Ads

Sunday, January 9, 2022

Kunanti di Gerbang Pakuan 004

Akan tetapi, permusuhan terus berlanjut kendati kekuasaan asing telah pergi. Sanggupkah Pragola menyetujui hal-hal seperti ini.

“Pragola, kemukakanlah apa yang telah kau alami di wilayah timur,” kata Pangeran Yudakara mengulang perintahnya, membuat Pragola terperanjat.

Dengan dada berdebar, Pragola menyembah takzim. Suasana hening sebab sepertinya semua orang ingin menyimak laporan Pragola dengan seksama. Hampir semua orang bahkan menatap pemuda itu. Pragola menahan napas sebentar, kemudian mulai berkata. Tidak terlalu nyaring, namun cukup didengar dengan baik oleh semua yang hadir.

“Saya ingin melaporkan perjalanan saya ketika berada di wilayah Karatuan Talaga…” kata Pragola.

Lalu pemuda itu berkisah, bahwa ketika dia ada di Karatuan Talaga, pemuda ini sempat melakukan perjalanan di dusun-dusun sekitar lereng Gunung Cakrabuana. Menurut pengamatannya, wilayah lereng barat Gunung Cakrabuana sepertinya dijaga ketat oleh pasukan gabungan dari Talaga dan Cirebon. Pragola mencari tahu, mengapa ada penjagaan khusus di sekitar itu, sepertinya di sana ada sesuatu yang harus mereka amati?

“Apa jawab mereka, anak muda?” tanya seorang pejabat tua dengan mimik tidak sabar.

Sebelum menjawab, Pragola menelan ludah dulu. Sesudah itu pemuda itu melirik ke arah Pangeran Yudakara seolah minta pendapat.

“Terangkanlah Pragola dengan sejelasnya,” kata Pangeran Yudakara.

“Salah seorang prajurit Karatuan Talaga berkata bahwa sudah lebih dari lima tahun berselang ini wilayah tersebut memang selalu dijaga ketat,” kata Pragola.

“Ya, karena apa?” tanya sang pejabat tua lagi mendesak.

“Karena ada yang harus dicegat,” tutur Pragola.

“Ada yang harus dicegat?” tanya yang lain mengerutkan dahi.

“Kata para prajurit Talaga, mereka tengah mencegat kalau-kalau belasan perwira Pakuan yang ada di puncak pada suatu saat turun gunung…” sambung Pragola lagi.

Ketika penjelasan ini dikemukakan Pragola, macam-macam tingkah dan penampilan para penyimak itu. Ada yang nampak mengerutkan alis, ada yang terpana dan ada juga yang terhenyak bagaikan merasa kaget.

“Kalau begitu benar perkiraan kita, bahwa belasan perwira yang belasan tahun silam ditugaskan oleh Pakuan untuk menuju ke wilayah timur hingga kini masih hidup,” tutur seorang pejabat menatap ke arah Pangeran Yogascitra.

Nampak pangeran tua itu termenung. Alisnya berkerut dan kedua matanya semakin dalam. Dia menunduk dan berpangku tangan lama sekali. Seolah-olah dia termenung seorang diri di tempat yang sepi.

“Ketika zamannya Prabu Ratu Sakti, kami pernah mempertanyakan hal ini. Kami pun mengusulkan agar belasan perwira yang tak pernah kembali itu segera diselidiki dengan mengirim kembali rombongan perwira kedua, mengapa hal itu tak pernah terperhatikan?” tanya pejabat yang lain.

Semua orang menatap ke arah Pangeran Yogascitra, seolah semua orang memintakan tanggung-jawab kepada pejabat itu.

“Sepuluh tahun silam hal ini pernah menjadi perbincangan hangat. Banyak perwira kerajaan mengusulkan agar belasan rekannya yang tak pernah kembali harus segera dicari dan diselidiki, namun Sang Prabu ketika itu menolak,” tutur Pangeran Yogascitra.

“Mengapa menolak?” tanya hadirin.

“Entahlah. Tapi waktu itu saya pun setuju dengan penolakan Sang Prabu….”

“Mengapa?” tanya hadirin dengan nada heran dan tak puas.

“Waktu itu beberapa perwira kerajaan yang setia terhadap negara memang mengusulkan seperti itu. Namun saya pun mencurigai, ada kelompok lain yang ikut membonceng kepada usul seperti ini tapi untuk kepentingan mereka sendiri,” tutur Pangeran Yogascitra.

”Kalian tentu tahu, suasana ketika itu terasa panas. Istana telah dipenuhi pemberontak. Barangkali benar, perwira setia mengusulkan agar dikirim rombongan kedua untuk mencari jejak rekan-rekannya yang hilang dengan niat yang wajar. Namun usulan yang dikeluarkan oleh kelompok pengkhianat cenderung untuk keuntungan mereka. Mereka tengah mempersiapkan sebuah pemberontakan besar, agar pemberontakan mereka berhasil, kekuatan di Pakuan harus dikurangi. Waktu itu pejabat-pejabat kepercayaan Sang Prabu Ratu Sakti tapi yang sebetulnya pengkhianat, mengusulkan perwira-perwira setia dan terbaik untuk ditugaskan ke wilayah timur dalam mencari rekan-rekan yang hilang.

Ini mencurigakan. Kami menduga, para pemberontak akan menyerang Pakuan di saat para perwira setia tak ada di istana. Itulah sebabnya saya tak setuju Raja menugaskan perwira-perwira lainnya. Bersama Ksatria Ginggi kami mengatur siasat, seolah-olah Pakuan jadi mengirimkan pasukan ke wilayah timur. Apakah mereka tahu siasat ini atau tidak, tak jelas. Namun yang pasti, peristiwa besar telah terjadi. Mereka melakukan pemberontakan. Ada ratusan pasukan yang datang dari wilayah timur menyerbu Pakuan, untung dapat dipatahkan,” kata Pangeran Yogascitra.

Pragola menunduk ketika mendengar cerita ini. Bagi orang Pakuan, pasukan dari timur itu adalah pemberontak dan kini orang-orang yang masih hidup dikejar-kejar seperti penjahat. Namun bagi Pragola, mereka adalah pahlawan. Ki Sudireja gurunya, bukanlah penjahat, melainkan pahlawan. Dia tewas karena membela sesuatu yang besar yang erat kaitannya dengan penentuan nasib sebuah negara. Mati karena kepentingan negara adalah pahlawan? Pragola terkejut ketika tiba-tiba Pangeran Yogascitra mengajukan pertanyaan.

“Adakah hal-hal lain yang engkau ketahui anak muda?”

Pragola berpikir untuk menyusun sebuah perkataan sebab pertanyaan ini terlalu banyak memerlukan jawaban. Dan bila jawabannya salah atau kurang wajar, hanya akan membuat orang lain curiga saja.

“Misalnya, apakah engkau tahu bahwa pasukan Karatuan Talaga atau Cirebon akan melakukan penyerbuan ke puncak?” Pangeran Yogascitra lebih mengarahkan pertanyaannya.

Namun pertanyaan yang isinya lebih jelas ini tetap belum membantu Pragola sebab pemuda ini tak dibekali “pengetahuan” sejauh itu.

“Puncak Cakrabuana masih penuh misteri. Belum ada orang yang berani naik ke sana. Jadi, mereka hanya menjaga lorong-lorong penting saja…” tuturnya sambil melirik ke arah Pangeran Yudakara.

Namun ketika dilihatnya mata pangeran itu mencorong ke arahnya sambil sedikit mengerutkan dahi, buru-buru pemuda itu menambahkan keterangan “baru” lagi,



“Tapi mengingat di Puncak Cakrabuana banyak benda pusaka milik Karatuan Talaga, ada juga prajurit yang mengabarkan bahwa pada suatu saat, Puncak Cakrabuana akan diserbu,” sambungnya.

Wajah Pangeran Yudakara kembali tenang. Hanya menandakan bahwa ucapan Pragola disetujui pangeran dari Sagaherang ini. Selesai Pragola memberikan keterangan, semua yang hadir termenung.

Pragola merasa, bahwa tak berlebihan bila dia bicara seperti itu. Menurut keterangan Pangeran Yudakara, ketika Karatuan Talaga yang semula ada di bawah Pajajaran masuk menjadi kekuasaan Cirebon, banyak juga para pejabatnya melarikan diri karena tak setuju Talaga memihak Cirebon. Salah seorang perwira bernama Dita Jaya Sasana kabur sambil memboyong beberapa pusaka Karatuan Talaga, di antaranya sebuah tombak bernama Cuntangbarang.

Menurut Pangeran Yudakara, banyak orang mengidam-idamkan benda pusaka tersebut. Dan ketika ada khabar burung bahwa Dita Sasana melarikan benda-benda berharga pusaka ke Puncak Cakrabuana, maka banyak orang mengejarnya. Hanya entah kenapa, tidak pernah ada seorang pun yang kembali, tidak juga kelima belas perwira Pakuan yang dikirimkan ke sana pada sebelas atau dua belas tahun yang lalu.

Pada masa itu, ada musuh negara yang sangat dibenci Sang Prabu Ratu Sakti, yaitu Ki Darma, bekas perwira Pakuan. Ki Darma yang diketahui bersembunyi di Puncak Cakrabuana harus dikejar. Namun bukan karena Ki Darma semata maka lima belas perwira Pakuan dikirim ke timur, melainkan juga karena kehadiran tombak pusaka Cuntangbarang. Rupanya Prabu Ratu Sakti memperhatikan benda pusaka itu dan ingin memilikinya.

Dan mendengar Ki Darma bersembunyi di Puncak Cakrabuana yang diduga memendam tombak pusaka, maka kemarahan Sang Prabu menjadi-jadi. Disangkanya Ki Darma sembunyi di sana sambil mengangkangi benda pusaka juga. Itulah sebabnya, lima belas perwira diutus ke wilayah timur dan ditugaskan menangkap Ki Darma sekalian memboyong benda-benda pusaka. Hanya saja sejauh ini beritanya tak jelas benar. Jangankan berhasil membawa Ki Darma atau memboyong benda pusaka, bahkan nasib kelima belas perwira itu pun sampai saat ini tak diketahui.

Laporan Pragola di paseban ini ternyata menjadi bahan percakapan tak ada habis-habisnya. Beberapa pejabat melontarkan gagasan atau bahkan sekadar meminta pendapat Pangeran Yogascitra mengenai nasib belasan perwira itu. Ada juga yang mengusulkan agar Pakuan segera mengirimkan rombongan penolong.

“Sebab saya pikir kedudukan rekan-rekan kita ada dalam bahaya. Belasan tahun menghilang, mungkin karena tak bisa pulang, sebab bila mereka memaksa turun gunung, akan dihadang,” tutur seorang pejabat tua.

“Saya juga menyetujui pendapat ini. Dan bila Pangeran sudi mendengarkan jalan pikiran saya, sebaiknya kita mengusulkan kepada Sang Prabu Nilakendra agar sudi mengirimkan rombongan penjemput,” tutur Pangeran Yudakara menguatkan usul pejabat lainnya.

Pangeran Yogascitra menoleh, sepertinya ingin mendapatkan alasan rinci mengenai usulan ini.

“Harap Pangeran ingat akan situasi negara, seperti apa kata Pangeran sendiri, negara ada dalam ambang bahaya mengingat kekuatan negara agama baru dari barat semakin melebar. Bila Sang Prabu didesak melakukan hal ini, sama saja dengan melicinkan keinginan Pangeran sendiri. Bukankah Pamanda Pangeran menginginkan kekuatan di Pakuan bertambah? Nah, dengan kembalinya belasan perwira sakti itu, Pakuan bisa memupuk kekuatannya lagi,” tutur Pangeran Yudakara.

Mendengar alasan ini, nampak Pangeran Yogascitra mengangguk-angguk. Pangeran Yudakara tersenyum cerah melihatnya. Dan hanya Pragola yang mengerti betul, mengapa Pangeran Yudakara begitu bergembira.

“Saya setuju untuk mengusulkan hal ini, sebab sesuai dengan jalan pikiran saya dalam mengupayakan pulihnya kembali kekuatan Pakuan. Namun tentu saja kita tak boleh sembrono melakukannya. Kita harus punya bukti bahwa lima belas perwira itu benar masih hidup dan kita punya alasan kuat untuk menjemput mereka,” ujar Pangeran Yogascitra kemudian.

Selesai pangeran tua itu mengemukakan pendapatnya, nampak ada perubahan di wajah Pangeran Yudakara. Ini pun tentu hanya Pragola saja yang tahu penyebabnya.

“Mengapa harus dibuktikan kembali, sepertinya Pamanda agak menyangsikan kebenaran laporan bawahan saya?” tanya Pangeran Yudakara kemudian.

Pangeran Yogascitra hanya tersenyum ketika didesak pertanyaan ini. “Ini bukan urusan percaya dan tidaknya. Tapi keyakinan lebih diperhitungkan ketimbang mempercayai. Terlalu banyak yang harus kita pertimbangkan. Kita memang butuh kekuatan tambahan. Tapi tentu kita pun tak ingin kehilangan dua kali. Ingat, mengirimkan pasukan ke wilayah timur adalah mendekati musuh. Pasukan kita dikirim ke sana bukan hanya sekadar mencari orang hilang tapi kemungkinan menyuruh mereka berperang juga. Inilah yang harus kita pikirkan,” ujar Pangeran Yogascitra.

Semua orang mengangguk-angguk membenarkan jalan pikiran Pangeran Yogascitra, kecuali Pangeran Yudakara yang nampak menunduk kendati tidak menampakkan perasaan menentang.

“Betul, kita harus melakukan penelitian sebelumnya. Kalu sudah jelas apa yang sebetulnya terjadi, baru kita mengusulkan kepada Sang Prabu,” ujar hadirin.

“Kita harus mengirimkan penyelidik terlebih dahulu,” kata yang lain.

“Tepat, kita memang harus mengutus penyelidik,” kata Pangeran Yogascitra. ”Saya bahkan sudah berpikir untuk mengutus anakku sendiri ke wilayah timur. Yudakara, kalau engkau tak keberatan, saya akan meminta punggawa mudamu untuk menyertai anakku, Banyak Angga,” kata Pangeran Yogascitra menoleh kepada Pangeran Yudakara.

Pragola terkejut mendengarnya. Dia diminta untuk menyertai pemuda yang duduk di dekatnya? Tidakkah ini mengacaukan rencana. Bukankah dia dikirim ke Pakuan ini untuk ikut menyelidiki kekuatan di Pakuan? Namun ternyata permintaan ini tak mungkin terbantahkan. Buktinya Pangeran Yudakara tak berani menolaknya.

“Terimakasih, Yudakara. Punggawa muda, siapa namamu tadi?” kata Pangeran Yogascitra menatap Pragola.

“Pragola, Juragan…”

“Atasanmu telah menyetujuinya. Maka sesudah engkau cukup beristirahat, engkau akan melaksanakan tugas baru, yaitu menyertai anakku kembali ke wilayah timur,” kata Pangeran Yogascitra.

Pragola menyembah takzim. Banyak Angga, pemuda berkumis tipis yang Pragola taksir usianya sekitar dua puluh tujuh atau dua puluh delapan tahun nampak melirik dan tersenyum padanya. Pragola mengangguk hormat tak kuat melawan senyum ramah pemuda yang usianya terpaut hampir sepuluh tahun di atas usianya itu.

“Engkau akan menjadi teman seperjalananku, adikku…” desis Banyak Angga pelan.

Merinding bulu kuduk Pragola, namun sekaligus juga ada perasaan malu. Pemuda itu orang Pakuan, termasuk musuh besarnya pula. Tapi tiada hujan tiada angin, pemuda Pakuan ini berkata “adik” padanya. Basa-basinya atau mengemukakan ejekan? Pragola tak tahu kesemuanya. Itulah sebabnya bulu kuduknya terasa berdiri.

Seusai ikut pertemuan ini, Pragola malah diminta oleh Pangeran Yogascitra untuk tetap tinggal di purinya. Pangeran Yudakara juga tetap menyetujuinya. Membuat Pragola mudah keluar masuk lingkungan para pejabat istana adalah keinginan Pangeran Yudakara. Itulah sebabnya Pragola melihat senyum kecil di sudut bibir Pangeran Yudakara manakala mendengar Pangeran Yogascitra memintanya tinggal di puri miliknya. Memang amat beralasan bila Pangeran Yogascitra meminta Pragola tinggal di purinya. Ini untuk memudahkan dalam mendapatkan keterangan lebih rinci dari pemuda itu.

“Kita tidak akan bisa melakukan perjalanan ke timur dengan cepat, perlu ada pemikiran dan persiapan matang. Jadi selama menunggu rencana pemberangkatan, engkau bebas tinggal di sini, termasuk bebas meminta sesuatu yang dirasa engkau memerlukannya, adikku…” tutur Banyak Angga di tengah jalan menuju ke asrama ksatria.

“Terima kasih saya sampaikan. Dan kebetulan saya pun ingin meminta sesuatu kepada Raden,” tutur Pragola menunduk hormat.

“Jangan ragu-ragu, mintalah sesuatu,” tutur Banyak Angga.

“Tolong… janganlah Raden menyebut saya adik…” gumam Pragola menunduk.

Pemuda berkumis tipis itu menatap dengan senyum.

“Saya hanyalah punggawa biasa, terlahir dari kalangan cacah (orang kebanyakan). Jadi amat tidak pantas bila Raden memanggil saya seperti itu…” tutur Pragola lagi.

Banyak Angga nampak masih menyungging senyum. Dia bahkan memegang tangan Pragola dengan penuh keakraban.

“Usiamu ada dibawahku. Jadi amat tepat bila kau kupanggil adik,” jawab Banyak Angga.

“Kepada setiap punggawa muda, apakah Raden pun memanggil adik?” tanya lagi Pragola.

Banyak Angga belum bisa memberikan jawaban. Sambil kembali melangkah di depan, pemuda itu masih terus tersenyum.

“Tentu tidak. Tapi engkau akan menjadi teman yang khusus. Kita akan melakukan perjalanan bersama ke tempat jauh. Barangkali perjalanan ini akan amat membahayakan keselamatan jiwa kita karena pergi ke timur berarti mendekati wilayah musuh. Di sana kita tak akan memperlihatkan diri sebagai orang Pajajaran. Jadi kalau aku membiasakan diri memanggilmu adik, kelak sudah tak akan canggung lagi,” tutur Banyak Angga pada akhirnya.

Pragola mengangguk puas atas jawaban ini. Serasa lega dihatinya bila benar sebutan adik ini tak keluar dari hati yang tulus.

“Pada waktunya nanti, kita tidak akan merasa canggung,” tutur Pragola sambil hatinya berbisik bahwa ucapannya ini memiliki makna yang dalam dan luas dan yang tak mungkin bisa di mengerti oleh pemuda Pakuan ini.

“Mari kau ikut aku ke Mandala, Pragola…” ajak Banyak Angga mengganti sebutan adik seperti apa yang diinginkan Pragola.

“Mandala, apakah itu…?” tanya Pragola.

“Mandala adalah asrama para pendeta wanita. Saya ingin menengok adikku Banyak Inten…”

“Adik? Kalau begitu, pendeta wanita itu pasti usianya masih amat muda. Mengapa semuda itu sudah menjadi pendeta, Raden?” tanya Pragola heran.

Dia membayangkan, Pendeta Banyak Inten tentu amat muda dan elok, sebab Banyak Angga yang menjadi kakaknya pun demikian tampan wajahnya. Pragola melihat pemuda itu memperlihatkan wajah murung ketika dia mengajukan pertanyaan seperti itu. Dia tak segera menjawab, kecuali hanya mengayunkan langkah kakinya dengan pelan dan berat. Kedua tangannya dia silangkan di belakang. Dua orang jagabaya menunduk rengkuh (hormat sekali) manakala Banyak Angga lewat ke sebuah gardu jaga.

“Adikku memang masih muda. Barangkali usianya baru dua puluh lima tahun…” gumam pemuda itu.

“Dia gadis yang baik. Semuda itu hanya masalah rohani saja yang dia pikirkan…” kata Pragola memuji.

Namun Banyak Angga tak terhibur dengan pujian ini. Dia terus saja melangkah dengan lesunya.

“Semua orang akan merasa bahagia bila mencari kesucian atas dasar pasrah dan kesadaran. Tapi akan merasa tersiksa dan tak berarti kalau datang karena paksaan…” kata Banyak Angga.

“Paksaan? Alangkah ganjilnya orang harus dipaksa melakukan kebaikan…” gumam Pragola tidak sadar.

Banyak Angga tertegun sejenak, membuat Pragola terperanjat. Tidakkah pemuda ini tersinggung atas kata-katanya?

“Menjadi pendeta adalah melepaskan segala kehidupan duniawi. Banyak orang berhasil menjadi pendeta yang baik karena dia sudah kenyang dengan segala macam bentuk kehidupan lahiriah. Orang berani mendekati kehidupan rohani karena sudah faham akan kehidupan duniawi. Sedangkan adikku ketika masuk Mandala masih hijau, bagaikan daun dan bunga yang masih kuncup. Dia belum pernah merasakan indahnya mekar bunga dengan tebaran kumbang di sekelilingnya,” tutur Banyak Angga panjang lebar.

“Kalau memang masih perlu mendalami kehidupan duniawi, mengapa Putri Inten memasuki mandala, Raden?

“Sudah saya katakan tadi, memasuki mandala karena paksaan situasi…”

lalu pemuda itu bercerita tanpa Pragola minta. Bahwa sepuluh tahun silam Nyi Mas Banyak Inten pernah menjadi gadis yang dipilih Sang Prabu Ratu Sakti, penguasa Pakuan ketika itu. Namun karena gangguan bangsawan muda Suji Angkara, Sang Prabu merasa amat terhina. Betapa tidak terhina, Suji Angkara secara membabi-buta telah melarikan gadis pingitan Ratu.

Suji Angkara nekad merebut cinta. Menghina Ratu adalah pemberontakan. Itulah sebabnya Suji Angkara dikepung dan dibunuh. Namun Ratu tak sudi lagi mempersunting Nyi Mas Banyak Inten. Gadis belia itu akhirnya dikirim ke mandala. Wanita-wanita yang ditinggal mati oleh suaminya karena pertempuran suka dimasukkan ke mandala. Gadis-gadis yang gagal karena cinta juga masuk mandala. Rupanya Nyi Mas Banyak Inten pun dimasukkan juga ke dalam kelompok wanita yang gagal dalam percintaan, maka dimasukkan ke mandala juga.

“Tapi saya memperkirakan, adikku dimasukkan ke mandala karena balas dendan Sang Ratu saja. Sang Penguasa Pakuan memang amat mencintai adikku. Memasukkan adikku ke mandala adalah sebagai hukuman, juga menutup perjalanan kehidupan duniawi termasuk urusan jodoh adikku. Sang Ratu rupanya tak rela bila suatu saat adikku mendapatkan jodoh lain. Itulah sebabnya dibuat keputusan seperti itu…” keluh Banyak Angga.

“Tapi bila Putri Banyak Inten sanggup diam di mandala hingga begitu lama, barangkali segalanya pun sudah jadi keputusan dirinya pula,” komentar Pragola.

Banyak Angga tidak mengiyakan atau membantahnya, kecuali melanjutkan perjalanan menuju luar puri. Mandala memang terletak di bagian lain. Tempat itu pun bahkan sedikit terpencil, hampir berada di ujung utara benteng dalam. Agak terpisah dari bangunan-bangunan lain. Untuk menuju ke sana siapa pun harus melewati hamparan rumput hijau yang cukup luas. Tempatnya demikian sepi dan cukup pantas untuk tujuan bersunyi-sunyi, apalagi bagi orang-orang yang sedang berupaya melepaskan kehidupan duniawi.

Banyak Angga dan Pragola meski menunggu di paseban (bangsal tempat pertemuan) sebab hanya kaum wanita saja yang diperbolehkan memasuki kompleks ini. Kaum lelaki yang masuk ke kompleks ini pun terbatas saja, yaitu hanya mereka yang punya hubungan kerabat dengan para pendeta wanita. Itu pun jarang-jarang mereka berkunjung. Namun tentu saja Banyak Angga diluar kebiasaan ini. Pragola mendapatkan bahwa sepertinya pemuda ini kerapkali mengunjungi adiknya bila melihat kata-kata dan sambutan para jagabaya di sana.

“Raden sudah hampir dua minggu tidak berkunjung ke sini, adakah hal-hal yang menghalangimu, Raden?” tanya jagabaya santun tapi terkesan akrab.

“Betul, saya demikian sibuk akhir-akhir ini, Paman…” kata Banyak Angga mengulum senyum ramah. ”Tolong panggilkan adikku, Paman…” lanjutnya lagi.

Jagabaya itu segera berlalu. Namun yang memanggil langsung Nyi Mas Banyak Inten adalah seorang petugas wanita. Sang jagabaya hanyalah menunggu jauh di pekarangan asrama.

Dari kejauhan Pragola melihat seorang wanita melangkah pelan menyusuri jalan berbalay di tengah hamparan rumput. Kepalanya yang terlindung tudung kain putih nampak menunduk seperti tengah memperhatikan jalan yang tengah dilaluinya. Seluruh pakaian yang dikenakannya putih-putih belaka, kecuali ada warna hitam di pinggang yang bertindak sebagai angkin (sabuk kain). Wanita itu melangkah pelan menuju paseban dikawal dua tiga langkah di belakang oleh jagabaya yang tadi.

“Kakanda…” sapa Nyi Mas Banyak Inten dengan tatapan lembut ke arah Banyak Angga yang tegak duduk bersila di atas hamparan tikar.

Pragola menatap kehadiran Nyi Mas Banyak Inten. Gadis ini usianya dua puluh lima tahun, terpaut hampir delapan tahun di atas usia Pragola. Dia berupa wanita dewasa. Dan memang, sorot matanya yang lembut nampak berwibawa. Wajahnya putih anggun dan keelokkannya tiada terkira. Bila saja Nyi Mas Banyak Inten bersolek seperti umumnya gadis-gadis puri istana, maka inilah pohaci (dewi kayangan) yang tercantik dari semua pohaci.

Sayang wajah anggun itu hadir tanpa senyum. Kendati tidak terlihat ada garis kesedihan, namun wajah anggun itu seperti jauh dari binar bahagia. Atau memang begitukah kaum pendeta yang sudah membebaskan diri dari kehidupan duniawi, mereka sudah tidak memiliki kesedihan atau pun kebahagiaan? Bila begitu, Pragola amat menyayangkan. Padahal menurut hematnya, manusia datang ke buana pancatengah (bumi) dengan dibekali berbagai rasa di hatinya. Kalau pun dia tak berkewajiban memiliki rasa duka, maka berilah hak berbahagia padanya. Maka alangkah ganjilnya menurut pandangan Pragola seandainya ada orang yang tengah dibekali berbagai perasaan namun tidak menggunakannya.

“Semoga engkau dalam keadaan sehat selamanya, Ayunda…” kata Banyak Angga.

“Saya tidak pernah kurang suatu apa pun di sini, Kakanda…” jawab Nyi Mas Banyak Inten halus dan pelan.

Wajahnya masih tetap menunduk. Namun manakala satu kali dia melirik ke arah wajah Pragola selintas ada kesan rasa terkejut. Pragola tak tahu, mengapa ada sedikit perubahan pada wajah gadis molek itu ketika menatap wajahnya. Sebentar saja pemuda itu balik menatap untuk kemudian segera menundukkan kepalanya. Pragola menduga, barangkali gadis itu tiada senang melihat kehadiran dirinya. Bukankah kata jagabaya orang asing dan kaum lelaki tidak diperbolehkan memasuki kompleks mandala?

“Dia adalah punggawa muda dari wilayah Kandagalante Sagaraherang. Kakanda baru bertemu dengannya tapi serasa wajah pemuda ini sudah tidak asing bagi Kakanda,” kata Banyak Angga sambil melirik ke arah Pragola.

Tidak ada komentar apa-apa dari Nyi Mas Banyak Inten. Sedikit kerutan di dahinya telah hilang musnah dan mimik wajahnya kembali kosong dari perasaan apa pun. Gadis itu pun seperti tak punya minat untuk menyapa atau berkenalan dengan Pragola.

“Terimakasih bila engkau selama ini baik-baik saja, Dinda,” kata Banyak Angga. ”Soalnya dalam jangka waktu yang lama besar kemungkinan kita akan tiada bertemu,” tuturnya lagi sambil menatap adiknya.

Nyi Mas Banyak Inten mengangkat wajah dan balik menatap.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment