Merah rona matahari di ufuk barat semakin lama semakin menebal warnanya. Namun sebelum bulatan raksasa jatuh terbenam di balik rimbunan pohon beringin, seorang penunggang kuda sudah tiba di lawang seketeng (gerbang) dayo (ibukota) Pakuan.
Mulut kuda mendengus-dengus dan nampak uap putih mengepul dari hidungnya manakala secara serentak yang sang penunggang menarik ketat tali kekangnnya.
“Bukakan gerbang!” teriaknya ketika dilihatnya pintu gerbang kota yang terbuat dari papan jati tebal itu segera ditutup para jagabaya.
“Tidak tahukah Ki Silah, kentongan telah ditabuh dan kulit tiram sudah ditiup?” teriak pula seorang jagabaya sedikit melongokkan kepalanya dari sela-sela kedua ujung daun pintu raksasa.
“Aku tahu, tanda kota segera tertutup untuk orang luar. Tapi tak tahukah kalian siapa yang datang?” dengan sedikit kesal sang penunggang kuda balik berteriak.
Sang jagabaya mencoba meneliti penunggang kuda itu. Sudah remang-remang memang, tapi cahaya temaram dari bayangan lembayung masih sanggup menerangi wajah pendatang itu. Dia yang duduk setengah membungkuk di atas pelana kuda hitam itu sepertinya seorang prajurit biasa bila menilik kepada pakaiannya. Dadanya yang bidang tak menggunakan baju, kecuali penutup dada dari beludru hitam jenis kasar. Sepasang pergelangan tangannya bergelang logam perak. Dia menggunakan celana sontog (celana sebatas lutut) juga terbuat dari kain beludru hitam jenis kasar. Rambutnya digelung ke atas dan diikat kain warna nila. Jagabaya menaksir, prajurit berkuda itu masih muda, paling berusia duapuluh tahun. Hanya karena ada cambang bauk saja maka pemuda itu seperti usia tigapuluh tahun.
“Melihat pakaianmu Ki Silah (saudara) tentu prajuirit Pajajaran. Tapi peraturan menentukan, lawang seketeng harus ditutup di saat matahari terbenam!” kata sang jagabaya setelah meneliti siapa yang datang.
Kuda melonjak-lonjak ketika tali kekang dihentak penunggangnya. Matahari sudah semakin kelam dan ada banyak binatang kalong terbang melayang ke utara menuju Gunung Salak. Namun kepulan debu tanah nampak terlihat menebal ketika sepasang kaki depan kuda menghentak-hentak keras.
“Jangan tersinggung Ki Silah, apakah engkau lebih senang melihat prajurit Pakuan melanggar tata-tertib kerajaan?” kata sang jagabaya ketika tahu sang penunggang kuda tersinggung atas penolakannya.
“Aku tahu ikhwal peraturan itu dan seluruh penghuni Pajajaran tabu untuk melanggarnya. Tapi Ki Silah peraturan tak boleh dilaksanakan kaku. Harap bijaksanalah sedikit,” tutur penunggang kuda.
“Kebijaksanaan adalah penyelewengan dari sebuah peraturan,” bantah jagabaya.
“Membuat penyelewengan untuk sesuatu kepentingan adalah tindakan tepat, apalagi menyangkut urusan negara!” jawab prajurit penunggang kuda lagi.
Hening sejenak.
“Bagaimana?” kata jagabaya pada teman-temannya yang lain.
“Coba kau tanyakan kepentingan apa yang dia katakan ada hubungannya dengan negara itu,” terdengar seorang jagabaya lain berbicara.
“Tentang apa?”
“Penting sekali. Tetapi hanya bisa disampaikan kepada Pangeran Yogascitra,” jawab penunggang kuda.
“Dia mengenal Pangeran…” bisik seorang jagabaya di balik gerbang.
Kemudian terdengar rundingan-rundingan yang tak bisa didengar penunggang kuda. Namun rupanya rundingan itu menyangkut disetujui atau tidaknya sang penunggang kuda memasuki lawang seketeng. Tiba-tiba gerbang berderit. Pintu jati terbuka perlahan dan terkuak kecil tapi cukup dilewati satu penunggang kuda. Si penunggang kuda rupanya mafhum bahwa pada akhirnya dia diizinkan memasuki gerbang dayo (kota).
“Tapi engkau baru bisa menghadap Pangeran Yogascitra esok hari, Ki Silah…” kata seorang jagabaya berdada bidang.
“Di mana aku harus bermalam?” tanya si penunggang kuda sambil sepasang kakinya menjepit perut kuda karena binatang itu nampak selalu gelisah.
“Engkau hanya bisa tinggal di wilayah jawi khita (benteng kota luar),” kata jagabaya menerangkan.
“Engkau akan kami antar ke asrama jagabaya agar keperluan bermalammu bisa kami urus,” kata yang lain.
Si penunggang kuda termenung sejenak, namun kemudian dia bergumam, ”Biarlah aku bisa mencari penginapan sendiri,” ujarnya.
“Carilah warung-warung nasi di pasar, mereka suka menyediakan tempat menginap juga!” tutur jagabaya.
Si penunggang kuda hanya mengangguk pelan, sesudah itu membedal kuda dan berlalu.
“Kuda hitam itu seperti kurang akrab dengan penunggangnya…” gumam seorang jagabaya.
“Barangkali hanya kuda temuan di tengah jalan…” gumam temannya.
Sementara itu si penunggang kuda segera mencongklang kudanya dengan cukup pelan ketika jalanan berbala batu sudah memasuki tempat cukup ramai.
“Barangkali ini yang dinamakan pasar…” gumamnya sendirian.
Si penunggang kuda ini pernah mendengar khabar bahwa Pakuan adalah dayo (ibukota) Kerajaan Pajajaran paling ramai dan paling besar bila dibandingkan dengan dayo sebelumnya. Orang-orang Karatuan Talaga atau penduduk Karatuan Sumedanglarang kerapkali bercerita kepadanya, bahwa dayo kerajaan besar bernama Pajajaran kerapkali berpindah-pindah berdasarkan selera penguasa pada waktu itu.
Contohnya, Prabu Guru Darmasiksa yang semula berkedudukan di Saunggalah pada tahun 1187 M memindahkan ibukota ke Pakuan, sebuah kota yang sudah ada sejak dulu dan pernah juga dijadikan dayo oleh raja-raja sebelumnya. Dayo Pakuan didirikan oleh Maharaja Tarusbawa (670 M).
Sambil mencongklang kuda pelan-pelan pemuda bercambang ini meneliti kiri-kanan. Dayo Pakuan memang sebuah kota dengan segala macam kesibukan. Kendati sejak 34 tahun lalu (1527 M) kegiatan ekonomi dengan negri sebrang telah mulai beku karena Pelabuhan Kalapa (Sunda Kalapa) sudah dikuasai Demak dan Cirebon, tapi kegiatan perdagangan di dayo Pakuan masih kelihatan sibuk.
Pemuda itu mendapatkan di beberapa persimpangan jalan berbalay terlihat orang berkerumun. Mereka mengerumuni kaum pedagang. Di kerumunan lain penduduk kota tengah memperhatikan pedagang pakaian. Jenis pakaian yang dijual sebenarnya sederhana saja kualitasnya. Hampir semuanya berupa jenis pakaian untuk orang kebanyakan, terbuat dari tenunan kasar seperti gaya anyaman seumat sahurun, anyam cayut, kalangkang ayakan, hujan riris atau pasi-pasi.
Yang diperdagangkan adalah cangcut (celana) dan pangadwa (baju) untuk kaum pria, atau sinjang dan samping serta apok dan kutang-kutung untuk wanita. Di sudut jalan yang lain ada pedagang yang khusus menjajakan berbagai jenis ikat pinggang seperti angkin, beubeur, benten atau benting usus-usus. Dia sebrang jalan berbalay ada pedagang menjajakan alat pertanian atau berladang seperti parang, congkrang, etem atau arit.
Mulut kuda mendengus-dengus dan nampak uap putih mengepul dari hidungnya manakala secara serentak yang sang penunggang menarik ketat tali kekangnnya.
“Bukakan gerbang!” teriaknya ketika dilihatnya pintu gerbang kota yang terbuat dari papan jati tebal itu segera ditutup para jagabaya.
“Tidak tahukah Ki Silah, kentongan telah ditabuh dan kulit tiram sudah ditiup?” teriak pula seorang jagabaya sedikit melongokkan kepalanya dari sela-sela kedua ujung daun pintu raksasa.
“Aku tahu, tanda kota segera tertutup untuk orang luar. Tapi tak tahukah kalian siapa yang datang?” dengan sedikit kesal sang penunggang kuda balik berteriak.
Sang jagabaya mencoba meneliti penunggang kuda itu. Sudah remang-remang memang, tapi cahaya temaram dari bayangan lembayung masih sanggup menerangi wajah pendatang itu. Dia yang duduk setengah membungkuk di atas pelana kuda hitam itu sepertinya seorang prajurit biasa bila menilik kepada pakaiannya. Dadanya yang bidang tak menggunakan baju, kecuali penutup dada dari beludru hitam jenis kasar. Sepasang pergelangan tangannya bergelang logam perak. Dia menggunakan celana sontog (celana sebatas lutut) juga terbuat dari kain beludru hitam jenis kasar. Rambutnya digelung ke atas dan diikat kain warna nila. Jagabaya menaksir, prajurit berkuda itu masih muda, paling berusia duapuluh tahun. Hanya karena ada cambang bauk saja maka pemuda itu seperti usia tigapuluh tahun.
“Melihat pakaianmu Ki Silah (saudara) tentu prajuirit Pajajaran. Tapi peraturan menentukan, lawang seketeng harus ditutup di saat matahari terbenam!” kata sang jagabaya setelah meneliti siapa yang datang.
Kuda melonjak-lonjak ketika tali kekang dihentak penunggangnya. Matahari sudah semakin kelam dan ada banyak binatang kalong terbang melayang ke utara menuju Gunung Salak. Namun kepulan debu tanah nampak terlihat menebal ketika sepasang kaki depan kuda menghentak-hentak keras.
“Jangan tersinggung Ki Silah, apakah engkau lebih senang melihat prajurit Pakuan melanggar tata-tertib kerajaan?” kata sang jagabaya ketika tahu sang penunggang kuda tersinggung atas penolakannya.
“Aku tahu ikhwal peraturan itu dan seluruh penghuni Pajajaran tabu untuk melanggarnya. Tapi Ki Silah peraturan tak boleh dilaksanakan kaku. Harap bijaksanalah sedikit,” tutur penunggang kuda.
“Kebijaksanaan adalah penyelewengan dari sebuah peraturan,” bantah jagabaya.
“Membuat penyelewengan untuk sesuatu kepentingan adalah tindakan tepat, apalagi menyangkut urusan negara!” jawab prajurit penunggang kuda lagi.
Hening sejenak.
“Bagaimana?” kata jagabaya pada teman-temannya yang lain.
“Coba kau tanyakan kepentingan apa yang dia katakan ada hubungannya dengan negara itu,” terdengar seorang jagabaya lain berbicara.
“Tentang apa?”
“Penting sekali. Tetapi hanya bisa disampaikan kepada Pangeran Yogascitra,” jawab penunggang kuda.
“Dia mengenal Pangeran…” bisik seorang jagabaya di balik gerbang.
Kemudian terdengar rundingan-rundingan yang tak bisa didengar penunggang kuda. Namun rupanya rundingan itu menyangkut disetujui atau tidaknya sang penunggang kuda memasuki lawang seketeng. Tiba-tiba gerbang berderit. Pintu jati terbuka perlahan dan terkuak kecil tapi cukup dilewati satu penunggang kuda. Si penunggang kuda rupanya mafhum bahwa pada akhirnya dia diizinkan memasuki gerbang dayo (kota).
“Tapi engkau baru bisa menghadap Pangeran Yogascitra esok hari, Ki Silah…” kata seorang jagabaya berdada bidang.
“Di mana aku harus bermalam?” tanya si penunggang kuda sambil sepasang kakinya menjepit perut kuda karena binatang itu nampak selalu gelisah.
“Engkau hanya bisa tinggal di wilayah jawi khita (benteng kota luar),” kata jagabaya menerangkan.
“Engkau akan kami antar ke asrama jagabaya agar keperluan bermalammu bisa kami urus,” kata yang lain.
Si penunggang kuda termenung sejenak, namun kemudian dia bergumam, ”Biarlah aku bisa mencari penginapan sendiri,” ujarnya.
“Carilah warung-warung nasi di pasar, mereka suka menyediakan tempat menginap juga!” tutur jagabaya.
Si penunggang kuda hanya mengangguk pelan, sesudah itu membedal kuda dan berlalu.
“Kuda hitam itu seperti kurang akrab dengan penunggangnya…” gumam seorang jagabaya.
“Barangkali hanya kuda temuan di tengah jalan…” gumam temannya.
Sementara itu si penunggang kuda segera mencongklang kudanya dengan cukup pelan ketika jalanan berbala batu sudah memasuki tempat cukup ramai.
“Barangkali ini yang dinamakan pasar…” gumamnya sendirian.
Si penunggang kuda ini pernah mendengar khabar bahwa Pakuan adalah dayo (ibukota) Kerajaan Pajajaran paling ramai dan paling besar bila dibandingkan dengan dayo sebelumnya. Orang-orang Karatuan Talaga atau penduduk Karatuan Sumedanglarang kerapkali bercerita kepadanya, bahwa dayo kerajaan besar bernama Pajajaran kerapkali berpindah-pindah berdasarkan selera penguasa pada waktu itu.
Contohnya, Prabu Guru Darmasiksa yang semula berkedudukan di Saunggalah pada tahun 1187 M memindahkan ibukota ke Pakuan, sebuah kota yang sudah ada sejak dulu dan pernah juga dijadikan dayo oleh raja-raja sebelumnya. Dayo Pakuan didirikan oleh Maharaja Tarusbawa (670 M).
Sambil mencongklang kuda pelan-pelan pemuda bercambang ini meneliti kiri-kanan. Dayo Pakuan memang sebuah kota dengan segala macam kesibukan. Kendati sejak 34 tahun lalu (1527 M) kegiatan ekonomi dengan negri sebrang telah mulai beku karena Pelabuhan Kalapa (Sunda Kalapa) sudah dikuasai Demak dan Cirebon, tapi kegiatan perdagangan di dayo Pakuan masih kelihatan sibuk.
Pemuda itu mendapatkan di beberapa persimpangan jalan berbalay terlihat orang berkerumun. Mereka mengerumuni kaum pedagang. Di kerumunan lain penduduk kota tengah memperhatikan pedagang pakaian. Jenis pakaian yang dijual sebenarnya sederhana saja kualitasnya. Hampir semuanya berupa jenis pakaian untuk orang kebanyakan, terbuat dari tenunan kasar seperti gaya anyaman seumat sahurun, anyam cayut, kalangkang ayakan, hujan riris atau pasi-pasi.
Yang diperdagangkan adalah cangcut (celana) dan pangadwa (baju) untuk kaum pria, atau sinjang dan samping serta apok dan kutang-kutung untuk wanita. Di sudut jalan yang lain ada pedagang yang khusus menjajakan berbagai jenis ikat pinggang seperti angkin, beubeur, benten atau benting usus-usus. Dia sebrang jalan berbalay ada pedagang menjajakan alat pertanian atau berladang seperti parang, congkrang, etem atau arit.
Ada yang menjual alat rumah tangga seperti kendi, lodong (tempat mengambil air terbuat dari bambu), bekong (cangkir dari batok kelapa), kowi (cangkir bambu) atau tampekan (tempat sirih). Dan di sudut lain, ada pedagang menggelar alat-alat senjata seperti golok, pedang, abet, pamuk, peso teundeut sampai keris. Yang mengerumuni pedagang senjata, hampir sebagian besar terdiri dari prajurit dan ponggawa. Ada juga yang berpakaian orang kebanyakan, akan tetapi pemuda itu bisa menduga, mereka adalah ponggawa juga bila melihat tindak-tanduknya.
Sambil melambatnya jalannya kuda, pemuda itu memang banyak menemukan prajurit berkeliaran di jawi khita (benteng kota luar) ini. Menurut orang-orang Sumedanglarang, Pakuan merupakan kota terbesar kedua di Nusantara sesudah Demak. Penduduknya hampir 50.000 jiwa. Namun untuk menjaga keamanan penduduk sejumlah itu, Pakuan melengkapi diri dengan 100.000 prajurit, bahkan diperkuat oleh 1.000 perwira pengawal Raja.
Pakuan sejak zamannya Sri Baduga Maharaja perlu memiliki kekuatan militer setelah terjadi permusuhan dengan Cirebon dan Demak. Apalagi sesudah 7 pelabuhan milik Pajajaran direbut mereka. Dan Banten yang semula merupakan pelabuhan kedua terbesar sesudah Sunda Kalapa, sesudah direbut Demak, belakangan bahkan memisahkan diri dari Demak tapi juga sama memusuhi Pakuan. Malah selama bermusuhan dengan negara agama baru, Bantenlah yang paling beringas dalam melakukan serbuan ke Kerajaan Pajajaran hingga ke pusat pemerintahan.
Terbukti pada masa pemerintahan Sang Prabu Ratu Dewata (1535-1543 M), serbuan prajurit Banten menusuk hingga ke wilayah jawi khita (kota luar). Di alun-alun benteng luar terjadi pertempuran besar yang menewaskan dua perwira kerajaan paling handal yaitu Tohaan Ratu Sarendet dan Tohaan Ratu Sangiang.
Peristiwa penyerbuan pasukan Banten di zaman Sang Prabu Ratu Dewata menjadi cermin bagi raja yang menggantikannya, yaitu Sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551 M). Raja Pajajaran keempat yang selalu bertindak keras ini, beranggapan bahwa ayahandanya terlalu lemah dalam memimpin sehingga musuh tidak merasa takut melakukan penyerbuan sampai menusuk pusat pemerintahan.
Oleh sebab itu kekuatan militer harus jadi tumpuan utama dalam hal menyusun dan mempertahankan keberadaan negara. Sayang, pembangunan militer yang butuh dana besar ini tidak didukung oleh situasi ekonomi. Karena kegiatan ekonomi antar negri sudah lumpuh, maka untuk memperkuat negri, Sang Prabu Ratu Sakti menarik seba (pajak) tinggi kepada rakyat. Kebijaksanaan ini amat meresahkan rakyat sehingga banyak negara kecil yang semula di bawah naungan Pakuan melakukan pemberontakan.
Celakanya, kebijaksanaan Raja dalam menarik pajak tinggi juga dimangfaatkan oleh beberapa pejabat yang berniat merebut kekuasaan. Pembangunan kekuatan militer yang di beberapa wilayah bahkan dimanfaatkan oleh para pejabat sendiri untuk melakukan perlawanan terhadap Raja. Sebagian tentara yang dibiayai oleh Raja pada akhirnya malah digunakan untuk memberontak terhadap Raja (Baca : “Senja Jatuh di Pajajaran”).
Tahun 1551 M pucuk pemerintahan di ganti oleh Sang Lumahing Majaya atau Nilakendra Tohaan di Majaya. Raja ini diwastu (dilantik) di atas palangka (singgasana khusus untuk melantik raja) dalam usia yang masih amat muda, yaitu sekitar 18 tahun.
Bukan berarti dia sudah punya pengalaman utuh dalm memimpin negara, namun regenerasi yang terlalu cepat ini terjadi dalam keterpaksaan. Sang Lumahing Majaya adalah putra terkasih dari banyak putra Sang Prabu Ratu Sakti. Agar tak kesan pergantian kekuasaan dilakukan secara paksa dan berbau pemberontakan, maka pengganti Sang Prabu Ratu Sakti “dipilih”lah putranya sendiri.
Padahal para pengamat politik masa itu telah menduga bahwa telah terjadi “pemberontakan halus” terhadap Sang Prabu. Kebijaksanaan Sang Prabu Ratu sakti dalam mengendalikan pemerintahan kurang disenangi banyak pejabat, terutama oleh para pejabat istana jujur dalam membela kepentingan Pakuan. Ketika itu Ratu Sakti mudah terbuai oleh mulut manis dan sebaliknya mudah tersinggung bila menerima panca-parisuda (lima obat penawar = kritik membangun).
Kelemahan raja yang penuh ambisi ini juga selalu bertindak keras kepada rakyat atau kalangan yang dianggap punya kesalahan dan punya kegemaran yang romantis, yaitu amat menyukai kecantikan wanita. Puncak kegelisahan para pejabat bahkan terjadi setelah Sang Prabu melakukan pelanggaran moral yaitu mengawini wanita larangan.
Yang dimaksud wanita larangan adalah wanita yang sudah punya tunangan. Dan karena hasrat hatinya dalam memiliki tubuh molek, maka kekuasaannnya sebagai raja dia gunakan untuk meraih apa yang dia inginkan.
Kekacauan di dalam negri kian memuncak disertai beberapa pemberontakan yang dilakukan negara-negara kecil yang semula berada di bawah naungan Pakuan disertai tindakan-tindakan tak terpuji Sang Prabu, maka akhirnya telah terbentuk kesepakatan bersama sesama pejabat istana, mereka mengatakan langsung pada Raja bahwa Raja sudah terlalu lelah memimpin.
Dan di saat suasana genting seperti ini perlu tenaga segar dalam memimpin negara. Para pejabat langsung menyodorkan keinginan, bahwa Sang Lumahing Majaya putra terkasih Raja, kendati masih amat muda tapi dinilai mampu menangani dan membenahi negara sampai keberadaannya kembali mencuat ke puncak kebesaran seperti apa yang dicita-citakan Raja.
Inilah sebenarnya taktik menyingkirkan Ratu Sakti yang tidak terkesan berbau pemberontakan. Mengapa mesti disebut pemberontakan? Ini bukan menggeser atau mendepak Raja, tokh yang menggantikannya adalah putranya sendiri. Perpindahan dari Ratu Sakti kepada Sang Lumahing Majaya “tak kurang tak lebih” hanya berupa kejadian alamiah belaka, yaitu estafet tongkat kepemimpinan.
Sang Ratu Sakti setuju dengan gagasan ini. Tahun 1551 M dia turun tahta dan digantikan oleh putranya. Namun benarkah dia tak merasakan maksud sebenarnya dari peralihan kekuasaan ini? Tak ada orang yang tahu dengan pasti. Yang jelas, hanya selang beberapa bulan dari pergantian kekuasaan, Sang Prabu Ratu Sakti wafat dalam tahun itu juga karena sakit yang parah. Hanya secara bisik-bisik saja kalangan istana dan para pengamat politik menduga-duga, bahwa kematian mantan raja ini karena menderita tekanan batin.
Dia adalah seorang Raja yang memiliki ambisi besar, yaitu ingin mengembalikan kejayaan Pajajaran ke puncak kejayaan seperti yang dialami pada masa pemerintahan kakek-buyutnya, Sang Prabu Sri Baduga Maharaja (1482-1521M). namun apa daya, bukan kebesaran yang dia dapatkan, melainkan kekacauan dan perpecahan.
Kini sudah berselang sepuluh tahun dari peristiwa itu. Sang Lumahing Majaya, atau Tohaan di Majaya, atau juga dikenal sebagai Sang Prabu Nilakendra sudah berusia 28 tahun. Sepuluh tahun memimpin negara setidaknya dia sudah merasa punya “pengalaman” dan merasa tahu bagaimana caranya mengendalikan pemerintahan.
Sang Prabu Nilakendra selama menyimak kepemimpinan ayahnya hanya menemukan berbagai pertentangan di dalam negri sendiri semata. Penarikan seba (pajak) tinggi yang dilakukan ayahandanya hanya melahirkan kesengsaraan dan ketidak puasan rakyat. Itulah sebabnya, ketika pimpinan kekuasaan jatuh padanya, Sang Prabu Nilakendra mencoba mengubah gaya kepemimpinan. Dana besar yang dihasilkan melalui pajak tinggi kebanyakan hanya digunakan untuk kepentingan militer dalam upaya menahan serangan musuh. Namun kenyataannya, dana yang tinggi bukan habis untuk menangkal serangan musuh.
Selama pemerintahan sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551M) tak pernah ada penyerbuan baik dari Banten mau pun dari Cirebon. Hal ini terjadi karena baik Cirebon mau pun Banten sedang membantu Demak dalam melakukan penyerbuan ke Pasuruan. Kekuatan militer Pajajaran yang dihasilkan melalui dana besar sebetulnya hanya dihabiskan untuk berperang dengan sesama orang Pajajaran sendiri.
Seperti yang diutarakan terdahulu, karena kebijaksanaan penarikan pajak tinggi, banyak negara kecil di bawah Pajajaran mulai memalingkan muka. Mereka mencoba melakukan pemberontakan dan memisahkan diri. Yang wilayahnya lebih dekat kepada Cirebon atau Banten, lebih memilih memihak mereka dan berganti agama. Negara-negara kecil di wilayah timur Sungai Citarum seperti Sumedanglarang, Karatuan Talaga, Timbanganten atau Gilingwesi, semua telah berpindah agama dan mengabdi kepada Cirebon.
Di wilayah barat sepanjang sisi-sisi Sungai Cihaliwung (Ciliwung), negara-negara kecil seperti Muaraberes atau Tanjungbarat sudah menjadi wilayah transisi. Rakyatnya sudah banyak beralih agama dan secara diam-diam sebagian pejabatnya sudah berfihak kepada Banten.
Bercermin kepada kegagalan ayahandanya, Sang Prabu Nilakendra tidak memilih kekerasan dalam mengendalikan pemerintahannya. Kendati pajak tetap ditarik tapi tak seketat seperti yang dilakukan ayahandanya. Sang Prabu mencoba melawan musuh dan penentangnya dengan kelembutan.
Bila kakek buyutnya, Sang Prabu Surawisesa gemar berperang (selama 14 tahun memerintah negara, yaitu 1521-1535M terjadi 15 kali pertempuran), adalah Sang Prabu Nilakendra lebih memilih menjauhi perang. Menurutnya, sebenarnya musuh bisa dilawan dengan tidak melakukan perlawanan.
“Pada umumnya orang hanya akan menyakiti bila disakiti. Jadi kalau kita tak menyakiti, maka orang pun tak akan menyakiti,” ujar beliau.
Karena dasar pemikiran inilah, Sang Prabu Nilakendra tidak merasa takut terhadap musuh. Sebab pada hematnya, selama tak diganggu maka mereka pun tak akan mengganggu.
Namun ini adalah jalan pemikiran Raja dan dak mewakili seluruh pemikiran pejabat lainnya. Padahal para pejabat di bawahnya cenderung tak berpikir begitu. Politik tak mempunyai kewajiban mematuhi etika filosofis. Musuh tak bisa dicegah hanya karena kita memilih diam. Bahkan tindakan diam yang dilakukan hanya akan mengundang sangka bahwa Pakuan semakin lemah.
Nasib buruk Kerajaan Sunda yang sudah berdiri hampir 900 tahun lamanya (sejak tahun 669M) seperti akan terus berlanjut. Pertikaian demi pertikaian, baik antara Pakuan dengan kekuatan negara agama baru, mau pun dengan sesama orang Pajajaran sendiri seperti tak habis-habisnya. Kini, dalam usia 10 tahun masa kepemimpinan Sang Prabu Nilakendra, kembang-kembang pertikaian seperti akan kembali mencuat kendati belum kentara benar.
Lihatlah, pemuda misterius berkuda hitam yang memasuki dayo Pakuan ini. Apa yang akan dia kerjakan di pusat Kerajaan Pajajaran ini?
***
Orang pintar mengaku pintar
itu biasa
orang bodoh mengaku pintar
itu petaka
tapi yang paling hebat
orang bodoh mengaku bodoh
sebab itulah yang namanya pintar
Lantunan prepantun (juru pantun) demikian merdu kendati isi syairnya menyengat. Entahlah, apakah para penyimak yang tengah mengelilingi prepantun tua dan buta ini mengerti akan maknanya? Yang jelas orang-orang yang duduk-duduk di bale-bale kedai nasi paling besar di tepi jalan berbalay jawi khita ini menyimak dengan hati suka cita. Hampir semua penyimak kepalanya manggut-manggut karena mengikuti irama dawai kecapi yang dipetik prepantun buta itu.
“Seringkah pertunjukan pantun di sini, Aki?” tanya seorang pemuda berkulit putih halus bermuka sedikit bundar dan bermata binar yang ikut menyimak pertunjukan pantun ini.
Si orangtua bercelana kampret hitam dengan baju jenis sampir yang ditanya menoleh heran kepada si pemuda.
“Apakah Ki Sanak baru datang ke dayo ini?” tanyanya heran.
Si pemuda agak ragu untuk menjawab. Namun sesudah itu dia mengangguk pelan.
“Ki Sanak datang dari mana?”
Diam sejenak. “Saya dari Muaraberes…”
“Muaraberes dekat saja dari dayo. Apakah engkau jarang ke dayo Pakuan ini?” tanya orang tua itu kembali menatap heran.
Pemuda bermata binar yang menggunakan baju kampret warna nila dan bercelana sontog dengan warna yang sama itu mencoba menghindar dari tatapan orang tua itu.
“Oh… ya aku tahu. Kendati dari sini ke Muaraberes tidak begitu jauh, dan perjalanan tak begitu sulit, tapi orang tak sebebas dulu dalam melakukan perjalanan ke sini, anak muda…” tutur orang tua itu lagi mengeluh. ”Tapi engkau beruntung anak muda. Kau masih bisa melakukan perjalanan ke sini. Bagaimana engkau bisa?” lanjutnya menatap penuh curiga.
“Ah… hanya sekadar keberuntugan saja, Aki!” gumam pemuda berikat kepala kain batik jenis pupunjengan ini.
“Apa pula tujuanmu datang ke sini?” si orang tua seperti terus menguntitnya.
“Pakuan adalah dayo paling ramai. Bagi orang muda seperti saya, mencari kehidupan lebih baik adalah dambaan utama. Di sini banyak hal-hal menyenangkan. Seniman terbaik ada di sini. Cobalah Aki simak prepantun tua ini. Di Muaraberes tak ada prepantun sebaik ini…” tutur pemuda itu berbasa-basi.
“Hm… hanya prepantun tua yang membosankan. Kerjanya begitu-begitu saja. Kalau tak menyindir, ya memuji!” potong lelaki tua itu.
Si pemuda kini menyungging senyum.
“Kau juga mengetawakan prepantun di sini, anak muda?”
“Saya malah tersenyum karena cemoohanmu, Aki. Menyindir tidak boleh, memujipun kau cerca. Habis, musti bagaimana orang menyimak kehidupan ini?” tanya pemuda berwajah bulat itu.
“Sekarang Pajajaran tengah mengalami masa-masa suram. Di zaman Sang Prabu Ratu Sakti salah dan benar hampir tak ada daya pemisah. Asal mau mengobral puji, kebenaran akan muncul, sebaliknya kita akan menjadi orang bersalah bila berani mengirim sindir. Sekarang zamannya Sang Prabu Nilakendra, tak ada kekerasan. Sang Prabu sungguh pendiam. Tapi yang namanya terlalu, apa pun jenisnya itu tidak baik. Sang Susuhunan muda ini terlalu pendiam. Kerjanya bersunyi-sunyi di dalam kuil.
Terlalu pendiam artinya tak ada ambisi. Dan orang tak punya ambisi pun jelek namanya. Lihatlah, karena Sang Prabu terlalu membiarkan sesuatu, giliran rakyat yang bermain dengan ambisi. Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan (petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Yang tak sadar akan keadaan, semakin tenggelam dalam keserakahan. Namun sebaliknya yang merasa prihatin akan situasi, paling banter hanya akan kuat menyodorkan sindiran. Cobalah, sejauh mana sindiran bisa menukik ke dalam kalbu selama kita bermabuk-mabuk akan ambisi dan keserakahan?”
Si pemuda hanya tersenyum tipis namun tak bisa diduga apa maksudnya.
Sementara itu, prepantun semakin menyeruakkan lantunannya. Persis seperti apa kata orang tua tadi, kini orang kerjanya hanya menyindir dan memuji tanpa berusaha mengubah keadaan dengan tindakan nyata. Sang prepantun tua, kalau tadi menggebu dengan sengatan, kini berkidung dengan puja dan puji.
Ki Darma Tunggara
bagaikan setetes air
di kegersangan
walau bisa jadi penyegar
tak mampu menepis haus
Oh, hai Darma Tunggara
engkau air setetes
yang hilang terserap bumi
Kini ada ksatria Ginggi
mencoba menguak hati
hidup mati tak peduli
asalkan yang hakiki bisa dicari
namun sayang tak pernah abadi
Ginggi pergi sebelum berseri
ke mana Ginggi ke mana
padahal negri tengah menanti
“Saya kerapkali mendengar nama Ksatria Ginggi banyak disebut kaum prepantun, tapi saya tak tahu apa maknanya, Aki…” gumam si pemuda sambil mengucak-ngucak ujung hidungnya yang sedikit mancung.
Orang itu menoleh sambil mengernyitkan dahinya. Barangkali dia merasa terganggu sebab sudah sejak tadi pemuda itu hanya bertanya dan bertanya saja kerjanya.
“Berapa usiamu kini, anak muda?”
“Mungkin delapan belas…” jawab si pemuda sesudah mengingat-ingat sejenak.
“Pantas saja engkau tidak tahu, sebab nama Ksatria Ginggi mencuat pada sepuluh tahun silam. Barangkali usiamu ketika itu baru delapan tahun, umur-umur di saat orang belum mengerti keadaan,” kata orang tua itu.
“Saya ingin sekali tahu. Kalau Aki tak keberatan, tolong gambarkan secara singkat keberadaan orang itu,” kata si pemuda seperti penuh harap.
Maka di sela-sela denting dawai kecapi, yang dipetik prepantun, orang tua itu terpaksa sedikit bercerita. Menurut dia, seni bercerita disebut pantun sebetulnya bisa juga disebut berita. Baik itu berita perkembangan negara, mau pun berita mengenai perjalanan hidup atau pengelelanaan seorang ksatria.
Sudah puluhan tahun orang-orang Pajajaran mengenal kisah Guru Gantangan atau juga lebih dikenal sebagai Mundinglaya di Kusumah. Cerita Mundilaya di Kusumah yang demikian terkenal sebetulnya diambil dari kisah nyata perjalanan hidup dan kisah heroik dari Sang Prabu Surawisesa ketika beliau masih muda. Begitu halnya dengan ceritra-ceritra lain seperti kisah Darmajati, Jayasena, Adiparwa, Sedamana, Kisah Anggalarang dan Banyakcitra, atau Sanghyang Lutung Kasarung. Semua adalah berupa kisah kepahlawanan orang-orang Pajajaran.
“Ceritra-ceritra itu abadi di hati orang Pajajaran, kendati tokoh-tokoh pujaan itu sudah tak ada di dunia lagi,” kata orang tua itu.
“Maksudmu, Ksatria Ginggi pun kini telah mati, Aki?” tanya si pemuda.
Orang tua itu menatap tajam, seperti diingatkan bahwa ucapannya mungkin tak seluruhnya benar.
Sambil melambatnya jalannya kuda, pemuda itu memang banyak menemukan prajurit berkeliaran di jawi khita (benteng kota luar) ini. Menurut orang-orang Sumedanglarang, Pakuan merupakan kota terbesar kedua di Nusantara sesudah Demak. Penduduknya hampir 50.000 jiwa. Namun untuk menjaga keamanan penduduk sejumlah itu, Pakuan melengkapi diri dengan 100.000 prajurit, bahkan diperkuat oleh 1.000 perwira pengawal Raja.
Pakuan sejak zamannya Sri Baduga Maharaja perlu memiliki kekuatan militer setelah terjadi permusuhan dengan Cirebon dan Demak. Apalagi sesudah 7 pelabuhan milik Pajajaran direbut mereka. Dan Banten yang semula merupakan pelabuhan kedua terbesar sesudah Sunda Kalapa, sesudah direbut Demak, belakangan bahkan memisahkan diri dari Demak tapi juga sama memusuhi Pakuan. Malah selama bermusuhan dengan negara agama baru, Bantenlah yang paling beringas dalam melakukan serbuan ke Kerajaan Pajajaran hingga ke pusat pemerintahan.
Terbukti pada masa pemerintahan Sang Prabu Ratu Dewata (1535-1543 M), serbuan prajurit Banten menusuk hingga ke wilayah jawi khita (kota luar). Di alun-alun benteng luar terjadi pertempuran besar yang menewaskan dua perwira kerajaan paling handal yaitu Tohaan Ratu Sarendet dan Tohaan Ratu Sangiang.
Peristiwa penyerbuan pasukan Banten di zaman Sang Prabu Ratu Dewata menjadi cermin bagi raja yang menggantikannya, yaitu Sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551 M). Raja Pajajaran keempat yang selalu bertindak keras ini, beranggapan bahwa ayahandanya terlalu lemah dalam memimpin sehingga musuh tidak merasa takut melakukan penyerbuan sampai menusuk pusat pemerintahan.
Oleh sebab itu kekuatan militer harus jadi tumpuan utama dalam hal menyusun dan mempertahankan keberadaan negara. Sayang, pembangunan militer yang butuh dana besar ini tidak didukung oleh situasi ekonomi. Karena kegiatan ekonomi antar negri sudah lumpuh, maka untuk memperkuat negri, Sang Prabu Ratu Sakti menarik seba (pajak) tinggi kepada rakyat. Kebijaksanaan ini amat meresahkan rakyat sehingga banyak negara kecil yang semula di bawah naungan Pakuan melakukan pemberontakan.
Celakanya, kebijaksanaan Raja dalam menarik pajak tinggi juga dimangfaatkan oleh beberapa pejabat yang berniat merebut kekuasaan. Pembangunan kekuatan militer yang di beberapa wilayah bahkan dimanfaatkan oleh para pejabat sendiri untuk melakukan perlawanan terhadap Raja. Sebagian tentara yang dibiayai oleh Raja pada akhirnya malah digunakan untuk memberontak terhadap Raja (Baca : “Senja Jatuh di Pajajaran”).
Tahun 1551 M pucuk pemerintahan di ganti oleh Sang Lumahing Majaya atau Nilakendra Tohaan di Majaya. Raja ini diwastu (dilantik) di atas palangka (singgasana khusus untuk melantik raja) dalam usia yang masih amat muda, yaitu sekitar 18 tahun.
Bukan berarti dia sudah punya pengalaman utuh dalm memimpin negara, namun regenerasi yang terlalu cepat ini terjadi dalam keterpaksaan. Sang Lumahing Majaya adalah putra terkasih dari banyak putra Sang Prabu Ratu Sakti. Agar tak kesan pergantian kekuasaan dilakukan secara paksa dan berbau pemberontakan, maka pengganti Sang Prabu Ratu Sakti “dipilih”lah putranya sendiri.
Padahal para pengamat politik masa itu telah menduga bahwa telah terjadi “pemberontakan halus” terhadap Sang Prabu. Kebijaksanaan Sang Prabu Ratu sakti dalam mengendalikan pemerintahan kurang disenangi banyak pejabat, terutama oleh para pejabat istana jujur dalam membela kepentingan Pakuan. Ketika itu Ratu Sakti mudah terbuai oleh mulut manis dan sebaliknya mudah tersinggung bila menerima panca-parisuda (lima obat penawar = kritik membangun).
Kelemahan raja yang penuh ambisi ini juga selalu bertindak keras kepada rakyat atau kalangan yang dianggap punya kesalahan dan punya kegemaran yang romantis, yaitu amat menyukai kecantikan wanita. Puncak kegelisahan para pejabat bahkan terjadi setelah Sang Prabu melakukan pelanggaran moral yaitu mengawini wanita larangan.
Yang dimaksud wanita larangan adalah wanita yang sudah punya tunangan. Dan karena hasrat hatinya dalam memiliki tubuh molek, maka kekuasaannnya sebagai raja dia gunakan untuk meraih apa yang dia inginkan.
Kekacauan di dalam negri kian memuncak disertai beberapa pemberontakan yang dilakukan negara-negara kecil yang semula berada di bawah naungan Pakuan disertai tindakan-tindakan tak terpuji Sang Prabu, maka akhirnya telah terbentuk kesepakatan bersama sesama pejabat istana, mereka mengatakan langsung pada Raja bahwa Raja sudah terlalu lelah memimpin.
Dan di saat suasana genting seperti ini perlu tenaga segar dalam memimpin negara. Para pejabat langsung menyodorkan keinginan, bahwa Sang Lumahing Majaya putra terkasih Raja, kendati masih amat muda tapi dinilai mampu menangani dan membenahi negara sampai keberadaannya kembali mencuat ke puncak kebesaran seperti apa yang dicita-citakan Raja.
Inilah sebenarnya taktik menyingkirkan Ratu Sakti yang tidak terkesan berbau pemberontakan. Mengapa mesti disebut pemberontakan? Ini bukan menggeser atau mendepak Raja, tokh yang menggantikannya adalah putranya sendiri. Perpindahan dari Ratu Sakti kepada Sang Lumahing Majaya “tak kurang tak lebih” hanya berupa kejadian alamiah belaka, yaitu estafet tongkat kepemimpinan.
Sang Ratu Sakti setuju dengan gagasan ini. Tahun 1551 M dia turun tahta dan digantikan oleh putranya. Namun benarkah dia tak merasakan maksud sebenarnya dari peralihan kekuasaan ini? Tak ada orang yang tahu dengan pasti. Yang jelas, hanya selang beberapa bulan dari pergantian kekuasaan, Sang Prabu Ratu Sakti wafat dalam tahun itu juga karena sakit yang parah. Hanya secara bisik-bisik saja kalangan istana dan para pengamat politik menduga-duga, bahwa kematian mantan raja ini karena menderita tekanan batin.
Dia adalah seorang Raja yang memiliki ambisi besar, yaitu ingin mengembalikan kejayaan Pajajaran ke puncak kejayaan seperti yang dialami pada masa pemerintahan kakek-buyutnya, Sang Prabu Sri Baduga Maharaja (1482-1521M). namun apa daya, bukan kebesaran yang dia dapatkan, melainkan kekacauan dan perpecahan.
Kini sudah berselang sepuluh tahun dari peristiwa itu. Sang Lumahing Majaya, atau Tohaan di Majaya, atau juga dikenal sebagai Sang Prabu Nilakendra sudah berusia 28 tahun. Sepuluh tahun memimpin negara setidaknya dia sudah merasa punya “pengalaman” dan merasa tahu bagaimana caranya mengendalikan pemerintahan.
Sang Prabu Nilakendra selama menyimak kepemimpinan ayahnya hanya menemukan berbagai pertentangan di dalam negri sendiri semata. Penarikan seba (pajak) tinggi yang dilakukan ayahandanya hanya melahirkan kesengsaraan dan ketidak puasan rakyat. Itulah sebabnya, ketika pimpinan kekuasaan jatuh padanya, Sang Prabu Nilakendra mencoba mengubah gaya kepemimpinan. Dana besar yang dihasilkan melalui pajak tinggi kebanyakan hanya digunakan untuk kepentingan militer dalam upaya menahan serangan musuh. Namun kenyataannya, dana yang tinggi bukan habis untuk menangkal serangan musuh.
Selama pemerintahan sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551M) tak pernah ada penyerbuan baik dari Banten mau pun dari Cirebon. Hal ini terjadi karena baik Cirebon mau pun Banten sedang membantu Demak dalam melakukan penyerbuan ke Pasuruan. Kekuatan militer Pajajaran yang dihasilkan melalui dana besar sebetulnya hanya dihabiskan untuk berperang dengan sesama orang Pajajaran sendiri.
Seperti yang diutarakan terdahulu, karena kebijaksanaan penarikan pajak tinggi, banyak negara kecil di bawah Pajajaran mulai memalingkan muka. Mereka mencoba melakukan pemberontakan dan memisahkan diri. Yang wilayahnya lebih dekat kepada Cirebon atau Banten, lebih memilih memihak mereka dan berganti agama. Negara-negara kecil di wilayah timur Sungai Citarum seperti Sumedanglarang, Karatuan Talaga, Timbanganten atau Gilingwesi, semua telah berpindah agama dan mengabdi kepada Cirebon.
Di wilayah barat sepanjang sisi-sisi Sungai Cihaliwung (Ciliwung), negara-negara kecil seperti Muaraberes atau Tanjungbarat sudah menjadi wilayah transisi. Rakyatnya sudah banyak beralih agama dan secara diam-diam sebagian pejabatnya sudah berfihak kepada Banten.
Bercermin kepada kegagalan ayahandanya, Sang Prabu Nilakendra tidak memilih kekerasan dalam mengendalikan pemerintahannya. Kendati pajak tetap ditarik tapi tak seketat seperti yang dilakukan ayahandanya. Sang Prabu mencoba melawan musuh dan penentangnya dengan kelembutan.
Bila kakek buyutnya, Sang Prabu Surawisesa gemar berperang (selama 14 tahun memerintah negara, yaitu 1521-1535M terjadi 15 kali pertempuran), adalah Sang Prabu Nilakendra lebih memilih menjauhi perang. Menurutnya, sebenarnya musuh bisa dilawan dengan tidak melakukan perlawanan.
“Pada umumnya orang hanya akan menyakiti bila disakiti. Jadi kalau kita tak menyakiti, maka orang pun tak akan menyakiti,” ujar beliau.
Karena dasar pemikiran inilah, Sang Prabu Nilakendra tidak merasa takut terhadap musuh. Sebab pada hematnya, selama tak diganggu maka mereka pun tak akan mengganggu.
Namun ini adalah jalan pemikiran Raja dan dak mewakili seluruh pemikiran pejabat lainnya. Padahal para pejabat di bawahnya cenderung tak berpikir begitu. Politik tak mempunyai kewajiban mematuhi etika filosofis. Musuh tak bisa dicegah hanya karena kita memilih diam. Bahkan tindakan diam yang dilakukan hanya akan mengundang sangka bahwa Pakuan semakin lemah.
Nasib buruk Kerajaan Sunda yang sudah berdiri hampir 900 tahun lamanya (sejak tahun 669M) seperti akan terus berlanjut. Pertikaian demi pertikaian, baik antara Pakuan dengan kekuatan negara agama baru, mau pun dengan sesama orang Pajajaran sendiri seperti tak habis-habisnya. Kini, dalam usia 10 tahun masa kepemimpinan Sang Prabu Nilakendra, kembang-kembang pertikaian seperti akan kembali mencuat kendati belum kentara benar.
Lihatlah, pemuda misterius berkuda hitam yang memasuki dayo Pakuan ini. Apa yang akan dia kerjakan di pusat Kerajaan Pajajaran ini?
***
Orang pintar mengaku pintar
itu biasa
orang bodoh mengaku pintar
itu petaka
tapi yang paling hebat
orang bodoh mengaku bodoh
sebab itulah yang namanya pintar
Lantunan prepantun (juru pantun) demikian merdu kendati isi syairnya menyengat. Entahlah, apakah para penyimak yang tengah mengelilingi prepantun tua dan buta ini mengerti akan maknanya? Yang jelas orang-orang yang duduk-duduk di bale-bale kedai nasi paling besar di tepi jalan berbalay jawi khita ini menyimak dengan hati suka cita. Hampir semua penyimak kepalanya manggut-manggut karena mengikuti irama dawai kecapi yang dipetik prepantun buta itu.
“Seringkah pertunjukan pantun di sini, Aki?” tanya seorang pemuda berkulit putih halus bermuka sedikit bundar dan bermata binar yang ikut menyimak pertunjukan pantun ini.
Si orangtua bercelana kampret hitam dengan baju jenis sampir yang ditanya menoleh heran kepada si pemuda.
“Apakah Ki Sanak baru datang ke dayo ini?” tanyanya heran.
Si pemuda agak ragu untuk menjawab. Namun sesudah itu dia mengangguk pelan.
“Ki Sanak datang dari mana?”
Diam sejenak. “Saya dari Muaraberes…”
“Muaraberes dekat saja dari dayo. Apakah engkau jarang ke dayo Pakuan ini?” tanya orang tua itu kembali menatap heran.
Pemuda bermata binar yang menggunakan baju kampret warna nila dan bercelana sontog dengan warna yang sama itu mencoba menghindar dari tatapan orang tua itu.
“Oh… ya aku tahu. Kendati dari sini ke Muaraberes tidak begitu jauh, dan perjalanan tak begitu sulit, tapi orang tak sebebas dulu dalam melakukan perjalanan ke sini, anak muda…” tutur orang tua itu lagi mengeluh. ”Tapi engkau beruntung anak muda. Kau masih bisa melakukan perjalanan ke sini. Bagaimana engkau bisa?” lanjutnya menatap penuh curiga.
“Ah… hanya sekadar keberuntugan saja, Aki!” gumam pemuda berikat kepala kain batik jenis pupunjengan ini.
“Apa pula tujuanmu datang ke sini?” si orang tua seperti terus menguntitnya.
“Pakuan adalah dayo paling ramai. Bagi orang muda seperti saya, mencari kehidupan lebih baik adalah dambaan utama. Di sini banyak hal-hal menyenangkan. Seniman terbaik ada di sini. Cobalah Aki simak prepantun tua ini. Di Muaraberes tak ada prepantun sebaik ini…” tutur pemuda itu berbasa-basi.
“Hm… hanya prepantun tua yang membosankan. Kerjanya begitu-begitu saja. Kalau tak menyindir, ya memuji!” potong lelaki tua itu.
Si pemuda kini menyungging senyum.
“Kau juga mengetawakan prepantun di sini, anak muda?”
“Saya malah tersenyum karena cemoohanmu, Aki. Menyindir tidak boleh, memujipun kau cerca. Habis, musti bagaimana orang menyimak kehidupan ini?” tanya pemuda berwajah bulat itu.
“Sekarang Pajajaran tengah mengalami masa-masa suram. Di zaman Sang Prabu Ratu Sakti salah dan benar hampir tak ada daya pemisah. Asal mau mengobral puji, kebenaran akan muncul, sebaliknya kita akan menjadi orang bersalah bila berani mengirim sindir. Sekarang zamannya Sang Prabu Nilakendra, tak ada kekerasan. Sang Prabu sungguh pendiam. Tapi yang namanya terlalu, apa pun jenisnya itu tidak baik. Sang Susuhunan muda ini terlalu pendiam. Kerjanya bersunyi-sunyi di dalam kuil.
Terlalu pendiam artinya tak ada ambisi. Dan orang tak punya ambisi pun jelek namanya. Lihatlah, karena Sang Prabu terlalu membiarkan sesuatu, giliran rakyat yang bermain dengan ambisi. Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan (petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Yang tak sadar akan keadaan, semakin tenggelam dalam keserakahan. Namun sebaliknya yang merasa prihatin akan situasi, paling banter hanya akan kuat menyodorkan sindiran. Cobalah, sejauh mana sindiran bisa menukik ke dalam kalbu selama kita bermabuk-mabuk akan ambisi dan keserakahan?”
Si pemuda hanya tersenyum tipis namun tak bisa diduga apa maksudnya.
Sementara itu, prepantun semakin menyeruakkan lantunannya. Persis seperti apa kata orang tua tadi, kini orang kerjanya hanya menyindir dan memuji tanpa berusaha mengubah keadaan dengan tindakan nyata. Sang prepantun tua, kalau tadi menggebu dengan sengatan, kini berkidung dengan puja dan puji.
Ki Darma Tunggara
bagaikan setetes air
di kegersangan
walau bisa jadi penyegar
tak mampu menepis haus
Oh, hai Darma Tunggara
engkau air setetes
yang hilang terserap bumi
Kini ada ksatria Ginggi
mencoba menguak hati
hidup mati tak peduli
asalkan yang hakiki bisa dicari
namun sayang tak pernah abadi
Ginggi pergi sebelum berseri
ke mana Ginggi ke mana
padahal negri tengah menanti
“Saya kerapkali mendengar nama Ksatria Ginggi banyak disebut kaum prepantun, tapi saya tak tahu apa maknanya, Aki…” gumam si pemuda sambil mengucak-ngucak ujung hidungnya yang sedikit mancung.
Orang itu menoleh sambil mengernyitkan dahinya. Barangkali dia merasa terganggu sebab sudah sejak tadi pemuda itu hanya bertanya dan bertanya saja kerjanya.
“Berapa usiamu kini, anak muda?”
“Mungkin delapan belas…” jawab si pemuda sesudah mengingat-ingat sejenak.
“Pantas saja engkau tidak tahu, sebab nama Ksatria Ginggi mencuat pada sepuluh tahun silam. Barangkali usiamu ketika itu baru delapan tahun, umur-umur di saat orang belum mengerti keadaan,” kata orang tua itu.
“Saya ingin sekali tahu. Kalau Aki tak keberatan, tolong gambarkan secara singkat keberadaan orang itu,” kata si pemuda seperti penuh harap.
Maka di sela-sela denting dawai kecapi, yang dipetik prepantun, orang tua itu terpaksa sedikit bercerita. Menurut dia, seni bercerita disebut pantun sebetulnya bisa juga disebut berita. Baik itu berita perkembangan negara, mau pun berita mengenai perjalanan hidup atau pengelelanaan seorang ksatria.
Sudah puluhan tahun orang-orang Pajajaran mengenal kisah Guru Gantangan atau juga lebih dikenal sebagai Mundinglaya di Kusumah. Cerita Mundilaya di Kusumah yang demikian terkenal sebetulnya diambil dari kisah nyata perjalanan hidup dan kisah heroik dari Sang Prabu Surawisesa ketika beliau masih muda. Begitu halnya dengan ceritra-ceritra lain seperti kisah Darmajati, Jayasena, Adiparwa, Sedamana, Kisah Anggalarang dan Banyakcitra, atau Sanghyang Lutung Kasarung. Semua adalah berupa kisah kepahlawanan orang-orang Pajajaran.
“Ceritra-ceritra itu abadi di hati orang Pajajaran, kendati tokoh-tokoh pujaan itu sudah tak ada di dunia lagi,” kata orang tua itu.
“Maksudmu, Ksatria Ginggi pun kini telah mati, Aki?” tanya si pemuda.
Orang tua itu menatap tajam, seperti diingatkan bahwa ucapannya mungkin tak seluruhnya benar.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment