Dia berkilah, musuh tak akan datang menyerang selama mereka tak menampakkan sikap permusuhan kepada fihak lain. Sikap Raja Pajajaran seperti ini sebetulnya akan amat menguntungkan kita apabila para pembantunya tidak bersikap lain. Para perwira bahkan penasihat Raja punya pendapat lain. Mereka pada umumnya punya kekhawatiran yang sangat akan pendapat rajanya ini. Menurut para perwira, Raja terlalu terlena dalam kehidupan keagamaan tanpa melihat kenyataan yang hidup dalam politik kenegaraan.
Padahal menurut para perwiranya, Pajajaran sekarang akan kembali menghadapi bahaya musuh dari luar bila mereka terlena dan tak mau memperkokoh pertahanan militer. Secara diam-diam, Pangeran Yogascitra sebagai penasihat Raja beserta beberapa perwira akan bertekad memperkuat militer kendati Raja kurang setuju. Mereka akan mencoba menghimpun kekuatan dengan cara mencoba mengumpulkan kembali tokoh-tokoh penting yang dianggap punya kekuatan.
Pangeran Yogascitra sekarang tengah berupaya mencari tokoh-tokoh yang dulu terkenal tapi kini menghilang dari percaturan. Dari sejumlah tokoh yang mereka harapkan, disebut-sebut nama Ki Darma Tunggara, Ki Rangga Guna dan murid mereka yang bernama Ginggi. Inilah salah satu tugas kita, yaitu menghadang usaha-usaha mereka dalam upaya menghimpun kekuatan. Kekuatan Pakuan harus diusahakan lemah mengiringi lemahnya pucuk pimpinan mereka. Bila di segala sektor mereka sudah lemah, maka rencana penyerbuan ke Pakuan akan kembali dilakukan Banten,” kata Perwira Goparana secara rinci.
Sejenak suasana menjadi hening seusai perwira ini memberikan penjelasan. “Aku bersyukur, engkau sudah bisa memasuki wilayah Pakuan dengan selamat. Untuk selanjutnya, engkau akan bergabung dengan Pangeran Yudakara, anak muda…” kata Perwira Goparana melirik ke arah Pragola.
Kemudian pemuda itu melirik ke arah Pangeran Yudakara seolah minta pembenaran atas apa yang dikatakan Perwira Goparana.
“Benar, engkau akan ikut aku, tapi selanjutnya engkau akan kususupkan ke puri Yogascitra, sebab dari sanalah segala macam rencana mereka dikendalikan,” ujar Pangeran Yudakara menatap kepada Pragola.
Mereka berbincang-bincang lagi beberapa lama, sampai akhirnya segala sesuatu selesai dirundingkan. Pertemuan kecil yang sifatnya rahasia ini akhirnya bubar. Pragola dan Paman Manggala dipersilahkan meninggalkan tempat itu lebih awal.
“Memang berat sekali tugas yang harus kau pikul ini, Gola,” kata Paman Manggala di tengah jalan. ”Tapi engkau sudah terlanjur ikut misi ini. Jadi tak ada kata mundur kendati apa pun yang ada di hati kita,” katanya lagi.
Pragola tak mengomentari ucapan Paman Manggala. Dia hanya menguntit saja di belakang. Sementara itu malam telah larut benar. Burung-burung malam sudah bersuara. Sesekali terdengar di atas dahan pohon rimbun, namun sesekali juga terdengar lewat di angkasa yang gelap pekat. Pragola berjalan sambil menunduk. Bukan lantaran matanya tengah memilih-milih jalan yang rata, melainkan ada berbagai pikiran berkecamuk di benaknya.
“Seharusnya aku tak perlu mengagumi ksatria bernama Ginggi itu…” gumamnya seorang diri.
Paman Manggala perlu menahan langkahnya manakala mendengar gumaman pemuda yang berjalan di belakangnya ini.
“Mengapa engkau tertarik pada Ksatria Ginggi?” gumam pula Paman Manggala tanpa menoleh ke belakang.
“Tidak tertarik benar…” dengus Pragola. ”Mulanya memang begitu. Namun belakangan saya berpikir, mustinya kita benci orang itu!” lanjutnya masih dengan suara setengah mendengus.
“Memang benar, kita harus benci dia, sebab kalau lelaki itu masih hidup, suatu saat akan menjadi penghalang besar misi kita,” kata Paman Manggala.
“Bukan perkara itu yang kau pikirkan. Tapi saya memang punya dendam pribadi!” kata Pragola.
Dan Paman Manggala berpaling ketika didengarnya anak muda itu duduk di tepi jalan. “Ini adalah urusan negara dan tak ada dendam pribadi di dalamnya,” kata Paman Manggala, ikut menjatuhkan badannya di samping Pragola yang sudah duduk duluan.
“Tapi bagi saya, ini dendam pribadi…” gumam Pragola lagi. ”Ki Guru Sudireja tewas karena ada kaitannya dengan keberadaan lelaki bernama Ginggi itu,” sambung Pragola.
“Saya dengar cerita orang, penyerbuan pasukan Sagaraherang ke Pakuan sepuluh tahun silam, mengalami kegagalan karena ketangguhan perwira-perwira Pakuan. Namun kemenangan mereka pun katanya tidak terlepas lantaran kehadiran ksatria bernama Ginggi itu. Coba, kalau lelaki sombong itu tak hadir di sana, barangkali Pakuan bisa ditundukkan dan Ki Guru Sudireja ada dalam kemenangan,” kata Pragola.
“Belum tentu demikian kejadiannya. Tapi yang jelas, karena Ksatria Ginggi ada di pihak Pakuan, maka kita harus mencoba melawannya bila suatu saat kita terpaksa bertemu dengannya,” kata Paman Manggala.
“Kita akan bertemu dengannya sebab saya akan berusaha mencarinya!” tutur Pragola mantap.
Dan percakapan mereka harus dihentikan manakala dari kejauhan terlihat cahaya obor. Sayup-sayup mereka pun mendengar kentongan dipukul secara beraturan.
“Mari kita menghindar. Mereka adalah rombongan tugur (ronda),” bisik Paman Manggala.
Kedua orang itu berjingkat meninggalkan tepian jalan berbalay. Mereka berlari cepat tanpa menimbulkan bunyi. Sesekali larinya harus di atas wuwungan, bila kebetulan melewati sederetan rumah-rumah kayu jati yang kokoh. Ternyata Paman Manggala membawanya ke sebuah asrama prajurit yang terletak di tepi kuta (benteng) dalam.
Pragola memuji kehebatan Paman Manggala. Dua tahun dia berpisah dengan orang tua ini. Tahu-tahu Paman Manggala sudah bisa menyusup ke Pakuan. Dan melihat Paman Manggala Masuk ke asrama prajurit, mudah diduga bahwa dia sudah berhasil menyusup sebagai prajurit Pakuan.
Mengapa tidak mudah menyusup sebagai prajurit, bahkan untuk menjadi orang penting di sana pun bisa terjadi. Buktinya, tokoh-tokoh Cirebon seperti Goparana dan Jaya Sasana pun telah menyusup menjadi perwira Pakuan. Ini adalah penyusupan untuk yang kesekian kalinya dari berbagai upaya penyusupan.
Dalam hatinya Pragola masih tak mengerti, mengapa Pajajaran yang dikenal kuat ini mudah disusupi lawan? Ada memang berita yang mengatakan bahwa orang Pajajaran menghargai kejujuran. Artinya, mereka lebih senang bertindak-tanduk jujur dan terbuka ketimbang melakukan sesuatu kepura-puraan. Dan karena mereka merasa jujur terhadap orang lain, maka sepertinya tak ada alasan untuk mencurigai orang lain.
Kalau berita mengenai prilaku dan perangai orang-orang Pajajaran ini benar begitu, maka Pragola menganggap bahwa jalan pikiran mereka itu bodoh. Menurut pemuda ini, sikap dan prilaku jujur dalam keseharian tidak bisa diterapkan dalam kehidupan berpolitik. Menurutnya, politik adalah kepura-puraan. Untuk mencapai tujuan, siasat apa pun selalu ditempuh. Dan yang namanya siasat tak lebih dari reka-perdaya dalam upaya mengalahkan lawan.
Kejujuran orang Pajajaran terbukti telah menciptakan pitapak (perangkap) untuk mereka sendiri. Pemuda ini teringat akan cerita puluhan tahun silam ketika Pakuan diperintah Sang Prabu Ratu Dewata (1535-1543 M). pasukan tanpa identitas yang diduga dikirim secara tidak resmi dari Banten telah berhasil melakukan penyerbuan sampai ke wilayah jawi khita (benteng kota luar).
Padahal menurut para perwiranya, Pajajaran sekarang akan kembali menghadapi bahaya musuh dari luar bila mereka terlena dan tak mau memperkokoh pertahanan militer. Secara diam-diam, Pangeran Yogascitra sebagai penasihat Raja beserta beberapa perwira akan bertekad memperkuat militer kendati Raja kurang setuju. Mereka akan mencoba menghimpun kekuatan dengan cara mencoba mengumpulkan kembali tokoh-tokoh penting yang dianggap punya kekuatan.
Pangeran Yogascitra sekarang tengah berupaya mencari tokoh-tokoh yang dulu terkenal tapi kini menghilang dari percaturan. Dari sejumlah tokoh yang mereka harapkan, disebut-sebut nama Ki Darma Tunggara, Ki Rangga Guna dan murid mereka yang bernama Ginggi. Inilah salah satu tugas kita, yaitu menghadang usaha-usaha mereka dalam upaya menghimpun kekuatan. Kekuatan Pakuan harus diusahakan lemah mengiringi lemahnya pucuk pimpinan mereka. Bila di segala sektor mereka sudah lemah, maka rencana penyerbuan ke Pakuan akan kembali dilakukan Banten,” kata Perwira Goparana secara rinci.
Sejenak suasana menjadi hening seusai perwira ini memberikan penjelasan. “Aku bersyukur, engkau sudah bisa memasuki wilayah Pakuan dengan selamat. Untuk selanjutnya, engkau akan bergabung dengan Pangeran Yudakara, anak muda…” kata Perwira Goparana melirik ke arah Pragola.
Kemudian pemuda itu melirik ke arah Pangeran Yudakara seolah minta pembenaran atas apa yang dikatakan Perwira Goparana.
“Benar, engkau akan ikut aku, tapi selanjutnya engkau akan kususupkan ke puri Yogascitra, sebab dari sanalah segala macam rencana mereka dikendalikan,” ujar Pangeran Yudakara menatap kepada Pragola.
Mereka berbincang-bincang lagi beberapa lama, sampai akhirnya segala sesuatu selesai dirundingkan. Pertemuan kecil yang sifatnya rahasia ini akhirnya bubar. Pragola dan Paman Manggala dipersilahkan meninggalkan tempat itu lebih awal.
“Memang berat sekali tugas yang harus kau pikul ini, Gola,” kata Paman Manggala di tengah jalan. ”Tapi engkau sudah terlanjur ikut misi ini. Jadi tak ada kata mundur kendati apa pun yang ada di hati kita,” katanya lagi.
Pragola tak mengomentari ucapan Paman Manggala. Dia hanya menguntit saja di belakang. Sementara itu malam telah larut benar. Burung-burung malam sudah bersuara. Sesekali terdengar di atas dahan pohon rimbun, namun sesekali juga terdengar lewat di angkasa yang gelap pekat. Pragola berjalan sambil menunduk. Bukan lantaran matanya tengah memilih-milih jalan yang rata, melainkan ada berbagai pikiran berkecamuk di benaknya.
“Seharusnya aku tak perlu mengagumi ksatria bernama Ginggi itu…” gumamnya seorang diri.
Paman Manggala perlu menahan langkahnya manakala mendengar gumaman pemuda yang berjalan di belakangnya ini.
“Mengapa engkau tertarik pada Ksatria Ginggi?” gumam pula Paman Manggala tanpa menoleh ke belakang.
“Tidak tertarik benar…” dengus Pragola. ”Mulanya memang begitu. Namun belakangan saya berpikir, mustinya kita benci orang itu!” lanjutnya masih dengan suara setengah mendengus.
“Memang benar, kita harus benci dia, sebab kalau lelaki itu masih hidup, suatu saat akan menjadi penghalang besar misi kita,” kata Paman Manggala.
“Bukan perkara itu yang kau pikirkan. Tapi saya memang punya dendam pribadi!” kata Pragola.
Dan Paman Manggala berpaling ketika didengarnya anak muda itu duduk di tepi jalan. “Ini adalah urusan negara dan tak ada dendam pribadi di dalamnya,” kata Paman Manggala, ikut menjatuhkan badannya di samping Pragola yang sudah duduk duluan.
“Tapi bagi saya, ini dendam pribadi…” gumam Pragola lagi. ”Ki Guru Sudireja tewas karena ada kaitannya dengan keberadaan lelaki bernama Ginggi itu,” sambung Pragola.
“Saya dengar cerita orang, penyerbuan pasukan Sagaraherang ke Pakuan sepuluh tahun silam, mengalami kegagalan karena ketangguhan perwira-perwira Pakuan. Namun kemenangan mereka pun katanya tidak terlepas lantaran kehadiran ksatria bernama Ginggi itu. Coba, kalau lelaki sombong itu tak hadir di sana, barangkali Pakuan bisa ditundukkan dan Ki Guru Sudireja ada dalam kemenangan,” kata Pragola.
“Belum tentu demikian kejadiannya. Tapi yang jelas, karena Ksatria Ginggi ada di pihak Pakuan, maka kita harus mencoba melawannya bila suatu saat kita terpaksa bertemu dengannya,” kata Paman Manggala.
“Kita akan bertemu dengannya sebab saya akan berusaha mencarinya!” tutur Pragola mantap.
Dan percakapan mereka harus dihentikan manakala dari kejauhan terlihat cahaya obor. Sayup-sayup mereka pun mendengar kentongan dipukul secara beraturan.
“Mari kita menghindar. Mereka adalah rombongan tugur (ronda),” bisik Paman Manggala.
Kedua orang itu berjingkat meninggalkan tepian jalan berbalay. Mereka berlari cepat tanpa menimbulkan bunyi. Sesekali larinya harus di atas wuwungan, bila kebetulan melewati sederetan rumah-rumah kayu jati yang kokoh. Ternyata Paman Manggala membawanya ke sebuah asrama prajurit yang terletak di tepi kuta (benteng) dalam.
Pragola memuji kehebatan Paman Manggala. Dua tahun dia berpisah dengan orang tua ini. Tahu-tahu Paman Manggala sudah bisa menyusup ke Pakuan. Dan melihat Paman Manggala Masuk ke asrama prajurit, mudah diduga bahwa dia sudah berhasil menyusup sebagai prajurit Pakuan.
Mengapa tidak mudah menyusup sebagai prajurit, bahkan untuk menjadi orang penting di sana pun bisa terjadi. Buktinya, tokoh-tokoh Cirebon seperti Goparana dan Jaya Sasana pun telah menyusup menjadi perwira Pakuan. Ini adalah penyusupan untuk yang kesekian kalinya dari berbagai upaya penyusupan.
Dalam hatinya Pragola masih tak mengerti, mengapa Pajajaran yang dikenal kuat ini mudah disusupi lawan? Ada memang berita yang mengatakan bahwa orang Pajajaran menghargai kejujuran. Artinya, mereka lebih senang bertindak-tanduk jujur dan terbuka ketimbang melakukan sesuatu kepura-puraan. Dan karena mereka merasa jujur terhadap orang lain, maka sepertinya tak ada alasan untuk mencurigai orang lain.
Kalau berita mengenai prilaku dan perangai orang-orang Pajajaran ini benar begitu, maka Pragola menganggap bahwa jalan pikiran mereka itu bodoh. Menurut pemuda ini, sikap dan prilaku jujur dalam keseharian tidak bisa diterapkan dalam kehidupan berpolitik. Menurutnya, politik adalah kepura-puraan. Untuk mencapai tujuan, siasat apa pun selalu ditempuh. Dan yang namanya siasat tak lebih dari reka-perdaya dalam upaya mengalahkan lawan.
Kejujuran orang Pajajaran terbukti telah menciptakan pitapak (perangkap) untuk mereka sendiri. Pemuda ini teringat akan cerita puluhan tahun silam ketika Pakuan diperintah Sang Prabu Ratu Dewata (1535-1543 M). pasukan tanpa identitas yang diduga dikirim secara tidak resmi dari Banten telah berhasil melakukan penyerbuan sampai ke wilayah jawi khita (benteng kota luar).
Menurut sinyalemen, musuh Pajajaran berhasil menyerbu hingga ke pusat kekuasaan lantaran sebelumnya ada gerakan penyusupan. Orang-orang Pajajaran merasa dirinya jujur sehingga tak pernah percaya kepada orang lain berlaku khianat terhadap mereka. Orang-orang jujur memang biasanya selalu menganggap bahwa orang lain pun akan sama berlaku jujur terhadapnya. Inilah sebuah kelemahan dari orang jujur kalau pun tak dikatakan mereka bodoh.
Seperti malam ini misalnya, kendati para prajurit Pakuan berhati-hati, tapi sikap jujur mereka dalam menilai orang telah membahayakan diri mereka sendiri, bahkan membahayakan keselamatan negaranya. Terlalu bahaya mengukur hati dan prilaku orang lain dengan kebiasaan diri sendiri. Orang-orang Pajajaranlah contohnya, kata Pragola dalam hatinya.
Para prajurit yang tinggal di asrama itu percaya begitu saja ketika Paman Manggala mengabarkan bahwa ada pembantu Pangeran Yudakara yang baru datang dari wilayah Kandagalante Sagaraherang. Dan lagi, siapa yang tak percaya, sebab pada esok harinya Pragola dijemput oleh dua orang jagabaya puri Yogascitra untuk ikut hadir dalam pertemuan penting di sana.
Paman Manggala sendiri sebenarnya amat terkejut dengan kejadian ini. Begitu cepatnya Pragola mendapatkan kepercayaan dari Pangeran Yudakara ini. Dia memastikan, Pragola dijemput orang-orang Puri Yogascitra karena pengaturan Pangeran Yudakara. Karena perkiraan ini, mau tak mau Paman Manggala amat memuji kecepatan gerak dari pangeran itu.
“Apakah Paman Manggala pun dipanggil serta?” tanya Pragola sebelum berkemas.
“Tidak, hanya engkau seorang yang dipanggil Pangeran Yogascitra. Di puri, Pangeran Yudakara pun sudah hadir,” ujar para jagabaya.
“Engkau berangkatlah ke sana, semoga apa yang menjadi cita-citamu terlaksana…” tutur Paman Manggala memegang pundak pemuda itu.
Akhirnya Pragola meninggalkan asrama prajurit untuk mengikuti kedua orang jagabaya itu. Yang disebut puri Yogascitra adalah sebuah kompleks pemukiman yang ada di sekitar dalem khita (kota benteng dalam).
Memang di wilayah dalem khita lah para bangsawan tinggal. Tempat mereka ada di sekitar kompleks istana Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati (istana raja). Atau lebih tepatnya lagi, puri-puri milik bangsawan dan kerabat istana dibangun hampir mengelilingi istana, kecuali ada beberapa bagian yang dibiarkan kosong tanpa gangguan. Misalnya di tengah bangunan utama di mana Raja tinggal. Yang berada di sana hanyalah puri-puri keluarga saja. Di sebelah timur istana bahkan hanya berupa taman tempat keluarga Raja bercengkrama. Pragola pernah mendapatkan berita bahwa tempat indah ini bernama Taman Mila Kancana.
Puri Yogascitra tepat berada di tepi jalan besar berbalay (jalan dengan susunan batu-batu kali). Kompleks puri ini cuckup luas dan dikelilingi kuta (benteng) terbuat dari susunan batu kali dan tanah liat. Ada lawang seketeng (gerbang) tepat di muka jalan dan dijaga empat orang jagabaya dengan tameng logam di tangan kiri dan sebuah tombak di tangan kanan. Mereka nampaknya siap-siaga sekali. Namun manakala tahu siapa yang datang, keempat jagabaya tidak mempersulitnya. Pragola yang diiringkan dua jagabaya dipersilahkan memasuki gerbang.
Seusai masuk gerbang, Pragola harus melewati jalan berbalay lagi yang di kiri-kanannya terhampar lapangan rumput hijau. Banyak beberapa jenis unggas peliharaan di sana. Beberapa angsa nampak berkejaran di tepi kolam berair jernih. Di sudut sana bahkan ada ayam jantan berbulu merah kekuningan dan tubuh tegap serta kuat. Ayam jantan itu berkokok nyaring ketika Pragola lewat di sana.
Pemuda itu baru tahu bahwa jalan berbalay itu mengantarkannya ke sebyah paseban (bangsal) beratap ijuk dan berlantai papan jati tua yang mengkilap kehitam-hitaman. Di tempat itu sudah terdapat beberapa orang. Ada yang duduk di atas kursi kayu, ada juga yang bersila di atas hamparan alketip tebal buatan Negri Parasi (Parsi, atau Iran kini).
Dari beranda, Pragola sudah bisa melihat bahwa di ruangan paseban itu Pangeran Yudakara telah hadir. Dia duduk di depan di sebuah kursi jati berukir, berdampingan dengan seorang bangsawan tua gagah. Pragola cepat menduga, bangsawan yang berpakaian beludru hitam gaya bedahan lima yang hampir seluruh pinggiran bajunya dihiasi kelim emas itu tentulah Pangeran Yogascitra, penasehat Ratu Pakuan.
Bangsawan itu pasti usianya sudah amat lanjut. Melihat sepasang pipinya yang nampak dalam serta alis tebal berwarna putih mulus, Pragola menaksir, barangkali pejabat tinggi ini usianya lebih dari tujuh puluh tahun. Namun yang pemuda itu kagumi, kendati usianya pasti sudah demikian tinggi, bangsawan tua itu masih nampak gagah. Kulit wajahnya putih agak kemerahan dan hanya sedikit keriput yang mengganggu dahinya.
Tubuhnya masih sanggup tegak ketika duduk di kursi kayu jati itu. Jadi, kendati kursi itu memakai sandaran, namun orang tua itu tidak memanfaatkannya untuk menyandarkan punggungnya yang tidak terlihat bungkuk karena usia tua. Kepalanya pun mendongak berwibawa namun jauh dari kesan angkuh. Gagah sekali manakala dia mengangguk-angguk ketika Pragola menghormat rengkuh. Ornamen warna emas yang menghiasi iket sawit (jenis ikat kepala namun jauh lebih rapih ketimbang iket orang kebanyakan) yang digunakan bangsawan itu nampak berkelap-kelip karena pantulan cahaya.
Semua orang yang hadir di paseban sama-sama menoleh ke arah beranda untuk melihat siapa yang datang. Mereka menatap Pragola dengan penuh seksama.
“Diakah punggawa muda itu, Yuda…?” terdengar pangeran tua itu mengajukan pertanyaan kepada Pangeran Yudakara.
Amat perlahan suaranya. Namun karena semua orang sama-sama memperhatikan Pragola tanpa bersuara, maka suara halus yang keluar dari mulut pangeran tua itu terdengar nyata.
“Benar Pamanda, dialah Punggawa Pragola yang saya ceritakan tempo hari itu…” jawab Pangeran Yudakara.
Semua hadirin nampak lebih memperhatikan Pragola manakala namanya dikenalkan.
“Duduklah punggawa muda…” kata pangeran tua itu.
Pragola segera duduk bersila. Tidak di atas hamparan alketip, melainkan hanya di atas lantai papan jati saja. Dan kalau pun dia duduk dalam deretan para ksatria, namun hanya mengambil posisi paling ujung saja. Dia sadar, kedudukannya di sini paling rendah bila dibandingkan dengan para ksatria yang nampak gagah dan berwibawa itu.
Pragola duduk bersila dengan berupaya bersikap tenang. Padahal ada ketegangan yang sangat di hatinya. Betapa tidak, inilah pertama kalinya dia menginjak kompleks Pakuan. Inilah pertama kalinya dia berhadapan dengan orang-orang penting Pakuan. Hatinya berkecamuk dan penuh pertentangan. Jauh sebelum dia berhadapan dengan Pangeran Yogascitra, dia sudah mendapatkan berita mengenai keberadaan orang ini dengan berbagai pendapat dan penafsiran.
Di wilayah Kacutakan Caringin atau Waringin di mana dia tinggal, hampir semua orang bersepakat bahwa negri yang bernama Pajajaran harus dimusnahkan sebab banyak pejabatnya melakukan penyelewengan hidup. Mereka kerjanya bersenang-senang sedangkan di lain fihak rakyat penuh derita. Buktinya, ketika rayat Kacutakan Waringin ingin melepaskan diri dari Pajajaran dan berniat menggabungkan diri dengan Cirebon, Pakun marah dan mengirimkan pasukan. Kacutakan Waringin porak-poranda digempur pasukan dari Pakuan. Cutak Wirajaya, ayahanda Pragola memang tidak tewas secara langsung dalam peristiwa penyerbuan ini, namun tetap saja kematiannya diakibatkan oleh penyerbuan orang-orang Pakuan.
Penduduk Kacutakan Waringin membenci Pakuan. Itulah sebabnya, banyak penduduk mengabdi menjadi prajurit Cirebon dan akan senang bila ditugaskan menyerbu wilayah-wilayah Pakuan. Menurut Paman Manggala, untuk menundukkan Pakuan harus sanggup melenyapkan orang-orang kuat yang berdiri di sana. Pangeran Yogascitra disebut-sebut sebagai orang kuat di Pakuan.
Tentu Pragola juga menganggap bahwa orang tua berwajah sabar tapi berwibawa ini termasuk pejabat Pakuan yang harus dilenyapkan. Dan kalau mendengar banyak pejabat Pakuan yang selalu berbuat kejahatan hidup, tidakkah Pangeran Yogascitra ini pun sebenarnya orang jahat belaka?
“Banyak orang jahat bersembunyi pada wajah damai dan penuh welas asih,” kata Paman Manggala suatu ketika.
Kalau ucapan ini benar, Pragola pun harus berani melenyapkannya.
“Kau sampaikan kembali hormatmu kepada Pangeran Yogascitra, Pragola…” kata Pangeran Yudakara memerintah.
Untuk kedua kalinya Pragola memberi hormat lagi. Sesudah hormat dia sampaikan kepada Pangeran Yogascitra, dia pun segera menyembah kepada semua yang hadir di situ. Selintas dia memang sudah menduga bahwa beberapa orang yang hadir di sana merupakan orang-orang penting semua. Ini melihat dari penampilan dan usia mereka. Rata-rata berusia di atas limapuluh tahunan, kecuali ada seorang pemuda dewasa yang Pragola taksir usianya sekitar duapuluh tujuh atau mungkin lebih satu atau dua tahunan.
Namun karena pemuda yang berpakaian baju kurung hitam tipis berlapis kampret warna biru tua dari jenis kain halus itu ada di antara mereka, Pragola menduga, pemuda tampan berkulit halus dengan kumis tipis itu tentu termasuk orang penting juga. Mereka saling berpandangan sejenak. Tapi Pragola lebih dahulu menundukkan muka sebab sorot mata pemuda itu tajam berwibawa.
“Puji syukur harus kita sampaikan kepada Hyang karena punggawa setia ini telah berhasil tiba di Pakuan dengan selamat. Padahal untuk berusaha menyampaikan berita penting ini dia pasti banyak menemukan rintangan dan marabahaya,” tutur Pangeran Yogascitra.
Pragola menunduk menyembunyikan wajahnya ketika pangeran bersuara halus itu berkata demikian. Pragola tidak tahu persis, apa-apa saja yang tengah dibicarakan dalam pertemun ini. Namun kendati tidak lengkap dia dengar, beberapa bagian dari percakapan mereka ternyata perihal situasi negara dewasa ini.
Pangeran Yogascitra mengemukakan bahwa waktu-waktu belakangan ini boleh dikata negara ada dalam situasi rawan. Penyebabnya ada beberapa hal. Pertama, suasana ekonomi negara semakin tidak menentu sesudah puluhan tahun lamanya Pakuan tak bisa melakukan hubungan dagang dengan negara lain.
Hal kedua, sendi-sendi kekuatan negara yang berhaluan agama baru semakin hari semakin kuat. Pajajaran kini semakin terjepit di pedalaman. Wilayah timur dan utara sudah dikuasai oleh Demak dan Cirebon. Kemudian sebelah barat, kekuatan Banten semakin merebak juga.
Pangeran Yogascitra amat khawatir, di saat-saat kekuatan musuh semakin nyata, keberadaan Pajajaran sendiri malah cenderung melemah. Luka-luka di tubuh negara akibat terjadi pemberontakan yang dilakukan negara-negara kecil yang ingin memisahkan diri dari Pakuan hingga kini masih belum sembuh. Akibat sering memerangi pemberontak, terjadi beberapa kemunduran di sektor militer.
Militer Pajajaran sudah tak sekuat dulu. Membangun kekuatan militer memerlukan dana yang besar. Tapi kini negara sudah tak memiliki dana yang besar lagi mengingat terbatasnya perdagangan antar negara. Lain dari pada itu, dari peperangan berkali-kali, menyebabkan negara banyak kehilangan orang-orang pandai. Benar, bahwa hingga saat ini, Pajajaran masih memiliki puluhan ribu prajurit. Benar juga bila orang mengatakan bahwa seribu perwira pengawal Raja hingga kini jumlahnya tiada berkurang.
Namun, jumlah seribu orang antara hari ini dengan kemarin kualitasnya sudah jauh berbeda. Pakuan sudah banyak ditinggalkan perwira tangguh. Kalau pun tidak gugur dalam peperangan, mereka berhenti karena tua, sedangkan penggantinya tidak setangguh yang digantikannya. Perwira-perwira baru masuk ke dalam kelompok seribu itu bukan karena kualitasnya, melainkan karena untuk mengisi kekosongan jumlah saja. Ini yang memprihatinkan Pangeran Yogascitra.
“Saya khawatir terhadap kekuatan dari barat. Puluhan tahun silam di saat Pakuan diperintah oleh Sang Prabu Ratu Dewata, kendati tidak mengatasnamakan secara resmi, namun Banten berhasil menyerbu Pakuan. Kini kekuatan mereka semakin meningkat dan kita sebaliknya semakin melemah. Saya khawatir situasi buruk yang melanda negri ini merupakan peluang yang baik bagi mereka. Saya khawatir, suatu saat mereka melakukan penyerbuan lagi yang barangkali lebih dahsyat dari penyerbuan puluhan tahun silam…” kata Pangeran Yogascitra.
Suasana amat hening manakala pangeran tua itu selesai mengemukakan isi pikirannya, sehingga saking heningnya, suara kokok ayam jantan jauh di hamparan padang rumput terdengar nyata.
“Bagaimana upaya Sang Prabu dalam menghadapi keadaan seperti ini?” tanya seorang pejabat berkumis tebal bermata bulat yang duduk bersila di samping pemuda tampan.
Terlihat Pangeran Yogascitra menghela napas panjang. “Susah mengatakannya…” desis Pangeran Yogascitra setengah mengeluh, membuat suasana kembali hening.
Namun pada akhirnya, pangeran tua ini berbicara jua. Dan nampaknya Pangeran Yogascitra amat menyesalkan kebijaksanaan Sang Prabu dalam menanggapi situasi politik negara dewasa ini.
“Saya sebetulnya amat menghargai kebijaksanaan beliau yang ingin kembali memperkuat sendi-sendi pemerintahan dengan tonggak agama karuhun (leluhur). Menurut beliau, kekuasaan Cirebon dan Banten semakin menghimpit Pakuan dengan terapan agama baru. Maka takan ada jalan penangkalnya selain kita lebih memperkuat keyakinan agama buhun (lama) yang sudah sejak ratusan tahun dihargai oleh para karuhun kita. Sang Prabu bersama Purohita (Pendeta Agung) Ragasuci lebih sering berada di kuil ketimbang di istana. Beliau terlalu tenggelam untuk memperdalam agama, sebab pada hematnya, hanya dengan keyakinan yang kuat saja maka propaganda agama baru akan bisa tertolak…” ujar Pangeran Yogascitra.
“Tapi Pamanda, saya menganggap bahwa serbuan negara agama baru ke Pakuan tidak semata karena melakukan penyebaran agama, melainkan karena ingin memperluas kekuasaan semata. Puluhan tahun silam tujuh pelabuhan penting milik Pajajaran direbut mereka dengan alasan mencegah Pajajaran yang semakin melakukan hubungan dagang dengan bangsa-bangsa asing. Terutama Portugis. Namun belakangan, sesudah semua pelabuhan dagang direbut, malah merekalah yang menggantikan kedudukan Pakuan dalam melakukan hubungan dagang dengan bangsa asing. Jadi kalau menilik hal-hal seperti ini, negara agama baru memerangi Pajajaran bukan karena agama, melainkan karena rebutan kekuasaan semata. Dan apabila pendapat saya ini benar, maka percuma mempertahankan dengan cara memperkuat dan memperdalam agama buhun kita, sebab belum tentu berhasil dengan baik,” kata seorang pejabat yang Pragola tak tahu siapa.
“Benar belaka Ayahanda, menangkal datangnya musuh bukan dengan mantera atau jampi-jampi, melainkan harus dengan kekuatan militer pula seperti apa yang mereka lakukan terhadap kita,” sambut pemuda tampan berkumis tipis yang bersila tegak di jajaran para ksatria.
Pragola baru mengetahuinya kalau pemuda yang barangkali usianya sepuluh tahun di atasnya itu adalah putra Pangeran Yogascitra. Pragola menyaksikan, betapa alis pangeran tua itu sedikit berkerut ketika mendengar pendapat-pendapat ini.
“Sang Prabu kurang setuju bila kita harus terus-terusan mengeluarkan dana besar untuk kepentingan angkatan perang. Menurut beliau, sudah banyak dana yang dihambur-hamburkan hanya untuk kepentingan perang. Selain itu, Sang Prabu pun menganggap bahwa perang juga banyak menyengsarakan rakyat. Korban jiwa berjatuhan dan usaha perdagangan serta pertanian terhambat. Saya juga membenarkan pendapat seperti ini. Tapi, begitulah seperti apa yang dikatakan tadi, bila militer tak kita perkuat kembali, maka bahaya datangnya musuh akan semakin mengancam,” kata Pangeran Yogascitra akhirnya.
“Bila Pamanda saja sebagai penasehat sudah tak sanggup meyakinkan Sang Prabu, bagaimana mungkin dengan kami?” kata pejabat lainnya.
Pangeran tua itu terdiam sejenak. Dia nampak menunduk dan sedikit memejamkan kedua belah matanya.
“Kita akan tanggulangi sendiri. Secara diam-diam akan saya usahakan menghimpun kekuatan…” ujar Pangeran Yogascitra hampir-hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Bagaimana caranya?” tanya yang lain.
“Banyak orang pandai tak tergabung dalam kekuatan istana, tapi mereka orang-orang yang amat setia kepada keberadaan Pajajaran. Saya akan menghimbau mereka untuk mau bergabung dengan kita,” tutur Pangeran Yogascitra.
“Berilah contoh, siapa mereka…” sambut seorang pejabat.
“Kalian tentu ingat tentang pemuda Ginggi murid Ki Darma?” tanya pangeran Yogascitra melirik kepada si penanya.
“Tapi Ayahanda, saudara Ginggi nampaknya sudah tidak tertarik kepada urusan politik. Sudah hampir sepuluh tahun namanya tenggelam begitu saja. Ini hanya menandakan bahwa dia ingin menjauhkan diri dari kemelut politik. Sedangkan yang berprilaku seperti dia bukan hanya satu atau dua saja. Beberapa perwira pandai yang dulu jadi andalan Pakuan, mengundurkan diri dari kegiatan kenegaraan karena merasa jemu dengan berbagai pertikaian politik. Bisakah mereka kita rangkul kembali?” tanya pemuda putra pangeran tua itu.
“Mereka mungkin jemu karena jabatan dan berbagai kemelut istana tapi tak berarti melepaskan rasa cinta terhadap negara. Kalau kita himbau bahwa negara ada dalam keadaan bahaya, maka diharap mereka mau menoleh kembali,” kata Pangeran Yogascitra.
“Bagaiman caranya mencari dan mengumpulkan mereka?” tanya yang lain.
“Itulah sebabnya kita berkumpul di sini hari ini. Kebetulan datang seorang punggawa muda dari wilayah Sagaraherang. Menurut Pangeran Yudakara, punggawa muda ini membawa berita dari wilayah timur. Berita ini penting, kendati kita belum tahu, apakah yang dibawa punggawa muda ini berita yang menggembirakan atau kebalikannya,” tutur Pangeran Yogascitra sambil menatap tajam kepada Pragola.
“Pragola, khabarkanlah segera, apa yang kau dapatkan di wilayah timur…” kata Pangeran Yudakara.
Berdebar hati pemuda ini. Ini adalah tugas pertama yang dibebankan negara agama baru. Kalau Pragola mulai bicara, sebenarnya ini adalah kebohongan, sesuatu yang dia tak menyukainya. Namun kata Pangeran Yudakara tadi malam, kebohongan adalah bagian dari sesuatu bernama taktik dalam upaya memenangkan sesuatu.
“Kebohongan untuk sesuatu kebaikan, bukanlah dosa,” ujar Pangeran Yudakara menegaskan.
Menurut Pangeran Yudakara, kekuatan negara agama baru memang selalu menggempur Pajajaran. Sebetulnya bukan untuk menghancurkan Pajajaran, melainkan untuk mencoba mengubah sesuatu tatanan yang lebih baik lagi.
“Akan lebih baik lagi bila tatanan Pajajaran disempurnakan melalui perilaku kehidupan agama baru,” kata Pangeran Yudakara.
“Penguasa Pakuan puluhan tahun silam telah mengundang kekuatan asing yang prilaku dan sikap hidupnya amat berlainan dengan kita. Itulah sebabnya, penguasa negara baru dari wilayah timur mencoba menggagalkan persekutuan antara Pajajaran dengan kekuatan asing tersebut,” sambung Pangeran Yudakara tadi malam.
Seperti malam ini misalnya, kendati para prajurit Pakuan berhati-hati, tapi sikap jujur mereka dalam menilai orang telah membahayakan diri mereka sendiri, bahkan membahayakan keselamatan negaranya. Terlalu bahaya mengukur hati dan prilaku orang lain dengan kebiasaan diri sendiri. Orang-orang Pajajaranlah contohnya, kata Pragola dalam hatinya.
Para prajurit yang tinggal di asrama itu percaya begitu saja ketika Paman Manggala mengabarkan bahwa ada pembantu Pangeran Yudakara yang baru datang dari wilayah Kandagalante Sagaraherang. Dan lagi, siapa yang tak percaya, sebab pada esok harinya Pragola dijemput oleh dua orang jagabaya puri Yogascitra untuk ikut hadir dalam pertemuan penting di sana.
Paman Manggala sendiri sebenarnya amat terkejut dengan kejadian ini. Begitu cepatnya Pragola mendapatkan kepercayaan dari Pangeran Yudakara ini. Dia memastikan, Pragola dijemput orang-orang Puri Yogascitra karena pengaturan Pangeran Yudakara. Karena perkiraan ini, mau tak mau Paman Manggala amat memuji kecepatan gerak dari pangeran itu.
“Apakah Paman Manggala pun dipanggil serta?” tanya Pragola sebelum berkemas.
“Tidak, hanya engkau seorang yang dipanggil Pangeran Yogascitra. Di puri, Pangeran Yudakara pun sudah hadir,” ujar para jagabaya.
“Engkau berangkatlah ke sana, semoga apa yang menjadi cita-citamu terlaksana…” tutur Paman Manggala memegang pundak pemuda itu.
Akhirnya Pragola meninggalkan asrama prajurit untuk mengikuti kedua orang jagabaya itu. Yang disebut puri Yogascitra adalah sebuah kompleks pemukiman yang ada di sekitar dalem khita (kota benteng dalam).
Memang di wilayah dalem khita lah para bangsawan tinggal. Tempat mereka ada di sekitar kompleks istana Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati (istana raja). Atau lebih tepatnya lagi, puri-puri milik bangsawan dan kerabat istana dibangun hampir mengelilingi istana, kecuali ada beberapa bagian yang dibiarkan kosong tanpa gangguan. Misalnya di tengah bangunan utama di mana Raja tinggal. Yang berada di sana hanyalah puri-puri keluarga saja. Di sebelah timur istana bahkan hanya berupa taman tempat keluarga Raja bercengkrama. Pragola pernah mendapatkan berita bahwa tempat indah ini bernama Taman Mila Kancana.
Puri Yogascitra tepat berada di tepi jalan besar berbalay (jalan dengan susunan batu-batu kali). Kompleks puri ini cuckup luas dan dikelilingi kuta (benteng) terbuat dari susunan batu kali dan tanah liat. Ada lawang seketeng (gerbang) tepat di muka jalan dan dijaga empat orang jagabaya dengan tameng logam di tangan kiri dan sebuah tombak di tangan kanan. Mereka nampaknya siap-siaga sekali. Namun manakala tahu siapa yang datang, keempat jagabaya tidak mempersulitnya. Pragola yang diiringkan dua jagabaya dipersilahkan memasuki gerbang.
Seusai masuk gerbang, Pragola harus melewati jalan berbalay lagi yang di kiri-kanannya terhampar lapangan rumput hijau. Banyak beberapa jenis unggas peliharaan di sana. Beberapa angsa nampak berkejaran di tepi kolam berair jernih. Di sudut sana bahkan ada ayam jantan berbulu merah kekuningan dan tubuh tegap serta kuat. Ayam jantan itu berkokok nyaring ketika Pragola lewat di sana.
Pemuda itu baru tahu bahwa jalan berbalay itu mengantarkannya ke sebyah paseban (bangsal) beratap ijuk dan berlantai papan jati tua yang mengkilap kehitam-hitaman. Di tempat itu sudah terdapat beberapa orang. Ada yang duduk di atas kursi kayu, ada juga yang bersila di atas hamparan alketip tebal buatan Negri Parasi (Parsi, atau Iran kini).
Dari beranda, Pragola sudah bisa melihat bahwa di ruangan paseban itu Pangeran Yudakara telah hadir. Dia duduk di depan di sebuah kursi jati berukir, berdampingan dengan seorang bangsawan tua gagah. Pragola cepat menduga, bangsawan yang berpakaian beludru hitam gaya bedahan lima yang hampir seluruh pinggiran bajunya dihiasi kelim emas itu tentulah Pangeran Yogascitra, penasehat Ratu Pakuan.
Bangsawan itu pasti usianya sudah amat lanjut. Melihat sepasang pipinya yang nampak dalam serta alis tebal berwarna putih mulus, Pragola menaksir, barangkali pejabat tinggi ini usianya lebih dari tujuh puluh tahun. Namun yang pemuda itu kagumi, kendati usianya pasti sudah demikian tinggi, bangsawan tua itu masih nampak gagah. Kulit wajahnya putih agak kemerahan dan hanya sedikit keriput yang mengganggu dahinya.
Tubuhnya masih sanggup tegak ketika duduk di kursi kayu jati itu. Jadi, kendati kursi itu memakai sandaran, namun orang tua itu tidak memanfaatkannya untuk menyandarkan punggungnya yang tidak terlihat bungkuk karena usia tua. Kepalanya pun mendongak berwibawa namun jauh dari kesan angkuh. Gagah sekali manakala dia mengangguk-angguk ketika Pragola menghormat rengkuh. Ornamen warna emas yang menghiasi iket sawit (jenis ikat kepala namun jauh lebih rapih ketimbang iket orang kebanyakan) yang digunakan bangsawan itu nampak berkelap-kelip karena pantulan cahaya.
Semua orang yang hadir di paseban sama-sama menoleh ke arah beranda untuk melihat siapa yang datang. Mereka menatap Pragola dengan penuh seksama.
“Diakah punggawa muda itu, Yuda…?” terdengar pangeran tua itu mengajukan pertanyaan kepada Pangeran Yudakara.
Amat perlahan suaranya. Namun karena semua orang sama-sama memperhatikan Pragola tanpa bersuara, maka suara halus yang keluar dari mulut pangeran tua itu terdengar nyata.
“Benar Pamanda, dialah Punggawa Pragola yang saya ceritakan tempo hari itu…” jawab Pangeran Yudakara.
Semua hadirin nampak lebih memperhatikan Pragola manakala namanya dikenalkan.
“Duduklah punggawa muda…” kata pangeran tua itu.
Pragola segera duduk bersila. Tidak di atas hamparan alketip, melainkan hanya di atas lantai papan jati saja. Dan kalau pun dia duduk dalam deretan para ksatria, namun hanya mengambil posisi paling ujung saja. Dia sadar, kedudukannya di sini paling rendah bila dibandingkan dengan para ksatria yang nampak gagah dan berwibawa itu.
Pragola duduk bersila dengan berupaya bersikap tenang. Padahal ada ketegangan yang sangat di hatinya. Betapa tidak, inilah pertama kalinya dia menginjak kompleks Pakuan. Inilah pertama kalinya dia berhadapan dengan orang-orang penting Pakuan. Hatinya berkecamuk dan penuh pertentangan. Jauh sebelum dia berhadapan dengan Pangeran Yogascitra, dia sudah mendapatkan berita mengenai keberadaan orang ini dengan berbagai pendapat dan penafsiran.
Di wilayah Kacutakan Caringin atau Waringin di mana dia tinggal, hampir semua orang bersepakat bahwa negri yang bernama Pajajaran harus dimusnahkan sebab banyak pejabatnya melakukan penyelewengan hidup. Mereka kerjanya bersenang-senang sedangkan di lain fihak rakyat penuh derita. Buktinya, ketika rayat Kacutakan Waringin ingin melepaskan diri dari Pajajaran dan berniat menggabungkan diri dengan Cirebon, Pakun marah dan mengirimkan pasukan. Kacutakan Waringin porak-poranda digempur pasukan dari Pakuan. Cutak Wirajaya, ayahanda Pragola memang tidak tewas secara langsung dalam peristiwa penyerbuan ini, namun tetap saja kematiannya diakibatkan oleh penyerbuan orang-orang Pakuan.
Penduduk Kacutakan Waringin membenci Pakuan. Itulah sebabnya, banyak penduduk mengabdi menjadi prajurit Cirebon dan akan senang bila ditugaskan menyerbu wilayah-wilayah Pakuan. Menurut Paman Manggala, untuk menundukkan Pakuan harus sanggup melenyapkan orang-orang kuat yang berdiri di sana. Pangeran Yogascitra disebut-sebut sebagai orang kuat di Pakuan.
Tentu Pragola juga menganggap bahwa orang tua berwajah sabar tapi berwibawa ini termasuk pejabat Pakuan yang harus dilenyapkan. Dan kalau mendengar banyak pejabat Pakuan yang selalu berbuat kejahatan hidup, tidakkah Pangeran Yogascitra ini pun sebenarnya orang jahat belaka?
“Banyak orang jahat bersembunyi pada wajah damai dan penuh welas asih,” kata Paman Manggala suatu ketika.
Kalau ucapan ini benar, Pragola pun harus berani melenyapkannya.
“Kau sampaikan kembali hormatmu kepada Pangeran Yogascitra, Pragola…” kata Pangeran Yudakara memerintah.
Untuk kedua kalinya Pragola memberi hormat lagi. Sesudah hormat dia sampaikan kepada Pangeran Yogascitra, dia pun segera menyembah kepada semua yang hadir di situ. Selintas dia memang sudah menduga bahwa beberapa orang yang hadir di sana merupakan orang-orang penting semua. Ini melihat dari penampilan dan usia mereka. Rata-rata berusia di atas limapuluh tahunan, kecuali ada seorang pemuda dewasa yang Pragola taksir usianya sekitar duapuluh tujuh atau mungkin lebih satu atau dua tahunan.
Namun karena pemuda yang berpakaian baju kurung hitam tipis berlapis kampret warna biru tua dari jenis kain halus itu ada di antara mereka, Pragola menduga, pemuda tampan berkulit halus dengan kumis tipis itu tentu termasuk orang penting juga. Mereka saling berpandangan sejenak. Tapi Pragola lebih dahulu menundukkan muka sebab sorot mata pemuda itu tajam berwibawa.
“Puji syukur harus kita sampaikan kepada Hyang karena punggawa setia ini telah berhasil tiba di Pakuan dengan selamat. Padahal untuk berusaha menyampaikan berita penting ini dia pasti banyak menemukan rintangan dan marabahaya,” tutur Pangeran Yogascitra.
Pragola menunduk menyembunyikan wajahnya ketika pangeran bersuara halus itu berkata demikian. Pragola tidak tahu persis, apa-apa saja yang tengah dibicarakan dalam pertemun ini. Namun kendati tidak lengkap dia dengar, beberapa bagian dari percakapan mereka ternyata perihal situasi negara dewasa ini.
Pangeran Yogascitra mengemukakan bahwa waktu-waktu belakangan ini boleh dikata negara ada dalam situasi rawan. Penyebabnya ada beberapa hal. Pertama, suasana ekonomi negara semakin tidak menentu sesudah puluhan tahun lamanya Pakuan tak bisa melakukan hubungan dagang dengan negara lain.
Hal kedua, sendi-sendi kekuatan negara yang berhaluan agama baru semakin hari semakin kuat. Pajajaran kini semakin terjepit di pedalaman. Wilayah timur dan utara sudah dikuasai oleh Demak dan Cirebon. Kemudian sebelah barat, kekuatan Banten semakin merebak juga.
Pangeran Yogascitra amat khawatir, di saat-saat kekuatan musuh semakin nyata, keberadaan Pajajaran sendiri malah cenderung melemah. Luka-luka di tubuh negara akibat terjadi pemberontakan yang dilakukan negara-negara kecil yang ingin memisahkan diri dari Pakuan hingga kini masih belum sembuh. Akibat sering memerangi pemberontak, terjadi beberapa kemunduran di sektor militer.
Militer Pajajaran sudah tak sekuat dulu. Membangun kekuatan militer memerlukan dana yang besar. Tapi kini negara sudah tak memiliki dana yang besar lagi mengingat terbatasnya perdagangan antar negara. Lain dari pada itu, dari peperangan berkali-kali, menyebabkan negara banyak kehilangan orang-orang pandai. Benar, bahwa hingga saat ini, Pajajaran masih memiliki puluhan ribu prajurit. Benar juga bila orang mengatakan bahwa seribu perwira pengawal Raja hingga kini jumlahnya tiada berkurang.
Namun, jumlah seribu orang antara hari ini dengan kemarin kualitasnya sudah jauh berbeda. Pakuan sudah banyak ditinggalkan perwira tangguh. Kalau pun tidak gugur dalam peperangan, mereka berhenti karena tua, sedangkan penggantinya tidak setangguh yang digantikannya. Perwira-perwira baru masuk ke dalam kelompok seribu itu bukan karena kualitasnya, melainkan karena untuk mengisi kekosongan jumlah saja. Ini yang memprihatinkan Pangeran Yogascitra.
“Saya khawatir terhadap kekuatan dari barat. Puluhan tahun silam di saat Pakuan diperintah oleh Sang Prabu Ratu Dewata, kendati tidak mengatasnamakan secara resmi, namun Banten berhasil menyerbu Pakuan. Kini kekuatan mereka semakin meningkat dan kita sebaliknya semakin melemah. Saya khawatir situasi buruk yang melanda negri ini merupakan peluang yang baik bagi mereka. Saya khawatir, suatu saat mereka melakukan penyerbuan lagi yang barangkali lebih dahsyat dari penyerbuan puluhan tahun silam…” kata Pangeran Yogascitra.
Suasana amat hening manakala pangeran tua itu selesai mengemukakan isi pikirannya, sehingga saking heningnya, suara kokok ayam jantan jauh di hamparan padang rumput terdengar nyata.
“Bagaimana upaya Sang Prabu dalam menghadapi keadaan seperti ini?” tanya seorang pejabat berkumis tebal bermata bulat yang duduk bersila di samping pemuda tampan.
Terlihat Pangeran Yogascitra menghela napas panjang. “Susah mengatakannya…” desis Pangeran Yogascitra setengah mengeluh, membuat suasana kembali hening.
Namun pada akhirnya, pangeran tua ini berbicara jua. Dan nampaknya Pangeran Yogascitra amat menyesalkan kebijaksanaan Sang Prabu dalam menanggapi situasi politik negara dewasa ini.
“Saya sebetulnya amat menghargai kebijaksanaan beliau yang ingin kembali memperkuat sendi-sendi pemerintahan dengan tonggak agama karuhun (leluhur). Menurut beliau, kekuasaan Cirebon dan Banten semakin menghimpit Pakuan dengan terapan agama baru. Maka takan ada jalan penangkalnya selain kita lebih memperkuat keyakinan agama buhun (lama) yang sudah sejak ratusan tahun dihargai oleh para karuhun kita. Sang Prabu bersama Purohita (Pendeta Agung) Ragasuci lebih sering berada di kuil ketimbang di istana. Beliau terlalu tenggelam untuk memperdalam agama, sebab pada hematnya, hanya dengan keyakinan yang kuat saja maka propaganda agama baru akan bisa tertolak…” ujar Pangeran Yogascitra.
“Tapi Pamanda, saya menganggap bahwa serbuan negara agama baru ke Pakuan tidak semata karena melakukan penyebaran agama, melainkan karena ingin memperluas kekuasaan semata. Puluhan tahun silam tujuh pelabuhan penting milik Pajajaran direbut mereka dengan alasan mencegah Pajajaran yang semakin melakukan hubungan dagang dengan bangsa-bangsa asing. Terutama Portugis. Namun belakangan, sesudah semua pelabuhan dagang direbut, malah merekalah yang menggantikan kedudukan Pakuan dalam melakukan hubungan dagang dengan bangsa asing. Jadi kalau menilik hal-hal seperti ini, negara agama baru memerangi Pajajaran bukan karena agama, melainkan karena rebutan kekuasaan semata. Dan apabila pendapat saya ini benar, maka percuma mempertahankan dengan cara memperkuat dan memperdalam agama buhun kita, sebab belum tentu berhasil dengan baik,” kata seorang pejabat yang Pragola tak tahu siapa.
“Benar belaka Ayahanda, menangkal datangnya musuh bukan dengan mantera atau jampi-jampi, melainkan harus dengan kekuatan militer pula seperti apa yang mereka lakukan terhadap kita,” sambut pemuda tampan berkumis tipis yang bersila tegak di jajaran para ksatria.
Pragola baru mengetahuinya kalau pemuda yang barangkali usianya sepuluh tahun di atasnya itu adalah putra Pangeran Yogascitra. Pragola menyaksikan, betapa alis pangeran tua itu sedikit berkerut ketika mendengar pendapat-pendapat ini.
“Sang Prabu kurang setuju bila kita harus terus-terusan mengeluarkan dana besar untuk kepentingan angkatan perang. Menurut beliau, sudah banyak dana yang dihambur-hamburkan hanya untuk kepentingan perang. Selain itu, Sang Prabu pun menganggap bahwa perang juga banyak menyengsarakan rakyat. Korban jiwa berjatuhan dan usaha perdagangan serta pertanian terhambat. Saya juga membenarkan pendapat seperti ini. Tapi, begitulah seperti apa yang dikatakan tadi, bila militer tak kita perkuat kembali, maka bahaya datangnya musuh akan semakin mengancam,” kata Pangeran Yogascitra akhirnya.
“Bila Pamanda saja sebagai penasehat sudah tak sanggup meyakinkan Sang Prabu, bagaimana mungkin dengan kami?” kata pejabat lainnya.
Pangeran tua itu terdiam sejenak. Dia nampak menunduk dan sedikit memejamkan kedua belah matanya.
“Kita akan tanggulangi sendiri. Secara diam-diam akan saya usahakan menghimpun kekuatan…” ujar Pangeran Yogascitra hampir-hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Bagaimana caranya?” tanya yang lain.
“Banyak orang pandai tak tergabung dalam kekuatan istana, tapi mereka orang-orang yang amat setia kepada keberadaan Pajajaran. Saya akan menghimbau mereka untuk mau bergabung dengan kita,” tutur Pangeran Yogascitra.
“Berilah contoh, siapa mereka…” sambut seorang pejabat.
“Kalian tentu ingat tentang pemuda Ginggi murid Ki Darma?” tanya pangeran Yogascitra melirik kepada si penanya.
“Tapi Ayahanda, saudara Ginggi nampaknya sudah tidak tertarik kepada urusan politik. Sudah hampir sepuluh tahun namanya tenggelam begitu saja. Ini hanya menandakan bahwa dia ingin menjauhkan diri dari kemelut politik. Sedangkan yang berprilaku seperti dia bukan hanya satu atau dua saja. Beberapa perwira pandai yang dulu jadi andalan Pakuan, mengundurkan diri dari kegiatan kenegaraan karena merasa jemu dengan berbagai pertikaian politik. Bisakah mereka kita rangkul kembali?” tanya pemuda putra pangeran tua itu.
“Mereka mungkin jemu karena jabatan dan berbagai kemelut istana tapi tak berarti melepaskan rasa cinta terhadap negara. Kalau kita himbau bahwa negara ada dalam keadaan bahaya, maka diharap mereka mau menoleh kembali,” kata Pangeran Yogascitra.
“Bagaiman caranya mencari dan mengumpulkan mereka?” tanya yang lain.
“Itulah sebabnya kita berkumpul di sini hari ini. Kebetulan datang seorang punggawa muda dari wilayah Sagaraherang. Menurut Pangeran Yudakara, punggawa muda ini membawa berita dari wilayah timur. Berita ini penting, kendati kita belum tahu, apakah yang dibawa punggawa muda ini berita yang menggembirakan atau kebalikannya,” tutur Pangeran Yogascitra sambil menatap tajam kepada Pragola.
“Pragola, khabarkanlah segera, apa yang kau dapatkan di wilayah timur…” kata Pangeran Yudakara.
Berdebar hati pemuda ini. Ini adalah tugas pertama yang dibebankan negara agama baru. Kalau Pragola mulai bicara, sebenarnya ini adalah kebohongan, sesuatu yang dia tak menyukainya. Namun kata Pangeran Yudakara tadi malam, kebohongan adalah bagian dari sesuatu bernama taktik dalam upaya memenangkan sesuatu.
“Kebohongan untuk sesuatu kebaikan, bukanlah dosa,” ujar Pangeran Yudakara menegaskan.
Menurut Pangeran Yudakara, kekuatan negara agama baru memang selalu menggempur Pajajaran. Sebetulnya bukan untuk menghancurkan Pajajaran, melainkan untuk mencoba mengubah sesuatu tatanan yang lebih baik lagi.
“Akan lebih baik lagi bila tatanan Pajajaran disempurnakan melalui perilaku kehidupan agama baru,” kata Pangeran Yudakara.
“Penguasa Pakuan puluhan tahun silam telah mengundang kekuatan asing yang prilaku dan sikap hidupnya amat berlainan dengan kita. Itulah sebabnya, penguasa negara baru dari wilayah timur mencoba menggagalkan persekutuan antara Pajajaran dengan kekuatan asing tersebut,” sambung Pangeran Yudakara tadi malam.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment