh ini Purbajaya tidak pernah mencoba mendekatkan diri kepada kerabat gadis itu. Bahkan kepada kedua orangtuanya, Purbajaya pun tak mau mengenalkan diri. Setiap kali melakukan pertemuan, selalu main sembunyi.
Purbajaya bukannya pengecut. Melainkan tak mau keluarga gadis itu jadi korban kejahatan Raden Yudakara dan Ki Jayasena. Kalau pun suatu saat dia bertemu dengan keluarga Nyimas Wulan, itu karena Purbajaya sudah siap untuk meminang. Dan pinangan ini bisa dilakukan bila semuanya sudah aman dari ancaman kejahatan Raden Yudakara.
Itulah sebabnya, Purbajaya tak bisa menjawab pertanyaan dan keinginan Nyimas Wulan. Dia tak bisa kemukakan alasan seperti ini. Kejahatan Ki Jayasena dan Raden Yudakara susah dibuktikan dan Purbajaya tak bisa bicara sembarangan. Purbajaya hanya berjanji kalau dirinya bersedia menikahi gadis itu. Dia sanggup sehidup semati dengan Nyimas Wulan.
“Namun kita tak melakukannya secara tergesa-gesa. Perkawinan harus dilakukan dengan persiapan yang matang,” tutur Purbajaya.
Janji ini diucapkan serius kendati hati kecilnya berkata kalau sebetulnya dia tak mencintai gadis ini. Tapi, mengapa pula hidup bersama harus selalu didasarkan pada cinta-kasih semata? Tidak selalu. Rasa iba dan kasihan bahkan rasa tanggung jawab, bisa mengalahkan sebuah perasaan bernama cinta.
Hatinya berkata kalau cinta-kasihnya sebenarnya telah direbut oleh Nyimas Waningyun, wanita pertama yang dia temukan. Namun demikian, sejak saat itu pun dia sudah menyadarinya kalau dirinya tak mungkin bersatu dengan gadis bangsawan Nagri Carbon itu. Nyimas Yuning Purnama yang malah sudah bersedia dinikahi, dia buyarkan sebab Purbajaya tahu kalau gadis itu tidak mencintainya, melainkan hanya mau mentaati keinginan orang tua semata.
Dan kini Purbajaya tidak mencintai Nyimas Wulan namun bersedia mengawini gadis itu. Sungguh aneh memang. Bersedia menikahi padahal tidak merasa mencintai. Namun Purbajaya tetap bertekad dalam hatinya. Dia harus mengawini gadis itu. Dia harus menolong kehidupan gadis itu. Lingkungan di mana Nyimas Wulan berada tidak mendukung agar gadis itu mempertahankan keberadaan dirinya sebagai gadis terhormat. Godaan dan cobaan akan membuat gadis itu mudah terjerumus ke jurang penderitaan dan kehinaan.
Kehidupan di Tanjungpura sepertinya demikian “bebas”. Kaum lelaki dengan amat mudahnya mencumbu dan mengawini kaum perempuan untuk kemudian dicampakkan begitu saja untuk kembali merayu yang lainnya. Nyimas Wulan begitu bertemu Purbajaya, langsung akrab langsung mesra. Melihat kenyataan ini, hati Purbajaya merasa terenyuh. Dia akan bersedih kalau gadis secantik dia, sejujur dia dan begitu mudah mempercayai lelaki, akan dipermainkan lelaki yang tak bertanggung-jawab.
Itulah sebabnya, dia akan berusaha melindungi gadis itu. Akan dia selamatkan gadis itu melalui sebuah perkawinan yang syah dan murni. Lain daripada itu, Purbajaya pun akan bertanggung-jawab. Nyimas Wulan yang ramah dan menyinta serta mudah percaya pada lelaki dan begitu relanya menyerahkan cintanya kepadanya, akan disambut oleh Purbajaya dengan sebuah perasaan tanggung-jawab. Ya, dia harus menikahi gadis itu!
HINGGA sampai pada suatu saat, cinta dan cumbu Nyimas Wulan tak bisa dibendung lagi oleh pertahanan iman Purbajaya. Ketika itu panen padi telah usai dengan hasil cukup melimpah. Untuk menghormati Dewi Sri sebagai dewi pemberi padi-padian menurut kepercayaan karuhun (nenek-moyang) orang Pajajaran, maka di Tanjungpura diadakan upacara ngidepkeun . Itu adalah suatu upacara tradisi menyimpan padi di leuit (lumbung) sesudah dikurangi untuk membayar seba (pajak), membayar para pekerja di huma dan sesudah disisihkan sebagian untuk bibit.
Ngidepkeun atau upacara menyimpan padi di lumbung akan dilalui pula dengan berbagai keramaian. Berbagai kesenian rakyat seperti pantun, wawayangan, ngekngek atau jentreng sama diadakan dengan meriah.
Upacara menyimpan padi ini diadakan di beberapa tempat, terutama di perkampungan besar yang banyak terdiri dari tuan tanah. Juragan Ilun Rosa dan Ki Jayasena adalah dua orang tuan tanah yang banyak memiliki kekayaan huma bahkan ranca (rawa) yang di saat kemarau bisa ditanami padi dan di musim hujan diambil ikannya.
Di dua perkampungan di mana kedua orang tuan tanah itu tinggal, suka diadakan pesta ngidepkeun secara besar-besaran. Keduanya seperti bersaing mengadakan pesta hajatan. Kalau yang satu mengundang juru pantun terbaik, maka yang satunya lagi sama mencari juru pantun terbaik. Kalau salah satu di antara mereka mengundang panembang dan penari ngekngek yang muda dan cantik-cantik, maka yang satunya pun melakukan hal yang sama pula. Dua-duanya sepertinya tak mau kalah dari lainnya.
Malam itu kampung terang benderang karena cahaya oncor (obor) yang dipasang di mana-mana. Bahkan damar-sewu (pelita berjajar seribu) sama meramaikan malam indah itu. Baik Juragan Ilun Rosa mau pun Ki Jayasena sama-sama bersaing membuat kampung masing-masing menjadi terang-benderang.
Malam itu di kediaman Juragan Ilun Rosa diadakan kesenian jentreng dan pantun, sementara di kediaman Ki Jayasena, selain jentreng yang sudah baku, juga ditampilkan pertunjukan wawayangan. Seni pantun yang dipanggungkan di kediaman Juragan Ilun Rosa menampilkan ceritera Pua-pua Bermana Sakti, sementara di kediaman Ki Jayasena, pertunjukan wawayangan menampilkan ceritera mengenai Pendawa Lilima yang menjemput Dewi Sri (Mapag Dewi Sri) yang tengah berada di sorga maniloka agar sudi turun ke buana panca tengah untuk mensejahterakan umat manusia dengan menebar padi-padian.
Dewi Sri demikian lekat di hati masyarakat Pajajaran. Seolah benar, pemberi hidup di muka bumi ini adalah seorang dewi dari kayangan. Dalam upacara ngidepkeun ada cara Mapag Dewi Sri. Lagu Pamegat yanag dilantunkan oleh rombongan kesenian jentreng adalah sebuah lagu untuk mengundang Dewi Sri hadir di tempat itu. Setelah itu, disusul lagi Panimang, yaitu menurunkan seikat padi sebagai lambang turunnya Dewi Sri dari kayangan. Padi yang diturunkan, dijemput oleh wali-puun (sesepuh) sambil membawa pakaian wanita dan kemudian dikenakan kepada ikatan padi sambil diiringi oleh lagu Pamapag (penjemput Dewi Sri).
Di belakangnya satu barisan wanita berpakaian indah-indah melakukan tarian sambil di tangannya membawa mangkuk-mangkuk yang berisi bunga-bungaan, minyak kelapa, pohon hanjuang, beras dan tektek (lipatan daun sirih). Ikatan padi yang dijemput itu ditaburi beras dan bunga-bungaan sebagai penghormatan kepada ”Dewi Sri” yang telah berkenan “hadir”.
Setelah upacara netepkeun , yaitu menyimpan padi di lumbung, maka berlangsunglah acara hiburan. Kaum lelaki memakai bendo, berpakaian bedahan lima dan berkain batik dengan keris bersampur (diikat selendang sutra) di pinggang, menari bersama kaum wanita yang berpakaian indah dan berparas elok-elok. Sementara yang muda-muda, terutama para gadis, saling berebutan untuk mendapatkan bekas sesaji, bahkan butir-butir kemenyan untuk banyak keperluan, seperti ingin awet muda, ingin cantik atau karena ingin segera mendapatkan jodoh.
Dan ketika melihat pertunjukan ini, Purbajaya jadi ingat Nyimas Wulan. Purbajaya berada di tempat pesta keluarga Ki Jayasena, sementara Nyimas Wulan berada jauh di sebelah selatan di kediaman Juragan Ilun Rosa, ayahandanya. Apakah gadis itu pun tengah mengingat dirinya pula? Maka ketika muda-mudi lain larut dalam kegembiraan, Purbajaya malah menyelinap pergi untuk pergi menuju kediaman Juragan Ilun Rosa.
Ya, sejauh ini Purbajaya masih tetap mengaku tidak mencintai gadis itu namun bukan berarti tidak menyayanginya. Kini Purbajaya telah menyayangi gadis itu setelah Purbajaya merasa banyak menerima kebaikan cinta yang diberikan gadis itu. Dan manakala melhat muda-mudi bersuka-ria, Purbajaya tak bisa menahan kerinduan untuk menemui Nyimas Wulan. Itulah sebabnya dia menyelinap pergi untuk menemui gadis itu.
Rumah kediaman Juragan Ilun Rosa tidak begitu jauh. Letaknya agak ke sebelah selatan dari kediaman Ki Jayasena. Kedua orang itu termasuk keluarga santana (masyarakat pertengahan), Juragan Ilun Rosa malah disebut-sebut sebagai keluarga bangsawan karena kekerabatan yang dekat kepada Kandagalante Subangwara.
Namun baik Juragan Ilun Rosa mau pun Ki Jayasena, sama-sama sebagai orang kaya yang banyak memiliki tanah pertanian yang luas. Huma dan palawija di sekitar wilayah Tanjungpura boleh dikata mereka yang punya. Baik Juragan Ilun Rosa mau pun Ki Jayasena sama-sama memiliki usaha perikanan payau dan usaha perairan di sepanjang sungai Citarum. Keduanya dikenal oleh masyarakat Tanjungpura sebagai orang-orang kaya tapi keduanya tak pernah saling bersatu. Mereka memang tak bermusuhan namun juga tidak bersahabat. Dan keduanya selalu menjaga jarak untuk tidak saling berhubungan.
Mudah diduga bila hal ini terjadi sebab Ki Jayasena punya kebencian kepada Kandagalante Subangwara, sementara Juragan Ilun Rosa adalah kerabat dekatnya. Namun dasar bandot, kendati kepada bapaknya benci, kepada putrinya, Nyimas Wulan, Ki jayasena malah cinta setengah mati.
Tempo hari Purbajaya ditegur karena diketahui berdekatan dengan gadis itu. Teguran Ki Jayasena diartikan Purbajaya sebagai memiliki tujuan ganda. Ki Jayasena melarang Purbajaya mendekati Nyimas Wulan karena gadis itu kerabat musuh besarnya. Namun juga Ki Jayasena melarang dia mencintai gadis itu karena dia yang ingin mengambil bunga mekar itu.
Purbajaya sebal dengan kejadian ini. Cintanya tak pernah mulus karena selalu dihadang pihak-pihak lain yang juga amat berkepentingan dengan urusan ini. Tak dinyana, pesaingnya kini adalah bandot tua. Mengaku “paman”nya lagi!
Namun kali ini, rasanya dia tak perlu mengalah. Kepada Raden Ranggasena dari Carbon atau pun kepada Aditia dari Sumedanglarang, dia mau mengalah sebab ingin beri kesempatan kepada sesama kaum muda. Tapi kepada Ki Jayasena lain lagi. Orang tua bangkotan itu sudah terbiasa kawin-cerai dan kepada gadis-gadis muda begitu lahapnya bagaikan kambing melahap daun muda. Jangan hanya karena gemar mengalah dalam urusan cinta, maka kali ini Purbajaya pun musti mengalah pula kepada bandot tua. Tidak, dia tak terima itu. Maka keputusan batinnya ini telah dijadikannya sebagai pemicu semangat dalam mendapatkan kasih Nyimas Wulan.
Jalan berbatu dan terkadang bercampur debu tanah merah tak menjadikannya sebagai halangan ketika Purbajaya berjalan di malam gelap. Yang penting, dia bisa menemui gadis itu. Ketika dia tengah berjalan cepat, di depannya ada gelebur cahaya obor. Siapakah malam-malam berjalan sendirian berbekal obor? Purbajaya menyipitkan matanya karena ingin melihat jelas.
“Wulan!” teriak Purbajaya gembira. Dadanya berdebar.
Gadis pembawa obor itu sejenak berhenti karena kaget ditegur orang. Dia menyipitkan mata karena silau oleh cahaya obor. Setelah yakin yang memanggilnya adalah Purbajaya, Nyimas Wulan serta-merta melemparkan batang obor dan dia segera manghambur ke arah di mana Purbajaya berada. Purbajaya pun sama berlari mendekat. Hingga sampai suatu saat keduanya saling bertubrukan disertai peluk-cium.
“Nyimas…“
“Purba…“
Diam sejenak kecuali napas-napas dengan dengus keras karena hentakan-hentakan berahi yang tak tertahankan.
“Nyimas, mengapa kau kemari?”
“Engkau pun mengapa kemari, Purba…?”
“Karena ingin bertemu denganmu…“
“Itu pula yang aku inginkan, Purba…”
“Oh, Nyimas…“
“Purba…“
“Kau seperti kecewa mendengar anak gadis Ilun Rosa jatuh ke haribaan Si Purbajaya. Apakah kau pun berminat terhadap gadis molek itu?” tanya Raden Yudakara sinis.
Ki Jayasena tidak mengemukakan jawaban apa pun. Malah yang terdengar adalah kekeh Raden Yudakara.
“Dasar bandot…” ejek Raden Yudakara.
***
MALAM itu Purbajaya tidak bisa tidur. Percakapan Raden Yudakara dan Ki Jayasena membuat dirinya merasa sebal namun sekaligus juga telah memecahkan salah satu misteri di wilayah Tanjungpura ini. Benar, dia adalah putra dari penguasa Tanjungpura yang lama dan tewas dalam pertempuran melawan Carbon. Namun penyebab kematian ayahandanya tidak berdiri sendiri.
Ayahandanya tidak tewas semata oleh penyerangan namun juga oleh semacam reka perdaya orang atau kelompok yang tak menyukai keberadaan ayahandanya. Ayahanda Purbajaya adalah korban perebutan pengaruh dan kekuasaan di wilayah ini. Kalau mendengar obrolan mereka, Purbajaya bisa memastikan bahwa Ki Jayasena punya peranan kuat dalam kematian ayahandanya.
Kalau saja Purbajaya tak bertahan dengan pendapatnya, kalau saja dia tak dengar percakapan mereka, niscaya dia akan terlibat ke dalam kancah permasalahan dan kepentingan orang lain namun diatas-namakan sebagai masalah dirinya. Sungguh keji Ki Jayasena.
Dia melakukan kejahatan dengan menipu orang lain. Pertama dia menipu Purbajaya seolah-olah dia adalah satu-satunya kerabatnya dan penipuan yang kedua, mengipasi kebencian sehingga seolah-olah Ki Subangwara merupakan pelaku dan penyebab utama kematian ayahandanya. Amat beruntung Purbajaya mendengar percakapan mereka sebab kalau tak begitu, maka dia akan terjerumus ke jurang kejahatan pula dengan mengobarkan dendam membunuh Ki Subangwara seperti apa yang dikehendaki Ki Jayasena.
Ya, Purbajaya paham dengan tujuan Ki Jayasena ini. Namun Purbajaya belum bisa menguak teka-teki mengenai siasat yang tercetus dari benak Raden Yudakara. Katanya dia sengaja akan membiarkan Purbajaya bercinta dengan putri Juragan Ilun Rosa agar semakin mendekati Ki Subangwara. Kalau benar Purbajaya akhirnya bisa dekat dengan penguasa Tanjungpura ini, apa pula yang hendak dikerjakan pemuda aneh dan berbahaya ini?
Purbajaya belum bisa menebak siasat yang tengah dibangun Raden Yudakara. Namun yang sudah bisa dia tebak, apa pun yang tengah mereka rancang, tujuannya tetap akan berbuat kejahatan dengan memanfaatkan dirinya. Untuk itu, di samping dia harus tetap menyelidiki, Purbajaya pun harus semakin hati-hati berhadapan dengan mereka ini.
Tapi masalah dan berbagai godaan terus datang silih berganti. Purbajaya sudah memutuskan di dalam hatinya untuk tidak melibatkan perasaan cinta. Sudah dia putuskan untuk tidak melayani perilaku panas yang dilakukan Nyimas Wulan. Di samping sebenarnya dia tak memiliki perasaan apa-apa kepada gadis itu, dia pun tak mau hubungan dirinya dengan Nyimas Wulan dimanfaatkan orang untuk kepentingan hal-hal yang membahayakan.
Terus-terang, dia memuji, betapa gadis Tanjungpura ini elok-elok. Tapi udara panas wilayah pesisir yang setiap saat menerpa, telah membuat kaum wanita di wilayah ini berperilaku panas pula. Gadis-gadis di sini mudah bergelora. Mudah diganggu dan juga mudah mengganggu. Mereka pemberani kalau tak disebut sebagai tak tahu malu.
Lihat saja Nyi Sumirah, dengan tak canggung pernah berkata bersedia bercinta dengan Purbajaya kalau saja tak terikat sebagai “saudara”. Belakangan Nyi Sumirah kecewa karena pertalian saudara ini dan dengan mudahnya memindahkan perasaan cintanya kepada Raden Yudakara.
Yang tak kurang menyebalkan adalah sikap kaum lelakinya. Betapa Ki Jayasena si bandot tua ini gemar gonta-ganti perempuan. Berapakali dia menikah bukan hitungan sebab perempuan yang tak dia nikahi namun diperlakukan sebagai istrinya jumlahnya sudah tak terhitung lagi. Sebalnya, bandot ini pun sepertinya tak mau kenyang.
Buktinya, hari-hari ini dia tengah mabuk kepayang karena seleranya lagi mengarah kepada Nyimas Wulan. Sekurang-kurangnya itu yang dituduhkan Raden Yudakara malam itu. Tuduhan ini mungkin benar sebab dua orang itu perilakunya setali tiga uang. Kedua-duanya sama-sama doyan perempuan. Yang sama-sama doyan perempuan akan mudah saling tebak kalau sesamanya sedang jatuh cinta.
Tapi, bagaimana pula dengan perilaku Nyimas Wulan anak keluarga kerabat bangsawan Tanjungpura ini? Samakah dia dengan gadis-gadis lainnya, yaitu mudah terperangkap gelora cinta?
Purbajaya memang ada sedikit bangga sebab malam itu Nyimas Wulan menjauhkan diri dari arena bale-gede di mana yang sibuk berpesta-pora. Apalagi Nyimas Wulan berkata, meninggalkan tempat itu karena tak mau diganggu dan dirayu Raden Yudakara. Purbajaya bangga sebab gadis itu mengaku terus-terang kalau dirinya hanya mau menerima Purbajaya saja. Siapa takkan bangga mendapat kenyataan seperti ini.
Namun demikian, pemuda ini tetap saja mencurigai kalau Nyimas Wulan pun mudah berperilaku “panas” pula, sama seperti yang lainnya. Masa baru bertemu sekali saja, gadis itu sudah tak canggung-canggung mengecup dirinya. Tentu saja, lelaki mana yang tak senang dikecup seorang gadis. Tapi kalau dipikir-pikir, bisa saja “kecup-mengecup” telah “biasa” dilakukan gadis itu. Dan kalau ingat ini, Purbajaya jadi mengeluh. Susah memang mendapatkan cinta sejati kalau yang dimaksud cinta hanya berbicara perihal berahi saja.
“Aku perlu hati-hati… perlu hati-hati,” bisiknya di dalam hatinya.
Namun kenyataan yang terjadi tak demikian. Ketika berjauhan, Purbajaya boleh berjanji akan mengekang diri. Di saat terjadi lagi pertemuan rahasia, cinta berahi tak bisa dibendung. Di saat itu pula cinta berahi bergalau ramai. Segalanya serba panas. Udara Tanjungpura juga berahi gadis-gadisnya. Dan Purbajaya tak bisa menolaknya. Ketaatan kepada agama hampir tersisihkan karena tak pernah ada yang mengingatkan. Di lingkungan tempatnya kini, jarang-jarang melihat orang melakukan shalat menghadap Tuhan.
Yang membuat Purbajaya mau melayani rayuan gadis ini, karena Nyimas Wulan mengaku hanya mencintai Purbajaya satu-satunya dan mengaku hanya ingin punya teman hidup Purbajaya satu-satunya.
Purbajaya menghargai gadis itu karena Nyimas Wulan punya harapan. Sementara itu, dirinya menghargai harapan orang lain dan tidak mau melihat harapan itu terputus di tengah jalan. Purbajaya harus melindungi harapan Nyimas Wulan dan jangan sampai harapan gadis itu hancur-luluh oleh lelaki tak bertanggung-jawab. Namun ketika gadis itu bicara perkawinan, Purbajaya menolak dan minta waktu.
“Belum saatnya, belum saatnya, Nyimas…” kata Purbajaya berbisik.
“Mengapa?” tanya gadis itu lirih dan manja sambil berteduh di dada Purbajaya yang bidang.
Ya, mengapa? Purbajaya tak bisa menjawab dengan tegas. Banyak pertimbangan yang dia pikirkan. Menikahi gadis ini memang sudah jadi kewajibannya. Namun dia teringat lagi akan ucapan Raden Yudakara yang katanya akan sengaja membiarkan dia bercinta dan semakin mendekatkan diri kepada Nyimas Wulan agar kelak bisa dekat kepada penguasa Tanjungpura.
Ini yang mengkhawatirkannya. Dia takut, perilaku dalam mengencani gadis itu dijadikan oleh Raden Yudakara sebagai upaya dalam melaksanakan rencana-rencana jahatnya.
Itulah sebabnya, kendati dengan Nyimas Wulan tetap dekat, tapi sejauh ini Purbajaya tidak pernah mencoba mendekatkan diri kepada kerabat gadis itu. Bahkan kepada kedua orangtuanya, Purbajaya pun tak mau mengenalkan diri. Setiap kali melakukan pertemuan, selalu main sembunyi.
Purbajaya bukannya pengecut. Melainkan tak mau keluarga gadis itu jadi korban kejahatan Raden Yudakara dan Ki Jayasena. Kalau pun suatu saat dia bertemu dengan keluarga Nyimas Wulan, itu karena Purbajaya sudah siap untuk meminang. Dan pinangan ini bisa dilakukan bila semuanya sudah aman dari ancaman kejahatan Raden Yudakara.
Itulah sebabnya, Purbajaya tak bisa menjawab pertanyaan dan keinginan Nyimas Wulan. Dia tak bisa kemukakan alasan seperti ini. Kejahatan Ki Jayasena dan Raden Yudakara susah dibuktikan dan Purbajaya tak bisa bicara sembarangan. Purbajaya hanya berjanji kalau dirinya bersedia menikahi gadis itu. Dia sanggup sehidup semati dengan Nyimas Wulan.
“Namun kita tak melakukannya secara tergesa-gesa. Perkawinan harus dilakukan dengan persiapan yang matang,” tutur Purbajaya.
Janji ini diucapkan serius kendati hati kecilnya berkata kalau sebetulnya dia tak mencintai gadis ini. Tapi, mengapa pula hidup bersama harus selalu didasarkan pada cinta-kasih semata? Tidak selalu. Rasa iba dan kasihan bahkan rasa tanggung jawab, bisa mengalahkan sebuah perasaan bernama cinta.
Hatinya berkata kalau cinta-kasihnya sebenarnya telah direbut oleh Nyimas Waningyun, wanita pertama yang dia temukan. Namun demikian, sejak saat itu pun dia sudah menyadarinya kalau dirinya tak mungkin bersatu dengan gadis bangsawan Nagri Carbon itu. Nyimas Yuning Purnama yang malah sudah bersedia dinikahi, dia buyarkan sebab Purbajaya tahu kalau gadis itu tidak mencintainya, melainkan hanya mau mentaati keinginan orang tua semata.
Dan kini Purbajaya tidak mencintai Nyimas Wulan namun bersedia mengawini gadis itu. Sungguh aneh memang. Bersedia menikahi padahal tidak merasa mencintai. Namun Purbajaya tetap bertekad dalam hatinya. Dia harus mengawini gadis itu. Dia harus menolong kehidupan gadis itu. Lingkungan di mana Nyimas Wulan berada tidak mendukung agar gadis itu mempertahankan keberadaan dirinya sebagai gadis terhormat. Godaan dan cobaan akan membuat gadis itu mudah terjerumus ke jurang penderitaan dan kehinaan.
Kehidupan di Tanjungpura sepertinya demikian “bebas”. Kaum lelaki dengan amat mudahnya mencumbu dan mengawini kaum perempuan untuk kemudian dicampakkan begitu saja untuk kembali merayu yang lainnya. Nyimas Wulan begitu bertemu Purbajaya, langsung akrab langsung mesra. Melihat kenyataan ini, hati Purbajaya merasa terenyuh. Dia akan bersedih kalau gadis secantik dia, sejujur dia dan begitu mudah mempercayai lelaki, akan dipermainkan lelaki yang tak bertanggung-jawab.
Itulah sebabnya, dia akan berusaha melindungi gadis itu. Akan dia selamatkan gadis itu melalui sebuah perkawinan yang syah dan murni. Lain daripada itu, Purbajaya pun akan bertanggung-jawab. Nyimas Wulan yang ramah dan menyinta serta mudah percaya pada lelaki dan begitu relanya menyerahkan cintanya kepadanya, akan disambut oleh Purbajaya dengan sebuah perasaan tanggung-jawab. Ya, dia harus menikahi gadis itu!
HINGGA sampai pada suatu saat, cinta dan cumbu Nyimas Wulan tak bisa dibendung lagi oleh pertahanan iman Purbajaya. Ketika itu panen padi telah usai dengan hasil cukup melimpah. Untuk menghormati Dewi Sri sebagai dewi pemberi padi-padian menurut kepercayaan karuhun (nenek-moyang) orang Pajajaran, maka di Tanjungpura diadakan upacara ngidepkeun . Itu adalah suatu upacara tradisi menyimpan padi di leuit (lumbung) sesudah dikurangi untuk membayar seba (pajak), membayar para pekerja di huma dan sesudah disisihkan sebagian untuk bibit.
Ngidepkeun atau upacara menyimpan padi di lumbung akan dilalui pula dengan berbagai keramaian. Berbagai kesenian rakyat seperti pantun, wawayangan, ngekngek atau jentreng sama diadakan dengan meriah.
Upacara menyimpan padi ini diadakan di beberapa tempat, terutama di perkampungan besar yang banyak terdiri dari tuan tanah. Juragan Ilun Rosa dan Ki Jayasena adalah dua orang tuan tanah yang banyak memiliki kekayaan huma bahkan ranca (rawa) yang di saat kemarau bisa ditanami padi dan di musim hujan diambil ikannya.
Di dua perkampungan di mana kedua orang tuan tanah itu tinggal, suka diadakan pesta ngidepkeun secara besar-besaran. Keduanya seperti bersaing mengadakan pesta hajatan. Kalau yang satu mengundang juru pantun terbaik, maka yang satunya lagi sama mencari juru pantun terbaik. Kalau salah satu di antara mereka mengundang panembang dan penari ngekngek yang muda dan cantik-cantik, maka yang satunya pun melakukan hal yang sama pula. Dua-duanya sepertinya tak mau kalah dari lainnya.
Malam itu kampung terang benderang karena cahaya oncor (obor) yang dipasang di mana-mana. Bahkan damar-sewu (pelita berjajar seribu) sama meramaikan malam indah itu. Baik Juragan Ilun Rosa mau pun Ki Jayasena sama-sama bersaing membuat kampung masing-masing menjadi terang-benderang.
Malam itu di kediaman Juragan Ilun Rosa diadakan kesenian jentreng dan pantun, sementara di kediaman Ki Jayasena, selain jentreng yang sudah baku, juga ditampilkan pertunjukan wawayangan. Seni pantun yang dipanggungkan di kediaman Juragan Ilun Rosa menampilkan ceritera Pua-pua Bermana Sakti, sementara di kediaman Ki Jayasena, pertunjukan wawayangan menampilkan ceritera mengenai Pendawa Lilima yang menjemput Dewi Sri (Mapag Dewi Sri) yang tengah berada di sorga maniloka agar sudi turun ke buana panca tengah untuk mensejahterakan umat manusia dengan menebar padi-padian.
Dewi Sri demikian lekat di hati masyarakat Pajajaran. Seolah benar, pemberi hidup di muka bumi ini adalah seorang dewi dari kayangan. Dalam upacara ngidepkeun ada cara Mapag Dewi Sri. Lagu Pamegat yanag dilantunkan oleh rombongan kesenian jentreng adalah sebuah lagu untuk mengundang Dewi Sri hadir di tempat itu. Setelah itu, disusul lagi Panimang, yaitu menurunkan seikat padi sebagai lambang turunnya Dewi Sri dari kayangan. Padi yang diturunkan, dijemput oleh wali-puun (sesepuh) sambil membawa pakaian wanita dan kemudian dikenakan kepada ikatan padi sambil diiringi oleh lagu Pamapag (penjemput Dewi Sri).
Di belakangnya satu barisan wanita berpakaian indah-indah melakukan tarian sambil di tangannya membawa mangkuk-mangkuk yang berisi bunga-bungaan, minyak kelapa, pohon hanjuang, beras dan tektek (lipatan daun sirih). Ikatan padi yang dijemput itu ditaburi beras dan bunga-bungaan sebagai penghormatan kepada ”Dewi Sri” yang telah berkenan “hadir”.
Setelah upacara netepkeun , yaitu menyimpan padi di lumbung, maka berlangsunglah acara hiburan. Kaum lelaki memakai bendo, berpakaian bedahan lima dan berkain batik dengan keris bersampur (diikat selendang sutra) di pinggang, menari bersama kaum wanita yang berpakaian indah dan berparas elok-elok. Sementara yang muda-muda, terutama para gadis, saling berebutan untuk mendapatkan bekas sesaji, bahkan butir-butir kemenyan untuk banyak keperluan, seperti ingin awet muda, ingin cantik atau karena ingin segera mendapatkan jodoh.
Dan ketika melihat pertunjukan ini, Purbajaya jadi ingat Nyimas Wulan. Purbajaya berada di tempat pesta keluarga Ki Jayasena, sementara Nyimas Wulan berada jauh di sebelah selatan di kediaman Juragan Ilun Rosa, ayahandanya. Apakah gadis itu pun tengah mengingat dirinya pula? Maka ketika muda-mudi lain larut dalam kegembiraan, Purbajaya malah menyelinap pergi untuk pergi menuju kediaman Juragan Ilun Rosa.
Ya, sejauh ini Purbajaya masih tetap mengaku tidak mencintai gadis itu namun bukan berarti tidak menyayanginya. Kini Purbajaya telah menyayangi gadis itu setelah Purbajaya merasa banyak menerima kebaikan cinta yang diberikan gadis itu. Dan manakala melhat muda-mudi bersuka-ria, Purbajaya tak bisa menahan kerinduan untuk menemui Nyimas Wulan. Itulah sebabnya dia menyelinap pergi untuk menemui gadis itu.
Rumah kediaman Juragan Ilun Rosa tidak begitu jauh. Letaknya agak ke sebelah selatan dari kediaman Ki Jayasena. Kedua orang itu termasuk keluarga santana (masyarakat pertengahan), Juragan Ilun Rosa malah disebut-sebut sebagai keluarga bangsawan karena kekerabatan yang dekat kepada Kandagalante Subangwara.
Namun baik Juragan Ilun Rosa mau pun Ki Jayasena, sama-sama sebagai orang kaya yang banyak memiliki tanah pertanian yang luas. Huma dan palawija di sekitar wilayah Tanjungpura boleh dikata mereka yang punya. Baik Juragan Ilun Rosa mau pun Ki Jayasena sama-sama memiliki usaha perikanan payau dan usaha perairan di sepanjang sungai Citarum. Keduanya dikenal oleh masyarakat Tanjungpura sebagai orang-orang kaya tapi keduanya tak pernah saling bersatu. Mereka memang tak bermusuhan namun juga tidak bersahabat. Dan keduanya selalu menjaga jarak untuk tidak saling berhubungan.
Mudah diduga bila hal ini terjadi sebab Ki Jayasena punya kebencian kepada Kandagalante Subangwara, sementara Juragan Ilun Rosa adalah kerabat dekatnya. Namun dasar bandot, kendati kepada bapaknya benci, kepada putrinya, Nyimas Wulan, Ki jayasena malah cinta setengah mati.
Tempo hari Purbajaya ditegur karena diketahui berdekatan dengan gadis itu. Teguran Ki Jayasena diartikan Purbajaya sebagai memiliki tujuan ganda. Ki Jayasena melarang Purbajaya mendekati Nyimas Wulan karena gadis itu kerabat musuh besarnya. Namun juga Ki Jayasena melarang dia mencintai gadis itu karena dia yang ingin mengambil bunga mekar itu.
Purbajaya sebal dengan kejadian ini. Cintanya tak pernah mulus karena selalu dihadang pihak-pihak lain yang juga amat berkepentingan dengan urusan ini. Tak dinyana, pesaingnya kini adalah bandot tua. Mengaku “paman”nya lagi!
Namun kali ini, rasanya dia tak perlu mengalah. Kepada Raden Ranggasena dari Carbon atau pun kepada Aditia dari Sumedanglarang, dia mau mengalah sebab ingin beri kesempatan kepada sesama kaum muda. Tapi kepada Ki Jayasena lain lagi. Orang tua bangkotan itu sudah terbiasa kawin-cerai dan kepada gadis-gadis muda begitu lahapnya bagaikan kambing melahap daun muda. Jangan hanya karena gemar mengalah dalam urusan cinta, maka kali ini Purbajaya pun musti mengalah pula kepada bandot tua. Tidak, dia tak terima itu. Maka keputusan batinnya ini telah dijadikannya sebagai pemicu semangat dalam mendapatkan kasih Nyimas Wulan.
Jalan berbatu dan terkadang bercampur debu tanah merah tak menjadikannya sebagai halangan ketika Purbajaya berjalan di malam gelap. Yang penting, dia bisa menemui gadis itu. Ketika dia tengah berjalan cepat, di depannya ada gelebur cahaya obor. Siapakah malam-malam berjalan sendirian berbekal obor? Purbajaya menyipitkan matanya karena ingin melihat jelas.
“Wulan!” teriak Purbajaya gembira. Dadanya berdebar.
Gadis pembawa obor itu sejenak berhenti karena kaget ditegur orang. Dia menyipitkan mata karena silau oleh cahaya obor. Setelah yakin yang memanggilnya adalah Purbajaya, Nyimas Wulan serta-merta melemparkan batang obor dan dia segera manghambur ke arah di mana Purbajaya berada. Purbajaya pun sama berlari mendekat. Hingga sampai suatu saat keduanya saling bertubrukan disertai peluk-cium.
“Nyimas…“
“Purba…“
Diam sejenak kecuali napas-napas dengan dengus keras karena hentakan-hentakan berahi yang tak tertahankan.
“Nyimas, mengapa kau kemari?”
“Engkau pun mengapa kemari, Purba…?”
“Karena ingin bertemu denganmu…“
“Itu pula yang aku inginkan, Purba…”
“Oh, Nyimas…“
“Purba…“
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment