Purbajaya mengeluh, Ki Rangga Guna pasti akan mengalami kesulitan karena dia sejauh ini tidak mau mencederai lawan-lawannya. Jadi kalau selama ini dia masih selamat, itu karena secara kebetulan dia bisa mengungguli lawan-lawannya. Kalau sekarang belasan perwira dibantu Ki Bagus Seta, barangkali Ki Rangga Guna akan kalah, kecuali dia mengubah sikap untuk tidak memberi angin kepada belasan perwira.
Namun belakangan Purbajaya jadi malu sendiri telah menganggap bodoh Ki Rangga Guna. Buktinya, setelah melihat kehadiran Ki Bagus Seta, Ki Rangga Guna segera meningkatkan kebolehannya. Orang tua itu segera menghimpun tenaga dan melakukan gerakan-gerakan hebat. Maka hanya dalam waktu yang singkat terdengar jerit-jerit kesakitan ketika tubuh belasan perwira terlontar ke sana ke mari dan jatuh berdebuk tak sadarkan diri.
Tewaskah mereka? Purbajaya tak percaya Ki Rangga Guna berlaku kejam. Dia ingat kembali peristiwa di wilayah Sagaraherang ketika Raden Yudakara dipukul roboh. Tubuh pemuda itu terlontar dan berdebuk jauh ke depan terkena pukulan jarak jauh oleh Ki Rangga Guna. Namun anehnya, tubuh Raden Yudakara sedikit pun tidak mengalami luka. Purbajaya mengira, Ki Rangga Guna kali ini hanya membuat lawan menjadi pingsan saja namun tak mengakibatkan mereka tewas.
Ki Rangga Guna sengaja mempercepat perlawanan terhadap belasan perwira karena ingin menghadapi Ki Bagus seta secara khusus. Purbajaya melihat keadaan dengan hati tegang. Dia menduga kalau sebentar lagi akan terjadi pertarungan yang lebih hebat dari pertarungan yang tadi. Dua-duanya terlihat saling berhadapan dari jarak sekitar sepuluh depa dan tangan-tangan mereka meregang tegang.
“Rangga, engkau ini adik seperguruanku. Namun mengapa kerjamu hanya mengganggguku saja?” tanya Ki Bagus Seta dengan suara dingin dan amat mengejutkan hati Purbajaya. Mereka berdua kakak-adik seperguruan?
“Saya hanya ingin agar engkau tetap melangkah di jalan yang diinginkan Ki Guru Darma…” kata Ki Rangga Guna menatap tajam ke arah Ki Bagus Seta.
Ki Bagus Seta melangkah setindak dan Ki Rangga Guna segera mundur satu tindak.
“Hahaha…! Engkau selalu tak mempercayaiku, Rangga!”
“Saya hanya ingin mengingatkan engkau saja, Kakak…”
“Sudahlah, engkau pulanglah dan rawat Ki Guru,” kata Ki Bagus Seta.
“Tidak. Ki Guru malah menugaskan saya agar menjagamu, Kak…”
“Sombong. Dengarkan dungu, aku ingin menolongmu juga. Selama ini aku jadi pejabat negara, namun selama ini pula kau dikejar-kejar pemerintah. Engkau harus malu itu. Dan jangan pula kau permalukan diriku. Betapa orang-orang akan bilang, yang satu jadi pejabat satunya jadi pembangkang. Apakah engkau tidak malu, adik?” tanya Ki Bagus Seta namun dengan nada mengejek.
“Seseorang menjadi terhormat tidak karena telah menjadi pejabat, demikian pun sebaliknya. Orang yang dituding pembangkang belum tentu menjadi orang terhina,” jawab Ki Bagus Seta dengan nada datar.
“Dungu !” desis Ki Bagus Seta gemas.” Jaga sifatmu, jangan kecewakan Ki Guru,” lanjutnya.
“Justru ucapan itu yang ingin saya berikan padamu, Kakak,” timpal Ki Rangga Guna.
Dan rupanya jawaban Ki Rangga Guna ini telah membuat Ki Bagus Seta merasa marah. Buktinya tubuh Ki Bagus Seta melesat menghambur ke depan. Ki Rangga Guna tidak tinggal diam. Dia pun segera melesat ke depan dengan kecepatan sulit dilihat pandangan mata. Maka dua tubuh berkelebat saling menghambur. Namun keduanya tidak saling bertemu di tengah jalan, melainkan hanya saling berpapasan saja.
Gerakannya amat cepat dan hanya membentuk kelebatan saja. Tahu-tahu keduanya sudah berpindah tempat. Tempat di mana tadi Ki Rangga Guna berdiri telah ditempati Ki Bagus Seta, demikian pun sebaliknya. Keduanya masih saling bertatap muka namun dengan tubuh limbung.
Dan sebelum keduanya berdiri tegak, Ki Bagus Seta membuat gerakan aneh. Mula-mula tubuhnya membungkuk dan doyong seperti tubuhnya hampir menyentuh tanah, persis gerakan kodok yang akan meloncat ke depan. Namun bukan loncatan yang dia lakukan, melainkan lontaran pukulan jarak jauh. Gerakan angin pukulan menimbulkan suara berciutan dan dedaunan rontok jatuh ke tanah seperti ditiup badai.
Rupanya Ki Rangga Guna sadar kalau ini merupakan sebuah serangan amat berbahaya. Buktinya, orang tua ini segera melakukan gerakan yang sama dan melakukan serangan pukulan jarak jauh pula. Maka suara angin berciutan berubah menjadi gelegar petir yang menimbulkan bunga api berpijar di angkasa. Dua buah pohon di sekitar tempat itu tumbang karena batangnya hancur berantakan.
Purbajaya terlambat menutup sepasang lubang telinganya. Dan manakala dia periksa, terasa ada lelehan darah segar dari lubang telinganya itu. Purbajaya terkena pengaruh adu pukulan yang dilakukan mereka. Matanya berkunang-kunang dan kepalanya terasa pusing.
Untuk beberapa lama Purbajaya hanya bisa memejamkan mata karena dirinya terasa menderita. Namun kemudian secara perlahan dia memandang ke sekeliling. Hampir semua dedaunan di pohon-pohon durian di tempat itu pada rontok seperti hari itu secara tiba-tiba musim kering tengah melanda daerah itu. Di tengah tanah lapang, dua orang masih terlihat berdiri dan tetap berjauhan. Hanya saja, kaki Ki Rangga Guna terlihat melesak ke tanah sampai sebatas betis, sementara Ki Bagus Seta berdiri limbung dan seluruh pakaiannya koyak-koyak seperti secara mendadak dikoyak kuku-kuku macan.
“Kau akan mati, Rangga…”
“Ya… Kalau pertarungan ini dilanjutkan, kita berdua akan segera mati,” jawab pula Ki Rangga Guna.
Dua orang itu saling pandang dalam kebisuan. Sampai pada suatu saat, Ki Bagus Seta meninggalkan tempat itu dengan langkah gontai. Sesudah Ki Bagus Seta berlalu, Purbajaya mulai berani muncul dan meloncat dengan sedikit limbung karena kepalanya pening. Dia harus menolong Ki Rangga Guna yang diduganya mengalami luka yang parah. Dan benar saja, ketika diperiksa, dari mulut, hidung, telinga bahkan dari sepasang mata Ki Rangga Guna, terlihat ada darah menetes-netes keluar.
“Ki Rangga, anda terluka parah…” kata Purbajaya khawatir sekali.
“Rupanya itu pula yang dialami Ki Bagus Seta…” desis Ki Rangga Guna dengan sedikit menahan rasa sakit.
“Mari kita tinggalkan tempat ini…” ajak Ki Rangga Guna.
Namun belakangan Purbajaya jadi malu sendiri telah menganggap bodoh Ki Rangga Guna. Buktinya, setelah melihat kehadiran Ki Bagus Seta, Ki Rangga Guna segera meningkatkan kebolehannya. Orang tua itu segera menghimpun tenaga dan melakukan gerakan-gerakan hebat. Maka hanya dalam waktu yang singkat terdengar jerit-jerit kesakitan ketika tubuh belasan perwira terlontar ke sana ke mari dan jatuh berdebuk tak sadarkan diri.
Tewaskah mereka? Purbajaya tak percaya Ki Rangga Guna berlaku kejam. Dia ingat kembali peristiwa di wilayah Sagaraherang ketika Raden Yudakara dipukul roboh. Tubuh pemuda itu terlontar dan berdebuk jauh ke depan terkena pukulan jarak jauh oleh Ki Rangga Guna. Namun anehnya, tubuh Raden Yudakara sedikit pun tidak mengalami luka. Purbajaya mengira, Ki Rangga Guna kali ini hanya membuat lawan menjadi pingsan saja namun tak mengakibatkan mereka tewas.
Ki Rangga Guna sengaja mempercepat perlawanan terhadap belasan perwira karena ingin menghadapi Ki Bagus seta secara khusus. Purbajaya melihat keadaan dengan hati tegang. Dia menduga kalau sebentar lagi akan terjadi pertarungan yang lebih hebat dari pertarungan yang tadi. Dua-duanya terlihat saling berhadapan dari jarak sekitar sepuluh depa dan tangan-tangan mereka meregang tegang.
“Rangga, engkau ini adik seperguruanku. Namun mengapa kerjamu hanya mengganggguku saja?” tanya Ki Bagus Seta dengan suara dingin dan amat mengejutkan hati Purbajaya. Mereka berdua kakak-adik seperguruan?
“Saya hanya ingin agar engkau tetap melangkah di jalan yang diinginkan Ki Guru Darma…” kata Ki Rangga Guna menatap tajam ke arah Ki Bagus Seta.
Ki Bagus Seta melangkah setindak dan Ki Rangga Guna segera mundur satu tindak.
“Hahaha…! Engkau selalu tak mempercayaiku, Rangga!”
“Saya hanya ingin mengingatkan engkau saja, Kakak…”
“Sudahlah, engkau pulanglah dan rawat Ki Guru,” kata Ki Bagus Seta.
“Tidak. Ki Guru malah menugaskan saya agar menjagamu, Kak…”
“Sombong. Dengarkan dungu, aku ingin menolongmu juga. Selama ini aku jadi pejabat negara, namun selama ini pula kau dikejar-kejar pemerintah. Engkau harus malu itu. Dan jangan pula kau permalukan diriku. Betapa orang-orang akan bilang, yang satu jadi pejabat satunya jadi pembangkang. Apakah engkau tidak malu, adik?” tanya Ki Bagus Seta namun dengan nada mengejek.
“Seseorang menjadi terhormat tidak karena telah menjadi pejabat, demikian pun sebaliknya. Orang yang dituding pembangkang belum tentu menjadi orang terhina,” jawab Ki Bagus Seta dengan nada datar.
“Dungu !” desis Ki Bagus Seta gemas.” Jaga sifatmu, jangan kecewakan Ki Guru,” lanjutnya.
“Justru ucapan itu yang ingin saya berikan padamu, Kakak,” timpal Ki Rangga Guna.
Dan rupanya jawaban Ki Rangga Guna ini telah membuat Ki Bagus Seta merasa marah. Buktinya tubuh Ki Bagus Seta melesat menghambur ke depan. Ki Rangga Guna tidak tinggal diam. Dia pun segera melesat ke depan dengan kecepatan sulit dilihat pandangan mata. Maka dua tubuh berkelebat saling menghambur. Namun keduanya tidak saling bertemu di tengah jalan, melainkan hanya saling berpapasan saja.
Gerakannya amat cepat dan hanya membentuk kelebatan saja. Tahu-tahu keduanya sudah berpindah tempat. Tempat di mana tadi Ki Rangga Guna berdiri telah ditempati Ki Bagus Seta, demikian pun sebaliknya. Keduanya masih saling bertatap muka namun dengan tubuh limbung.
Dan sebelum keduanya berdiri tegak, Ki Bagus Seta membuat gerakan aneh. Mula-mula tubuhnya membungkuk dan doyong seperti tubuhnya hampir menyentuh tanah, persis gerakan kodok yang akan meloncat ke depan. Namun bukan loncatan yang dia lakukan, melainkan lontaran pukulan jarak jauh. Gerakan angin pukulan menimbulkan suara berciutan dan dedaunan rontok jatuh ke tanah seperti ditiup badai.
Rupanya Ki Rangga Guna sadar kalau ini merupakan sebuah serangan amat berbahaya. Buktinya, orang tua ini segera melakukan gerakan yang sama dan melakukan serangan pukulan jarak jauh pula. Maka suara angin berciutan berubah menjadi gelegar petir yang menimbulkan bunga api berpijar di angkasa. Dua buah pohon di sekitar tempat itu tumbang karena batangnya hancur berantakan.
Purbajaya terlambat menutup sepasang lubang telinganya. Dan manakala dia periksa, terasa ada lelehan darah segar dari lubang telinganya itu. Purbajaya terkena pengaruh adu pukulan yang dilakukan mereka. Matanya berkunang-kunang dan kepalanya terasa pusing.
Untuk beberapa lama Purbajaya hanya bisa memejamkan mata karena dirinya terasa menderita. Namun kemudian secara perlahan dia memandang ke sekeliling. Hampir semua dedaunan di pohon-pohon durian di tempat itu pada rontok seperti hari itu secara tiba-tiba musim kering tengah melanda daerah itu. Di tengah tanah lapang, dua orang masih terlihat berdiri dan tetap berjauhan. Hanya saja, kaki Ki Rangga Guna terlihat melesak ke tanah sampai sebatas betis, sementara Ki Bagus Seta berdiri limbung dan seluruh pakaiannya koyak-koyak seperti secara mendadak dikoyak kuku-kuku macan.
“Kau akan mati, Rangga…”
“Ya… Kalau pertarungan ini dilanjutkan, kita berdua akan segera mati,” jawab pula Ki Rangga Guna.
Dua orang itu saling pandang dalam kebisuan. Sampai pada suatu saat, Ki Bagus Seta meninggalkan tempat itu dengan langkah gontai. Sesudah Ki Bagus Seta berlalu, Purbajaya mulai berani muncul dan meloncat dengan sedikit limbung karena kepalanya pening. Dia harus menolong Ki Rangga Guna yang diduganya mengalami luka yang parah. Dan benar saja, ketika diperiksa, dari mulut, hidung, telinga bahkan dari sepasang mata Ki Rangga Guna, terlihat ada darah menetes-netes keluar.
“Ki Rangga, anda terluka parah…” kata Purbajaya khawatir sekali.
“Rupanya itu pula yang dialami Ki Bagus Seta…” desis Ki Rangga Guna dengan sedikit menahan rasa sakit.
“Mari kita tinggalkan tempat ini…” ajak Ki Rangga Guna.
“Mereka bagaimana?” Purbajaya melihat ke sekeliling di mana terlihat tubuh belasan perwira Pakuan bergeletakan.
“Mereka hanya pingsan. Sebentar kemudian pasti akan siuman kembali,” jawab Ki Rangga Guna yakin.
Ki Rangga Guna akan melangkah namun terlihat limbung. Maka Purbajaya serta-merta memondongnya.
“Bawalah aku ke Pulo Parakan Baranangsiang…” kata Ki Rangga Guna seraya menunjukkan arahnya.
Yang dimaksud dengan tempat itu adalah sebuah gugusan pulau kecil di tengah sungai Ciliwung yang terletak di sekitar jawi khita (benteng luar kota) sebelah timur. Purbajaya musti mencari perahu untuk mengangkut Ki Rangga Guna menyeberangi sungai. Dan ketika sampai di tempai itu Purbajaya melihat ada sebuah pasanggrahan indah di sana.
YANG dimaksud Pulo Parakan Baranangsiang adalah sebuah delta atau gugusan pulau kecil terletak di tengah aliran sungai Cihaliwung. Mungkin delta itu tadinya terbentuk oleh lumpur-lumpur yang dibawa dari wilayah hulu sungai dan lama kelamaan menumpuk membentuk sebuah gugusan. Karena di tengah gugusan pulau itu terdapat sebuah pasanggrahan, mudah diduga kalau tempat itu sebetulnya merupakan sebuah tempat peristirahatan.
Memang itu yang diterangkan oleh Ki Rangga Guna. Bila siang hari dan cuaca baik, maka tempat ini merupakan sebuah tempat dengan panorama amat indah. Ki Rangga Guna mengatakan kalau tempat ini merupakan sebuah peristirahatan bagi keluarga raja beserta kerabatnya.
Setiap tahun suka diadakan acara bernama munday. Munday adalah upacara memanen ikan sungai Ciliwung. Dilakukan oleh seluruh ambarahayat untuk dimakan bersama-sama dengan raja dan kerabatnya dalam sebuah pesta makan ikan. Raja dan kerabatnya makan ikan sungai Cihaliwung di pasanggrahan itulah.
Tapi malam itu di Pulo Parakan Baranangsiang suasana amat sepi. Kalau di saat siang amat cocok digunakan sebagai tempat bersantai, maka di malam yang gelap dan dingin ini amat cocok digunakan sebagai tempat sembunyi.
Ki Rangga Guna membawa Purbajaya ke tempat itu agar bebas dari kejaran lawan namun juga digunakan sebagai tempat istirahat karena tubuh orang tua itu menderita cukup parah.
“Saya akan mencoba mengobatimu, Ki Rangga…” kata Purbajaya membuka pakaian orang tua itu.
Dan Purbajaya tanpa sungkan mengeluarkan tenaga dalamnya. Telapak tangannya dia kerahkan menekan punggung Ki Rangga Guna agar aliran darah orang tua itu mengalir lancar.
“Aliran tenaga dalammu kurang kuat, siapakah gurumu, anak muda?’ tanya Ki Rangga Guna tiba-tiba.
Sudah barang tentu Purbajaya tersinggung dengan pertanyaan ini. Sepertinya Ki Rangga Guna melecehkan kemampuannya.
“Kedunguan seorang murid tidak lantas merupakan gambaran kelemahan yang menjadi gurunya, Ki Rangga…” jawab Purbajaya sedikit ketus, membuat Ki Rangga Guna tersenyum kecil.
“Aku hanya tanya, siapakah gurumu?”
“Guruku bernama Ki Jayaratu!” jawab Purbajaya tegas untuk memberikan kesan betapa gurunya sebenarnya seorang yang hebat.
“Hm… Kepandaian Ki Jayaratu sebenarnya tak berada jauh dengan guruku, anak muda. Dua orang itu dulunya musuh besar dan kerapkali melakukan pertempuran. Namun yang satu dan yang lainnya tidak pernah saling mengalahkan. Hanya saja gurumu punya kelemahan, terlalu memberikan kebebasan kepada muridnya untuk melakukan banyak pilihan. Sementara Ki Darma guruku selalu tegas dalam menentukan pilihan. Yang menjadi muridnya harus sepandai gurunya. Tapi…“
“Tapi apa, Ki Rangga?”
“Ki Darma banyak membagikan ilmunya. Tadinya dengan harapan agar ilmunya bisa berguna bagi keberadaan negri. Namun kenyataannya…“
“Murid-murid Ki Darma ada yang membelokkan ilmunya untuk kepentingan yang tidak baik,” potong Purbajaya.
“Begitulah, anak muda. Murid-murid Ki Darma semuanya berilmu tinggi. Namun semakin tinggi ilmu semakin berbahaya bila tidak dijalankan dengan baik,” Ki Rangga Guna mengeluh ketika membicarakan hal ini.
“Saya pun bukan murid yang baik, Ki Rangga,” potong Purbajaya untuk menghibur orang tua itu. ”Saya akui, Ki Jayaratu kurang keras mendidik murid. Beliau terlalu memberikan kebebasan. Saya adalah muridnya. Namun saya kurang menyukai hal-hal keras, jadinya saya malas dalam berlatih ilmu kewiraan,” lanjutnya menghela napas.
“Jalan keselamatan di dunia bukan terletak pada ilmu kewiraan, melainkan pada sikap dan perilaku keseharian, anak muda,” jawab Ki Rangga Guna yang sebentar-sebentar mengatur pernapasannya.
“Ya, namun tetap saja saya ini murid yang buruk yang tak bisa menjaga nama baik guru…” keluh Purbajaya.
“Ucapanmu menyindir kami, anak muda. Dan juga amat menguatkan kata-kataku, betapa sebetulnya ilmu kewiraan tidak menjamin bisa menjaga nama baik guru. Kau lihatlah Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati kalau sudah kenal dia, mereka jadi pejabat negri namun tujuannya bukan untuk mengabdi, melainkan hanya untuk mencari keuntungan pribadi. Belakangan aku ketahui mereka akan melakukan perlawanan kepada penguasa.”
“Apakah itu sebagai pembelaan terhadap gurunya sendiri yang dikejar-kejar dan dituding pengkhianat?” potong Purbajaya.
“Hati-hati dengan bicaramu, anak muda. Ki Guru Darma adalah pengabdi kepada negri namun bukan pengabdi bagi penguasa. Penguasa memang tidak menyenangi Ki Darma karena guruku tidak menyanjung penguasa. Namun demikian tidak lantas guruku ingin mengkhianati negara. Ki Darma benci pemberontakan dan pengkhianatan,” kata Ki Rangga Guna sungguh-sungguh. ”Dan Ki Guru Darma sungguh amat menyesali apa yang dilakukan Ki Bagus seta serta Ki Banaspati,” tutur Ki Rangga Guna lagi.
“Karena Ki Bagus Seta serta Ki Banaspati jadi pejabat negara?”
“Bukan karena itu. Ki Guru Darma tidak membenci pejabat. Namun kalau mau jadi pejabat, maka jadilah pejabat pengabdi dan bukan jadi pejabat peminta. Jabatan adalah sesuatu yang harus dipertanggung-jawabkan dan bukan sesuatu yang musti disyukuri. Tindakan Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati semakin jauh dari harapan Ki Guru Darma sebab mereka menjadikan jabatan sebagai sesuatu untuk digunakan sebagai perangkat dalam mencari peluang keuntungan. Itu Ki Guru Darma tak suka.”
Purbajaya menerimanya sambil termangu-mangu. Sedemikian menjelimetnya suasana di Pakuan ini. Ada tokoh baik, ada tokoh jahat namun semuanya saling terikat oleh kekerabatan.
Purbajaya teringat, Ki Banaspati adalah pejabat muhara (pejabat penarik pajak) bagi wilayah timur Pajajaran namun diketahui bekerja sama dengan Ki Sunda Sembawa dalam upaya melakukan pemberontakan. Sekarang, secara terpisah, Ki Bagus Seta pun sama melakukan upaya untuk menjatuhkan raja. Di pusat pemerintahan, dia punya mitra-kerja namun juga melakukan pekerjaan dan tujuan sendiri-sendiri. Dengan demikian, Pakuan telah dikepung oleh banyak kelompok yang masing-masing punya niat yang sama yaitu menjatuhkan raja dan merebut kekuasaan.
“Ini menyakitkan. Mungkin hanya padamu saja aku katakan, betapa hancur perasaan kami melihat anak-murid Ki Darma ada yang melakukan kejahatan politik. Untuk itulah aku hanya bisa berjuang melawan saudara seperguruanku secara diam-diam saja. Aku tak mau semua orang menjadi tahu kalau anak-murid Ki Darma melakukan pengkhianatan kepada negara. Sebab kalau telanjur diketahui, maka tudingan bahwa Ki Darma tokoh pemberontak akan sepertinya mendekati kebenaran. Gurunya pengkhianat, muridnya pemberontak. Seperti pas rasanya…” gumam Ki Rangga Guna dengan memelas.
“Tugasmu mulia namun amat berat. Kau musti berhadapan dengan saudara seperguruanmu sendiri, Ki Rangga…” Purbajaya ikut memelas.
“Benar, amat menyedihkan. Namun baik Ki Guru Darma mau pun aku sendiri, sudah putuskan untuk melawan siapa pun juga yang berniat menghancur-luluhkan Pajajaran,” kata Ki Rangga Guna pasti.
“Termasuk akan melawan saya, Ki Rangga?” tanya Purbajaya ragu.
“Kalau kau keluar dari pijakan yang telah ditetapkan Sang Susuhunan Jati dalam memperlakukan Pajajaran, maka kau pun akan berhadapan denganku sebagai musuh,” jawab pula Ki Rangga Guna tegas. ”Ingat, pengetahuanku hanya menyebutkan bahwa Carbon tidak akan menghancurkan Pajajaran, melainkan akan lebih memperkuat tatanan negara Pajajaran yang sudah besar ini dengan pijakan tatanan kehidupan agama baru. Itu saja dan aku setuju dengan itu.”
“Kalau begitu, tolonglah saya Ki Rangga, jauhkan saya dengan kelompok-kelompok petualang yang akan mengganggu dan mempengaruhi saya agar saya membelokkan tujuan mulia ini…” Purbajaya mendesak dengan suara sungguh-sungguh.
Dia berpikir, perjalanan hidupnya di Pakuan ini hanya bisa berjalan dengan baik bila dijaga oleh orang yang berjuang untuk kebaikan.
“Aku bisa bantu engkau agar bisa memenuhi tugas beratmu tanpa diganggu oleh kelompok-kelompok petualang. Hanya saja ada gangguan paling berat yang susah dibantu dan hanya engkau sendirian yang harus memeranginya,” ujar Ki Rangga Guna.
“Musuh apakah itu, Ki Rangga?”
“Ya, itulah musuh yang ada di dalam hatimu sendiri. Sudah aku katakan, semua orang harus berperang dengan ambisinya. Kalau ambisi sudah mengendalikan peranan dalam hidup ini, maka berbagai tujuan murni sudah tak akan berarti lagi,” kata Ki Rangga Guna sungguh-sungguh.
“Ambisi… Sekecil apa pun, Ki Rangga?” tanya Purbajaya berdebar.
“Ya, ambisi sekecil apa pun,” jawab Ki Rangga Guna tandas.
Demi mendengar ucapan Ki Rangga Guna ini, Purbajaya mengeluh. Tempo hari, orang tua itu sendiri yang mengatakan kalau yang namanya ambisi memang sulit dilawan. Sekarang, Ki Rangga Guna sendiri yang mengatakan kalau ambisi yang ada dalam hatinya musti dilawan dengan keras kalau masih menginginkan tugasnya dikerjakan secara murni. Purbajaya hanya bisa duduk termangu memikirkannya.
“Memang sungguh tepat kau disusupkan ke puri Yogascitra. Namun demikian, justru di sanalah engkau akan menerima kepedihan yang sangat sebagai manusia, anak muda. Di tempat itu, kepura-puraan akan dilawan oleh kejujuran. Kau datang ke sana sebagai penyusup pasti akan menjadi orang yang penuh pura-pura, padahal penghuni puri adalah orang-orang yang menghargai kejujuran dan kesetiaan. Mereka adalah kelompok yang tidak pernah bercuriga dan menganggap buruk kepada orang lain. Hal inilah yang akan membuatmu pedih karena rasa kemanusiaanmu akan terkoyak-koyak oleh kepura-puraan yang kau jalankan. Hatimu selamanya akan saling berbenturan sendiri,” tutur Ki Rangga Guna.
Dan setelah kenyang menerima wejangan serta petuah, akhirnya Purbajaya disuruh meninggalkan tempat itu. Ki Rangga Guna menginginkan agar Purbajaya segera kembali ke rumah Ki Jongjo agar orang tua itu tidak curiga atas kepergian Purbajaya. Ki Rangga Guna sendiri akan berusaha mengobati lukanya di Pulo Parakan Baranangsiang sebelum fajar menjelang.
Purbajaya menghormat takzim sebelum meninggalkan tempat itu. Dan sebelum dia benar-benar pergi, Ki Rangga Guna masih memberinya peringatan ulangan.
“Hati-hatilah akan ambisi hatimu anak muda…” kata Ki Rangga Guna.
Purbajaya tak kuasa menjawabnya. Sebab berbareng dengan itu suasana puri Yogascitra mendahului membayang di benaknya. Di sana ada Ki Yogascitra yang jujur dan amat mencintai negrinya. Di sana ada Banyak Angga yang baik hati ramah dan santun dan jangan lupa, di sana pun ada Nyimas Banyak Inten yang cantik yang amat membuat hati Purbajaya selalu berdebar. Purbajaya bergidik, tidakkah hal-hal ini yang akan membuat dirinya goncang serta tak bisa menahan gejolak hatinya sehingga tujuannya sebagai penyusup terganggu total?
Sambil mendayung sampan kembali menuju daratan, hati Purbajaya tak habis-habisnya mengeluh. Dia merasa bimbang dalam menghadapi kesemuanya ini. Di puri Yogascitra pasti akan menghadapi lawan yang lebih tangguh dari musuh apa pun. Dan itulah yang namanya cinta. Cinta susah dihalau dan amat membuatnya pedih.
Sampai di sini, berakhirlah kisah petualangan Purbajaya. Tentu saja, selama berada di Pakuan, pemuda ini semakin terbenam ke dalam kemelut berkepanjangan yang melibatkan kehidupan politik dan intrik pribadi dan itu semua telah dikisahkan dalam episode Senja Jatuh di Pajajaran yang telah dimuat harian ini beberapa waktu silam.
Sekadar mengingatkan kembali. Di Pakuan ini Purbajaya memang berhasil menjadi utusan Carbon yang baik namun gagal dalam melawan hasrat hatinya. Di puri Yogascitra dia tidak bisa menepis perasaan cintanya terhadap Nyimas Banyak Inten. Dan karena kemelut cintanya ini, Purbajaya akhirnya tewas mengenaskan ketika nekad berusaha akan membunuh Sang Prabu Ratu Sakti karena raja yang penuh ambisi tapi berjiwa romantis ini telah meminta Nyimas Banyak Inten sebagai selir terkasih.
Peristiwa kematian Purbajaya ini sudah barang tentu amat mengecewakan semua orang, termasuk pula Ki Rangga Guna yang selama itu tidak habis-habisnya memperingatkan pemuda itu agar sanggup melawan musuh di dalam hatinya sendiri.
Ki Sunda Sembawa berhasil memenuhi ambisi pribadinya dalam menyerang Pakuan. Namun demikian, dia gagal mencapai cita-cita merebut negri sebab dalam pertempuran mati-hidup di Bukit Badigul, Ki Sunda Sembawa tewas di tangan para perwira Pakuan yang tangguh (baca episode Senja Jatuh di Pajajaran).
Sementara itu, selang beberapa tahun kemudian, giliran Raden Yudakaralah yang membawa pasukan pemberontak untuk menyerang Pakuan. Namun sama seperti pamannya, dia pun mengalami nasib naas, tewas dalam peristiwa penyerbuan itu (baca episode Kunanti di Gerbang Pakuan)
Namun demikian, pemberontakan demi pemberontakan datang silih berganti mendera Pajajaran dan sejauh itu masih bisa ditepis oleh orang-orang yang masih memberikan kesetiaan penuh kepada negara seperti yang dilakukan kelompok Ki Yogascitra misalnya.
Hanya saja, peperangan yang kerapkali terjadi telah menyebabkan kekuatan negri yang berusia ratusan tahun itu kondisinya kian melemah jua. Pajajaran semakin terpuruk ketika pasukan dari Banten untuk ke dua kalinya melakukan penyerbuan ke Pakuan pada tahun 1567 Masehi. (baca episode Kunanti di Gerbang Pakuan).
Ketika kau dikalahkan
maka hatimu sakit penuh dendam
namun ketika kau menang
kegembiraan tidak sempurna
sebab yang kau kalahkan
hatinya pun sakit penuh dendam
maka berbahagialah
orang yang mencapai kemenangan
tanpa mengalahkan
dia tidak menyakiti
namun juga
tidak disakiti
“Mereka hanya pingsan. Sebentar kemudian pasti akan siuman kembali,” jawab Ki Rangga Guna yakin.
Ki Rangga Guna akan melangkah namun terlihat limbung. Maka Purbajaya serta-merta memondongnya.
“Bawalah aku ke Pulo Parakan Baranangsiang…” kata Ki Rangga Guna seraya menunjukkan arahnya.
Yang dimaksud dengan tempat itu adalah sebuah gugusan pulau kecil di tengah sungai Ciliwung yang terletak di sekitar jawi khita (benteng luar kota) sebelah timur. Purbajaya musti mencari perahu untuk mengangkut Ki Rangga Guna menyeberangi sungai. Dan ketika sampai di tempai itu Purbajaya melihat ada sebuah pasanggrahan indah di sana.
YANG dimaksud Pulo Parakan Baranangsiang adalah sebuah delta atau gugusan pulau kecil terletak di tengah aliran sungai Cihaliwung. Mungkin delta itu tadinya terbentuk oleh lumpur-lumpur yang dibawa dari wilayah hulu sungai dan lama kelamaan menumpuk membentuk sebuah gugusan. Karena di tengah gugusan pulau itu terdapat sebuah pasanggrahan, mudah diduga kalau tempat itu sebetulnya merupakan sebuah tempat peristirahatan.
Memang itu yang diterangkan oleh Ki Rangga Guna. Bila siang hari dan cuaca baik, maka tempat ini merupakan sebuah tempat dengan panorama amat indah. Ki Rangga Guna mengatakan kalau tempat ini merupakan sebuah peristirahatan bagi keluarga raja beserta kerabatnya.
Setiap tahun suka diadakan acara bernama munday. Munday adalah upacara memanen ikan sungai Ciliwung. Dilakukan oleh seluruh ambarahayat untuk dimakan bersama-sama dengan raja dan kerabatnya dalam sebuah pesta makan ikan. Raja dan kerabatnya makan ikan sungai Cihaliwung di pasanggrahan itulah.
Tapi malam itu di Pulo Parakan Baranangsiang suasana amat sepi. Kalau di saat siang amat cocok digunakan sebagai tempat bersantai, maka di malam yang gelap dan dingin ini amat cocok digunakan sebagai tempat sembunyi.
Ki Rangga Guna membawa Purbajaya ke tempat itu agar bebas dari kejaran lawan namun juga digunakan sebagai tempat istirahat karena tubuh orang tua itu menderita cukup parah.
“Saya akan mencoba mengobatimu, Ki Rangga…” kata Purbajaya membuka pakaian orang tua itu.
Dan Purbajaya tanpa sungkan mengeluarkan tenaga dalamnya. Telapak tangannya dia kerahkan menekan punggung Ki Rangga Guna agar aliran darah orang tua itu mengalir lancar.
“Aliran tenaga dalammu kurang kuat, siapakah gurumu, anak muda?’ tanya Ki Rangga Guna tiba-tiba.
Sudah barang tentu Purbajaya tersinggung dengan pertanyaan ini. Sepertinya Ki Rangga Guna melecehkan kemampuannya.
“Kedunguan seorang murid tidak lantas merupakan gambaran kelemahan yang menjadi gurunya, Ki Rangga…” jawab Purbajaya sedikit ketus, membuat Ki Rangga Guna tersenyum kecil.
“Aku hanya tanya, siapakah gurumu?”
“Guruku bernama Ki Jayaratu!” jawab Purbajaya tegas untuk memberikan kesan betapa gurunya sebenarnya seorang yang hebat.
“Hm… Kepandaian Ki Jayaratu sebenarnya tak berada jauh dengan guruku, anak muda. Dua orang itu dulunya musuh besar dan kerapkali melakukan pertempuran. Namun yang satu dan yang lainnya tidak pernah saling mengalahkan. Hanya saja gurumu punya kelemahan, terlalu memberikan kebebasan kepada muridnya untuk melakukan banyak pilihan. Sementara Ki Darma guruku selalu tegas dalam menentukan pilihan. Yang menjadi muridnya harus sepandai gurunya. Tapi…“
“Tapi apa, Ki Rangga?”
“Ki Darma banyak membagikan ilmunya. Tadinya dengan harapan agar ilmunya bisa berguna bagi keberadaan negri. Namun kenyataannya…“
“Murid-murid Ki Darma ada yang membelokkan ilmunya untuk kepentingan yang tidak baik,” potong Purbajaya.
“Begitulah, anak muda. Murid-murid Ki Darma semuanya berilmu tinggi. Namun semakin tinggi ilmu semakin berbahaya bila tidak dijalankan dengan baik,” Ki Rangga Guna mengeluh ketika membicarakan hal ini.
“Saya pun bukan murid yang baik, Ki Rangga,” potong Purbajaya untuk menghibur orang tua itu. ”Saya akui, Ki Jayaratu kurang keras mendidik murid. Beliau terlalu memberikan kebebasan. Saya adalah muridnya. Namun saya kurang menyukai hal-hal keras, jadinya saya malas dalam berlatih ilmu kewiraan,” lanjutnya menghela napas.
“Jalan keselamatan di dunia bukan terletak pada ilmu kewiraan, melainkan pada sikap dan perilaku keseharian, anak muda,” jawab Ki Rangga Guna yang sebentar-sebentar mengatur pernapasannya.
“Ya, namun tetap saja saya ini murid yang buruk yang tak bisa menjaga nama baik guru…” keluh Purbajaya.
“Ucapanmu menyindir kami, anak muda. Dan juga amat menguatkan kata-kataku, betapa sebetulnya ilmu kewiraan tidak menjamin bisa menjaga nama baik guru. Kau lihatlah Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati kalau sudah kenal dia, mereka jadi pejabat negri namun tujuannya bukan untuk mengabdi, melainkan hanya untuk mencari keuntungan pribadi. Belakangan aku ketahui mereka akan melakukan perlawanan kepada penguasa.”
“Apakah itu sebagai pembelaan terhadap gurunya sendiri yang dikejar-kejar dan dituding pengkhianat?” potong Purbajaya.
“Hati-hati dengan bicaramu, anak muda. Ki Guru Darma adalah pengabdi kepada negri namun bukan pengabdi bagi penguasa. Penguasa memang tidak menyenangi Ki Darma karena guruku tidak menyanjung penguasa. Namun demikian tidak lantas guruku ingin mengkhianati negara. Ki Darma benci pemberontakan dan pengkhianatan,” kata Ki Rangga Guna sungguh-sungguh. ”Dan Ki Guru Darma sungguh amat menyesali apa yang dilakukan Ki Bagus seta serta Ki Banaspati,” tutur Ki Rangga Guna lagi.
“Karena Ki Bagus Seta serta Ki Banaspati jadi pejabat negara?”
“Bukan karena itu. Ki Guru Darma tidak membenci pejabat. Namun kalau mau jadi pejabat, maka jadilah pejabat pengabdi dan bukan jadi pejabat peminta. Jabatan adalah sesuatu yang harus dipertanggung-jawabkan dan bukan sesuatu yang musti disyukuri. Tindakan Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati semakin jauh dari harapan Ki Guru Darma sebab mereka menjadikan jabatan sebagai sesuatu untuk digunakan sebagai perangkat dalam mencari peluang keuntungan. Itu Ki Guru Darma tak suka.”
Purbajaya menerimanya sambil termangu-mangu. Sedemikian menjelimetnya suasana di Pakuan ini. Ada tokoh baik, ada tokoh jahat namun semuanya saling terikat oleh kekerabatan.
Purbajaya teringat, Ki Banaspati adalah pejabat muhara (pejabat penarik pajak) bagi wilayah timur Pajajaran namun diketahui bekerja sama dengan Ki Sunda Sembawa dalam upaya melakukan pemberontakan. Sekarang, secara terpisah, Ki Bagus Seta pun sama melakukan upaya untuk menjatuhkan raja. Di pusat pemerintahan, dia punya mitra-kerja namun juga melakukan pekerjaan dan tujuan sendiri-sendiri. Dengan demikian, Pakuan telah dikepung oleh banyak kelompok yang masing-masing punya niat yang sama yaitu menjatuhkan raja dan merebut kekuasaan.
“Ini menyakitkan. Mungkin hanya padamu saja aku katakan, betapa hancur perasaan kami melihat anak-murid Ki Darma ada yang melakukan kejahatan politik. Untuk itulah aku hanya bisa berjuang melawan saudara seperguruanku secara diam-diam saja. Aku tak mau semua orang menjadi tahu kalau anak-murid Ki Darma melakukan pengkhianatan kepada negara. Sebab kalau telanjur diketahui, maka tudingan bahwa Ki Darma tokoh pemberontak akan sepertinya mendekati kebenaran. Gurunya pengkhianat, muridnya pemberontak. Seperti pas rasanya…” gumam Ki Rangga Guna dengan memelas.
“Tugasmu mulia namun amat berat. Kau musti berhadapan dengan saudara seperguruanmu sendiri, Ki Rangga…” Purbajaya ikut memelas.
“Benar, amat menyedihkan. Namun baik Ki Guru Darma mau pun aku sendiri, sudah putuskan untuk melawan siapa pun juga yang berniat menghancur-luluhkan Pajajaran,” kata Ki Rangga Guna pasti.
“Termasuk akan melawan saya, Ki Rangga?” tanya Purbajaya ragu.
“Kalau kau keluar dari pijakan yang telah ditetapkan Sang Susuhunan Jati dalam memperlakukan Pajajaran, maka kau pun akan berhadapan denganku sebagai musuh,” jawab pula Ki Rangga Guna tegas. ”Ingat, pengetahuanku hanya menyebutkan bahwa Carbon tidak akan menghancurkan Pajajaran, melainkan akan lebih memperkuat tatanan negara Pajajaran yang sudah besar ini dengan pijakan tatanan kehidupan agama baru. Itu saja dan aku setuju dengan itu.”
“Kalau begitu, tolonglah saya Ki Rangga, jauhkan saya dengan kelompok-kelompok petualang yang akan mengganggu dan mempengaruhi saya agar saya membelokkan tujuan mulia ini…” Purbajaya mendesak dengan suara sungguh-sungguh.
Dia berpikir, perjalanan hidupnya di Pakuan ini hanya bisa berjalan dengan baik bila dijaga oleh orang yang berjuang untuk kebaikan.
“Aku bisa bantu engkau agar bisa memenuhi tugas beratmu tanpa diganggu oleh kelompok-kelompok petualang. Hanya saja ada gangguan paling berat yang susah dibantu dan hanya engkau sendirian yang harus memeranginya,” ujar Ki Rangga Guna.
“Musuh apakah itu, Ki Rangga?”
“Ya, itulah musuh yang ada di dalam hatimu sendiri. Sudah aku katakan, semua orang harus berperang dengan ambisinya. Kalau ambisi sudah mengendalikan peranan dalam hidup ini, maka berbagai tujuan murni sudah tak akan berarti lagi,” kata Ki Rangga Guna sungguh-sungguh.
“Ambisi… Sekecil apa pun, Ki Rangga?” tanya Purbajaya berdebar.
“Ya, ambisi sekecil apa pun,” jawab Ki Rangga Guna tandas.
Demi mendengar ucapan Ki Rangga Guna ini, Purbajaya mengeluh. Tempo hari, orang tua itu sendiri yang mengatakan kalau yang namanya ambisi memang sulit dilawan. Sekarang, Ki Rangga Guna sendiri yang mengatakan kalau ambisi yang ada dalam hatinya musti dilawan dengan keras kalau masih menginginkan tugasnya dikerjakan secara murni. Purbajaya hanya bisa duduk termangu memikirkannya.
“Memang sungguh tepat kau disusupkan ke puri Yogascitra. Namun demikian, justru di sanalah engkau akan menerima kepedihan yang sangat sebagai manusia, anak muda. Di tempat itu, kepura-puraan akan dilawan oleh kejujuran. Kau datang ke sana sebagai penyusup pasti akan menjadi orang yang penuh pura-pura, padahal penghuni puri adalah orang-orang yang menghargai kejujuran dan kesetiaan. Mereka adalah kelompok yang tidak pernah bercuriga dan menganggap buruk kepada orang lain. Hal inilah yang akan membuatmu pedih karena rasa kemanusiaanmu akan terkoyak-koyak oleh kepura-puraan yang kau jalankan. Hatimu selamanya akan saling berbenturan sendiri,” tutur Ki Rangga Guna.
Dan setelah kenyang menerima wejangan serta petuah, akhirnya Purbajaya disuruh meninggalkan tempat itu. Ki Rangga Guna menginginkan agar Purbajaya segera kembali ke rumah Ki Jongjo agar orang tua itu tidak curiga atas kepergian Purbajaya. Ki Rangga Guna sendiri akan berusaha mengobati lukanya di Pulo Parakan Baranangsiang sebelum fajar menjelang.
Purbajaya menghormat takzim sebelum meninggalkan tempat itu. Dan sebelum dia benar-benar pergi, Ki Rangga Guna masih memberinya peringatan ulangan.
“Hati-hatilah akan ambisi hatimu anak muda…” kata Ki Rangga Guna.
Purbajaya tak kuasa menjawabnya. Sebab berbareng dengan itu suasana puri Yogascitra mendahului membayang di benaknya. Di sana ada Ki Yogascitra yang jujur dan amat mencintai negrinya. Di sana ada Banyak Angga yang baik hati ramah dan santun dan jangan lupa, di sana pun ada Nyimas Banyak Inten yang cantik yang amat membuat hati Purbajaya selalu berdebar. Purbajaya bergidik, tidakkah hal-hal ini yang akan membuat dirinya goncang serta tak bisa menahan gejolak hatinya sehingga tujuannya sebagai penyusup terganggu total?
Sambil mendayung sampan kembali menuju daratan, hati Purbajaya tak habis-habisnya mengeluh. Dia merasa bimbang dalam menghadapi kesemuanya ini. Di puri Yogascitra pasti akan menghadapi lawan yang lebih tangguh dari musuh apa pun. Dan itulah yang namanya cinta. Cinta susah dihalau dan amat membuatnya pedih.
Sampai di sini, berakhirlah kisah petualangan Purbajaya. Tentu saja, selama berada di Pakuan, pemuda ini semakin terbenam ke dalam kemelut berkepanjangan yang melibatkan kehidupan politik dan intrik pribadi dan itu semua telah dikisahkan dalam episode Senja Jatuh di Pajajaran yang telah dimuat harian ini beberapa waktu silam.
Sekadar mengingatkan kembali. Di Pakuan ini Purbajaya memang berhasil menjadi utusan Carbon yang baik namun gagal dalam melawan hasrat hatinya. Di puri Yogascitra dia tidak bisa menepis perasaan cintanya terhadap Nyimas Banyak Inten. Dan karena kemelut cintanya ini, Purbajaya akhirnya tewas mengenaskan ketika nekad berusaha akan membunuh Sang Prabu Ratu Sakti karena raja yang penuh ambisi tapi berjiwa romantis ini telah meminta Nyimas Banyak Inten sebagai selir terkasih.
Peristiwa kematian Purbajaya ini sudah barang tentu amat mengecewakan semua orang, termasuk pula Ki Rangga Guna yang selama itu tidak habis-habisnya memperingatkan pemuda itu agar sanggup melawan musuh di dalam hatinya sendiri.
Ki Sunda Sembawa berhasil memenuhi ambisi pribadinya dalam menyerang Pakuan. Namun demikian, dia gagal mencapai cita-cita merebut negri sebab dalam pertempuran mati-hidup di Bukit Badigul, Ki Sunda Sembawa tewas di tangan para perwira Pakuan yang tangguh (baca episode Senja Jatuh di Pajajaran).
Sementara itu, selang beberapa tahun kemudian, giliran Raden Yudakaralah yang membawa pasukan pemberontak untuk menyerang Pakuan. Namun sama seperti pamannya, dia pun mengalami nasib naas, tewas dalam peristiwa penyerbuan itu (baca episode Kunanti di Gerbang Pakuan)
Namun demikian, pemberontakan demi pemberontakan datang silih berganti mendera Pajajaran dan sejauh itu masih bisa ditepis oleh orang-orang yang masih memberikan kesetiaan penuh kepada negara seperti yang dilakukan kelompok Ki Yogascitra misalnya.
Hanya saja, peperangan yang kerapkali terjadi telah menyebabkan kekuatan negri yang berusia ratusan tahun itu kondisinya kian melemah jua. Pajajaran semakin terpuruk ketika pasukan dari Banten untuk ke dua kalinya melakukan penyerbuan ke Pakuan pada tahun 1567 Masehi. (baca episode Kunanti di Gerbang Pakuan).
Ketika kau dikalahkan
maka hatimu sakit penuh dendam
namun ketika kau menang
kegembiraan tidak sempurna
sebab yang kau kalahkan
hatinya pun sakit penuh dendam
maka berbahagialah
orang yang mencapai kemenangan
tanpa mengalahkan
dia tidak menyakiti
namun juga
tidak disakiti
TAMAT
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment