Ads

Saturday, January 8, 2022

Kunanti di Gerbang Pakuan 002

“Ksatria Ginggi itu seorang pemuda yang sakti mandarguna. Dialah murid terkasih Ki Darma Tunggara yang sikap perbuatannya hampir menyerupai gurunya. Ki Darma dulunya bekas anggota seribu perwira pengawal Raja. Dia tidak berambisi, membela negara dengan tanpa pamrih. Begitulah muridnya. Ksatria Ginggi pun berhal sama. Tujuan mereka mulia namun banyak dikotori oleh orang lain yang ingin memanfaatkan situasi. Ki Darma Tunggara pernah dituding pemberontak dan dikejar-kejar prajurit atas perintah Sang Prabu Ratu Sakti. Begitu pun ksatria Ginggi, pernah mengalami nasib buruk dianggap pengkhianat.”

“Sekarang bagaimana?”

“Beruntung Raja yang sekarang sadar bahwa baik Ki Darma Tunggara mau pun Ksatria Ginggi selama ini bukan saja tak pernah berkhianat, bahkan selalu berkorban untuk kepentingan negara. Kedua orang itu akhirnya dibersihkan namanya.”

“Barangkali mereka kini sudah menjadi pejabat di istana yang terkemuka, Aki…” kata si pemuda memancing.

Orang tua itu kini seperti menghela napas berat seperti ada keluhan di dalam hatinya.

“Itulah yang disesalkan semua orang. Mengapa orang sebaik mereka malah tak pernah berpeluang dengan tepat dalam upaya pembelaan terhadap negri ini…”

“Ki Darma tak pernah kembali ke istana. Malah khabar selentingan yang sampai ke telinga rakyat, Ki Darma sebetulnya sudah tewas di puncak Gunung Cakrabuana, sebab Sang Prabu Ratu Sakti, pernah memerintahkan para perwira untuk menyerbu ke sana…”

“Dan Ksatria Ginggi…?”

“Seusai berhasil ikut menggagalkan pemberontakan yang dipimpin Ki Banaspati, Ksatria Ginggi pergi meninggalkan Pakuan secara diam-diam. Sampai kini sudah sepuluh tahun berselang. Ke mana ksatria muda itu pergi, tak ada khabar beritanya. Padahal, banyak orang merindukan anak muda itu. Di saat-saat seperti ini, mungkin negara memerlukan dia lagi…”

“Mengapa?”

“Engkau masih terlalu muda jadi belum faham situasi negara. Harap waspada, sebetulnya negara dalam keadaan genting. Kekuatan di dalam negri semakin melemah, sedangkan musuh dari barat semakin kuat. Hanya ketika saat pemerintahan Sang Prabu Surawisesa yang gagah maka para prepantun sanggup mengabarkan Pakuan aman dari serbuan. Sedangkan di hari-hari ini, Pakuan sudah tak punya apa-apa lagi. Kau lihatlah anak muda, Sang Prabu kurang berambisi untuk melawan musuh dan para prajurit kerjanya santai dan mabuk-mabukan. Ini bertanda bahaya sebab musuh akan segera datang…” ujar orang tua itu, disambut anggukan pelan pemuda bermata binar itu.

Malam semakin larut dan juru pantun pun semakin menggebu dengan lantunan dan celoteh merdunya. Semua orang semakin tenggelam dalan simakkan, kendati di beberapa sudut, ada yang terkantuk-kantuk atau kerjanya hanya bermabuk-mabuk. Sampai pada suatu saat si pemuda meninggalkan kerumunan itu dan berlalu memburu suatu tempat kegelapan. Rupanya pemuda itu menemui seseorang yang sengaja menunggunya di kegelapan kelamnya pohon soka.

“Paman Manggala! Saya cari sejak tadi senja, ke mana saja?” kata pemuda itu menegur tapi dengan nada penuh syukur karena bisa bertemu dengan lelaki setengah baya berjenggot tebal dengan ikat kepala gaya barangbang semplak. Lelaki yang dipanggil Paman Manggala itu nampak berpakaian hitam-hitam, baik baju kampret mau pun celana sontognya. Nampak sekali dia tak ingin diketahui umum.

“Pragola, seharusnya engkau tidak terlalu banyak berhubungan dengan orang-orang di sini,” terdengar Paman Manggala menegur.

“Ah…hanya berbincang-bincang dengan rakyat biasa saja, Paman!” jawab pemuda bernama Pragola ini.

“Tapi wajahmu itu… mengapa kau tanggalkan cambang baukmu?”

Pragola tersenyum kecil di keremangan malam sambil mengusap-ngusap dagunya yang halus kelimis.

“Saya tak melanggar perintah, sebab bukankah wajah bercambangku hanya ketika saya berpura-pura sebagai prajurit Pajajaran saja? Sekarang sudah saya tanggalkan pakaian prajurit dan berpakaian kebanyakan. Kalau tak ingin dikenal sebagai prajurit gadungan, ya akalnya harus mengembalikan wajah seperti semula, Paman…” kata Pragola melihat kiri-kanan, kalau-kalau ucapannya didengar orang lain.

Rupanya alasanmu ini masuk akal juga. Buktinya Paman Manggala menganggukkan kepala.

“Ya… Tapi yakinkah engkau dalam mengubah wajah tak ada orang yang tahu?” tanya Paman Manggala masih dengan nada khawatir.

Pragola menggelengkan kepalanya.

“Lantas, kuda yang engkau pakai, di mana kini?”

“Saya menyembunyikan di suatu tempat. Tapi kalau kita jual, bagaimana, Paman?”

“Jangan…”

“Kita butuh uang untuk kebutuhan sehari-hari di sini!” kata Pragola.

“Jangan bodoh! Engkau akan tetap menjadi prajurit Sagaraherang yang utuh. Artinya, kuda dan seragam prajuritmu jangan sampai hilang!”

“Tapi sampai kapan saya akan keluyuran di sini?”

“Bodoh kau! Mari!”

Perpantun masih melantunkan tembang-tembang cantik ketika Paman Manggala dan Pragola meninggalkan tempat itu. Pemuda itu dibawanya ke kegelapan malam. Keluar dari jalan berbalay dan masuk gang sempit yang diapit dua kuta (benteng terbuat dari tanah).

Berjalan lagi beberapa lama, melewati rimbunan pohon dan sedikit alang-alang. Lalu tibalah di sebuah rumah tua. Rumah itu terbuat dari gedek bambu seluruhnya. Beratap ijuk dan berlantai tanah. Yang membuat pemuda itu penuh perhatian, karena di ruangan rumah yang diberi penerangan pelita terbuat dari minyak jarak itu sudah duduk tiga orang. Di keremangan malam, nampak wajah ketiga orang berusia setengah baya itu dingin dan kaku.

“Ini pemuda Pragola yang kita maksud, Pangeran…” kata Paman Manggala.

Mulanya Pragola belum begitu jelas, siapa dari ketiga lelaki setengah baya yang dipanggil pangeran ini. Namun pada akhirnya Pragola mengetahui juga. Yang dipanggil pangeran adalah lelaki berjanggut tebal yang duduk bersila di tengah, di atas hamparan tikar pandan. Lelaki bermata tajam ini berpakaian biasa saja, yaitu baju salontreng hitam dengan ikat pinggang terbuat dari kulit tebal. Dia menggunakan ikat kepala dari kain kasar berwarna nila. Ketika melihat Pragola masuk, lelaki yang ujung dagunya seperti terbelah dua ini menatapnya dari mulai ujung rambut hingga ujung kaki.

“Cepat haturkan sembah kepada Pangeran Yudakara…” kata Paman Manggala setengah menekan pundak pemuda itu. Karena tenaga tekanan itu begitu keras, Pragola membungkukkan badannya setengah terpaksa.



“Kau haturkan sembah lagi kepada Perwira Jaya Sasana dan Perwira Goparana…” kata Paman Manggala.

Pragola tahu yang dimaksud Paman Manggala. Dan sekarang tanpa harus ditekan pundaknya, pemuda itu menyembah rengkuh (hormat sekali) kepada Perwira Jaya Sasana. Orang ini pun sebetulnya hanya menggunakan pakaian orang kebanyakan saja, yaitu baju kampret dan celana gombor, semua serba hitam. Lelaki setengah baya tanpa kumis atau cambang ini pun sama menggunakan ikat kepala warna nila seperti yang dikenakan Pangeran Yudakara.

Namun sama seperti apa yang ada pada diri Pangeran bersorot mata tajam itu. Kalau orang teliti memperhatikan mereka, akan nampak sekali bahwa semua bukan orang kebanyakan. Jenis pakaian sederhana yang mereka gunakan tak akan sanggup menutupi kewibawaan mereka. Sorot mata mereka, gerak-gerik mereka, bagi pandangan orang yang teliti, akan nampak lain dari orang kebanyakan.

Selesai menyembah kepada Perwira Jaya Sasana, Pragola menghadap kepada Perwira Goparana dan kembali memberi hormat. Sebelum menunduk, pemuda itu sempat melirik untuk memperhatikan wajah perwira ini. Dia bermata seperti mata elang, hidungnya mancung sedikit melengkung. Kulitnya sedikit hitam dan pada sepasang tangannya yang kekar banyak bulu-bulu hitam tumbuh. Dagunya nampak kelimis dan nampak seperti habis mencukur jenggot.

Pragola menduga, mulanya orang ini pasti bukan penduduk asli. Selama dia tinggal di kacutakan (setingkat kecamatan) Caringin wilayah kekuasaan Cirebon, telah beberapa kali bertemu dengan orang-orang berkulit hitam dan bertubuh jangkung seperti ini. Menurut pengetahuannya, orang-orang jenis ini mulanya datang dari negri Parasi (Iran kini), atau dari bagian tanah Arab lainnya yang pada akhir-akhir ini banyak berkunjung ke Nusantara. Mereka selain datang ke Cirebon untuk berniaga, juga ada yang tinggal sebagai penduduk tetap, bahkan ada juga yang mengabdi ke Karatuan Cirebon. Kalau benar begitu, barangkali Perwira Goparana ini pun adalah bangsa asing yang mengabdi kepada Cirebon.

“Duduklah anak muda…” kata Pangeran Yudakara tanpa mimik yang berarti.

Pragola duduk bersebelahan dengan Paman Manggala dan berhadapan dengan ketiga orang itu.

“Aku tak tahu, sejauh mana engkau memiliki kepandaian. Tapi karena Manggala sudah memilihmu untuk ikut misi ini, maka aku pun akan percaya,” kata Pangeran Yudakara setengah bergumam.

“Semenjak Cutak (pejabat setingkat camat) Wirajaya meninggal karena sakit, anak ini sudah diurus oleh Ki Sudireja. Siapa pun sudah tahu Pangeran, Ki Sudireja adalah akhli kedigjayaan dari Karatuan Talaga. Orang tua sakti ini kendati tidak menjadi warga agama baru, akan tetapi selalu membantu Cirebon. Karatuan Talaga bisa jatuh ke Cirebon pun, yaitu pada tigapuluh satu tahun silam (1530 M), di antaranya karena bantuan Ki Sudireja,” lapor Paman Manggala dengan hormat.

“Sudireja membantu Cirebon. Tapi mengapa dia tidak masuk agama baru?” tanya Perwira Goparana ikut menyela pembicaraan.

Sebelum menjawab, Paman Manggala menatap dulu kepada Pangeran Yudakara seolah-olah minta pendapat.

“Jawablah…” jawab Pangeran Yudakara sebagai tanda memberi izin kepada Paman Manggala untuk menjawab.

Paman Manggala melirik kepada Perwira Goparana. “Ki Sudireja membantu Cirebon meruntuhkan kekuasaan Karatuan Talaga dalam mempertahankan agama lama, bukan lantaran urusan agama itu sendiri,” ujar Paman Manggala.

“Karena apa dia mau membantu Cirebon?” tanya Perwira Goparana dengan mata tajam menyelidik.

“Karena rasa sakit hatinya terhadap Pakuan. Menurut Ki Sudireja, Pakuan Pajajaran adalah negara besar yang angkuh. Mereka lebih mementingkan gemerlapnya keraton ketimbang kesejahteraan ambarahayat. Sang Prabu Surawisesa yang menjadi pucuk pimpinan ketika itu, kegemarannya hanya berperang, sehingga rakyat lelah. Ki Sudireja adalah bekas perwira Karatuan Talaga yang telah berperang untuk Pakuan, tetapi tidak merasa mendapatkan imbalan sepadan dengan jasa-jasanya. Itulah sebabnya dia memendam sakit hati. Ki Sudireja juga termasuk orang yang membenci Sang Prabu Surewisesa karena kehadiran armada Portugis di Pelabuhan Sunda Kalapa adalah hasil undangan dan kerjasama Sang Penguasa Pajajaran itu,” kata Paman Manggala panjang-lebar.

“Sikap Ki Sudireja sebetulnya sejalan dengan kerajaan pemeluk agama baru. Tapi mengapa orang tua sakti itu tidak tertarik untuk memindahkan keyakinannya ke dalam pangkuan agama baru?” tanya lagi Perwira Goparana penasaran.

Tak ada yang mencoba menjawabnya.

“Lain kali aku ingin bersua dengan Ki Sudireja. Akan aku ajak dia memasuki agama baru di Cirebon…” gumam Perwira Goparana.

“Barangkali sudah tidak mungkin lagi, Juragan…” jawab Paman Manggala menunduk.

“Mengapa?” Perwira Goparana mengerutkan dahi dan menatap tajam kepada Paman Manggala.

“Ki Sudireja sudah meninggal…”

“Meninggal karena sakit?”

“Bukan dia tewas dalam pertempuran…”

“Pertempuran? Sudah tak ada pertempuran berarti sejak peristiwa pemberontakan Kandagalante Sunda Sembawa sepuluh tahun silam itu,” gumam Perwira Goparana merenung.

“Memang tak ada pertempuran besar. Tapi penguasa Pakuan yang baru, yaitu Sang Lumahing Majaya didesak oleh para pembantunya untuk mengejar sisa-sisa pemberontak, terutama yang dianggap membahayakan. Ki Sudireja adalah salah seorang yang terlibat dalam pemberontakan itu. Pasukan pemberontak dari Kandagalante Sagaraherang dalam upaya melakukan penyerbuan ke Pakuan, meminta bantuan dari wilayah timur yang memang menginginkan Pajajaran segera jatuh. Ki Sudireja merupakan salah satu anggota pasukan yang dikirim oleh Cirebon secara tidak resmi.

Ki Sudireja ikut pertempuran di Bukit Badigul. Dan ketika pasukan Sunda Sembawa sudah kucar-kacir karena fihak Pakuan lebih kuat, walau dengan susah-payah akhirnya Ki Sudireja bisa meloloskan diri dari kepungan. Tapi begitulah, pasukan Pakuan mengejar terus. Hampir tiga tahun lamanya Pakuan melakukan pengejaran kepada tokoh-tokoh penting yang ikut penyerbuan ke Bukit Badigul. Dalam jangka waktu tersebut, hampir semua tokoh pemberontak bisa diburu, kecuali dua orang, yaitu Ki sudireja dan Ki Banaspati. Namun pada tiga tahun lalu, Ki Sudireja akhirnya bisa diketemukan oleh para perwira Pakuan di perbatasan Sumedanglarang…” kata Paman Manggala mengisahkan perjalanan hidup Ki Sudireja.

Manakala mendengar kisah paling akhir ini, tak terasa ada air mata menetes turun dari sepasang pipi Pragola. Ini adalah kisah sedih yang tak dapat dilupakan sampai kapan pun olehnya. Bayangkan, orang yang mengasuh dirinya sejak kecil, bahkan yang mendidiknya berbagai ilmu kedigjayaan manakala dia beranjak dewasa, kini sudah tiada.

Ki Sudireja memang kendati sudah berusia lanjut, akan tetapi mati dalam ketidak wajaran, yaitu dibunuh ramai-ramai oleh sebuah pasukan asing. Pragola tidak menyaksikan persis pembunuhan ini. Tapi menurut orang-orang yang menyaksikan, Ki Sudireja memang dikepung oleh belasan orang asing yang entah datang dari mana.

Kelompok penyerbu itu tidak menampakkan identitas yang khas. Mereka tidak seperti kaum prajurit sebab hanya menggunakan pakaian orang kebanyakan. Mereka juga tidak nampak seperti orang Cirebon atau pun Sumedanglarang. Namun yang jelas, kepandaian belasan pengepung itu amat tinggi. Sepandai apa pun ilmu berkelahi Ki sudireja, bila dikepung oleh orang-orang yang rata-rata berkepandaian tinggi, tak mungkin dirinya bisa menang. Jangankan mencapai kemenangan, hanya sekedar untuk meloloskan diri saja sudah tak bisa.

Inilah yang membuat penasaran Pragola. Sebagai murid yang sejak kecil dididik ilmu keperwiraan, mati dalam pertempuran adalah biasa. Tapi yang membuat hatinya tak dapat menerima, karena kekalahan gurunya diakibatkan oleh suatu kelicikan.

“Sebagai lelaki sejati engkau harus bersifat ksatria, kalau pada suatu saat engkau harus berkelahi, maka berkelahilah dengan adil dan jujur!” kata Ki Sudireja di saat-saat melatih kedigjayaan.

Petuah ini tertanam erat di hati sanubarinya. Sampai manakala Pragola melebarkan sayap pengalamannya, petuah ini tak pernah terabaikan. Kalau pun pada suatu saat dia harus berhadapan dengan orang lain sebagai lawan, Pragola selalu memilih-milihnya. Dia berani menentang lawan yang tingkat kepandaiannya ada diatas dirinya dan akan lebih bersyukur bila kepandaian lawan seimbang dengan dirinya.

Tapi sebaliknya, Pragola tidak pernah mau berhadapan dengan orang lawan yang tingkat kepandaiannya di bawah dirinya. Dia tak mau mengambil keuntungan dari posisi seperti itu. Bagi dirinya, letak kehormatan seorang lelaki bukan dari hasil menundukkan orang yang kemampuannya ada di bawah dirinya. Bila ada orang melakukan kekeliruan, Pragola tak pernah menegurnya dengan kekerasan seandainya yang dihadapinya hanya orang-orang biasa. Dia tak pernah menjadikan kepandaian sebagai alat untuk menakut-nakuti.

Jadi, ketika mendengar gurunya tewas karena pengeroyokan, Pragola menilainya sebagai sesuatu hal yang tak adil. Pemuda ini merasa penasaran. Itulah sebabnya, mengapa Pragola hari ini, berada di Pakuan.

Sejenak semua orang termangu-mangu ketika Paman Manggala selesai menceritakan kisah ini. Pragola masih tetap menunduk dan Pangeran Yudakara serta Pewira Jaya Sasana memangku tangan di dada. Kecuali Perwira Goparana yang melirik tajam ke arah Pragola.

“Hati-hati anak muda. Kalau pun engkau bersedia ikut dalam misi ini, tapi jangan kau jadikan gerakan kita ini sebagai ajang untuk pemuas balas dendam. Ini adalah perjuangan. Dan tak ada urusan pribadi di sini. Dalam agamaku tabu melakukan peperangan dengan dada bersimbah dendam!” kata Perwira Goparana mengingatkan dengan suara tegas.

Pragola masih menundukkan wajahnya.

“Sepuluh tahun silam, Cirebon mengutus ksatrianya untuk menyusup ke Pakuan. Dia sudah hampir berhasil mengemban misi dalam upaya melemahkan sendi-sendi kekuatan di pusat istana. Sayang sekali, ksatria yang masih muda itu terperosok ke dalam urusan pribadi. Dia mendendam Sang Prabu Ratu Sakti karena urusan cinta…” kata Perwira Goparana.

“Mungkin yang dimaksud olehmu adalah Raden Purbajaya. Sepuluh tahun lalu memang ada peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Ratu Sakti. Peristiwa ini hampir-hampir melibatkan Bangsawan Yogascitra,” gumam Pangeran Yudakara.

“Peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Raja sebetulnya di luar perintah Cirebon. Tapi apa pun kenyataannya, menurutku tindakan Purbajaya waktu itu bisa membantu usaha-usaha kita. Paling tidak dengan adanya peristiwa itu, telah terjadi bentrokan dan saling curiga di antara pejabat dan bangsawan Pakuan,” tutur Pangeran Yudakara seperti bicara pada diri sendiri.

“Namun harus diingat Pangeran, tujuan Cirebon menyusupkan orang-orangnya ke pusat pemerintahan Pajajaran bukan sekadar ingin mengadu-domba dan membuat kekacauan di Pakuan. Tujuan Cirebon adalah menginginkan Pajajaran benar-benar menjadi negara besar dengan landasan kepercayaan dan keyakinan agama baru,” giliran Perwira Jaya Sasana yang berbicara, padahal sejak tadi lelaki setengah baya ini kerjanya hanya mengatupkan bibir saja.

Perwira Goparana mula-mula termenung mendengar perkataan rekannya ini, namun pada akhirnya mengangguk juga sebagai tanda membenarkan akan pendapat Perwira Jaya Sasana ini.

Mereka bertiga berbincang-bincang dulu sebentar. Namun sesudahnya, kembali menatap Pragola.

“Sudah sejauh mana pengetahuanmu tentang Dayo Pakuan beserta tugasmu nanti, anak muda?” tanya Perwira Goparana.

Pemuda itu tidak menjawab, melainkan menoleh kepada Paman Manggala.

“Sudah saya beri sedikit pengetahuan. Tapi alangkah baiknya bila Juragan sendiri yang memberi pengarahannya…” tutur Paman Manggala hormat sekali.

Suasana hening sejenak. Perwira Goparana malah tengah menyaksikan seekor nyamuk yang mendekati api pelita. Nyamuk itu terbang mengelilingi cahaya pelita. Dan dengan gagah berani menyambar-nyambar lidah api pelita. Namun keberaniannya kurang perhitungan. Sebab pada suatu saat tubuhnya hangus menabrak lidah api pelita. Perwira Goparana tersenyum melecehkan manakala melihat tubuh nyamuk yang sedikit gosong dan jatuh tak berarti di atas tikar pandan.

“Syarat utama memasuki Pakuan bukan keberanian, melainkan kehati-hatian,” gumam Perwira Goparana tanpa menatap ke arah siapa pun. “Dan engkau anak muda, engkau hanya bisa berhasil ikut dalam ikut misi ini bila sanggup bertindak hati-hati,” sambungnya sambil mulai menatap Pragola.

“Seusai pergantian pucuk pimpinan dari Sang Prabu Ratu Sakti kepada Sang Lumahing Majaya, ada beberapa perubahan situasi di Pakuan. Dulu, zamannya Ratu Sakti, suasana di dalam istana seperti api dalam sekam. Sesama pejabat saling bercuriga satu sama lain. Atau bahkan saling bermusuhan dan saling menjelek-jelekkan. Akibat dari situasi ini, mereka lengah terhadap gerakan penyusupan. Namun kini keadaan sudah tak seperti itu. Sang Lumahing Majaya bukan orang berperangai keras, namun kendati dia bukan pemarah dan pendendam, dia adalah seorang Raja yang amat hati-hati.

Barangkali rasa hati-hati ini terbentuk karena peristiwa yang menyertai sebelumnya. Kekacauan bahkan pertempuran yang beberapa kali terjadi di wilayah Pakuan, berlangsung karena adanya tindak penyusupan dan pengkhianatan. Maka bercermin dari peristiwa ini, semua pejabat dan perwira di Pakuan amat berhati-hati dalam menerima kedatangan orang dari luar. Wilayah-wilayah kandagalante seperti Tanjungpura, Muaraberes, Tanjungbarat, kendati masih di bawah kekuasaan Pakuan tapi penguasa di sana sudah menaruh kecurigaan lain.

Apalagi terhadap wilayah Sagaraherang. Bahwa sepuluh tahun yang lalu wilayah ini menjadi pusat pengendali penyerbuan ke Pakuan, masih menjadi mimpi buruk yang tak mau mereka lupakan. Itulah sebabnya, dalam upaya penyusupan ini, engkau harus bertindak hati-hati…” kata Perwira Goparana panjang-lebar.

Pragola mengangguk-angguk kecil beberapa kali sebagai tanda maklum akan penjelasan ini. Namun sesudah merenung sejenak, pada akhirnya pemuda bermata bulat binar ini mengemukakan pendapatnya.

“Ampun beribu ampun Juragan bila apa yang ingin saya kemukakan ini tak berkenan di hati,” tuturnya menyembah dan menunduk.

“Sampaikanlah apa yang menjadi pikiranmu, anak muda. Sebab lebih banyak pendapat yang masuk, akan lebih bagus,” kata Perwira Jaya Sasana menatap pemuda itu.

“katakanlah anak muda!” kata Perwira Goparana pendek.

Pragola mulai berani menyampaikan pendapatnya. “Juragan, dalam upaya merebut Pakuan dari penguasa sekarang, apakah tidak lebih baik kita jalankan dengan perilaku yang jujur? Kita ingin mengubah Pajajaran ke arah sesuatu yang lebih baik. Jadi, upayakanlah maksud-maksud seperti itu dengan dengan tata-cara yang baik dan jujur pula. Gerakan menyusup hanya punya arti bahwa kita bekerja dengan main sembunyi, berpura-pura dan berlaku tak jujur. Padahal untuk menampilkan kebenaran yang kita miliki, segala tindakan yang berani dan penuh kejujuran haruslah kita ke depankan agar mereka yakin dan percaya akan maksud-maksud kita,” kata Pragola tegas.

Mendengar ucapan ini wajah Paman Manggala nampak pucat-pasi. Serta-merta dengkulnya dia benturkan ke arah dengkul pemuda itu yang sama-sama duduk bersila. Rupanya Pragola pun tahu bahwa Paman Manggala menegurnya. Buktinya pemuda itu pun menoleh padanya dengan wajah agak memerah karena jengah.

Untung saja ketiga orang pejabat itu tidak merasa heran atau pun marah akan ucapan pemuda itu. Perwira Goparana malah hanya terkekeh kecil sesudah menyimak pendapat seperti itu.

“Engkau masih hijau anak muda. Dan kejujuran yang engkau patuhi hanyalah kejujuran kaku semata,” ujar Perwira Goparana.

Pragola mengernyitkan dahinya, merasa bingung akan koreksi dari pejabat ini.

“Ketahuilah anak muda, yang namanya kejujuran, dalam suasana perang bisa diterjemahkan secara luas. Begitu pun apa yang kita kenal sebagai kelicikan. Sementara orang bahkan mengatakan bahwa kejujuran dan kelicikan sudah berbaur, sebab yang ada hanyalah sesuatu yng bernama siasat. Siasat adalah sesuatu gerakan yang harus disembunyikan terhadap musuh. Jadi bila kita sekarang melakukan gerakan penyusupan, itu bukan penyerbuan yang dikemas dengan ketidakjujuran, melainkan sebuah siasat untuk mencapai kemenangan,” tutur Perwira Goparana.

Pragola belum mengiyakan atau pun menolak pendapat ini. Yang dia lakukan hanya menundukkan wajahnya saja seperti menatap tikar pandan di bawahnya. Namun rupanya Perwira Goparana memakluminya bahwa pemuda itu belum puas atas kesimpulan ini.

“Baik, kau dengarkanlah penjelasanku ini, anak muda,” ujar Perwira berkulit hitam ini, ”Pajajaran kendati kerapkali digoncang pemberontakan, tapi negara yang tetap setia terhadap agama lama ini masih memiliki ketangguhan militer. Dulu lebih dari tigapuluh tahun lalu ketika Pakuan diperintah Sang Prabu Ratu Dewata, Dayo (ibukota negri) diserbu oleh pasukan dari Banten yang dikirim secara tak resmi. Ini adalah pertama kalinya kekuatan pasukan agama baru menyerbu sampai ke wilayah pusat pemerintahan. Kalau gerakan ini dilakukan secara terbuka, tak mungkin berhasil karena pertahanan di Pakuan amat tangguh dan berlapis-lapis.

Hanya karena siasat penyusupan dan pengkhianatan dari dalam saja Pakuan bisa ditembus. Itu pun hanya sampai ke alun-alun benteng luar. Sebab untuk mencapai benteng dalam dan apalagi ke kompleks istana Sri Bima Untarayana Madura Suradipati (tempat tinggal Raja dan keluarganya) tetap kami tak sanggup. Itulah tandanya Pajajaran masih tetap tangguh,” kata Perwira Goparana. ”Kita tak sanggup berperang dengan kejujuran yang kaku, sebab kejujuran yang kaku artinya berperang tanpa siasat,” sambungnya lagi.

Pragola mendengarkan perkataan dan pendapat pejabat ini sambil tetap menundukkan kepala. Tapi Perwira Goparana rupanya tidak mau lagi memperbincangkan perkara ini. Sekarang dia lebih menitik beratkan kepada pengarahan dan petunjuk untuk Pragola.

Perwira ini menerangkan situasi Pakuan pada akhir-akhir ini. Menurutnya, kendati tindakan penyusupan ke istana tidak semudah seperti dulu, tapi inilah saat terbaik bagi mereka untuk kembali memasuki pusat pemerintahan Pakuan. Hal ini memungkinkan sebab di kalangan pejabat istana tengah terjadi lagi beberapa pertikaian dan perbedaan pendapat.

“Seperti sudah diketahui oleh fihak kita, perangai Ratu Pakuan yang memerintah sekarang kurang suka melakukan kekerasan. Raja yang usianya masih cukup muda ini seperti menuruni perangai kakeknya, yaitu Sang Prabu Ratu Dewata. Sang Lumahing Majaya lebih senang tinggal di kuil untuk memperdalam agama lama. Dia lebih percaya bahwa agama yang dipeluknya benar-benar bisa menjamin ke arah keselamatan. Agamanya dipercaya bisa menolak bala, termasuk bahaya kedatangan musuh.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment