Sepasang insan muda-mudi ini saling peluk erat, saling kecup mata, saling kecup pipi dan berakhir pada saling kecup bibir. Dua tubuh yang berkuketan tak mau lepas ini akhirnya jatuh berdebum di atas tanah berdebu warna merah. Namun debu kotor tidak mereka hiraukan sebab dua tubuh yang menyatu erat ini bergulingan ke sana ke mari seperti cacing kepanasan laiknya. Tanah berdebu yang kotor mereka jadikan alas tidur empuk dan udara terbuka dengan terpaan angin pesisir mereka jadikan selimut penghangat. Oh, ya. Semuanya sudah tak perlu lagi sebab gelora cinta mereka sudah merupakan penghangat berahi.
Entah berapa lama mereka bergumul. Tahu-tahu di tempat itu sudah berdiri seseorang berbekal obor. Purbajaya sungguh terkejut sebab yang datang ternyata Ki Jayasena. Maka buru-buru dia dan Nyimas Wulan bangun sambil menepuk-nepuk debu yang melekat di badan.
Ki Jayasena menatap adegan cumbu-rayu dengan mata melotot dan gigi berkerot saking marahnya.
“Hm…. Bagus. Bagus sekali, ya…!” gumamnya dengan tubuh menggigil seperti kena demam.
Serta-merta Ki Jayasena mencabut golok yang telah siap di pinggang. Obor yang dibawanya serta-merta dilemparkan ke tubuh Purbajaya. Sesudah itu, Purbajaya pun segera diserangnya dengan sabetan-sabetan golok.
Purbajaya terpaksa mendorong tubuh Nyimas Wulan yang ketika itu masih memeluk erat tubuhnya. Dia ingin serangan ganas ini hanya mengarah padanya saja dan tidak melukai tubuh molek Nyimas Wulan.
Lemparan batang obor yang cahayanya menggelebur, bukanlah lemparan biasa, melainkan sebuah lemparan yang disertai tenaga dalam yang cukup tinggi. Demikian pun ketika sabetan-sabetan golok itu tidak sekadar ganas saja, namun juga disertai tenaga dalam yang kuat. Desiran angin karena golok menyabet terasa dingin menerpa pipi Purbajaya. Kalau saja yang menerima serangan ini orang biasa, maka bukan saja tubuhnya akan hangus terpanggang api, namun juga akan kena sabetan golok yang terlihat mengkilap saking tajamnya.
Namun sebodoh-bodohnya Purbajaya, bagaimana pun dia adalah murid terkasih Ki Jayaratu, tokoh yang disegani di Nagri Carbon. Maka ketika menerima serangan deras dan membabi-buta dari Ki Jayasena, tangan kanannya segera melakukan tangkisan. Percikan bunga api muncrat ke sana ke mari ketika gagang obor hancur berantakan. Purbajaya terus mengebut-ngebutkan kedua tangannya agar bunga api tidak menempel, baik pada pakaian Nymas Wulan, mau pun pada pakaiannya sendiri.
Purbajaya masih belum mau membalas serangan, selain tidak berniat, ditambah lagi oleh ganasnya serangan Ki Jayasena yang datang tiada hentinya. Dan melihat serangan-serangan ganas ini, Purbajaya merasa kalau Ki Jayasena ini berniat akan membunuhnya atau paling tidak ingin membuatnya terluka parah. Oleh karena ini, Purbajaya terpaksa melakukan tangkisan-tangkisan yang menyertakan tenaga dalam pula.
Terasa ngilu dan nyeri pergelangan tangan Purbajaya manakala melakukan sampokan ke arah golok, pertanda Ki Jayasena memiliki tenaga dalam yang kuat pula. Purbajaya harus melakukan perkelahian dengan amat hati-hati jangan sampai tubuhnya terluka oleh serangan ganas ini. Dia menahan serangan sambil berusaha melindungi Nyimas Wulan. Dia tak ingin gadis itu terluka oleh ganasnya serangan Ki Jayasena.
Namun untunglah, Ki Jayasena rupanya tak berniat mencelakakan Nyimas Wulan sebab yang dicecarnya hanya Purbajaya seorang. Ketika serangan golok Ki Jayasena bisa ditepis, terlihat ada pertahanan yang kosong pada bagian tubuh orang tua ini. Pertahanan kosong terkuak karena serangan golok arahnya jadi melenceng oleh tepisan tangan Purbajaya. Namun peluang untuk melakukan serangan balik amatlah tipisnya karena Purbajaya yakin Ki Jayasena pasti akan mengulangi serangannya yang barusan gagal. Namun sebelum golok kembali disabetkan mengarah ubun-ubun, dari arah bagian bawah Purbajaya segera menohok ulu hati Ki Jayasena dengan kecepatan yang sulit diukur.
Tohokan ini telak mengarah ulu hati dan terdengar Ki Jayasena mengeluh pendek namun bisa diduga ini merupakan keluhan tanda kesakitan. Sebelum Ki Jayasena hilang rasa terkejutnya, tohokan kedua sudah datang lagi. Kali ini lebih telak dan lebih keras. Akibatnya, tubuh Ki Jayasena terlontar ke belakang dan tubuhnya jatuh berdebuk di atas tanah yang mengandung bebatuan. Sudah barang tentu sakitnya bukan alang-kepalang sehingga tak sadar mulut Ki Jayasena terkaing-kaing seperti anjing kena gebuk batang rotan.
Purbajaya terkejut oleh ulahnya ini dan segera berjingkat hendak bangunkan tubuh Ki Jayasena, ketika secara tiba-tiba datang pula seseorang ke tempat itu. Dan untuk kedua kalinya Purbajaya terkejut sebab yang datang kali ini adalah Raden Yudakara.
“Anak kurang ajar, masa kepada pamanmu sendiri berlaku tak senonoh seperti ini? Apa kesalahan dia, hah?” cerca Raden Yudakara menghambur mendekati Purbajaya.
Purbajaya tak mau menjawabnya, apalagi Raden Yudakara langsung melakukan serangan. Hanya anehnya, serangan tidak dilakukan sepenuh hati. Buktinya, serangan itu bisa dihindarkan dengan amat mudahnya. Siasat apa pula sehingga pemuda aneh ini tak melakukan serangan secara sungguh-sungguh? Serangan yang kedua tak dilakukan Raden Yudakara. Dia hanya berkacak pinggang saja sambil menatap Purbajaya.
“Hati-hati Purba, dia adalah pamanmu sendiri,” kata pemuda itu. ”Aku tak suka ada orang muda tak menghargai yang tua,” lanjutnya lagi.
Purbajaya tahu, kemarahan Raden Yudakara ini hanya sandiwara belaka, namun apa perlunya? Tokh yang dia bela sebenarnya jelas-jelas kaki-tangannya sendiri. Mustinya kalau mau bela, belalah dengan benar. Mengapa Raden Yudakara tidak menyerang sungguhan sehingga Purbajaya menderita luka, misalnya? Nampaknya dia pura-pura marah hanya agar Ki Jayasena merasa puas saja Purbajaya didamprat “atasan”nya. Dan kali ini Purbajaya pun terpaksa jadi ikut bersandiwara, tak melakukan pembelaan apa-apa. Kerjanya hanya menunduk saja seperti seorang murid dimarahi gurunya.
“Ada apa ini, paman dan keponakan saling gebot seperti ini? Memalukan sekali…” tanya lagi Raden Yudakara dengan nada menunjukkan tak senang.
“Dia!” Ki Jayasena menunjuk hidung Purbajaya.
“Dia apa?” tanya lagi Raden Yudakara.
“Dia bercinta dengan gadis itu!” jawab Ki Jayasena memberengut seperti anak kecil.
“Sudah biasa sesama anak muda saling bercinta, apanya yang aneh?” tanya Raden Yudakara heran.
“Tapi…“
“Tapi apa, Jayasena?”
“Dia bercinta dengan anak seseorang yang saya tidak suka!” jawab Ki Jayasena akhirnya.
“Ah. Malah sungguh mulialah bila kita sanggup berbesan dengan orang yang tidak kita sukai. Dengan demikian kita bisa mengukir hidup baru melalui persahabatan. Bukan begitu, hai gadis elok?” tanya Raden Yudakara seraya mengerling tajam kepada Nyimas Wulan yang tersipu-sipu karena percakapan yang menyangkut dirinya ini.
Entah berapa lama mereka bergumul. Tahu-tahu di tempat itu sudah berdiri seseorang berbekal obor. Purbajaya sungguh terkejut sebab yang datang ternyata Ki Jayasena. Maka buru-buru dia dan Nyimas Wulan bangun sambil menepuk-nepuk debu yang melekat di badan.
Ki Jayasena menatap adegan cumbu-rayu dengan mata melotot dan gigi berkerot saking marahnya.
“Hm…. Bagus. Bagus sekali, ya…!” gumamnya dengan tubuh menggigil seperti kena demam.
Serta-merta Ki Jayasena mencabut golok yang telah siap di pinggang. Obor yang dibawanya serta-merta dilemparkan ke tubuh Purbajaya. Sesudah itu, Purbajaya pun segera diserangnya dengan sabetan-sabetan golok.
Purbajaya terpaksa mendorong tubuh Nyimas Wulan yang ketika itu masih memeluk erat tubuhnya. Dia ingin serangan ganas ini hanya mengarah padanya saja dan tidak melukai tubuh molek Nyimas Wulan.
Lemparan batang obor yang cahayanya menggelebur, bukanlah lemparan biasa, melainkan sebuah lemparan yang disertai tenaga dalam yang cukup tinggi. Demikian pun ketika sabetan-sabetan golok itu tidak sekadar ganas saja, namun juga disertai tenaga dalam yang kuat. Desiran angin karena golok menyabet terasa dingin menerpa pipi Purbajaya. Kalau saja yang menerima serangan ini orang biasa, maka bukan saja tubuhnya akan hangus terpanggang api, namun juga akan kena sabetan golok yang terlihat mengkilap saking tajamnya.
Namun sebodoh-bodohnya Purbajaya, bagaimana pun dia adalah murid terkasih Ki Jayaratu, tokoh yang disegani di Nagri Carbon. Maka ketika menerima serangan deras dan membabi-buta dari Ki Jayasena, tangan kanannya segera melakukan tangkisan. Percikan bunga api muncrat ke sana ke mari ketika gagang obor hancur berantakan. Purbajaya terus mengebut-ngebutkan kedua tangannya agar bunga api tidak menempel, baik pada pakaian Nymas Wulan, mau pun pada pakaiannya sendiri.
Purbajaya masih belum mau membalas serangan, selain tidak berniat, ditambah lagi oleh ganasnya serangan Ki Jayasena yang datang tiada hentinya. Dan melihat serangan-serangan ganas ini, Purbajaya merasa kalau Ki Jayasena ini berniat akan membunuhnya atau paling tidak ingin membuatnya terluka parah. Oleh karena ini, Purbajaya terpaksa melakukan tangkisan-tangkisan yang menyertakan tenaga dalam pula.
Terasa ngilu dan nyeri pergelangan tangan Purbajaya manakala melakukan sampokan ke arah golok, pertanda Ki Jayasena memiliki tenaga dalam yang kuat pula. Purbajaya harus melakukan perkelahian dengan amat hati-hati jangan sampai tubuhnya terluka oleh serangan ganas ini. Dia menahan serangan sambil berusaha melindungi Nyimas Wulan. Dia tak ingin gadis itu terluka oleh ganasnya serangan Ki Jayasena.
Namun untunglah, Ki Jayasena rupanya tak berniat mencelakakan Nyimas Wulan sebab yang dicecarnya hanya Purbajaya seorang. Ketika serangan golok Ki Jayasena bisa ditepis, terlihat ada pertahanan yang kosong pada bagian tubuh orang tua ini. Pertahanan kosong terkuak karena serangan golok arahnya jadi melenceng oleh tepisan tangan Purbajaya. Namun peluang untuk melakukan serangan balik amatlah tipisnya karena Purbajaya yakin Ki Jayasena pasti akan mengulangi serangannya yang barusan gagal. Namun sebelum golok kembali disabetkan mengarah ubun-ubun, dari arah bagian bawah Purbajaya segera menohok ulu hati Ki Jayasena dengan kecepatan yang sulit diukur.
Tohokan ini telak mengarah ulu hati dan terdengar Ki Jayasena mengeluh pendek namun bisa diduga ini merupakan keluhan tanda kesakitan. Sebelum Ki Jayasena hilang rasa terkejutnya, tohokan kedua sudah datang lagi. Kali ini lebih telak dan lebih keras. Akibatnya, tubuh Ki Jayasena terlontar ke belakang dan tubuhnya jatuh berdebuk di atas tanah yang mengandung bebatuan. Sudah barang tentu sakitnya bukan alang-kepalang sehingga tak sadar mulut Ki Jayasena terkaing-kaing seperti anjing kena gebuk batang rotan.
Purbajaya terkejut oleh ulahnya ini dan segera berjingkat hendak bangunkan tubuh Ki Jayasena, ketika secara tiba-tiba datang pula seseorang ke tempat itu. Dan untuk kedua kalinya Purbajaya terkejut sebab yang datang kali ini adalah Raden Yudakara.
“Anak kurang ajar, masa kepada pamanmu sendiri berlaku tak senonoh seperti ini? Apa kesalahan dia, hah?” cerca Raden Yudakara menghambur mendekati Purbajaya.
Purbajaya tak mau menjawabnya, apalagi Raden Yudakara langsung melakukan serangan. Hanya anehnya, serangan tidak dilakukan sepenuh hati. Buktinya, serangan itu bisa dihindarkan dengan amat mudahnya. Siasat apa pula sehingga pemuda aneh ini tak melakukan serangan secara sungguh-sungguh? Serangan yang kedua tak dilakukan Raden Yudakara. Dia hanya berkacak pinggang saja sambil menatap Purbajaya.
“Hati-hati Purba, dia adalah pamanmu sendiri,” kata pemuda itu. ”Aku tak suka ada orang muda tak menghargai yang tua,” lanjutnya lagi.
Purbajaya tahu, kemarahan Raden Yudakara ini hanya sandiwara belaka, namun apa perlunya? Tokh yang dia bela sebenarnya jelas-jelas kaki-tangannya sendiri. Mustinya kalau mau bela, belalah dengan benar. Mengapa Raden Yudakara tidak menyerang sungguhan sehingga Purbajaya menderita luka, misalnya? Nampaknya dia pura-pura marah hanya agar Ki Jayasena merasa puas saja Purbajaya didamprat “atasan”nya. Dan kali ini Purbajaya pun terpaksa jadi ikut bersandiwara, tak melakukan pembelaan apa-apa. Kerjanya hanya menunduk saja seperti seorang murid dimarahi gurunya.
“Ada apa ini, paman dan keponakan saling gebot seperti ini? Memalukan sekali…” tanya lagi Raden Yudakara dengan nada menunjukkan tak senang.
“Dia!” Ki Jayasena menunjuk hidung Purbajaya.
“Dia apa?” tanya lagi Raden Yudakara.
“Dia bercinta dengan gadis itu!” jawab Ki Jayasena memberengut seperti anak kecil.
“Sudah biasa sesama anak muda saling bercinta, apanya yang aneh?” tanya Raden Yudakara heran.
“Tapi…“
“Tapi apa, Jayasena?”
“Dia bercinta dengan anak seseorang yang saya tidak suka!” jawab Ki Jayasena akhirnya.
“Ah. Malah sungguh mulialah bila kita sanggup berbesan dengan orang yang tidak kita sukai. Dengan demikian kita bisa mengukir hidup baru melalui persahabatan. Bukan begitu, hai gadis elok?” tanya Raden Yudakara seraya mengerling tajam kepada Nyimas Wulan yang tersipu-sipu karena percakapan yang menyangkut dirinya ini.
Namun demikan, gadis itu masih memiliki rasa penasaran. Buktinya dia mengajukan pertanyaan kepada Ki Jayasena.
“Sebenarnya apakah kesalahan ayahanda kepadamu, Paman?” ucapnya.
“Ah, hanya masalah kecil saja, gadis cantik,” Raden Yudakara yang menjawab, membuat Nyimas Wulan tersipu karena pujian. ”Sesudah kau menjadi istri adikku Purbajaya, maka semua urusan bereslah sudah,” lanjut Raden Yudakara membuat Nyimas Wulan tersenyum bahagia dan wajahnya penuh rasa terima kasih kepada Raden Yudakara yang mungkin terasa begitu memperhatikan dirinya.
“Terima kasih bila begitu,” sambut Nyimas Wulan ceria. ”Selama ini Paman Jayasena selalu baik bahkan terlalu baik kepada saya. Makanya sungguh tak percaya kalau engkau bisa membenci ayahanda,” tutur Nyimas Wulan lugu.
Sementara itu dari kejauhan dari arah selatan terlihat gelebur beberapa cahaya obor.
“Wulan, kau pasti dicari keluargamu…” desis Raden Yudakara memperingatkan.
Purbajaya pun sama menduga kalau yang datang adalah rombongan yang tengah mencari Nyimas Wulan karena mungkin gadis itu pergi sendirian tanpa meminta izin pada siapa pun. Dan kalau benar begitu, kejadian ini tentu akan jadi perhatian pihak keluarga Juragan Ilun Rosa.
“Cepat kau hampiri dan pulang bersama mereka,” kata Raden Yudakara.
Rupanya Nyimas Wulan pun mengerti situasi. Maka sesudah berpandangan sejenak dengan Purbajaya, gadis itu segera berlari kecil menuju ke tempat dari mana rombongan itu muncul.
“Ayo kita pulang dan jangan biarkan mereka tahu kalau kita berada di sini…” kata Raden Yudakara sambil duluan berlalu dari tempat ini.
“Si Purba ini yang menculik gadis itu, mengapa malah kita yang kelabakan?” tanya Ki Jayasena tak puas.
“Tentu. Tapi kesalahan dari kita seorang akan menjadi tanggung jawab bersama. Makanya kesulitan ini jangan sampai terjadi. Ayo cepat kita pergi!” ajak lagi Raden Yudakara.
Akhirnya mereka beriringan kembali ke wilayah utara.
Namun di kediaman Ki Jayasena terjadi lagi kegaduhan. Kali ini, Ki Jayasena kembali mendapat giliran kena semprot Raden Yudakara. Purbajaya mencuri dengar dari tempat sembunyi, betapa Raden Yudakara amat kesal terhadap ulah Ki Jayasena yang dianggapnya kekanak-kanakan.
“Si Purba itu bodoh dalam bercinta. Akan tetapi engkau yang bangkotan malah mau merendahkan diri rebutan perempuan dan menjadi pesaingnya!” cerca Raden Yudakara.
“Tapi Si Wulan sejak masih ingusan telah saya intip dan amati. Jadi siapa tidak akan kesal sesudah dia ranum dan dewasa malah diambil orang, anak setan lagi!” jawab Ki Jayasena gemas.
Namun kembali Raden Yudakara mencerca orang tua itu sebagai bangkotan yang dungu.
“Sudah aku katakan, Si Purba itu bodoh dalam bercinta. Coba saja simak, sebentar lagi gadis itu sudah lepas dari pelukannya,” kata lagi Raden Yudakara dan terdengar amat menyakitkan telinga Purbajaya yang mencuri dengar.
“Tapi bukankah Raden tadi katakan kalau anak setan itu akan Raden jodohkan dengan Nyimas Wulan?” Ki Jayasena berkata khawatir.
“Yang namanya akan itu artinya belum, tolol! Mengapa perasaan khawatirmu sudah kau dahulukan? Uh, dasar bangkotan bodoh!” cerca lagi Raden Yudakara.
“Maksud Raden, di saat Si Wulan akan dijodohkan, maka gadis ranum itu cepat-cepat kita sabet, begitu?” tanya Ki Jayasena penuh semangat.
“Tidak persis seperti itu…” gumam Raden Yudakara.
“Jadi, bagaimana?” Ki Jayasena tak sabar. ”Bagaimana kalau Si Sumirah anak saya saja kita berikan pada Si Purba agar pupuslah sudah persaingan kami?”
“Apa?” potong Raden Yudakara dengan suara geram.
“Maksud saya, kalau Raden sudah bosan kepada Si Sumirah, bolehlah dilepaskan dan berikan sama Si Purba…” Ki Jayasena berkata penuh rasa takut.
“Engkau ini mengoper-oper perempuan seperti orang mengoper kambing saja, Sena…” omel Raden Yudakara dengan nada sebal.
“Bukan itu maksud saya, Raden…“
“Sudahlah, jangan ganggu aku, aku tengah berpikir!”
Diam sejenak. Sampai pada suatu saat Purbajaya mendengar siasat-siasat yang tengah dirancang pemuda aneh itu.
“Hanya Kandagalante Subangwara yang bisa mengirimkan Si Purbajaya ke Pakuan…” gumam Raden Yudakara.
“Mengapa tidak Raden saja yang mengirimkannya?” tanya Ki Jayasena.
“Tidak. Tidak mungkin. Pamanku yang bodoh Ki Sunda Sembawa kerjanya buruk dan ceroboh. Aku sudah dengar kalau Ki Yogascitra pejabat Pakuan sudah mencurigai tindak-tanduk Ki Sunda Sembawa yanag selalu kasak-kusuk di Sagaraherang. Kalau aku datang ke Pakuan dan diketahui aku sebagai kerabat Ki Sunda Sembawa, bisa pupuslah semua rencanaku. Mati aku kalau semua orang Pakuan sama-sama jadi mencurigaiku…”
“Ki Yogascitra? Bukankah dia pejabatpuhawang (akhli kebaharian di Pakuan?” tanya Ki Jayasena.
”Benar, Sena…”
“Bukankah Si Purbajaya mau Raden pekerjakan di puri Yogascitra sebab anak dungu itu dianggap ahli kelautan?” tanya Ki Jayasena lagi.
“Memang benar sekali, Sena. Aku ingin susupkan Si Purbajaya ke puri Yogascitra untuk mengamati tindak-tanduk pejabat itu,” jawab Raden Yudakara.
“Sungguh riskan melepas anak bengal itu berjalan sendirian. Bagaimana kalau dia malah bergabung dengan Pakuan dan membuka rahasia keberadaan kita?” Ki Jayasena bertanya penuh rasa khawatir.
“Anak itu rewel, gemar bertanya ini-itu dan sesekali suka membantah pada pendapatku. Namun sudah aku teliti, anak itu memang bodoh dan lugu. Dia buta politik. Hanya karena dia putra dari penguasa Tanjungpura yang amat disegani pihak Pakuan saja maka aku tetap mau memanfaatkan anak itu. Si Purba di Pakuan akan dihargai dan dipercaya karena ayahandanya amat dihargai kesetiaannya. Itu amat menguntungkan kita. Itulah sebabnya, aku tetap butuh dia. Dan aku pun percaya, dia akan tetap ikut kita. Di samping dia lugu dan awam terhadap kehidupan politik, dia pun terikat oleh sesuatu yang tak mungkin dia lepas. Dia banyak salah. Di Sumedanglarang dia bersalah, begitu pun di Carbon. Hanya aku yang bisa melindunginya. Itulah sebabnya dia akan tetap ikut aku untuk bisa kembali ke Carbon.”
“Kalau dia tetap mau memisahkan diri dari kita?”
“Hm… Di Pakuan belasan bahkan puluhan orang-orangku sudah siap-sedia mengawalnya. Kalau terlihat mencurigakan, anak-buahku akan membunuhnya di Pakuan sana…” Raden Yudakara mendengus.
Ki Jayasena memuji jalan pikiran Raden Yudakara ini. “Baru saya mengerti, mengapa Raden begitu “membela” anak setan itu. Saya pun mengerti, mengapa Si Purba harus punya hubungan baik dengan Ki Subangwara penguasa Tanjungpura yang sekarang,” kata Ki Jayasena.
“Nah, otakmu mulai cemerlang, Sena. Memang begitulah maksudku,” ujar Raden Yudakara. ”Kandagalante Subangwara dihargai oleh penguasa Pakuan karena kesetiaannya juga. Jadi kalau Si Purba dikirim ke Pakuan atas nama Kandagalante Subangwara, ini akan sangat memudahkan rencana-rencana kita,” ujar Raden Yudakara lagi.
“Saya percaya padamu dan saya berjanji akan selalu mentaatimu, Raden…” kata Ki Jayasena amat merendah da hormat sekali.
PURBAJAYA tak pernah punya ketenangan hati. Sampai dengan hari ini hidupnya tetap berada di bawah bayang-bayang orang lain. Raden Yudakara tak mau melepaskannya dan tetap berupaya agar Purbajaya ada di bawah kendalinya. Entah siasat apa yang dia lakukan. Yang jelas, Raden Yudakara telah berhasil menjalin hubungan dengan Kanadagalante Subangwara secara mudah. Bahkan tak lebih dari satu bulan, Raden Yudakara sudah menghasilkan kepercayaan yang membuat Purbajaya berdebar. Di pagi hari yang cerah, Purbajaya dipanggil ke bale-gede rumah kediaman Ki Jayasena.
“Purba, sudah terlalu lama engkau tertahan di sini. Kali ini kau harus mulai melanjutkan tugasmu yang terhenti ini,” kata Raden Yudakara bicara serius.
“Tugas apakah itu?” tanya Raden Yudakara dengan perasaan khawatir karena telah menduga sesuatu.
“Ini kotak surat daun nipah. Jangan kau sia-siakan sebab ini adalah surat untuk mengantarmu memasuki gerbang kehidupan di Pakuan. Kau harus menghubungi Ki Yogascitra pejabat terkenal di Pakuan. Berikan surat ini padanya dan engkau akan diterima di sana,” kata Raden Yudakara seraya menyodorkan sebuah kotak mungil terbuat dari kayu cendana berukir dan berbau harum.
Purbajaya menerimanya dengan tangan agak gemetar. Mengapa tak begitu sebab penyusupan dirinya ke Pakuan dengan pura-pura menjadi akhli kelautan sudah merupakan siasat yang diatur secara resmi oleh penguasa Nagri Carbon namun kini dia menerima perintah itu dari pemuda bernama Raden Yudakara yang dia tahu memiliki ambisi pribadi dalam urusan besar ini. Dia tegang dan khawatir. Dia akan segera bisa menyusup ke pusat kota Pajajaran dengan gandulan urusan pribadi pemuda bangsawan aneh ini.
Dan Purbajaya sulit untuk menghindar. Sejauh ini dia tak punya hubungan dengan orang-orang Carbon selain kepada Raden Yudakara. Sementara itu, Carbon telah mengatur agar selama bekerja sebagai mata-mata, Purbajaya harus selalu berhubungan dengan Raden Yudakara. Jadi bila melihat kenyataan ini, tidak terlihat kejanggalan dan secuil pun tidak melenceng dari perencanaan. Siapa yang bakal menyangka kalau dalam misi negara ini terselip pula kepentingan pribadi?
Purbajaya sudah menduga bahwa Raden Yudakara memanfaatkan gerakan yang dilakukan Carbon guna melaksanakan ambisi politik tertentu. Hari ini dia menjadi mata-mata Carbon, hari lain dia sebaga mata-mata untuk kepentingan orang-orang Sagaraherang. Namun bila rencana sudah dilakukan dengan matang, maka hasil akhir ingin dia miliki sendiri.
Purbajaya tidak bisa melarikan diri dari genggaman pemuda itu sebab seperti yang sudah diketahui, Purbajaya akan dihadang tuduhan sebagai pengkhianat karena terbukti melawan dan menggagalkan misi Carbon ke puncak Cakrabuana. Purbajaya bahkan gurunya Ki Jayaratu akan dianggap pengkhianat dan pembelot sebab kegagalan misi di Cakrabuana juga karena “andil” mereka juga. Baik Paman Jayaratu mau pun dirinya, kukuh dengan pendapatnya bahwa pengiriman pasukan ke puncak Cakrabuana adalah tindakan sia-sia.
Purbajaya pun sama tidak bisa pulang ke Sumedanglarang sebab kematian beberapa orang dari Sumedanglarang yang ikut misi muhibah akan dipertanyakan kepadanya. Dengan demikian, Purbajaya hanya bisa tetap bersama Raden Yudakara saja kendati dirinya amat muak.
“Itu adalah surat daun nipah dari Kandagalante Subangwara. Hanya dia yang dipercaya oleh Ki Yogascitra. Kau pasti diterima di sana. Maka bekerjalah dengan baik di sana,” kata Raden Yudakara.
Purbajaya mengangguk kendati dia sangsi apa yang dimaksud “bekerja dengan baik” di sana.
“Percayakah dia pada saya?” tanya Purbajaya kemudian.
“Kalau kau ingin lihat tipe orang Pajajaran, maka simaklah sikap hidup Ki Yogascitra. Dia adalah pejabat jujur. Sedangkan orang jujur biasanya bodoh, mudah ditipu dan mudah dipermainkan orang”, kata Raden Yudakara.
Purbajaya menatap wajah pemuda itu dengan senyum getir.
“Begini. Ki Yogascitra memang manusia cerdik. Itulah sebabnya, sejak Pajajaran dipimpin oleh Sang Prabu Surawisesa, (1521-1535 Masehi) sampai kepada Sang Prabu Ratu Dewata (1535-1543 Masehi) dan hingga kini di bawah kepemimpinan Sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551 Masehi), Ki Yogascitra tetap bertahan sebagai pejabat negri. Menurut orang Pajajaran, dia adalah pemikir yang arif. Kalau mengeluarkan kritik, dia tidak terdengar sebagai kritik, bahkan Ratu (penguasa) menganggapnya pendapat Ki Yogascitra sebagai masukan yang berharga. Ki Yogascitra pun diakui sebagai pejabat yang sabar. Dia tak pernah haus kekuasaan juga tak pernah menyingkirkan saingan. Baginya jabatan adalah tanggung-jawab yang harus dijalankan dan bukannya anugrah yang harus diterima. Tidak pendendam tidak pula pendengki. Tidak bercuriga dan tidak menganggap orang lain jahat.” kata Raden Yudakara.
“Itulah sikap mulia…” seru Purbajaya.
“Bukan. Itulah kebodohan,” potong Raden Yudakara.
“Mengapa?”
“Kebaikan-kebaikan pejabat itu yang barusan aku paparkan adalah sebuah kelemahan. Sudah aku katakan tadi, orang jujur cenderung bodoh, sebab si jujur mudah dibodohi oleh sesuatu bernama siasat. Hanya karena dia tak pernah berbuat bohong maka dia percaya kalau orang lain tidak akan membohonginya. Hanya karena dia tidak pernah berbuat khianat maka dia pun percaya kalau orang lain pun tidak akan berlaku khianat padanya. Itulah sebuah kedunguan, disangkanya semua kehidupan akan bersifat alamiah seperti air sungai yang mengalir selamanya dari hulu ke hilir atau seperti benda yang jatuh dari atas ke bawah dan tak akan terjadi kebalikannya. Tidak. Dan jangan dungu seperti itu sebab manusia bisa bicara hitam bisa bicara putih atau bahkan bicara hitam untuk putih atau malah sebaliknya bicara putih untuk hitam. Dan karena kita tahu Ki Yogascitra orang dungu, maka dari sudut itu pulalah kita mempermainkannya,” kata Raden Yudakara panjang-lebar.
Purbajaya termangu-mangu mendengarnya. Dia memuji jalan pikiran pemuda ini yang sanggup menebak “kelemahan” orang lain namun sekaligus juga bergidik. Ini adalah jalan pikiran yang tak pernah dipikirkan oleh orang yang berpikiran wajar, kecuali atas dasar rencana-rencana jahat.
“Jangan bengong saja. Ayo cepat terima kotak kayu cendana ini dan simpan baik-baik sebab sebentar lagi kau harus segera pergi dari tempat ini,” kata Raden Yudakara memotong lamunan Purbajaya.
“Kapan saya harus berangkat?”
“Malam ini juga!”
“Malam ini juga?”
“Ya, mengapa tidak?” Raden Yudakara balik bertanya.
“Rasanya perintah ini terlalu tergesa-gesa…” Purbajaya mengerutkan dahi.
“Jangan kau katakan tergesa-gesa sebab inilah sesuatu pekerjaan yang musti dilakukan dengan cepat. Lebih cepat lebih baik sebab sesudah tugas ini, kau punya rencana kehidupan untuk mengukir masa depan,” kata Raden Yudakara.
“Apakah itu?” tanya Purbajaya.
“Bukankah engkau akan menikahi Nyimas Wulan? Semakin cepat kau menyelesaikan tugas di Pakiuan, maka akan semakin cepat pula kau bersatu dengan kekasihmu,” jawab Raden Yudakara.
Hanya mengisyaratkan bahwa Purbajaya baru boleh menikahi Nymas Wulan bila sudah menyelesaikan tugasnya. Purbajaya masih termangu.
“Apa yang engkau pikirkan?”
“Saya musti bertemu dulu dengan Nyimas Wulan…“
“Gadis itu, biar aku yang urus!”
“Seperti halnya Raden “mengurus” Nyimas Waningyun tempo hari di Carbon?” Purbajaya menyindir membuat Raden Yudakara sedikit terhenyak malu. Pemuda itu melengos ke samping dan tertawa masam.
“Anggaplah aku bersalah padamu karena telah mengambil dan mempersunting gadis pujaanmu. Tapi kau harus ingat kepentingan lebih luas. Aku terpaksa menikahi Nyimas Waningyun karena semuanya demi kepentingan kita. Pangeran Arya Damar harus punya ikatan denganku agar kepercayaan yang dia berikan tidak setengah-setengah,” kilah Raden Yudakara enteng-enteng saja bicaranya.
Purbajaya merasa sebal. Setiap Raden Yudakara bicara perihal kepentingannya selalu dikatakannya sebagai kepentingan “kita”.
“Dan apa pula “kepentingan kita” atas diceraikannya Nyimas Yuning Purnama dari Sumedanglarang itu, Raden?” sindir lagi Purbajaya tak kepalang.
“Oh, ya?” Raden Yudakara garuk-garuk kepala. “Buat apa aku tinggal berlama-lama di wilayah itu? Dengan penguasa di sana aku tidak memiliki persesuaian paham, maka aku ceraikan gadis itu,” jawab Raden Yudakara. Namun rupanya dia merasa kalau jawaban ini tidak memuaskan Purbajaya. Buktinya pemuda itu melanjutkan bualnya.
“Lagian kau harus tahu, Purba, bahwa semua yang aku lakukan tidak semata-mata karena urusan pribadi. Semuanya demi sesuatu kepentingan lebih besar. Kalau aku sudah tak punya kesesuaian paham dengan pihak penguasa, buat apa aku bercapek-capek punya istri di sana? Ingatlah, bukan cinta yang aku kejar, melainkan ambisi untuk mengejar kedudukan. Perkawinan hanyalah jembatan untuk menghubungkan diri kepada cita-cita sebenarnya sebab pada dasarnya kepercayaan penguasa hanya bisa diberikan melalui jalur kekerabatan. Kau harus tahu itu!” kilahnya.
“Pantas kau bunuhi semua orang yang tak mendukung ambisimu, Raden…” gumam Purbajaya.
“Hm, mungkin benar begitu. Namun kematian murid-murid Ki Dita tak berkaitan dengan politik. Mereka mati mungkin karena alasan balas-dendam saja. Si Aditia itu membenciku. Syukurlah kau telah bunuh orang itu. Sementara Si Wista pemuda dungu bernyali kecil itu pernah mengadu pada ayahandanya perihal keberadaanku. Itu berbahaya. Makanya aku bunuh.”
“Keji…” gumam Purbajaya seperti lebih berkata pada dirinya saja.
“Tidak keji sebab itu untuk menjaga keselamatan diri. Kau lihatlah seekor harimau dalam mengoyak-oyak tubuh banteng. Kalau dia tak berbuat begitu, maka tubuhnyalah yang dikoyak tanduk banteng yang runcing dan kuat,” kilah Raden Yudakara lagi tak habis-habisnya mengeluarkan alasan, sehingga Purbajaya hanya sanggup menghela napas saja.
“Sebenarnya apakah kesalahan ayahanda kepadamu, Paman?” ucapnya.
“Ah, hanya masalah kecil saja, gadis cantik,” Raden Yudakara yang menjawab, membuat Nyimas Wulan tersipu karena pujian. ”Sesudah kau menjadi istri adikku Purbajaya, maka semua urusan bereslah sudah,” lanjut Raden Yudakara membuat Nyimas Wulan tersenyum bahagia dan wajahnya penuh rasa terima kasih kepada Raden Yudakara yang mungkin terasa begitu memperhatikan dirinya.
“Terima kasih bila begitu,” sambut Nyimas Wulan ceria. ”Selama ini Paman Jayasena selalu baik bahkan terlalu baik kepada saya. Makanya sungguh tak percaya kalau engkau bisa membenci ayahanda,” tutur Nyimas Wulan lugu.
Sementara itu dari kejauhan dari arah selatan terlihat gelebur beberapa cahaya obor.
“Wulan, kau pasti dicari keluargamu…” desis Raden Yudakara memperingatkan.
Purbajaya pun sama menduga kalau yang datang adalah rombongan yang tengah mencari Nyimas Wulan karena mungkin gadis itu pergi sendirian tanpa meminta izin pada siapa pun. Dan kalau benar begitu, kejadian ini tentu akan jadi perhatian pihak keluarga Juragan Ilun Rosa.
“Cepat kau hampiri dan pulang bersama mereka,” kata Raden Yudakara.
Rupanya Nyimas Wulan pun mengerti situasi. Maka sesudah berpandangan sejenak dengan Purbajaya, gadis itu segera berlari kecil menuju ke tempat dari mana rombongan itu muncul.
“Ayo kita pulang dan jangan biarkan mereka tahu kalau kita berada di sini…” kata Raden Yudakara sambil duluan berlalu dari tempat ini.
“Si Purba ini yang menculik gadis itu, mengapa malah kita yang kelabakan?” tanya Ki Jayasena tak puas.
“Tentu. Tapi kesalahan dari kita seorang akan menjadi tanggung jawab bersama. Makanya kesulitan ini jangan sampai terjadi. Ayo cepat kita pergi!” ajak lagi Raden Yudakara.
Akhirnya mereka beriringan kembali ke wilayah utara.
Namun di kediaman Ki Jayasena terjadi lagi kegaduhan. Kali ini, Ki Jayasena kembali mendapat giliran kena semprot Raden Yudakara. Purbajaya mencuri dengar dari tempat sembunyi, betapa Raden Yudakara amat kesal terhadap ulah Ki Jayasena yang dianggapnya kekanak-kanakan.
“Si Purba itu bodoh dalam bercinta. Akan tetapi engkau yang bangkotan malah mau merendahkan diri rebutan perempuan dan menjadi pesaingnya!” cerca Raden Yudakara.
“Tapi Si Wulan sejak masih ingusan telah saya intip dan amati. Jadi siapa tidak akan kesal sesudah dia ranum dan dewasa malah diambil orang, anak setan lagi!” jawab Ki Jayasena gemas.
Namun kembali Raden Yudakara mencerca orang tua itu sebagai bangkotan yang dungu.
“Sudah aku katakan, Si Purba itu bodoh dalam bercinta. Coba saja simak, sebentar lagi gadis itu sudah lepas dari pelukannya,” kata lagi Raden Yudakara dan terdengar amat menyakitkan telinga Purbajaya yang mencuri dengar.
“Tapi bukankah Raden tadi katakan kalau anak setan itu akan Raden jodohkan dengan Nyimas Wulan?” Ki Jayasena berkata khawatir.
“Yang namanya akan itu artinya belum, tolol! Mengapa perasaan khawatirmu sudah kau dahulukan? Uh, dasar bangkotan bodoh!” cerca lagi Raden Yudakara.
“Maksud Raden, di saat Si Wulan akan dijodohkan, maka gadis ranum itu cepat-cepat kita sabet, begitu?” tanya Ki Jayasena penuh semangat.
“Tidak persis seperti itu…” gumam Raden Yudakara.
“Jadi, bagaimana?” Ki Jayasena tak sabar. ”Bagaimana kalau Si Sumirah anak saya saja kita berikan pada Si Purba agar pupuslah sudah persaingan kami?”
“Apa?” potong Raden Yudakara dengan suara geram.
“Maksud saya, kalau Raden sudah bosan kepada Si Sumirah, bolehlah dilepaskan dan berikan sama Si Purba…” Ki Jayasena berkata penuh rasa takut.
“Engkau ini mengoper-oper perempuan seperti orang mengoper kambing saja, Sena…” omel Raden Yudakara dengan nada sebal.
“Bukan itu maksud saya, Raden…“
“Sudahlah, jangan ganggu aku, aku tengah berpikir!”
Diam sejenak. Sampai pada suatu saat Purbajaya mendengar siasat-siasat yang tengah dirancang pemuda aneh itu.
“Hanya Kandagalante Subangwara yang bisa mengirimkan Si Purbajaya ke Pakuan…” gumam Raden Yudakara.
“Mengapa tidak Raden saja yang mengirimkannya?” tanya Ki Jayasena.
“Tidak. Tidak mungkin. Pamanku yang bodoh Ki Sunda Sembawa kerjanya buruk dan ceroboh. Aku sudah dengar kalau Ki Yogascitra pejabat Pakuan sudah mencurigai tindak-tanduk Ki Sunda Sembawa yanag selalu kasak-kusuk di Sagaraherang. Kalau aku datang ke Pakuan dan diketahui aku sebagai kerabat Ki Sunda Sembawa, bisa pupuslah semua rencanaku. Mati aku kalau semua orang Pakuan sama-sama jadi mencurigaiku…”
“Ki Yogascitra? Bukankah dia pejabatpuhawang (akhli kebaharian di Pakuan?” tanya Ki Jayasena.
”Benar, Sena…”
“Bukankah Si Purbajaya mau Raden pekerjakan di puri Yogascitra sebab anak dungu itu dianggap ahli kelautan?” tanya Ki Jayasena lagi.
“Memang benar sekali, Sena. Aku ingin susupkan Si Purbajaya ke puri Yogascitra untuk mengamati tindak-tanduk pejabat itu,” jawab Raden Yudakara.
“Sungguh riskan melepas anak bengal itu berjalan sendirian. Bagaimana kalau dia malah bergabung dengan Pakuan dan membuka rahasia keberadaan kita?” Ki Jayasena bertanya penuh rasa khawatir.
“Anak itu rewel, gemar bertanya ini-itu dan sesekali suka membantah pada pendapatku. Namun sudah aku teliti, anak itu memang bodoh dan lugu. Dia buta politik. Hanya karena dia putra dari penguasa Tanjungpura yang amat disegani pihak Pakuan saja maka aku tetap mau memanfaatkan anak itu. Si Purba di Pakuan akan dihargai dan dipercaya karena ayahandanya amat dihargai kesetiaannya. Itu amat menguntungkan kita. Itulah sebabnya, aku tetap butuh dia. Dan aku pun percaya, dia akan tetap ikut kita. Di samping dia lugu dan awam terhadap kehidupan politik, dia pun terikat oleh sesuatu yang tak mungkin dia lepas. Dia banyak salah. Di Sumedanglarang dia bersalah, begitu pun di Carbon. Hanya aku yang bisa melindunginya. Itulah sebabnya dia akan tetap ikut aku untuk bisa kembali ke Carbon.”
“Kalau dia tetap mau memisahkan diri dari kita?”
“Hm… Di Pakuan belasan bahkan puluhan orang-orangku sudah siap-sedia mengawalnya. Kalau terlihat mencurigakan, anak-buahku akan membunuhnya di Pakuan sana…” Raden Yudakara mendengus.
Ki Jayasena memuji jalan pikiran Raden Yudakara ini. “Baru saya mengerti, mengapa Raden begitu “membela” anak setan itu. Saya pun mengerti, mengapa Si Purba harus punya hubungan baik dengan Ki Subangwara penguasa Tanjungpura yang sekarang,” kata Ki Jayasena.
“Nah, otakmu mulai cemerlang, Sena. Memang begitulah maksudku,” ujar Raden Yudakara. ”Kandagalante Subangwara dihargai oleh penguasa Pakuan karena kesetiaannya juga. Jadi kalau Si Purba dikirim ke Pakuan atas nama Kandagalante Subangwara, ini akan sangat memudahkan rencana-rencana kita,” ujar Raden Yudakara lagi.
“Saya percaya padamu dan saya berjanji akan selalu mentaatimu, Raden…” kata Ki Jayasena amat merendah da hormat sekali.
PURBAJAYA tak pernah punya ketenangan hati. Sampai dengan hari ini hidupnya tetap berada di bawah bayang-bayang orang lain. Raden Yudakara tak mau melepaskannya dan tetap berupaya agar Purbajaya ada di bawah kendalinya. Entah siasat apa yang dia lakukan. Yang jelas, Raden Yudakara telah berhasil menjalin hubungan dengan Kanadagalante Subangwara secara mudah. Bahkan tak lebih dari satu bulan, Raden Yudakara sudah menghasilkan kepercayaan yang membuat Purbajaya berdebar. Di pagi hari yang cerah, Purbajaya dipanggil ke bale-gede rumah kediaman Ki Jayasena.
“Purba, sudah terlalu lama engkau tertahan di sini. Kali ini kau harus mulai melanjutkan tugasmu yang terhenti ini,” kata Raden Yudakara bicara serius.
“Tugas apakah itu?” tanya Raden Yudakara dengan perasaan khawatir karena telah menduga sesuatu.
“Ini kotak surat daun nipah. Jangan kau sia-siakan sebab ini adalah surat untuk mengantarmu memasuki gerbang kehidupan di Pakuan. Kau harus menghubungi Ki Yogascitra pejabat terkenal di Pakuan. Berikan surat ini padanya dan engkau akan diterima di sana,” kata Raden Yudakara seraya menyodorkan sebuah kotak mungil terbuat dari kayu cendana berukir dan berbau harum.
Purbajaya menerimanya dengan tangan agak gemetar. Mengapa tak begitu sebab penyusupan dirinya ke Pakuan dengan pura-pura menjadi akhli kelautan sudah merupakan siasat yang diatur secara resmi oleh penguasa Nagri Carbon namun kini dia menerima perintah itu dari pemuda bernama Raden Yudakara yang dia tahu memiliki ambisi pribadi dalam urusan besar ini. Dia tegang dan khawatir. Dia akan segera bisa menyusup ke pusat kota Pajajaran dengan gandulan urusan pribadi pemuda bangsawan aneh ini.
Dan Purbajaya sulit untuk menghindar. Sejauh ini dia tak punya hubungan dengan orang-orang Carbon selain kepada Raden Yudakara. Sementara itu, Carbon telah mengatur agar selama bekerja sebagai mata-mata, Purbajaya harus selalu berhubungan dengan Raden Yudakara. Jadi bila melihat kenyataan ini, tidak terlihat kejanggalan dan secuil pun tidak melenceng dari perencanaan. Siapa yang bakal menyangka kalau dalam misi negara ini terselip pula kepentingan pribadi?
Purbajaya sudah menduga bahwa Raden Yudakara memanfaatkan gerakan yang dilakukan Carbon guna melaksanakan ambisi politik tertentu. Hari ini dia menjadi mata-mata Carbon, hari lain dia sebaga mata-mata untuk kepentingan orang-orang Sagaraherang. Namun bila rencana sudah dilakukan dengan matang, maka hasil akhir ingin dia miliki sendiri.
Purbajaya tidak bisa melarikan diri dari genggaman pemuda itu sebab seperti yang sudah diketahui, Purbajaya akan dihadang tuduhan sebagai pengkhianat karena terbukti melawan dan menggagalkan misi Carbon ke puncak Cakrabuana. Purbajaya bahkan gurunya Ki Jayaratu akan dianggap pengkhianat dan pembelot sebab kegagalan misi di Cakrabuana juga karena “andil” mereka juga. Baik Paman Jayaratu mau pun dirinya, kukuh dengan pendapatnya bahwa pengiriman pasukan ke puncak Cakrabuana adalah tindakan sia-sia.
Purbajaya pun sama tidak bisa pulang ke Sumedanglarang sebab kematian beberapa orang dari Sumedanglarang yang ikut misi muhibah akan dipertanyakan kepadanya. Dengan demikian, Purbajaya hanya bisa tetap bersama Raden Yudakara saja kendati dirinya amat muak.
“Itu adalah surat daun nipah dari Kandagalante Subangwara. Hanya dia yang dipercaya oleh Ki Yogascitra. Kau pasti diterima di sana. Maka bekerjalah dengan baik di sana,” kata Raden Yudakara.
Purbajaya mengangguk kendati dia sangsi apa yang dimaksud “bekerja dengan baik” di sana.
“Percayakah dia pada saya?” tanya Purbajaya kemudian.
“Kalau kau ingin lihat tipe orang Pajajaran, maka simaklah sikap hidup Ki Yogascitra. Dia adalah pejabat jujur. Sedangkan orang jujur biasanya bodoh, mudah ditipu dan mudah dipermainkan orang”, kata Raden Yudakara.
Purbajaya menatap wajah pemuda itu dengan senyum getir.
“Begini. Ki Yogascitra memang manusia cerdik. Itulah sebabnya, sejak Pajajaran dipimpin oleh Sang Prabu Surawisesa, (1521-1535 Masehi) sampai kepada Sang Prabu Ratu Dewata (1535-1543 Masehi) dan hingga kini di bawah kepemimpinan Sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551 Masehi), Ki Yogascitra tetap bertahan sebagai pejabat negri. Menurut orang Pajajaran, dia adalah pemikir yang arif. Kalau mengeluarkan kritik, dia tidak terdengar sebagai kritik, bahkan Ratu (penguasa) menganggapnya pendapat Ki Yogascitra sebagai masukan yang berharga. Ki Yogascitra pun diakui sebagai pejabat yang sabar. Dia tak pernah haus kekuasaan juga tak pernah menyingkirkan saingan. Baginya jabatan adalah tanggung-jawab yang harus dijalankan dan bukannya anugrah yang harus diterima. Tidak pendendam tidak pula pendengki. Tidak bercuriga dan tidak menganggap orang lain jahat.” kata Raden Yudakara.
“Itulah sikap mulia…” seru Purbajaya.
“Bukan. Itulah kebodohan,” potong Raden Yudakara.
“Mengapa?”
“Kebaikan-kebaikan pejabat itu yang barusan aku paparkan adalah sebuah kelemahan. Sudah aku katakan tadi, orang jujur cenderung bodoh, sebab si jujur mudah dibodohi oleh sesuatu bernama siasat. Hanya karena dia tak pernah berbuat bohong maka dia percaya kalau orang lain tidak akan membohonginya. Hanya karena dia tidak pernah berbuat khianat maka dia pun percaya kalau orang lain pun tidak akan berlaku khianat padanya. Itulah sebuah kedunguan, disangkanya semua kehidupan akan bersifat alamiah seperti air sungai yang mengalir selamanya dari hulu ke hilir atau seperti benda yang jatuh dari atas ke bawah dan tak akan terjadi kebalikannya. Tidak. Dan jangan dungu seperti itu sebab manusia bisa bicara hitam bisa bicara putih atau bahkan bicara hitam untuk putih atau malah sebaliknya bicara putih untuk hitam. Dan karena kita tahu Ki Yogascitra orang dungu, maka dari sudut itu pulalah kita mempermainkannya,” kata Raden Yudakara panjang-lebar.
Purbajaya termangu-mangu mendengarnya. Dia memuji jalan pikiran pemuda ini yang sanggup menebak “kelemahan” orang lain namun sekaligus juga bergidik. Ini adalah jalan pikiran yang tak pernah dipikirkan oleh orang yang berpikiran wajar, kecuali atas dasar rencana-rencana jahat.
“Jangan bengong saja. Ayo cepat terima kotak kayu cendana ini dan simpan baik-baik sebab sebentar lagi kau harus segera pergi dari tempat ini,” kata Raden Yudakara memotong lamunan Purbajaya.
“Kapan saya harus berangkat?”
“Malam ini juga!”
“Malam ini juga?”
“Ya, mengapa tidak?” Raden Yudakara balik bertanya.
“Rasanya perintah ini terlalu tergesa-gesa…” Purbajaya mengerutkan dahi.
“Jangan kau katakan tergesa-gesa sebab inilah sesuatu pekerjaan yang musti dilakukan dengan cepat. Lebih cepat lebih baik sebab sesudah tugas ini, kau punya rencana kehidupan untuk mengukir masa depan,” kata Raden Yudakara.
“Apakah itu?” tanya Purbajaya.
“Bukankah engkau akan menikahi Nyimas Wulan? Semakin cepat kau menyelesaikan tugas di Pakiuan, maka akan semakin cepat pula kau bersatu dengan kekasihmu,” jawab Raden Yudakara.
Hanya mengisyaratkan bahwa Purbajaya baru boleh menikahi Nymas Wulan bila sudah menyelesaikan tugasnya. Purbajaya masih termangu.
“Apa yang engkau pikirkan?”
“Saya musti bertemu dulu dengan Nyimas Wulan…“
“Gadis itu, biar aku yang urus!”
“Seperti halnya Raden “mengurus” Nyimas Waningyun tempo hari di Carbon?” Purbajaya menyindir membuat Raden Yudakara sedikit terhenyak malu. Pemuda itu melengos ke samping dan tertawa masam.
“Anggaplah aku bersalah padamu karena telah mengambil dan mempersunting gadis pujaanmu. Tapi kau harus ingat kepentingan lebih luas. Aku terpaksa menikahi Nyimas Waningyun karena semuanya demi kepentingan kita. Pangeran Arya Damar harus punya ikatan denganku agar kepercayaan yang dia berikan tidak setengah-setengah,” kilah Raden Yudakara enteng-enteng saja bicaranya.
Purbajaya merasa sebal. Setiap Raden Yudakara bicara perihal kepentingannya selalu dikatakannya sebagai kepentingan “kita”.
“Dan apa pula “kepentingan kita” atas diceraikannya Nyimas Yuning Purnama dari Sumedanglarang itu, Raden?” sindir lagi Purbajaya tak kepalang.
“Oh, ya?” Raden Yudakara garuk-garuk kepala. “Buat apa aku tinggal berlama-lama di wilayah itu? Dengan penguasa di sana aku tidak memiliki persesuaian paham, maka aku ceraikan gadis itu,” jawab Raden Yudakara. Namun rupanya dia merasa kalau jawaban ini tidak memuaskan Purbajaya. Buktinya pemuda itu melanjutkan bualnya.
“Lagian kau harus tahu, Purba, bahwa semua yang aku lakukan tidak semata-mata karena urusan pribadi. Semuanya demi sesuatu kepentingan lebih besar. Kalau aku sudah tak punya kesesuaian paham dengan pihak penguasa, buat apa aku bercapek-capek punya istri di sana? Ingatlah, bukan cinta yang aku kejar, melainkan ambisi untuk mengejar kedudukan. Perkawinan hanyalah jembatan untuk menghubungkan diri kepada cita-cita sebenarnya sebab pada dasarnya kepercayaan penguasa hanya bisa diberikan melalui jalur kekerabatan. Kau harus tahu itu!” kilahnya.
“Pantas kau bunuhi semua orang yang tak mendukung ambisimu, Raden…” gumam Purbajaya.
“Hm, mungkin benar begitu. Namun kematian murid-murid Ki Dita tak berkaitan dengan politik. Mereka mati mungkin karena alasan balas-dendam saja. Si Aditia itu membenciku. Syukurlah kau telah bunuh orang itu. Sementara Si Wista pemuda dungu bernyali kecil itu pernah mengadu pada ayahandanya perihal keberadaanku. Itu berbahaya. Makanya aku bunuh.”
“Keji…” gumam Purbajaya seperti lebih berkata pada dirinya saja.
“Tidak keji sebab itu untuk menjaga keselamatan diri. Kau lihatlah seekor harimau dalam mengoyak-oyak tubuh banteng. Kalau dia tak berbuat begitu, maka tubuhnyalah yang dikoyak tanduk banteng yang runcing dan kuat,” kilah Raden Yudakara lagi tak habis-habisnya mengeluarkan alasan, sehingga Purbajaya hanya sanggup menghela napas saja.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment