Ads

Thursday, January 6, 2022

Kemelut di Cakrabuana 034

“Maafkan, saya hanya ingin agar makanan yang diberikan kepada Juragan benar-benar terpilih dan terjamin kesehatannya,” kata Purbajaya ketika melihat Ki Bonen agak mengerutkan dahi.

Dan setelah Purbajaya bicara seperti itu, baru kerut-merut itu hilang. Ki Bonen berlalu. Dan giliran Purbajaya yang mengerutkan dahi. Dia merasa ada hal-hal mencurigakan yang terdapat pada diri Ki Direja. Untuk itu Purbajaya harus menyelidikinya.

Purbajaya berjalan kembali menuju tempat di mana Banyak Angga dan Nyimas Banyak Inten berada. Banyak Angga dengan hati tulus mengucapkan terima kasih atas susah-payah yang diperlihatkan Purbajaya dalam membantu kesembuhan ayahandanya.

“Saya berjanji akan menolong membantumu sehingga ayahanda tidak ragu-ragu dalam menerima kehadiranmu, adikku,” kata Banyak Angga sungguh-sungguh.

“Inten jangan diam saja, kau cepat haturkan terima kasih padanya,” Banyak Angga menyikut lengan adiknya yang sejak tadi hanya senyum-senyum saja.

“Terima kasih, ayahanda telah kau sembuhkan, saudara Purba…” kata Nyimas Banyak Inten pelan namun terdengar merdu.

Purbajaya menganga melihat gerakan mulut mungil merah merona gadis itu. Dan karena ditatap sedemikian rupa maka wajah Nyimas Banyak Inten bersemu merah dan cepat-cepat menunduk.

“Saya tidak melakukan apa-apa, tak patut rasanya ucapan terima kasih ini…” Purbajaya berkata gagap karena hatinya masih kacau-balau dikoyak-koyak penglihatan mulut mungil itu.

“Tidak. Engkau amat berjasa kepada kami. Kalau tak ada engkau, bagaimana pula nasib ayahanda,” kata lagi Banyak Angga tetap memuji Purbajaya setulus hati.

Sejenak Purbajaya bimbang. Sebenarnya dia ingin katakan kalau Ki Yogascitra telah diracuni orang dan Purbajaya mencurigai Ki Direja. Namun sudah barang tentu, penemuannya ini tidak bisa dia katakan kepada mereka. Banyak Angga nampaknya amat menginginkan hubungan baik dengan keluarga Ki Bagus Seta.

Purbajaya tahu, betapa Banyak Angga sebenarnya menginginkan kehadiran Nyimas Layang Kingkin di hatinya. Itulah sebabnya, Purbajaya tidak bisa mengganggu perasaan pemuda itu kalau dia katakan betapa pegawai dari puri Bagus Seta telah berupaya meracuni ayahandanya.

”Di sekeliling kita banyak hal-hal bermanfaat namun juga tak kurang-kurang yang membahayakan diri kita sendiri, makanan misalnya…” kata Purbajaya menyiratkan satu hal yang entah dimengerti entah tidak oleh Banyak Angga dan adiknya. Yang jelas, baik Banyak Angga mau pun Nyimas Banyak Inten terlihat menganggukkan kepalanya.

“Saya ingin mohon diri. Ki Jongjo, mari kita pulang…” kata Purbajaya seraya menengok ke arah ki Jongjo yang sejak tadi tidak berbicara sepatah pun kecuali menyaksikan tingkah Purbajaya.

“Bukankah engkau akan melamar pekerjaan kepada ayahanda?” tanya banyak Angga kecewa karena Purbajaya berniat mohon diri.

“Tentu, namun tidak hari ini di saat ayahandamu mengalami gangguan,” jawab Purbajaya.

“Lekaslah datang lagi ke sini, kau pasti aku bantu menghadap ayahanda,” kata lagi Banyak Angga sungguh-sungguh.

“Terima kasih. Saya pasti segera mengunjungimu,” jawab Purbajaya menunduk. Untuk kemudian tergopoh-gopoh mengundurkan diri dari tempat itu manakala dadanya berdebar keras karena beradu pandang dengan mata Nyimas Banyak Inten.

***

“KAU nampaknya amat memperhatikan keselamatan jiwa pejabat tua itu, Purba. Hati-hati, jangan terlalu mencampur-adukkan perasaan pribadi dalam urusan ini,” Ki Jongjo memperingatkan Purbajaya ketika sudah tiba di rumah.

“Saya tidak terlalu bermain dengan perasaan,” jawab Purbajaya mencoba mengelak dari tudingan ini.

“Kau mati-matian menyelamatkan jiwa Yogascitra,” Ki Jongjo tetap penasaran.

Purbajaya menatap tajam kepada Ki Jongjo. Terkesan sekali sepertinya Ki Jongjo menginginkan jiwa Ki Yogascitra tidak tertolong.

“Kita harus punya kesepakatan pendapat. Carbon menugaskan saya bekerja pada pejabat puhawang (pejabat urusan kebaharian). Supaya bisa diterima dengan baik, maka saya harus cari jasa,” Purbajaya berkilah.

“Bagus kalau begitu. Tapi sekali lagi aku ingatkan, kita tidak berusaha keras agar pejabat tua itu selamat. Tujuan kita bukan menjaga keselamatan keluarga itu. Bahkan pada suatu waktu, mungkin kita ditugaskan melenyapkan nyawa mereka sebab dalam upaya merebut kekuasaan Pakuan, mereka adalah tulang punggung negara. Pakuan susah direbut selama keluarga Yogascitra masih ada,” kata Ki Jongjo memperingatkan.

Purbajaya menatap tajam ke arah Ki Jongjo. Dalam satu dua hari bersamanya, sudah terlihat betapa sebenarnya orang ini bukanlah rakyat biasa dan apalagi hanya sekadar tukang perahu seperti pertama kali bertemu. Mungkin di kalangan pemberontak, Ki Jongjo termasuk orang penting juga. Dan benar juga dugaannya. Sebab malam harinya, tanpa diminta Ki Jongjo pun bercerita perihal dirinya.

Menurutnya, dulu dia adalah prajurit setia di istana. Namun puluhan tahun mengabdi, hidupnya tak pernah baik. Dia tak suka mendekat-dekatkan diri kepada atasan, tidak pernah menjilat tidak pula sengaja mencari-cari jasa. Yang dia kerjakan hanyalah melaksanakan tugas dengan baik. Namun kenyataannya, kedekatan kepada atasan dan bangsawan ternyata amat mempengaruhi kedudukan seseorang.

Siapa yang bisa dekat, bisa menjilat dan bisa memuji-muji atasan, maka dialah yang bisa menerima kemudahan di istana. Banyak teman seangkatan yang posisinya kini lebih enak ketimbang dia. Bahkan karirnya sebagai prajurit banyak terlampaui oleh prajurit yang lebih muda.

“Aku sakit hati, kesetiaanku kalah oleh kelompok penjilat,” gumam Ki Jongjo.

“Mungkin yang menerima pangkat tinggi hanya yang diketahui memiliki kepandaian tertentu saja, Ki Jongjo…” berkata Purbajaya.

Dan ucapan Purbajaya ini sepertinya menambah kepedihan orang tua itu. Terlihat dia tertunduk dengan wajah keruh.

“Ku akui, memang kepandaian berpikirku, bahkan kepandaian lahiriahku masih di bawah mereka. Tapi apakah kesetiaanku tidak mereka hargai, Purba? Sekarang terbukti, tanpa kesetiaan dan kejujuran, negara sebentar lagi akan runtuh.” kata Ki Jongjo.

Malamnya Purbajaya jadi susah tidur. Ucapan-ucapan Ki Jongjo terus terngiang. Memang benar, negara amat membutuhkan orang pandai. Namun apalah kepandaian seseorang tanpa disertai kejujuran dan kesetiaan. Oleh adanya penghargaan yang timpang, maka marabahaya semakin menggebu bagi sebuah kehidupan. Buktinya, Ki Jongjo yang mengaku jujur dan setia, manakala merasa usaha-usahanya tidak dihargai, maka dia berbalik menjadi orang yang akan merugikan negara.



Purbajaya merenung. Jadi sebaiknya musti bagaimanakah orang bertindak? Hanya memiliki kejujuran dan kesetiaan saja tanpa punya kepandaian ternyata tidak dihargai. Punya kepandaian tapi tak setia dan tak jujur malah membahayakan. Mungkin yang benar adalah memiliki kesempurnaan dalam segalanya. Ya, pandai, ya jujur. Itulah mungkin keinginan manusia, segalanya serba sempurna. Bukan tak ada.

Tapi hal seperti itu susah dicari. Apa yang dimiliki manusia serba tak sempurna. Itulah mungkin yang membuat keadaan dunia tidak pernah sepi dari permasalahan. Mungkin satu-satunya hal yang bisa menekan permasalahan adalah bila manusia bisa meluruskan tujuan hidupnya. Untuk apakah kita punya kepandaian? Untuk apa pula kita punya kejujuran dan kesetiaan? Untuk dihargai dan dibalas oleh kebaikan orang? Mungkin di sanalah titik kesalahannya.

Orang pandai mengabdikan kepandaiannya untuk kepentingan orang banyak selama orang banyak menghargai dan membalas kebaikannya. Lantas kalau merasa tak dihargai maka dia tidak akan mengabdikan kepandaiannya untuk kepentingan umum. Demikian pun orang yang hendak memberikan kejujuran dan kesetiaannya, mereka pilih-pilih dulu, apakah kejujuran dan kesetiannya bakal menerima balasan setimpal? Lalu, kalau sekiranya tidak akan dihargai, maka lebih baik tidak setia dan tidak jujur saja.

Inilah mungkin kesalahan yang dilakukan Ki Jongjo. Kesetiaan dan kejujuran terhadap negara dia berikan hanya karena mengharapkan balasan dari negara. Setelah ternyata tidak menerima balasan, maka selain tidak lagi memberikan kejujuran dan kesetiaannya, Ki Jongjo pun berbalik menjadi orang yang merongrong negara.

Dia keliru karena mengartikan kesetiaan dan kejujuran sebagai sesuatu yang akan “dijual” kepada orang lain, lantas kalau tak “dibeli” maka tak usah diberikan. Kesetiaan dan kejujuran tak lebih hanya dijadikan sebagai ajang untuk meminta dan bukan untuk memberi.

Purbajaya susah memejamkan mata. Berbagai lamunan datang dan pergi silih berganti. Kini muncul pula bayangan gadis dari puri Yogascitra. Wajah cantik gadis itu terus melekat di benaknya. Nyimas Banyak Inten rupanya bukan saja memiliki kecantikan wajah namun juga cantik dalam perilaku.

Kalau Nyimas Waningyun putri keluarga Pangeran Arya Damar pejabat Carbon, terlihat periang dan terkadang bermulut bawel pandai bicara, adalah Nyimas Banyak Inten yang pendiam dan tak sembarangan mengeluarkan perkataan. Kalau Nyimas Yuning Purnama putri keluarga Ki Bagus Sura dari Sumedanglarang selalu berwajah sayu dan hanya sedikit sekali memiliki senyum, adalah Nyimas Banyak Inten yang pandai mengulum senyum.

Ya, Nyimas Banyak Inten tidak seperti Nyimas Waningyun, tidak persis dengan Nyimas Yuning Purnama yang pendiam, atau bahkan jauh bedanya dengan Nyimas Wulan dari Tanjungpura yang cinta berahinya panas membara dan sekarang telah dia calonkan sebagai istrinya. Nyimas Banyak Inten tidak bisa dibandingkan dengan ketiga orang gadis itu.

Memang sama-sama cantik, namun kecantikan Nyimas Banyak Inten adalah gabungan dari seluruh banyak kecantikan. Kalau para pohaci (bidadari) saja hanya memiliki kecantikan sebagai seorang bidadari, maka Nyimas Banyak Inten adalah gabungan kecantikan makhluk kayangan dan makhluk dunia bernama wanita. Nyimas Banyak Inten, entah di mana posisinya, yang jelas telah memiliki kedudukan khusus di hati Purbajaya. Kedudukan khusus?

Purbajaya menggetok kepalanya sendiri. Enaknya. Baru satu kali bertemu saja sudah mabuk kepayang. Lantas, mau dikemanakan kedudukan Nyimas Wulan gadis Tanjungpura itu? Dan ingat ini, Purbajaya jadi mengeluh. Untuk kedua kalinya dia getok kepalanya sendiri. Mungkin begitulah lelaki, gombal, brengsek dan mudah tergoda wajah cantik.

Purbajaya menyesal, dia mudah digoda cumbu-rayu asmara. Padahal dia sadar, terhadap Nyimas Wulan dia tidak punya perasaan cinta. Tapi dasar lelaki, digoda dan dirayu wanita cantik, maka runtuh pula imannya. Dasar lelaki! Dasar lelaki? Mengapa semua lelaki disalahkan? Kemarin dulu, lelaki jahat yang mudah mengganggu wanita adalah Raden Yudakara dan Ki Jayasena. Sekarang ditambah dirinya.

Jadi kalaulah mau memaki lelaki, makilah mereka berdua dan yang ketiga tentu dirinya sendiri. Belum tentu lelaki lain sebrengsek dia dalam memandang dan memperlakukan kaum wanita. Dan berpikir seperti ini, Purbajaya kembali mengeluh. Iman yang ada di dalam dirinya ternyata masih labil. Dia mudah terpesona melihat wajah cantik seorang wanita. Hatinya memang tidak bisa mungkir kalau sekarang semangatnya terbetot bayangan gadis bernama Nyimas Banyak Inten. Dia cantik. Dia manis. Dia berwajah anggun.

Tidak menantang namun juga tidak bersifat “kikir” dalam memperlihatkan wajah cantiknya. Lelaki berpikiran normal tentu akan tertarik kepada gadis itu. Mungkin itu pulakah yang menyebabkan Purbajaya mati-matian menolong nyawa Ki Yogascitra dari bahaya racun? Kini untuk ketiga kalinya dia getok lagi kepalanya. Tadi dia menyalahkan sikap Ki Jongjo yang melakukan kebaikan karena ingin dibalas kebaikan pula. Sekarang giliran dia sendiri yang melakukan pertolongan karena memiliki dasar pamrih. Sialan!

Tapi mungkin benar mungkin tidak. Purbajaya mau menolong nyawa Ki Yogascitra mungkin dasarnya karena melihat anak gadisnya yang begitu aduhai. Tapi mungkin juga dia menolong orang karena tugas kemanusiaan semata. Taruhlah di puri itu tidak ada gadis cantik, apakah Purbajaya akan menolak melakukan pertolongan? Tidak. Ini bukan kebiasaannya. Dan hati Purbajaya merasa menang karena memang dia sendiri yang mengusahakan agar dirinyalah yang menang dalam mengeluarkan pendapat seperti itu.

Dia benar-benar melakukan pertolongan kepada Ki Yogascitra karena dasar kemanusiaan semata. Dan dengan demikian, sebenarnya dia telah berbohong kepada Kini wajah cantik gadis itu terus melekat di benaknya. Nyimas Banyak Inten rupanya bukan saja memiliki kecantikan wajah namun juga jongjo. Ki Jongjo menginginkan agar Purbajaya di puri itu jangan melakukan sesuatu berdasarkan perasaan. Dan dia mengangguk mengiyakan, padahal di relung hatinya dia membantahnya sendiri. Tidak. Dia menolong Ki Yoagascitra karena berdasarkan perasaan.

Maka ditambah oleh kehadiran Nyimas Banyak Inten, semakin lengkap pulalah perasaan Purbajaya bermain di sana. Namun demikian, alasan politik pun tetap tak dia ingkari. Dia masuk ke puri itu adalah sebagai penyelundup, sesuai seperti apa yang diinginkan Carbon. Dengan berbuat jasa kepada Ki Yogascitra, maka telah melicinkan usahanya dalam menyelundup ke Pakuan.

Ya, bagaimana pun, dia adalah mata-mata Carbon. Bukan pula bekerja untuk kepentingan Raden Yudakara. Purbajaya harus berani mengembalikan posisinya ke arah yang benar, yaitu bekerja untuk Carbon.

“Namun bisakah ini kulakukan dengan baik?” pikirnya dalam hati.

Sekarang malam sudah menjelang. Ki Jongjo sudah terlihat pulas dan terdengar dengkurnya. Maka Purbajaya kembali menyelinap dari rumah ini untuk kedua kalinya. Kali ini dia ingin menyelidik kediaman Ki Bagus Seta. Kalau Ki Direja datang dari puri Bagus Seta, maka ada kemungkinan penghuni puri itu terlibat rencana pembunuhan terhadap Ki Yogascitra. Mengapa mereka akan membunuh pejabat Pakuan yang jujur itu, itulah sebabnya Purbajaya tertarik untuk menyelidikinya.

Tadi siang pegawai puri Yogascitra telah menunjukkan di mana letak puri Bagus Seta. Maka di malam itu, tanpa mengalami kesulitan dia telah bisa menemukan kompleks puri itu. Yang susah justru memikirkan usaha untuk memasukinya. Puri itu dijaga dengan amat ketat. Bukan saja gerbang depan dijaga empat orang prajurit, bahkan pada saat-saat tertentu, secara rutin benteng puri dijaga pasukan yang berpatroli mengelilingi benteng dari ujung ke ujung.

Purbajaya harus menunggu sekian waktu agar penjaga lewat dulu. Setiap pasukan patroli lewat, setiap itu pula Purbajaya meneliti. Sesudah beberapa kali diteliti, Purbajaya mendapatkan kesimpulan, penjaga patroli akan kembali lewat ke tempat itu pada setiap hitungan ke limapuluh. Itu berarti untuk mencoba memasuki wilayah benteng puri dalam, Purbajaya hanya memiliki waktu selama limapuluh hitungan.

Penjaga yang tengah patroli sudah lewat kembali. Maka sambil hatinya tetap menghitung, Purbajaya meloncat-loncat untuk mendekati tepi benteng. Pada hitungan ke empatpuluh, Purbajaya baru berhasil mendekati sisi benteng. Hanya sepuluh hitungan lagi dan Purbajaya harus bisa meloncati benteng.

Purbajaya segera menghimpun tenaga dalamnya. Sesudah itu, ujung kakinya menotol tanah. Hup, Purbajaya berhasil meloncat ke atas benteng. Baru saja bernapas, pasukan patroli telah kembali lewat.

Sekarang Purbajaya meneliti suasana di dalam benteng. Terlihat lengang. Bahkan beberapa bangunan besar telah memadamkan cahaya lampunya. Namun demikian, ada satu bangunan yang terlihat masih benderang. Maka Purbajaya memutuskan untuk mendekati ruangan itu.

Purbajaya meloncat-loncat dengan menggunakan ilmu napak-sancang agar langkah kakinya tidak didengar orang. Ketika sudah tiba di tempat yang dituju, Purbajaya kembali meloncati bibir benteng yang ada di dekat ruangan. Dari atas benteng dia meloncat ke bibir atap sirap.

Purbajaya secara hati-hati menguakkan ujung atap sirap. Maka terlihatlah di ruangan dalam dua orang tengah bersila saling berhadapan. Cahaya yang masuk hanya remang-remang saja sebab di ruangan dalam, pelita tidak dipasang. Rupanya dua orang itu tidak menyukai cahaya dalam melakukan percakapannya. Namun demikian, Purbajaya masih bisa saksikan, paling tidak bentuk tubuh dua orang itu.

Yang seorang berbadan tegap, seorang lagi tubuhnya agak gemuk dengan perut sedikit buncit. Melihat postur si buncit, Purbajaya jadi teringat peristiwa penculikan atas dirinya. Waktu itu di sebuah ruangan remang-remang dia ditanyai seorang lelaki berbadan gempal dan berperut buncit. Purbajaya berdebar hatinya. Dia merasa yakin kalau yang memeriksa dia waktu itu adalah orang yang kini tengah berada di ruangan itu. Purbajaya segera menyimak percakapan di antara mereka. isinya amat mendebarkannya.

“Maksudmu, Si Yogascitra kau racuni?” tanya lelaki bertubuh gempal berperut buncit.

“Ya, tapi sayang dia lolos dari maut, Soka…“

“Maksudmu, kau akan bunuh Si Yogascitra, Seta?”

Tidak terdengar jawaban.

“Si Yogascitra itu pejabat yang terlalu jujur. Orang jujur akan membahayakan. Aku tak mau akhirnya dia akan membahayakan gerakan kita,” jawab lelaki yang pasti Ki Bagus Seta, pemilik puri ini. ”Aku khawatir, lambat-laun dia akan dekat dan dipercaya Raja. Kalau sudah demikian, maka kitalah yang terancam,” katanya lagi.

“Mustahil dia bisa dekat dengan Sang Prabu. Kau kan tahu, Si Yogascitra berani bersilang pendapat dengan Raja, sementara itu kita pun tahu pula penguasa Pakuan ini kesenangannya disanjung dan dipuji serta amat tabu menerima kritik. Asalkan kita sanggup menyenangkan hati Raja, aku yakin, kitalah kelak yang akan bisa mempengaruhi dan mengendalikan kebijakan Raja,” kata lawan bercakapnya yang Purbajaya mulai menduga, orang itu adalah tokoh Pakuan bernama Bangsawan Soka.

“Aku pun punya keyakinan seperti itu. Tapi akan lebih aman bila pejabat sejujur Si Yogascitra kita lenyapkan saja,” jawab Ki Bagus Seta.

“Anak tirimu bernama Suji Angkara amat tergila-gila kepada Nyimas Banyak Inten, mengapa tidak kau gunakan saja perangkat ini? Kau akan lebih baik berbesan saja agar kelak Ki Yogascitra menjadi mitra kerjamu,” Bangsawan Soka memberi usul.

Hanya dijawab oleh Ki Bagus Seta dengan dengusan.

“Ah, hanya urusan anak kecil semata. Asalkan tak ada yang tahu bahwa Si Yogascitra dienyahkan olehku, maka semuanya akan beres. Dengan kematian ayahandanya, maka Banyak Inten dan kakaknya akan dekat dengan kita. Mereka akan memilih kita sebagai pelindungnya. Yang aku pusingkan, tugas yang diemban Ki Direja telah digagalkan oleh seorang anak muda. Anak itu dibawa Ki Jongjo memasuki puri Yogascitra…“

“Hm… anak muda itu utusan Raden Yudakara dari Carbon. Memang rencananya disusupkan ke puri itu,” jawab Bangsawan Soka. “Yang aku risaukan, ternyata Ki Jaya Perbangsa pun sudah tahu perihal kedatangan pemuda itu. Kelompok ini rupanya ingin menguasai anak muda itu. Makanya jauh hari Ki Jongjo sudah menguasai anak muda Carbon itu.”

“Kau maksudkan, anak muda itu tengah diperebutkan?”

“Tanyakan sendiri kepada Ki Banaspati kakak seperguruanmu, mengapa dia ikut memperebutkan utusan dari Carbon?” Bangsawan Soka balik bertanya.

“Hhhh…. Aku pusing dengan tindak-tanduk kakak seperguruanku ini,” dengus Ki Bagus Seta.

“Aku bahkan sudah lama curiga kalau Ki Banaspati sebenarnya memiliki tujuan-tujuan tertentu pula,” gumam Bangsawan Soka.

Mereka berdiam diri beberapa lama sampai pada saatnya, Bangsawan Soka mohon diri dari tempat itu. Purbajaya pun sedianya akan segera meninggalkan tempat itu ketika secara tiba-tiba terlihat beberapa cahaya berkeredepan dari pisau-pisau terbang yang dilemparkan oleh Ki Bagus Seta dari bawah dan diarahkan menyerang dirinya.

Purbajaya amat terkejut. Dengan adanya serangan ini hanya membuktikan bahwa secara sadar Ki Bagus Seta mengetahui kalau dirinya diintai orang. Saking cepatnya pisau-pisau ini melesat, Purbajaya tak sempat menghindar atau pun menangkis. Dia pasrah sebab telah menduga tubuhnya akan menjadi santapan empuk serangan pisau-pisau terbang ini. Namun sungguh aneh, ketika matanya sudah terpejam, serangan pisau tak pernah datang. Ke mana larinya senjata yang tadi beterbangan itu?

Purbajaya segera membuka matanya. Ternyata di sampingnya sudah terlihat seorang lelaki yang diketahui sebagai Ki Rangga Guna. Di kedua belah tangannya, pisau-pisau itu telah digenggam orang tua itu.

“Cepat loncat sana!” Ki Rangga Guna mendesis seraya mendorong tubuh Purbajaya.

Sementara itu di ruangan di mana Ki Bagus Seta melepas serangan, sudah terdengar ribut-ribut. Purbajaya menduga kalau para prajurit serta pengawal Ki Bagus Seta sudah diberitahu perihal hadirnya penyelundup ke wilayahnya.

“Ayo lari!” ajak Ki Rangga Guna.

“Ke mana?”

“Kita menuju wilayah Tajur Agung!”

“Tajur Agung?” tanya Purbajaya sambil melesat mengikuti ke mana Ki Rangga Guna berlari.

Purbajaya ingin mengimbangi larinya orang tua itu. Namun yang diimbangi ternyata memiliki ilmu kepandaian lari yang demikian hebat. Kendati Purbajaya berusaha sekuat tenaga, kecepatan lari Ki Rangga Guna tak bisa diimbangi. Belakangan baru dia bisa menyusul setelah Ki Rangga Guna menurunkan tingkat kepandaian larinya.

“Tajur Agung adalah taman buah-buahan milik keluarga istana. Tidak sembarang orang bisa keluyuran ke tempat itu. Oleh sebab itulah kita sembunyi di sana,” kata Ki Rangga Guna menerangkan di tengah jalan.

“Apakah yakin kita tidak akan diketahui mereka?” tanya Purbajaya sedikit ngos-ngosan.

“Tentu mereka akan tahu. Tapi paling tidak, tidak akan semua prajurit mengejar kita, kecuali orang-orang tertentu yang diberi izin masuk,” jawab Ki Rangga Guna sambil tetap berlari dan diikuti oleh Purbajaya dengan susah-payah.

Namun demikian, Purbajaya masih berpikir untuk memuji orang ini, betapa di saat yang tepat Ki Rangga Guna bisa menyelamatkan nyawanya. Apakah selama ini Ki Rangga Guna terus mengikutinya?

“Ayo percepat larimu, di belakang, mereka tengah menyusul kita,” kata Ki Rangga Guna mengingatkan.

Purbajaya berlari cepat. Namun ketika tiba di daerah agak lapang, Ki Rangga Guna malah berhenti dan bertindak seolah-olah sengaja menanti para pengejarnya.

“Kau sembunyi di sana!” Ki Rangga Guna memerintah.

“Sembunyi?

“Ya, kau harus sembunyi dari pandangan mereka.”

Purbajaya mulanya kecewa sebab seperti tak dipercaya untuk ikut menghadapi musuh. Tapi kemudian dia mengerti. Ki Rangga Guna berkata benar kalau dirinya jangan diketahui sebagai penyusup ke puri Bagus Seta, sebab kalau tak begitu, kedudukannya di Pakuan akan terancam oleh kelompok ini.

Ketika para pengejar sudah terlihat gerakannya, Purbajaya segera mencari tempat sembunyi. Kebetulan di sekitar tempat itu ada banyak gundukan tanaman bunga yang daunnya amat rimbun. Tidak begitu lama kemudian, rombongan pengejar pun segera tiba. Terlihat ada belasan perwira yang langsung mengepung Ki Rangga Guna.

“Hah? Dia Rangga Guna si pemberontak! Tangkap dia!” teriak salah seorang dari mereka.

Maka setelah menerima perintah ini, Ki Rangga Guna dikepung rapat. Dan sebentar kemudian terjadilah pertempuran sengit, satu orang melawan belasan perwira Pakuan yang dikenal tangguh.

Pertempuran demikian hebat. Mereka bertarung dengan kecepatan tinggi sehingga gerakan mereka susah diikuti pandangan mata. Sabetan-sabetan pedang dan golok bergulung-gulung menutupi tubuh Ki Rangga Guna dan suaranya bergaung-gaung seperti ribuan gasing diputar berbarengan.

Belasan perwira ini rata-rata memiliki kepandaian hebat. Namun penampilan Ki Rangga Guna kendati hanya melawan seorang diri tidak kalah hebatnya. Sedikit pun dia tidak terlihat terdesak. Gerakan dan perlawanannya malah terlihat amat gemilang. Walau pun digulung belasan senjata tajam namun tubuhnya sedikit pun tidak pernah tersentuh ujung-ujung senjata yang amat runcing itu.

Jangankan bisa disentuh, bahkan hanya sekadar mendekati saja sudah tak bisa. Tubuh Ki Rangga Guna sepertinya dibentengi lapisan baja yang kuat, sehingga hujan serangan senjata tajam hanya terbatas tiba di benteng baja itu saja.

Ki Rangga Guna sigap dalam menangkis dan sigap pula dalam mengelak. Tubuhnya pun berloncatan ke sana ke mari membuat para pengepungnya sibuk ke sana ke mari pula. Dan pertempuran sengit ini berlangsung cukup lama sebab yang menyerang tak bisa menembus sebaliknya yang diserang tak bisa balik menyerang.

Atau, Purbajaya dari tempat sembunyinya bisa meneliti, sebetulnya Ki Rangga Guna bukan tak bisa melakukan serangan, melainkan sepertinya dia tidak mau melakukannya. Ki Rangga Guna jelas tidak mau mencelakakan lawan-lawannya. Sampai tiba pada suatu saat, ke tempat itu hadir pula seorang pengejar lain. Dan Purbajaya berdegup jantungnya sebab yang datang adalah Ki Bagus Seta.

Purbajaya gelisah. Melawan belasan perwira saja sudah sedemikian sibuknya, apalagi bila ditambah oleh kehadiran Ki Bagus Seta yang diketahui Purbajaya berilmu tinggi pula. Sebagai bukti, serangan pisau terbang orang itu amat hebat dan susah dihindarkan. Kalau sampai dengan sekarang nasib Purbajaya masih baik, itu karena pertolongan Ki Rangga Guna saja.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment