Memang amat beruntung Purbajaya dijemput sejak awal. Dengan begitu tidak akan susah-payah memasuki wilayah istana. Hanya yang Purbajaya heran, mengapa yang menjemputnya adalah kaki-tangan Ki Sunda Sembawa? Mengapa tidak langsung kaki-tangan Raden Yudakara saja? Atau sebetulnya Purbajaya tidak perlu pusing sendiri memikirkan hal ini sebab di antara keduanya sama-sama memiliki tujuan yang sama yaitu meruntuhkan Pajajaran.
Purbajaya memasuki wilayah jawi khita tanpa melalui kesulitan yang berarti. Ketika dia diperiksa di gerbang, Purbajaya memperlihatkan surat daun nipah dari Kandagalante Subangwara yang ditujukan kepada Ki Yogascitra. Penjaga selain tidak mempersulit dirinya juga bersikap segan dan amat menghormatinya.
“Malam ini engkau bermalam di rumahku dan esok pagi baru kuantar ke puri Yogascitra,” kata Ki Jongjo.
Purbajaya hanya mengiyakan apa yang baik menurut orang itu. Di rumah panggung beratap ijuk yang agak terpencil dari rumah-rumah lainnya karena letaknya di pojok kampung, Ki Jongjo hidup seorang diri. Ia dikenal di sana sebagai tukang perahu yang memberikan pelayanan kepada para pedagang yang mengangkut hasil bumi dari pedalaman. Menurutnya, dia dulu datang dari wilayah kerajaan kecil bernama Tanjungbarat, berada di tepian sungai Cisadane atau di tepian jalan besar yang bila diteruskan ke arah barat akan menuju wilayah Banten.
Tanjungbarat ini pun merupakan daerah transisi. Masih dikuasai Pajajaran namun pengaruh Banten sudah mulai terasa di sana. Masyarakatnya sudah banyak yang memiliki agama baru. Jadi kalau Ki Jongjo kini bekerja untuk kepentingan kelompok yang ingin menjatuhkan Pakuan, Purbajaya tidak merasa heran.
“Pajajaran memang harus dihancurkan,” kilahnya mengepal tinju.
Purbajaya hanya menatap saja.
“Penguasa Pakuan yang kini memerintah tidak seperti para pendahulunya. Sang Prabu Ratu Sakti ini selalu menekan kehidupan rakyat dan bertindak kejam. Wilayah-wilayah yang tidak mau membayar seba (pajak) diperangi sehingga rakyatnya menderita,” tutur lagi Ki Jongjo.
Kata Ki Jongjo, di wilayah Pajajaran kini sudah sulit melihat orang tersenyum cerah. Tak ada kebahagiaan, tak ada masa depan.
“Kalau kau datang lebih awal, maka engkau tidak akan menyaksikan keramaian pesta tradisi bernama Kuwerabakti ,” kata Ki Jongjo seraya menyodorkan singkong rebus dan air jahe panas kepada Purbajaya.
Purbajaya yang perutnya kosong sejak pagi, makan singkong dengan lahapnya. Malah sebentar kemudian makanan hangat itu sudah habis.
“Apakah Kuwerabakti itu, Paman?” tanya Purbajaya sesudah minum air jahe.
“Itu adalah pesta tradisi tahunan. Setiap tahun seluruh rakyat dari semua negri bawahan Pajajaran datang ke Pakuan mengirim seba tahunan seusai panen. Maka pada perayaan Kuwerabakti seharusnya terjadi keramaian yang sangat sebab pada hari itu Pakuan banjir kekayaan hasil bumi, mulai dari ternak hingga kapas atau bahkan palawija dan hasil buah-buahan. Ratusan bahkan ribuandongdang (tempat pikulan berisi hasil bumi) akan berbaris menuju alun-alun jawi khita. Usungan padi akan diangkut keleuit salawe jajar (lumbung padi duapuluh lima baris). Betapa banyaknya lumbung itu sebab tiap barisnya terdiri dari duapuluh lima buah lumbung padi pula. Dulu lumbung itu terisi semua kini sudah tidak lagi,” kilah Ki Jongjo.
“Apakah masyarakat sudah tidak menyukai pesta Kuwerabakti lagi, Paman?” tanya Purbajaya.
“Bukan begitu. Ambarahayat masih menghargai dan merindukan pesta Kuwerabakti. Namun yang mereka inginkan, pesta bukan lahir dari paksaan dan tekanan melainkan dari kegembiraan serta rasa syukur mereka karena keberhasilan dalam bertani. Sekarang hasil pertanian kian berkurang. Rakyat tak tenang dalam mengolah tanah karena selain banyak diganggu peperangan juga ditekan oleh peraturan pajak yang kian tinggi dan banyak macam-ragamnya,” ujar Ki Jongjo.
“Jadi kalau pun sekarang-sekarang ini masih terdapat pesta Kuwerabakti, pengorbanan mereka tidak dilakukan sambil senyum kerelaan melainkan karena keterpaksaan belaka. Betapa menderita orang disuruh berpesta di saat hati risau dan kepercayaan berkurang karena dipaksa dan ditekan,” lanjut Ki Jongjo lagi membuat Purbajaya termenung-menung ikut kecewa melihat situasi Negri Pajajaran ini.
“Penguasa di Pakuan menganggap, wilayah timur Pajajaran yang amat berdekatan dengan kekuasaan Carbon, dianggap wilayah rawan. Setiap saat bisa tergoda untuk memindahkan kesetiaannya kepada penguasa agama baru. Untuk itulah maka urusan pajak di wilayah timur memerlukan petugas khusus. Kalau wilayah-wilayah lain pajak diantar sendiri ke pusat kota, maka untuk wilayah timur disusul sendiri oleh muhara (petugas penagih pajak). Ini karena Raja tak mempercayai kalau negri-negri kecil di wilayah timur mau datang sendiri mengirimkan pajak ke Pakuan. Itulah yang membuat negri-negri di wilayah timur geram dan bersepakat mengadakan perlawanan. Kau datang dari wilayah timur, salah satunya adalah memberikan bantuan dalam urusan ini, Purba…” kata Ki Jongjo panjang-lebar.
Purbajaya menguap beberapa kali pertanda kantuknya sudah datang menyerang. Lagi pula dia sudah jemu mendengar tujuan-tujuan perlawanan kepada penguasa Pakuan ini. Untung Ki Jongjo memaklumi kalau pemuda ini sudah sejak pagi melakukan perjalanan berat. Purbajaya disuruhnya beristirahat di sebuah kamar khusus berdipan. Purbajaya langsung merebahkan diri di atas dipan yang sudah disediakan. Matanya segera dipejamkan.
Namun kendati lelah dan ngantuk, Purbajaya bukan akan segera tidur. Yang sebenarnya ingin dia lakukan adalah berbaring sambil mencoba mendengarkan suara berkeresekan di atas atap rumah. Purbajaya sadar sejak tadi kalau pembicaraan dengan Ki Jongjo sedang diintip orang. Dia yakin sekali, suara berkeresekan di atas atap rumah bukanlah sekadar suara ranting pohon, melainkan suara gerakan tubuh orang yang lagi mengintip.
Ki Jongjo mungkin tak menyadarinya sebab tidak mendengar suara itu. Buktinya, orang tua gempal itu sudah terdengar dengkurnya. Purbajaya merasa bersyukur Ki Jongjo sudah tertidur pulas. Ini hanya punya arti dia bebas melakukan penyelidikan kepada pengintip itu. Purbajaya terus menunggu saat yang tepat. Dia mencoba menahan kantuknya ketika suara berkeresekan kembali hilang dan suasana sunyi untuk waktu yang cukup lama.
Dan Purbajaya hampir saja terlelap tidur ketika pada suatu saat suara berkeresekan muncul kembali. Purbajaya sudah sejak tadi memadamkan pelita minyak kelapa sehingga di dalam ruangan kamarnya suasana gelap gulita. Dengan demikian, bila dia membuat gerakan, maka si pengintip tidak bisa mengawasinya.
Dan ketika untuk ke sekian kalinya terdengar lagi suara ganjil di atap rumah, Purbajaya segera melayangkan pukulan jarak jauh ke atas. Bersamaan dengan itu, Purbajaya pun melesat ke langit-langit dan tubuhnya langsung menerobos ke atap. Namun ketika Purbajaya berhasil membobol atap, yang dicari sudah hilang entah ke mana. Purbajaya celingukan ke bawah. Ternyata di pekarangan ada bayangan melesat. Maka Purbajaya pun langsung meloncat dan mengejar orang misterius itu.
Sebentar kemudian, terjadilah kejar-mengejar di malam gelap dan sunyi ini. Purbajaya merasa kalau tingkat kepandaian orang itu berada di bawahnya. Buktinya, kecepatan berlari orang itu bisa dia atasi. Semakin lama jarak mereka semakin dekat hingga pada suatu saat bisa terkejar sama sekali.
Namun di tempat agak lapang, orang yang dikejar tak berusaha lari. Malah sebaliknya seperti menunggunya sambil bertolak pinggang dan sepasang kaki terpentang lebar. Maka sebentar kemudian, terjadilah pertempuran kecil.
Purbajaya memasuki wilayah jawi khita tanpa melalui kesulitan yang berarti. Ketika dia diperiksa di gerbang, Purbajaya memperlihatkan surat daun nipah dari Kandagalante Subangwara yang ditujukan kepada Ki Yogascitra. Penjaga selain tidak mempersulit dirinya juga bersikap segan dan amat menghormatinya.
“Malam ini engkau bermalam di rumahku dan esok pagi baru kuantar ke puri Yogascitra,” kata Ki Jongjo.
Purbajaya hanya mengiyakan apa yang baik menurut orang itu. Di rumah panggung beratap ijuk yang agak terpencil dari rumah-rumah lainnya karena letaknya di pojok kampung, Ki Jongjo hidup seorang diri. Ia dikenal di sana sebagai tukang perahu yang memberikan pelayanan kepada para pedagang yang mengangkut hasil bumi dari pedalaman. Menurutnya, dia dulu datang dari wilayah kerajaan kecil bernama Tanjungbarat, berada di tepian sungai Cisadane atau di tepian jalan besar yang bila diteruskan ke arah barat akan menuju wilayah Banten.
Tanjungbarat ini pun merupakan daerah transisi. Masih dikuasai Pajajaran namun pengaruh Banten sudah mulai terasa di sana. Masyarakatnya sudah banyak yang memiliki agama baru. Jadi kalau Ki Jongjo kini bekerja untuk kepentingan kelompok yang ingin menjatuhkan Pakuan, Purbajaya tidak merasa heran.
“Pajajaran memang harus dihancurkan,” kilahnya mengepal tinju.
Purbajaya hanya menatap saja.
“Penguasa Pakuan yang kini memerintah tidak seperti para pendahulunya. Sang Prabu Ratu Sakti ini selalu menekan kehidupan rakyat dan bertindak kejam. Wilayah-wilayah yang tidak mau membayar seba (pajak) diperangi sehingga rakyatnya menderita,” tutur lagi Ki Jongjo.
Kata Ki Jongjo, di wilayah Pajajaran kini sudah sulit melihat orang tersenyum cerah. Tak ada kebahagiaan, tak ada masa depan.
“Kalau kau datang lebih awal, maka engkau tidak akan menyaksikan keramaian pesta tradisi bernama Kuwerabakti ,” kata Ki Jongjo seraya menyodorkan singkong rebus dan air jahe panas kepada Purbajaya.
Purbajaya yang perutnya kosong sejak pagi, makan singkong dengan lahapnya. Malah sebentar kemudian makanan hangat itu sudah habis.
“Apakah Kuwerabakti itu, Paman?” tanya Purbajaya sesudah minum air jahe.
“Itu adalah pesta tradisi tahunan. Setiap tahun seluruh rakyat dari semua negri bawahan Pajajaran datang ke Pakuan mengirim seba tahunan seusai panen. Maka pada perayaan Kuwerabakti seharusnya terjadi keramaian yang sangat sebab pada hari itu Pakuan banjir kekayaan hasil bumi, mulai dari ternak hingga kapas atau bahkan palawija dan hasil buah-buahan. Ratusan bahkan ribuandongdang (tempat pikulan berisi hasil bumi) akan berbaris menuju alun-alun jawi khita. Usungan padi akan diangkut keleuit salawe jajar (lumbung padi duapuluh lima baris). Betapa banyaknya lumbung itu sebab tiap barisnya terdiri dari duapuluh lima buah lumbung padi pula. Dulu lumbung itu terisi semua kini sudah tidak lagi,” kilah Ki Jongjo.
“Apakah masyarakat sudah tidak menyukai pesta Kuwerabakti lagi, Paman?” tanya Purbajaya.
“Bukan begitu. Ambarahayat masih menghargai dan merindukan pesta Kuwerabakti. Namun yang mereka inginkan, pesta bukan lahir dari paksaan dan tekanan melainkan dari kegembiraan serta rasa syukur mereka karena keberhasilan dalam bertani. Sekarang hasil pertanian kian berkurang. Rakyat tak tenang dalam mengolah tanah karena selain banyak diganggu peperangan juga ditekan oleh peraturan pajak yang kian tinggi dan banyak macam-ragamnya,” ujar Ki Jongjo.
“Jadi kalau pun sekarang-sekarang ini masih terdapat pesta Kuwerabakti, pengorbanan mereka tidak dilakukan sambil senyum kerelaan melainkan karena keterpaksaan belaka. Betapa menderita orang disuruh berpesta di saat hati risau dan kepercayaan berkurang karena dipaksa dan ditekan,” lanjut Ki Jongjo lagi membuat Purbajaya termenung-menung ikut kecewa melihat situasi Negri Pajajaran ini.
“Penguasa di Pakuan menganggap, wilayah timur Pajajaran yang amat berdekatan dengan kekuasaan Carbon, dianggap wilayah rawan. Setiap saat bisa tergoda untuk memindahkan kesetiaannya kepada penguasa agama baru. Untuk itulah maka urusan pajak di wilayah timur memerlukan petugas khusus. Kalau wilayah-wilayah lain pajak diantar sendiri ke pusat kota, maka untuk wilayah timur disusul sendiri oleh muhara (petugas penagih pajak). Ini karena Raja tak mempercayai kalau negri-negri kecil di wilayah timur mau datang sendiri mengirimkan pajak ke Pakuan. Itulah yang membuat negri-negri di wilayah timur geram dan bersepakat mengadakan perlawanan. Kau datang dari wilayah timur, salah satunya adalah memberikan bantuan dalam urusan ini, Purba…” kata Ki Jongjo panjang-lebar.
Purbajaya menguap beberapa kali pertanda kantuknya sudah datang menyerang. Lagi pula dia sudah jemu mendengar tujuan-tujuan perlawanan kepada penguasa Pakuan ini. Untung Ki Jongjo memaklumi kalau pemuda ini sudah sejak pagi melakukan perjalanan berat. Purbajaya disuruhnya beristirahat di sebuah kamar khusus berdipan. Purbajaya langsung merebahkan diri di atas dipan yang sudah disediakan. Matanya segera dipejamkan.
Namun kendati lelah dan ngantuk, Purbajaya bukan akan segera tidur. Yang sebenarnya ingin dia lakukan adalah berbaring sambil mencoba mendengarkan suara berkeresekan di atas atap rumah. Purbajaya sadar sejak tadi kalau pembicaraan dengan Ki Jongjo sedang diintip orang. Dia yakin sekali, suara berkeresekan di atas atap rumah bukanlah sekadar suara ranting pohon, melainkan suara gerakan tubuh orang yang lagi mengintip.
Ki Jongjo mungkin tak menyadarinya sebab tidak mendengar suara itu. Buktinya, orang tua gempal itu sudah terdengar dengkurnya. Purbajaya merasa bersyukur Ki Jongjo sudah tertidur pulas. Ini hanya punya arti dia bebas melakukan penyelidikan kepada pengintip itu. Purbajaya terus menunggu saat yang tepat. Dia mencoba menahan kantuknya ketika suara berkeresekan kembali hilang dan suasana sunyi untuk waktu yang cukup lama.
Dan Purbajaya hampir saja terlelap tidur ketika pada suatu saat suara berkeresekan muncul kembali. Purbajaya sudah sejak tadi memadamkan pelita minyak kelapa sehingga di dalam ruangan kamarnya suasana gelap gulita. Dengan demikian, bila dia membuat gerakan, maka si pengintip tidak bisa mengawasinya.
Dan ketika untuk ke sekian kalinya terdengar lagi suara ganjil di atap rumah, Purbajaya segera melayangkan pukulan jarak jauh ke atas. Bersamaan dengan itu, Purbajaya pun melesat ke langit-langit dan tubuhnya langsung menerobos ke atap. Namun ketika Purbajaya berhasil membobol atap, yang dicari sudah hilang entah ke mana. Purbajaya celingukan ke bawah. Ternyata di pekarangan ada bayangan melesat. Maka Purbajaya pun langsung meloncat dan mengejar orang misterius itu.
Sebentar kemudian, terjadilah kejar-mengejar di malam gelap dan sunyi ini. Purbajaya merasa kalau tingkat kepandaian orang itu berada di bawahnya. Buktinya, kecepatan berlari orang itu bisa dia atasi. Semakin lama jarak mereka semakin dekat hingga pada suatu saat bisa terkejar sama sekali.
Namun di tempat agak lapang, orang yang dikejar tak berusaha lari. Malah sebaliknya seperti menunggunya sambil bertolak pinggang dan sepasang kaki terpentang lebar. Maka sebentar kemudian, terjadilah pertempuran kecil.
Purbajaya tak sanggup melihat wajah orang ini. Selain suasana malam demikian gelap, juga nampaknya wajah orang itu ditutupi semacam cadar dari mulai hidung hingga dagunya. Siapakah orang ini? Purbajaya belum bisa menduganya. Namun bila orang ini menggunakan topeng, pertanda dia tak mau dikenali wajahnya, atau bisa juga orang itu merasa kalau Purbajaya sudah mengenali sebelumnya.
Purbajaya pun tidak bisa menduga, mengapa orang ini coba mengintai rumah Ki Jongjo. Siapakah yang sebenarnya tengah dia intai? Ki Jongjo ataukah dia sendiri? Untuk mengetahui hal ini tak ada jalan selain berupaya menangkap orang ini. Dan Purbajaya merasa yakin kalau dia bakal bisa menangkap orang misterius ini. Dalam pertarungan yang baru berlangsung beberapa jurus ini, Purbajaya terbukti bisa mendesak lawan. Purbajaya memperhitungkan kalau dalam beberapa jurus mendatang dia sudah bisa melumpuhkan lawan.
Namun ketika dia hampir berhasil mengalahkan lawan dengan cara akan memukul ulu hati orang itu, tiba-tiba dari berbagai arah bermunculan beberapa orang yang sama-sama memakai cadar hitam dan langsung melancarkan serangan kepada Purbajaya.
Sesudah kedatangan lawan-lawan baru yang jumlahnya lebih dari lima orang, kini situasi jadi berbalik, giliran Purbajaya yang didesak habis-habisan. Hanya dalam satu dua jurus saja, tubuh Purbajaya jatuh terjengkang kena tohokan seorang penyerang yang menjotos ulu hatinya. Dan ketika dia akan segera bangkit, serangan lain pun datang bertubi sehingga tubuh Purbajaya bergulingan. Perlawanan pemuda ini bahkan berhenti sama-sekali ketika beberapa senjata tajam sudah ditodongkan ke leher dan dadanya. Purbajaya tak bisa berkutik.
“Berdiri! Ayo ikut kami!” teriak seseorang.
Purbajaya tetap tak bisa mengenali siapa mereka. Maka satu-satunya cara adalah dengan ikut kehendak mereka. Dengan demikian Purbajaya akan tahu ke mana dia akan dibawa. Purbajaya berdiri namun dengan perasaan tenang. Dia tahu, orang-orang ini tak berniat mencelakakan dirinya kecuali hanya ingin menangkapnya saja. Namun demikian Purbajaya pun mendapatkan betapa hati-hati dan penuh rahasia tindak-tanduk mereka. Ketika Purbajaya diiringkan oleh mereka, sepasang matanya ditutup ikatan kain.
Purbajaya belum hapal seluk-beluk Kota Pakuan, sehingga ketika dibawa dalam keadaan mata tertutup, dia tak bisa menduga dibawa ke mana. Hanya yang dia rasakan, setelah berjalan beberapa lama, tubuhnya dibawa meloncati benteng tinggi hampir setinggi tiga depa (satu depa kurang lebih 1,698 meter). Hatinya berdebar tegang. Dia menduga kalau dirinya dibawa ke wilayah dalem khita.
Mungkinkah dia dibawa ke wilayah benteng kota dalam, wilayah di mana penghuninya adalah para bangsawan, pejabat dan kerabat istana? Kalau benar begitu, orang-orang yang menculiknya ini untuk siapakah bekerja? Sulit untuk diduga. Yang jelas orang-orang ini tidak akan membawanya kepada pejabat bernama Ki Jaya Perbangsa sebab bila mereka anak buah Ki Jaya Perbangsa, rasanya tidak perlu memperlakukan Purbajaya seperti itu.
Sesudah memasuki benteng, Purbajaya tidak langsung dibawa pergi, melainkan diseretnya hingga mepet di dinding benteng. Berjalan lagi beberapa puluh depa, untuk kemudian berhenti dan sembunyi lagi. Amat memperjelas dugaan bahwa gerakan mereka dalam upaya menyeret Purbajaya dilakukan penuh rahasia.
Sesudah berjalan lagi beberapa saat, akhirnya Purbajaya merasa kalau dirinya dibawa memasuki sebuah puri milik orang penting di Pakuan. Ini telah dia rasakan saat terdengar derit pintu gerbang besar dibuka orang dan beberapa orang penjaga menyuruh rombongan agar masuk halaman dengan cepat.
Berjalan lagi beberapa puluh langkah di atas jalan berbalay. Belok kiri, belok kanan, naik ke sebuah anak tangga batu, kemudian berjalan di atas lantai kayu. Sesudah itu, Purbajaya dipaksa duduk di atas sebuah bangku. Purbajaya harus menunggu beberapa saat sampai pada akhirnya didengarnya sebuah langkah kaki berat yang mendekatinya.
“Coba buka penutup matanya,” kata orang yang barusan mendekat pada Purbajaya.
Penutup mata yang membalut wajah Purbajaya segera dibuka orang. Purbajaya mengucak-ucak sepasang matanya karena pandangannya terasa kabur. Namun matanya yang sulit melihat sekitarnya. Bukan saja karena terlalu lama ditutup, tapi juga karena di mana ruangan dia berada suasananya hanya remang-renang saja kalau tak dikatakan gelap.
Ada bayangan seseorang yang berdiri di hadapannya. Wajahnya tidak bisa dikenal dengan baik, yang jelas bentuk tubuhnya terlihat agak gemuk dengan perut terlihat buncit. Purbajaya tidak akan menduga-duga siapa orang ini sebab jelas tak akan bisa. Paling-paling dia berharap kalau belakangan nanti dia bisa mengetahuinya.
“Betulkah tadi senja kau bersama Ki Jongjo?” tanya orang gempal itu bertanya dengan suara parau.
Untuk sementara Purbajaya diam membisu.
“Jawablah, anak muda!”
Purbajaya masih juga terdiam.
“Plak!” Orang lain yang berdiri di samping si penanya menampar pipi Purbajaya.
“Engkau tidak sopan menolak permintaan Juragan!” desis orang itu marah.
“Bagaimana mau jawab, saya tak tahu siapa kalian ini,” jawab Purbajaya seraya mengusap-usap pipinya yang terasa pedas.
“Kau tak perlu tahu. Yang jelas, Juragan adalah orang penting di Pakuan ini. Cepat ayo jawab!”
“Ya!”
“Ya apa?”
“Tadi tanya apa?” Purbajaya seperti mempermainkan.
“Plak!” Kembali tamparan mendarat di pipi Purbajaya.
“Jawab yang benar!”
“Ya, saya tadi bersama Ki Jongjo!”
“Kau sengaja dijemput olehnya?”
“Betul…“
“Kau anak buah Ki Sunda Sembawa?”
Purbajaya diam.
“Jawab!”
“Bukan…“
“Plak!”
“Mengapa saya kau tampar terus, padahal saya sudah jawab apa yang kalian minta!” Purbajaya jengjel juga pipinya terus jadi bulan-bulanan tangan orang.
“Karena kau tak menjawab dengan benar!”
“Apanya yang tak benar?”
“Kau dijemput Ki Jongjo tapi tak mengaku kalau kau anak buah Ki Sunda Sembawa!”
“Mustinya saya menjawab bagaimana?”
“Seharusnya kau anak buah Ki Sunda Sembawa, atau paling sedikit kau punya hubungan kepada orang itu.”
“Ya… sesukamulah!”
“Maksudmu apa?”
“Kalau kau inginkan begitu, ya aku jawab begitu saja. Bolehlah, aku ini anak buah Ki Sunda Sembawa!”
Orang itu terlihat melayangkan kembali tamparannya. Namun kali ini Purbajaya mendahuluinya dengan cepat. Dan “plak!” giliran orang itu yang kena tampar bahkan tubuhnya sampai terjengkang karena tak menduga Purbajaya akan balik menyerang. Namun baru saja Purbajaya menurunkan tangannya, serangan ke padanya berhamburan dari sana-sini. Maka sebentar saja terdengar suara bakbikbuk karena Purbajaya dihujani bogem mentah. Dan akhirnya tubuh Purbajaya terlontar membentur dinding kayu. Purbajaya hampir dikeroyok lagi kalau saja lelaki gempal itu tidak melarangnya. Serentak semua orang menghentikan gerakannya.
“Biarkan dia bicara benar,” kata lelaki itu.
Purbajaya disuruh berdiri lagi dan dia kembali dihujani pertanyaan serupa. “Saya memang bukan anak buah Ki Sunda Sembawa. Hanya saya tak tahu, mengapa Ki Jongjo jemput saya…” jawab Purbajaya sebenar-benarnya.
“Kalau begitu, siapa yang mengutusmu ke sini?”
Purbajaya berpikir, jawaban mana yang akan diberikan yang sekiranya dia tak dihadiahi bogem mentah lagi. Kalau dia bilang diutus Carbon, apakah akan menguntungkan dirinya atau tidak? Dan bagaimana halnya kalau dia akui sebagai utusan Raden Yudakara saja?
“Saya datang dari wilayah Tanjungpura…” akhirnya Purbajaya memilih jalan tengah saja.
“Dari Tanjungpura? Siapa yang mengutusmu?”
“Ki Jayasena…” Purbajaya berspekulasi.
“Coba kau sebutkan tujuan Ki Jayasena mengutusmu, anak muda!”
“Bekerja di puri Yogascitra…” Purbajaya menjawab pelan.
“Kalau begitu, anak muda ini orang sendiri. Mengapa tidak kau katakan sejak awal?” lelaki gempal menepuk-nepuk pundak Purbajaya sambil terkekeh-kekeh.
“Saya musti hati-hati berhadapan dengan orang yang tak saya kenal,” kata Purbajaya sedikit menguji kalau-kalau orang itu akhirnya mau buka rahasia siapa dirinya.
“Ya, kau orang sendiri sebab kau adalah utusan Raden Yudakara,” kata lelaki itu masih menepuk-nepuk pundak Purbajaya.
Purbajaya kecewa karena orang itu tidak mengatakan siapa dirinya.
“Kau hampir saja terperosok ke tangan Ki Jaya Perbangsa. Harap kau hati-hati, jangan sampai terpengaruh oleh orang-orang Ki Sunda Sembawa,” kata lelaki gempal berperut buncit itu. ”Tapi kendati begitu, kau harus tetap memiliki hubungan dengan Ki Jaya Perbangsa. Kau harus meneliti dan selidiki keberadaan orang itu dan sejauh mana memiliki hubungan dengan Ki Sunda Sembawa,” kata orang itu.
Purbajaya puyeng menyimaknya.
“Ayo, antarkan kembali dia ke tempat semula!” kata orang itu lagi.
Dan tanpa diberi kesempatan lebih lanjut, Purbajaya kembali ditutup matanya. Dia dikembalikan ke tempat semula dengan mata gelap karena penutup yang ketat. Baru saja tiba di sebuah tempat, bagian belakang kepalanya terasa nyeri karena dipukul orang. Purbajaya meloso dan tak sadarkan diri untuk beberapa saat.
Dia siuman dari pingsannya ketika hari sudah siang, itu pun karena banyak orang membangunkannya.
“Hai, Ki Silah (saudara), mengapa kau tidur di tengah jalan seperti ini? Minggirlah, sebentar lagi akan banyak roda pedati yang lewat,” tutur seseorang keheranan.
Purbajaya bangkit dan celingukan karena dirinya telah jadi tontonan orang banyak. Belakang kepalanya masih dirasakan berdenyut-denyut karena pukulan para penculiknya. Ketika Purbajaya bangkit, kebetulan Ki Jongjo pun datang ke tempat itu. Tanpa banyak bicara, Purbajaya ditolong berdiri dan kemudian segera diajak berlalu dari tempat itu.
Sesampainya di rumah, Purbajaya ditanyai perihal kejadian semalam. Tentu saja Purbajaya tak berani mengemukakan hal yang sebenarnya. Kalau perkataan para penculik bisa dipercaya, maka majikan Ki Jongjo harus diperhatikan secara khusus.
Dari hasil pengetahuan tadi malam ada sesuatu yang tersirat, betapa sebetulnya kelompok yang ingin menjatuhkan Pajajaran bertebaran di mana-mana dan masing-masing saling bediri sendiri. Raden Yudakara yang selintas seperti menjadi bagian kecil dari pergerakan yang dipimpin oleh Ki Sunda Sembawa, nyatanya malah menjalin hubungan tersendiri dengan pejabat di Pakuan dan sama sekali terpisah dari Ki Sunda Sembawa.
Para penculiknya tadi malam mungkin menempatkan dirinya sebagai sekutu Raden Yudakara. Ini terbukti sesudah Purbajaya punya hubungan dengan Raden Yudakara, maka Purbajaya dianggap “orang sendiri” dan dilepas kembali.
“Kau pun tahu Paman, kalau tadi malam kita diintip orang tak dikenal. Maka saya kejar dia. Tapi kepandaian orang ini sungguh hebat. Dalam sebuah pertempuran kecil saya terdesak dan kalah. Mungkin saya dipukul dan tak sadarkan diri sampai saatnya pagi menjelang,” kata Purbajaya menyembunyikan sebagian penemuannya.
Mendengar penjelasan ini, Ki Jongjo termangu-mangu.
“Kira-kira, siapakah orang atau kelompok itu, Paman?” Purbajaya balik bertanya kalau-kalau Ki Jongjo mengenalnya.
“Mana aku tahu. Sementara maksud dia melakukan pengintaian pun aku tak tahu,” Ki Jongjo masih termangu-mangu.
Purbajaya menatap orang tua setengah baya ini walau selintas. Sebetulnya dia ingin mengorek keterangan dari Ki Jongjo. Namun nampaknya dia pun seperti bersikap hati-hati dan menyembunyikan sesuatu juga.
“Saya khawatir, kehadiran saya sudah diketahui orang-orang Pakuan…” gumam Purbajaya.
“Tidak mungkin. Perjalananmu sebenarnya tidak akan dihadang oleh orang-orang Pakuan. Apalagi engkau berbekal surat dari Ki Subangwara yang kepercayaan Ki Yogascitra. Yang aku khawatirkan… Ah, mungkin tidak begitu. Sudah pagi, seharusnya kau segera berkemas untuk memasuki puri Yogascitra,” kata Ki Jongjo tidak melanjutkan obrolan semula dan menggantinya dengan yang ada kaitannya dengan tugas penyusupan.
“Mungkin tidak hari ini, Paman… ” keluh Purbajaya memijit kepalanya di bagian belakang.
“Mengapa?”
“Kepalaku sedikit luka dan rasanya tubuh ini tak enak. Bagaimana kalau malam ini saya diberi kesempatan istirahat lagi di sini?”
Ki Jongjo termenung sebentar namun kemudian menyetujuinya. Dan malam ini kembali Purbajaya bermalam di ruma Ki Jongjo. Namun persis seperti yang diharapkan di dalam hatinya, malam-malam Ki Jongjo keluar rumah setelah mendapatkan Purbajaya “mendengkur”. Ke mana Ki Jongjo pergi? Itulah yang ingin dia ketahui.
Purbajaya menguntit Ki Jongjo yang secara diam-diam memasuki wilayah dalem khita dengan jalan loncat ke atas benteng. Siapa yang Ki Jongjo akan hubungi, Purbajaya belum tahu. Namuin demikian, dia punya dugaan kalau Ki Jongjo pasti akan menghubungi majikannya. Siapa lagi kalau bukan Ki Jaya Perbangsa.
Ketika memasuki sebuah halaman puri, Ki Jongjo tidak mengalami gangguan berarti sebab penjaga sudah kenal dirinya. Hanya Purbajaya saja mungkin yang kesulitan untuk masuk. Dia musti mencari bagian benteng yang tidak begitu ketat penjagaannya. Kebetulan ada sebuah pohon sawo yang berdiri di sisi benteng. Maka Purbajaya meloncati benteng melalui dahan pohon itu.
Dari atas benteng dilihatnya Ki Jongjo tengah tergopoh-gopoh menuju sebuah bangunan rumah panggung yang besar dan artistik. Purbajaya lihat kiri-kanan untuk memastikan bahwa ke tempat itu tak ada penjaga lewat. Setelah dirasanya sepi, Purbajaya baru memberanikan meloncat turun untuk kemudian terus berloncatan menghampiri rumah yang dituju Ki Jongjo.
Dengan amat hati-hati Purbajaya mengerahkan tenaga dalamnya menotolkan ujung jari kaki dan tubuhnya melambung ke udara, kemudian menclok tepat di tepian atap sirap. Purbajaya musti hati-hati agar gerakannya tidak menimbulkan suara barang sedikit pun agar penghuni rumah tak curiga.
Dan Purbajaya berhasil mencuri lihat apa yang tengah berlangsung di dalam rumah. Melalui genting sirap yang dia korek sehingga sedikit berlubang sudutnya, Purbajaya melihat Ki Jongjo tengah menghadap kepada seorang lelaki usia sekitar empatpuluhan yang berwajah gagah berkumis tipis. Purbajaya menduga, inilah Ki Jaya Perbangsa bangsawan Pakuan.
“Jadi, begitu Juragan. Malam tadi Purbajaya diculik sekelompok orang. Namun ketika anak muda itu kembali, dia tak berterus-terang memaparkan pengalamannya. Rasanya ada yang dia sembunyikan. Saya malah khawatir, pemuda itu bocorkan rahasia ini kepada pihak lain,” kata Ki Jongjo menghormat sekali.
Purbajaya terkejut, ternyata Ki Jogjo telah menduga kalau dirinya tak mengatakan hal sebenarnya mengenai pengalaman malam kemarin.
“Kau katakan apa kepada anak muda itu ketika baru kau jemput kemarin sore di tepian sungai Cihaliwung, Jongjo?” tanya Ki Jaya Perbangsa.
“Saya katakan kalau dia dijemput oleh Juragan,” jawab Ki Jongjo pendek.
“Bagaimana tanggapannya?”
“Dia tidak menanggapi hal-hal penting, Juragan. Dengan mudahnya dia menuruti kemauan saya.”
“Seharusnya memang begitu. Anak muda bernama Purbajaya itu sejauh ini tidak mengetahui hubungan yang sebenarnya antara Raden Yudakara dan Ki Sunda Sembawa. Mungkin dia menyangka kalau Ki Sunda Sembawa tetap menganggap Raden Yudakara sebagai pengikut setianya. Tidak. Kalau perjuangan Ki Sunda Sembawa berhasil, Raden Yudakara yang sok tahu itu akan segera disingkirkan,” kata Ki Jaya Perbangsa sambil menempelkan telapak tangannya ke lehernya sendiri. Ini hanya diartikan oleh Purbajaya kalau Raden Yudakara kelak akan dibunuh kelompok Ki Sunda Sembawa.
“Tapi…“
“Tapi apa, Juragan?”
“Peristiwa tadi malam yang dialami anak itu, kira-kira apa, ya? Kalau benar dia diculik kelompok tertentu, siapakah kira-kira penculiknya?” tanya Ki Jaya Perbangsa heran.
Purbajaya pun tidak bisa menduga, mengapa orang ini coba mengintai rumah Ki Jongjo. Siapakah yang sebenarnya tengah dia intai? Ki Jongjo ataukah dia sendiri? Untuk mengetahui hal ini tak ada jalan selain berupaya menangkap orang ini. Dan Purbajaya merasa yakin kalau dia bakal bisa menangkap orang misterius ini. Dalam pertarungan yang baru berlangsung beberapa jurus ini, Purbajaya terbukti bisa mendesak lawan. Purbajaya memperhitungkan kalau dalam beberapa jurus mendatang dia sudah bisa melumpuhkan lawan.
Namun ketika dia hampir berhasil mengalahkan lawan dengan cara akan memukul ulu hati orang itu, tiba-tiba dari berbagai arah bermunculan beberapa orang yang sama-sama memakai cadar hitam dan langsung melancarkan serangan kepada Purbajaya.
Sesudah kedatangan lawan-lawan baru yang jumlahnya lebih dari lima orang, kini situasi jadi berbalik, giliran Purbajaya yang didesak habis-habisan. Hanya dalam satu dua jurus saja, tubuh Purbajaya jatuh terjengkang kena tohokan seorang penyerang yang menjotos ulu hatinya. Dan ketika dia akan segera bangkit, serangan lain pun datang bertubi sehingga tubuh Purbajaya bergulingan. Perlawanan pemuda ini bahkan berhenti sama-sekali ketika beberapa senjata tajam sudah ditodongkan ke leher dan dadanya. Purbajaya tak bisa berkutik.
“Berdiri! Ayo ikut kami!” teriak seseorang.
Purbajaya tetap tak bisa mengenali siapa mereka. Maka satu-satunya cara adalah dengan ikut kehendak mereka. Dengan demikian Purbajaya akan tahu ke mana dia akan dibawa. Purbajaya berdiri namun dengan perasaan tenang. Dia tahu, orang-orang ini tak berniat mencelakakan dirinya kecuali hanya ingin menangkapnya saja. Namun demikian Purbajaya pun mendapatkan betapa hati-hati dan penuh rahasia tindak-tanduk mereka. Ketika Purbajaya diiringkan oleh mereka, sepasang matanya ditutup ikatan kain.
Purbajaya belum hapal seluk-beluk Kota Pakuan, sehingga ketika dibawa dalam keadaan mata tertutup, dia tak bisa menduga dibawa ke mana. Hanya yang dia rasakan, setelah berjalan beberapa lama, tubuhnya dibawa meloncati benteng tinggi hampir setinggi tiga depa (satu depa kurang lebih 1,698 meter). Hatinya berdebar tegang. Dia menduga kalau dirinya dibawa ke wilayah dalem khita.
Mungkinkah dia dibawa ke wilayah benteng kota dalam, wilayah di mana penghuninya adalah para bangsawan, pejabat dan kerabat istana? Kalau benar begitu, orang-orang yang menculiknya ini untuk siapakah bekerja? Sulit untuk diduga. Yang jelas orang-orang ini tidak akan membawanya kepada pejabat bernama Ki Jaya Perbangsa sebab bila mereka anak buah Ki Jaya Perbangsa, rasanya tidak perlu memperlakukan Purbajaya seperti itu.
Sesudah memasuki benteng, Purbajaya tidak langsung dibawa pergi, melainkan diseretnya hingga mepet di dinding benteng. Berjalan lagi beberapa puluh depa, untuk kemudian berhenti dan sembunyi lagi. Amat memperjelas dugaan bahwa gerakan mereka dalam upaya menyeret Purbajaya dilakukan penuh rahasia.
Sesudah berjalan lagi beberapa saat, akhirnya Purbajaya merasa kalau dirinya dibawa memasuki sebuah puri milik orang penting di Pakuan. Ini telah dia rasakan saat terdengar derit pintu gerbang besar dibuka orang dan beberapa orang penjaga menyuruh rombongan agar masuk halaman dengan cepat.
Berjalan lagi beberapa puluh langkah di atas jalan berbalay. Belok kiri, belok kanan, naik ke sebuah anak tangga batu, kemudian berjalan di atas lantai kayu. Sesudah itu, Purbajaya dipaksa duduk di atas sebuah bangku. Purbajaya harus menunggu beberapa saat sampai pada akhirnya didengarnya sebuah langkah kaki berat yang mendekatinya.
“Coba buka penutup matanya,” kata orang yang barusan mendekat pada Purbajaya.
Penutup mata yang membalut wajah Purbajaya segera dibuka orang. Purbajaya mengucak-ucak sepasang matanya karena pandangannya terasa kabur. Namun matanya yang sulit melihat sekitarnya. Bukan saja karena terlalu lama ditutup, tapi juga karena di mana ruangan dia berada suasananya hanya remang-renang saja kalau tak dikatakan gelap.
Ada bayangan seseorang yang berdiri di hadapannya. Wajahnya tidak bisa dikenal dengan baik, yang jelas bentuk tubuhnya terlihat agak gemuk dengan perut terlihat buncit. Purbajaya tidak akan menduga-duga siapa orang ini sebab jelas tak akan bisa. Paling-paling dia berharap kalau belakangan nanti dia bisa mengetahuinya.
“Betulkah tadi senja kau bersama Ki Jongjo?” tanya orang gempal itu bertanya dengan suara parau.
Untuk sementara Purbajaya diam membisu.
“Jawablah, anak muda!”
Purbajaya masih juga terdiam.
“Plak!” Orang lain yang berdiri di samping si penanya menampar pipi Purbajaya.
“Engkau tidak sopan menolak permintaan Juragan!” desis orang itu marah.
“Bagaimana mau jawab, saya tak tahu siapa kalian ini,” jawab Purbajaya seraya mengusap-usap pipinya yang terasa pedas.
“Kau tak perlu tahu. Yang jelas, Juragan adalah orang penting di Pakuan ini. Cepat ayo jawab!”
“Ya!”
“Ya apa?”
“Tadi tanya apa?” Purbajaya seperti mempermainkan.
“Plak!” Kembali tamparan mendarat di pipi Purbajaya.
“Jawab yang benar!”
“Ya, saya tadi bersama Ki Jongjo!”
“Kau sengaja dijemput olehnya?”
“Betul…“
“Kau anak buah Ki Sunda Sembawa?”
Purbajaya diam.
“Jawab!”
“Bukan…“
“Plak!”
“Mengapa saya kau tampar terus, padahal saya sudah jawab apa yang kalian minta!” Purbajaya jengjel juga pipinya terus jadi bulan-bulanan tangan orang.
“Karena kau tak menjawab dengan benar!”
“Apanya yang tak benar?”
“Kau dijemput Ki Jongjo tapi tak mengaku kalau kau anak buah Ki Sunda Sembawa!”
“Mustinya saya menjawab bagaimana?”
“Seharusnya kau anak buah Ki Sunda Sembawa, atau paling sedikit kau punya hubungan kepada orang itu.”
“Ya… sesukamulah!”
“Maksudmu apa?”
“Kalau kau inginkan begitu, ya aku jawab begitu saja. Bolehlah, aku ini anak buah Ki Sunda Sembawa!”
Orang itu terlihat melayangkan kembali tamparannya. Namun kali ini Purbajaya mendahuluinya dengan cepat. Dan “plak!” giliran orang itu yang kena tampar bahkan tubuhnya sampai terjengkang karena tak menduga Purbajaya akan balik menyerang. Namun baru saja Purbajaya menurunkan tangannya, serangan ke padanya berhamburan dari sana-sini. Maka sebentar saja terdengar suara bakbikbuk karena Purbajaya dihujani bogem mentah. Dan akhirnya tubuh Purbajaya terlontar membentur dinding kayu. Purbajaya hampir dikeroyok lagi kalau saja lelaki gempal itu tidak melarangnya. Serentak semua orang menghentikan gerakannya.
“Biarkan dia bicara benar,” kata lelaki itu.
Purbajaya disuruh berdiri lagi dan dia kembali dihujani pertanyaan serupa. “Saya memang bukan anak buah Ki Sunda Sembawa. Hanya saya tak tahu, mengapa Ki Jongjo jemput saya…” jawab Purbajaya sebenar-benarnya.
“Kalau begitu, siapa yang mengutusmu ke sini?”
Purbajaya berpikir, jawaban mana yang akan diberikan yang sekiranya dia tak dihadiahi bogem mentah lagi. Kalau dia bilang diutus Carbon, apakah akan menguntungkan dirinya atau tidak? Dan bagaimana halnya kalau dia akui sebagai utusan Raden Yudakara saja?
“Saya datang dari wilayah Tanjungpura…” akhirnya Purbajaya memilih jalan tengah saja.
“Dari Tanjungpura? Siapa yang mengutusmu?”
“Ki Jayasena…” Purbajaya berspekulasi.
“Coba kau sebutkan tujuan Ki Jayasena mengutusmu, anak muda!”
“Bekerja di puri Yogascitra…” Purbajaya menjawab pelan.
“Kalau begitu, anak muda ini orang sendiri. Mengapa tidak kau katakan sejak awal?” lelaki gempal menepuk-nepuk pundak Purbajaya sambil terkekeh-kekeh.
“Saya musti hati-hati berhadapan dengan orang yang tak saya kenal,” kata Purbajaya sedikit menguji kalau-kalau orang itu akhirnya mau buka rahasia siapa dirinya.
“Ya, kau orang sendiri sebab kau adalah utusan Raden Yudakara,” kata lelaki itu masih menepuk-nepuk pundak Purbajaya.
Purbajaya kecewa karena orang itu tidak mengatakan siapa dirinya.
“Kau hampir saja terperosok ke tangan Ki Jaya Perbangsa. Harap kau hati-hati, jangan sampai terpengaruh oleh orang-orang Ki Sunda Sembawa,” kata lelaki gempal berperut buncit itu. ”Tapi kendati begitu, kau harus tetap memiliki hubungan dengan Ki Jaya Perbangsa. Kau harus meneliti dan selidiki keberadaan orang itu dan sejauh mana memiliki hubungan dengan Ki Sunda Sembawa,” kata orang itu.
Purbajaya puyeng menyimaknya.
“Ayo, antarkan kembali dia ke tempat semula!” kata orang itu lagi.
Dan tanpa diberi kesempatan lebih lanjut, Purbajaya kembali ditutup matanya. Dia dikembalikan ke tempat semula dengan mata gelap karena penutup yang ketat. Baru saja tiba di sebuah tempat, bagian belakang kepalanya terasa nyeri karena dipukul orang. Purbajaya meloso dan tak sadarkan diri untuk beberapa saat.
Dia siuman dari pingsannya ketika hari sudah siang, itu pun karena banyak orang membangunkannya.
“Hai, Ki Silah (saudara), mengapa kau tidur di tengah jalan seperti ini? Minggirlah, sebentar lagi akan banyak roda pedati yang lewat,” tutur seseorang keheranan.
Purbajaya bangkit dan celingukan karena dirinya telah jadi tontonan orang banyak. Belakang kepalanya masih dirasakan berdenyut-denyut karena pukulan para penculiknya. Ketika Purbajaya bangkit, kebetulan Ki Jongjo pun datang ke tempat itu. Tanpa banyak bicara, Purbajaya ditolong berdiri dan kemudian segera diajak berlalu dari tempat itu.
Sesampainya di rumah, Purbajaya ditanyai perihal kejadian semalam. Tentu saja Purbajaya tak berani mengemukakan hal yang sebenarnya. Kalau perkataan para penculik bisa dipercaya, maka majikan Ki Jongjo harus diperhatikan secara khusus.
Dari hasil pengetahuan tadi malam ada sesuatu yang tersirat, betapa sebetulnya kelompok yang ingin menjatuhkan Pajajaran bertebaran di mana-mana dan masing-masing saling bediri sendiri. Raden Yudakara yang selintas seperti menjadi bagian kecil dari pergerakan yang dipimpin oleh Ki Sunda Sembawa, nyatanya malah menjalin hubungan tersendiri dengan pejabat di Pakuan dan sama sekali terpisah dari Ki Sunda Sembawa.
Para penculiknya tadi malam mungkin menempatkan dirinya sebagai sekutu Raden Yudakara. Ini terbukti sesudah Purbajaya punya hubungan dengan Raden Yudakara, maka Purbajaya dianggap “orang sendiri” dan dilepas kembali.
“Kau pun tahu Paman, kalau tadi malam kita diintip orang tak dikenal. Maka saya kejar dia. Tapi kepandaian orang ini sungguh hebat. Dalam sebuah pertempuran kecil saya terdesak dan kalah. Mungkin saya dipukul dan tak sadarkan diri sampai saatnya pagi menjelang,” kata Purbajaya menyembunyikan sebagian penemuannya.
Mendengar penjelasan ini, Ki Jongjo termangu-mangu.
“Kira-kira, siapakah orang atau kelompok itu, Paman?” Purbajaya balik bertanya kalau-kalau Ki Jongjo mengenalnya.
“Mana aku tahu. Sementara maksud dia melakukan pengintaian pun aku tak tahu,” Ki Jongjo masih termangu-mangu.
Purbajaya menatap orang tua setengah baya ini walau selintas. Sebetulnya dia ingin mengorek keterangan dari Ki Jongjo. Namun nampaknya dia pun seperti bersikap hati-hati dan menyembunyikan sesuatu juga.
“Saya khawatir, kehadiran saya sudah diketahui orang-orang Pakuan…” gumam Purbajaya.
“Tidak mungkin. Perjalananmu sebenarnya tidak akan dihadang oleh orang-orang Pakuan. Apalagi engkau berbekal surat dari Ki Subangwara yang kepercayaan Ki Yogascitra. Yang aku khawatirkan… Ah, mungkin tidak begitu. Sudah pagi, seharusnya kau segera berkemas untuk memasuki puri Yogascitra,” kata Ki Jongjo tidak melanjutkan obrolan semula dan menggantinya dengan yang ada kaitannya dengan tugas penyusupan.
“Mungkin tidak hari ini, Paman… ” keluh Purbajaya memijit kepalanya di bagian belakang.
“Mengapa?”
“Kepalaku sedikit luka dan rasanya tubuh ini tak enak. Bagaimana kalau malam ini saya diberi kesempatan istirahat lagi di sini?”
Ki Jongjo termenung sebentar namun kemudian menyetujuinya. Dan malam ini kembali Purbajaya bermalam di ruma Ki Jongjo. Namun persis seperti yang diharapkan di dalam hatinya, malam-malam Ki Jongjo keluar rumah setelah mendapatkan Purbajaya “mendengkur”. Ke mana Ki Jongjo pergi? Itulah yang ingin dia ketahui.
Purbajaya menguntit Ki Jongjo yang secara diam-diam memasuki wilayah dalem khita dengan jalan loncat ke atas benteng. Siapa yang Ki Jongjo akan hubungi, Purbajaya belum tahu. Namuin demikian, dia punya dugaan kalau Ki Jongjo pasti akan menghubungi majikannya. Siapa lagi kalau bukan Ki Jaya Perbangsa.
Ketika memasuki sebuah halaman puri, Ki Jongjo tidak mengalami gangguan berarti sebab penjaga sudah kenal dirinya. Hanya Purbajaya saja mungkin yang kesulitan untuk masuk. Dia musti mencari bagian benteng yang tidak begitu ketat penjagaannya. Kebetulan ada sebuah pohon sawo yang berdiri di sisi benteng. Maka Purbajaya meloncati benteng melalui dahan pohon itu.
Dari atas benteng dilihatnya Ki Jongjo tengah tergopoh-gopoh menuju sebuah bangunan rumah panggung yang besar dan artistik. Purbajaya lihat kiri-kanan untuk memastikan bahwa ke tempat itu tak ada penjaga lewat. Setelah dirasanya sepi, Purbajaya baru memberanikan meloncat turun untuk kemudian terus berloncatan menghampiri rumah yang dituju Ki Jongjo.
Dengan amat hati-hati Purbajaya mengerahkan tenaga dalamnya menotolkan ujung jari kaki dan tubuhnya melambung ke udara, kemudian menclok tepat di tepian atap sirap. Purbajaya musti hati-hati agar gerakannya tidak menimbulkan suara barang sedikit pun agar penghuni rumah tak curiga.
Dan Purbajaya berhasil mencuri lihat apa yang tengah berlangsung di dalam rumah. Melalui genting sirap yang dia korek sehingga sedikit berlubang sudutnya, Purbajaya melihat Ki Jongjo tengah menghadap kepada seorang lelaki usia sekitar empatpuluhan yang berwajah gagah berkumis tipis. Purbajaya menduga, inilah Ki Jaya Perbangsa bangsawan Pakuan.
“Jadi, begitu Juragan. Malam tadi Purbajaya diculik sekelompok orang. Namun ketika anak muda itu kembali, dia tak berterus-terang memaparkan pengalamannya. Rasanya ada yang dia sembunyikan. Saya malah khawatir, pemuda itu bocorkan rahasia ini kepada pihak lain,” kata Ki Jongjo menghormat sekali.
Purbajaya terkejut, ternyata Ki Jogjo telah menduga kalau dirinya tak mengatakan hal sebenarnya mengenai pengalaman malam kemarin.
“Kau katakan apa kepada anak muda itu ketika baru kau jemput kemarin sore di tepian sungai Cihaliwung, Jongjo?” tanya Ki Jaya Perbangsa.
“Saya katakan kalau dia dijemput oleh Juragan,” jawab Ki Jongjo pendek.
“Bagaimana tanggapannya?”
“Dia tidak menanggapi hal-hal penting, Juragan. Dengan mudahnya dia menuruti kemauan saya.”
“Seharusnya memang begitu. Anak muda bernama Purbajaya itu sejauh ini tidak mengetahui hubungan yang sebenarnya antara Raden Yudakara dan Ki Sunda Sembawa. Mungkin dia menyangka kalau Ki Sunda Sembawa tetap menganggap Raden Yudakara sebagai pengikut setianya. Tidak. Kalau perjuangan Ki Sunda Sembawa berhasil, Raden Yudakara yang sok tahu itu akan segera disingkirkan,” kata Ki Jaya Perbangsa sambil menempelkan telapak tangannya ke lehernya sendiri. Ini hanya diartikan oleh Purbajaya kalau Raden Yudakara kelak akan dibunuh kelompok Ki Sunda Sembawa.
“Tapi…“
“Tapi apa, Juragan?”
“Peristiwa tadi malam yang dialami anak itu, kira-kira apa, ya? Kalau benar dia diculik kelompok tertentu, siapakah kira-kira penculiknya?” tanya Ki Jaya Perbangsa heran.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment