“Tidakkah itu kelompok Ki Bagus Seta?” tanya Ki Jongjo.
Namun Ki Jaya Perbangsa belum menanggapi perkiraan ini.
“Ataukah Bangsawan Soka?” tanya lagi Ki Jongjo.
“Aku belum bisa menduga-duga secara tepat. Namun demikian, pejabat-pejabat itu memang perlu kita waspadai. Di lingkungan istana, banyak kelompok yang ingin memanfaatkan Carbon dalam menjatuhkan penguasa Pakuan. Sementara satu-satunya orang yang memiliki hubungan dengan Carbon hanyalah Si Purbajaya. Maka siapa pun yang menguasai anak itu, berarti menguasai Carbon. Maka jagalah anak itu jangan sampai bisa dipengaruhi oleh pihak-pihak lain,” kata Ki Jaya Perbangsa amat mengejutkan Purbajaya yang tengah mencuri dengar di atas atap sirap.
“Apakah majikan kita Ki Banaspati telah mengetahui perihal keberadaan anak ini, Juragan?” tanya Ki Jongjo.
“Ya, beliau sudah mengetahuinya kendati Ki Banaspati belum pernah bertemu muka dengan pemuda itu. Itulah sebabnya, Purbajaya dibiarkan memasuki puri Yogascitra. Pengetahuan mengenai Pakuan sebenarnya ada di puri itu. Kalau Purbajaya bisa memasuki puri itu dan jadi kepercayaan penguasa puri, maka rahasia kekuatan Pakuan akan bisa kita pegang dengan mudah,” kata lagi Ki Jaya Perbangsa semakin mengejutkan hati Purbajaya.
“Bila benar anak itu bisa kita kuasai, Juragan…” tukas Ki Jongjo.
“Memang benar. Jadi itulah sebabnya, tugasmu berat, Jongjo. Kau harus bisa menguasai anak itu dengan baik. Kendati kelak Purbajaya tinggal di puri, namun kau harus tetap bisa menghubunginya. Jaga, agar anak itu tidak menyebrang ke pihak lawan…“
“Akan saya emban tugas ini dengan baik, Juragan. Namun bagaimana kalau ternyata Purbajaya tidak bisa kita tangani dengan baik?”
“Misalnya apa?”
“Misalnya dia menyebrang dan dipengaruhi lawan?”
“Bunuhlah anak itu!”
“Bunuh?”
“Benar.”
“Bagaimana kita bisa memanfaatkan Carbon kelak?”
“Artinya kita tak akan memanfaatkan Carbon. Namun bukan berarti Carbon tak bermanfaat buat kita. Tokh pihak lawan pun sebenarnya sama ingin memanfaatkan kekuatan Carbon dalam melumpuhkan Pakuan. Mereka akan saling gebuk kemudian kelak, kelompok kitalah sebagai pemenangnya,” ujar Ki Jaya Perbangsa terkekeh-kekeh dan amat menyebalkan hati Purbajaya.
Secara hati-hati, Purbajaya melorot turun dari atap rumah ini. Dan serta-merta meninggalkan puri ini untuk mendahului kembali ke rumah Ki Jongjo. Ketika orang tua setengah baya itu pulang belakangan, Purbajaya sudah memperdengarkan “dengkur”nya.
NAMUN sambil berbaring begini, pikiran Purbajaya terus berkecamuk. Sesampainya di Pakuan ini, semakin bertambah pula pengetahuannya. Hanya dalam sehari-semalam ini saja, Purbajaya sudah mendapatkan kenyataan, betapa kacau-balaunya suasana di pusat kekuasaan Pajajaran ini. Negri yang usianya sudah ratusan tahun sejak berdirinya Kerajaan Sunda (Sang Maharaja Tarusbawa, 669-723 Masehi), sampai kemudian terkenal sebagai negri besar bernama Pajajaran (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521 Masehi) ini, sekarang sepertinya akan semakin turun pamor setelah dirajai oleh Sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551 Masehi).
Pemberontakan terjadi di mana-mana, di antara pejabatnya terjadi saling curiga-mencurigai bahkan berlomba ingin menjatuhkan Raja. Musuh Pajajaran bahkan bukan berada jauh di barat atau di timur, namun malah ada di sekitar pusat kekuasaan.
Menyimak perbincangan Ki Jongjo dan Ki Jaya Perbangsa, hanya menyiratkan betapadayo (ibu kota) sudah dikepung oleh kelompok-kelompok yang ingin memberontak kepada penguasa. Ada berapa kelompokkah itu, sulit menghitungnya sebab Purbajaya belum tahu secara persis. Yang jelas, beberapa pejabat Pakuan telah disebut-sebut oleh Ki Jaya Perbangsa sebagai kelompok yang ingin menjatuhkan penguasa, seperti Ki Bagus Seta dan Bangsawan Soka, misalnya.
Ki Jongjo tempo hari mengatakan kepada Purbajaya kalau Ki Jaya Perbangsa adalah anak buahnya Ki Sunda Sembawa. Namun belakangan dari percakapan mereka sendiri ketika diintip Purbajaya, terbukti Ki Jaya Perbangsa sebenarnya menginduk kepada Ki Banaspati.
Dari pengetahuan-pengetahuan ini amat menjelaskan bahwa bahaya yang mengancam Pakuan bukan semata datang dari Raden Yudakara belaka. Kegiatan pemuda bangsawan ini memang mengarah kepada pemberontakan juga, namun ini hanyalah secuil dari macam-macam bahaya yang akan menerjang Pakuan.
Ki Banaspati, siapa pulakah dia? Di wilayah Sagaraherang, Ki Sunda Sembawa bilang kalau dirinya dibantu oleh Ki Banaspati. Kalau ingat ini, Purbajaya jadi ketawa masam. Ternyata Ki Sunda Sembawa hanya punya kebanggaan semu. Disangkanya semua orang berdiri di belakangnya, padahal yang terjadi sesungguhnya tidak. Barangkali Ki Sunda Sembawa hanya akan dimanfaatkan oleh siapa saja, baik oleh Ki Banaspati maupun oleh Raden Yudakara. Dan bagaimana pula peranan Ki Bagus Seta atau Bangsawan Soka?
Purbajaya pusing memikirkannya. Banyak kelompok ingin melawan penguasa Pakuan tapi masing-masing berjalan sendiri-sendiri karena punya ambisi berbeda. Celakanya, siapa kawan siapa lawan segalanya serba tak jelas. Ambil contoh Ki Sunda Sembawa atau tokoh yang menculiknya kemarin malam. Keduanya sama-sama mengklaim kalau Raden Yudakara adalah anak buah mereka, padahal Purbajaya pun telah mengetahui kalau pemuda aneh itu sebenarnya berdiri sendiri.
Kalau pun dia selalu mengaku sebagai “bawahan” siapa saja, itu barangkali hanya untuk mendompleng kekuatan saja. Persis seperti pemuda itu mendompleng kepada jalan pikiran beberapa pejabat Carbon yang memperlihatkan garis keras dalam menghadapi Pajajaran. Dan berbicara mengenai dompleng-mendompleng, Purbajaya menjadi terkejut dan merasa sebal juga. Bagaimana tak begitu.
Ternyata tanpa sepengetahuan Purbajaya, dirinya telah dijadikan ajang rebutan kelompok pemberontak ini. Mereka ingin Purbajaya bekerja kepada pihaknya sebab dengan menguasai Purbajaya mereka menyangka bakal bisa menguasai Carbon pula. Ini jalan pikiran gila dan berlebihan. Namun gila atau tidak mereka, nyatanya kedudukan Purbajaya di Pakuan semakin terjepit dan dihimpit oleh berbagai kepentingan ambisi. Ini tentu membahayakan.
Tadinya Purbajaya menyangka, dengan tidak beraninya Raden Yudakara memasuki wilayah dayo hatinya agak sedikit plong sebab Raden Yudakara tak bisa menekan dirinya secara langsung dan terus-terusan. Namun belakangan sesudah tiba di Pakuan, ternyata yang menekan dirinya kini bukan hanya seorang saja seperti manakala dia dikuasai Raden Yudakara. Ini amat menyebalkan dan membahayakan.
Bukan saja berbahaya terhadap dirinya, namun juga amat membahayakan kedudukan Carbon sendiri. Bila Carbon lengah dan terjebak ke dalam jalan pikiran kelompok-kelompok ini, maka misi Carbon yang menginginkan Pajajaran masuk menjadi bagian Carbon tanpa kekerasan apalagi banjir darah, bisa gagal total karena ulah para petualang politik baik yang berada di luar Pajajaran mau pun yang berada di dalam Negri Pajajaran sendiri.
Namun Ki Jaya Perbangsa belum menanggapi perkiraan ini.
“Ataukah Bangsawan Soka?” tanya lagi Ki Jongjo.
“Aku belum bisa menduga-duga secara tepat. Namun demikian, pejabat-pejabat itu memang perlu kita waspadai. Di lingkungan istana, banyak kelompok yang ingin memanfaatkan Carbon dalam menjatuhkan penguasa Pakuan. Sementara satu-satunya orang yang memiliki hubungan dengan Carbon hanyalah Si Purbajaya. Maka siapa pun yang menguasai anak itu, berarti menguasai Carbon. Maka jagalah anak itu jangan sampai bisa dipengaruhi oleh pihak-pihak lain,” kata Ki Jaya Perbangsa amat mengejutkan Purbajaya yang tengah mencuri dengar di atas atap sirap.
“Apakah majikan kita Ki Banaspati telah mengetahui perihal keberadaan anak ini, Juragan?” tanya Ki Jongjo.
“Ya, beliau sudah mengetahuinya kendati Ki Banaspati belum pernah bertemu muka dengan pemuda itu. Itulah sebabnya, Purbajaya dibiarkan memasuki puri Yogascitra. Pengetahuan mengenai Pakuan sebenarnya ada di puri itu. Kalau Purbajaya bisa memasuki puri itu dan jadi kepercayaan penguasa puri, maka rahasia kekuatan Pakuan akan bisa kita pegang dengan mudah,” kata lagi Ki Jaya Perbangsa semakin mengejutkan hati Purbajaya.
“Bila benar anak itu bisa kita kuasai, Juragan…” tukas Ki Jongjo.
“Memang benar. Jadi itulah sebabnya, tugasmu berat, Jongjo. Kau harus bisa menguasai anak itu dengan baik. Kendati kelak Purbajaya tinggal di puri, namun kau harus tetap bisa menghubunginya. Jaga, agar anak itu tidak menyebrang ke pihak lawan…“
“Akan saya emban tugas ini dengan baik, Juragan. Namun bagaimana kalau ternyata Purbajaya tidak bisa kita tangani dengan baik?”
“Misalnya apa?”
“Misalnya dia menyebrang dan dipengaruhi lawan?”
“Bunuhlah anak itu!”
“Bunuh?”
“Benar.”
“Bagaimana kita bisa memanfaatkan Carbon kelak?”
“Artinya kita tak akan memanfaatkan Carbon. Namun bukan berarti Carbon tak bermanfaat buat kita. Tokh pihak lawan pun sebenarnya sama ingin memanfaatkan kekuatan Carbon dalam melumpuhkan Pakuan. Mereka akan saling gebuk kemudian kelak, kelompok kitalah sebagai pemenangnya,” ujar Ki Jaya Perbangsa terkekeh-kekeh dan amat menyebalkan hati Purbajaya.
Secara hati-hati, Purbajaya melorot turun dari atap rumah ini. Dan serta-merta meninggalkan puri ini untuk mendahului kembali ke rumah Ki Jongjo. Ketika orang tua setengah baya itu pulang belakangan, Purbajaya sudah memperdengarkan “dengkur”nya.
NAMUN sambil berbaring begini, pikiran Purbajaya terus berkecamuk. Sesampainya di Pakuan ini, semakin bertambah pula pengetahuannya. Hanya dalam sehari-semalam ini saja, Purbajaya sudah mendapatkan kenyataan, betapa kacau-balaunya suasana di pusat kekuasaan Pajajaran ini. Negri yang usianya sudah ratusan tahun sejak berdirinya Kerajaan Sunda (Sang Maharaja Tarusbawa, 669-723 Masehi), sampai kemudian terkenal sebagai negri besar bernama Pajajaran (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521 Masehi) ini, sekarang sepertinya akan semakin turun pamor setelah dirajai oleh Sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551 Masehi).
Pemberontakan terjadi di mana-mana, di antara pejabatnya terjadi saling curiga-mencurigai bahkan berlomba ingin menjatuhkan Raja. Musuh Pajajaran bahkan bukan berada jauh di barat atau di timur, namun malah ada di sekitar pusat kekuasaan.
Menyimak perbincangan Ki Jongjo dan Ki Jaya Perbangsa, hanya menyiratkan betapadayo (ibu kota) sudah dikepung oleh kelompok-kelompok yang ingin memberontak kepada penguasa. Ada berapa kelompokkah itu, sulit menghitungnya sebab Purbajaya belum tahu secara persis. Yang jelas, beberapa pejabat Pakuan telah disebut-sebut oleh Ki Jaya Perbangsa sebagai kelompok yang ingin menjatuhkan penguasa, seperti Ki Bagus Seta dan Bangsawan Soka, misalnya.
Ki Jongjo tempo hari mengatakan kepada Purbajaya kalau Ki Jaya Perbangsa adalah anak buahnya Ki Sunda Sembawa. Namun belakangan dari percakapan mereka sendiri ketika diintip Purbajaya, terbukti Ki Jaya Perbangsa sebenarnya menginduk kepada Ki Banaspati.
Dari pengetahuan-pengetahuan ini amat menjelaskan bahwa bahaya yang mengancam Pakuan bukan semata datang dari Raden Yudakara belaka. Kegiatan pemuda bangsawan ini memang mengarah kepada pemberontakan juga, namun ini hanyalah secuil dari macam-macam bahaya yang akan menerjang Pakuan.
Ki Banaspati, siapa pulakah dia? Di wilayah Sagaraherang, Ki Sunda Sembawa bilang kalau dirinya dibantu oleh Ki Banaspati. Kalau ingat ini, Purbajaya jadi ketawa masam. Ternyata Ki Sunda Sembawa hanya punya kebanggaan semu. Disangkanya semua orang berdiri di belakangnya, padahal yang terjadi sesungguhnya tidak. Barangkali Ki Sunda Sembawa hanya akan dimanfaatkan oleh siapa saja, baik oleh Ki Banaspati maupun oleh Raden Yudakara. Dan bagaimana pula peranan Ki Bagus Seta atau Bangsawan Soka?
Purbajaya pusing memikirkannya. Banyak kelompok ingin melawan penguasa Pakuan tapi masing-masing berjalan sendiri-sendiri karena punya ambisi berbeda. Celakanya, siapa kawan siapa lawan segalanya serba tak jelas. Ambil contoh Ki Sunda Sembawa atau tokoh yang menculiknya kemarin malam. Keduanya sama-sama mengklaim kalau Raden Yudakara adalah anak buah mereka, padahal Purbajaya pun telah mengetahui kalau pemuda aneh itu sebenarnya berdiri sendiri.
Kalau pun dia selalu mengaku sebagai “bawahan” siapa saja, itu barangkali hanya untuk mendompleng kekuatan saja. Persis seperti pemuda itu mendompleng kepada jalan pikiran beberapa pejabat Carbon yang memperlihatkan garis keras dalam menghadapi Pajajaran. Dan berbicara mengenai dompleng-mendompleng, Purbajaya menjadi terkejut dan merasa sebal juga. Bagaimana tak begitu.
Ternyata tanpa sepengetahuan Purbajaya, dirinya telah dijadikan ajang rebutan kelompok pemberontak ini. Mereka ingin Purbajaya bekerja kepada pihaknya sebab dengan menguasai Purbajaya mereka menyangka bakal bisa menguasai Carbon pula. Ini jalan pikiran gila dan berlebihan. Namun gila atau tidak mereka, nyatanya kedudukan Purbajaya di Pakuan semakin terjepit dan dihimpit oleh berbagai kepentingan ambisi. Ini tentu membahayakan.
Tadinya Purbajaya menyangka, dengan tidak beraninya Raden Yudakara memasuki wilayah dayo hatinya agak sedikit plong sebab Raden Yudakara tak bisa menekan dirinya secara langsung dan terus-terusan. Namun belakangan sesudah tiba di Pakuan, ternyata yang menekan dirinya kini bukan hanya seorang saja seperti manakala dia dikuasai Raden Yudakara. Ini amat menyebalkan dan membahayakan.
Bukan saja berbahaya terhadap dirinya, namun juga amat membahayakan kedudukan Carbon sendiri. Bila Carbon lengah dan terjebak ke dalam jalan pikiran kelompok-kelompok ini, maka misi Carbon yang menginginkan Pajajaran masuk menjadi bagian Carbon tanpa kekerasan apalagi banjir darah, bisa gagal total karena ulah para petualang politik baik yang berada di luar Pajajaran mau pun yang berada di dalam Negri Pajajaran sendiri.
Purbajaya jadi capek memikirkan ini semua. Dengan demikian, akan terus terseret arus secara berlarut-larut. Ya, dia pusing memikirkan hal ini. Perjalanannya jadi semakin jauh dan semakin tak berketentuan. Padahal ketika di Tanjungpura beberapa hari silam, dia masih dibuai cinta-kasih dan berahi panas dari tubuh molek Nyimas Wulan. Purbajaya berjanji akan menikahi gadis itu.
Dia memang tidak mencintai gadis itu. Namun cinta dan tak cinta tak ada hubungannya dengan perkawinan. Tak berarti kalau mencintai maka seseorang bisa sukses menginjak jenjang perkawinan. Namun juga sebaliknya, tak cinta bukan berarti tak perlu pernikahan. Bagaimana boleh, sementara gadis Tanjungpura itu telah menyerahkan segalanya tapi Purbajaya menampik pernikahan. Tidak. Itu pengecut dan tak berjiwa ksatria. Mungkin juga kejam dan keji. Karena itu, Purbajaya harus tetap menikahi gadis itu.
Tapi ingat ini, hati Purbajaya malah jadi mengeluh. Dia tak bisa kembali ke Tanjungpura sebelum tugasnya selesai. Kalau tugas tak diselesaikan, Raden Yudakara pasti akan menghukumnya.
Namun sampai kapan pula tugasnya akan selesai? Lantas kalau keadaan kian berlarut-larut juga, sampai kapan Nyimas Wulan masih bisa menunggunya? Sementara gadis itu dijegal kebosanan dalam penantian, di sekelilingnya banyak srigala mengganggunya. Purbajaya tahu, betapa Ki Jayasena yang bangkotan dan gemar kawin-cerai ini menaruh minat kepada Nyimas Wulan.
Belum lagi gangguan dari “srigala” lain berwajah Raden Yudakara. Pemuda ini pandai merayu dan mudah mempengaruhi orang. Dan ingat ini Purbajaya pun semakin mengeluh. Dia khawatir peristiwa buruk yang mengelilingi nasib percintaannya akan kembali mengganggunya lagi.
ESOK paginya Purbajaya diantar secara tergesa-gesa oleh Ki Jongjo untuk menemui Ki Yogascitra. Mengapa tergesa-gesa, Purbajaya sendiri pun tak tahu. Namun yang paling tepat dugaan, barangkali Ki Jongjo khawatir, peristiwa penyerangan dari kelompok lain akan terulang kembali.
“Banyak orang tak benar di sini. Agar kau tak terperosok, kau harus sering berhubungan denganku dan jangan percaya kepada omongan orang lain,” tutur Ki Jongjo.
Purbajaya hanya mengiyakan saja.
“Tapi, tinggal di puri Yogascitra engkau akan aman. Memang benar, penghuni puri itu selalu bersikap hati-hati. Namun mereka amat menjunjung tinggi kejujuran. Orang jujur mudah mempercayai siapa pun. Itulah sebabnya kau aman di sana,” kata Ki Jongjo memberi tahu sifat-sifat calon majikan Purbajaya.
Dan akhirnya Purbajaya dibawa memasuki sebuah kompleks puri yang amat indah dan megah. Puri itu pun demikian bersih dan rapih. Ada beberapa bangunan di sana. Setiap bangunan yang terdiri dari rumah kayu dan berbentuk panggung diberi atap genting sirap yang hitam mengkilap. Setiap rumah dikelilingi halaman rumput hijau dan taman dengan bunga-bunga indah tumbuh di sana-sini secara teratur.
Ada beberapa sangkar burung di beberapa tempat. Banyak burung hias berloncatan di dahan-dahan buatan yang berada di dalam sangkar. Anehnya, sangkar yang luas itu tidak diberi pintu. Atau pintu memang ada namun tidak tertutup rapat, sehingga dengan demikian, burung-burung itu bebas keluar-masuk sangkar. Kalau mau terbang jauh dan tak akan kembali, sebenarnya burung-burung itu bebas melakukannya. Namun nyatanya, binatang berbulu indah itu semuanya tidak mau meninggalkan tempat itu.
Ada beberapa yang terbang mengelilingi halaman, namun beberapa saat kemudian sudah kembali ke dalam sangkar dan mematuki berbagai jenis makanan yang ditempatkan di dalam sangkar. Burung-burung itu nampaknya tak menganggap sangkar sebuah tempat pembunuh kebebasan, melainkan dianggapnya sebuah rumah dan tempat mencari kehidupan sebab di dalam sangkar makanan bertebaran.
Purbajaya menyukai tempat ini, sepertinya penghuninya memiliki hati yang bebas pula. Ini terlihat dari gambaran beberapa patung yang berdiri di sana. Ada patung kayu menggambarkan orang sedang giat bekerja namun dengan wajah ceria. Ada pula patung yang menggambarkan kaum perempuan sedang menenun tapi sambil bersenda-gurau.
Mereka bekerja dengan kebebasan dan kegembiraan. Kalau patung diukir menggambarkan kegembiraan, maka mudah diduga kalau pembuatnya bekerja dengan hati yang suka-cita tanpa paksaan. Kalau orang di dalam puri bekerja dengan penuh kegembiraan, mengapa di luar tembok istana, orang-orang bekerja penuh kegelisahan?
Purbajaya dengan mudahnya menuduh, bahwa para bangsawan ini kerjanya hanya senang-senang saja tanpa memikirkan kesulitan yang tengah diderita masyarakat di luar tembok istana. Ini aneh, padahal Purbajaya menerima khabar kalau Ki Yogascitra ini adalah pejabat jujur dan menjunjung harga diri bangsanya. Purbajaya berkesimpulan, kalau orang yang disebut jujur saja sudah demikian, apalagi pejabat yang sudah jelas-jelas hidupnya tidak memikirkan rakyat.
Namun entahlah. Kejujuran dan kebaikan satu dua orang pejabat saja memang tidak berarti apa-apa untuk kebesaran sebuah negri bila kebanyakan pejabatnya bekerja tidak benar.
Purbajaya dan Ki Jongjo harus melewati sebuah gerbang pemeriksaan. Dan dua orang penjaga memang memeriksa mereka namun mereka memeriksa dengan ramah dan sopan. Ini di luar “kebiasaan” sebab pengalaman yang sudah-sudah hanya membuktikan bahwa yang namanya petugas keamanan negara biasanya terkesan angker dan kaku bahkan terlihat tegas dan kasar, seolah-olah tugas mereka begitu amat penting dan setiap kehadiran orang asing perlu dicurigai.
Ki Jongjo tidak mengalami kesulitan yang sulit dan berbelit. Purbajaya bahkan apalagi. Ketika pemuda itu diperkenalkan sebagai seorang puhawang (akhli kelautan), para penjaga terkesan kagum dan amat menghormatinya.
“Juragan Yogascitra amat menghargai orang pandai, tentu beliau senang menerima kehadiranmu,” kata penjaga sambil mempersilahkan Ki Jongjo dan Purbajaya memasuki sebuah paseban.
Ki Jongjo dan Purbajaya duduk bersila di atas lantai kayu yang mengkilap licin sehingga saking licinnya hampir-hampir bisa digunakan untuk berkaca. Purbajaya pun melihat, atap sirap di atas, disangga oleh tiang-tiang kayu palem berukir indah. Kalau paseban (tempat pertemuan) begitu indah, apalagi rumah kediaman pemiliknya, begitu pikir Purbajaya.
Namun ditunggu cukup lama, tuan rumah yang dinanti tak juga kunjung menemui mereka. Sesudah terasa penat menunggu, baru terlihat ada yang datang. Mungkin seorang badega (pelayan) sebab datang secara tergopoh-gopoh dan ketika melangkah, tubuhnya sengaja dibungkuk-bungkukkan sebagai tanda hormat.
“Ada apa, Paman?” tanya Purbajaya heran.
“Bagaimana, ya…” Badega terlihat gugup.
“Katakan ada apa?” desak Purbajaya lagi.
“Juragan terserang sakit amat mendadak. Terlihat amat mengkhawatirkan,” suara badega semakin panik dan gagap.
“Sakit mendadak?” gumam Purbajaya heran.
“Benar. Padahal belum lama beliau tengah sarapan pagi. Secara tiba-tiba wajahnya membiru, pernapasannya seperti tersekat, kemudian muntah-muntah dan pingsan,” tutur badega lagi menceritakan peristiwa yang dialami tuannya.
“Coba saya beri kesempatan untuk menengok dan memeriksa,” kata Purbajaya.
Namun sang badega terlihat ragu-ragu.
“Saya sedikit mengerti obat-obatan,” ujar Purbajaya sungguh-sungguh karena wajah orang itu penuh kesangsian.
Badega berpikir sebentar, kemudian, “Kalau begitu, bolehlah…” akhirnya.
Kemudian Ki Jongjo dan Purbajaya dibawanya ke sebuah bangunan besar yang dikatakan badega sebagai rumah kediaman pemilik puri. Benar saja, di dalam rumah terlihat sedikit kepanikan. Para badega lainnya terlihat hilir-mudik, melakukan tugas seraya memperlihatkan wajah yang tegang dan khawatir.
“Harap beri izin masuk, tamu ini ahli pengobatan,” kata badega yang mengantar Purbajaya masuk. Sementara Ki Jongjo tetap tinggal di luar rumah.
Maka masuklah Purbajaya ke sebuah kamar. Di dalam, terlihat seorang lelaki tua usia enampuluhan terbaring dengan tubuh kejang-kejang, dikerumuni beberapa orang pria dan wanita. Mereka semua memang tengah merawat lelaki tua itu namun seperti tidak tahu musti berbuat apa.
“Maaf, saya akan mencoba memeriksanya,” Purbajaya berinisiatif.
Yang tak berkepentingan disuruhnya keluar, maka di sana tinggallah dua orang muda, lelaki dan wanita. Purbajaya hanya menduga, dua orang muda itu tentu kerabat lelaki terbaring yang diduga Purbajaya sebagai Ki Yogascitra, pemilik puri dan pejabat istana Pakuan.
Purbajaya mula-mula memeriksa denyut nadi di tangan. Terasa denyut nadi itu cepat, kencang serta tidak teratur, menandakan bahwa aliran darah orang tua itu tidak teratur. Di bagian lainnya, aliran darah malah seperti tersumbat karena mengental dan membiru.
“Dia terkena racun…” kata Purbajaya dalam hatinya.
Karena tidak terlihat luka di luar, Purbajaya merasa yakin kalau racun yang memasuki tubuh Ki Yogascitra terjadi melalui makanan.
“Tolong perintahkan pembantu agar menumbuk bawang putih sebanyak-banyaknya, peras airnya dan bawa ke sini,” kata Purbajaya sibuk namun bersikap tenang.
Tidak berapa lama kemudian, apa yang diminta Purbajaya pun sudah bisa disediakan. Maka Purbajaya mencoba menyuapkan air perasan bawang putih ke mulut Ki Yogascitra. Tentu saja sulit, apalagi rasa air perasaan bawang putih sungguh pedas dan pengar. Namun Purbajaya coba memaksa agar orang tua itu mau meminumnya sedikit demi sedikit.
“Kalau cairan ini habis, harap berikan air garam yang dicampur gula aren sebanyak-banyaknya,” kata Purbajaya lagi sambil menyuruh pembantu agar segera menyiapkannya.
Selang beberapa saat, tubuh Ki Yogascitra sudah tidak kejang-kejang lagi. Begitu pun wajahnya sudah terlihat tidak membiru lagi. Hanya menandakan bahwa racun sudah bisa diusir dari aliran darah. Sekarang pejabat tua itu terlihat pulas dalam tidurnya.
“Terima kasih adikku, kau amat baik telah menolong ayahanda dari penyakit yang amat mendadak ini,” kata seorang pemuda tampan yang ditaksir usianya sekitar delapanbelas tahun.
Sementara di sampingnya duduk seorang gadis usia enambelas tahun. Dia tersenyum manis dan wajahnya penuh rasa terima kasih kepada Purbajaya.
Purbajaya terpana. Sejak tadi memang dia tahu di ruangan itu duduk bersimpuh seorang gadis. Tapi Purbajaya tidak menyangka barang secuil kalau di samping ada pemuda yang amat tampannya juga terdapat seorang gadis yang sulit diukur kecantikannya. Dada Purbajaya berdebar dan serasa hampir berhenti.
Mengapa ada pohaci (bidadari) turun dari langit tanpa memberi tahu. Bidadari? Ouw, kalaulah Purbajaya pernah bertemu bidadari, maka kecantikan bidadari tidak bisa mengimbangi keelokan paras wajah gadis itu. Nyimas Waningyun mungkin cantik, begitu pun Nyimas Yuning Purnama atau pun Nyimas Wulan. Namun dibandingkan dengan kecantikan gadis yang kini duduk bersimpuh di hadapannya dan tersenyum sejuk menawan seraya menatapnya, semuanya tidak berarti.
Kecantikan dan keelokan seluruh gadis yang telah dia kagumi digabung menjadi satu, masih tetap tidak bisa mengalahkan kecantikan gadis puri Yogascitra ini. Purbajaya menghela napas namun sambil memuji nama Tuhan, betapa Tuhan demikian berkuasa dan bermurah hati menurunkan wajah demikian elok kepada yang bernama wanita. Purbajaya menunduk dibuatnya.
“Perkenalkan, saya bernama Banyak Angga dan adikku ini adalah Nyimas Banyak Inten,” kata pemuda itu membuat Purbajaya malu dan terkejut karena sejak tadi sebenarnya pemuda itu memperhatikan dirinya yang tengah terbengong-bengong menatap paras gadis cantik itu.
Purbajaya tersipu dan memerah wajahnya karena malu dipergoki oleh pemuda itu. “Nama saya Purbajaya. Saya datang dari wilayah Tanjungpura untuk melamar pekerjaan sebagai puhawang (akhli kebahariaan), sesuai dengan bidang yang ditangani Juragan Yogascitra,” kata Purbajaya masih tersipu saking malunya.
Wajah Purbajaya tertunduk bukan karena dipaksa oleh kepura-puraan, melainkan karena segan dan hormat kepada pemuda tampan ini. Dia hormat bukan karena kedua orang muda anak pejabat, melainkan merasa hormat karena anak-anak pejabat itu demikian ramah dan sopan kepadanya.
“Tapi saya sungguh amat menyinggung perasaan kalian. Saya bertamu di saat yang tidak tepat,” ujar Purbajaya merendah.
“Tidak, tidak mengganggu. Bahkan kami berdua merasa bersyukur, di saat gawat menimpa ayahanda, kami kedatangan seorang akhli pengobatan. Kami heran, ayahanda begitu mendadak terserang penyakit aneh. Kalau ayahanda tidak menderita sakit begitu, beliau sebenarnya tidak sulit menerima kehadiran tamu,” kata Banyak Angga tetap ramah dan sopan.
Purbajaya hampir saja mengatakan kalau Ki Yogascitra menderita sakit karena keracunan oleh makanan. Namun hal ini diurungkannya. Dia tak mau sembarangan berkata, takut ada seseorang yang ditekan atau dicurigai mereka. Purbajaya yakin, memang ada seseorang menaruh racun dengan niat membunuh pejabat tua itu. Para pekerja dan pembantu di puri inikah? Kalau benar begitu, pejabat ini pasti punya musuh yang berniat melenyapkannya. Purbajaya akan menyelidiki namun secara diam-diam saja.
“Saya ingin mengatur jenis makanan yang hari ini boleh atau tidak boleh dimakan oleh Juragan.” kata Purbajaya. ”Jadi kalau diizinkan, saya ingin mengunjungi dapur. Dan mohon pula sisa makanan yang tadi pagi dimakan Juragan, diberikan pada saya,” kata lagi Purbajaya.
Dengan senang hati, baik Banyak Angga mau pun Nyimas Banyak Inten mengangguk mengiyakan. Penganan pagi yang dimakan Ki Yogascitra diperiksa Purbajaya. Sejumput makanan sisa dilemparkan ke sudut berumput yang didapat banyak semut. Semut biasanya akan menghampiri makanan, namun kali ini malah menjauh. Hanya menandakan semut bercuriga kepada makanan itu.
Purbajaya yakin, kalau makanan itu diberikan kepada binatang anjing atau kucing dan ayam, mereka pasti akan mati kena racun. Sekarang tugas Purbajaya adalah meneliti secara diam-diam, siapa yang menaruh makanan beracun ini. Kalau memang merupakan musuh Ki Yogascitra, maka Purbajaya ingin tahu, berada di pihak mana musuh itu.
Yang pertama kali musti diselidiki tentu saja juru masaknya. Namun juru masak di sana seorang perempuan tua yang sudah puluhan tahun mengabdi di puri itu. Susah untuk dicurigai berlaku jahat kepada tuannya. Yang dua orang adalah petugas pengantar makanan. Juga sama-sama perempuan tua dan sudah mengabdi amat lama. Tugasnya pun sama sejak dulu sebagai pengantar makanan.
“Tapi makanan pagi ini, Ki Bonen yang antar…” kata petugas dapur.
“Siapa Ki Bonen?” tanya Purbajaya.
“Dia petugas di sini juga, hanya tidak mengurus makanan. Kebetulan saja dia menghadap Juragan karena tadi malam Juragan ingin mengatakan sesuatu,” kata petugas dapur. “Ada apa sih sebenarnya?” tanyanya heran karena Purbajaya banyak bertanya.
“Tidak. Saya ini juru obat. Selama Juragan sakit, saya ingin mengatur jenis makanan yang cocok untuk beliau,” jawab Purbajaya untuk menepis kecurigaan pegawai puri.
Namun secara diam-diam pula, Purbajaya meneliti. Hanya saja penyelidikan hampir buntu sebab Ki Bonen waktu itu juga menyerahkan makanan kepada Nyimas Banyak Inten. Jadi, siapa di antara mereka yang menaruh racun? Ki Bonen jelas tak punya waktu untuk melakukan hal itu.
“Hai, Direja ke mana?” tanya Ki Bonen sambil menoleh ke sana ke mari.
“Cari siapa?” tanya Purbajaya heran.
“Ki Direja. Den Banyak Angga ingin titip surat untuk Nyimas Layang Kingkin,” jawab Ki Bonen.
Purbajaya walau selintas ada melihat seorang lelaki yang tergesa-gesa meninggalkan tempat itu tadi pagi. Tidakkah dia yang bernama Ki Direja? Tapi, mengapa orang itu pergi tergesa-gesa?
“Apakah Ki Direja bekerja di sini?” tanya Purbajaya.
“Tidak. Dia pegawai di puri Ki Bagus Seta.”
“Ki Bagus Seta?”
“Beliau pejabat di Pakuan juga. Punya anak gadis cantik bernama Nyimas Layang Kingkin. Den Banyak Angga menaruh hati pada gadis cantik itu dan kerapkali melayangkan surat daun lontar melalui perantara,” kata Ki Bonen.
“Apakah Ki Direja yang jadi perantaranya?”
“Tidak selalu. Namun dia cukup sering juga ke sini sebab Nyimas Layang Kingkin pun sering mengirimkan surat untuk Den Angga. Ki Direja tadi pagi pun dipanggil Nyimas Banyak Inten sebab Den Angga menitipkan surat melalui adiknya pula,” kata Ki Bonen. ”Penganan untuk Juragan Yogas sementara ditinggal di meja sebab Nyimas ambil dulu surat,” kata Ki Bonen.
“Kau lihat penganan buat Juragan ditinggal dulu di atas meja?” Purbajaya mengerutkan dahi.
“Ya. Ada yang aneh?”
“Ah… Tidak! Tapi saya ingin tahu apa penganan untuk Juragan tidak kemasukan debu, misalnya?”
“Saya rasa tidak. Begitu Ki Direja datang, Nyimas hanya pergi sebentar dan balik lagi membawa surat. Penganan langsung dibawa masuk,” kata lagi Ki Bonen.
Purbajaya termangu-mangu.
“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa. Seperti tadi ku katakan, saya hanya ingin pastikan kalau makanan itu tidak kena debu ketika ditinggal di atas meja.”
“Ah, pegawai kami mencintai kebersihan. Di rumah Juragan tidak pernah ada debu menempel,” ujar Ki Bonen seperti tersinggung karena ucapan Purbajaya.
Dia memang tidak mencintai gadis itu. Namun cinta dan tak cinta tak ada hubungannya dengan perkawinan. Tak berarti kalau mencintai maka seseorang bisa sukses menginjak jenjang perkawinan. Namun juga sebaliknya, tak cinta bukan berarti tak perlu pernikahan. Bagaimana boleh, sementara gadis Tanjungpura itu telah menyerahkan segalanya tapi Purbajaya menampik pernikahan. Tidak. Itu pengecut dan tak berjiwa ksatria. Mungkin juga kejam dan keji. Karena itu, Purbajaya harus tetap menikahi gadis itu.
Tapi ingat ini, hati Purbajaya malah jadi mengeluh. Dia tak bisa kembali ke Tanjungpura sebelum tugasnya selesai. Kalau tugas tak diselesaikan, Raden Yudakara pasti akan menghukumnya.
Namun sampai kapan pula tugasnya akan selesai? Lantas kalau keadaan kian berlarut-larut juga, sampai kapan Nyimas Wulan masih bisa menunggunya? Sementara gadis itu dijegal kebosanan dalam penantian, di sekelilingnya banyak srigala mengganggunya. Purbajaya tahu, betapa Ki Jayasena yang bangkotan dan gemar kawin-cerai ini menaruh minat kepada Nyimas Wulan.
Belum lagi gangguan dari “srigala” lain berwajah Raden Yudakara. Pemuda ini pandai merayu dan mudah mempengaruhi orang. Dan ingat ini Purbajaya pun semakin mengeluh. Dia khawatir peristiwa buruk yang mengelilingi nasib percintaannya akan kembali mengganggunya lagi.
ESOK paginya Purbajaya diantar secara tergesa-gesa oleh Ki Jongjo untuk menemui Ki Yogascitra. Mengapa tergesa-gesa, Purbajaya sendiri pun tak tahu. Namun yang paling tepat dugaan, barangkali Ki Jongjo khawatir, peristiwa penyerangan dari kelompok lain akan terulang kembali.
“Banyak orang tak benar di sini. Agar kau tak terperosok, kau harus sering berhubungan denganku dan jangan percaya kepada omongan orang lain,” tutur Ki Jongjo.
Purbajaya hanya mengiyakan saja.
“Tapi, tinggal di puri Yogascitra engkau akan aman. Memang benar, penghuni puri itu selalu bersikap hati-hati. Namun mereka amat menjunjung tinggi kejujuran. Orang jujur mudah mempercayai siapa pun. Itulah sebabnya kau aman di sana,” kata Ki Jongjo memberi tahu sifat-sifat calon majikan Purbajaya.
Dan akhirnya Purbajaya dibawa memasuki sebuah kompleks puri yang amat indah dan megah. Puri itu pun demikian bersih dan rapih. Ada beberapa bangunan di sana. Setiap bangunan yang terdiri dari rumah kayu dan berbentuk panggung diberi atap genting sirap yang hitam mengkilap. Setiap rumah dikelilingi halaman rumput hijau dan taman dengan bunga-bunga indah tumbuh di sana-sini secara teratur.
Ada beberapa sangkar burung di beberapa tempat. Banyak burung hias berloncatan di dahan-dahan buatan yang berada di dalam sangkar. Anehnya, sangkar yang luas itu tidak diberi pintu. Atau pintu memang ada namun tidak tertutup rapat, sehingga dengan demikian, burung-burung itu bebas keluar-masuk sangkar. Kalau mau terbang jauh dan tak akan kembali, sebenarnya burung-burung itu bebas melakukannya. Namun nyatanya, binatang berbulu indah itu semuanya tidak mau meninggalkan tempat itu.
Ada beberapa yang terbang mengelilingi halaman, namun beberapa saat kemudian sudah kembali ke dalam sangkar dan mematuki berbagai jenis makanan yang ditempatkan di dalam sangkar. Burung-burung itu nampaknya tak menganggap sangkar sebuah tempat pembunuh kebebasan, melainkan dianggapnya sebuah rumah dan tempat mencari kehidupan sebab di dalam sangkar makanan bertebaran.
Purbajaya menyukai tempat ini, sepertinya penghuninya memiliki hati yang bebas pula. Ini terlihat dari gambaran beberapa patung yang berdiri di sana. Ada patung kayu menggambarkan orang sedang giat bekerja namun dengan wajah ceria. Ada pula patung yang menggambarkan kaum perempuan sedang menenun tapi sambil bersenda-gurau.
Mereka bekerja dengan kebebasan dan kegembiraan. Kalau patung diukir menggambarkan kegembiraan, maka mudah diduga kalau pembuatnya bekerja dengan hati yang suka-cita tanpa paksaan. Kalau orang di dalam puri bekerja dengan penuh kegembiraan, mengapa di luar tembok istana, orang-orang bekerja penuh kegelisahan?
Purbajaya dengan mudahnya menuduh, bahwa para bangsawan ini kerjanya hanya senang-senang saja tanpa memikirkan kesulitan yang tengah diderita masyarakat di luar tembok istana. Ini aneh, padahal Purbajaya menerima khabar kalau Ki Yogascitra ini adalah pejabat jujur dan menjunjung harga diri bangsanya. Purbajaya berkesimpulan, kalau orang yang disebut jujur saja sudah demikian, apalagi pejabat yang sudah jelas-jelas hidupnya tidak memikirkan rakyat.
Namun entahlah. Kejujuran dan kebaikan satu dua orang pejabat saja memang tidak berarti apa-apa untuk kebesaran sebuah negri bila kebanyakan pejabatnya bekerja tidak benar.
Purbajaya dan Ki Jongjo harus melewati sebuah gerbang pemeriksaan. Dan dua orang penjaga memang memeriksa mereka namun mereka memeriksa dengan ramah dan sopan. Ini di luar “kebiasaan” sebab pengalaman yang sudah-sudah hanya membuktikan bahwa yang namanya petugas keamanan negara biasanya terkesan angker dan kaku bahkan terlihat tegas dan kasar, seolah-olah tugas mereka begitu amat penting dan setiap kehadiran orang asing perlu dicurigai.
Ki Jongjo tidak mengalami kesulitan yang sulit dan berbelit. Purbajaya bahkan apalagi. Ketika pemuda itu diperkenalkan sebagai seorang puhawang (akhli kelautan), para penjaga terkesan kagum dan amat menghormatinya.
“Juragan Yogascitra amat menghargai orang pandai, tentu beliau senang menerima kehadiranmu,” kata penjaga sambil mempersilahkan Ki Jongjo dan Purbajaya memasuki sebuah paseban.
Ki Jongjo dan Purbajaya duduk bersila di atas lantai kayu yang mengkilap licin sehingga saking licinnya hampir-hampir bisa digunakan untuk berkaca. Purbajaya pun melihat, atap sirap di atas, disangga oleh tiang-tiang kayu palem berukir indah. Kalau paseban (tempat pertemuan) begitu indah, apalagi rumah kediaman pemiliknya, begitu pikir Purbajaya.
Namun ditunggu cukup lama, tuan rumah yang dinanti tak juga kunjung menemui mereka. Sesudah terasa penat menunggu, baru terlihat ada yang datang. Mungkin seorang badega (pelayan) sebab datang secara tergopoh-gopoh dan ketika melangkah, tubuhnya sengaja dibungkuk-bungkukkan sebagai tanda hormat.
“Ada apa, Paman?” tanya Purbajaya heran.
“Bagaimana, ya…” Badega terlihat gugup.
“Katakan ada apa?” desak Purbajaya lagi.
“Juragan terserang sakit amat mendadak. Terlihat amat mengkhawatirkan,” suara badega semakin panik dan gagap.
“Sakit mendadak?” gumam Purbajaya heran.
“Benar. Padahal belum lama beliau tengah sarapan pagi. Secara tiba-tiba wajahnya membiru, pernapasannya seperti tersekat, kemudian muntah-muntah dan pingsan,” tutur badega lagi menceritakan peristiwa yang dialami tuannya.
“Coba saya beri kesempatan untuk menengok dan memeriksa,” kata Purbajaya.
Namun sang badega terlihat ragu-ragu.
“Saya sedikit mengerti obat-obatan,” ujar Purbajaya sungguh-sungguh karena wajah orang itu penuh kesangsian.
Badega berpikir sebentar, kemudian, “Kalau begitu, bolehlah…” akhirnya.
Kemudian Ki Jongjo dan Purbajaya dibawanya ke sebuah bangunan besar yang dikatakan badega sebagai rumah kediaman pemilik puri. Benar saja, di dalam rumah terlihat sedikit kepanikan. Para badega lainnya terlihat hilir-mudik, melakukan tugas seraya memperlihatkan wajah yang tegang dan khawatir.
“Harap beri izin masuk, tamu ini ahli pengobatan,” kata badega yang mengantar Purbajaya masuk. Sementara Ki Jongjo tetap tinggal di luar rumah.
Maka masuklah Purbajaya ke sebuah kamar. Di dalam, terlihat seorang lelaki tua usia enampuluhan terbaring dengan tubuh kejang-kejang, dikerumuni beberapa orang pria dan wanita. Mereka semua memang tengah merawat lelaki tua itu namun seperti tidak tahu musti berbuat apa.
“Maaf, saya akan mencoba memeriksanya,” Purbajaya berinisiatif.
Yang tak berkepentingan disuruhnya keluar, maka di sana tinggallah dua orang muda, lelaki dan wanita. Purbajaya hanya menduga, dua orang muda itu tentu kerabat lelaki terbaring yang diduga Purbajaya sebagai Ki Yogascitra, pemilik puri dan pejabat istana Pakuan.
Purbajaya mula-mula memeriksa denyut nadi di tangan. Terasa denyut nadi itu cepat, kencang serta tidak teratur, menandakan bahwa aliran darah orang tua itu tidak teratur. Di bagian lainnya, aliran darah malah seperti tersumbat karena mengental dan membiru.
“Dia terkena racun…” kata Purbajaya dalam hatinya.
Karena tidak terlihat luka di luar, Purbajaya merasa yakin kalau racun yang memasuki tubuh Ki Yogascitra terjadi melalui makanan.
“Tolong perintahkan pembantu agar menumbuk bawang putih sebanyak-banyaknya, peras airnya dan bawa ke sini,” kata Purbajaya sibuk namun bersikap tenang.
Tidak berapa lama kemudian, apa yang diminta Purbajaya pun sudah bisa disediakan. Maka Purbajaya mencoba menyuapkan air perasan bawang putih ke mulut Ki Yogascitra. Tentu saja sulit, apalagi rasa air perasaan bawang putih sungguh pedas dan pengar. Namun Purbajaya coba memaksa agar orang tua itu mau meminumnya sedikit demi sedikit.
“Kalau cairan ini habis, harap berikan air garam yang dicampur gula aren sebanyak-banyaknya,” kata Purbajaya lagi sambil menyuruh pembantu agar segera menyiapkannya.
Selang beberapa saat, tubuh Ki Yogascitra sudah tidak kejang-kejang lagi. Begitu pun wajahnya sudah terlihat tidak membiru lagi. Hanya menandakan bahwa racun sudah bisa diusir dari aliran darah. Sekarang pejabat tua itu terlihat pulas dalam tidurnya.
“Terima kasih adikku, kau amat baik telah menolong ayahanda dari penyakit yang amat mendadak ini,” kata seorang pemuda tampan yang ditaksir usianya sekitar delapanbelas tahun.
Sementara di sampingnya duduk seorang gadis usia enambelas tahun. Dia tersenyum manis dan wajahnya penuh rasa terima kasih kepada Purbajaya.
Purbajaya terpana. Sejak tadi memang dia tahu di ruangan itu duduk bersimpuh seorang gadis. Tapi Purbajaya tidak menyangka barang secuil kalau di samping ada pemuda yang amat tampannya juga terdapat seorang gadis yang sulit diukur kecantikannya. Dada Purbajaya berdebar dan serasa hampir berhenti.
Mengapa ada pohaci (bidadari) turun dari langit tanpa memberi tahu. Bidadari? Ouw, kalaulah Purbajaya pernah bertemu bidadari, maka kecantikan bidadari tidak bisa mengimbangi keelokan paras wajah gadis itu. Nyimas Waningyun mungkin cantik, begitu pun Nyimas Yuning Purnama atau pun Nyimas Wulan. Namun dibandingkan dengan kecantikan gadis yang kini duduk bersimpuh di hadapannya dan tersenyum sejuk menawan seraya menatapnya, semuanya tidak berarti.
Kecantikan dan keelokan seluruh gadis yang telah dia kagumi digabung menjadi satu, masih tetap tidak bisa mengalahkan kecantikan gadis puri Yogascitra ini. Purbajaya menghela napas namun sambil memuji nama Tuhan, betapa Tuhan demikian berkuasa dan bermurah hati menurunkan wajah demikian elok kepada yang bernama wanita. Purbajaya menunduk dibuatnya.
“Perkenalkan, saya bernama Banyak Angga dan adikku ini adalah Nyimas Banyak Inten,” kata pemuda itu membuat Purbajaya malu dan terkejut karena sejak tadi sebenarnya pemuda itu memperhatikan dirinya yang tengah terbengong-bengong menatap paras gadis cantik itu.
Purbajaya tersipu dan memerah wajahnya karena malu dipergoki oleh pemuda itu. “Nama saya Purbajaya. Saya datang dari wilayah Tanjungpura untuk melamar pekerjaan sebagai puhawang (akhli kebahariaan), sesuai dengan bidang yang ditangani Juragan Yogascitra,” kata Purbajaya masih tersipu saking malunya.
Wajah Purbajaya tertunduk bukan karena dipaksa oleh kepura-puraan, melainkan karena segan dan hormat kepada pemuda tampan ini. Dia hormat bukan karena kedua orang muda anak pejabat, melainkan merasa hormat karena anak-anak pejabat itu demikian ramah dan sopan kepadanya.
“Tapi saya sungguh amat menyinggung perasaan kalian. Saya bertamu di saat yang tidak tepat,” ujar Purbajaya merendah.
“Tidak, tidak mengganggu. Bahkan kami berdua merasa bersyukur, di saat gawat menimpa ayahanda, kami kedatangan seorang akhli pengobatan. Kami heran, ayahanda begitu mendadak terserang penyakit aneh. Kalau ayahanda tidak menderita sakit begitu, beliau sebenarnya tidak sulit menerima kehadiran tamu,” kata Banyak Angga tetap ramah dan sopan.
Purbajaya hampir saja mengatakan kalau Ki Yogascitra menderita sakit karena keracunan oleh makanan. Namun hal ini diurungkannya. Dia tak mau sembarangan berkata, takut ada seseorang yang ditekan atau dicurigai mereka. Purbajaya yakin, memang ada seseorang menaruh racun dengan niat membunuh pejabat tua itu. Para pekerja dan pembantu di puri inikah? Kalau benar begitu, pejabat ini pasti punya musuh yang berniat melenyapkannya. Purbajaya akan menyelidiki namun secara diam-diam saja.
“Saya ingin mengatur jenis makanan yang hari ini boleh atau tidak boleh dimakan oleh Juragan.” kata Purbajaya. ”Jadi kalau diizinkan, saya ingin mengunjungi dapur. Dan mohon pula sisa makanan yang tadi pagi dimakan Juragan, diberikan pada saya,” kata lagi Purbajaya.
Dengan senang hati, baik Banyak Angga mau pun Nyimas Banyak Inten mengangguk mengiyakan. Penganan pagi yang dimakan Ki Yogascitra diperiksa Purbajaya. Sejumput makanan sisa dilemparkan ke sudut berumput yang didapat banyak semut. Semut biasanya akan menghampiri makanan, namun kali ini malah menjauh. Hanya menandakan semut bercuriga kepada makanan itu.
Purbajaya yakin, kalau makanan itu diberikan kepada binatang anjing atau kucing dan ayam, mereka pasti akan mati kena racun. Sekarang tugas Purbajaya adalah meneliti secara diam-diam, siapa yang menaruh makanan beracun ini. Kalau memang merupakan musuh Ki Yogascitra, maka Purbajaya ingin tahu, berada di pihak mana musuh itu.
Yang pertama kali musti diselidiki tentu saja juru masaknya. Namun juru masak di sana seorang perempuan tua yang sudah puluhan tahun mengabdi di puri itu. Susah untuk dicurigai berlaku jahat kepada tuannya. Yang dua orang adalah petugas pengantar makanan. Juga sama-sama perempuan tua dan sudah mengabdi amat lama. Tugasnya pun sama sejak dulu sebagai pengantar makanan.
“Tapi makanan pagi ini, Ki Bonen yang antar…” kata petugas dapur.
“Siapa Ki Bonen?” tanya Purbajaya.
“Dia petugas di sini juga, hanya tidak mengurus makanan. Kebetulan saja dia menghadap Juragan karena tadi malam Juragan ingin mengatakan sesuatu,” kata petugas dapur. “Ada apa sih sebenarnya?” tanyanya heran karena Purbajaya banyak bertanya.
“Tidak. Saya ini juru obat. Selama Juragan sakit, saya ingin mengatur jenis makanan yang cocok untuk beliau,” jawab Purbajaya untuk menepis kecurigaan pegawai puri.
Namun secara diam-diam pula, Purbajaya meneliti. Hanya saja penyelidikan hampir buntu sebab Ki Bonen waktu itu juga menyerahkan makanan kepada Nyimas Banyak Inten. Jadi, siapa di antara mereka yang menaruh racun? Ki Bonen jelas tak punya waktu untuk melakukan hal itu.
“Hai, Direja ke mana?” tanya Ki Bonen sambil menoleh ke sana ke mari.
“Cari siapa?” tanya Purbajaya heran.
“Ki Direja. Den Banyak Angga ingin titip surat untuk Nyimas Layang Kingkin,” jawab Ki Bonen.
Purbajaya walau selintas ada melihat seorang lelaki yang tergesa-gesa meninggalkan tempat itu tadi pagi. Tidakkah dia yang bernama Ki Direja? Tapi, mengapa orang itu pergi tergesa-gesa?
“Apakah Ki Direja bekerja di sini?” tanya Purbajaya.
“Tidak. Dia pegawai di puri Ki Bagus Seta.”
“Ki Bagus Seta?”
“Beliau pejabat di Pakuan juga. Punya anak gadis cantik bernama Nyimas Layang Kingkin. Den Banyak Angga menaruh hati pada gadis cantik itu dan kerapkali melayangkan surat daun lontar melalui perantara,” kata Ki Bonen.
“Apakah Ki Direja yang jadi perantaranya?”
“Tidak selalu. Namun dia cukup sering juga ke sini sebab Nyimas Layang Kingkin pun sering mengirimkan surat untuk Den Angga. Ki Direja tadi pagi pun dipanggil Nyimas Banyak Inten sebab Den Angga menitipkan surat melalui adiknya pula,” kata Ki Bonen. ”Penganan untuk Juragan Yogas sementara ditinggal di meja sebab Nyimas ambil dulu surat,” kata Ki Bonen.
“Kau lihat penganan buat Juragan ditinggal dulu di atas meja?” Purbajaya mengerutkan dahi.
“Ya. Ada yang aneh?”
“Ah… Tidak! Tapi saya ingin tahu apa penganan untuk Juragan tidak kemasukan debu, misalnya?”
“Saya rasa tidak. Begitu Ki Direja datang, Nyimas hanya pergi sebentar dan balik lagi membawa surat. Penganan langsung dibawa masuk,” kata lagi Ki Bonen.
Purbajaya termangu-mangu.
“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa. Seperti tadi ku katakan, saya hanya ingin pastikan kalau makanan itu tidak kena debu ketika ditinggal di atas meja.”
“Ah, pegawai kami mencintai kebersihan. Di rumah Juragan tidak pernah ada debu menempel,” ujar Ki Bonen seperti tersinggung karena ucapan Purbajaya.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment