Ads

Wednesday, January 5, 2022

Kemelut di Cakrabuana 031

“Sudahlah. Kau jangan tanya yang bukan-bukan. Jangan pula bercuriga padaku kalau gadismu takut kuganggu. Yang penting, pusatkan dulu pikiranmu dalam mengemban tugas di Pakuan,” kata Raden Yudakara seperti ingin menutup obrolan.

“Tapi paman saya sepertinya ingin mengganggu keberadaan Nyimas Wulan…” kata Purbajaya masih penasaran dan mengingatkan pemuda itu akan “sifat” Ki Jayasena.

“Dia takut padaku. Kalau aku katakan jangan ganggu, dia yakin takkan ganggu. Sudahlah, jangan kau rewelkan perihal perempuan. Aku jamin, bila kau sudah tiba di Pakuan, maka sebentar kemudian kau akan lupakan gadis lamamu sebab di Pakuan adalah sorganya segala kecantikan duniawi,” potong Raden Yudakara yang mulai jengkel oleh kerewelan Purbajaya. ”Sebentar hari kau akan bermain-main di Taman Milakancana (taman bunga istana Pakuan). Itulah sorga dunia,” lanjut Raden Yudakara lagi amat tak mengenakkan perasaan Purbajaya.

Namun demikian, akhirnya Purbajaya menerima kotak kayu cendana berisi lembaran surat daun nipah yang kata Raden Yudakara amat penting untuk dijadikan pembuka gerbang Pakuan. Purbajaya berdiri dengan tubuh lunglai. Betapa tidak sebab kepergiannya ke Pakuan tak sempat dia khabarkan kepada Nyimas Wulan. Tentu saja ini menyedihkan. Betapa kelak gadis itu akan kehilangan dan pasti akan merasa sedih.

***

Kalau kau punya teman satu
maka yang bisa dilihat cuma satu
kalau kau punya banyak teman
maka tak satu pun bisa dilihat
tapi kalau kau tak punya teman
maka siapa pun bisa dilihat


Ini adalah lantunan ciptaan Paman Jayaratu dan suka ditembangkan di saat santai atau di saat Paman Jayaratu termenung seorang diri. Purbajaya kurang menyimak, apa makna lantunan ini. Kadang-kadang dia pun kurang kerasan mendengarnya sebab tembang itu dilantunkan dengan nada yang kurang enak didengar.

Namun di saat Purbajaya dalam kesendirian seperti ini, dia mencoba melantunkannya dengan suara amat perlahan. Nada lantunannya dia coba ubah agar terdengar sedikit merdu seperti tembang-tembang yang biasa didengar di wilayah Pajajaran. Orang Pajajaran kalau menyanyi selalu penuh perasaan baik tembang-tembang sedih mau pun gembira.

Sambil berjalan santai menyusuri jalan setapak dan buntalan pakaian menggandul di bahu, Purbajaya bersenandung menahan sepi. Dendang ciptaan Paman Jayaratu ini semakin dicerna semakin terasa maknanya.

Kalau punya teman seorang, maka kita hanya bisa mengenal luar dalam sahabat yang seorang ini. Purbajaya teringat ketika masih bersama Paman jayaratu. Dia benar-benar tak mau berpisah dengan orang tua itu sebab Purbajaya menganggap hanya Paman Jayaratulah orang terbaik baginya. Hanya Paman Jayaratu yang sayang padanya dan yang mau mengerti perasaannya. Tak ada orang sebaik Paman Jayaratu.

Demikian pun halnya ketika dekat dengan seorang wanita. Maka wanita itu pula yang dia anggap paling baik. Ketika Purbajaya semakin dikelilingi banyak orang, maka tidak seorang pun perangai dan karakternya dia kenal dengan baik. Mereka bahkan bersaing mendekatinya dengan hati palsu. Atau bisa juga Purbajaya salah memilih karena tak hapal akan karakter sebenarnya. Dan menurut Paman Jayaratu, akan lebih baik bila kita tak memiliki teman, sebab dengan demikian kita akan menilai mereka secara objektif dan orang lain pun menilai kita secara objektif pula.

“Terkadang keberadaan seorang musuh masih lebih berguna ketimbang orang mengaku sahabat,” tutur Paman Jayaratu ketika itu.

Menurut orang tua ini, musuh selamanya akan membuat kita waspada dan memaksa kita melakukan instrospeksi karena dengan gamblang dan jujur seorang musuh akan selalu mencari-cari kejelekan kita.

Sebaliknya keberadaan seorang sahabat bisa tak berguna sebab yang bernama sahabat biasanya tak akan berani atau merasa segan memberitahu perihal kejelekan kita. Terkadang sahabat hanya akan menina-bobokan kita dengan hal-hal yang baik saja karena ingin membuat kita senang dan sebaliknya khawatir kalau kita tersinggung oleh kritiknya.

Ya, akhirnya Purbajaya mengerti akan makna lantunan Paman Jayaratu ini. Namun demikian, sampai kini Purbajaya sulit memilih salah satu. Atau barangkali Purbajaya sulit menolak salah satu. Dia butuh cinta dan cinta bisa bersemi melalui persahabatan. Dia pun butuh banyak teman sebab teman yang banyak akan memberinya banyak keragaman dalam berpikir dan bertindak.

Sementara kalau Purbajaya tak memiliki teman, rasanya hidup ini hampa. Semuanya memang bisa dilihat namun tak bisa dijamah. Semuanya ada di kejauhan dan semuanya tidak bisa dimiliki. Padahal seperti apa kata hatinya, semua orang perlu memiliki sesuatu.

Purbajaya memang belum bisa mengimbangi apa yang telah dicapai oleh pemikiran gurunya. Namun demikian, sebagai pengisi sepi Purbajaya terus berdendang. Sampai pada suatu saat dia menghentikan tembangnya karena jauh di depannya terdengar pula lantunan lain.

Ketika kau dikalahkan
maka hatimu sakit penuh dendam
namun ketika kau menang
kegembiraan tak memiliki kesempurnaan
sebab orang yang kau kalahkan
hatinya sakit penuh dendam
maka berbahagialah
orang yang mencapai kemenangan
tanpa mengalahkan
dia tak menyakiti
atau pun disakiti!


Purbajaya tertegun. Siapakah yang tengah melantun jauh di depannya? Itu suara lantunan laki-laki. Pelan namun jernih dan kuat. Lantunannya bersahaja namun menggugah rasa. Mengapa pula orang di depannya sama melantunkan tembang? Apakah orang itu mau mengimbangi dan menyainginya? Mustahil. Purbajaya berdendang dengan suara pelan sekali, asal bisa didengar sendiri saja. Mungkin lelaki di depannya secara kebetulan saja berdendang, sama maksudnya sekadar mengusir rasa sepi. Berpikir seperti itu, Purbajaya pun tak ragu-ragu lagi melangkah ke depan, namun kali ini dia jadi menghentikan lantunannya.

Sampai pada suatu kelokan jalan, di depannya terlihat seorang lelaki usia limapuluhan duduk bersila di atas batu bundar. Lelaki itu di kepalanya terlihat sorban putih yang ujungnya berkibar-kibar karena tertiup angin pagi. Pakaiannya serba putih dan ditutupi kain lebar sejenis jubah. Purbajaya coba mengingat-ingat, serasa pernah melihat orang berpakaian seperti ini, namun di mana dan kapan, dia tak tahu.

Purbajaya tak mau berpikir lama, sebab dia sudah lantas menyapanya dengan sebuah salam yang biasa diucapkan orang yang telah memeluk agama baru. Pakaian yang digunakan lelaki ini biasanya dipakai oleh orang yang telah memiliki agama baru.



“Bapak yang tengah duduk, maafkan saya numpang lewat…” kata Purbajaya hormat sekali karena sorot mata orang itu sungguh tajam berwibawa.

“Silakan lewat. Tapi kalau boleh tanya, engkau anak muda datang dari mana dan hendak ke mana? Sepertinya engkau anak orang berada. Pakaianmu menunjukkan kau golongan santana (masyarakat pertengahan) dan bawaan di gendonganmu rupanya cukup berisikan barang berharga…” bertanya lelaki asing ini.

Purbajaya ingin bersikap hati-hati. Banyak orang jahat di sekelilingnya. Dan lelaki asing ini berani menilai keadaa dirinya. Namun Purbajaya tak percaya kalau orang yang punya sorot berwibawa ini hanya seorang penjahat belaka. Apalagi lelaki ini pandai melantunkan syair yang isinya padat penuh filsafat kendati isinya tidak benar-benar baru. Lantunan syair seperti ini Paman Jayaratu pun pernah mendendangkannya. Bahkan kalau Purbajaya tak salah mengingat, Pangeran Suwarga, Manggala (Panglima Prajurit) Nagri Carbon pun pernah berujar seperti ini.

“Tembangmu bagus, Bapak. Hanya sayang di dalam kehidupan sebenarnya hal itu tak pernah ada,” Purbajaya mengritik lantunan ini.

Mendengar kritik ini sebentar dahinya terlihat berkerut namun sebentar kemudian sudah terdengar tawa renyahnya.

“Betul. Itu karena orang telah memiliki penyakit bernama ambisi. Orang cenderung ingin memiliki kelebihan dari yang lainnya, maka terjadilah saling kalah-mengalahkan,” jawab lelaki berjubah putih dan berjanggut tebal ini.

“Aneh sekali, hampir semua orang berkata kalau ambisi itu penyakit, namun tokh dilakukan juga,” kata lagi Purbajaya.

“Tanyakan itu pada dirimu sendiri, anak muda…” potong orang tua setengah baya itu.

“Saya tak punya ambisi, Bapak!”

“Benarkah?”

Sejenak keduanya saling pandang namun akhirnya Purbajaya mengangguk pasti.

“Kau pernah merasa sakit hati?”

Purbajaya perlahan mengangguk.

“Nah, itulah ambisi!”

Purbajaya tercengang, tak mengerti akan ucapan orang tua ini. Purbajaya ikut duduk di sebuah batu lainnya sehingga akhirnya dua orang itu saling berhadapan.

“Saya tak mengerti, Bapak…” tukas Purbajaya masih mengerutkan dahi.

“Kau punya kehendak untuk tak disakiti. Mungkin kau pernah ditinggal cinta, maka kau sakit hati. Rasa sakit hati itu muncul karena kau punya ambisi agar cinta tak lepas dari genggamanmu, agar gadis yang engkau cinta selamanya jadi milikmu dan tak ada orang lain yang ganggu. Mungkin kau marah dan benci pada lelaki yang merebut cintamu. Nah, bukankah ini terjadi karena ambisi?” lelaki itu bicara panjang-lebar membuat Purbajaya terdesak karena benar dia pernah sakit hati karena urusan kehendak. Kehendak, bukankah ini pun ambisi?

“Bisakah manusia menghilangkan ambisinya?” tanya Purbajaya sesudah termenung sejenak.

“Mungkin tak bisa. Ambisi itu hawa-nafsu. Tuhanlah yang memberinya. Namun Tuhan pun memberi kita sebuah akal. Akal disimpan di otak. Orang bijaksana bisa memainkan perasaan, akal dan pikiran agar ambisi yang dipunyainya tidak menimbulkan huru-hara dan membahayakan kehidupan. Kau sudah diberi semuanya, tinggal kau pilih bagaimana cara memainkannya agar tak membahayakan kehidupan,” kata lelaki itu masih tetap bersila dan bersuara tenang.

Purbajaya menghela napas mendengar uraian ini. Itulah sulitnya. Tidak semua orang sanggup memainkan akal, pikiran dan perasaannya untuk digunakan secara wajar tanpa membahayakan kehidupan. Terkadang orang hanya memainkan perangkat jiwanya untuk kepentingan pribadinya semata. Dan kalau sudah begini, maka perang ambisi akan timbul di mana-mana dan mencari kemenangan tanpa mengalahkan orang lain adalah bohong belaka.

“Saya ini anak keluarga santana dan buntalan ini berisi pakaian dan kepingan uang logam. Dengan bekal yang cukup ini, saya ingin bertualang ke wilayah barat,” kata Purbajaya mencoba memindahkan percakapan dari hal yang ruwet-ruwet.

“Bertualang ke wilayah barat tentu bukan untuk mencari keuntungan dan kesenangan, anak muda…” kata lelaki itu.

Purbajaya kembali menatap penuh selidik.

“Ya, bukankah keramaian ada di wilayah timur seperti Carbon, misalnya?” lelaki itu menegaskan dengan nada khusus.

“Saya tak bermaksud berniaga…”

“Kalau begitu, hati-hatilah. Kehidupan niaga penuh tipu-daya karena yang dicari hanyalah keuntungan. Kalau perniagaan tidak dilandaskan kepada aturan agama, itu akan membahayakan,” kata lelaki itu. ”Namun harap kau ketahui, ada jenis tipu daya yang lebih berbahaya ketimbang tipu-daya dalam urusan dagang.”

“Apakah itu?” tanya Purbajaya melirik.

“Bukankah sudah aku katakan kalau manausia itu penuh ambisi? Jagalah ambisimu agar ketika sampai di wilayah barat kau tidak terperosok ke dalam tindak-tanduk yang membahayakan kehidupan umat,” kata lelaki itu amat mencurigakan Purbajaya.

“Siapakah Bapak ini? Saya punya keyakinan, Bapak bukan orang sembarangan. Barangkali Bapak sudah mengenal siapa saya sebenarnya,” Purbajaya berjingkat dan berdiri. Dia siap menghadapi segala kemungkinan.

Lelaki itu pun ikut berdiri dan jubahnya berkibar-kibar kena tiupan angin pesisir utara.

“Kalau ketika berada di wilayah Sagaraherang kau tidak mabuk seperti raden Yudakara, barangkali kau akan tahu siapa aku,” jawab orang itu bertolak pinggang dan tertawa.

Maka terbayang kembali di puri Ki Sunda Sembawa ada lelaki asing mencegat Raden Yudakara bahkan memukul roboh pemuda bangsawan itu. Purbajaya amat terkejut setelah mengingatnya.

“Anda Ki Rangga Guna?” teriak Purbajaya kaget dan memasang kuda-kuda siap untuk bertempur.

“Hahaha…, aku memang Rangga Guna!” jawab lelaki itu.

Dan Purbajaya mengeluh. Belum lagi bergerak memasuki Pakuan sudah diketahui musuh. Ya, Ki Rangga Guna adalah pecinta Pajajaran. Bagaimana pun tetap akan menganggap Purbajaya sebagai musuhnya sebab diketahui berkomplot dengan Raden Yudakara. Purbajaya mengeluh. Ki Rangga Guna ini memiliki ilmu kewiraan amat tinggi. Terbukti Raden Yudakara yang pandai, hanya dalam satu gebrakan santai saja telah terlontar tak berdaya oleh pukulan Ki Rangga Guna.

Urat-urat di tubuh Purbajaya menegang keras. Dia siap menghadapi ancaman baru yang datang dari Ki Rangga Guna. Namun aneh, Ki Rangga Guna hanya tertawa-tawa saja.

“Lanjutkanlah kalau kau mau melakukan perjalanan ke Pakuan,” ujarnya membingungkan.

Purbajaya tetap terpaku di tempatnya.

“Mengapa masih diam? Katanya mau pergi?” Ki Rangga Guna berkata seperti mengejek.

“Mengapa engkau tidak menahanku, Ki Rangga?” tanya Purbajaya masih bercuriga.

“Karena engkau tengah mengemban misi!” kata Ki Rangga Guna.

“Misiku jahat!” Purbajaya langsung mengaku sebelum dituding orang.

“Tidak, asalkan engkau pandai memilih, anak muda…”

Purbajaya tercengang. Aneh sekali, masa orang Pajajaran membiarkan negrinya disusupi musuh? Sepertinya Ki Rangga Guna mengerti akan isi hati Purbajaya. Buktinya dia berkata dan mencoba menerangkan perihal sikapnya.

“Aku memang orang Pajajaran. Namun kuanggap Carbon pun Pajajaran juga. Paling tidak, penguasa di Carbon adalah keturunan Pajajaran. Aku menghargai kepada keturunan yang mau mencoba meningkatkan keberadaan dan kebesaran leluhur. Namun menjaga kebesaran leluhur tidak selalu musti mengiktui tata-cara hidup leluhur. Kalau ada tata cara kehidupan baru yang lebih sempurna dan dijalankan untuk memperkaya kualitas hidup, aku setuju saja. Itu yang aku artikan tentang sikap-sikap Carbon selama ini.”

“Tapi…” bantah Purbajaya.

“Ya, aku tahu, ada beberapa orang Carbon yang tergelincir karena ambisi pribadinya. Itulah sebabnya aku katakan, kau harus pandai-pandai di Pakuan kelak. Sekali kau ikut tergelincir, maka tak akan ada maaf bagi petualang-petualang politik,” kata Ki Rangga Guna.

“Benarkah perkataanmu, Ki Rangga?” Purbajaya masih tak percaya akan kesungguhan Ki Rangga Guna ini.

“Apa maksudmu, anak muda?” Ki Rangga Guna balik bertanya.

“Sebab saya tahu anda adalah orang Pajajaran yang ingin membela Pajajaran. Jadi, bagaimana mungkin membiarkan bahkan mendorong saya melakukan penyusupan ke Pakuan?” tanya Purbajaya masih belum yakin.

Ki Rangga Guna tersenyum mendengarnya. “Tidak salah. Apa pun yang terjadi aku tetap orang Pajajaran. Namun aku pun pernah katakan, hanya kepada orang-orang yang akan merusak aku akan lawan dan halau, sementara kepada yang ingin membuat Pajajaran menjadi lebih besar aku akan bantu. Aku percaya kepada Kangjeng Susuhunan Jati dan aku pun percaya kepada pembantunya bernama Pangeran Suwarga,” tutur Ki Rangga Guna lagi.

“Benarkah begitu? Lantas bagaimana dengan Raden Yudakara, misalnya?” tanya Purbajaya.

“Aku menentang orang itu sebab ia tak berdiri di atas kepentingan Carbon, melainkan karena ambisi pribadi semata,” tutur Ki Rangga Guna lagi.

“Banyak yang memiliki kepentingan pribadi seperti itu…” gumam Purbajaya sambil mengerutkan dahi, kemudian menundukkan wajah.

“Ya, aku tahu itu. Itulah sebabnya selama ini aku mengawasi mereka. Tujuan-tujuan mulia dari Kangjeng Susuhunan Jati jangan sampai ternoda oleh perilaku petualang-petualang macam mereka.”

“Syukurlah Ki Rangga Guna berpikiran seperti itu,” kata Purbajaya gembira.

“Ya, pergilah engkau segera sebab perjalanan masih jauh dan marabahaya akan selamanya mengancammu, anak muda…“

Ki Rangga Guna berjingkat sepertinya memberi kesempatan kepada Purbajaya agar segera melanjutkan perjalanannya.

“Engkau bijaksana terhadap negrimu, Ki Rangga…” Purbajaya memuji orang tua itu setulus hatinya.

Mendengar pujian ini, Ki Rangga Guna hanya tersenyum tipis. Dia berpaling dan menatap ke arah barat, ke dataran rendah wilayah Muaraberes nun jauh di sana.

“Kehidupan terus berputar, meninggalkan yang lama dan menghadirkan yang baru. Ibarat sebuah pertunjukan wawayangan, ki dalang sudah tahu jauh sebelumnya akan rentetan ceritera, sehingga dia bisa menjajarkan golek, kapan yang sudah berlakon dan musti masuk kotak, dan kapan pelakon baru yang musti naik panggung. Yang baru datang tak perlu sombong dan mencemooh kepada yang lama dan sebaliknya yang lama tak perlu dengki melihat kehadiran yang baru,” kata Ki Rangga Guna dan akhirnya dia bersenandung dengan nada-nada penuh perasaan.

Tak akan ada yang baru
bila tak ada yang lama
yang lama peletak dasar kehidupan
yang baru penerus sejarah
yang lama memperjuangkan kesempurnaan
yang baru menyempurnakan
kalau hidup dan mati untuk kebaikan
maka tak perlu disesalkan yang hidup
dan tak perlu disesalkan yang mati
hidup dan mati
sama-sama penuh arti!


***

MUDAH diduga kalau Raden Yudakara tidak mau melanjutkan hingga Pakuan. Di wilayah pusat kekuasaan Pajajaran ini, Raden Yudakara sebetulnya tidak terlalu bisa bergerak. Kalau pun dia memiliki pengaruh, itu terbatas di wilayah Pajajaan sebelah timur saja. Sementara di lingkungan dayo (ibu kota), Raden Yudakara tak berarti apa-apa. Pengaruh yang dia miliki di sana, hanya terbatas pada pejabat-pejabat yang sudah berpaling kesetiaannya pada penguasa sekarang.

Ketika Purbajaya tiba di tepian sungai Cihaliwung (Ciliwung), hari sudah mulai senja. Namun demikian, biduk-biduk kecil nampak hilir-mudik membawa muatan barang. Hanya biduk-biduk kecil semata. Menandakan bahwa kehidupan perdagangan di perairan tidak seramai manakala muara sungai ini masih dikuasai oleh Pajajaran.

Dulu semasa Pajajaran diperintah oleh Sang Prabu Sri Baduga Maharaja (1462-1521 Masehi), perdagangan internasional amat berkembang di sini sebab Pajajaran memiliki tujuh pelabuhan penting yang menghubungkan jalur ekonomi laut ke negri-negri sebrang. Perdagangan internasional ini terus berlanjut sampai Pajajaran diperintah oleh Sang Prabu Surawisesa (1521-1535 Masehi).

Hubungan dengan bangsa asing kian dekat. Sampai pada suatu saat, situasi ini dianggap tak menguntungkan Kerajaan Demak. Sebagai negara yang berhaluan agama baru, Demak memiliki hubungan dagang dengan pedagang-pedagang muslim dari Gujarat.

Ketika Pajajaran mengadakan kerja-sama dagang dengan Portugis, saudagar muslim ruang-geraknya dibatasi oleh bangsa asing itu. Apalagi ketika Portugis menguasai Selat Malaka, para pedagang muslim terputus kegiatannya di Nusantara. Hal-hal semacam ini tentu merugikan Kerajaan Demak. Itulah sebabnya, Demak yang dibantu Carbon yang sudah memisahkan diri dari Pajajaran, segera menyerang dan merebut Banten, salah satu pelabuhan penting Pajajaran.

Mengapa Banten yang pertama kali direbut, sebab penduduk Banten kebanyakan sudah masuk agama baru tapi yang kehidupannya dibatasi oleh Portugis. Maka Banten mudah direbut sebab penduduknya membantu pihak penyerbu. Demikianlah, Banten menjadi milik Demak dan Carbon pada tahun 1526. Kemudian setahun sesudah itu (1527), Pelabuhan Kalapa (Sunda Kalapa kini), direbut pula oleh Demak dan Carbon dan namanya berubah menjadi Jayakarta.

Pelabuhan Jayakarta ini terletak di muara sungai Ciliwung. Itulah sebabnya, hingga kini, perdagangan Pajajaran hanya sebatas di pedalaman saja. Negri Sunda ini sudah tak memiliki wilayah pesisir lagi.

Sekarang, sungai Ciliwung hanya digunakan sebagai pelayaran ekonomi lokal saja. Kendati aliran sungai yang berair jernih ini masih lancar mengalir sampai muara, namun pedagang Pajajaran tidak melakukan perdagangan hingga muara.

Purbajaya sebenarnya tak begitu banyak diberi bekal penjelasan. Mengapa dia diperintah melakukan penyusupan ke Pakuan dengan jalan disuruh bekerja sebagai puhawang (akhli kelautan), sementara kehidupan kebaharian di Pajajaran tidak berkembang seperti masa lalu. Namun pertanyaannya ini segera terjawab ketika dirinya dijemput seseorang di tepian sungai. Ini bukan pertemuan tak sengaja sebab jelas-jelas Purbajaya telah dijemput orang. Di tepian sungai Ciliwung ini Purbajaya dijemput seorang “tukang perahu”.

“Nama saya Jongjo. Saya anak buah Ki Jaya Perbangsa…” kata lelaki bertubuh gempal berusia sekitar limapuluh-tahunan.

Purbajaya menyeberangi sungai Ciliwung dengan perlahan sebab “tukang perahu” terus mengajaknya bercerita.

“Ki Jaya Perbangsa… Saya belum kenal dia,” gumam Purbajaya. Seingatnya, Raden Yudakara tidak memberitakan perihal keberadaan orang ini.

“Nanti kau akan dihubungi beliau. Namun demikian, boleh aku terangkan sedikit,” kata Ki Jongjo. ”Ki Jaya Perbangsa adalah pejabat di Pakuan, namun punya hubungan erat dengan penguasa Sagaraherang,” lanjut Ki Jongjo lagi.

“Ki Sunda Sembawa?”

“Boleh dikata, Ki Jaya Perbangsa adalah tangan kanan Ki Sunda Sembawa,” ujar Ki Jongjo, membuat Purbajaya bingung.

Ia bingung, apa benar Raden Yudakara mengutus dirinya agar bergabung dengan kaki-tangan Ki Sunda Sembawa sementara itu Purbajaya sendiri pun sudah tahu kalau Raden Yudakara secara diam-diam tak mengaku sebagai anak-buah Ki Sunda Sembawa.

“Saya akan dibawa ke kediaman Ki Jaya Perbangsa?” tanya Purbajaya lagi.

“Tidak. Kau akan diantar ke puri Yogascitra,” jawab Ki Jongjo.

“Memang itu yang telah diatur,” kata Purbajaya.

“Engkau memang cocok memasuki lingkungan itu,” kata lagi Ki Jongjo mengayuh pelan.

“Tapi saya sangsi bisa diterima di puri itu, Paman. Kehidupan kebaharian tak jalan semenjak semua pelabuhan penting milik Pajajaran dikuasai Carbon. Bagaimana mungkin Ki Yogascitra menerima pegawai baru dalam bidang kelautan sementara lapangan di bidang itu kerja tak ada,” kata Purbajaya.

“Kau salah mengira. Sang Prabu Ratu Sakti penguasa Pakuan kini malah punya ambisi besar dalam upaya mengembalikan kebesaran di lautan. Pajak semakin berat dan anggaran militer ditingkatkan. Itu karena Raja punya cita-cita besar. Kaum puhawang tetap diperlukan untuk menghadapi dan mempersiapkan ke arah itu,” kata Ki Jongjo memberikan penjelasan sehingga Purbajaya mengangguk-angguk dibuatnya.

“Ayo cepat mendarat. Sebelum tiba dijawikhita (benteng kota luar) kita jangan sampai kemalaman sebab kalau begitu, gerbang akan ditutup,” kata Ki Jongjo lagi sambil mengayuh sampan cepat-cepat.

Sesudah sampai di tepi, Purbajaya cepat meloncat ke darat. Begitu pun Ki Jongjo, setelah menambatkan perahunya, dia pun ikut meloncat ke darat.

“Terus menuju arah barat,” kata ki Jongjo sambil melangkah di depan.

Menurut Ki Jongjo, pertahanan dayo (kota) Pakuan sangat kuat. Sebelum bisa memasuki wilayah istana, akan melewati dulu dua lapisan benteng. Satu bernama jawi khita, sebuah rentangan benteng yang melindungi kota luar, dan satunya lagi bernama dalem khita (benteng kota dalam), yaitu sebuah rentangan benteng yang melindungi pusat kota, di mana kaum bangsawan, raja beserta kerabat dan seluruh keluarganya tinggal. Tidak sembarang orang bisa memasuki wilayah dalem khita kecuali orang-orang tertentu.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment